Anda di halaman 1dari 14

BUDIDAYA BAWANG MERAH

1 Cultivar Bawang Merah


Culivar bawang merah yang umum dibudidayakan adalah : Sumenep, Lokal
Brebes, Local Bima, Ampenan, Tanduyong, Ilocos
2 Pemilihan bibit
Bibit bawang merah dipilih yang sehat : warna mengkilat, kompak/tidak
keropos, kulit tidak luka dan telah disimpan 2-3 bulan setelah panen.
3 Persiapan lahan
Lahan dibuat bedengan dengan lebar 0.9 m. Diantara bedengan dibuat parit
dengan lebar 0,6 m dan kedalaman 0,5 m (sistem surjan), Bila pada lahan
kering kedalaman parit dibuat lebih dangkal. Tanah diatas bedengan
dicangkul atau dibajak sedalam 20 cm sampai gembur.
Jarak Tanam. Jarak tanam bawang merah pada musim kemarau
15x15 cm atau 15x20 cm, sedang pada musim hujan 15x20 cm atau 20x20
cm.
Pengapuran. Jika pH tanah kurang dari 5,6, dilakukan pengapuran
dengan menggunakan Kaptan atau Dolomit minimal 2 minggu sebelum
tanam dengan dosis 1 1,5 ton/ha.
Pemberian pupuk organic. Pupuk organic penting diberikan untuk
meningkatkan kesuburan fisik dan biologi tanah. Bisa bersumber dari kotoran
ternak dengan dosis 15-20 ton/ha atau kompos matang sebanyak 5-10 ton/ha
disebar dan diaduk rata dalan lapisan olah 1 minggu sebelum tanam. Juga
bisa dengan menggunaklan pupuk Organik Granul dengan dosis 900 kg
samapai 1500 kg/ha, di tabur sehari sebelum tanam.
4 Penanaman
Jika umur simpan bibit yang akan ditanam kurang dari 2 bulan, dilakukan
pemogesan (pemotongan ujung umbi) kurang lebih 0,5 cm untuk
memecahkan masa dormansi dan mempercepat pertumbuhan tanaman.
Kemudian umbi bibit ditanam dengan cara membenamkan seluruh bagian
umbi.
5 Pemeliharaan
Penyiraman. Dilakukan sesuai dengan umur tanaman : umur 0-10
hari, 2x /hari (pagi dan sore hari), umur 11-35 hari, 1x/hari (pagi hari), umur
36-50 hari, 1x/hari (pagi atau sore hari).
Pemupukan. Pemupukan dasar dilakukan pada saat tanam
(Preplant), sedangkan pemupukan susulan dilakukan pada umur 14 hari dan
umur 35 hari setelah tanam. Jenis yang diberikan aadalah Urea, ZA, SP-36,
pupuk dicampur rata dan diberikan di sepanjang garitan tanaman. Perkiraan
dosis dan waktu aplikasi pemupukan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2.
Rekomendasi Pupuk untuk Bawang Merah pada Tanah Mineral dengan
Tingkat Kandungan P dan K Sedang (Maynard and Hocmuth,

1999)
Pemberian Nutrisi BSA. Untuk keseimbangan pertumbuhan antara
vegetative dan generative, perlu diberikan Zat Grow Biobalance BSA. Zat ini
terdapat dalam satu produk Bionta. Cara aplikasinya disemprot pada bagian
tanaman; daun dan batang dengan konsentrasi 5 ml/liter air, interval 5 hari.
Selanjutnya agar hasil umbi bekualitas dan bobotmya tinggi, lakukan
penyemprotanpada umur 8 9 MST dengan konsentrasi ditingkatkan 2 3
kali lipat dari penyemprotan biasa sebelumnya; yaitu 10 15 ml/liter air.
Penyiangan Dilakukan minimal dua kali/musim, yaitu menjelang
dilakukannya pemupukan susulan.
Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian HPT dilakukan bila
perlu saja, yaitu bila terlihat gejala adanya serangga atau penyakit. Untuk
mengendalikannya disemprotkan insektisida, fungisida sesuai dosis yang
dianjurkan atau mencabut tanaman dan membakarnya.
6 Panen dan Pasca Panen
Untuk bawang konsumsi, waktu panen ditandai dengan 60-70% daun telah
rebah, sedangkan untuk bibit kerebahan daun lebih dari 90%. Panen
dilakukan waktu udara cerah. Pada waktu panen, bawang merah diikat dalam
ikatan-ikatan kecil (1-1,5 kg/ikat), kemudian dijemur selama 5-7 hari. Setelah
kering askip (penjemuran 5-7 hari ), 3-4 ikatan bawamg merah diikat
menjadi satu , kemudian bawang dijemur dengan posisi penjemuran bagian
umbi diatas selama 3-4 hari. Pada penjemuran tahap kedua
dilakukan pembersihan umbi bawang dari tanah dan kotoran Bila sudah
cukup kering (kadar air kurang lebih 85%), umbi bawang merah siap
dipasarkan atau disimpan di gudang.
BUDIDAYA BAWANG MERAH
DAN PENANGANAN PERMASALAHANNYA

Oleh : Baswarsiati
BPTP Jawa Timur
.

PENDAHULUAN
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan Jawa Timur yang sangat
fluktuatif harga maupun produksinya. Hal ini terjadi karena pasokan produksi yang tidak
seimbang antara panenan pada musimnya serta panenan di luar musim, salah satu diantaranya
disebabkan tingginya intensitas serangan hama dan penyakit terutama bila penanaman
dilakukan di luar musim. Selain itu bawang merah merupakan komoditas yang tidak dapat
disimpan lama, hanya bertahan 3-4 bulan padahal konsumen membutuhkannya setiap saat.
Masalah utama usahatani bawang merah di luar musim adalah tingginya resiko kegagalan
panen karena lingkungan yang kurang menguntungkan , terutama serangan hama dan
penyakit. Hama dan penyakit penting pada bawang merah antara lain : ulat bawang
(Spodoptera exigua) dan Thrips , sedangkan penyakitnya meliputi antraknose, fusarium dan
trotol.
Keberadaan hama dan penyakit tersebut menyebabkan petani menggunakan pestisida secara
berlebihan karena petani beranggapan bahwa keberhasilan usahatani ditentukan oleh
keberhasilan pengendalian hama dan penyakit, yaitu dengan meningkatkan takaran, frekuensi
dan komposisi jenis campuran pestisida yang digunakan. Akibatnya biaya usatani bawang
merah semakin tinggi dan keuntungan yang diperoleh tidak seimbang serta tidak
memperhatikan konsep pertanian ramah lingkungan. Dampak lain penggunaan pestisida yang
berlebihan yaitu ledakan dari hama sekunder.
Untuk mengantisipasi masalah di atas salah satu usaha yaitu mencari dan menggali varietas-
varietas bawang merah yang mempunyai sifat-sifat unggul terutama dalam hal produksi serta
ketahanan terhadap hama dan penyakit utama sehingga varietas bawang merah tersebut
mampu berproduksi walaupun serangan hama dan penyakit cukup berat. Bilamana varietas
unggul yang tahan terhadap hama dan penyakit diperoleh maka varietas tersebut dapat
ditanam pada luar musim sehingga kesinambungan produksi bawang merah dapat terjamin.
Dari 141 varietas bawang merah yang ada termasuk varietas introduksi belum didapatkan
varietas yang tahan terhadap penyakit di atas kecuali varietas Sumenep yang relatif tahan
terhadap penyakit Otomatis tetapi tidak tahan terhadap penyakit Alternaria. Sayangnya
varietas ini tidak mampu berbunga dan belum diketahui cara merangsang bunganya, serta
berumur panjang walaupun mempunyai kualitas terbaik untuk bawang goreng (Permadi,
1992). Beberapa galur somaklonal dari varietas Sumenep sudah dihasilkan oleh Balitsa
Lembang dan sudah dilakukan uji daya hasilnya di beberapa lokasi. Hasil somaklonal dari
varietas Sumenep mempunyai umbi yang lebih besar dengan warna yang lebih mengarah
kemerah muda dibandingkan varietas Sumenep yang asli. Diharapkan galur somaklonal
Sumenep tetap mempunyai sifat tahan terhadap hama dan penyakit utama serta mempunyai
umbi besar , warna menarik dan rasa bawang goreng yang lebih enak.

