Anda di halaman 1dari 51

1

Kasus 3

Kejang pada anak

Seorang anak laki- laki berusia 10 tahun datang ke UGD dibawa oleh ibunya
dengan keluhan utama kejang saat tidur dan menengadah ke atas. Ketika kejang,
matanya melenting ke atas, dan kejang kelojotan pada keempat anggota geraknya.
Kejang bersifat tonik klonik. Saat kejang, ia tidak sadar, mengompol, dan mulut
berbusa selama 1- 2 menit. Keluhan pertama kali muncul 2 minggu yang lalu. Ibu
mengatakan bahwa pada saat bayi anaknya mempunyai riwayat kejang demam
dan kakak pasien memiliki riwayat epilepsi. Ibunya menanyakan kepada dokter
apakah dampak yang akan dialami oleh anaknya akibat kejang tersebut? Ibu
memiliki obat anti kejang, apakah anaknya harus mendapatkan obat kejang terus
menerus?

STEP 1

1. Kejang adalah suatu kondisi medis ketika otot tubuh mengalami fluktuasi/
lonjakan/ gangguan kontraksi dan peregangan dengan cepat sehingga
menyebabkan gerakan yang tidak terkendali.

2. Epilepsi adalah Kumpulan gejala oleh bangkitnya berulang tanpa pemicu


yang tidak terdapat diduga sebelumnya, yang disebabkan oleh muatan
listrik yang berlebihan.

STEP 2

1. Apa penyebab anak mengalami kejang?

2. Bagaimana mekanisme terjadi kejang?

3. Mengapa kejang terjadi saat tidur dan tengadah keatas?


2

4. Mengapa kejang disertai dengan (tidak sadar, mengompol, mulut


berbusa)?

5. Bagaimana gambaran kejang tonik klonik?

6. Mengapa pasien dengan keluhan (pada kasus) termasuk ke dalam tonik


klonik?

7. Apa hubungannya riwayat kejang demam dan epilepsi kakaknya?

8. Apa dampak yang timbul akibat kejang?

9. Apa saja obat anti kejang?

10. Apakah anak tersebut harus terus menerus diberi obat kejang?

11. Bagaimana penanganan pasien tersebut oleh petugas medis?

STEP 3

1. Apa penyebab anak mengalami kejang?

Infeksi

-Trauma kepala

-Keracunan

-Infark Serebrum

-Idiopatik

-Faktor Genetik

-Gangguan metabolik

-Overdosis

-Suhu > 39oC

-Tumor otak
3

-Malformasi kongenital

2. Bagaimana mekanisme terjadinya kejang?

Akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi


neuron yang sangat mudah terpicu sehingga memegang fungsi normal
otak.

3. Mengapa kejang terjadi saat tidur dan posisi tengadah ke atas?

Anak Bangun tidur : Terjadi kejang + infeksi virus

Pagi- pagi : Terjadi kejang + infeksi virus

4. Mengapa demam disertai tidak sadar, mengompol, dan mulut berbusa?

Tonik klonik 2 Hemisfer Pengaturan tubuh tak beraturan karena


formatio reticularis karena otak terkena Kehilangan kesadaran

5. Bagaimana gambaran kejang tonik klonik?

Spasme tonik klonik

-Menggigit lidah

-Inkontinensia Urin

-Kekakuan otot (tonik) tonus

-Relaksasi otot (klonik)

Kejang:
4

1. Parsial

-P. Sederhana

-P. Kompleks

2. Generalisata

-Tonik klonik

-Absens

-Mioklonik

-Atonik

-Tonik

-Klonik

-Mioklonik

3. Idiopatik

4.

5. Mengapa pasien dengan keluhan pada kasus termasuk dalam kejang


toniklonik?

Tak sadar Generalisata

Kelojotan Tonik klonik

Mata keatas Merupakan gejala kejang generalisata tonik klonik

6. Apa hubungan riwayat kejang dengan epilepsi?

Kejang demam Menyebabkan epilepsi kelainan diotak (neurologis),


kelainan terjadi diotak (Non neuro), Kelainan genetik Penyebab
epilepsi
5

7. Apa saja dampak dari terjadinya kejang?

tingkat kesadaran, gangguan fungsi motorik, sensorik dan autonom

8. Apa saja macam-macam obat anti kejang?

Gol. Barbiturat

-Gol. Hidantoin

-Gol. Oksatolidinhoin

-Gol. Susinitida

-Gol. Karbamazepin

-Gol. Benzodiazepin

9. Apakah anak tersebut harus terus-menerus diberikan obat antikejang?

Hanya jika kejang kambuh

10. Bagaimana penanganan pasien tersebut oleh petugas medis?

Mengendurkan pakaian sekitar leher

-Memiringkan kepala

-Bersihkan muntahan/ lendir

-Jangan masukan apapun ke dalam mulut

-Anamnesis Pernah kejang/ tidak

Riwayat keluarga
6

-Pemeriksaan fisik

STEP 4

1. Apa penyebab anak mengalami kejang?

Pelepasan hantaran listrik yang abnormal

-Infeksi Meningitis, Ensefalitis

-Metabolik Hiponatremia, Hiperpatremia

-Kelainan bawaan korteks serebri

-Intrakranial Ensefalitis, Hipoksia (pada sakit kehamilan, makanan


dan trauma lahir)

-Trauma Perdarahan/ Subdural

-Ekstrakranial Gangguan metabolik

-Toksik Putus obat

Kelainan asam amino

2. Bagaimana mekanisme terjadinya kejang?

Lepas muatan paroksismal akibat keadaan patologi lesi otak


epileptogenik aktivitas listrik pada neuron merangsang neuron
lainnya

-Mengakibatkan:

3. Inhalasi GABA

4. Eksitasi sinaptik melalui eksitasi yang berulang


7

1. membran potensial gangguan otak potensial membran AcH


banyak dan tertimbun di otak Kejang

Potensial membran bergantung pada:

1. -Cl, Na

2. -Dalam sel terdapat konsentrasi rendah ekstrasel

3. Mengapa kejang terjadi saat tidur dan posisi tengadah ke atas?

Berhubungan dengan virus

-Parsial:

1. Parsial sederhana

-Bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral)

-Bersifat sensorik (merasakan)

-Autonom (takikardi, bradikardi, tarkipneu)

-Psikis (disfalgia, gangguan daya ingat)

-Kompleks: Yang dimulai sebagai P. Sederhana

2. Mengapa demam disertai tidak sadar, mengompol, dan mulut berbusa?

Tonik klonik 2 Hemisfer Pengaturan tubuh tak beraturan karena


formatio reticularis karena otak terkena Kehilangan kesadaran

3. Bagaimana gambaran kejang tonik klonik?

Spasme tonik klonik

-Menggigit lidah

-Inkontinensia Urin
8

-Kekakuan otot (tonik) tonus

-Relaksasi otot (klonik)

Kejang:

4. Parsial

-P. Sederhana

-P. Kompleks

5. Generalisata

-Tonik klonik

-Absens

-Mioklonik

-Atonik

-Tonik

-Klonik

-Mioklonik

6. Idiopatik
9

Gambar 5.1 : Kejang tonik klonik

7. Mengapa pasien dengan keluhan pada kasus termasuk dalam kejang


toniklonik?

Tak sadar Generalisata

Kelojotan Tonik klonik

Mata keatas Merupakan gejala kejang generalisata tonik klonik

8. Apa hubungan riwayat kejang dengan epilepsi?

Kejang demam Menyebabkan epilepsi kelainan diotak (neurologis),


kelainan terjadi diotak (Non neuro), Kelainan genetik Penyebab
epilepsi

9. Apa saja dampak dari terjadinya kejang?

tingkat kesadaran, gangguan fungsi motorik, sensorik dan autonom


10

9. Apa saja macam-macam obat anti kejang?

Gol. Barbiturat

-Gol. Hidantoin

-Gol. Oksatolidinhoin

-Gol. Susinitida

-Gol. Karbamazepin

-Gol. Benzodiazepin

10. Apakah anak tersebut harus terus-menerus diberikan obat antikejang?

Hanya jika kejang kambuh

11. Bagaimana penanganan pasien tersebut oleh petugas medis?

Mengendurkan pakaian sekitar leher

-Memiringkan kepala

-Bersihkan muntahan/ lendir

-Jangan masukan apapun ke dalam mulut

-Anamnesis Pernah kejang/ tidak

Riwayat keluarga
11

-Pemeriksaan fisik

STEP 5

1. Apa saja type, Penyebab & mekanisme, penatalaksanaan Dari kejang?

STEP 6

Belajar mandiri

STEP 7

1. Apa saja type, Penyebab & mekanisme, penatalaksanaan Dari kejang?

ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI

Kejang adalah lepasnya aktivitas listrik abnormal dan berlebihan dan


jaringan neuroglia. Berbagai gangguan fungsi otak atau homeostasis dapat
menyebabkan kejang. Epilepsi didefinisikan sebagai kejang berulang tanpa
provokasi. Kejang epileptic umumnya diklasifikasikan menjadi beberapa tipe
berdasarkan mekanisme listrik yang muncul dari satu daerah di korteks (fokal,
parsial, atau localization-releated) dan kejang yang muncul dari kedua hemisfer
secara serentak (umum). Sindrom epilepsi adalah kumpulan klinis dengan usia
awitan, pola klinis serangan, abnormalitas EEG yang khas, perjalanan alamiah,
dan prognosis yang khas. (Nelson: 2009)

PATOFISIOLOGI
12

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari


sebuah fokus kejang atau dan jaringa n normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks
serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum
dan batang otak umumnya tidak memicu kejang (Price & Wilson, 2013).

Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena


biokimiawi, termasuk yang berikut:

1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami


pengaktifan

2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan


menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan

3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang


waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA)

4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau


elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah


kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
rneningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan
setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas
kejang (Price & Wilson, 2013).
13

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan
fokal pada mebolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus
kejang tampaknya sangat peka hadap asetilkolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin
(Price & Wilson, 2013).

JENIS KEJANG

Masing-masing sentra klinis untuk epilepsi yang besar menggunakan klasifikasi


yang paling sesuai dengan tujuan mereka.
14

Gambar 1.1 Klasifikasi kejang (Price & Wilson, 2013).

Kejang diklasifikasikan sebagai parsial dan generalisata berdasarkan


apakah kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut
sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana
(kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang)
(Price & Wilson, 2013).

1. Kejang parsial
15

Kejang ini dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum.


Gejala kejang ini bergantung pada lokasi fokus di otak. Sebagai contoh, apabila
fokus terletak di korteks motorik, maka gejala utarna mungkin adalah kedutan
otot; sementara, apabila fokus terletak di korteks sensorik, maka pasien
mengalami gejala-gejala sensorik termasuk baal, sensasi sepenti ada yang
merayap, atau seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa
gerakan klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa representasi motorik.
Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat, dan muntah.
Gangguan daya ingat, disfagia, dan dj vu adalah contoh gejala psikis pada
kejang parsial. Kita harus mengarnati dengan cermat di mana kejang dimulai,
karena hal ini dapat memberi petunjuk tentang lokasi lesi. Sebagian pasien
mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral disertai hilangnya
kesadaran (Price & Wilson, 2013).

Kejang parsial atau fokal menduduki 40% sampai 60% epilepsi pada anak.
Lesi fokal pada otak (tumor, infark, disgenesis) dapat menyebabkan kejang
parsial, namun sebagian besar kejang parsial pada anak disebabkan pengaruh
genetic. Kejang umum tonik klonik umum primer dari kejang parsial menjadi
umum, kedua jenis kejang ini penting dibedakan. Sebagian besar anak dengan
epilepsi umum primer atau awitan parsial memiliki dasar genetik untuk
kejangnya, perlu dipikirkan adanya lesi pada otak, terlebih apabila ditemukan
tanda-tanda fokal secara klinis maupun elektrografik. Adanya, aura menunjukan
serangan memiliki awitan fokal. Anak kecil seringkali tidak menyadari adanya
aura atau awitan fokal kejang, dan pengasuh seringkali hanya menyaksikan bagian
umum dari serangan.

Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dahulu dikenal


sebagai kejang psikomotor atau lobus temporalis) sering berasal dan lobus
temporalis medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi
serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta perilaku motorik
yang kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau
rangsangan lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang
terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatik (automatic behavior).
16

Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda, bertepuk
tangan, mengecap-ngecap bibir, atau mengunyah berulang-ulang. Pasien mungkin
mengalami perasaan khayali berkabut seperti mimpi. Pasien tetap sadar selama
serangan tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi. Kejang parsial
kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata (Price & Wilson, 2013).

2. Kejang generalisata

melibatkan seluruh konteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan


awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer
tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar
dan tidak rnengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini
biasanya rnuncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. Terdapat beberapa
tipe kejang generalisata (Price & Wilson, 2013).

1. Kejang absence

dahulu disebut petit mat ditandai dengan hilangnya kesadaran


secara singkat, jarang berlangsung lebih dan beberapa detik. Sebagai
contoh, mungkin pasien tiba-tiba menghentikan pembicaraan, menatap
kosong, atau berkedip-kedip dengan cepat. Pasien mungkin mengalami
satu atau dua kali kejang sebulan atau beberapa kali sehari. Kejang
absence hampir selalu terjadi pada anak; awitan jarang dijumpai
setelab usia 20 tahun. Serangan-serangan ini mungkin menghilang
setelah pubertas atau diganti oleh kejang tipe lain, terutama kejang
tonik-klonik (Price & Wilson, 2013).

Sekitar 6% sampai 20% anak dengan epilepsy mengalami kejang


umum absens yang khas. Pada kembarmonozigotik terdapat kesesuaian
75%, yang merupakan petunjuk adanya etiologi genetic. Sekitar 40%
sampai 50% anak dengan kejang absens juga mengalami kejang
konvulsif tonik-klonik umum yang terkait; 60% terjadi sebelum dan
40% terjadi sesudah awitan kejang absens.
17

2. Kejang tonik-kionik

dahulu disebut grand mal adalah kejang epilepsi yang klasik.


Kejang tonik-klonik diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat.
Pasien mungkin bersuara menangis, akibat ekspirasi paksa yang
disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi
berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian klonik, dan
inkontinensia urin atau alvi (atau keduanya), disertai disfungsi
autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh
mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik
memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian
berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan
menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi
kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit; hal ini terjadi pada
sekitar separuh pasien (spasme rahang dan lidah). Keseluruhan kejang
berlangsung 3 sampai 5 menit dan dilkuti oleh periode tidak sadar
yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai selama 30 menit.
Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan, agak stupor, atau
bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus. Umumnya
pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya (Price & Wilson,
2013).

Efek fisiologik kejang tonik-klonik bergantung pada lama kejang


berlangsung. Kejang tonik-klonik yang berkepanjangan menyebabkan
efek neurologik dan kardiorespirasi yang berat. Efek dini disebabkan
oleh meningkatnya katekolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang
berlanjut lebih dari 15 menit, maka terjadi deplesi katekolamin yang
menyebabkan timbulnya efek sekunder atau lambat. Kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit dapat menyebabkan henti jantung dan
napas (Price & Wilson, 2013).

Kejang mioklonik, tonik, atonik, dan absens atipik menduduki


10% sampai 15% epilepsi pada anak. Jenis-jenis kejang ini seringkali
berkaitan dengan penyakit structural pada otak yang mendasari dan
18

sulit diobati dan diklasifikasikan. Seringkali didapatkan kombinasi


beberapa tipe kejang dalam kelompok ini dengan kejang tonik-klonik
umum. Puncak kejadian kejang absens mioklonik adalah pada tahun
pertama kehidupan. Status epileptikus dapat menjadi manifestasi iktal
pertama pada pasien dengan ciri-ciri mioklonik.

Gambar 1.2 Efek Fisiologik Kejang (Price & Wilson, 2013).

3. Kejang demam

Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini
secara spontan sembuh tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini
merupakan gangguan kejang yang paling lazim pada masa anak,
dengan prognosis yang sangat baik secara seragam. Namun, kejang
demam dapat menandakan penyakit infeksi akut serius yang mendasari
seperti sepsis atau meningitis bakteria sehingga setiap anak harus
diperiksa secara cepat diamati mengenai penyebab demam yang
menyertai. Kejang demam adalah tergantung umur dan jarang sebelum
umur 9 bulan dan sesudah umur 5 tahun. Puncak umur mulainya
adalah sekitar 14-18 bulan, dan insidennya mendekati 3-4% anak kecil.
Ada riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung
dan orang tua, menunjukkan kecenderungan genetik. Penelitian
19

binatang menunjukkan bahwa fasopresin arginin dapat merupakan


mediator penting pada patogenesis kejang akibat hipertermia.

Mekanisme klinik

Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan


biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39C atau lebih.
Kejang khas menyeluruh, tonik klonik lama beberapa detik sampai 10
menit, diikuti dengan periode ngantuk singkat pasca kejang. Kejang
demam yg menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab
organik seperti proses infeksi atau toksik yang memerlukan
pengamatan menyeluruh. Ketika demam tidak lagi ada pada saat anak
sampai di RS, tanggung jawab dokter yang paling penting adalah
menentukan penyebab demam dan mengasmpingkan meningitis. Jika
ada keragu-raguan berkenaan dengan meningitis, fungsi lumabal
pemeriksaan serebro spinal terindikasi. Infeksi virus saluran atas,
proseola, dan otitis media akut adalah penyebab kejang demam.

