CEREBRAL INFARCTION
Pendahuluan
Epidemiologi
Etiologi
Atherosclerosis
Pada kebanyakan kasus,
penyebab utama dari iskemia otak
fokal merupakan atherosclerosis arteri
ekstracranial yang terletak di bagian
leher dan dasar otak. Atherosclerosis
dapat mempengaruhi arteri yang elastis
dan berotot dengan ukuran besar
maupun sedang. Pada peredaran darah
otak, tempat predileksi yang paling
sering adalah arteri carotis komunis
bagian hulu, arteri carotis interna tepat
di atas percabangan carotis komunis
dan dalam sinus cavernous, arteri
cerebri media bagian hulu, arteri
vertebralis bagian hulu dan tepat di
atas tempat masuk ke tengkorak, dan
arteri basilaris. [7]
Sampai saat ini patogenesis
dari atherosclerosis belum sepenuhnya
dipahami, tetapi diduga bahwa
kerusakan dan disfungsi dari sel
endothel merupakan tahap awal dari
terbentuknya atherosclerosis. Sel
endothel ini dapat mengalami
kerusakan oleh karena low-density lipoprotein, radikal bebas, hipertensi, diabetes,
homosistein, ataupun agen infeksius lain. Kemudian monosit dan limfosit T akan
menempel pada lokasi yang mengalami kerusakan dan bermigrasi ke lapisan
subendothelial, dimana monosit dan makrofag turunan monosit berubah menjadi
foam cell. Lesi yang terbentuk ini disebut juga fatty streak. Pelepasan growth
factor dan chemotactic factor dari sel endothel dan makrofag ini akan
6
a Atherosclerosis dari arteri cerebral. A. Atheromatosis berat dari arteri basal. Plak
ateromatosa kuning konfluen terjadi pada dinding arteri. Arteri basilaris
memanjang dan kaku, dan lumen menjadi melebar. Carotis kanan yang mengalami
sklerotik menekan saraf optik. B. Ateromatosa arteri basilaris menampilkan
dilatasi fokal dan penyempitan lumen disertai penekanan pada dasar pontine.
Dinding kaku dari carotis menekan pada saraf optik. C. Plak ateromatosa di
dinding arteri basilaris menunjukkan celah kolesterol subintimal fokal, gangguan
lamina elastis, dan proliferasi intimal yang sangat mengurangi lebar lumen (van
Gieson). [8]
7
Fibromuscular Dysplasia
Mempengaruhi arteri besar pada anak-anak dan dewasa muda, menghasilkan
penipisan segmental media dan fragmentasi lamina elastik, kadang disertai cincin
fibrosis dan hiperplasia otot dalam media. [7]
Lacunar Infarction
Merupakan hasil oklusi cabang kecil dari arteri cerebri mayor, terutama yang
memperdarahi ganglia basalis, thalamus, kapsula interna, dan pons. [7]
8
Drug Abuse
Penggunaan kokain hidroklorida, alkaloid kokain, amphetamine, dan heroin
merupakan faktor risiko stroke yang biasanya terjadi pada pasien dibawah 35
tahun. [7]
Migraine
Migrain dengan aura telah diajukan sebagai penyebab stroke, tetapi dalam banyak
kasus sering kali terdapat faktor risiko lain. Stroke pada orang yang menderita
migrain dapat terjadi setelah serangan klasik migrain dan biasanya terjadi pada
daerah vaskular yang sama dengan serangan migrain sebelumnya. [7]
Kelainan Jantung
Mural Thrombus
Mural thrombus dengan komplikasi infark myocard atau cardiomyopathy diakui
sebagai sumber dari emboli cerebral. Risiko stroke pada minggu pertama setelah
infark myocard berhubungan dengan ukuran lesi. Semakin besar kerusakan
myocard dapat meningkatkan tendesi pembentukan mural thrombus. [7]
Aritmia
Fibrilasi atrium (terutama yang berkaitan dengan rheumatic heart disease) dan
bradycardia-tachycardia (sick sinus) syndrome diakui sebagai penyebab stroke
emboli. Kelainan aritmia jantung lainnya lebih mungkin menyebabkan
hipoperfusi pancerebral dengan gejala difus, kecuali jika terjadi stenosis arteri
carotis yang cukup berat. [7]
Endocarditis
Infective (bacterial atau fungal) endocarditis
Merupakan penyebab transient cerebral ischemia dan embolic cerebral infarction
selama fase infeksi aktif dan beberapa bulan setelah pengobatan antibiotik. [7]
Non bacterial (marantic) endocarditis
Paling sering dijumpai pada pasien dengan kanker dan merupakan penyebab
untuk sebagian besar stroke iskemik pada populasi ini. Tumor yang paling sering
dihubungkan dengan stroke tipe ini adalah adenocarcinoma paru atau saluran
gastrointestinal. Biasanya juga terdapat vegetasi pada katup mitral atau aorta
tetapi jarang berhubungan dengan murmur. [7]
Paradoxic Embolus
Kelainan kongenital jantung dihubungkan dengan komunikasi patologis antara
jantung bagian kiri dan bagian kanan, misalnya atrial septal defect, atau patent
foramen ovale, menyebabkan material emboli dari sirkulasi vena sistemik dapat
lewat menuju otak. Pada keadaan ini thrombus vena dapat meningkatkan risiko
stroke emboli. [7]
10
Atrial Myxoma
Kealinan langka ini dapat menyebabkan embolisasi (stroke) atau obstruksi
cardiac output (syncope). Kejadian emboli terjadi pada seperempat sampai
setengah pasien tanpa myxoma atrium kanan herediter. [7]