PERMASALAHAN

1. Adanya perbedaan produksi pada musim kemarau dan musim hujan

Fluktuasi produksi selalu terjadi pada usahatani bawang merah yang disebabkan adanya perbedaan
produksi di musim kemarau dan musim hujan. Pada musim hujan intensitas serangan hama
terutama Spodoptera exigua dan penyakit seperti Fusarium, Alternaria dan Antraknose semakin
tinggi. Sehingga kegagalan panen sering terjadi pada musim hujan. Hal ini disebabkan pada musim hujan,
kelembaban udara lebih tinggi dibandingkan musim kemarau sehingga intensitas serangan penyakit lebih tinggi.
Sedangkan pada musim kemarau suhu udara lebih tinggi dibandingkan musim hujan sehingga intensitas
serangan hama lebih tinggi dibandingkan intensitas serangan penyakit (Rosmahani et al, 1998) Oleh karenanya
produktivitas di musim hujan semakin menurun dan pasokan produksi juga menurun sehingga terjadi fluktuasi
harga. Sehingga diperlukan adanya varietas bawang merah yang sesuai untuk musim kemarau dan musim hujan

2 Belum cukup tersedia varietas unggul bawang merah yang resisten terhadap hama dan
penyakit penting serta sesuai pada musim hujan

Sampai saat ini belum tersedia varietas unggul bawang merah yang resisten terhadap hama dan penyakit
penting kecuali varietas Sumenep. Sayangnya varietas Sumenep belum disukai konsumen bawang merah
karena penampilan umbinya kurang menarik dengan warna umbi kekuningan dan bentuk umbinya lonjong dan
kecil. Namun somaklonal dari varietas Sumenep dapat menghasilkan umbi dengan ukuran yang lebih besar dari
varietas aslinya dan warna umbi merah muda. Selain itu varietas Sumenep sangat renyah dan enak untuk
bawang goreng. Dan nampaknya hasil somaklonal varietas Sumenep mempunyai daya adaptasi yang luas pada
beberapa agroekologi di dataran rendah hingga dataran tinggi (Baswasiati et al, 2000)
Varietas bawang merah yang selama ini ditanam oleh petani umumnya varietas yang sesuai ditanam di
musim kemarau saja namun rentan terhadap serangan hama ulat grayak serta penyakit penting pada bawang
merah. Seperti halnya 8 varietas unggul yang telah dilepas Pemerintah antara lain varietas Bima Brebes, Maja,
Keling, Medan , Super Philip, Kramat-1, Kramat-2 dan Kuning hanya sesuai untuk musim kemarau. Sedangkan
varietas unggul bawang merah yang sesuai pada musim hujan dan telah dilepas Pemerintah hanya varietas Bauji
. Usahatani bawang merah pada musim kemarau menghasilkan pasokan produksi yang tinggi karena cukup
banyak ragam varietas yang dapat ditanam di musim kemarau. Seperti halnya di sentra produksi Brebes, petani
menanam beragam varietas bawang merah yang ada , termasuk varietas Sumenep. Sedangkan di Jawa Timur,
petani hanya menanam varietas Super Philip karena produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya.
Pada musim hujan, petani tetap menggunakan varietas yang sesuai untuk musim kemarau seperti Super
Philip, Bima, Kuning, Maja karena keterbatasan varietas yang sesuai untuk musim hujan . Varietas Bauji untuk
sementara ini ditanam oleh petani di wilayah Nganjuk dan Kediri pada musim hujan, walaupun sebenarnya
sudah dikenal petani Probolinggo dengan nama bawang Biru dan ditanam oleh petani Probolinggo pada musim
kemarau dan musim hujan.

3. Ketergantungan petani bawang merah terhadap benih impor

Dalam usahatani bawang merah, benih merupakan salah satu faktor produksi yang memerlukan biaya
tinggi, dengan kebutuhan benih sekitar 800-1.200 kg/ha. Tingginya kebutuhan benih bawang merah baik dalam
bentuk benih komersial maupun benih sumber , ternyata belum diikuti produksi benihnya. Selain itu petani
bawang merah di Indonesia nampaknya sangat tergantung terhadap benih impor seperti varietas Super Philip
dan varietas dari Thailand, India dan Vietnam (berkembang di daerah Brebes). Padahal benih impor varietas
bawang merah yang tersebar di Indonesia merupakan bawang merah untuk konsumsi yang disimpan 2-3
bulan. Hal ini karena belum banyak produsen yang mau bergerak di bidang perbenihan bawang merah.
(Indrawati dan Padmono, 2001) . Kendala tersebut disebabkan antara lain : a) usaha perbenihan bawang merah
membutuhkan modal yang cukup tinggi dan areal serta gudang yang luas, b) pengetahuan dan ketrampilan SDM
terutama dalam produksi benih masih rendah , c) daya simpan benih bawang merah rendah (2-5 bulan ) dengan
susut bobot yang tinggi , d) permasalahan penyimpanan benih dapat diatasi dengan pembentukan benih berupa
biji, sayangnya ketrampilan ini cukup sulit disosialisasikan pada petani