EEG tidak diperlukan pasca kejang demam sederhana karena


rekamannya akan membuktikan bentuk non epileptik atau normal dan
temuan tersebut tidak akan mengubah manajemen. EEG terindikasi
untuk kejang demam atipik atau pada anak yang beresiko untuk
berkembang epilepsi. Kejang demam atipik meliputi kejang yang
menentap selama 15 menit, kejang berulng selama beberapa jam atau
hari, dan kejang setempat. Sekitar 50% anak menderita kejang demam
berulang dan sebagian kecil menderita kejang berulang berkali-kali.
Faktor resiko untuk perkembangan epilepsi sebaga komplikasi kejang
demam adalah riwayat epilepsi positif, kejang demam awal sebelum
umur 9 bulan, kejang demam lama atau atipik, tanda perkembangan
yang terlambat, dan pemeriksaaan neurologi abnormal. Insiden
epilepsi adalah sekitar 9% bila beberapa faktor resiko ada diabnding
dengan insiden 1% pada anak yang menderita kejang demam dan tidak
ada faktor resiko.
20

Terapi

Pengelolaan rutin bayi normal yang menderita kejang demam


sederhana meliputi pencarian yang teliti penyebab demam, cara cara
aktif untuk mengendalikan demam termasuk penggunaan anti piretik
dan penanganan orang tua profilaksis anti konfulsan jangka pendek
tidak terindikasi. Profilaksis anti konfulsan yang lama untuk mencegah
kejang demam berulang adalah dalam berdebatan dan tidak dianjurkan.
Anti epilepsi seperti fenitoin dan karbamazepin tidak mempunyai
pengaruh pada demam kejang. Venobarbital tidak efektif dalam
pencegahan kejang demam berulang dan dapat menurunkan fungsi
kognitif pada anak yang diobati dibanding dengan anak yang tidak
diobati. Natrium falproat efektif pada pengelolaan kejang demam,
tetapi kemungkinan resiko obat tidak membenarkan penggunaanya
pada penyakit dengan prognosis yang sangat baik tanpa pengobatan.
Diazepam oral dianjurkan sebagai metode yang efektif dan aman untuk
mngurangi resiko kejang demam berulang. Pada mulanya setiap mullai
sakit demam diazepam, 0,3 mg /kg/8jam per oral (1mg/kg/24 jam),
diberikan untuk selama sakit (biasanya 2-3 hari ). Efek samping
biasanya ringan,tetapi gejala kelesuan,iritabilitas, dan ataksia dapat
dikurangi dengan menyesuaikan dosis.

GEJALA KLINIS KEJANG (BERDASARKAN JENIS KEJANG)

Kejang Parsial

Kejang parsial sederhana berasal dari focus anatomi yang spesifik.


Gejala klinis meliputi kelainan motoric, sensorik, psikis, atau
autonomic, namun kesadaran tetap terjaga. Lokasi dan arah
penyebaran focus kejang menentukan gejala klinis. Kejang parsial
kompleks memiliki sifat yang mirip, namun disertai gangguan
kesadaran. Kejang parsial yang menyebar hingga melibatkan seluruh
otak dan menghasilkan kejang tonik-klonik umum menunjukan
21

penyebaran umum sekunder (kejang jacksonian). Kejang parsial yang


manifestasinya hanya berupa gejala psikis atau autonomic dapat sulit
dikenali. Kejang unkus yang berasal dari lobus temporalis medial
bermanifestasi sebagai halusinasi olfaktorik berupa bau yang sangat
tidak enak (karet terbakar). Kejang gelastik yang berasal dari tumor
hipotalamus merupakan serangan tertawa yang tidak terkontrol.
Kejang mengecap-ngecap bibir berasal dari lobus temporalis anterior,
sedangkan episode makropsia, mikropsia, perubahan persepsi
kedalaman, dan vertigo berasal dari lobus temporalis posterior. Focus
pada lobus temporalis limbic menghasilkan serangan seperti bermimpi
(dj vu dan kelainan psikis yang ganjil). Fenomena autonomic
episodic, misalnya demam, takikardia, menggigil, dan peningkatan
motilitas gastrointestinal, dapat merupakan kejang lobus temporalis
yang jarang ditemui.

Kejang Umum

Kejang Umum Tonik, Klonik, dan Tonik-Klonik (Kejang Umum


Motorik Mayor)

Kejang tonik, klonik, dan tonik-klonik dapat terjadi secara tersendiri


atau berkaitan dengan tipe kejang lain. Biasanya serangan dimulai
secara mendadak, namun terkadang didahului beberapa sentakan (jerk)
mioklonik. Selama berlangsungnya kejang tonik-klonik, pasien
kehilangan kesadaran dan control postur, diikuti kekakuan tonik dan
deviasi mata k atas. Keluarnya secret, dilatasi pupil, diaphoresis,
hipertensi, dan piloereksi (berdirinya rambut) biasa ditemukan.
Sentakan-sentakan klonik mengikuti fase tonik, kemudian anak akan
mengalami fase tonik singkat kembali. Sesudahnya, anak tetap dalam
keadaan flaksid dan dapat terjadi inkontinensia utin. Saat anak
terbangun, sering didapatkan iritabilitas dan sakit kepala. Selama
serangan, EEG menunjukan letupan sinkron repetitive aktivitas
gelombang paku diikuti aktivitas paroksismal periodic. Aktivitas tonik-
klonik umum yang berlangsung lebih dari 20 menit, atau kejang
22

berulang dalam 30 menit atau lebih tanpa pulihnya kesadaran, disebut


status epileptikus dan dapat menyebabkan kerusakan otak menetap.

Kejang Absans

Serangan bengong dapat merupakan absans umum primer (petit mal)


atau kejang parsial kompleks (epilepsy lobus temporalis). Ciri khas
klinis kejang absans adalah hilangnya ketanggapan terhadap
lingkungan sekitar disertai mata berkedip-kedip atau atomatisme
sederhana, misalnya kepala mengangguk-ngangguk dan bibir
mengecap. Kejang biasnya mulai timbul pada usia 4 sampai 6 tahun
.pemeriksaan neurologis dan pencitraan otak normal. Pada EEG yang
khas terdiri atas aktivitas paku-ombak 3-Hz yang sinkron. Kejang
klinis dapat diprovokasi oleh hiperventilasi atau stimulasi dengan
lampu strobo. Epilepsy absans dapat sulit dibedakan dari kejang
bengong parsial kompleks. Kedua tipe kejang ditandai terhentinya
aktivitas, bengong, dan perubahan kesadaran dan dapat disertai
automatisme. Automatisme pada kejang parsial kompleks biasanya
lebih rumit dan dapat berupa gerakan menelan yang repetatif, tangan
mencabik-cabik, atau berjalan berputar0putar tanpa tujuan. Kejang
parsial kompleks sering diikuti kebingungan pascakejang; hal ini tidak
terjadi pada absans. Kejang absans diprovokasi oleh hiperventilasi dan
biasanya berlangsung beberapa detik; kejang parsial kompleks terjadi
secara spontan dan biasanya berlangsung selama beberapa menit.
Anak dapat mengalami belasan episode absans dalam sehari; kejang
parsial kompleks jarang terjadi lebih dari satu atau dua kali sehari.
Kedua jenis kejang ini penting untuk dibedakan karena memiliki
pilihan terapi antokonvulsan yang berbeda.
23

Kejang Mioklonik, Tonik, Atonik, dan Absans Atipik

Kejang absans atipik bermanifestasi sebagai episode terganggunya


kesadaran dengan automatisme, fenomena autonomic, dan manifestasi
motoric, misalnya membuka mata, deviasi mata, dan kekakuan tubuh.
EEG menunjukan aktivitas paku ombak lambat 2 sampai 3 Hz.
Mioklonus adalah sentakan mendadak seluruh atau sebagian tubuh;
tidak semua mioklonus bersifat epileptic. Mioklonus nonepileptik
dapat berasal dari ganglia basalis, batang otak, atau medulla spinalis.
Sifatnya dapat nerupa benigna, seperti pada mioklonus tidur (sleep
myoclonus), atau menunjukan adanya penyakit serius. Epilepsy
mioklonik biasanya berkaitan dengan lebih dari satu tipe kejang.
Penyakit yang mendasari epilepsy mioklonik dapat bersifat
developmental dan statis atau progresif dan berhubungan dengan
perburukan neurologis (neuronal ceroid lipofuscinosis). Yang
dimaksud dengan absans mioklonik adalah sentakan tubuh yang sering
menyertai kejang absans dan kejang absans atipik.