Kelainan Darah
Thrombocytosis
Thrombocytosis dapat menyebabkan iskemia cerebri fokal ketika jumlah platelet
mencapai 1.000.000/L [7]
Polycytemia
Hematokrit diatas 46% dihubungkan dengan penurunan aliran darah otak dan
merupakan salah satu risiko stroke. Risiko tersebut meningkat pada keadaan
dimana hematokrit mencapai diatas 50% dan meningkat secara tajam pada
hematokrit >60% [7]
Leukocytosis
Transient cerebral ischemia dilaporakan berhubungan dengan leukositosis. Hal ini
biasanya terjadi pada pasien dengan leukemia dan jumlah leukosit lebih dari
150.000/L. [7]
11
Cypercoagulable States
Hiperviskositas serum akibat paraproteinemia (terutama macroglobulinemia)
jarang menyebabkan iskemia cerebri fokal. Kadang kala koagulopati yang disertai
terapi estrogen, penggunaan kontrasepsi oral, postpartum, dan keadaan
postoperasi, atau kanker dapat menyebabkan thrombosis atau emboli cerebri. [7]
Patofisiologi
Anamnesis
Faktor Predisposisi
Pada pasien dengan kelainan cerebrovascular, penting untuk mengetahui faktor
risiko yang memungkinan seperti TIA, hipertensi, dan diabetes. Untuk
perempuan, penggunaan kontrasepsi oral diduga berhubungan dengan penyakit
oklusi arteri dan vena cerebral, terutama pada keadaan dimana disertai dengan
hipertensi dan kebiasaan merokok. Keberadaan kondisi medis seperti penyakit
jantung iskemik, penyakit katup jantung, atau aritmia jantung ada baiknya
ditelusuri. Berbagai kelainan sistemik yang meliputi kelainan darah dan pembuluh
darah juga dapat meningkatkan risiko stroke. Obat antihipertensi dapat
menyebabkan gejala cerebrovascular jika tekanan darah diturunkan secara drastis
pada pasien dengan okluasi cerebrovascular yang mendekati total disertai sirkulasi
kolateral yang tidak memadahi. [7]
Pemeriksaan Fisis
f. Palpasi dari arteri temporal sangat berguna dalam diagnosis giant cell
arteritis, dimana ciri lainnya adalah pembuluh darah yang nyeri, nodular,
dan tidak berdenyut. [7]
Pemeriksaan Neurologis
Ketika ditemukan defisit neurologis, tujuan dari pemeriksana neurologis adalah
untuk menentukan lokasi anatomis dari lesi, yang dapat memberikan gambaran
penyebab atau penatalaksanaan stroke secara optimal. Walaupun demikian, bukti
jelas akan keterlibatan sirkulasi anterior tetap membutuhkan evaluasi angiografi
dengan kemungkinan pembedahan untuk memperbaiki lesi pada carotis interna.
Penetapan bahwa gejala yang terjadi disebabkan oleh kelainan pada sirkulasi
vertebrobasilar atau lacunar infarction turut menentukan penatalaksanaan yang
berbeda. [7]
a. Defisit kognitif yang mengindikasikan lesi kortikal pada sirkulasi anterior
harus dicari. Sebagai contoh, jika terdapat aphasia, kelainan yang
mendasari tidak mungkin pada sirkulasi posterior dan jarang mewakili
lacunar infarction. [7]
b. Adanya abnormalitas lapangan pandang secara langsung menyingkirkan
diagnosis lacunar infarction. Hemianopia dapat terjadi, namun, dengan
keterlibatan baik arteri cerebri anterior maupun posterior. Isolated
hemianopsia memberikan kesan infark arteri cerebri posterior. [7]
c. Ocular palsy, nystagmus, atau internuclear ophtalmoplegia memberikan
kesan bahwa lesi terdapat di batang otak dengan demikian kelainannya
kemungkinan besar terdapat pada sirkulasi posterior. [7]
d. Hemiparesis dapat disebabkan oleh lesi pada daerah korteks cerebri yang
diperdarahi oleh sirkulasi anterior, lesi pada jalur motoris descending yang
diperdarahi oleh sistem vertebrobasiler atau lacunae pada subcorteks
(corona radiata, kapsula interna), atau daerah batang otak. [7]
e. Defisit sensoris korteks seperti astereogenesis dan agraphesthesia dengan
modalitas sensorik primer yang tetap baik mengimpilkasikan defisit
korteks cerebri dalam daerah arteri cerebri media. Defisit hemisensoris
terisolasi tanpa adanya keterlibatan motoris biasanya berasal dari lacunar.
Defisit sensoris menyilang merupakan hasil dari lesi batang otak pada
16
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan ini harus dilakukan secara rutin untuk mendeteksi penyebab stroke
yang dapat diobati serta untuk menyingkirkan kondisi lain yang menyerupi stroke.
[7]
Electrocardiogram (ECG/EKG)
EKG harus dilakukan secara rutin untuk mendeteksi kemungkinan adanya infark
myocard atau aritmia yang tidak diketahui sebelumnya, misalkan fibrilasi atrium
yang merupakan faktor risiko stroke embolik. [7]
Punksi Lumbal
Dapat dilakukan pada beberapa kasus untuk menyingkirkan diagnosis perdarahan
subarachnoid atau untuk mengetahui siphylis meningovascular sebagai penyebab
stroke. [7]
17
Angiografi cerebral
Ultrasonography
Doppler ultrasonography dapat mendeteksi adanya stenosis atau oklusi dari arteri
carotis internal, tetapi kurang sensitif jika dibandingkan dengan angiography.
