Anda di halaman 1dari 7

Asas Hak Menguasai Negara (hukum agraria)

00.57 By Wisnu Nur Bhaskoro Hukum 1 komentar

Asas Hak Menguasai Negara

A. Dasar hukum asas hak menguasai Negara

Hak menguasai tanah oleh negara bersumber dari kekuasaan yang melekat
pada negara, sebagaimana tercermin dalam ketentuan pasal 33 Undang-undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok
pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pernyataan tersebut
menjelaskan dua hal, yaitu bahwa secara konstitusional Negara memiliki
legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun
penguasaan tersebut harus dalam kerangka untuk kemakmuran rakyat.

Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh negara, terdapat
pada pasal 2 Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan bahwa bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat. asas ini sebenarnya memiliki semangat pengganti asas domein
verklaring yang berlaku pada masa colonial belanda, yang ternyata hanya
memberikan keuntungan pada pemerintahan colonial belanda pada masa
itu.1 Hak menguasai dari Negara memberi wewenang kepada Negara untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan tanah.

Hak-hak yang mengenai pengaturan peruntukan tersebut dijabarkan


dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam
bidang-bidang seperti :

1) Penatagunaan tanah

1 Triana Rejekiningsih, Hukum Agrarian Bagi Warganegara, Surakarta, 2011, hal. 37

2) Pengaturan Tata ruang

3) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang


dengan tanah.
Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum tersebut dijabarkan
dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam
bidang-bidang seperti :

1) Pembatasan jumlah bidang dan luas tanah yang boleh dikuasai (landreform)

2) Pengaturan hak pengelolaan tanah

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang


dan perbuatan-perbuatan hukum atas tanah

Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum dan perbuatan


hukum dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan
lainnya, dalam bidang-bidang seperti

1) Pendaftaran tanah, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah


secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya (Ps1 1yat 1 PP 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah)

2) Hak tanggungan

Berdasarkan UU no. 4 tahun 1996, hak tanggungan adalah hak jaminan


yang dibebankan pada hak atas tanah yang meliputi hak milik, hak guna usaha
dan hak guna bangunan. Hak tanggungan dapat digolongkan ke dalam
hubungan hukum antar orang dan perbuatan hukum atas tanah, karena pada
dasarnya hak tanggungan adalah merupakan ikutan (assesoris) dari suatu
perikatan pokok, seperti hubungan hutang piutang yang dijamin pelunasannya
dengan hak tanggungan tersebut.

Penguasaan tanah oleh negara dalam konteks di atas adalah penguasaan


yang otoritasnya menimbulkan tanggungjawab, yaitu untuk kemakmuran rakyat.
Di sisi lain, rakyat juga dapat memiliki hak atas tanah. Hak milik adalah hak
turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah
dengan mengingat fungsi sosial yang melekat pada kepemilikan tanah tersebut.
Dengan perkataan lain hubungan individu dengan tanah adalah hubungan
hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Sedangkan hubungan negara
dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab.

Dinamika pembangungan nasional, seringkali menuntut Negara untuk


melakukan penataan kembali atas tata ruang termasuk pemanfaatan tanah
sedemikian rupa yang meminta masyarakat untuk menyerahkan tanahnya
kepada Negara untuk dipergunakan bgai kepentingan umum. Pembangunan
prasarana jalan raya, kawasan industri, pertanian dan sebagainya adalah
beberapa di antara dasar legitimasi yang digunakan oleh negara dalam
pengambilalihan tanah masyarakat.

Turunan dari UUPA yang secara eksplisit dibunyikan pada Undang-undang


lainnya tentang Hak menguasai dari negara, antara lain tercantum pada :

a. UU no. 5 tahun 1967 tentang UU Pokok Kehutanan.


Pasal 5 ayat 2 UU Pokok Kehutanan redaksi dan konstruksinya persis
seperti pasal 2 ayat 2 UUPA, hanya saja tidak menggunakan UUPA sebagai salah
satu referensinya.

b. UU no. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Pertambangan pada


pasal 1 ayat 1 yang mengatur mengenai penguasaan bahan galian

c. UU no. 3 tahun 1972 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Transmigrasi

d. UU no. 11 tahun 1974 tentang Pengairan

e. UU no. 23 tahun 1997 tentang Penataan Lingkungan Hidup

f. UU no. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

g. UU no. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Prof. Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan negara ini


harus dibatasi dua hal: pertama, oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh
negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh
UUD 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan
kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang
yang melepas haknya harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan
yang adil atas pengorbanan tersebut. Kedua, pembatasan yang bersifat
substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan
tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan
kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena
menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan.
Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan
menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.