SINDROM EPILEPSI

Epilepsy fokal benigna, juga dikenal sebagai epilepsy Rolandik,


biasanya dimulai pada usia antara 5 sampai 10 tahun. Insidensinya 21
kasus per 100.000, yaitu 16% dari semua kejang tanpa demam pada
anak dibawah usia 15 tahun. Kejang yang terjadi biasanya berupa
kejang motoric fokal yang melibatkan wajah dan lengan dan, pada
lebih dari setengah jumlah pasien, cenderung terjadi hanya saat tidur
atau terbangun. Gejala biasanya meliputi gerakan atau sensasi
abnormal di sekitar wajah dan mulut disertai mengiler dan suara
merongok yang ritmik. Bicara dan menelan terganggu. Riwayat kejang
yang sama dalam keluarga ditemukan pada 13% pasien. Gangguan ini
disebut benigna karena kejang biasanya segera menunjukan respons
terhadap terapi antikonvulsan; luaran intelektual dan pencitraan otak
normal, dan epilepsy mengalami resolusi setelah pubertas. Terapi obat
antiepileptic yang diberikan setiap hari mungkin tidak diperlukan.
24

Kejang neonates benigna (benign neonatal convulsions) adalah


suatu kelainan dominan autosom yang terlokalisasai pada kromosom
20. Kejang klonik umum terjadi menjelang akhir minggu pertama
kehidupan (3-day fits atau familial 5-day fits). Respons terhadap terapi
bervariasi, namun secara umum memiliki prognosis yang baik.

Epilepsi mioklonik juvenile (juvenile myoclonic epilepsy [dari


Janz]) terjadi pada remaja dan merupakan gangguan dominan
autosom yang terlokalisasi pada kromosom 6 dengan penetrasi
variable. Pasien dapat mengalami kejang absens, tonik-klonik umum,
dan mioklonik. Ciri utamanya adalah mioklonus pada pagi hari,
terutama terjadi dalam 90 menit setelah bangun tidur. Kejang biasanya
segera hilang dengan terapi asam valproate, namun teapi harus
dipertahankan seumur hidpu.

Spasme infantile (sindrom West) adalah kontraksi singkat otot-otot


leher, tubuh, dan lengan, diikuti fase kontrasi panjang yang bertahan 2
sampai 10 detik. Fase awal terdiri atas berbagai kombinasi fleksi dan
ekstensi yang sedemikian sehingga kepala dapat terlempar ke belakang
atau ke depan. Lengan dan tungkai dapat fleksi atau ekstensi. Spasme
paling sering terjadi saat anak terbangun dari tidur atau akan tertidur.
Setiap sentakan diikuti periode relaksasi singkat, berulang beberapa
kali dalam kelompok-kelompol yang lamanya tidak dapat diperkirakan
dan bervariasi. Dalam sehari, dapat terjadi banyak cluster. Gambaran
EEG pada keadaan sadar, hipsaritmia, menunjukan kelainan dramatis,
terdiri atas gelombang lambat bervoltase tinggi, gelombang paku, dan
paku-majemuk disertai gelombang irama dasar yang tidak teratur.
Puncak usia awitan adalah 3 sampai 8 bulan; 86% bayi mengalami
awitan kejang sebelum usia 1 tahun. Bila terdapat fleksi paha dan
tangis yang menonjol, sindrom ini dapat disangka sebagai kolik.
Spasme infertile memiliki prognosis buruk. Etiologi tidak dapat
ditentukan pada 40% anak. Kelompok idiopatik atau kriptogenik ini
menunjukan respons terhadap terapi yang lebih baik dibandingkan
25

kelompok dengan etiologi yang jelas; 40% memiliki luaran intelektual


yang baik. Etiologi dapat ditentukan pada 60% kelompok.
Simptomatik ini menunjukan respon kurang baik terhadap terapi
antikonvulsan dan memliki prognosis intelektual yang buruk.
Tuberosklerosis merupakan penyebab tersering yang dapat dikenali.
Pilihan terapi spasme infantile meliputi hormone adrenokortikotropik
(ACTH), kortikosteroid oral, benzodiazepine, asam valproate dan
vigabatrin.
26

Table 2.1 Etiologi Spasme Infantil (Sindrom


West)

Sindrom 1. Penyakit metabolic Lennox-


Gastaut adalah
1. Fenilketonuria
sinrom epilepsy
dengan usia 2. Defisiensi biotinidase awitan
bervariasi. Sebgaian
3. Maple syrup urin disease
besar anak dating
sebelum usia 4. Isovalerikasidemia 5 tahun.
Tipe kejang multiple,
5. Akumulasi ornitin
termasuk
diantaranya 6. Hiperglikemia nonketotik atonik-
astatik, parsial,
7. Malformasi perkembangan otak
absans atipik,
dan tonik, 1. Polimikrogiria klonik,
atau tonik- klonik
2. Lissenfall
umum, menandai
kelainan ini. 3. Sklzencefali Pada
banyak anak dijumai
4. Sindrom Aicardi
kerusakan atau
malformasi 5. Sindrom nervus organoid otak yang
mendasari. Kejang
6. Sindrom neurokutan
pada tipe ini biasanya
menunjukan 7. Infeksi kongenital respons
buruk 1. Toxoplasmosis terhadap
terapi, namun
beberapa 2. Sifilis pasien
menunjukan 3. Ensefalopati respons
yang baik terhadap
asam 1. Pasca asfiksia valporat.

2. Pasca trauma

3. Pasca infeksi
27

Kejang astatic-akinetik atau atonik memiliki awitan pada usia 1


sampai 3 tahun. Kejang berlangung selama 1 sampai 4 detik dan
ditandai dengan hilangnya tonus tubuh, dengan jatuh ke tanah,
jatuhnya kepala, atau jatuh ke depan atau belakang. Biasanya terdapat
komponen tonik. Kejang sering menyebabkan cedera kepala berulang
apabila anak tidak dilindungi helm olahraga. Serangan paling sering
terjadi saat bangun dan akan tertidur; frekuensi kejang 50 kali atau
lebih dalam sehari biasa ditemukan. Anak dengan kejang astatic-
akinetik biasanya mengalami keterlambatan perkembangan dan
memiliki kelainan otak yang mendasari. Tuberculosis merupakan salah
satu penyebab yang sering ditemui.

Afasia epileptic didapat (sindrom Landau-Kleffner) ditandai


kehilangan secara mendadak kemampuan bahasa yang sudah dikuasai
sebelumnya pada anak kevil. Disabilitas bahasa yang terjadi adalah
defisit korteks auditorik. Beberapa pasien berkembang menjadi
epilepsy parsial dan umum. EEG saat tidur sangat epileptiform, daerah
dengan abnormalitas terberat seringkali ada pada region peri-sylvian
yang dominan (area bahasa). Belum jelas apakah disabilitas bahasa
disebabkan kejang lobus temporalis yang sering atau apakah disabilitas
bahasa dan hilangnya kemampuan bahasa yang disebabkan penyakit
yang belum diketahui, mungkin penyakit inflamasi lobus temporalis.

Ensefalitis Rasmussen adalah inflamasi fokal kronik progresif pada


otak dan tidak diketahui penyebabnya. Beberapa teori meliputi adanya
penyebab autoimun dan ensefalitis virus fokal. Usia awitan biasanya
antara 6 sampai 10 tahun. Penyakit ini dimulai dengan aktivitas kejang
motoric fokal persisten, termasuk epilepsia parsialis kontinua. Dalam
beberapa bulan, anak mengalami hemiplegia dan deteriorasi kognitif,
EEG menunjukan gelombang paku ombak (spike and slow wave)
fokal. Pencitraan otak mula-mula normal, kemudian menunjukan atrofi
didaerah yang terkena. Hemisferektomi merupakan satu-satunya terapi
yang berhasil dalam hal eradikasi kejang dan pencegahan deterorasi
28

kognitif, namun hemiparesis permanen adalah konsekuensi yang tidak


dapat dihindari

PENYEBAB KEJANG

1. Cedera kepala

tetap merupakan penyebab tersering kejang didapat. Insidensi


bervariasi bergantung pada tipe dan keparahan cedera awal. Apapun
mekanismenya, penetrasi dura merupakan faktor risiko yang signifikan
untuk timbulnya kejang. Dalam kaitannya dengan patofisiologi kejang,
terdapat dua faktor penting yang berperan. Cedera primer terjadi akibat
gaya mekanis yang merobek prosesus dendritik, kapiler, dan
mengganggu lingkungan ekstrasel. Cedera sekunder ditimbulkan oleh
edema serebrum. Penimbunan produk metabolik toksik dan iskemia
akibat hipotensi, hipoksia, dan hiperkarbia ikut berperan menimbulkan
edema serebrurn. Mekanisme patofisiologik timbulnya kejang setelah
trauma kepala adalalah iskemia akibat terganggunya aliran darah, efek
mekanis dari jaringan parut, destruksi kontrol inhibitorik dendrit,
gangguan sawar darah-otak, dan perubahan dalam sistem penyangga
ion ekstrasel (Price & Wilson, 2013).