Transcranial doppler ultrasonography kadang digunakan dalam evaluasi dugaan
stenosis arteri carotis interna, arteri cerebri media, atau arteri basilaris serta untuk
mendeteksi dan mengikuti perjalanan vasospasme cerebral setelah perdarahan
aneurysma subarachnoid [7]
Echocardiography
Electroencephalogram (EEG)
Computed Tomography
normal dengan yang tersumbat begitu juga dengan peningkatan abnormal pada
area kerusakan otak dengan rusaknya sawar darah otak. Fungsi utama dari CT
scan dalam evaluasi penyakit cerebrovascular oklusif dalah menyingkirkan
adanya kemungkinan perdarahan intracranial. [10]
Ischemic Infarction
Gambaran CT scan dari stroke berhubungan dengan waktu antara iskemik
atau onset gejala dan pengambilan foto. Infark iskemi dapat dibagi menjadi 4
tahap: hiperakut (sampai 24 jam), akut (24 jam sampai 7 hari), subakut (8 sampai
21 hari), dan kronik (lebih dari 21 hari) [11]
Hyperacute Stage
Peran utama CT scan pada stage ini adalah untuk menyingkirkan
kemungkinan tanda-tanda perdarahan (CT scan tanpa kontras) dan menyingkirkan
adanya penyakit yang mendasari, seperti adanya tumor otak yang dapat saja
secara klinis menyerupai tanda-tanda stroke (CT scan dengan kontras). Walaupun
begitu, sensitivitas CT sebagai alat deteksi dini dari ischemic infarction masih
terbatas dan hanya setengah dari seluruh kejadian strok yang dapat tampak pada
48 jam pertama. [11]
19
b Gambaran CT kepala pada laki-laki 37 tahun, terakhir terlihat normal pada jam
10 Malam, ditemukan keesokan pagi harinya dengan hemiplegia dan aphasia
berat. CT scan tanpa kontras potongan aksial menampilkan perubahan iskemik: i,
ii tampak bayangan hipodens pada nukleus lenticular dan caudate head (tanda
panah), dan iii tampak swelling korteks dengan obliterasi sulci [12]
Penggunaan agen kontras pada stroke hyperacute dan acute dinilai masih
kontroversial, karena meterial kontras dapat menyebabkan ischemic, walaupun
tidak sampai tahap infarck yang irreversible. [11]
Acute Stage
Selama minggu pertama stroke,
hipodensitas CT termasuk grey dan white matter
yang infark semakin jelas terlihat. Infarct
cerebrocortical biasanya berbentuk segitiga dan
deep infarct cerebral biasanya berbentuk bulat
atau oval. Edema otak dan efek massa biasanya
mencapai puncaknya selama hari ketiga sampai
hari kelima. [11]
Gambar 8. Gambaran CT scan
stroke hemisfer kanand [13]
Subacute Stage
Pada CT kepala dengan penambahan kontras, peningkatan pada infarct
biasanya muncul selama minggu kedua setelah ictus. Pola dari peningkatan
termasuk penampakan korteks yang gyroform. Cincin peningkatan terlihat pada
gray matter bagian dalam. Peningkatan homogen juga mungkin terlihat. Pola dari
peningkatan tidak spesifik dan menggambarkan mekanisme patofisiologis yang
mendasarinya, termasuk adanya gangguan pada sawar darah otak, peningkatan
pengisian kapilar pada gyrus yang terkena (luxury perfusion), reactive hyperemia,
dan adanya neovaskuler. [11]
Edema otak dan efek massa mengalami penurunan selama fase subakut
dan biasanya mernghilang secara sempurna dalam 2 sampai 3 minggu. Gambaran
infark cerebri akan berkurang bersamaan dengan menghilangnya edema otak.
Beberapa infark akan menampilkan gambaran densitas normal (fogging effect)
pada CT tanpa atau dengan contrast selama fase subakut. Pada tahap ini infak
iskemi dapat berkembang menjadi hemorrhagic sekunder, yang biasanya dikaitkan
dengan infark emboli. Karena kurangnya proses autoregulasi pada kapiler dari
infarct emboli, paparan dari tekanan darah arteri setelah sumbatan mengalami
d Gambaran CT kepala, tampak bayangan hipodens pada hemisfer cerebri dextra.
Gambar ini mewakili infark pada daerah arteri cerebri media dextra. [13]
21
e CT scan dari pasien 75 tahun pada tingkat ventrikel lateral (a) dan vertex (b) menampilkan bukti
dari penyakit pembuluh darah kecil iskemik dan dua infark kortikal yang matang, dalam lobus
frontal kiri dan kanan. Gambaran T2*-weighted echo gradient pada tingkat yang bersangkutan (c,
d) menunjukkan daerah sinyal lemah, konsisten dengan pewarnaan haemosiderin, yang
menunjukkan perdarahan sebelumnya. Adanya pendarahan pada beberapa lobus merupakan ciri
khas angiopathy amiloid. Adanya daerah tambahan periventrikular sinyal tinggi konsisten dengan
penyakit iskemik pembuluh kecil. [14]
22
Chronic Stage
Daerah infark digantikan dengan daerah fokal berbatas yang tegas yang
merupakan cystic encephalomalacia dan gliosis termasuk gray dan white matter.