Dari uraian diatas, maka kita mdapat dengan mengetahui bahwa ada
unsur keadilan dalam sudut pandang Hobbes dengan adanya penguasaan oleh
negara. Menurut beliau, tidak ada keadilan alamiah yang lebih tinggi daripada
hukum positive. Jika dikaitkan lebih jauh dengan teori keadilannya Hobbes
dengan Hak menguasai negara terhadap pertambangan yang tercantum pada
pasal 33 tersebut, maka akan semakin jelas titik tautnya pada suatu konsep
belaiu Untuk tercapainya perdamaian dan ketertiban dalam masyarakat, orang-
orang harus menyerahkan kebanyakan hak-hak alamiahnya kepada suatu
kekuatan yang berdaulat dalam negara.2

B. Implementasi di masyarakat

Otoritas negara dalam penguasaan hak atas tanah bersumber dari


Undang-undang Dasar atau konstitusi Negara. Pengertian yang secara normatif
diakui dalam ilmu hukum adalah bahwa masyarakat secara sukarela
menyerahkan sebagian dari hak-hak kemerdekaannya untuk diatur oleh Negara
dan dikembalikan lagi kepada masyarakat untuk menjaga keteraturan,
perlindungan dan kemakmuran rakyat. Negara atau Pemerintah harus memiliki
sense of public service, sedangkan masyarakat harus memiliki the duty of public
obedience. Dalam keseimbangan yang demikian, maka tujuan penyerahan
sebagian hak-hak masyarakat kepada negara memperoleh legitimasi politik dan
legitimasi sosial.
2 Humambalya. 2011. Hak Menguasai Negara (yang menggila). Diakses
dari http://humambalya .wordpress.com/2011/02/12/hak-menguasai-negara-yang-
menggila/ pada11 Oktober 2011

Otoritas Negara, dalam hal ini Negara Republik Indonesia dalam


penguasaan hak atas tanah bersumber dari konstitusi, dimana dalam
pembukaan atau mukadimah undang-undang dasar dinyatakan bahwa salah
satu tugas Negara yang membentuk Pemerintah Republik Indonesia adalah
untuk memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa
Indonesia. Kemudian, dalam pasal 33 Undang-undang dasar 1945, ditegaskan
dan dideklarasikan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya adalah dikuasai oleh Negara. Pasal tersebut tidak mengikutkan
wilayah angkasa, namun berdasarkan konvensi dan hukum internasional wilayah
angkasa sampai batas ketinggian tertentu adalah juga termasuk dalam yurisdiksi
batas kedaulatan suatu negara.

Sebagai pemegang kekuasan, negara berwenang memberikan kuasa baik


kepada badan usaha maupun perorangan untuk melakukan
pengusahaan/pengelolaan atas bahan galian dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia. Misalnya dalam bentuk pembuatan kontrak karya
pertambangan yang memuat kedudukan seimbang antara negara selaku pemilik
bahan galian (prinsipal) dengan investor (kontraktor pertambangan). Oleh
karena itu, kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kota/kabupaten sebagai
wakil negara tidak sebatas dalam bentuk pemberian izin saja, melainkan juga
turut serta mengawasi semua bentuk pengusahaan pertambangan. Jika hal ini
tidak dapat berjalan dengan baik, pemerintah dapat diminta
pertanggungjawabannya dan harus bertanggung jawab.

Lemahnya pengawasan dari pemerintah khususnya dalam rangka


pelaksanaan otonomi daerah (Otda) sebagaimana diatur UU No 32 Tahun 2004,
selalu menarik untuk dilakukan kajian mengenai pengelolaan dan pemanfaatan
bahan galian tambang bagi kesejahteraan masyarakat daerah yang berimplikasi
kepada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Namun kenyataannya, hal ini
tidak dibarengi pemahaman oleh pemimpin daerah. Seperti adanya kesan
pemimpin daerah hanya kejar setor dalam mengeluarkan izin tanpa dibarengi
sistem pengawasan yang jelas. Pengawasan yang lemah itu terlihat dari
beberapa kasus. Misalnya, pemegang izin KP tidak pernah melaporkan secara
pasti produksi batu baranya. Hal ini berakibat pada pembayaran royalitas kepada
negara tidak terpantau. Juga adanya penambangan yang tidak sesuai praktik
pertambangan yang baik, seperti tingginya tingkat kerusakan lingkungan,
adanya izin KP yang tumpang tindih, digunakannya jalan negara sebagai
prasarana angkutan batu bara, maupun banyaknya izin KP dan PKP2B (Perjanjian
Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) yang masuk dalam kawasan hutan dan
hutan lindung. Di samping itu, lemahnya perlindungan terhadap tanah
perkebunan rakyat maupun perlindungan terhadap Hak Ulayat masyarakat adat,
pengelolaan, perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup dalam usaha
pertambangan. Juga tidak dimanfaatkannya pengembangan wilayah pada
masyarakat lokal di sekitar usaha pertambangan.3