2. infeksi susunan saraf pusat (SSP)

infeksi susunan saraf pusat yang disebabkan oleh bakteri, virus,


atau parasit. Perlu dicatat bahwa kejang biasanya merupakan gejala
29

klinis pertama pada abses serebrum. Infeksi merupakan penyebab


sekitar 3% kasus epilepsi didapat (Price & Wilson, 2013).

menigitis bakterial akut

meningitis bakterial akut akan selalu bersifat purulenta. nakteri yang


dapat membangkitkan meningitis akut banyak sekali. tetapi pada
umumnya dapat dipakai sebagai pegangan klinis daftar etiologi di
bawah ini.

pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari


septikema. pada meningitis meningokokus, prodrolmal ialah infeksi
nasofaring, oleh karenanya invasi dan multiplikasi meningokokus
terjadi di nasofaring. baik meningokokus, maupun hemofilus infulenza
dan pneumokokus dapat terjadi kausa dari otitis media. meningitis
prululenta dapat menjadi komplikasi dari otitis media akibat infeksi
kuman kuman tersebut.

tanda patognomonik yang memberikan pengerahan kepada jenis


bakteri yang bersangkutan dapat ditemukan dalam bentuk :

a. peteki dan purpura dalaha khas untuk infeksi meningokokus

b. eksantema adalah indikatif unutk pnemokokus dan H. influenz

c. artritis dan atralgia sering mengiringi infeksi meningokokus dan H.


influenza

d. ototis media yang hilang timbul dengan banyak mengerluarkan


eksudat menunjuk pada infeksi pneumokokus

e. humoragi pada kulit yang cepat timbul dan berkombinasi dengan


keadaan shock adalah indikatif untuk septikemia meningokokus.

tanda lokalisatorik yang khas untuk meningitis puruloenta ialah kaku


kuduk dan likuor yang memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut

a. pleiositosis polinuklearis yang berjumlah lebih dari 1000 per mm


30

kubik

b. kadar glukosa yang rendah

e. protein dalam likuor meningi

d. preparat dan biakan likuar memperlihatkan bakteri.

3. Kelainan metabolik

sebagai kelainan yang mendasari kejang, mencakup


hiponatremia, hipernatremi hipoglikemia, keadaan hiperosmolar,
hipokalsemi hipomagnesemia, hipoksia, dan uremia. Gejala neurologik
perubahan kadar natrium serum terjadi akibat peningkatan atau
penurunan volume intrasel neuron dan berkaitan dengan kadar absolut
kurang dari 125 mEq/L atau lebih dan 150 mEq/L tetapi, yang lebih
penting, berkorelasi dengan kecepatan terjadinya perubahan tersebut.
Kemajuan dalam bidang resusitasi jantung-paru (RJP) ikut memberi
kontribusi dalam meningkatkan insidensi kesintasan pasien yang
mengalami hipoksia serebrum dan sekuelenya, ensefalopati anoksik,
sehingga kelainan ini semakin sering menyebabkan gangguan kejang
didapat (Price & Wilson, 2013).

Gejala klinis neurologik perubahan kadar natrium serum terjadi akibat


peningkatan/penurunan volume cairan intrasel neuron dan berkaitan
dengan kadar absolut kurang dari 125 mEq/L atau qlebih dari 150
mEq/L tetapi, yang lrbih penting betkorelasi dengan kecepatan
terjadinya perubahan.

Hipoglikemia

Disebabkan autoantibodi pengikat insulin akibatnya, insulin akan


dilepaskan dengan beberapa keterlambatan dari ikatan antibodi. Pada
kelainan genetik pemecahan asam amino, konsentrasi amino didalam
darah akan meningkat secara bermakna dan pelepasan insulin yang
31

dirangsang oleh asam amino kemudian menjadi terlalu tinggi untuk


konseantrasi glukosa tertentu. Sehingga terjadi hipoglikemia pada
gagal hati, penurunan asam amino dapat menyebabkan hipoglikemi.

Hipoglikemia dapat menyebabkan kejang dikarenakan adanya


gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na- K.
Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan
terjadi hipoksemia.Perubahan permeabilitas membrane sel syaraf ,
misalnya hipokalsemia dan hipomagnesia. Perubahan relatif
neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan denagn
neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan.

4) Tumor otak

Tumor otak adalah kausa lain kejang didapat, terutama pada


pasien berusia antara 35 sampai 55 tahun. Kejang dapat merupakan
gejala pada tumor otak tertentu, khususnya meningioma, glioblastoma,
dan astrositoma. Apakah suatu neoplasma otak menimbulkan kejang
bergantung pada jenis, kecepatan pertumbuhan, dan lokasi neoplasma
tersebut. Tumor yang terletak supratentorium dan mengenai korteks
kemungkinan besar menyebabkan kejang. Insidensi tertinggi terjadi
pada tumor yang terletak di sepanjang sulkus sentralis disertai
keterlibatan daerah motorik. Semakin jauh tumor dari bagian ini,
semakin kecil kemungkinannya menyebabkan kejang (Price & Wilson,
2013).

Epidemiologi

Data epidemiologi baik dari Mayo Clinic, maupun dari Central


Brain Tumor Registry of The United States (CBTURUS) memberikan
data insiden yang hampir sama mengenai tumor otak dengan kejadian
32

12 kasus per 1.000.000 populasi per tahun. Sedangkan data lain


menyebutkan bahwa di Amerika terdapat 35.000 pasien baru dengan
tanda-tanda tumor otak setiap tahunnya.

Pada penelitian yang dikerjakan oleh Mayo Clinic untuk populasi di


Olmstead Country Minnesota insiden dari tumor primer intracranial
adalah 19,1 per 100000 setiap tahun untuk periode 1950-1989. Ini
termasuk angka 73 per 100000 per tahun untuk tumor yang
asimtomatik yang ditemukan pada otopsi atau pemeriksaan
neuroimaging. Tumor intracranial bisa terjadi pada setiap usia. Tapi
insiden dan histologi tergantung dari pada umur. Puncak yang rendah
terjadi pada usia sebelum 10 tahun dan meningkat setelah usia 15
tahun sehingga usia insiden yang paling tinggi antara 75 sampai 84
tahun. Pada anak-anak tumor yang paling sering berupa tumor solid
disebutkan bahwa tumor astrositoma gradasi rendah dan
meduloblastoma merupakan tumor yang sering terjadi pada usia ini.
Pada orang dewasa malignan astrositoma dan meningioma merupakan
kasus tumor yang sering terjadi. Pada umumnya tumor sering
didapatkan pada laki-laki dengan perkecualian meningioma yang
sering terjadi pada wanita.

Etiologi

Sampai sekarang belum diketahui gaya hidup yang merupakan


risk factor terbentuknya tumor otak tapi ada beberapa lingkungan yang
merupakan faktor resiko terjadinya tumor otak. Pertama, dosis tinggi
dari radiasi bisa meninggikan terjadinya glioma, meningioma dan
tumor selubung saraf. Didapatkan acquired immune suppression
seperti pada infeksi HIV atau chronic immunosuppressive therapy
setelah transplantasi organ akan meninggikan primary CNS
lymphoma. Pada penelitian didapatkan angka sedikit meninggi dari
glioma dari infeksi HIV dan juga bias meninggikan intracranial
leyomyosarcoma. Keadaan lingkungan lain yang merupakan faktor
resiko adalah cedera kepala, sering makanan terpapar dengan N-
33

nitrosourea compound, di daerah industri sering terpapar oleh


polyphinyl chloride. Telpon genggam tidak jelas penyebab glioma atau
meningioma. Kelainan genetik sering meninggikan tumor intracranial
yang paling sering neurofibromatosis tipe 1 yang meninggikan
kejadian glioma dan neurofibromatosis tipe 2 yang meninggikan
kejadian schwanoma dan meningioma.

Li-Fraumeni Syndrome ada yang berhubungan dengan mutasi pada


gen P-53 penyebab glioma dan medulloblastoma. Tuberosclerosis
merupakan autosomal dominant meninggikan subependimal giant cell
astrocytoma dan cortical tubers. Pada Von Hippel Lindau syndrome
yang merupakan autosomal dominan terjadi hemangioblastoma pada
otak, medulla spinalis dan retina. Burkitt syndrome dan hereditary non
polyposis, colorectal cancer syndrome mungkin masing-masing
autosomal resesif atau autosomal dominan dan termasuk glioblastoma
dan meduloblastoma. Sindroma ini penting untuk diketahui karena
termasuk dalam konseling genetik dan surveilans untuk kanker yang
lain seperti kanker ginjal Von Hippel Lindau disease.