Pada foto CT kepala tanpa kontras, cycstic encephalomalacia memiliki
karakteristik isodens, mirip dengan cerebrospinal fluid (CSF), dimana gliotic rim
sedikit lebih hiperdens. Kadang juga terlihat dilatasi ventrikel dan sulcus
ipsilateral serta retraksi struktur di garis tengah (midline shift) ke arah infarct. [11]
Derajat peningkatan kontras mulai menurun pada minggu ketiga setelah
ictus dan jarang terjadi setelah dua bulan. Dapat pula terlihat pita pada daerah
corteks yang berada di daerah infark, karena lapisan luar korteks lebih resisten
terhadap infark iskemik dibandingkan struktur bagian dalam. [11]
Infark kronis yang luas pada korteks motorik atau kapsula interna dapat
menyebabkan atrophy pada pedunkulus cerebri dan pons ipsilateral serta
cerebelum kontralateral. Kalsifikasi juga biasanya terlihat pada infark cerebri
lama. [11]
Hemorrhagic Infarction
Infark hemorrhagic terjadi dalam 24 jam setelah kejadian iskemik, dimana
perubahan hemorrhagic biasanya terlambat 7 sampai 10 hari karena proses
reperfusi. Infark hemorrhagic akut biasanya tampak sebagai garis kecil yang agak
hiperdens pada daerah infark yang hipodens. Perdarahan ini biasanya terlihat pada
korteks cerebri atau di tepi dari infark, tetapi dapat juga terlihat pada gray matter
bagian dalam. Perdarahan juga dapat saling bertumpukan sehingga tampak lebih
hiperdens. CT tanpa kontras dapat membedakan dengan jelas antara perdarahan
cerebri dan iskemia cerebri pada tahap akut sebagai lesi hiperdens, tetapi tidak
mampu membedakan perdarahan cerebri dengan yang bukan perdarahan pada
tahap subakut (isodens) atau kronik (hipodens) [11]
23
Gambar 11. Gambaran MRI oklusi basiler disertai infark pontine hiperakut g [16]
f MRI pada stroke hiperakut. Kiri: Diffusion-weighted MRI pada stroke iskemik
hiperakut dilakukan 35 menit setelah onset gejala. Kanan: Peta apparent diffusion
coefficient (ADC) yang diperoleh dari pasien yang sama pada waktu yang sama.
[15]
Gambar 12. Gambaran MRI thrombus pada arteri cerebri media sinistrah [16]
Vascular abnormalities
Tidak adanya aliran (fenomena void) paling jelas terlihat pada pembuluh
darah besar, misalnya arteri carotis interna atau arteri basilaris. Pelebaran arteri
lebih nampak pada cabang arteri cerebri yang lebih kecil, terutama yang
mempercabangkan arteri cerebri media, akibat aliran yang lambat. Pelebaran
arteri lebih nampak dibandingkan dengan fenomena void. Keduanya lebih sensitif
dibandingkan penampakan arteri pada CT scan. Kelainan vaskuler lebih sering
terlihat pada pasien dengan infark kortikal. Pelebaran arteri yang tampak lebih
awal menunjukkan aliran darah yang lambat daripada sumbatan dan kemungkinan
mengindikasikan aliran kolateral yang tidak adekuat. Dengan demikian
abnormalitas vaskuler dipercaya mampu memprediksi tingkat keparahan iskemia
jaringan otak. [11]
Mass effect
Efek massa sering terlihat pada infark akut, tetapi kemungkinan hanya
terlihat sedikit pada beberapa jam pertama dan biasanya menncapai puncaknya
pada 24 jam. Efek massa juga lebih jelas terlihat pada infark kortikal
dibandingkan infark subkortikal, hal ini mungkin berhubungan dengan edema
sitotoksis. [11]
Subacute stage
Tahap subakut ditandai dengan neoproliferation dari pembuluh darah
untuk membangun kembali aliran menuju ke jaringan iskemia. Ada dua jenis
proliferasi: (1) proliferations marjinal, yang merupakan pembangunan kembali
sirkulasi darah ke jaringan otak yang mengalami kerusakan dengan pertumbuhan
dari pembuluh darah baru di sekitar zona iskemik, dan (2) transmedullary
proliferations, yang merupakan pembangunan kembali darah sirkulasi jaringan
otak yang mengalami kerusakan dengan pertumbuhan dari pembuluh darah baru
pada permukaan pial dari ruang subarachnoid. [11]
Vascular abnormalities
Kekosongan aliran normal dalam pembuluh darah utama otak terjadi
secara menetap, pelebaran arteri menghilang. Tingkat hilangnya pelebaran arteri
bervariasi dengan tingkat revaskularisasi. Pelebaran ini akan menghilang
26
Gambar 13. Gambaran MRI edema kortikal pada infark subakuti [16]
Mass effect
Efek massa dapat terlihat selama 2 minggu pertama. Setelah 1 bulan, efek
massa negatif dapat terlihat sebagai akibat dari hilangnya parenkim. [11]
Parenchymal Signal Change
Bayangan hiperintense pada gambaran T2-weighted menetap. [11]
Parenchymal Enhancement
Bersamaan dengan terjadinya revaskularisasi dan mulai hilangnya
pelebaran arteri, pelebaran parenkom juga mulai mengalami kemajuan, baik dari
segi intensitas maupun ketebalan. [11]
Chronic Stage
Vascular abnormalities
Kekosongan aliran normal dalam pembuluh darah utama otak terjadi
secara menetap, pelebaran arteri menghilang. [11]
Mass effect
Diagnosis Banding
Pada pasien dengan gejala disfungsi fokal sistem saraf sentral yang terjadi
secara tiba-tiba, stroke iskemik harus dibedakan dari proses struktural atau
metabolik yang dapat menyerupai gejala stroke iskemik. Ketika hasil defisit
neurologis tidak bersesuaian dengan distribusi dari salah satu arteri cerebri, perlu
dicurigai proses yang mendasari lain disamping. Sebagai tambahan, stroke
biasanya tidak memberikan gejala penurunan kesadaran tanpa ditemukannya
defisit fokal, sementara gangguan cerebral lain dapat menyebabkannya. [7]
Kelainan vaskuler yang seringkali disangka merupakan stroke iskemik
antara lain perdarahan intracerebral, hematoma subdural, hematoma epidural, dan
perdarahan subarachnoid akibat rupturnya aneurysma atau malformasi vaskuler.