4. Kendala dalam hal sosialisasi dan substitusi varietas unggul bawang merah

Nampaknya selera produsen dan konsumen bawang merah di beberapa wilayah sentra produksi di
Indonesia cukup beragam dalam memilih dan mengembangkan suatu varietas. Konsumen dan produsen bawang
merah di Jawa Timur sangat menyukai varietas Super Philip karena produktivitasnya tinggi, umbi besar dan
bulat, warna umbi menarik merah keunguan mengkilat walaupun rasanya tidak terlalu pedas. Oleh karenanya
varietas Super Philip menyebar merata pada semua areal pertanaman bawang merah di Jawa Timur dengan
luasan 25.000 hektar dan selalu dijumpai di pasar wilayah Jawa Timur.
Sedangkan di wilayah Kabupaten Brebes sebagai sentra produksi bawang merah terbesar di Indonesia
(dengan luas areal tanam 16.993 hektar) dan di Jawa Tengah pada umumnya (dengan luas areal tanam 55.578
hektar) terdapat varietas bawang merah yang beragam (Diperta Propinsi Jateng, 2001). Varietas-varietas yang
dikembangkan di Jawa Tengah terdiri dari varietas lokal dan varietas introduksi , antara lain : Bima Brebes,
Kuning, Sumenep, Ampenan, Maja Cipanas, Medan, Tawangmangu Baru, Super Philip, India, Thailan dan
Vietnam (Indrawati dan Padmono, 2001). Hal ini menunjukkan perbedaan selera konsumen dan produsen di
beberapa wilayah yang mempengaruhi terhadap perkembangan suatu varietas unggul/varietas baru.
Seperti halnya varietas Bauji yang telah dilepas menjadi varietas unggul untuk musim
hujan nampaknya baru berkembang di daerah asalnya yaitu di kabupaten Nganjuk dan sekitarnya. Usaha untuk
sosialisasi varietas Bauji sudah dilakukan pada setiap kesempatan , baik secara formal dan non formal seperti
Temu Lapang, Pelatihan dan pertemuan dan wawancara langsung dengan petani bawang merah . Namun
sampai saat ini varietas Bauji baru berkembang dengan luas areal tanam sekitar 5.000 hektar. Hal ini karena
produktivitas varietas Bauji lebih rendah dibandingkan varietas Super Philip bila ditanam di musim
kemarau . Sedangkan pada musim hujan, varietas Bauji lebih unggul dibandingkan varietas Super
Philip. Selain itu oleh para tengkulak , hasil panen varietas Bauji dihargai lebih rendah dibandingkan varietas
Super Philip sehingga petani memilih menanam varietas Super Philip walaupun musim hujan. Dan keterbatasan
produsen benih varietas Bauji dengan usaha dalam skala kecil yang hanya berada di Nganjuk dan beberapa di
Kediri mempengaruhi ketersediaan benih varietas tersebut.

PEMILIHAN VARIETAS
Banyak varietas bawang merah yang dibudidayakan di Indonesia. Sampai saat ini perbanyakan dari varietas-
varietas tersebut dilakukan secara vegetatif dengan umbi, padahal varietas tersebut mampu berbunga dan berbiji
secara alami kecuali varietas Sumenep. Karena selalu dibiak secara vegetatif maka praktis tidak ada perubahan
susunan genetiknya dan karena itu sampai sekarang tidak didapatkan varietas yang tahan terhadap penyakit daun yang
sering menggagalkan pertanaman bawang merah (Permadi, 1992).
Terdapat dua varietas unggul bawang merah yang baru dilepas oleh Menteri Pertanian pada bulan Maret 2000 dan
usulan pelepasannya dilakukan oleh BPTP Jawa Timur. Kedua varietas tersebut adalah Super Philip (atau lebih
dikenal oleh petani sebagai varietas Philipine) dan varietas Bauji yang berasal dari Kediri/ Nganjuk . Serta satu
varietas yaitu Batu Ijo yang masih dalam proses pelepasannya.
Varietas Bauji merupakan varietas lokal yang belum banyak dikenal oleh petani bawang
merah. Namun di sentra produksi bawang merah Nganjuk dan Kediri sudah umum di tanam
di musim hujan. Keragaan tanaman varietas Bauji agak berbeda dengan varietas Super Philip
terutama pada penampilan daun dan umbinya. Daun bawang merah varietas Bauji lebih
ramping (kecil) dengan warna lebih hijau dan sudut antara daun lebih kecil dibanding Super
Philip. Varietas Bauji bila ditanam di musim hujan nampak lebih kekar dibanding varietas
Super Philip dan beberapa varietas lain seperti Bima, Ampenan, Kuning dan
sebagainya. Namun bila Bauji ditanam di musim kemarau kurang vigour pertumbuhannya
dibandingkan varietas Super Philip. Varietas Bauji akan tumbuh dan berproduksi lebih baik
di musim hujan karena varietas ini lebih menyukai pada kelembaban udara yang tinggi dan
tahan terhadap curah hujan yang tinggi mulai awal pertumbuhan sampai tanaman
dipanen. Sedangkan varietas bawang merah lainnya kecuali varietas Sumenep sudah tidak
mampu tumbuh dan berproduksi dengan baik karena daunnya sudah hancur terkena air hujan
(Baswarsiati dkk, 1995 dan 1996; Rosmahani dkk, 1997; Korlina dkk, 1998).
Dari hasil pengujian tersebut tampak bahwa produktivitas varietas Bauji lebih tinggi dibanding varietas
pembanding lainnya kecuali dengan Bali Ijo bila ditanam di musim hujan. Hasil umbi kering bisa mencapai
13,65 ton per hektar dengan jumlah anakan per rumpun lebih dari 10 serta tinggi tanaman di atas 35 cm. Ciri
penting dari varietas Bauji yaitu daunnya nampak lebih langsing (sempit) dengan warna daun hijau tua, daun
tebal, sudut daun kecil (lebih tegak), warna umbi merah keunguan mengkilat, bentuk umbi bulat lonjong dan
daun nampak kekar bila ditanam di musim hujan.
Varietas bawang merah Bauji yang merupakan varietas lokal asal Nganjuk telah dilepas dengan Keputusan
Menteri Pertanian No 65/Kpts/TP.240/2/2000 sebagai varietas unggul untuk musim hujan karena memiliki daya
hasil tinggi dan stabil, toleran terhadap kelembaban udara tinggi dan curah hujan tinggi.
Sedangkan bawangmerah varietas Philipine yang merupakan introduksi dari Philipine, sudah
lebih dari 15 tahun dikenal dan ditanam petani dan telah menyebar ke berbagai sentra
produksi bawangmerah . Saat ini di Jawa Timur, hampir seluruh petani bawangmerah
menanam varietas Philipine dan tidak lagi menanam varietas bawangmerah lokal seperti
Ampenan, Bima yang dulu sebelum munculnya varietas Philipine mendominasi varietas
bawangmerah yang ditanam petani. Luas tanam bawang merah varietas Philipine hampir di
seluruh areal pertanaman bawang merah di Jawa Timur yaitu sekitar 24.610 hektar (Diperta
Prop. Jatim, 1998)
Keistimewaan varietas Super Philip adalah bentuk umbi bulat dengan warna merah keunguan
mengkilat, umbi besar dengan rata-rata 8-10 g/umbi dan hal ini sangat disukai
konsumen. Selain itu varietas Philipine mampu bertahan dipenyimpanan lebih dari 4
bulan. Tinggi tanaman bisa lebih 40 cm dan bila ditanam di dataran tinggi dengan kondisi
tanah subur bisa mencapai tinggi lebih 50 cm. Jumlah anakan berkisar 10-12, umur panen
55-60 hari bila ditanam di dataran rendah dan 70 hari bila ditanam di dataran medium sampai
tinggi. Sedangkan produktivitas varietas Philipine yaitu 17 18 t/ha umbi kering Oleh
karenanya varietas Philipine telah dilepas oleh Menteri Pertanian menjadi varietas unggul
dengan nama Super Philip berdasarkan Keputusan No 66/Kpts/TP.240/2/2000.
Varietas Batu Ijo merupakan varietas lokal asal Batu yang telah ditanam petani kawasan Batu
puluhan tahun dengan nama asal Bali Ijo. Varietas ini telah diusulkan pelepasannya karena
mempunyai beberapa kelebihan antara lain umbi sangat besar (> 20 gram/umbi) mirip dengan
bawang Bombay. Jumlah anakan sedikit 2-5 anakan per rumpun. Daun tanaman lebih lebar
seperti bawang daun. Batu Ijo sesuai ditanam di musim kemarau , di dataran rendah hingga
dataran tinggi (10-1300 m dpl).