1. Penguasaan Sumber Daya Alam Kaltim.


Kaltim sebagai contoh propinsi yang kaya kedua setelah papua dalam sumber daya alam, telah menerima akibat dari
kebijakaan penguasaan negara terhadap sumber daya alam. Ekspoitasi besar-besar hutan dengan UU No.5 Tahun 1967,
menjadikan kaltim jadi era banjir kap hutan. Sehingga dapat menopang perekonomian dinegeri ini. Hutan dibabat habis tanpa
batas, tanpa memperdulikan daya dukung lingkungan dan kerusakan ekosistem. Siapa yang diutungkan dan menikmati sumber
daya hutan yang begitu besar, bukan rakyat Kaltim, mereka tetap miskin, tergusur, dipinggirkan dari pengelolaan sumber daya
alamnya, yang jelas pemilik modal/swasta/investor yang bertindak atas nama negara. Kenapa? Mereka yang diuntungakan oleh
kebijakaan negara dalam hal ini penguasaan negara atas sumber daya alam, itu diberikan oleh swasta dalam pengelolaan.
Sumber daya alam seharusnya rana negara dalam pemanfaatan, namun diberikan pada rana privat.

Namun upaya eksploitasi akan sumber daya alam Kaltim belum selesai, setalah hutan kami habis, datang era baru
sekarang. Pertambangan batu bara, dengan sebutan era kap batubara. telah menjadi sektor andalan dalam perekonomian
negara ini sekarang. tanah, hutan, lahan semua untuk usaha pertambangan. Pada tahun 2009 ini, Kaltim sudah ada 33
Perjanjian Karya Penguasahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang ijin dikeluarkan Pemerintah Pusat dan 1.212 ijin KP yang
diterbitkan Pemerintah Daerah di Kaltim (Data: Dinas Pertambangan Propinsi Kaltim, Maret 2009).

3 Ambon. 2006. (zamanku) Memahami Hak Bangsa Dan Hak Menguasai Dari Negara. Diakses
darihttp://www.opensubscriber.com/message/zamanku@yahoogroups.com/5696073.html
pada 6 oktober 2011

Ada 3,12 hektar lahan dirubah menjadi konsesi tambang dengan perijinan kuasa pertambangan. Kebijakan daerah
yang benar-benar berbahaya bagi masa depan lingkungan. Obral ijin kuasa pertambangan saat ini telah menjadikan Kaltim era
banjir kap batubara. Ini bentuk keserakan dari pemerintah yang memandang kaltim sebagai tambang pembiayaan nasional,
tanpa melihat bencana ekologi generasi yang akan datang. Dalam kajian legal spirit desentralisasi dalam penguasaan negara
atas sumber daya alam pasca UU Berlakunya UU No.22 Tahun 1999 jo UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
telah menjadi pintu awal dimulainya suatu usaha untuk membangun daerahnya dengan memanfaatkan potensi daerah dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan. Pada hakekatnya otonomi daerah yang ingin dibangun merupakan upaya untuk
mendekatkan sistem pengelolaan sumber alam pada masyarakat di daerah, agar masyarakat yang bersangkutan dapat
merasakan manfaat ekonomi dari eskploitasi sumber daya alam yang didaerahnya. Demikian juga pengalaman dari
penguasaan sumber daya alam yang sentralistik di masa lalu, telah memberikan pelajaran berharga bagi pemerintah yang
lebih banyak berpihak pada pemilik modal yang besar dan investor-investor baik dari dalam maupun luar negeri dengan
menggunkan teknologi maju justru menimbulkan kerusakan dan kehancuran lingkungan yang tidak terkendali dan konflik.