Diagnosa Klinik

Tanda-tanda neurologik semua tumor otak kemungkinan sama


tergantung dari tipe histologik tumor tersebut. Gejala dari tumor
tersebut disebabkan karena invasi dan kerusakan dari otak tersebut atau
kompresi otak karena massa intracranial. Penyumbatan dari likuor
serebrospinalis akan menyebabkan tekanan tinggi intracranial atau
herniasi. Kecepatan pertumbuhan tumor bisa terjadi dalam beberapa
minggu, contohnya : limfoma susunan saraf pusat, Sedangkan untuk
tumor yang tumbuhnya lambat kemungkinan tidak memberikan gejala
untuk beberapa tahun sampai akhirnya mendesak otak, contohnya
meningioma subfrontal. Banyak tumor disertai dengan edema disekitar
tumor tersebut. Hal ini terlihat pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI
dan bertanggung jawab untuk gejala yang ditimbulkannya.
34

Tanda dan Gejala

Gejala-gejala yang timbul bisa merupakan gejala umum atau fokal.


Gejala umum sering disebabkan oleh tekanan tinggi intrakranial. Nyeri
kepala paling sering terjadi, merupakan gejala pertama yang timbul
sekitar 30-40% pada pasien tumor otak. Untuk nyeri kepala ini
kadang-kadang tidak spesifik dan lokalisasinya tidak menentu. Secara
klasik nyeri kepala memburuk pada pagi hari dan membaik pada siang
hari. Mual dan muntah merupakan suatu indikasi meningkatnya TTIK.
Kadang-kadang muntah proyektil bisa terjadi tanpa didahului mual.
Hal ini sering terlihat pada anak-anak daripada orang dewasa terutama
tumor didaerah fossa posterior dimana tumor tersebut menekan pusat
muntah di batang otak.

Tanda vertigo dan dizziness juga sering didapat terutama pada tumor
swannoma vestibularis, tapi keadaan ini juga bisa disebabkan oleh
tumor yang lainnya.

Kelainan mental dan kognitif bisa terlihat pasien menjadi apatis,


iritabel atau perubahan personality yang menyebabkan depresi.
Kelainan abnormal dari kognitif bisa terlihat adanya afasia atau
agnosia yang kemunggkinan hal ini dapat menunnjukkan lokalisasi
tumor. Gejala yang timbul bisa merupakan gejala episodik yang
disebabkan karena fluktuasi dari peningkatan tekanan intracranial.
Biasanya ditimbulkan karena perubahan posisi yang kemungkinan
menimbulkan nyeri kepala hebat sepintas, mual, muntah-muntah,
ataksia, kehilangan penglihatan atau kelemahan kedua tungkai.
Kejadian ini hanya terjadi beberapa menit dan menghilang kembali.
Gejala episodic ini kadang-kadang disertai dengan kehilangan
kesadaran dan biasanya di kacaukan dengan seizure. Gejala dan tanda
fokal biasanya terdapat pada semua pasien tumor otak. Seizure
merupaka gejala yang paling sering terdapat pada sepertiga pasien
tumor otak. Walaupun seizure ini terlihat merupakan kejang umum,
biasanya seizure ini berasal dari tumor yanhg bersifat fokal dimana
35

tanda fokal ini bisa terdapat atau tidak.Gejala lain yang bersifat fokal
termasuk diantarannya hemiparese, kelainan lapang pandang dan
afasia. Tumor yang berbeda lokasinya biasanya memberikan gejala
yang tipikal, seperti contohnya tumor di daerah lobus frontalis
seringnya memberikan sezure, perubahan behaviour, demensia,
kelainan gait, hemiparese. Tumor di lobis oksipital biasanya
memberikan gejala hemianopsia dan kelainan bentuk dari penglihatan.
Lobus temporal biasanya menyebabkan perubahan behaviour termasuk
kelainan bahasa dari hemisfer dominant, olfaktori dan parsial komplek
seizure atau kelainan lapang pandang. Tumor di korpus kalosum
mungkin menyebabkan demensia apabila korpus kalosum anterior
terkena. Perubahan behaviour dan kehilangan memori yang berat yang
menyebabkan sindroma amnesia andaikata daerah splenium terkena.
Tumor di cerebelopontine angle menyebabkan ketulian ipsilateral, baal
pada wajah, kelemahan dan ataksia. Tumor pineal menyebabkan
sindroma parinaud dengan kelainan upgaze dan abnormalities dari
pupilary seperti terjadi pada hidrosefalus.Tumor serebelum
menyebabkan nyeri kepala, ataksia, nistagmus, dan kadang-kadang
nyeri leher. Pengaruh tumor pada basis kranii terhadap saraf kranial
seperti meningioma dari olfaktori groove menyebabkan anosmia.
Meningioma dari nervus optikus menyebabkan hilangnya penglihatan
unilateral. Tumor pituitary menyebabkan hemianopsi bitemporal dari
kompresi kiasma. Kelainan ekstraokuler terjadi pada sinus kavernosus
atau tumor batang otak. Kehilangan pendengaran dan kelemahan wajah
sering terjadi pada akustik neurinoma. Gejala kelainan nervus kranialis
multiple terlihat pada metastase tumor leptomeningeal,

False localizing sign mungkin terjadi karena TTIK yang sering terjadi
adanya parese NVI yang disebabkan karena kompresi nervus abdusens
pada waktu melewati petrosus ridge. Nervus ini peka sekali karena
perjalanannya yang panjang, hemiparese ipsilateral bisa terjadi pada
herniasi unkus yang menyebabkan kompresi pada pedunkel serebral
kontralateral di daerah tentorium.
36

Hidrosefalus mungkin menyebabkan perubahan personality ,


abnormalitas gait, dan inkontinentia urin. Tinitus sering merupakan
gejala meningginya tekanan tinggi intracranial karena berbagai sebab.
Kebutaan kortikal atau hemianopsi bisa terjadi karena adanya
kompresi arteri serebral posterior yang menyebabkan infark daerah
kortikal.

Gejala dari pemeriksaan mata

Papil edema merupakan tanda yang jarang ditemukan pada


pasien dengan tumor otak karena sekarang pemeriksaan neuroimaging
sering menentukan lebih cepat pada pasien dengan gejala nyeri kepala.
Papil edema disebabkan karena meningginya tekanan tinggi
intracranial dalam beberapa minggu atau bulan. Dan ini menandakan
transmission sepanjang nervus optikus dan terjadi karena blockade dari
transportasi axonplasmic dari baliknya pembuluh darah vena. Adanya
sindroma foster kennedy adalah atrofi nervus optikus ipsilateral dan
papil edema kontra lateral,disertai hemianosmia ipsilateral. Ini
disebabkan karena tumor di basis frontal tersebut menekan nervus
optikus ipsilateral tapi dilain pihak menyebabkan tekanan tinggi
intracranial yang menyebabkan papiledema kontralateral

Pemeriksaan Penunjang

MRI merupakan pilihan utama untuk mengevaluasi kemungkinan


adanya tumor intracranial. Pemeriksaan ini lebih bagus daripada CT-
Scan yang kemungkinan memberikan interprestasi yang salah pada
daerah fossa posterior. Pada pasien-pasien yang tidak mungkin
dilakukan MRI contohnya pada pasien yang memakai pacemaker maka
CT-Scan masih sering digunakan untuk menentukan tumor intracranial.
Pemakaian kontras sering diberikan pada CT-Scan atau MRI. Pada
37

umumnya tumor otak memberikan penyengatan dengan pemeriksaan


kontras, bisa terlihat pada tumor maligna gradasi tinggi sedangkan
pada tumor low grade seperti astrositoma atau olgidendroglioma
cenderung tidak memberikan penyangatan. Kadang-kadang anatomi
vaskuler perlu diperiksa biasanya diperlukan oleh dokter bedah saraf
untuk merencanakan preoperasi. Maka MRA (magnetic resonance
angiography) diperlukan untuk pemeriksaan tumor tersebut.

Pemeriksaan EEG tidak menolong untuk menentukan diagnosa tumor


otak, kecuali pada pasien-pasien yang tidak memberikan respon untuk
pertimbangan adanya status epileptikus.

Likuorserebrospinalis Analisa dari likuor serebrospinalis biasanya


dipergunakan untuk staging keganasan tumor seperti limfoma primer
susunan saraf pusat, intracranial germ cell tumor, medulloblastoma dan
pineloblastoma.