KESESUAIAN AGROEKOLOGI
Persyaratan kesesuaian agroekologi untuk usahatani bawang merah terutama ditentukan oleh
kelembaban, tekstur, struktur dan kesuburan tanah. Secara umum tanaman bawang merah memerlukan bulan
kering 4-5 bulan , curah hujan 1000-1500 mm/th, drainase dan kesuburan baik, tekstur lempung berpasir dan
struktur remah (Widjajanto et al, 1998). Sedangkan setiap varietas bawang merah mempunyai daya adaptasi
yang lebih khusus pada agroekologi tertentu , seperti halnya varietas Super Philip dan Bauji.
Bawangmerah varietas Super Philip dapat diusahakan mulai di dataran rendah hingga di dataran tinggi,
yaitu 20 m 1000 m dpl. Sangat sesuai ditanam di musim kemarau dengan sinar matahari dibutuhkan
sebanyak-banyaknya dan lahan tidak ternaungi. Tanah yang diinginkan yaitu berdrainase baik dan kesuburan
tinggi, tekstur lempung berpasir dan struktur remah dengan pH 6-6,5. Dapat dibudidayakan di lahan sawah,
lahan kering atau lahan tegalan, dengan jenis tanah bervariasi dari Aluvial, Latosol dan
Andosol (Baswarsiati et al, 1998).
Bawangmerah varietas Bauji dapat diusahakan di dataran rendah yaitu 20 m 400 m dpl ,sangat sesuai
ditanam di musim hujan.. Tanah yang diinginkan berdrainase baik dan kesuburan tinggi, tekstur lempung
berpasir dan struktur remah dengan pH 6-6,5. Dapat dibudidayakan di lahan sawah, dengan jenis tanah
bervariasi dari Aluvial, Latosol dan Andosol (Baswarsiati et al , 1998).

PEMILIHAN BIBIT

Bibit merupakan salah satu kunci utama dalam keberhasilan suatu usahatani . Adapun persyaratan bibit
bawang merah yang baik antara lain :
Umur simpan bibit telah memenuhi , yaitu sekitar 3-4 bulan, walaupun untuk
umur simpan yang lebih muda bibit tetap tumbuh namun pada pertumbuhan berikutnya
akan lebih rendah hasilnya dibandingkan bibit yang telah siap tanam (telah cukup umur
simpannya).
Umur panen saat calon umbi bibit ditanam di lapang , untuk varietas Bauji
maupun Super Philip sebaiknya 65 70 hari
Ukuran bibit sedang , sekitar 5-6 gram . Penggunaan bibit yang berukuran terlalu
besar akan meningkatkan biaya karena kebutuhan bibit semakin banyak
Kebutuhan bibit setiap hektar berkisar 800 1000 kg , tergantung dari besarnya
bibit. Dan biaya untuk pembelian bibit sekitar separo dari seluruh biaya produksi.
Umbi bibit berwarna merah cerah, dengan kulit mengkilat
Umbi bibit bernas , sehat, padat , tidak keropos dan tidak lunak. Bila ada umbi
bibit yang tidak mempunyai sifat demikian sebaiknya tidak digunakan sebagai bibit.
Umbi bibit tidak terserang hama dan penyakit
Sebelum ditanam, umbi bibit dibersihkan dulu dari kulit-kulit yang kering dan
bila pertunasan belum kelihatan diujung umbi, maka sebaiknya ujung umbi dipotong 1/3
agar mempercepat munculnya tunas