Kondisi tersebut sering kali dapat dibedakan dari riwayat trauma, sakit kepala
hebat pada saat kejadian, terjadinya penurunan kesadaran, atau adanya kekakuan
28
leher pada saat pemeriksaan. Kondisi tersebut juga dapat dibedakan melalui CT
scan atau MRI [7]
Lesi otak struktural lainnya seperti tumor atau abses dapat juga
memberikan gejala fokal cerebral dengan onset akut. Abses cerebri dicurigai bila
ditemukan bersamaan dengan adanya demam. Abses dan tumor juga dapat
dibedakan dengan CT scan dan MRI. Gangguan metabolik, lebih tepatnya
hypoglycemia dan hyperosmolar non ketotic hyperglycemia, dapat muncul
menyerupai stroke, maka dari itu, pada pasien yang muncul dengan gejala stroke
kadar glukosa diperiksa secara rutin. [7]
Tumor Cerebri
neoplastik, edema vasogenik terbatas pada white matter saja dan secara bertahap
menyebar. Defisit neurologis yang dihasilkan tumor cerebri, dengan volume lesi
yang sama, jauh lebih sedikit dibandingkan iskemia. [18]
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi thrombolitik IV
Tissue plasminogen activator (t-PA) mempu mengkatalis perubahan
plasminogen menjadi plasmin, sehingga memiliki kemampuan untuk melisiskan
sumbatan yang mengandung fibrin seperti yang ditemukan pada lesi
cerebrovascular thrombotik. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
pemberian recombinant t-PA (rt-PA) IV (intra vena) dalam waktu 3 jam setelah
munculnya gejala dapat menurunkan tingkat kecacatan dan kematian akibat stroke
iskemik. Dosis pemberian adalah 0,9 mg/kg berat badan, dengan dosis maksimal
90 mg. 10% dosis diberikan secara bolus IV dan sisanya melalui drips selama 60
menit. Efektivitas dari pemberian rt-PA setelah 3 jam terhadap stroke dari onset
stroke jika dibandingkan dengan pemberian obat thrombolitik lain seperti
urokinase, atau pemberian secara intraarterial dari obat ini belum diketahui. [7]
Komplikasi terbanyak dari pemberian rt-PA adalah perdarahan, yang dapat
mempengaruhi otak atau jaringan lain. Kurangnya bukti keuntungan pemberian rt-
PA yang diberikan setelah 3 jam dari munculnya gejala, risiko terjadinya
perdarahan, dan pentingnya diagnosis yang benar ketika pengobatan yang
diberikan cukup berbahaya, menyebabkan rt-PA tidak dapat diberikan pada
beberapa keadaan, misalnya adanya gambaran CT scan stroke iskemik luas atau
perdarahan. Rt-PA juga tidak boleh diberikan kepada pasien dengan fungsi
koagulasi yang terganggu, baik akibat pemberian warfarin, heparin atau oleh
karena thrombocytopenia (thrombosit < 100.000/mm3), juga jika ditemukan tanda-
tanda yang mengindikasikan peningkatan risiko perdarahan, misalnya kejang pada
saat onset gejala akibat perdarahan intracranial, kelainan intracranial lain
(termasuk stroke dan trauma) dalam 3 bulan terakhir, operasi besar dalam 14 hari
30
Obat Antiplatelet
Beberapa penelitian menunjukkan penurunan insidens stroke ketika
diberikan aspirin setelah stroke. [7]
Aspirin, ketika diberikan pada pasien dengan TIA (minor stroke) terbukti
menurunkan insidens TIA berikutnya, stroke, atau kematian. Pemberian aspirin
juga berguna untuk mencegah iskemia cerebri berulang akibat cardiac emboli.
Dosis aspirin antara 80 sampai 1300 mg secara oral setiap hari terbukti efektif. [7]
31
Ticlopidine (250 mg oral, dua kali sehari), merupakan antiplatelet lain yang lebih
efektif mencegah stroke dan menurunkan angka kematian pada pasien TIA atau
stroke ringan. Tetapi ticlopidine lebih mahal daripada aspirin dan memiliki efek
samping seperti diare, skin rash, dan kadang-kadang neutropenia berat walaupun
reversible. [7]
Clopidogrel (75 mg oral per hari), menghambat agregasi platelet dengan
berikatan ke reseptor adenosine diphosphate (ADP) pada permukaan platelet,
terbukti menurunkan insidens stroke iskemik. Diare dan skin rash lebih sering
dijumpai pada penggunaan obat ini, tetapi neutropenia dan thrombocytopenia
terjadi dalam tingkat yang sama. Pada beberapa pasien pengobatan dengan obat
ini menimbulkan komplikasi berupa thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP).
[7]
Antikoagulan
Antikoagulan belum terbukti berguna pada kebanyakan kasus stroke.
Pengecualin dimana terdapat sumber cardiac emboli yang menetap. Antikoagulan
diindikasikan untuk mencegah terjadinya stroke embolik, walaupun tidak
memberikan pengaruh kepada perjalanan penyakit stroke yang telah terjadi. [7]
Heparin merupakan drug of choice sebagai antikoagulan akut. Heparin
biasanya digunakan dengan infus IV 1000-2000 unit/jam. aPTT (activated partial
thromboplastin time) harus diukur minimal satu kali sehari dan dosis herparin
disesuaikan untuk menjaga aPTT pada kisaran 1,5-2,5 kali dari nilai sebelum
pengobatan dilaksanakan. [7]
Warfarin (Dosis maintenance 5-15 mg/hari oral), dapat dimulai bersamaan
dengan terapi heparin. Sekitar 2 hari setelah PT (prothrombin time) mencapai 1
sampai 1,5 kali dari nilai sebelum terapi (biasanya sekitar 5 hari) pemberian
heparin dapat dihentikan. PT atau INR (international normalized ratio) harus
diukur sekurang-kurangnya setiap 2 minggu sekali dan dosis warfarin disesuaikan
untuk menjaga PT = 1,5 kali kontrol atau INR 3,0-4,0. [7]
32
Operasi
Indikasi penatalaksanaan operasi pada stroke komplit sengat terbatas pada
keadaan dimana terjadi stroke yang diikuti peningkatan tekanan intracranial dan
dibutuhkan dekompresi segera. [7]
Obat antihipertensi
Walaupun hipertensi berkontribusi atas patogenesis stroke dan banyak
pasien dengan stroke memiliki tekanan darah yang meningkat, usaha untuk
menurunkan tekanan darah pada pasien stroke dapat memberikan hasil yang lebih
buruk, karena suplai darah ke daerah iskemik yang belum infark dapat terganggu.
Sehingga penggunaan obat hipertensi tidak diperbolehkan. Secara normal tekanan
darah akan menurun secara spontan setelah beberapa jam sampai beberapa hari. [7]
Obat antiedema
Obat antiedema seperti manitol dan corticosteroid belum terbukti
memberikan keuntungan untuk cytotoxic edema (pembengkakan seluler) yang
berhubungan dengan infark cerebri. [7]
Obat neuroprotektif
Bermacam-macam obat dengan mekanisme farmakologis yang bervariasi
telah diajukan sebagai obat neuroprotektif yang mampu menurunkan derajat
kerusakan iskemik cerebri dengan menurunkan metabolisme otak atau
mengintervensi mekanisme sitotoksik yang dipicu oleh iskemia. Obat-obat
tersebut meliputi barbiturat, opioid antagonis (nalaxone) voltage-gated calcium
channel antagonist (nimodipine) excitatory amino acid receptor antagonist,
throphic factors, gangliosides, dan lipid peroxidation inhibitor (trilazad),
walaupun begitu, percobaan klinis terhadap obat-obat ini belum menunjukkan
hasil yang memuaskan. [7]
Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Magnesium
Magnesium berperan dalam berbagai proses yang berhubungan dengan
iskemia cerebri, termasuk inhibisi pelepasan glutamat presynaptic, NMDA
receptor blockade, calcium channel antagonism, dan memelihara aliran darah
33
Infusi Albumin
Infusi albumin dapat meningkatkan perfusi eritrosit dan menekan adhesi
thrombosit dan leukosit pada sirkulasi mikro otak, terutama selama fase reperfusi
awal setelah iskemi fokal. Albumin juga menurunkan hematokrit secara
signifikan, dengan begitu akan meningkatkan aliran sirkulasi mikro, viskositas
plasma dan deformabilitas sel, begitu juga dengan kapasitas transport oksigen.
Pada hewan uji coba, Albumin memberikan efek menurunkan volume infark,
meningkatkan skor neurologi, dan menurunkan edema cerebri. Efek tersebut
mungkin menggambarkan kombinasi sifat terapinya, termasuk efek antioksidan,
efek antiapoptotik pada endothelium, dan efek menurunkan darah statis pada
sirkulasi mikro. Uji coba klinis untuk mengetahui efek dari albumin pada saat ini
sedang direncanakan. [10]
Hipotermia
Hampir semua kejadian iskemik dimodulasi oleh suhu, dan pertahanan
otak terhadap hipotermia dipercaya meningkatkan resistensi terhadap berbagai
jalur mekanisme berbahaya, termasuk stess oksidatif dan inflamasi. Secara umum,
sebagian besar proses biologis menampilkan Q10 sekitar 2,5, yang memiliki
makna bahwa penurunan suhu 1 C menurunkan tingkat respirasi seluler,
permintaan oksigen, serta produksi karbondioksida sekitar 10%. Penurunan
temperatur juga menurunkan tingkat proses patologi seperti peroksidasi lipid,
begitu juga dengan aktivitas beberapa protease cystein atau serine. Tetapi,
34
detoksidikasi dan proses perbaikan juga ikut melambat, sehingga hasil akhir yang
diharapkan tidak dapat dipastikan. [10]
Penurunan suhu otak dapat diperoleh secara cepat (dan spontan) ketika
aliran darah ke seluruh otak berhenti akibat serangan jantung, dan termoregulator
dapat menjadi abnormal akibat disfungsi hipotalamus. Jika hanya satu segmen
dari otak yang mengalami iskemik, otak yang tidak mengalami kerusakan tetap
menjadi sumber panas metabolisme aktif. Jika hipotermia sedang (28-32 C)
secara teknis sulit diperoleh dan berpotensi akan terjadinya komplikasi, penelitian
terkini menunjukkan bahwa sedikit penurunan dari temperatur tubuh (dari
normothermia ke 33-36 C) cukup untuk menurunkan tingkat kematian sel-sel
saraf. Pada model global dari iskemia hippocampal, hiporetmia menguntungkan
jika dimulai 30 menit sebelum tetapi tidak dalam 10 menit setelah onset troke.