Secara konseptual subtansansi perundang-undangan yang berkaitan dengan hubungan hukum penguasaan sumber
daya alam, ini tidak sesuai lagi dengan tujuan awalnya, hal ini karena ketentuan yang terdapat didalamnya telah memberikan
kekuasaaan yang sangat besar kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesutu yang berkaitan dengaan
sumber daya alam, sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh negara lambat alut menegasikan keberadaan masyarakat dan yang
ada kepentingan modal yang didahulu, bukan kepentingan rakyat atau masyarakat sekitar sumber daya alam. Kedepan dalam
penguasaan negara terhadap sumber daya alam, rakyat yang seharusnya dilibat, merasakan manfaatkan, sehingga istilah
kemakmuran yang ada Pasal 33 UUD dapat dirasakan masyarakat, khususnya yang kaya sumber daya alam seperti Kaltim. 4

4
Kompas, 2010. Hak menguasai Negara atas kaltim. Diaksas dari. http://hukum.
kompasiana.com/2010/07/08/hak-penguasaan-negara-atas-sda-di-kaltim/ pada 11
0ktober 2011

2. Hak menguasai Negara di bidang pertambangan

Pemaknaan hak menguasai negara dalam konteks hak atas tanah yang
pengaturannya dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum, dengan
makna hak menguasai negara atas bahan galian, harus benar-benar dibedakan.
Adanya pengaburan makna hak menguasai negara atas bahan galian selama ini,
secara sadar atau tidak, sesungguhnya telah mendorong pada kondisi
pemanfaatan bahan galian yang tidak efisien, karena lemahnya kendali
negara/pemerintah dalam hal pengelolaan bahan galian, yang diusahakan oleh
negara.

Alasan ini tidaklah berlebihan, contoh konkret dari persoalan lemahnya


kendali negara dalam konteks pertambangan adalah bagaimana kita (baca:
negara/pemerintah) kesulitan memperoleh pasokan gas alam, sebagai sumber
energi murah untuk kepentingan pembangkit listrik, sehingga untuk memperoleh
30% bagian, bagi kepentingan PLN saja, negara/pemerintah harus melalui
tahapan negosiasi yang panjang dengan mitra kerja kontrak karya, yang katanya
bahwa melalui kontrak karya kita diuntungkan karena kesetaraannya dalam
melakukan kerja sama. Sungguh suatu ironi, dalam hal negara ingin memperoleh
sumber energi yang murah saja harus setengah mengemis-ngemis, padahal
dalam ketentuan konstitusi negara dikatakan bahwa negara menguasai seluruh
kekayaan alam, tapi pada kenyataan, giliran saat Negara membutuhkan gas
demi kepentingan dan menyangkut hajat hidup orang banyak, ternyata tidak
mudah.

Kenyataan ini merupakan fakta, bahwa sesungguhnya kendali


negara/pemerintah sangat lemah dalam penguasaan dan pengelolaan bahwa
galian, dan ini merupakan bukti harus segera diakhirinya doktrin hak menguasai
negara hanya sebatas melakukan pengaturan semata. Lebih jauh, bahwa konsep
hak menguasai negara yang dimaknai negara hanya sebatas melakukan
pengaturan semata, merupakan konsep yang melanggar dan mengkhianati
maksud luhur ketentuan Pasal 33 ayat (3), dengan cara melakukan intrepretasi
sepotong-potong dan tidak utuh.

Pemahaman keliru atas pemaknaan yang telah berjalan puluhan tahun itu,
secara konkret berimplikasi pada tidak maksimalnya perolehan negara secara
ekonomis yang dapat diterima negara dan dinikmati rakyat. Ketidakutuhan
pemahaman hak menguasai negara, yaitu karena dilepaskan dari aspek
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari satu kalimat utuh
dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) dimaksud. Pendapat agak moderat akan
makna dari hak menguasai negara tetapi kolerasinya masih dalam koridor hak
menguasai negara bidang tanah, dikemukakan oleh Bagir Manan, yaitu:

Semestinya makna "hak menguasai oleh negara". Pertama; hak ini harus
dilihat sebagai anuresis dari asas domein (milik, mutlak) yang memberi
wewenang kepada negara melakukan tindakan kepemilikan yang bertentangan
dengan asas kepunyaan menurut adat istiadat, Hak kepunyaan didasarkan pada
asas komunal dan penguasa hanya sebagai pengatur belaka. Kedua; hak
menguasai negara tidak boleh dilepaskan dari tujuan, yaitu demi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Negara harus memberikan hak dulu kepada
rakyat yang telah secara nyata dengan iktikad baik memanfaatkan tanah. 5
5 http://www.indolawcenter.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=1515%3Ahak-menguasai-negara-di-bidang-
pertambangan-2&catid=174%3Ahukum-pertambangan&Itemid=237

Anda mungkin juga menyukai