PENGOLAHAN TANAH
Bawang merah membutuhkan kondisi tanah yang lebih gembur dibanding tanaman sayuran
lainnya . Oleh karenanya pengolahan tanah pada bawang merah dilakukan sampai beberapa
kali hingga tanah benar-benar menjadi gembur. Bila tanah yang digunakan merupakan tanah
bekas ditanami jagung maupun tebu, maka sisa tanaman tersebut harus dibersihkan hingga
akar-akarnya supaya tidak mengganggu pertumbuhan bawang merah. Dapat juga
menggunakan herbisida sebelum tanah di olah untuk mematikan rumput dan gulma lainnya
,seperti Goal maupun Roundup yang diberikan dua minggu sebelum tanah diolah. Tanah
diolah dengan cara dibajak lebih dari 4 kali hingga tanah menjadi gembur dan tanah
dikeringkan lebih dari seminggu .Kemudian tanah dihaluskan lagi, setelah halus dapat dibuat
bedengan dengan ukuran
Untuk musim kemarau : tinggi bedengan 25 cm
kedalaman parit 30-40 cm
lebar parit 50 cm.
Untuk musim hujan : tinggi bedengan 40 cm
kedalaman parit 50 cm
lebar parit 50 cm.
Pada budidaya bawang merah sangat diperlukan pembentukan bedengan, dimana adanya bedengan berfungsi
agar tanaman bawang merah tidak selalu tergenang air , dan air yang disiramkan segera habis terserap. Setelah
bedengan terbentuk, maka ditaburi pupuk kotoran ternak (pupuk kandang ) yang sudah benar-benar matang,
ditandai dengan kotoran ternak sudah seperti tanah yang gembur. Dosis untuk kotoran ayam sebanyak 5 ton/ha,
sedangkan untuk kotoran sapi maupun kambing sekitar 10-15 ton/ha. Namun dosis ini bisa menjadi lebih
banyak maupun lebih sedikit tergantung dari kesuburan tanah.
Pupuk kandang yang diberikan bersamaan dengan pembuatan bedengan merupakan
perlakuan pemberian pupuk dasar . Selain itu diberikan juga pupuk SP 36 dengan dosis 200
kg/ha swebagai pupuk dasar , yang ditaburkan merata pada seluruh permukaan
bedengan. Pupuk kandang maupun SP 36 diberikan seminggu sebelum tanam. Setelah tanah
dipupuk maka tanah diairi agar pupuk dapat meresap ke dalam tanah.
PENANAMAN
Musim tanam optimal untuk bawang merah yaitu pada akhir musim hujan bulan Maret
April dan musim kemarau Mei Juni, tetapi di daerah pusat produksi dapat dijumpai
penanaman bawang merah tanpa mengenal musim, Untuk penanaman di luar musim (off
season) perlu memperhatikan pengendalian hama dan penyakit lebih cermat.
Penanaman dilakukan setelah tanah dan bibit sudah dipersiapkan, dimana sebelum dilakukan
penanaman tanah harus diari agar saat penanaman kondisi tanah gembur Seperti yang telah
disampaikan sebelumnya, bahwa bibit sebelum ditanam lebih baik dibersihkan dan diseleksi
terlebih dulu agar pertumbuhan tanaman menjadi baik. Bila tidak diseleksi ditakutkan
tercampurnya bibit yang jelek karena terserang penyakit seperti Fusarium , maka akan
mengakibatkan pertanaman hancur karena Fusarium tersebut. Pembersihan bibit dilakukan
sehari sebelum ditanam serta ujung bibit sudah dipotong , dan esoknya dapat dilakukan
penanaman.
Untuk mempercepat proses penanaman, maka sebaiknya bedengan yang akan ditanami sudah
digariti sesuai dengan jarak tanam yang digunakan , sehingga penanaman lebih mudah
dilaksanakan. Jarak tanam yang dianjurkan yaitu 20 cm x 15 cm, namun bila umbi bibit besar
maka dapat menggunakan jarak tanam 20 x 20 cm. Penanaman dilakukan dengan cara
menanam 2/3 bagian umbi ke dalam tanah, sedangkan 1/3 bagiannya muncul di atas tanah.
PENGAIRAN
Bawang merah membutuhkan air dalam kondisi yang cukup sejak pertumbuhan awal hingga
menjelang panen. Air yang diberikan pada tanaman walaupun dengan cara
penggenangan/leb, namun harus segera meresap ke dalam tanah. Bila tidak demikian maka
tanaman akan menjadi busuk dan sebagai sumber penyakit. Oleh karena itu pembuatan
bedengan sangat diperlukan pada budidaya bawang merah . Hal ini berhubunga sifat tanaman
bawang merah yang membentuk umbi di dalam tanah sehingga air yang terlalu banyak akan
membuat umbi menjadi busuk .
Pada musim kemarau , pengairan dapat diberikan setiap hari sejak tanaman ditanam hingga
tanaman membentuk umbi dan dikurangi setelah umbi terbentuk. Namun walaupun musim
kemarau , bila kondisi tanah setelah diairi dan selang dua hari tanah masih basah, maka
tanaman tidak perlu diairi. Oleh karena itu dituntut kepekaan petani dalam mengamati
kebutuhan air bagi tanamannya.
Untuk musim hujan pengairan yang dibutuhkan lebih sedikit yaitu selang dua hari
sekali. Seperti di atas maka yang penting melihat kondisi kelembaban tanah, bila tanah masih
lembab sebaiknya tidak perlu diairi. Yang penting diamati yaitu setelah turun hujan,
sebaiknya tanaman bawang merah disirami dengan air bersih yang tujuannya untuk
menghilangkan inokulum dari penyakit yang kemungkinan menempel di daun.
Cara pengairan dapat dilakukan dengan penggenangan/leb maupun denan cara
disiram/disirat. Kedua cara tersebut sebenarnya mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Untuk cara leb sebaiknya dilakukan pada kondisi tanah yang porous, sehingga
air yang tergenang cepat habis (tuntas), walaupun cara ini membutuhkan waktu yang lebih
pendek dibandingkan cara disiram. Sedangkan cara siram membutuhkan tenaga lebih banyak
dan waktu lebih lama. Namun di daerah tertentu kedua cara tersebut juga dilakukan
bersamaan .
PEMUPUKAN
Pemupukan pada bawang merah sangat dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan tanaman
dan produksi umbi yang lebih baik. Namun pemupukan tidak perlu diberikan secara
berlebihan karena pupuk malahan akan terbuang dengan percuma. Seperti misalnya setelah
tanaman membentuk umbi, maka sebaiknya pemupukan dihentikan. Terkadang ada petani
yang tetap memberikan pupuk walaupun tanaman telah berumur diatas 4- hari, dan ini hanya
membuang pupuk dengan sia-sia.

Dosis pupuk
Dosis pupuk sebenarnya bukan merupakan patokan yang harus ditepati, karena memupuk
suatu tanaman akan berbeda pada setiap kondisi kesuburan tanah yang berbeda. Namun
dosis pupuk yang dapat dianjurkan pada jenis tanah aluvial, seperti daerah Banyuanyar,
Probolinggo maupun Sidokare-Rejoso, Nganjuk seperti berikut. Pupuk dasar menggunakan
10 t/ha pupuk kandang dan SP 36 200 kg/ha yang diberikan 7 hari sebelum
tanam. Sedangkan pemupukan berikutnya menggunakan pupuk urea 200 kg/ha, ZA 450
kg/ha dan KCl 200 kg/ha yang diberikan separo-separo pada saat tanaman berumur 15 hari
dan 30 hari setelah tanam. Cara pemupukan dengan meletakkan pada larikan di sekitar
tanaman, kemudian ditutup dengan tanah.
Pemberian pupuk pelengkap yang banyak beredar di pasar sebenarnya kurang bermanfaat bagi peningkatan
pertumbuhan dan produksi bawang merah. Namun pupuk pelengkap tersebut hanya sebagai tambahan nutrisi
pelengkap karena pada umumnya mengandung unsur mikro. Untuk tanaman bawang merah, unsur mikro kurang
diperlukan karena tanaman bawang merah berumur pendek yaitu sekitar 60-70 hari. Sedangkan unsur mikro
proses pelarutannya dan penyerapannya ke dalam tanaman lama sehingga lebih sesuai bagi tanaman sayuran
yang berumur panjang seperti cabai atau tomat.
PENGENDALIAN GULMA
Gulma merupakan tumbuhan pengganggu yang menyebabkan tanaman utama terganggu
pertumbuhannya. Untuk tanaman bawang merah yang umbinya terbentuk di dalam tanah
maka kehadiran guilma sangat mengganggu karena pembersihan gulma harus hati-hati dan
ditakutkan mengenai dan mengganggu umbinya. Pembersihan gulma dilakukan dengan cara
menyiang dengan intensif sesuai dengan kondisi gulma yang ada dengan cara mencabut
gulma sampai terangkat akar-akarnya serta menggunakan herbisida pra tumbuh dengan dosis
sesuai anjuran.
Cara membersihkan dan mencabut gulma harus hati-hati supaya tidak mengganggu tanaman
bawang merah apalagi bila sudah berumbi. Pembersihan biasanya menggunakan alat seperti
sosrok bambu kecil sehingga gulma dapat terangkat sampai ke akarnya. Bila tanaman sudah
membentuk umbi yang agak besar maka sebaiknya pengendalian gulma dihentikan.

PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT


Hama Ulat Bawang

Biologi dan Potensi Serangan


Ulat Spodoptera exigua dijumpai hampir pada setiap umur tanaman bawang merah. Ulat
berukuran panjang sampai + 25 mm, berwarna hijau atau coklat dengan garis tengah
berwarna kuning. Serangga dewasa meletakkan telur pada daun bawang merah dan gulma
yang tumbuh disekitarnya. Siklus hidup hama ini sempurna yaitu telur, larva, pupa dan imago
yang berupa ngengat (Duriat, dkk., 1994). Pada saat awal pertumbuhan bawang merah,
biasanya dijumpai kelompok telur dan larva stadia awal (instar 1 atau 2). Populasi ini akan
terus meningkat mulai tanaman berumur 2 minggu sampai tanaman di panen. Fye dan Mc
Ada (1972) dalam Smits (1987), lamanya daur hidup ulat sangat tergantung pada temperatur.
Temperatur yang makin tinggi akan memperpendek lamanya stadia telur, larva, pupa dan
ngengat. Periode ngengat berkisar antara 10 20 hari. Setiap individu betina dapat bertelur
antara 500 600 butir. Setelah 2 6 hari telur menetas, larva membuat lubang pada
permukaan daun kemudian masuk ke bagian dalam daun. Larva mempunyai 5 6 stadia
dengan kisaran umur 8,20 18,70 hari. Fase pupa berkisar 5,10 7,70 hari. Pada bulan
Agustus Oktober, kemampuan ngengat untuk bertelur lebih tinggi (Sutarya , 1996).
Ulat menyerang tanaman dengan cara memakan daun bagian dalam, daun bawang merah
tinggal epidermisnya saja, sehingga pada daun terlihat bercak-bercak putih transparan.
Serangan hama ini kerusakan dapat menyebabkan kehilangan hasil 56,94 57 %
(Dibyantoro, 1993; Sastrosiswoyo, 1994), bahkan pada daerah Kab. Probolinggo pada saat
tanam bulan Agustus dapat menyebabkan kerusakan 100 % sehingga menyebabkan puso
( Rosmahani dkk., 2001)
Hama ini termasuk hama yang menyerang banyak spesies tanaman inang. Menurut Smits
(1987), hama ini mempunyai lebih dari 200 spesies tanaman inang yang termasuk
dalam lebih dari 40 famili yang berbeda, namun tanaman inang yang utama adalah keluarga
bawang-bawangan, cabai merah dan jagung (Duriat dkk., 1994).
Kondisi Pengendalian Saat Ini
Pola tanam yang umum dikerjakan oleh petani bawang terutama dilahan irigasi, adalah padi bawang merah
bawang merah bawang merah atau padi bawang merah cabai merah bawang merah. Padi ditanam pada
musim penghujan. Waktu yang dipilih untuk merotasi tanah dengan tanaman padi tidak serentak. Sejak akhir
musim penghujan sampai dengan pertengahan musim penghujan berikutnya petani menanam bawang merah
pada lahannya atau kadang-kadang di sela dengan tanaman jagung. Pola tanam demikian merupakan pola tanam
yang tidak memutus siklus hidup hama S. exigua. Keadaan ini menyebabkan tersedianya semua stadia
pertumbuhan bawang merah serta tersedianya inokulum hama ulat S. exigua. dalam areal yang luas di lapangan.
Penggunaan insektisida untuk mengendalikan hama ulat S. exigua masih menjadi andalan utama para petani,
sehingga insektisida menjadi jaminan utama untuk keberhasilan usahatani. Menurut Stallen dkk.(1990) di sentra
produksi bawang merah, petani umumya mengendalikan ulat dengan menggunakan insektisida yang beredar di
pasaran dengan frekuensi dan dosis yang cukup tinggi. Volume larutan insektisida yang digunakan pada setiap
aplikasi berkisar 560 1.588 liter per ha. Petani melakukan penyemprotan secara berkala 3 4 hari sekali,
sehingga dalam satu musim tanam melakukan penyemprotan 15 20 kali (Dibyantoro, 1995), bahkan pada
musim tanam bulan Agustus interval penyemprotan meningkat menjadi 1 2 hari sekali, sehingga dalam satu
musim tanam dapat mencapai 50 kali aplikasi insektisisda (Rosmahani dkk., 1998). Jika udara panas terus
menerus, maka pengendalian ulat dengan cara mekanis ( mengambil dan membuang kelompok telur maupun
ulat) dan dengan cara aplikasi insektisida (interval 1 2 hari sekali) tetap tidak dapat mengendalikan populasi
ulat S. exigua yang meningkat cepat dalam waktu satu minggu dapat menyebabkan tanaman bawang merah
puso (Rosmahani dkk., 2001)
Alternatif Pengendalian Secara Fisik
Sampai saat ini telah banyak hasil penelitian yang menyajikan komponen komponen pengendalian yang dapat
dirakit dalam satu pengendalian secara PHT. diantaranya adalah penerapan budidaya tanaman sehat, pergiliran
tanaman, penanaman serentak, pengendalian secara mekanis, penggunaan seks feromon, penggunaan alat
semprot yang tepat, pengendalian secara hayati. Namun jika lingkungan sudah kurang sesuai bagi pertanaman
bawang merah, terutama pada saat tanam bulan Agustus, yang pada saat tersebut temperatur udara sangat panas
( diatas 29 C), tidak ada curah hujan, sumber infeksi hama sudah tersedia di sekitar pertanaman karena sudah
ada pertanaman sejak awal musim kemarau, populasi hama dapat meningkat dengan sangat cepat dalam waktu
1-2 hari diperlukan alternatif komponen pengendalian yang lain. Komponen pengendalian yang harus
disertakan adalah pengendalian fisik dengan jalan memberikan kerodong kasa (Gambar 1.) pada seluruh
tanaman dengan tinggi kerodong 175 cm, yang dipasang sejak sebelum bibit bawang merah ditanam sampai saat
panen. Pada keadaan ini petani masih dapat masuk kedalam lerodong kasa untuk melakukan aktivitas
pemeliharaan tanamannya a.l.: tanam, aplikasi herbisida, penyiangan, penyiraman, monitoring serangan hama,
pengendalian hama ulat secara mekanis dan panen.
Kasa dibuat dari bahan plastik dengan ukuran lubang 17 mesh. Pengendalian dengan cara ini sudah mulai
dilakukan oleh petani di Kab. Probolinggo sejak 6 8 tahun terakhir, dikombinasikan monitoring serangan ulat ,
dua kali seminggu, pengendalian mekanis yaitu mengambil dan membuang kelompok telur dan ulat yang ada
pada daun dan permukaan atas kerodong kasa, aplikasi insektisida 1 2 kali per musim tanam jika serangan
hama thrips meningkat. Penggunaan kerodong kasa ini dapat mengurangi bahkan meniadakan penggunaan
insektisida kimia, sehingga efek negatif penggunaan insektisida juga dapat ditiadakan. Kerodong kasa dapat
diterapkan pada luasan pertanaman yang sempit maupun yang luas namun pada umumnya ukuran kerodong
kasa yang diterapkan oleh petani per unit antara 500 m2 sampai 2000 m 2. Keberhasilan pengendalian hama ulat
dengan menggunakan kerodong kasa ini dapat mencapai 100 % dan bawang merah dapat dipanen dengan hasil
optimal. Biaya penggunaan kerodong kasa untuk pertanaman bawang merah dengan luas lahan 1300 m 2adalah
sebesar Rp. 1.652.500,- (Analisa biaya tertera pada Lampiran 1.). Biaya penggunaan kerodong kasa ini setara
dengan biaya aplikasi penggunaan insektisida. Namun kerodong kasa ini dapat digunakan untuk 6 8 kali
musim tanam bila perawatan kasa dilakukan dengan baik (Rosmahani, dkk., 2001).
Keberhasilan kerodong kasa pada usahatani bawang merah ini adalah sebagai barier fisik bagi masuknya
hama ulat S. exigua pada pertanaman bawang merah. Ukuran lubang bahan kerodong kasa adalah sebesar 17
mesh, sehingga ngengat yang datang tidak dapat masuk kedalam pertanaman bawang merah. Jika ngengat
hinggap pada permukaan bagian atas kerodong kasa dan bertelur maka masih ada kemungkinan telur untuk jatuh
pada daun bawang merah di dalam kerodong kasa. Hal ini dapat ditanggulangi dengan pengendalian mekanis
yaitu dengan mengambil dan membuang kelompok telur yang ada pada tanaman bawang merah. Secara tidak
langsung secara ekologis kerodong kasa dapat membantu memperbaiki lingkungan tumbuh bawang merah pada
saat musim kemarau (saat tanam bulan Agustus). Pada saat tanam tersebut udara panas dan kering , dengan
temperatur udara > 30 C. Pada kondisi udara yang panas dan kering daun bawang merah dapat mengalami
respirasi yang tinggi (Sumami dan Rosliani, 1995), keadaan ini menyebabkan tanaman menjadi lemas, dan
lemah. Penggunaan kerodong kasa secara fisik juga dapat mengurangi intensitas sinar matahari dan respirasi
tanaman sehingga pertumbuhan tanaman bawang merah dapat berlangsung dengan normal sehingga dapat
menghasilkan umbi dengan baik. Selain itu penggunaan kerodong kasa menyebabkan pengurangan penggunaan
insektisida dalam jumlah besar sehingga juga dapat menekan efek negatif insektisida baik di lapangan maupun
di tingkat kosumen.
Potensi Pengembangan Teknologi
Potensi pengembangan teknologi nampaknya cukup bagus. Luas pertanaman bawang merah
yang menggunakan kerodongkasa pada tahun 2001 di Kab. Probolinggo mencapai 210 ha
(Rosmahani, dkk., 2001). Pengembangan teknologi dapat dicapai yaitu dengan cara
sosialisasi penerapan kerodong kasa secara bertahap yang dimulai dari petani disekitar petani
yang telah menggunakan, meluas kepada petani disekitarnya. Kegiatan ini membutuhkan
waktu yang tidak singkat mengingat petani sudah sangat terbiasa selama bertahun-tahun
mengendalikan hama dan penyakit bawang merah secara konvensional dengan pestisida
kimia sintetik. Perubahan praktek pengendalian organisme pengganggu tumbuhan secara
konvensional ke sistem PHT perlu dilakukan secara bertahap melalui program pelatihan dan
penyuluhan yang intensif (Untung, 1993).
Selain itu beberapa hal perlu dicermati agar pengembangan penerapan kerodong kasa sebagai
pelengkap komponen PHT dapat berlangsung yaitu:
Hal-hal yang dapat memacu keberhasilan penerapan kerodong kasa pada bawang merah a.l:
Semakin banyak petani yang mengikuti program SLPHT
Semakin mahalnya harga pestisida kimia sintetik
Semakin seringnya petani mengalami kegagalan dalam penggunaan pestisida
kimia saja
Kesadaran masyarakat konsumen maupun perodusen bawang merah akan bahaya
residu pestisida kimia sintetik
Hal-hal yang masih menjadi penghambat keberhasilan penerapan kerodong kasa
sebagai komponen pelengkap PHT pada bawang merah a.l:
Semakin sempitnya kesempatan memiliki lahan garapan sendiri. Semakin banyak
petani yang menggadaikan lahan garapannya untuk selama lebih dari dua tahun, karena
keterbatasan penghasilan, keterbatasan modal usaha. Petani berubah menjadi penggadu
untuk lahannya sendiri sebab sarana produksi disediakan oleh pemilik modal, padahal
pemilik modal tidak berada ditempat dan tidak mau tahu dengan keadaan ekosistem
dilahan garapan, sehingga untuk keperluan usahatani bawang merah disediakan pestisida
kimia dalam jumlah banyak. Petani sulit menentukan pilihan pengendalian lain selain
penggunaan pestisida kimia.
Pemilik toko pertanian sering meminjamkan modal berupa pupuk dan pestisida
yang dapat dibayar jika saat panen tiba.
Kurangnya kelompok tani yang dapat menghimpun petani untuk memecahkan
persoalan usahatani, termasuk pengusahaan pinjaman modal untuk penerapan kerodong
kasa pada tanaman bawang merah dalam areal luas.
Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum)
Gejala serangan, tanaman kurus kekuningan dan busuk bagian pangkal
Tanaman mudah tercabut karena pertumbuhan akar terganggu dan membusuk
Tanaman yang terserang segera dicabut dan dimusnahkan
Pencegahan di daerah endemis Fusarium, perlu perlindungan bibit dengan
menaburkan fungisisda dosis 100 gram/100 kg bibit yang diberikan dua tau tiga hari
sebelum tanam
Di daerah endemis sebelum tanam, tanah yang sudah diolah diberi fungisida
seperti Fapam sebanyak 2 cc/l, untuk mematikan patogen dan Fusarium

Penyakit Becak Ungu /Trotol (Alternaria porri)


Gejala awal serangan pada daun menimbulkan bercak berukuran kecil, berwarna
putih dengan pusat berwarna ungu
Ujung daun mengering bahkan daun dapat patah
Bila tanaman terkena hujan atau embun, segera disiram air bersih untuk
mengurangi penularan spora penyakit yang menempel pada daun
Pengendalian dengan menggunakan fungisida selektif dengan dosis sesuai
anjuran, bila intensitas serangan mencapai 5 % tanaman terserang perlu
Yang perlu diperhatikan dalam pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida yaitu :
Memilih pestisida yang tepat , sesuai target hama atau target penyakit
Jangan menggunakan pestisida lebih dari 1 macam pada satu waktu penyemprotan
Gunakan beberapa macam pestisida secara bergantian , agar hama dan penyakit
tidak kebal terhadap satu macam pestisida
Jangan menggunakan dosis yang berlebihan karena tidak efektif dan akan
menambah biaya produksi
Waktu penyemprotan agar diperhatikan , sebaiknya sebelum matahari terbit atau
sore hari
Cara penyemprotan tepat mengenai sasaran serta searah dengan angin

PENINGKATAN MUTU DAN HASIL PANEN


Umur panen tergantung varietas, namun dapat menggunakan
dasar : untuk konsumsi : 50-60 hari setelah tanam (di dataran rendah)
70-75 hari setelah tanam (di dataran tinggi _
kerebahan daun 70-80 %
untuk umbi bibit : 65-70 hari setelah tanam (di dataran rendah)
80-90 hari setelah tanam (di dataran tinggi _
kerebahan daun 90 %
Waktu panen udara cerah dan tidaj basah
Keseluruhan daun tampak menguning
Sebagian umbi nampak tersembul keluar
Cara panen dengan mencabut keseluruhan tanaman secara hati-hati
Hasil panen diikat 1-1,5 kg setiap ikatan
Pelayuan atau curing sebelumbawang merah dikeringkan dengan menjemur 2-3
hari di bawah terik sinar matahari
Pengeringan dilakukan 7-14 hari, hingga mencapai susut bobot 25-40 % atau
sampai kering askip
Untuk mengetahui kesiapan umbi kering askip yaitu menyimpan sedikit contoh
dalam kantong plastik putih selama 24 jam, bila sudah tidak ada titik air dalam kantong,
berarti sudah mencapai kering askip
Penyimpanan bawang merah dapat dilakukan di atas perapian , menggunakan
para-para bambu dan di bawahnya diberi pengasapan
Penyimpanan di ruang berventilasi sangat baik karena mempunyai sirkulasi udara
yang baik dan dapat mencegah serangan hama dan penyakit seperti rumah sere dan
gudang berpembangkit vorteks (mengubah aliran udara jenuh dalam gudang, dengan
menghembus ke atas keluar gudang dan digantikan udara luar yang lebih bersih oleh
adanya vorteks).
Sortasi dilakukan untuk memisahkan umbi yang sehat , utuh dan menarik dengan
umbi yang telah rusak. Sortasi dapat meningkatkan nilai jual dan mencegah penularan
penyakit
Grading dilakukan untuk menentukan tingkat mutu produk, sehingga harga dapat
ditentukan sesuai mutunya. Grading dilakukan dalam beberapa kelas yaitu kelas I
diameter > 2,5 cm, kelas II =1,5-2,5 cm , kelas III < 1,5 cm.

DAFTAR PUSTAKA
Baswarsiati, L. Rosmahani dan F. Kasijadi. 1998.Rakitan Teknologi Usahatani Bawang Merahdalam Monograf
Rakitan Teknologi. BPTP Karangploso.
Baswarsiati, L. Rosmahani dan E. Korlina. 2000. Review pengkajian sistem usahatani bawang merah di lahan
sawah. Eds. Soetjipto P.H. dkk. Prosid. Sem. Hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian
Mendukung Ketahanan Pangan Berwawasan Agribisnis. Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. 392 402.
__________, L. Rosmahani, E. Korlina, E.P. Kusumainderawati, D. Rachmawati dan S.Z.
Saadah. 1997. Adaptasi beberapa varietas bawang merah di luar musim.Eds. M. Cholil
M. dkk. Prosid. Sem. Hasil Penelitian dan Pengkajian Komoditas Unggulan. Deptan.
Balitbangtan. BPTP Karangploso. 210-225.

__________, L. Rosmahani, B. Nusantoro, R.D. Wijadi, M. Mahuri, Koespiatin, S. Fatimah,


Riswandi, S.Z. Saadah. 1998. Pengkajian paket tehnik budidaya dalam usahatani
bawangmerah di luar musim. Eds. Supriyanto A . dkk. Prosid. Sem. Hasil Penelitian dan
Pengkajian Sisitem Usahatani Jawa Timur. Balitbangtan. Puslit Sosek Petanian. BPTP
Karangploso. 156-168.
Dibyantoro, A. L. H. 1993. Daya guna insektisida Reldan 24 EC terhadap Spodoptera exigua
Hubn. Pada tanaman bawang merah. Buletin Penelitian Hortikultura. 25 (2): 54 60.
_________, A. L. H. 1995. Pestisida-toksikologi dan residu pestisida pada produk sayuran.
Makalah disajikan pada Pelatiha AP3I-IKABRO, 24 29 Juli. 33 hal.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Drh Prop. Drh Tk I Jawa Timur. 1997. Penentuan
komoditas tanaman pangan dan hortikultura unggulan Jawa Timur dan strategi
pengembangannya. Lokakarya Wawasan dan Strategi Pembangunan Pertanian di
Jawa Timur Menjelang Abad XXI, Surabaya, 9 10 Desember 1997. BPTP
Karangploso. 26 hal.
Duriat, A.S., T.A. Soetiarso, L. Prabaningrum, R. Sutarya. 1994. Penerapan Pengenmdalian
Hama dan Penyakit Terpadu pada Budidaya Bawang Merah. Balai Penelitian
Hortikultura Lembang. Puslitbanghort. Badan Litbang Pertanian.
Grubben, G.J.H. 1990. Timing of vegetable production in Indonesia. Bul. Penel. Hort. XVIII
(1): 43 53.
Hadisoeganda, W.W., E. Wuryaningsih dan T.K. Moekasan. 1995. Penyakit dan hama bawang
merah dan cara pengendaliannya. Dalam. Teknologi Produksi bawang merah.
Puslitbanghort. Balitbangtan.Jakarta Hal 57 73.
Koster,W.G. 1990.Explorating survey on shallot in rice based cropping system in Brebes.
Bul. Penel. Hort. 18 (1):19-30
Rosmahani, L., E. Korlina, Baswarsiati dan F. Kasijadi. 1998. Pengkajian tehnik
pengendalian terpadu hama dan penyakit penting bawang merah tanam di luar
musim. Eds. Supriyanto A.dkk. Prosid. Sem.Hasil Penelitian dan Pengkajian Sisitem
Usahatani Jawa Timur. Balitbangtan. Puslit Sosek Petanian. BPTP Karangploso. 116-
131

____________, Soeyamto, E. Korlina, Baswarsiati. 2001. Identifikasi dan saran pemecahan


permasalahan hama ulat bawangmerah di Kab. Probolinggo. Lap. Hasil survey BPTP
Jatim. Belum dipublikasi. 6 hal.

Sastrosiswoyo, S. 1996. Sistem Pengendalian Hama Terpadu dalam Menunjang Agribisnis


Sayuran. Prosiding Seminar Nasional Komoditas Sayuran. Eds. Duriat, A.S dkk. Balai
Penelitian Tan. Sayuran Bekerjasama dengan PFI Komda Bandung dan CIBA Plant
Protection. 15 hal.

Smits, P. H. 1987. Nuclear polyhedrosis Virus as Biological Cointrol Agent of Spodoptera


exigua. Lanbouw Universiteit te Wageningen. 127 hal.
Stallen, M.P.K., M.T. Koestoni and A.T.Arifin. 1990. Evaluation of performance of knapsack
sprayers used for cultivation of hot pepper and shallots in farmers field. In Improving
spraying Techniques for Lowland Vegetables. Internal Communication LEHRI/ATA-
395 (22): 9-13.

Sumami, N dan R. Rosliani. 1995. Ekologi bawang merah. Dalam. Teknologi Produksi
Bawang Merah. Eds. Soenaryono, H. dkk. Puslitbang Hortikultura, Badan Litbang
Pertanian. Jakarta . 12 17.

Sutarya, R. 1996. Hama ulat Spodoptera exigua Hubn. pada bawang merah dan strategi
pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian XV (2). 1996: 41 46

Suwandi, 1994. Hasil penelitian bawang merah dalam Peliyta V. Evaluasi Hasil Penelitian
Hortikultura dalam Pelita V. Puslitbang Hortikultura. Badan Litbang Pertanian.
Segunung. 27-29 Juni 1994.

Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 273 hal.

Anda mungkin juga menyukai