Tetapi, bila pendinginan diperpanjang (12-48 jam), proteksi terhadap kerusakan
cukup signifikan baik pada iskemia cerebri fokal maupun global. Pada manusia,
hasil positif baru-baru ini dilaporkan pada dua penelitian uji klinis secara acak
dari hipotermia ringan pada pasien selamat yang keluar dari rumah sakit setelah
serangan jantung. Sekarang ini beberapa penelitian baik yang berdiri sendiri
maupun penelitian multicenter secara acak sedang dilakukan pada pasien dengan
stroke iskemik dan hemorrhagik [10]
Induksi Hipertensi
Penumbra iskemik menunjukkan adanya ketidakmampuan proses
autoregulasi, dimana daerah ini tampak sangat sensitif terhadap manipulasi
tekanan darah. Alasan rasional dari penginduksian hipertensi sebagai terapi stroke
diperoleh dari penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah
arteri rata-rata memberikan hasil perbaikan perfusi otak disertai kembalinya
aktivitas elektrik pada daerah penumbra. Pada hewan uji coba dengan iskemia
cerebri fokal, terapi induksi hipertensi ditemukan mampu meningkatkan aliran
darah otak, meredam kerusakan otak, dan meningkatkan fungsi neurologis. Pada
manusia dengan stroke iskemik akut, peningkatan tekanan darah secara spontan
adalah hal yang umum ditemui, bahkan pemberian terapi antihipertensi yang
berlebihan dapat menyebabkan kerusakan neurologis. [10]
35
Hiperoksia
Hipoksia jaringan memainkan peranan penting pada kejadian primer dan
sekunder yang mengarah kepada kematian sel setelah stroke iskemik, sehingga
peningkatan oksigenasi otak telah lama dipertimbangkan sebagai strategi
pengobatan stroke yang logis. Secara teori, oksigen seharusnya menjadi
pengobatan yang baik untuk mengatasi stroke karena oksigen memliki beberapa
keuntungan dibandingkan obat-obatan lain, diantaranya oksigen dapat dengan
mudah berdifusi melewati sawar darah otak, memiliki berbagai efek keuntungan
biokimia, molekuler, dan hemodinamik, lebih mudah ditolerir, dan dapat diberikan
dalam dosis tinggi tanpa dosis batas efek samping (kecuali pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronis). Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa
pemberian oksigen bermakna positif mengubah tingkat glutamat, laktat, bcl2,
manganese superoxide dismutase, cyclooxygenase-2, dan menghambat
mekanisme kematian sel seperti apoptosis. Terapi oksigen hiperbarik telah secara
luas diteliti karena secara signifikan dapat meningkatkan tekanan parsial oksigen
jaringan otak, yang dipercaya penting untuk neuroproteksi yang efektif. Walaupun
terapi ini telah menunjukkan kegagalan pada tiga penelitian uji coba klinis.
Terdapat pemahaman bahwa faktor barotrauma dari tekanan ruangan yang tinggi,
keterlambatan dimulainya terapi (2-5 hari setelah stroke), dan pemilihan pasien
yang buruk menyebabkan kegagalan uji coba klinis tersebut. Saat ini efek klinis
dari terapi oksigen hiperbarik pada stroke akut sedang ditinjau ulang. [10]
Disisi lain, penelitian mengenai efek terapi dari terapi hiperoksia
normobarik juga tengah dimulai oleh beberapa peneliti. Pemberian terapi
hiperoksia normobarik memiliki beberapa keuntungan, antara lain: mudah
dilakukan, dapat ditoleransi dengan baik, terjangkai, tersedia luas, dapat dimulai
36
segera setelah onset stroke, dan noninvasif. Pada penelitian dengan hewan uji
coba, terapi ini menunjukkan penurunan volume infark, perbaikan defisit
neurobehavioural, dan perfusi parameter MRI dari iskemia, dan meningkatkan
tekanan oksigen interstitial pada jaringan penumbra. Jika dibandingkan dengan
terapi oksigen hiperbarik, terapi oksigen normobarik relatif kurang efektif dalam
meningkatkan tekanan parsial oksigen otak, dan mekanisme neuroproteksinya
masih belum jelas. [10]
Penelitian lebih lanjut juga perlu dilakukan untuk mengetahui keamanan
dari terapi ini. Secara teori, peningkatan pemberian oksigen dapat meningkatkan
radikal bebas oksigen, yang secara teori dapat memperberat kerusakan dengan
mendorong proses seperti peroksdasi lipid, inflamasi, apoptosis, dan glutamate
exitoxicity. Data menunjukan bahwa keuntungan oksigen hanya bersifat sementara
dan tidak dapat dipertahankan tanpa reperfusi yang tepat waktu. Pada akhirnya,
terapi oksigen dapat lebih bermanfaat jika dikombinasikan dengan terapi
reperfusi, atau digunakan sebagai strategi untuk memperpanjang waktu untuk
terapi seperti t-PA. [10]
Prognosis
Hasil akhir stroke tergantung dari beberapa faktor, yang paling penting adalah
sifat dan derajat keparahan yang menyebabkan defisit neurologis. Umur pasien,
penyebab stroke, dan kelainan medis yang menyertai juga turut mempengaruhi
prognosis. Secara keseluruhan, kurang dari 80% pasien dengan stroke yang
mampu bertahan setidaknya 1 bulan, dan 10-years survival rate berkisar pada
35%. Dari pasien yang mampu bertahan pada periode akut setengah sampai dua
pertiga mampu mendapatkan kembali fungsi independen, sedangkan sekitar 15%
membutuhkan perawatan institusional. [7]
37
38
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. MI
Usia : 62 tahun
Jenis kelamin : Laki laki
Alamat : Jl. Dr. Wajidin 68A RT 003 RW 001, Demaan, Jepara
Agama : Islam
Status : Menikah
Suku bangsa : Jawa (WNI)
Ruangan : Darul Muqomah
o Faktor memperberat :-
o Faktor memperingan : -
39
o Riwayat DM : diakui
o Riwayat DM : diakui
3.5 Kesan
frontalis kiri.
3.6 Diagnosis
BAB IV
PEMBAHASAN
Di dalam kasus ini didapatkan pasien dengan kondisi pasien yang mengeluh
perut sebah dan tidak enak. Setelah dilakukan alloanamnesa kepada sang pengantar,
dan pemeriksaan fisik, dan untuk mengetahui penanganan lebih lanjut perlu diketahui
fat line, psoas line dan kontur ginjal tak jelas, Tampak dilatasi dan distensi usus halus
dengan gambaran coil spring, Tak tampak gambaran udara pada colon dan rektum,
Tampak multiple air fluid level pendek ,Tampak gambaran free air.
42
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil CT Scan Brain, pasien dalam kasus ini didapatkan diagnosis Stroke
Non Hemoragic.
43
Daftar Pustaka
2. Saver JL. Proposal for a universal definition of cerebral infarction. Stroke. 14 August
2008: hlm. 3110-3115.
5. Netter FH, Machade CAG. Interactive atlas of human anatomy [Electronic Atlas].:
Saunders/Elsevier; 2003.
6. American Heart Association. Heart disease and stroke statistics - 2011 Update. Dallas:
American Heart Association. Report No.: ISSN 1524-4539.
7. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical neurology. Ed ke-6. New York: Lange
Medical Books/McGraw-Hill; 2005.
8. Haberland C. Clinical neuropathology: text and color atlas Editor: Percy C. New York:
Demos Medical Publishing; 2007.
10. Singhal AB, Lo EH, Dalkara T, Moskowitz MA. Ischemic stroke: basic pathophysiology
and neuroprotective strategies. Dalam: Editor: Gonzlez RG, Hirsch JA, Koroshetz WJ,
Lev MH, Schaefer PW. Acute ischemic stroke: imaging and intervention. Berlin:
Springer; 2006. hlm. 1-26.
11. Wang AM, Simonson TM, Yuh WTC. Cerebral infarction and ischemic Disease. Dalam:
Editor: Segakk HD. Neuroradiology: A Study Guide.: McGraw-Hill; 1995. hlm. 287-308.
12. Camargo ECS, Gonzlez G, Gonzlez RG, Lev MH. Imaging of acute ischemic stroke:
unenhanced computed tomography. Dalam: Editor: Gonzlez RG, Hirsch JA, Koroshetz
WJ, Lev MH, Schaefer PW. Acute ischemic stroke: imaging and intervention. Berlin:
Springer; 2006. hlm. 41-54.
13. Holmes EJ, Misra RR. A to z emergency radiology Editor: Misra RR. New York:
Cambridge University Press; 2004.
14. Jager HR. Diagnosis of stroke with advanced CT and MR imaging. British Medical
Bulletin. ; 2(56): hlm. 318-333.
44
15. Sen S. Magnetic resonance imaging in acute stroke. [Online].; 2011 [Dikutip] 17 10
2011. Sumber: HYPERLINK "http://emedicine.medscape.com/article/1155506"
http://emedicine.medscape.com/article/1155506 .
16. Vu D, Gonzlez RG, Schaefer PW. Imaging of acute ischemic stroke: conventional MRI
and MR angiography of stroke. Dalam: Editor: Gonzlez RG, Hirsch JA, Koroshetz WJ,
Lev MH, Schaefer PW. Acute ischemic stroke: imaging and intervention. Berlin:
Springer; 2006. hlm. 115-135.
17. Jallo GI, Benardete EA. Low-Grade Astrocytoma Workup. [Online].; 2010 [Dikutip] 21
Oktober 2011. Sumber: HYPERLINK "http://emedicine.medscape.com/article/1156429-
workup" http://emedicine.medscape.com/article/1156429-workup .