Penatalaksanaan

Kortikosteroid, kemungkinan mengurangi gejala-gejala dari tumor


otak secara cepat dan dramatic dengan mengurangi peritumoral edema
dan menurunkan tekanan tinggi intracranial. Biasanya obat standar
dipergunakan dexamethason Pasien merasakan efeknya pada beberapa
jam tapi efek maksimalnya terjadi pada 24-48 jam. Biasanya
kortikosteroid diberikan pada pasien yang menderita tumor otak
kecuali pada pasien yang menderita limfoma. Dimana kalau diberikan
kortikosteroid akan menyebabkan regresi dari tumor tersebut yang
akan memberikan gambaran histology yang tidak akurat kalau
diberikan sebelum biopsy. Dosis standar dexamethason 16 mg tiap hari
dibagi beberapa dosis. Dosis lebih rendah tidak akan memberikan hasil
optimal. Dosis lebih tinggi misalnya sampai 100mg perhari biasanya
dibutuhkan untuk gejala yang berat dari tekanan tinggi intracranial.

Antikonvulsan, diberikan pada pasien yang mengalami seizure.


Banyak pasien dengan tumor otak pada pertama kali memberikan
38

gejala seizure. Pada pasien-pasien yang tidak memberikan gejala


seizure jangan diberikan antikonvulsan sebagai profilaksis. Perlu
dipikirkan pemberian antikonvulsan adanya kelainan hepatic
mikrosomal system, seperti asam valproat, lamotrignin, topiramat,
gabapentin dan levipiracetam sedangkan obat fenitoin, karbamazepin,
phenobarbital, sering menyebabkan rash. Yang paling penting
dipikirkan adanya drug interaksi terutama menaikan metabolisme dari
obat-obatan kemoterapeutik sehingga efektifitas dari obat-obatan
kemoterapeutika menurun.

Klasifikasi tumor otak

Globlastoma multiforme 20%, Meningioma 15%, Astrocytoma


10%, Pituitary adenoma 7%, Neurinoma (Schwannoma) 7%,
Ependymoma 6%, Metastastic carcinoma 6%, Oligodendroglioma 5%,
Medulloblastoma 4%, Craniopharyngioma/teratoma 4%, Angioma 4%,
Sarcoma 4%, Takterklasifikasi 5%, Lain-lain (pinealoma, chordoma
3%)

Berdasarkan asal tumor

Tumor primer 90-94% dari neoplasma intracranial yang berasal dari


sel parenkim, meningen, vascular, hipofise, sel embrional,
pembungkus saraf.

Tumor sekunder (metastase tumor 5%) berasal dari paru-paru, tulang,


tiroid, payudara, serviks, dan prostat.

Berdasarkan Lokasi

1. Hemisfer : astrositoma, glioblastoma, metastase, meningioma,


limfoma
1. Sellar : pituitary adenoma, kraniofaringioma, meningioma, glioma
optic dan hipotalamik
39

2. Pineal : pinesitoma, pineoblastoma, germinoma, astrositoma,


metastasis

Berdasarkan Usia
Supratentorial

Anak : astrositoma juvenile

Dewasa : hemangioblastoma, astrositoma, metastase, medulloblastoma

Infratentorial

Anak : medulloblastoma, ependimoma, pontine glioma

Dewasa : pontine glioma, schwanoma, meningioma, cerebello pontine


glioma, metastase

Berdasarkan keganasan

Tumor jinak : meningioma, kraniofaringioma, nerolemoma

Tumor ganas : astrositoma grade III & IV, ependimoma grade I-IV,
oligodendroglioma, medulloblastoma, neuroastrositoma.

5) Insufisiensi serebrovaskular arteriosklerotik dan infark serebrum

Kelainan ini merupakan kausa utarna kejang pada pasien dengan


penyakit vaskular, dan hal ini tampaknya meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah populasi orang berusia lanjut. Infark besar dan
infark dalam yang meluas ke struktur-struktur subkorteks lebih besar
40

kemungkinannya menimbulkan kejang berulang (Price & Wilson,


2013).

6) bahan toksik dan obat

Kejang akibat toksik

Beberapa jenis obat psikotropik dan zat toksik seperti Co, Cu, Pb
dan lainnya dapat memacu terjadinya kejang. Beberapa jenis obat dapat
menjadi penyebab kejang, yang diakibatkan racun yang dikandungnya
atau adanya konsumsi yang berlebihan. Termasuk di dalamnya alkohol,
obat anti-epileptik, opium, obat anestetik dan anti-depresan.
Penggunaan barbiturat dan benzodiazepine dapat menyebabkan
serangan mendadak pada orang yang tidak menderita epilepsi. Sreangan
terjadi setelah 12 24 jam setelah mengkonsumsi alkohol. Sedangkan
racun yang ada pada obat dapat mengendap dan menyebabkan kejang.

Cassano (1990) melakukan penelitian kasus-kontrol dengan


membandingkan 472 anak di Washington Barat Amerika, dalam hsail
penelitiannya menyebutkan bahwa rokok dan alkohol yang dikonsumsi
termasuk pada faktor resiko terjadinya kejang demam pada anak, hasil
analisis statistik menyebutkan bahwa konsumsi rokok dan alkohol pada
masa kehamilan termasuk dua aktifitas hal yang menyebabkan
terjadinya kejang demam sederhana dan kejang demam komplek
(tingkat kepercayaan 95% dengan interval 1,2 3,4) dan ditemukan
hubungan yang kuat antara keduanya. Hasil akhir penelitian ini
menyebutkan bahwa pengurangan atau pembatasan konsumsi rokok dan
alkohol selama masa kehamilan adalah usaha yang efektif untuk
mencegah kejang demam pada anak. (Price & Wilson, 2013)
41
42

PENATALAKSANAAN KEJANG
43
44

Gambar 1.3 Obat anti kejang (Katzung, 2013).


45

GAMBAR 1.4 Penatalaksanaan pada kejang (Price,2011)

Mekanisme kerja obat anti kejang

1. Karbamazepin

Efek farmakologis Karbamazepin (TEGREroL, CARE4To, dll)


merupakan obat utama dalam penanganan seizure parsial dan seizure tonik-
klonik dan juga digunakan untuk penanganan neu- ralgia trigeminal.
Meskipun efek karbamazepin menye- rupai fenitoin, obat-obat ini memiliki
46

perbedaan yang penting. Sebagai contoh, karbamiazepin akan menghasil- kan


respons terapeutik pada pasien mania-depresif, ter- masuk pada beberapa
pasien yang tidak merespons terhadap litium karbonat. Mekanisme yang
bertanggung jawab terhadap efek-efek karbamazepin ini tidak se- penuhnya
dipahami.

Seperti fenitoin. karbamazepin tampak membatasi perangsangan


potensial aksi berulang yang ditimbulkan oleh depolansas kontinu dengan
memperlambat ke cepatan pemulihan saluran Na' teraktivasi-voltase. Pada
konsentrasi terapeutik, karbamazepin bersifat selektif sehingga tidak ada efek
pada aktivitas spontan atau pada respons terhadap GABA atau glutamat.
Metabolit karbamazepin, 10, 11-epoksikarbamazepin, memiliki efek yang
serupa dan dapat berkontnbusi terhadap efikasi anti seizure karbamazepin.
( Gilman, 2009 )

2. Zonisamid

Zonisamid adalah suatu turunan sulfonamid . Obat ini efektif terhadap


kejang parsial dan kejang tonik-klonik generalisata serta mungkin berguna
pada spasme infantile dan mioklonia tertentu . Ketersediaan hayati obat ini
baik , kinetiknya linier ,sedikit terikat ke protein , eksresinya melalui ginjal ,
dan waktu paruhnya 1-3 hari . Dosis berkisar dari 100 sampai 600 mg/hari
pada dewasa dan 4-12 mg/hari pada anak . Obat ini juga memiliki efek
samping seperti mengantuk dan gangguan kognitif dan kemungkinan ruam
kulit yang serius . Obat ini tidak berinteraksi dengan obat anti kejang yang
lain.

3. Lakosamid

Lakosamid adalah suatu obat yang terkait asam amino yang diteliti untuk
kejang parsial dan sindrom nyeri. Obat ini juga digunakan pada pasien yang
mengalami kejang tonik-klonik generalisata karena dapat diserap dengan baik
oleh tubuh .Aktivitas terletak di enantiomer R (-). Obat ini bekerja dengan

meningkatkan inaktivasi lambat saluran berpintu di voltase ( berbeda


47

dari pemamnjangan inaktivasi cepat yang ditunjukan oleh obat antiepilepsi


lainya ). Obat ini juga berikatan dengan collapsing-response mediator
protein , CRMP-2 , sehingga menghambat efek faktor-faktor neurotropik
misalnya BDNF dan NT3 pada pertumbuhan akson dan dendrit .

4. Topiramat

Topiramat merupakan monosakarida tersubtitusi dan biasanya diberikan


pada pasien dengan kejang tonik-klonik generalisata , kejang parsial , kejang
generalisata , kejang absence dan migren. Topiramat ini menghambat lepas
muatan repetitive neuron-neuron korda spinalis in vitro , seperti halnya
fenitoin dan karbamazepin . Mekanisme kerjanya adalah menghambat saluran

berpintu-voltase. Obat ini bekerja juga pada saluran yang di

aktifkan oleh voltase tertinggi ( tipe L ).Topiramat memperkuat efek


inhibitorik GABA , bekerja di tempat yang berbeda dari temoat
benzodiazepine atau barbiturat. Obat ini juga menekan efek eksitatorik kainat
pada pada reseptor glutamat . Berbagai efek topiramat mungkin timbul
melalui efek primer pada berbagai kinase yang mengubah fosforilasi saluran-
saluran ion berpintu voltase dan berpintu ligan .

5. Golongan Barbiturat
Di samping sebagai sedatif dan hipnotik, golongan barbiturat dapat pula
dimanfaatkan sebagai obat antikonvulsi; dan yang biasa digunakan adalah
barbiturat kerja lama. (long-acting barbiturates). Di sini dibicarakan khasiat
antiepilepsi prototipe barbiturat, fenobarbital, mefobarbital, dan metarbital;
serta primidon yang mirip dengan barbiturat.
Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsi.
Barbiturat menghambat tahap akhir oksidasi mitokondria, sehingga
mengurangi pembentukan fosfatase berenergi tinggi. Senyawa fosfat ini perlu
untuk sintesis neurotransmiter misalnya Ch, dan untuk repolarisasi membran
sel neuron setelah depolarisasi

6. Golongan Fenobarbital
48

Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil barbiturat) merupakan senyawa organik


pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya,
membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang.
Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi dengan potensi terkuat,
tersering digunakan, dan termurah. Dosisefektif relatif rendah. Efek sedatif,
dalam hal ini dianggap efek samping, dapat diatasi dengan pemberian amfe-
tamin atau stimulan sentral lainnya tanpa menghi-langkan khasiat
antikonvulsinya. Kemungkinan intoksikasi kecil; kadang-kadang hanya
timbul ruam skarlatiniform pada kulit (2%). Efek toksik yang berat pada
penggunaan sebagai antiepilepsi belum pernah dilaporkan. Fenobarbital
adalah obat terpilih untuk memulai terapi epilepsi grand mal. Karena efek
toksik berbeda dengan obat antikonvulsi lainnya, khususnya dengan fenitoin,
penggunaan fenobarbital sering dikombinasikan dengan obat-obat tersebut

7. Golongan Hidantoin

Fenitoin (5-5-diphenylhydantoin) pertama kali disintesis tahun 1908 oleh


Heinrich Biltz ahli kimia berkebangsaan Jerman. Biltz menjual penemuannya
ke Parke-Davis, namun tidak menemukan kegunaan langsung obat tersebut.
Ilmuwan lain termasuk Houston Merrittdan Tracy Putnam di tahun 1938
menemukan kegunaan fenitoin untuk mengendalikan serangan epilepsy
grandmal dan psikomotor pada penelitian mereka dengan manusia.

Terdapat dua mekanisme antikonvulsi yang penting yaitu (1) Mencegah


timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam focus
epilepsi; (2) Mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron normal
akibat pengaruh dari fokus epilepsi.

Mekanisme kerja obat antiepilepsi hanya sedikit yang dimengerti secara


baik. Berbagai obat antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi
neurofisiologi otak, terutama yang mempengaruhi sistem inhibisi yang
melibatkan GABA dalam mekanisme kerja berbagai antiepilepsi. Golongan
hidantoin dikenal tiga senyawa antikonvulsi: fenitoin ( diphenilhidantoin),
mefenitoin dan etotoin dengan fenitoin sebagai prototipe. Fenitoin adalah
49

obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali bangkitan lena, adanya
gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C5 penting untuk efek
pengendalian bangkitan tonik-klonik, sedangkan gugus alkil berkaitan dengan
efek sedasinya. Adanya gugus metil pada atom N3 akan mengubah spektrum
aktivitas misalnya mefenitoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom
hati menghasilkan metabolit yang tidak aktif.

Cara kerja utama fenitoin pada epilepsi adalah memblokade pergerakan


ion melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion Na+ yang tersisa
maupun aliran ion Na+ yang mengalir selama penyebaran potensial aksi,
selain itu fenitoin memblokade dan mencegah potensiasi pos tetanik,
membatasi perkembangan aktivitas serangan yang maksimal dan mengurangi
penyebaran serangan. Fenitoin berefek sebagai stabilisasi pada semua
membran neuronal, termasuk saraf perifer dan mungkin bekerja pada
membran yang eksitabel (mudah terpacu) maupun yang tidak eksitabel.

Fenitoin juga dapat menghambat kanal kalsium (Ca+) dan menunda


aktifasi aliran ion K keluar selama potensial aksi, sehingga menyebabkan
kenaikan periode refractory dan menurunnya cetusan ulangan.

8. Golongan Benzodiazepin

Mekanisme kerja benzodiazepin merupakan potensiasi inhibisi neuron


yang menggunakan GABA sebagai mediatornya. GABA (gamma-
aminobutyric acid) merupakan inhibitor utama neurotransmiter di susunan
saraf pusat (SSP), melalui neuron-neuron modulasi GABA nergik. Reseptor
Benzodiazepin berikatan dengan reseptor subtipe GABA A. Berikatan dengan
reseptor agonis menyebabkan masuknya ion klorida dalam sel, yang
menyebabakan hiperpolarisasi dari membran postsinpatik, dimana dapat
membuat neuron ini resisten terhadap rangsangan. Dengan cara demikian
obat ini memfasilitasi efek inhibitor dari GABA sehingga meningkatkan efek
GABA dan menghasilkan efek sedasi, tidur dan berbagai macam efek seperti
mengurangi kegelisahan dan sebagai muscle relaxant. Reseptor
50

benzodiazepin dapat ditemukan di otak dan medula spinalis, dengan densitas


tinggi pada korteks serebral, serebelum dan hipokampus dan densitas rendah
pada medula spinalis

9. Golongan Gabapentin

Gabapentin dikenal sebagai obat anti epilepsi. Gabapentin di daftarkan ke


FDA pada tahun 1993 dengan klaim indikasi anti kejang. Gabapentin
merupakan analog GABA. GABA atauGamma Aminobutyric
Acid merupakan asam amino yang ada di otak. Mekanisme kerja gabapentin
diantaranya

1. Gabapentin melintasi hambatan beberapa membran tubuh melalui


transporter asamamino tertentu (sistem L) dan bersaing dengan leusin,
isoleusin, valin, dan fenilalaninuntuk transportasi.

2. Gabapentin meningkatkan konsentrasi dan mungkin tingkat sintesis dari


GABA dalam otak, yang dapat meningkatkan nonvesikular rilis GABA
selama kejang.

3. Gabapentin mengikat dengan afinitas tinggi untuk situs pengikatan baru


dalam jaringan otak yang berhubungan dengan subunit tambahan
tegangan-sensitif Ca2 + channel. Terakhir elektrofisiologi Hasil penelitian
menunjukkan bahwa gabapentindapat memodulasi jenis tertentu dari Ca2
+ saat ini.

4. Gabapentin mengurangi pelepasan neurotransmiter beberapa monoamina.

5. Elektrofisiologi menunjukkan bahwa gabapentin menghambat tegangan-


aktif Na +saluran, tetapi hasil lainnya bertentangan temuan ini.
51

6. Gabapentin meningkatkan konsentrasi serotonin dalam darah keseluruhan


manusia,yang mungkin relevan dengan tindakan neurobehavioral

7. Gabapentin mencegah kematian neuronal dalam beberapa model termasuk


yangdirancang untuk meniru amyotrophic lateral sclerosis (ALS). Hal ini
dapat terjadidengan menghambat sintesis glutamat oleh bercabang-rantai
asam aminoaminotransferase.

DAFTAR PUSTAKA

Fuadi, Fuadi . 2010. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak. Masters
thesis, Diponegoro University

Harsono, 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta. Universitas gajah mada
pers

Nelson, waldoe.2009.nelson ilmu kesehatan anak.edisi15.volume3.EGC.Jakarta

Price, SA dan Wilson, LM. 2013. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit Vol. 2 Edisi 6. Jakarta, EGC.

Gunawan, gan. 2009. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Elysabeth. Jakarta.


Departemen Farmakologi dan Tarapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai