Pengertian
Etiologi
Mycobacterium tuberkulosis (Amin, M.,1999).
Faktor Resiko
Rasial/Etnik group : Penduduk asli Amerika, Eskimo, Negro, Imigran dari Asia
Tenggara.
Klien dengan ketergantuangan alkhohol dan kimia lain yang menimbulkan
penurunan status kesehatan.
Bayi dan anak di bawah 5 tahun.
Klien dengan penurunan imunitas : HIV positip, terapi steroid & kemoterapi
kanker.
Gejala Klinis
1. Demam (subfebris, kadang-kadang 40 - 41 C, seperti demam influensa.
2. Batuk (kering, produktif, kadang-kadang hemoptoe (pecahnya pembuluh darah).
3. Sesak napas, jika infiltrasi sudah setengah bagian paru.
4. Nyeri dada, jika infiltrasi sudah ke pleura.
5. Malaise , anoreksia, badan kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat
malam.
2. Integritas Ego :
- Perasaan tak berdaya/putus asa.
- Faktor stress : baru/lama.
- Perasaan butuh pertolongan
- Denial.
- Cemas, iritable.
3. Makanan/Cairan :
- Kehilangan napsu makan.
- Ketidaksanggupan mencerna.
- Kehilangan BB.
- Turgor kulit buruk, kering, kelemahan otot, lemak subkutan tipis.
4. Nyaman/nyeri :
- Nyeri dada saat batuk.
- Memegang area yang sakit.
- Perilaku distraksi.
5. Pernapasan :
- Batuk (produktif/non produktif)
- Napas pendek.
- Riwayat tuberkulosis
- Peningkatan jumlah pernapasan.
- Gerakan pernapasan asimetri.
- Perkusi : Dullness, penurunan fremitus pleura terisi cairan).
- Suara napas : Ronkhi
- Spuntum : hijau/purulen, kekuningan, pink.
6. Kemanan/Keselamatan :
- Adanya kondisi imunosupresi : kanker, AIDS, HIV positip.
- Demam pada kondisi akut.
7. Interaksi Sosial :
- Perasaan terisolasi/ditolak.
Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-
kapiler.
3. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, penurunan geraan silia, stasis dari sekresi.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, terapi dan pencegahan berhubungan
dengan infornmasi kurang / tidak akurat.
Intervensi
Diagnosa Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi
yang kental/darah.
Tujuan : Kebersihan jalan napas efektif.
Kriteria hasil :
Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.
Mendemontrasikan batuk efektif.
Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.
Rencana Tindakan :
1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat
penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana teraupetik.
2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan
frustasi.
3. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
4. Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi
alveolar.
5. Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan
sebanyak mungkin melalui mulut.
Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk
pendek dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi
sekret.
6. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
7. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan
hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila
tidak kontraindikasi.
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus,
yang mengarah pada atelektasis.
8. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau
mulut.
9. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian expectoran.
Pemberian antibiotika.
Konsul photo toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi
perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
Rencana tindakan :
1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur.
Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada
sisi yang tidak sakit.
2. Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau
perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat
stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan
dengan hipoksia.
3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin
keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
4. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps
paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana teraupetik.
5. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan
menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan
sebagai ketakutan/ansietas.
6. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian antibiotika.
Pemeriksaan sputum dan kultur sputum.
Konsul photo toraks.
R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
Rencana tindakan
1. Diskusikan penyebab anoreksia, dispnea dan mual.
R/ Dengan membantu klien memahami kondisi dapat menurunkan ansietas dan
dapat membantu memperbaiki kepatuhan teraupetik.
2. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan.
R/ Keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan.
3. Tawarkan makan sedikit tapi sering (enam kali sehari plus tambahan).
R/ Peningkatan tekanan intra abdomen dapat menurunkan/menekan saluran GI dan
menurunkan kapasitas.
4. Pembatasan cairan pada makanan dan menghindari cairan 1 jam sebelum dan
sesudah makan.
R/ cairan dapat lebih pada lambung, menurunkan napsu makan dan masukan.
5. Atur makanan dengan protein/kalori tinggi yang disajikan pada waktu klien
merasa paling suka untuk memakannya.
R/ Ini meningkatkan kemungkinan klien mengkonsumsi jumlah protein dan kalori
adekuat.
6. Jelaskan kebutuhan peningkatan masukan makanan tinggi elemen berikut
a. Vitamin B12 (telur, daging ayam, kerang).
b. Asam folat (sayur berdaun hijau, kacang-kacangan, daging).
c. Thiamine (kacang-kacang, buncis, oranges).
d. Zat besi (jeroan, buah yang dikeringkan, sayuran hijau, kacang segar).
R/ Masukan vitamin harus ditingkatkan untuk mengkompensasi penurunan
metabolisme dan penyimpanan vitamin karena kerusakan jarinagn hepar.
7. Konsul dengan dokter/shli gizi bila klien tidak mengkonsumsi nutrien yang cukup.
R/ Kemungkinan diperlukan suplemen tinggi protein, nutrisi parenteral,total, atau
makanan per sonde.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, M., (1999). Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :Airlangga Univerciti Press
Carpenito, L.J., (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta :
EGC
I. Definisi :
b. Dekompensasi
Mekanisme komposisi mulai gagal, cadiac sulfat made kuat perfusi jaringan
memburuk, terjadilah metabolisme anaerob. karena asam laktat menumpuk
terjadilah asidisif yang bertambah berat dengan terbentuknya asan karbonat
intrasel. Hal ini menghambat kontraklilitas jantung yang terlanjur pada mekanisme
energi pompo Na+K di tingkat sel.
pada syock juga terjadi pelepasan histamin akibat adanya smesvar namun bila
syock berlanjut akan memperburuk keadaan, dimana terjadi vasodilatasi disfori &
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga volumevenous retwn berkurang yang
terjadi timbulnya depresi muocard.
Maniftrasi klinis : TD menurun, porfsi teriter buruk olyserci, asidosis, napus kusmail.
c. Irreversibel
Gogal kompersasi terlanjut dengan kuratian sel dan disfungsi sistem nultragon,
cadangan ATP di keper dan jantung habis (sintesa baru 2 jam). terakhir kematian
walausirkulasi dapat pulih manifestasi klinis : TD taktenkur, nadi tak teraba,
kesadaran (koma), anuria.
DAFTAR PUSTAKA
A. Pengertian
B. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan
(cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di
samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-
supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya
serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
C. Manifestasi Klinis
1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
D. Evaluasi Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta
penurunan berat badan dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis.
Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis
atau leukopenia dan antibodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik
lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.
E. Penatalaksanaan Medis
1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.
B. Masalah Keperawatan
1. Nyeri
2. Keletihan
3. Gangguan integritas kulit
4. Kerusakan mobilitas fisik
5. Gangguan citra tubuh
C. Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres
panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga,
bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat
kronik penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa
nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk
memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
Definisi :
Sirosis Hepatis Adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai dengan dodul.
Etiologi :
Belum jelas
Faktor penyebab :
Alkoholik
Infeksi
Malnutrisi
Kongesti
Dll
Klasifikasi :
1. Morfologi:
a. Mikronoduler Adanya septa tipis.
b. Makronoduler Sirosis pasca necrotic.
c. Campuran sirosis mikro dan makro noduler.
2. Fungsional:
a. Kegagalan hati (Keluhan lemah, BB Menurun Dll).
b. Hipertensi portal terjadi :
- Meningkatnya resistensi portal akibat fibrosis.
- Meningkatnya aliran portal akibat distorsi hati.
ANATOMI HATI
berat hati 1500 gram.
Metabolisme hati menghasilkan panas 20 %.
Mendapat peredaran darah dari Arteri hepatica dan Vena porta.
Fungsi hati
- Mensintesa sebagian besar protein plasma, metabolisme Asam amino, Lemak, KH,
Alkohol, Obat-obatan dan membuat getah Empedu.
- Menyimpan Vit B 12 untuk kebutuhan selama 1 sampai dengan 3 Tahun dan Vit A,
D, E, K.
- Menyimpan Trigliserida sebagai cadangan Energi
Susunan Empedu :
Hati menghasilkan Empedu 1 Liter / hari. Volume ini menyusut 10 sampai dengan
20 % setelah dipekatkan di kandung empedu.
Garam Empedu :
Asam asam Empedu yaitu asam Kholat dan Kenodioksikolat disintesa dari
kolesterol.
Sintesa terjadi pada sel hati dengan penggabungan Taurine Garam Na.
90 % Garam Empedu yang terkonjugasi diserap secara aktif di dalam Ileum dan
selanjutnya di bawa ke hati.
10 % Garam Empedu lolos ke usus besar, lalu dipecah oleh bakteri menjadi Tinja.
Pemeriksaan Laboratorium
Protrombin time memanjang
Kadar albumin rendah
Peningkatan gamma globulin G.
Urobillin feces meningkat (n = 90 280 mg/hari).
Urobillin urine meninglkat (n = 0,1 1,0 erlich u/dl).
Kadar bilirubin direk dan indirek meningkat.
(Direk n = 0,1 0,3 mg/dl. Indirek n = 0,2 0,8 mg/dl).
Komplikasi
1. Haematemesis melena
2. Koma hepatic.
Penatalaksanaan :
1. Sirosis hati :
a. Istirahat samapai ada perbaikan ikterus, ascites.
b. Diet rendah protein (DH III).
c. Pemberian antibiotika.
d. Memperbaiki keadaan gizi.
e. Pemberian Roborantia
2. Ascites dan Edema
a. Bed rest , dirt rendah garm 500 mg/hari, cairan dibatasi 1 lt/hari, ukur kadar
Elektrolit serum, timbang BB.
b. Kolaborasi Spirolakton 100 mg/ hari, KCL 50 mg/hari.
c. Dalam pemberian diuretic harus hati-hati untuk keadaan hipokalemi.
Pengkajian data
1. Istirahat/aktivitas
DS : Kelemahan, Fatique.
DO: Menurunkan massa otot.
2. Sirkulasi :
DS : Riwayat ganggguan kongesti (CHF), Penyakit rematik, jantung, kanker
(Malfungsi hati akibat gagl hati).
DO : Hipertensi / hipotensi
- Disritmia, suara jantung tambahan
- Distensi vena juguler, dan vena abdomen.
3. Eliminasi
DS : - Flatulensi
- Diare/konstipas
DO : Distensi abdominal.
- Menurunya suara pencernaan
- Urin pekat
- Feses seperti dempul, melena.
4.Makan/minum
DS : Anoreksia
DO : Penurunan BB, Edema.
Kulit kering, turgor jelek.
Joundice, Spider angiomos.
5. Neurosensori
DS : Depresi mental
DO : Berbicara tidak jelas
Hepatik enchelopati.
6. Nyeri/kenyamanan
DS : Kembung, pruriyus
DO : Tingkah laku membingungkan
7. Respirasi
DS : Dyspnoe
DO : Tachypnoe
Terbatasnya ekspirasi dada.
8. Sexualitas
DS : Gangguan menstruasi
DO : Atropi testis, Ginekomasti, Rambut rontok
9. Pengetahuan
DS : Riwayat pemakaian alcohol yang lama.
Riwayat penyakit empedu, hepatitis, pemakaian obat yang merusak fungsi hati, dll.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anorksia,
gangguan metabolisme protein,lemak,glukosa dan gangguan penyimpanan Vitamin
b. Perubahan volume cairan tubuh, berhubungan dengan malnitrisi, kelebihan
sodium/ intake cairan.
c. Resiko ketidak efektifan pola nafas berhubungna dengan ascites, menurunya
ekspansi paru.
d. Resiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan sirkulasi
atau status metabolic.
e. Resiko terjadi perdarahan yang berhubungan dengan riwayat darah yang
abnormal, hipertensi portal.
f. kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi yang
didapat.
IMPEMENTASI
Diagnosa keperawatan 1.
a. Diskusikan penyebab anoreksia, dispnoe, nausea.
b. Anjurkan untuk istirahat sebelum makan.
c. Beri makanan dengan jumlah kecil tapi sring.
d. Batasi minum.
e. Beri makanan rendah Protein dan kalori.
f. Monitor hasil Lab : kadar glukosa, albumin, protein total dan kadar amoniak.
g. Kolaborasi obat obatan sesuai indikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Pengarapen, Tarigan, (1998). Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid I, Edisi ketiga :
Balai penernit FKUI. Jakarta
Carpenito. L.J (2001). Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC. Jakarta
Sylvia A. Prince, (1995). Patofisiologi konsep klinis proses penyakit, Edisi 4, Buku 1.
EGC. Jakarta
Doengoes M.E. (2000). Rencana Asuhan keperawatan. EGC. Jakarta
ASUHAN KEPERAWATAN PPOM (PENYAKIT PARU OBSTRUKSI MENAHUN)
PPOM merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas
dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru.
I. BRONKITIS KRONIS
A. Pengertian
Bronkitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3
bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut. (Bruner & Suddarth, 2002)
B. Patofisiologi
Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi.
Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel
goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir yang
dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan tersumbat.
Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk
fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting
dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi
lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi
sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya
mungkin terjadi perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan
emfisema dan bronkiektasis.
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia
2. Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma normal/mendatar
3. Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi
kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV), kapasitas paru total (TLC) normal
atau sedikit meningkat.
4. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit : dapat sedikit meningkat
II. BRONKIEKTASIS
A. Pengertian
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin disebabkan
oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus; aspirasi benda
asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas; dan tekanan
akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran nodus limfe.
(Bruner & Suddarth)
B. Patofisiologi
Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya
dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki.
Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Infeksi
meluas ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus bronkiektasis sakular, setiap
tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir
bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya setempat, menyerang lobus atau
segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih sering terkena.
Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan
alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (ateletaksis). Jaringan parut
atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi.
Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan
kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual terhadap
kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi
(ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Bronkografi
2. Bronkoskopi
3. CT-Scan : ada/tidaknya dilatasi bronkial
III. EMFISEMA
A. Pengertian
Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth, 2002)
B. Patofisiologi
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu : inflamasi
dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil
elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang
berfungsi.
Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak
langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan
ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan
mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan
hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami
kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri
(hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler pulmonal
berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk
mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan
demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu
komplikasai emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai, distensi vena leher
atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.
Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk
membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan
kronis dengan damikian menetap dalam paru yang mengalami emfisema
memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan aliran
keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi kronik. Untuk
mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif
selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan
dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah salah satu inflasi.
Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan
upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-
iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak
pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan
yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen dada : hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran interkosta dan
jantung normal
2. Fungsi pulmonari (terutama spirometri) : peningkatan TLC dan RV, penurunan VC
dan FEV
IV. ASMA
A. Pengertian
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea
dan bronki berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. (Bruner &
Suddarth, 2002)
B. Patofisiologi
Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan
mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam
paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan
antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti
histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi
lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot
polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakan membran mukosa
dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls
saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alergi ketika
ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin,
merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga
merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas diatas. Individu dengan
asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor - dan -adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam
bronki. Ketika reseptor adrenergik dirangsang , terjadi bronkokonstriksi;
bronkodilatasi terjadi ketika reseptor -adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan
antara reseptor - dan -adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin
monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor alfa mengakibatkan penurunan c-AMP, yang
mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast
bronkokonstriksi. Stimulasi respon beta- mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP,
yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi.
Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan -adrenergik terjadi pada individu
dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator
kimiawi dan konstriksi otot polos.
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen dada : hiperinflasi dan pendataran diafragma
2. Pemeriksaan sputum dan darah : eosinofilia (kenaikan kadar eosinofil).
Peningkatan kadar serum Ig E pada asma alergik
3. AGD : hipoksi selama serangan akut
4. Fungsi pulmonari :
Biasanya normal
Serangan akut : Peningkatan TLC dan FRV; FEV dan FVC agak menurun
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian mencakup pengumpulan informasi tentang gejala-gejala terakhir juga
manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini adalah daftar pertanyaan yang bisa
digunakan sebagai pedoman untuk mendapatkan riwayat kesehatan yang jelas dari
proses penyakit :
Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan ?
Apakah aktivitas meningkatkan dispnea? Jenis aktivitas apa?
Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
Kapan selama siang hari pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
Apa yang pasien ketahui tentang penyakit dan kondisinya?
Data tambahan dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan; pertanyaan yang
patut dipertimbangkan untuk mendapatkan data lebih lanjut termasuk :
Berapa frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
Apakah pernapasan sama dan tanpa upaya?
Apakah pasien mengkonstriksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
Apakah pasien menggunakan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?
Apakah tampak sianosis?
Apakah vena leher pasien tampak membesar?
Apakah pasien mengalami edema perifer?
Apakah pasien batuk?
Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
Bagaimana status sensorium pasien?
Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?
2. Diagnosa Keperawatan
a) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi,
peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal.
b) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi
c) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea
d) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas, malnutrisi
e) Kurang pengetahuan tentang kondisi/tindakan berhubungan dengan kurang
informasi.
3. Intervensi
a) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan
bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif,
infeksi bronkopulmonal.
Intervensi :
Mandiri
Auskultasi bunyi nafas
Kaji frekuensi pernapasan
Kaji adanya dispnea, gelisah, ansietas, distres pernapasan dan penggunaan otot
bantu pernapasan
Berikan posisi yang nyaman pada pasien : peninggian kepala tempat tidur, duduk
pada sandaran tempat tidur.
Hindarkan dari polusi lingkungan misal : asap, debu, bulu bantal
Dorong latihan napas abdomen
Observasi karakteristik batuk misalnya : menetap, batuk pendek, basah
Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung
Berikan air hangat
Kolaborasi :
Berikan obat sesuai indikasi : bronkodilator, Xantin, Kromolin, Steroid oral/IV dan
inhalasi, antimikrobial, analgesik
Berikan humidifikasi tambahan : misal nebuliser ultranik
Fisioterapi dada
Awasi GDA, foto dada, nadi oksimetri
Kolaborasi :
Dapatkan spesimen sputum
Berikan antimikrobial sesuai indikasi
1. DEFINISI
Pneumonia adalah suatu peradangan atau inflamasi pada parenkim paru yang
umumnya disebabkan oleh agent infeksi
2. ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti:
1. Bakteri: stapilokokus, streplokokus, aeruginosa, eneterobacter
2. Virus: virus influenza, adenovirus
3. Micoplasma pneumonia
4. Jamur: candida albicans
5. Aspirasi: lambung
3. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar pneumonia didapat melalui aspirasi partikel infektif. Ada beberapa
mekanisma yang pada keadaan normal melindungi paru dari infeksi. Partikel
infeksius difiltrasi di hidung, atau terperangkap dan dibersihkan oleh mukus dan
epitel bersilia di saluran napas. Bila suatu partikel dapat mencapai paru-paru,
partikel tersebut akan berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga dengan
mekanisme imun sistemik, dan humoral. Bayi pada bulan-bulan pertama kehidupan
juga memiliki antibodi maternal yang didapat secara pasif yang dapat
melindunginya dari pneumokokus dan organisme-organisme infeksius lainnya.
Perubahan pada mekanisme protektif ini dapat menyebabkan anak mudah
mengalami pneumonia misalnya pada kelainan anatomis kongenital, defisiensi imun
didapat atau kongenital, atau kelainan neurologis yang memudahkan anak
mengalami aspirasi dan perubahan kualitas sekresi mukus atau epitel saluran
napas. Pada anak tanpa faktor-faktor predisposisi tersebut, partikel infeksius dapat
mencapai paru melalui perubahan pada pertahanan anatomis dan fisiologis yang
normal. Ini paling sering terjadi akibat virus pada saluran napas bagian atas. Virus
tersebut dapat menyebar ke saluran napas bagian bawah dan menyebabkan
pneumonia virus.2
Kemungkinan lain, kerusakan yang disebabkan virus terhadap mekanisme pertahan
yang normal dapat menyebabkan bakteri patogen menginfeksi saluran napas
bagian bawah. Bakteri ini dapat merupakan organisme yang pada keadaan normal
berkolonisasi di saluran napas atas atau bakteri yang ditransmisikan dari satu orang
ke orang lain melalui penyebaran droplet di udara. Kadang-kadang pneumonia
bakterialis dan virus ( contoh: varisella, campak, rubella, CMV, virus Epstein-Barr,
virus herpes simpleks ) dapat terjadi melalui penyebaran hematogen baik dari
sumber terlokalisir atau bakteremia/viremia generalisata.2
Setelah mencapai parenkim paru, bakteri menyebabkan respons inflamasi akut
yang meliputi eksudasi cairan, deposit fibrin, dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear
di alveoli yang diikuti infitrasi makrofag. Cairan eksudatif di alveoli menyebabkan
konsolidasi lobaris yang khas pada foto toraks. Virus, mikoplasma, dan klamidia
menyebabkan inflamasi dengan dominasi infiltrat mononuklear pada struktur
submukosa dan interstisial. Hal ini menyebabkan lepasnya sel-sel epitel ke dalam
saluran napas, seperti yang terjadi pada bronkiolitis.2
4. MANIFESTASI KLINIK
Secara khas diawali dengan awitan menggigil, demam yang timbul dengan cepat
(39,5 C
sampai 40,5 C).
Nyeri dada yang ditusuk-tusuk yang dicetuskan oleh bernafas dan batuk.
Takipnea (25 45 kali/menit) disertai dengan pernafasan mendengur, pernafasan
cuping
hidung,
Nadi cepat dan bersambung
Bibir dan kuku sianosis
Sesak nafas
5. KOMPLIKASI
Efusi pleura
Hipoksemia
Pneumonia kronik
Bronkaltasis
Atelektasis (pengembangan paru yang tidak sempurna/bagian paru-paru yang
diserang tidak
mengandung udara dan kolaps).
Komplikasi sistemik (meningitis)
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sinar X: mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar, bronchial); dapat
juga
menyatakan abses)
2. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi
semua
organisme yang ada.
3. Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis organisme
khusus.
4. Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas berat
penyakit dan
membantu diagnosis keadaan.
5. Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis
6. Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi
7. Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing
7. PENATALAKSANAAN
Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tapi karena hal
itu perlu waktu dan pasien pneumonia diberikan terapi secepatnya:
Penicillin G: untuk infeksi pneumonia staphylococcus.
Amantadine, rimantadine: untuk infeksi pneumonia virus
Eritromisin, tetrasiklin, derivat tetrasiklin: untuk infeksi pneumonia mikroplasma.
Menganjurkan untuk tirah baring sampai infeksi menunjukkan tanda-tanda
Pemberian oksigen jika terjadi hipoksemia.
Bila terjadi gagal nafas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup.
8. PENGKAJIAN
Data dasar pengkajian pasien:
Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
Tanda : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya
Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat
Makanan/cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes mellitus
Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan kakeksia
(malnutrisi)
Neurosensori
Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza)
Tanda : perusakan mental (bingung)
Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia, artralgia.
Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit untuk membatasi
gerakan)
Pernafasan
Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas), dispnea.
Tanda : sputum: merah muda, berkarat
perpusi: pekak datar area yang konsolidasi
premikus: taksil dan vocal bertahap meningkat dengan konsolidasi
Bunyi nafas menurun
Warna: pucat/sianosis bibir dan kuku
Keamanan
Gejala : riwayat gangguan sistem imun misal: AIDS, penggunaan steroid, demam.
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis
Tanda : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 6 8 hari
Rencana pemulangan: bantuan dengan perawatan diri, tugas pemeliharaan rumah
9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan inflamasi trachea bronchial,
pembentukan edema, peningkatan produksi sputum.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan kapasitas pembawa
oksigen
darah.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi (penyebaran) berhubungan dengan
ketidakadekuatan
pertahanan sekunder (adanya infeksi penekanan imun), penyakit kronis, malnutrisi.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan
oksigen.
5. Nyeri (akut) berhubungan dengan inflamasi parenkim paru, batuk menetap.
6. Resiko tinggi terhadap nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
peningkatan
kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi.
7. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kehilangan cairan
berlebihan, penurunan masukan oral.
11. IMPLEMENTASI
Dilakukan sesuai dengan rencana tindakan menjelaskan setiap tindakan yang akan
dilakukan sesuai dengan pedoman atau prosedur teknik yang telah ditentukan.
12. EVALUASI
Kriteria keberhasilan:
- Berhasil
Tuliskan kriteria keberhasilannya dan tindakan dihentikan
- Tidak berhasil
Tuliskan mana yang belum berhasil dan lanjutkan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Pengertian
Duktus Arteriosus adalah saluran yang berasal dari arkus aorta ke VI pada janin
yang menghubungkan arteri pulmonalis dengan aorta desendens. Pada bayi normal
duktus tersebut menutup secara fungsional 10 15 jam setelah lahir dan secara
anatomis menjadi ligamentum arteriosum pada usia 2 3 minggu. Bila tidak
menutup disebut Duktus Arteriosus Persisten (Persistent Ductus Arteriosus : PDA).
(Buku ajar kardiologi FKUI, 2001 ; 227)
Patent Duktus Arteriosus adalah kegagalan menutupnya ductus arteriosus (arteri
yang menghubungkan aorta dan arteri pulmonal) pada minggu pertama kehidupan,
yang menyebabkan mengalirnya darah dari aorta tang bertekanan tinggi ke arteri
pulmonal yang bertekanan rendah. (Suriadi, Rita Yuliani, 2001; 235)
Patent Duktus Arteriosus (PDA) adalah tetap terbukanya duktus arteriosus setelah
lahir, yang menyebabkan dialirkannya darah secara langsung dari aorta (tekanan
lebih tinggi) ke dalam arteri pulmoner (tekanan lebih rendah). (Betz & Sowden,
2002 ; 375)
B. Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit jantung bawaan belum dapat diketahui secara pasti,
tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan
angka kejadian penyakit jantung bawaan :
1. Faktor Prenatal :
Ibu menderita penyakit infeksi : Rubella.
Ibu alkoholisme.
Umur ibu lebih dari 40 tahun.
Ibu menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang memerlukan insulin.
Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu.
2. Faktor Genetik :
Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan.
Ayah / Ibu menderita penyakit jantung bawaan.
Kelainan kromosom seperti Sindrom Down.
Lahir dengan kelainan bawaan yang lain.
(Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler, Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh
Darah Nasional Harapan Kita, 2001 ; 109)
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis PDA pada bayi prematur sering disamarkan oleh masalah-masalah
lain yang berhubungan dengan prematur (misalnya sindrom gawat nafas). Tanda-
tanda kelebihan beban ventrikel tidak terlihat selama 4 6 jam sesudah lahir. Bayi
dengan PDA kecil mungkin asimptomatik, bayi dengan PDA lebih besar dapat
menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif (CHF)
Kadang-kadang terdapat tanda-tanda gagal jantung
Machinery mur-mur persisten (sistolik, kemudian menetap, paling nyata terdengar
di tepi sternum kiri atas)
Tekanan nadi besar (water hammer pulses) / Nadi menonjol dan meloncat-loncat,
Tekanan nadi yang lebar (lebih dari 25 mm Hg)
Takhikardia (denyut apeks lebih dari 170), ujung jari hiperemik
Resiko endokarditis dan obstruksi pembuluh darah pulmonal.
Infeksi saluran nafas berulang, mudah lelah
Apnea
Tachypnea
Nasal flaring
Retraksi dada
Hipoksemia
Peningkatan kebutuhan ventilator (sehubungan dengan masalah paru)
(Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236, Betz & Sowden, 2002 ; 376)
D. Pathways
Terlampir
E. Komplikasi
Endokarditis
Obstruksi pembuluh darah pulmonal
CHF
Hepatomegali (jarang terjadi pada bayi prematur)
Enterokolitis nekrosis
Gangguan paru yang terjadi bersamaan (misalnya sindrom gawat nafas atau
displasia bronkkopulmoner)
Perdarahan gastrointestinal (GI), penurunan jumlah trombosit
Hiperkalemia (penurunan keluaran urin.
Aritmia
Gagal tumbuh
(Betz & Sowden, 2002 ; 376-377, Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236)
F. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan Konservatif : Restriksi cairan dan bemberian obat-obatan :
Furosemid (lasix) diberikan bersama restriksi cairan untuk meningkatkan diuresis
dan mengurangi efek kelebihan beban kardiovaskular, Pemberian indomethacin
(inhibitor prostaglandin) untuk mempermudah penutupan duktus, pemberian
antibiotik profilaktik untuk mencegah endokarditis bakterial.
Pembedahan : Pemotongan atau pengikatan duktus.
Non pembedahan : Penutupan dengan alat penutup dilakukan pada waktu
kateterisasi jantung.
(Betz & Sowden, 2002 ; 377-378, Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236)
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto Thorak : Atrium dan ventrikel kiri membesar secara signifikan
(kardiomegali), gambaran vaskuler paru meningkat
2. Ekhokardiografi : Rasio atrium kiri tehadap pangkal aorta lebih dari 1,3:1 pada
bayi cukup bulan atau lebih dari 1,0 pada bayi praterm (disebabkan oleh
peningkatan volume atrium kiri sebagai akibat dari pirau kiri ke kanan)
3. Pemeriksaan dengan Doppler berwarna : digunakan untuk mengevaluasi aliran
darah dan arahnya.
4. Elektrokardiografi (EKG) : bervariasi sesuai tingkat keparahan, pada PDA kecil
tidak ada abnormalitas, hipertrofi ventrikel kiri pada PDA yang lebih besar.
5. Kateterisasi jantung : hanya dilakukan untuk mengevaluasi lebih jauh hasil ECHO
atau Doppler yang meragukan atau bila ada kecurigaan defek tambahan lainnya.
(Betz & Sowden, 2002 ;377)
H. Pengkajian
Riwayat keperawatan : respon fisiologis terhadap defek (sianosis, aktivitas
terbatas)
Kaji adanya tanda-tanda gagal jantung, nafas cepat, sesak nafas, retraksi, bunyi
jantung tambahan (machinery mur-mur), edera tungkai, hepatomegali.
Kaji adanya hipoksia kronis : Clubbing finger
Kaji adanya hiperemia pada ujung jari
Kaji pola makan, pola pertambahan berat badan
Pengkajian psikososial meliputi : usia anak, tugas perkembangan anak, koping
yang digunakan, kebiasaan anak, respon keluarga terhadap penyakit anak, koping
keluarga dan penyesuaian keluarga terhadap stress.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan Curah jantung b.d malformasi jantung.
2. Gangguan pertukaran gas b.d kongesti pulmonal.
3. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara pemakaian oksigen oleh tubuh
dan suplai oksigen ke sel.
4. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan b.d tidak adekuatnya suplai oksigen
dan zat nutrisi ke jaringan.
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kelelahan pada saat makan
dan meningkatnya kebutuhan kalori.
6. Resiko infeksi b.d menurunnya status kesehatan.
7. Perubahan peran orang tua b.d hospitalisasi anak, kekhawatiran terhadap
penyakit anak.
J. Intervensi
1. Mempertahankan curah jantung yang adekuat :
Observasi kualitas dan kekuatan denyut jantung, nadi perifer, warna dan
kehangatan kulit
Tegakkan derajat sianosis (sirkumoral, membran mukosa, clubbing)
Monitor tanda-tanda CHF (gelisah, takikardi, tachypnea, sesak, mudah lelah,
periorbital edema, oliguria, dan hepatomegali)
Kolaborasi pemberian digoxin sesuai order, dengan menggunakan teknik
pencegahan bahaya toksisitas.
Berikan pengobatan untuk menurunkan afterload
Berikan diuretik sesuai indikasi.
L. Perencanaan Pemulangan
Kontrol sesuai waktu yang ditentukan
Jelaskan kebutuhan aktiviotas yang dapat dilakukan anak sesuai dengan usia dan
kondisi penyakit
Mengajarkan ketrampilan yang diperlukan di rumah, yaitu :
- Teknik pemberian obat
- Teknik pemberian makanan
- Tindakan untuk mengatasi jika terjadi hal-hal yang mencemaskan tanda-tanda
komplikasi, siapa yang akan dihubungi jika membutuhkan pertolongan.
ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM REUMATIK (JANTUNG REUMATIK)
I. DEFINISI
II. ETIOLOGI
Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi
individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan. Penyakit ini berhubungan erat
dengan infeksi saluran nafas bagian atas oleh Beta Streptococcus Hemolyticus Grup
A berbeda dengan glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi
streptococcus dikulit maupun disaluran nafas, demam reumatik agaknya tidak
berhubungan dengan infeksi streptococcus dikulit.
Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam reumatik dan
penyakit jantung reumatik terdapat pada individunya sendiri serta pada keadaan
lingkungan.
Faktor-faktor lingkungan :
1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi
untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara
yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan
sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan
penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera
mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah
sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini
merupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
2. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan
didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga
semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam reumatik
lebih tinggi daripada didataran rendah.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran
nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.
III. PATOGENESIS
Demam reumatik adalah penyakit radang yang timbul setelah infeksi streptococcus
golongan beta hemolitik A. Penyakit ini menyebabkan lesi patologik jantung,
pembuluh darah, sendi dan jaringan sub kutan. Gejala demam reumatik
bermanifestasi kira-kira 1 5 minggu setelah terkena infeksi. Gejala awal, seperti
juga beratnya penyakit sangat bervariasi. Gejala awal yang paling sering dijumpai
(75 %) adalah arthritis. Bentuk poliarthritis yang bermigrasi. Gejala dapat
digolongkan sebagai kardiak dan non kardiak dan dapat berkembang secara
bertahap.
Demam reumatik dapat menyerang semua bagian jantung. Meskipun pengetahuan
tentang penyakit ini serta penelitian terhadap kuman Beta Streptococcus
Hemolyticus Grup A sudah berkembang pesat, namun mekanisme terjadinya
demam reumatik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat
bahwa demam remautik termasuk dalam penyakit autoimun.
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel
yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase,
streptokinase, difosforidin nukleotidase, dioksiribonuklease serta streptococcal
erytrogenic toxin. Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi.
Pada penderita yang sembuh dari infeksi streptococcus, terdapat kira-kira 20 sistem
antigen-antibodi; beberapa diantaranya menetap lebih lama daripada yang lain.
Anti DNA-ase misalnya dapat menetap beberapa bulan dan berguna untuk
penelitian terhadap penderita yang menunjukkan gejala korea sebagai manifestasi
tunggal demam reumatik, saat kadar antibodi lainnya sudah normal kembali.
ASTO ( anti-streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling
sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang
80 % penderita demam reumatik / penyakit jantung reumatik akut menunjukkan
kenaikkan titer ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap
streptococcus, maka pada 95 % kasus demam reumatik / penyakit jantung reumatik
didapatkan peninggian atau lebih antibodi terhadap streptococcus.
Patologi anatomis
Dasar kelainan patologi demam reumatik ialah reaksi inflamasi eksudatif dan
proliferasi jaringan mesenkim. Kelainan yang menetap hanya terjadi pada jantung;
organ lain seperti sendi, kulit, paru, pembuluh darah, jaringan otak dan lain-lain
dapat terkena tetapi selalu reversibel. Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria jones
yang dimodifikasi dari American Heart Association. Dua kriteria mayor dan satu
mayor dan dua kriteria minor menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik.
Prognosis tergantung pada beratnya keterlibatan jantung.
IV. MANIFESTASI KLINIK
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik / penyakit jantung reumatik dapat
dibagi dalam 4 stadium.
Stadium I
Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup
A.
Keluhan :
Demam
Batuk
Rasa sakit waktu menelan
Muntah
Diare
Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat.
Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi streptococcus
dengan permulaan gejala demam reumatik; biasanya periode ini berlangsung 1 - 3
minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan
kemudian.
Stadium III
Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam reumatik, saat ini
timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit jantung reumatik.
Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum dan
menifesrasi spesifik demam reumatik /penyakit jantung reumatik.
Gejala peradangan umum :
Demam yang tinggi
lesu
Anoreksia
Lekas tersinggung
Berat badan menurun
Kelihatan pucat
Epistaksis
Athralgia
Rasa sakit disekitar sendi
Sakit perut
Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa
kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak
menunjukkan gejala apa-apa.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup
jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pasa fase
ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-
waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.
IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan laboratorium darah
Foto rontgen menunjukkan pembesaran jantung
Elektrokardiogram menunjukkan aritmia E
Echokardiogram menunjukkan pembesaran jantung dan lesi
V. DIAGNOSIS PENUNJANG
Untuk menegakkan diagnosa demam reumatik dapat digunakan Kriteria Jones
yaitu :
Kriteria mayor :
Poliarthritis
Pasien dengan keluhan sakit pada sendi yang berpindah-pindah, radang sendi-sendi
besar; lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan , siku (poliarthritis migrans).
Karditis
Peradangan pada jantung (miokarditis, endokarditis).
Eritema marginatum
Tanda kemerahan pada batang tubuh dan telapak tangan yang tidak gatal.
Noduli subkutan
Terletak pada ekstensor sendi terutama siku, ruas jari, lutut, persendian kaki; tidak
nyeri dan dapat bebas digerakkan.
Korea sydenham
Gerakkan yang tidak disengaja /gerakkan yang abnormal, sebagai manifestasi
peradangan pada sistem syaraf pusat.
Kriteria Minor :
Mempunyai riwayat menderita demam reumatik /penyakit jantung reumatik
Athralgia atau nyeri sendi tanpa adanya tanda obyektif pada sendi; pasien
kadang-kadang sulit menggerakkan tungkainya
Demam tidak lebih dari 39 derajad celcius
Leukositosis
Peningkatan Laju Endap Darah (LED)
C-Reaktif Protein (CRF) positif
P-R interval memanjang
Peningkatan pulse denyut jantung saat tidur (sleeping pulse)
Peningkatan Anti Streptolisin O (ASTO)
Diagnosa ditegakkan bila ada dua kriteria mayor dan satu kriteria minor, atau dua
kriteria minor dan satu kriteria mayor.
Bukti-bukti infeksi streptococcus :
Kultur positif
Ruam skarlatina
Peningkatan antibodi streptococcus yang meningkat
VI. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan penatalaksanaan medis adalah :
Memberantas infeksi streptococcus
Mencegah komplikasi karditis
Mengurangi rasa sakit; demam
Pemberantasan infeksi streptococcus :
Pemberian penisilin benzatin intramuskuler dengan dosis :
Berat badan lebih dari 30 kg 1,2 juta unit
Berat badan kurang dari 30 kg 600.000 - 900.000 unit
Untuk pasien yang alergi terhadap penisilin diberikan eritromisin dengan dosis 50
mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis pemberian selama kurang lebih 10 hari.
Pencegahan komplikasi karditis :
Pemberian penisilin benzatin setiap satu kali sebulan untuk pencegahan sekunder
menurut The American Asosiation
Tirah baring bertujuan untuk mengurangi komplikasi karditis dan mengurangi
beban kerja jantung pada saat serangan akut demam reumatik
Bila pasien ada tanda-tanda gagal jantung maka diberikan terapi digitalis 0,04
0,06 mg/kg BB.
Mengurangi rasa sakit dan anti radang :
Pasien diberi analgetik untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya. Salisilat
diberikan untuk anti radang dengan dosis 100 mg/kg BB/hari selama kurang lebih
dan 25 mg/kg BB/hari selama satu bulan.
Prednison diberikan selama kurang lebih dua minggu dan tapering off (dikurangi
bertahap) Dosis awal prednison 2 mg/kg BB/hari.
Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria jones yang dimodifikasi dari American Heart
Association. Dua kriteria mayor dan satu mayor dan dua kriteria minor
menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik. Prognosis tergantung pada
beratnya keterlibatan jantung.
A. PENGKAJIAN
Tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data tentang :
Fungsi jantung
Toleransi terhadap aktivitas dan sikap klien terhadap pembatasan aktivitas
Status nutrisi
Tingkat ketidaknyamanan
Gangguan tidur
Kemampuan klien mengatasi masalah
Hal-hal yang dapat membantu klien
Pengetahuan orang tua dan pasien (sesuai usia pasien) tentang pemahaman
pasien
Pengkajian
Riwayat penyakit
Monitor komplikasi jantung
Auskultasi jantung; bunyi jantung melemah dengan irama derap diastole
Tanda-tanda vital
Kaji adanya nyeri
Kaji adanya peradangan sendi
Kaji adanya lesi pada kulit
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan Curah Jantung berhubungan dengan stenosis katub
Tujuan : COP meningkat
Kriteria :
- Klien menunjukan penurunan dyspnea
- Ikut berpartisipasi dalam aktivitas serta mendemonstrasikan peningkatan toleransi
Intervensi :
a. Pantau tekanan darah, nadi apikal dan nadi perifer
b. Pantau irama dan frekuensi jantung
c. Tirah baring posisi semifowler 450
d. dorong klien melakukan tehnik managemen stress ( lingkungan tenang,
meditasi )
e. bantu aktivitas klien sesuai indikasi bila klien mampu
f. kolaborasi O2 serta terapi
A. Pengertian
B. KLASIFIKASI
Osteoartritis diklasifikasikan menjadi :
a. Tipe primer ( idiopatik) tanpa kejadian atau penyakit sebelumnya yang
berhubungan dengan osteoartritis
b. Tipe sekunder seperti akibat trauma, infeksi dan pernah fraktur
(Long, C Barbara, 1996 hal 336)
C. Penyebab
Beberapa penyebab dan faktor predisposisi adalah sebagai berikut:
1. Umur
Perubahan fisis dan biokimia yang terjadi sejalan dengan bertambahnya umur
dengan penurunan jumlah kolagen dan kadar air, dan endapannya berbentuk
pigmen yang berwarna kuning.
2. Pengausan (wear and tear)
Pemakaian sendi yang berlebihan secara teoritis dapat merusak rawan sendi
melalui dua mekanisme yaitu pengikisan dan proses degenerasi karena bahan yang
harus dikandungnya.
3. Kegemukan
Faktor kegemukan akan menambah beban pada sendi penopang berat badan,
sebaliknya nyeri atau cacat yang disebabkan oleh osteoartritis mengakibatkan
seseorang menjadi tidak aktif dan dapat menambah kegemukan.
4. Trauma
Kegiatan fisik yang dapat menyebabkan osteoartritis adalah trauma yang
menimbulkan kerusakan pada integritas struktur dan biomekanik sendi tersebut.
5. Keturunan
Heberden node merupakan salah satu bentuk osteoartritis yang biasanya
ditemukan pada pria yang kedua orang tuanya terkena osteoartritis, sedangkan
wanita, hanya salah satu dari orang tuanya yang terkena.
6. Akibat penyakit radang sendi lain
Infeksi (artritis rematord; infeksi akut, infeksi kronis) menimbulkan reaksi
peradangan dan pengeluaran enzim perusak matriks rawan sendi oleh membran
sinovial dan sel-sel radang.
7. Joint Mallignment
Pada akromegali karena pengaruh hormon pertumbuhan, maka rawan sendi akan
membal dan menyebabkan sendi menjadi tidak stabil/seimbang sehingga
mempercepat proses degenerasi.
8. Penyakit endokrin
Pada hipertiroidisme, terjadi produksi air dan garam-garam proteglikan yang
berlebihan pada seluruh jaringan penyokong sehingga merusak sifat fisik rawan
sendi, ligamen, tendo, sinovia, dan kulit.
Pada diabetes melitus, glukosa akan menyebabkan produksi proteaglikan menurun.
9. Deposit pada rawan sendi
Hemokromatosis, penyakit Wilson, akronotis, kalsium pirofosfat dapat
mengendapkan hemosiderin, tembaga polimer, asam hemogentisis, kristal
monosodium urat/pirofosfat dalam rawan sendi.
D. Patofisiologi
Penyakit sendi degeneratif merupakan suatu penyakit kronik, tidak meradang, dan
progresif lambat, yang seakan-akan merupakan proses penuaan, rawan sendi
mengalami kemunduran dan degenerasi disertai dengan pertumbuhan tulang baru
pada bagian tepi sendi.
Proses degenerasi ini disebabkan oleh proses pemecahan kondrosit yang
merupakan unsur penting rawan sendi. Pemecahan tersebut diduga diawali oleh
stress biomekanik tertentu. Pengeluaran enzim lisosom menyebabkan dipecahnya
polisakarida protein yang membentuk matriks di sekeliling kondrosit sehingga
mengakibatkan kerusakan tulang rawan. Sendi yang paling sering terkena adalah
sendi yang harus menanggung berat badan, seperti panggul lutut dan kolumna
vertebralis. Sendi interfalanga distal dan proksimasi.
Osteoartritis pada beberapa kejadian akan mengakibatkan terbatasnya gerakan. Hal
ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang dialami atau diakibatkan penyempitan
ruang sendi atau kurang digunakannya sendi tersebut.
Perubahan-perubahan degeneratif yang mengakibatkan karena peristiwa-peristiwa
tertentu misalnya cedera sendi infeksi sendi deformitas congenital dan penyakit
peradangan sendi lainnya akan menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat
intrinsik dan ekstrinsik sehingga menyebabkan fraktur ada ligamen atau adanya
perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang rawan
mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi tebal dan terjadi penyempitan
rongga sendi yang menyebabkan nyeri, kaki kripitasi, deformitas, adanya hipertropi
atau nodulus. ( Soeparman ,1995)
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Foto Rontgent menunjukkan penurunan progresif massa kartilago sendi sebagai
penyempitan rongga sendi
- Serologi dan cairan sinovial dalam batas normal
G. PENATALAKSANAAN
a. Tindakan preventif
- Penurunan berat badan
- Pencegahan cedera
- Screening sendi paha
- Pendekatan ergonomik untuk memodifikasi stres akibat kerja
b. Farmakologi : obat NSAID bila nyeri muncul
c. Terapi konservatif ; kompres hangat, mengistirahatkan sendi, pemakaian alat-
alat ortotik untuk menyangga sendi yang mengalami inflamasi
d. Irigasi tidal ( pembasuhan debris dari rongga sendi), debridemen artroscopik,
e. Pembedahan; artroplasti
H.Pengkajian
1. Aktivitas/Istirahat
- Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan memburuk dengan stress pada sendi,
kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi secara bilateral dan simetris limitimasi
fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan,
keletihan, malaise.
Keterbatasan ruang gerak, atropi otot, kulit: kontraktor/kelainan pada sendi dan
otot.
2. Kardiovaskuler
- Fenomena Raynaud dari tangan (misalnya pucat litermiten, sianosis kemudian
kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal.
3. Integritas Ego
- Faktor-faktor stress akut/kronis (misalnya finansial pekerjaan, ketidakmampuan,
faktor-faktor hubungan.
- Keputusasaan dan ketidakberdayaan (situasi ketidakmampuan).
- Ancaman pada konsep diri, gambaran tubuh, identitas pribadi, misalnya
ketergantungan pada orang lain.
4. Makanan / Cairan
- Ketidakmampuan untuk menghasilkan atau mengkonsumsi makanan atau cairan
adekuat mual, anoreksia.
- Kesulitan untuk mengunyah, penurunan berat badan, kekeringan pada membran
mukosa.
5. Hygiene
- Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan diri, ketergantungan
pada orang lain.
6. Neurosensori
- Kesemutan pada tangan dan kaki, pembengkakan sendi
7. Nyeri/kenyamanan
- Fase akut nyeri (kemungkinan tidak disertai dengan pembengkakan jaringan lunak
pada sendi. Rasa nyeri kronis dan kekakuan (terutama pagi hari).
8. Keamanan
- Kulit mengkilat, tegang, nodul sub mitaneus
- Lesi kulit, ulkas kaki
- Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga
- Demam ringan menetap
- Kekeringan pada mata dan membran mukosa
9. Interaksi Sosial
- Kerusakan interaksi dengan keluarga atau orang lain, perubahan peran: isolasi.
10. Penyuluhan/Pembelajaran
- Riwayat rematik pada keluarga
- Penggunaan makanan kesehatan, vitamin, penyembuhan penyakit tanpa
pengujian
- Riwayat perikarditis, lesi tepi katup. Fibrosis pulmonal, pkeuritis.
- Diskusikan teknik
menghemat energi
- Ikutseratkan dalam
perencanaan dan pembuatan
jadwal aktivitas.
DAFTAR PUSTAKA
A.Pengertian
Batu perkemihan dapat timbul pada berbagai tingkat dari sistem perkemihan
(ginjal, ureter, kandung kemih), tetapi yang paling sering ditemukan ada di dalam
ginjal (Long, 1996:322).
Pernyataan lain menyebutkan bahwa vesikolitiasis adalah batu kandung kemih yang
merupakan keadaan tidak normal di kandung kemih, batu ini mengandung
komponen kristal dan matriks organik (Sjabani dalam Soeparman, 2001:377).
Vesikolitiasis adalah batu yang ada di vesika urinaria ketika terdapat defisiensi
substansi tertentu, seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat
meningkat atau ketika terdapat defisiensi subtansi tertentu, seperti sitrat yang
secara normal mencegah terjadinya kristalisasi dalam urin (Smeltzer, 2002:1460).
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan kaliks ginjal pada salah satu atau kedua
ginjal akibat adanya obstruksi (Smeltzer, 2002:1442). Long, (1996:318) menyatakan
sumbatan saluran kemih yang bisa terjadi dimana saja pada bagian saluran dari
mulai kaliks renal sampai meatus uretra. Hidronefrosis adalah pelebaran/dilatasi
pelvis ginjal dan kaliks, disertai dengan atrofi parenkim ginjal, disebabkan oleh
hambatan aliran kemih. Hambatan ini dapat berlangsung mendadak atau perlahan-
lahan, dan dapat terjadi di semua aras (level) saluran kemih dari uretra sampai
pelvis renalis (Wijaya dan Miranti, 2001:61).
Vesikolithotomi adalah alternatif untuk membuka dan mengambil batu yang ada di
kandung kemih, sehingga pasien tersebut tidak mengalami ganguan pada aliran
perkemihannya Franzoni D.F dan Decter R.M (http://www.medscape.com, 8 Juli
2006)Email ThisClose .
B.Etiologi
Menurut Smeltzer (2002:1460) bahwa, batu kandung kemih disebabkan infeksi,
statis urin dan periode imobilitas (drainage renal yang lambat dan perubahan
metabolisme kalsium).
1. Hiperkalsiuria
Suatu peningkatan kadar kalsium dalam urin, disebabkan karena, hiperkalsiuria
idiopatik (meliputi hiperkalsiuria disebabkan masukan tinggi natrium, kalsium dan
protein), hiperparatiroidisme primer, sarkoidosis, dan kelebihan vitamin D atau
kelebihan kalsium.
2. Hipositraturia
Suatu penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal dalam air kemih,
khususnya sitrat, disebabkan idiopatik, asidosis tubulus ginjal tipe I (lengkap atau
tidak lengkap), minum Asetazolamid, dan diare dan masukan protein tinggi.
3. Hiperurikosuria
Peningkatan kadar asam urat dalam air kemih yang dapat memacu pembentukan
batu kalsium karena masukan diet purin yang berlebih.
6. Hiperoksalouria
Kenaikan ekskresi oksalat diatas normal (45 mg/hari), kejadian ini disebabkan oleh
diet rendah kalsium, peningkatan absorbsi kalsium intestinal, dan penyakit usus
kecil atau akibat reseksi pembedahan yang mengganggu absorbsi garam empedu.
9. Batu Struvit
Batu struvit disebabkan karena adanya infeksi saluran kemih dengan organisme
yang memproduksi urease.
Kandungan batu kemih kebayakan terdiri dari :
1.75 % kalsium.
2.15 % batu tripe/batu struvit (Magnesium Amonium Fosfat).
3.6 % batu asam urat.
4.1-2 % sistin (cystine).
C.Pathofisiologi
Kelainan bawaan atau cidera, keadan patologis yang disebabkan karena infeksi,
pembentukan batu disaluran kemih dan tumor, keadan tersebut sering
menyebabkan bendungan. Hambatan yang menyebabkan sumbatan aliran kemih
baik itu yang disebabkan karena infeksi, trauma dan tumor serta kelainan
metabolisme dapat menyebabkan penyempitan atau struktur uretra sehingga
terjadi bendungan dan statis urin. Jika sudah terjadi bendungan dan statis urin lama
kelamaan kalsium akan mengendap menjadi besar sehingga membentuk batu
(Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2001:997).
Proses pembentukan batu ginjal dipengaruhi oleh beberapa faktor yang kemudian
dijadikan dalam beberapa teori (Soeparman, 2001:388):
1. Teori Supersaturasi
Tingkat kejenuhan komponen-komponen pembentuk batu ginjal mendukung
terjadinya kristalisasi. Kristal yang banyak menetap menyebabkan terjadinya
agregasi kristal dan kemudian menjadi batu.
2. Teori Matriks
Matriks merupakan mikroprotein yang terdiri dari 65 % protein, 10 % hexose, 3-5
hexosamin dan 10 % air. Adanya matriks menyebabkan penempelan kristal-kristal
sehingga menjadi batu.
3. Teori Kurangnya Inhibitor
Pada individu normal kalsium dan fosfor hadir dalam jumlah yang melampaui daya
kelarutan, sehingga membutuhkan zat penghambat pengendapan. fosfat
mukopolisakarida dan fosfat merupakan penghambat pembentukan kristal. Bila
terjadi kekurangan zat ini maka akan mudah terjadi pengendapan.
4. Teori Epistaxy
Merupakan pembentuk batu oleh beberapa zat secara bersama-sama. Salah satu
jenis batu merupakan inti dari batu yang lain yang merupakan pembentuk pada
lapisan luarnya. Contoh ekskresi asam urat yang berlebih dalam urin akan
mendukung pembentukan batu kalsium dengan bahan urat sebagai inti
pengendapan kalsium.
5. Teori Kombinasi
Batu terbentuk karena kombinasi dari bermacam-macam teori diatas.
D.Manifestasi Klinis
Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya menyebabkan iritasi dan
berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan hematuria, jika terjadi obstruksi
pada leher kandung kemih menyebabkan retensi urin atau bisa menyebabkan
sepsis, kondisi ini lebih serius yang dapat mengancam kehidupan pasien, dapat pula
kita lihat tanda seperti mual muntah, gelisah, nyeri dan perut kembung (Smeltzer,
2002:1461).
Jika sudah terjadi komplikasi seperti seperti hidronefrosis maka gejalanya
tergantung pada penyebab penyumbatan, lokasi, dan lamanya penyumbatan.
Jika penyumbatan timbul dengan cepat (Hidronefrosis akut) biasanya akan
menyebabkan koliks ginjal (nyeri yang luar biasa di daerah antara rusuk dan tulang
punggung) pada sisi ginjal yang terkena. Jika penyumbatan berkembang secara
perlahan (Hidronefrosis kronis), biasanya tidak menimbulkan gejala atau nyeri
tumpul di daerah antara tulang rusuk dan tulang punggung.
Selain tanda diatas, tanda hidronefrosis yang lain menurut Samsuridjal
(http://www.medicastore.com, 26 Juni 2006) adalah:
1.Hematuri.
3.Demam.
4.Rasa nyeri di daerah kandung kemih dan ginjal.
5.Mual.
6.Muntah.
7.Nyeri abdomen.
8.Disuria.
9.Menggigil.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Urine
* apH lebih dari 7,6 biasanya ditemukan kuman area splitting, organisme dapat
berbentuk batu magnesium amonium phosphat, pH yang rendah menyebabkan
pengendapan batu asam urat.
* Sedimen : sel darah meningkat (90 %), ditemukan pada penderita dengan batu,
bila terjadi infeksi maka sel darah putih akan meningkat.
* Biakan Urin : Untuk mengetahui adanya bakteri yang berkontribusi dalam proses
pembentukan batu saluran kemih.
* Ekskresi kalsium, fosfat, asam urat dalam 24 jam untuk melihat apakah terjadi
hiperekskresi.
2. Darah
* Hb akan terjadi anemia pada gangguan fungsi ginjal kronis.
* Lekosit terjadi karena infeksi.
* Ureum kreatinin untuk melihat fungsi ginjal.
* Kalsium, fosfat dan asam urat.
3. Radiologis
* Foto BNO/IVP untuk melihat posisi batu, besar batu, apakah terjadi bendungan
atau tidak.
* Pada gangguan fungsi ginjal maka IVP tidak dapat dilakukan, pada keadaan ini
dapat dilakukan retrogad pielografi atau dilanjutkan dengan antegrad pielografi
tidak memberikan informasi yang memadai.
4. USG (Ultra Sono Grafi)
Untuk mengetahui sejauh mana terjadi kerusakan pada jaringan ginjal.
5. Riwayat Keluarga
Untuk mengetahui apakah ada anggota keluarga yang menderita batu saluran
kemih, jika ada untuk mengetahui pencegahan, pengobatan yang telah dilakukan,
cara mengambilan batu, dan analisa jenis batu.
F.Komplikasi
1. Sistem Pernafasan
Atelektasis bida terjadi jika ekspansi paru yang tidak adekuat karena pengaruh
analgetik, anestesi, dan posisi yang dimobilisasi yang menyebabkan ekspansi tidak
maksimal. Penumpukan sekret dapat menyebabkan pnemunia, hipoksia terjadi
karena tekanan oleh agens analgetik dan anestesi serta bisa terjadi emboli
pulmonal.
2. Sistem Sirkulasi
Dalam sistem peredaran darah bisa menyebabkan perdarahan karena lepasnya
jahitan atau lepasnya bekuan darah pada tempat insisi yang bisa menyebabkan
syok hipovolemik. Statis vena yang terjadi karena duduk atau imobilisasi yang
terlalu lama bisa terjadi tromboflebitis, statis vena juga bisa menyebabkan trombus
atau karena trauma pembuluh darah.
3. Sistem Gastrointestinal
Akibat efek anestesi dapat menyebabkan peristaltik usus menurun sehingga bisa
terjadi distensi abdomen dengan tanda dan gejala meningkatnya lingkar perut dan
terdengar bunyi timpani saat diperkusi. Mual dan muntah serta konstipasi bisa
terjadi karena belum normalnya peristaltik usus.
4. Sistem Genitourinaria
Akibat pengaruh anestesi bisa menyebabkan aliran urin involunter karena hilangnya
tonus otot.
5. Sistem Integumen
Perawatan yang tidak memperhatikan kesterilan dapat menyebabkan infeksi,
buruknya fase penyembuhan luka dapat menyebabkan dehisens luka dengan tanda
dan gejala meningkatnya drainase dan penampakan jaringan yang ada dibawahnya.
Eviserasi luka/kelurnya organ dan jaringan internal melalui insisi bisa terjadi jika ada
dehisens luka serta bisa terjadi pula surgical mump (parotitis).
6. Sistem Saraf
Bisa menimbulkan nyeri yang tidak dapat diatasi.
A. Pengertian
Leptospirosis adalah suatu zoonosis yang disebabkan suatu mikroorganisme yaitu
leptospira tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini juga dikenal
dengan nama seperti mud fever, slim fever, swamp fever, autumnal fever,
infectoius jaundice, field fever, cane cutler fever.
B. Etiologi
Penyakit yang terdapat di negara yang beriklim tropis. Berbagai subgroup yang
masing- masing terbagi dalam atas :
1. L icterohaemorhagiae dengan reservoire tikus (syndroma weil)
2. L. canicola dengan reservoire anjing
3. L pamona dengan reservoire sapi dan babi
Insiden :
Penyakit ini dapat berjangkit pada laki-laki dan perempuan pada semua umur.
C. Manifestasi klinis
Masa tunas berkisar antara 2-26 hari(kebanyakan 7-13 hari) rata-rata 10 hari.
Pada leptospira ini ditemukan perjalanan klini sbifasik :
1. Leptopiremia (berlangsung 4-9 hari)
Timbul demam mendadak, diserta sakit kepala (frontal, oksipital atau bitemporal).
Pada otot akan timbul keluhan mialgia dan nyeri tekan (otot gastronemius, paha
pinggang,) dandiikuti heperestesia kulit. Gejala menggigil dan demam tinggi, mual,
muntah, diare, batuk, sakit dada, hemoptisis, penurunan kesadaran, dan injeksi
konjunctiva. Injeksi faringeal, kulit dengan ruam berbentuk
makular/makolupapular/urtikaria yang tersebar pada badan, splenomegali, dan
hepatomegali.
2. Fase imun (1-3 hari)
Fase imun yang berkaitan dengan munculnya antibodi IgM sementara konsentrasi
C3, tetap normal. Meningismus, demam jarang melebihi 39oC. Gejala lain yang
muncul adalah iridosiklitis, neuritis optik, mielitis, ensefalitis, serta neuripati perifer.
3. Fase penyembuhan (minggu ke-2 sampai minggu ke-4)
Dapat ditemukan adanya demam atau nyeri otot yang kemudian berangsur-angsur
hilang.
D. Patofisiologi
Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang
luka/erosi dengan air, lumpur dan sebagainya yang telah tercemar oleh air kemih
binatang yang terinfeksi leptospira. Leptospira yang masuk melalui kulit maupun
selaput lendir yang luka/erosi akan menyebar ke organ-organ dan jaringan tubuh
melalui darah. Sistem imun tubuh akan berespon sehingga jumlah laptospira akan
berkurang, kecuali pada ginjal yaitu tubulus dimana kan terbentuk koloni-koloni
pada dinding lumen yang mengeluarkan endotoksin dan kemudian dapat masuk ke
dalam kemih.
E. Komplikasi
Pada leptospira, komplikasi yang sering terjadi adalah iridosiklitis, gagal ginjal,
miokarditis, meningitis aseptik dan hepatitis. Perdarahan masif jarang ditemui dan
bila terjadi selalu menyebabkan kematian.
F. Penatalaksanaan
Obat antibiotika yang biasa diberikan adalah penisillin, strptomisin, tetrasiklin,
kloramfenikol, eritromisin dan siproflokasasin. Obat pilihan utama adalah penicillin
G 1,5 juta unit setiap 6 jam selama 5-7 hari. Dalam 4-6 jam setelah pemeberian
penicilin G terlihat reaksi Jarisch Hecheimmer yang menunjukkan adanya aktivitas
antileptospira> obat ini efektif pada pemberian 1-3 hari namun kurnag bermanfaat
bila diberikan setelah fase imun dan tidak efektif jika terdapat ikterus, gagal ginjal
dan meningitis. Tindakan suporatif diberikan sesuai denan keparahan penyakit dan
komplikasi yang timbul.
G. prognosis
Tergantung keadaan umum klien, umur, virulensi leptospira, dan ada tidaknya
kekebalan yang didapat. Kematian juga biasanya terjadi akibat sekunder dari faktor
pemberat seperti gagal ginjal atau perdarahan dan terlambatnya klien mendapat
pengobatan.
2. Keluhan utama
Demam yang mendadak
Timbul gejala demam yang disertai sakit kepala, mialgia dan nyeri tekan (frontal)
mata merah, fotofobia, keluahan gastrointestinal. Demam disertai mual, muntah,
diare, batuk, sakit dada, hemoptosis, penurunan kesadaran dan injeksi konjunctiva.
Demam ini berlangsung 1-3 hari.
3. Riwayat keperawatan
a. Imunisasi, riwayat imunisasi perlu untuk peningkatan daya tahan tubuh
b. Riwayat penyakit, influenza, hapatitis, bruselosis, pneuma atipik, DBD, penyakit
susunan saraf akut, fever of unknown origin.
c. Riwayat pekerjaan klien apakah termasuk kelompok orang resiko tinggi seperti
bepergian di hutan belantara, rawa, sungai atau petani.
5. penatalaksanaan
Lihat pada landasan teori.
6. Diagnosa keperawatan
a. Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan proses infeksi dari perjalanan
penyakitnya.
b. Cemas / takut berhubungan dengan perubahan kesehatan (penyakit
leptospirosisi) ditandai dengan peningkatan tegangan, kelelahan, mengekspresikan
kecanggungan peran, perasaan tergantung, tidak adekuat kemampuan menolong
diri, stimulasi simpatetik.
c. Nyeri (akut) berhubungan dengan proses penyakit (penekanan/kerusakan
jaringan syaraf, infiltrasi sistem suplay syaraf, syaraf, inflamasi), ditandai dengan
klien mngatakan nyeri, klien sulit tidur, tidak mampu memusatkan perhatian,
ekspresi nyeri, kelemahan.
d. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi, misinterpretasi, keterbatasan kognitif
ditandai dengan sering bertanya, menyatakan masalahnya, pernyataan
miskonsepsi, tidak akurat dalam mengikiuti intruksi/pencegahan komplikasi.
e. Pemenuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan intake
kurang ditandai dengan klien mengatakan intake tidak adekuat, hilangnya rasa
kecap, kehilangan selera, nausea dan vomitng, berat badan turun sampai 20% atau
lebih dibawah ideal, penurunan massa otot dan lemak subkutan,
f. Resiko tinggi kurangnya volume cairan berhubungan dengan output yang tidak
normal (vomiting, diare), hipermetabolik, kurangnya intake
g. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek kerja
penyakitnya deficit imunologik, penurunan intake nutrisi dan anemia.
B. Perencanaan
1. Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan proses infeksi dari
perjalanan penyakitnya.
Tujuan : suhu tubuh turun sampai batas normal
Kriteria hasil :
- Suhu tubuh dalam batas normal 36 37 0 C
- Klien bebas demam
- Mukosa mulut basah, mata tidak cekung, istirahat cukup
INTERVENSI RASIONAL
a. Bina hubungan baik dengan klien a. Dengan hubungan yang baik dapat
dan keluarga meningkatkan kerjasama dengan klien
sehingga pengobatan dan perawatan
b. Berikan kompres dingin dan mudah dilaksanakan.
ajarkan cara untuk memakai es
atau handuk pada tubu, khususnya
pada aksila atau lipatan paha.
b. Pemberian kompres dingin
c. Peningkatan kalori dan beri merangsang penurunan suhu tubuh.
banyak minuman (cairan)
c. Air merupakan pangatur suhu
d. Anjurkan memakai baju tipis tubuh. Setiap ada kenaikan suhu
yang menyerap keringat. melebihi normal, kebutuhan
metabolisme air juga meningkat dari
e. Observasi tanda-tanda vital kebutuhan setiap ada kenaikan suhu
terutama suhu dan denyut nadi tubuh.
f. Kolaborasi dengan tim medis d. Baju yang tipis akan mudah untuk
dalam pemberian obat-obatan menyerap keringat yang keluar.
terutama anti piretik., antibiotika
(Pinicillin G ) e. Observasi tanda-tanda
vital merupakan deteksi dini untuk
mengetahui komplikasi yang terjadi
sehingga cepat mengambil tindakan
INTERVENSI RASIONAL
INTERVENSI RASIONAL
INTERVENSI RASIONAL
Phenotiazine, antidopaminergic,
corticosteroids, vitamins khususnya
A,D,E dan B6, antacida
INTERVENSI RASIONAL
INTERVENSI RASIONAL
INTERVENSI RASIONAL
C. Pelaksanaan
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri
dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor
kemajuan kesehatan klien
D. Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data
subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan
keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan
langkah awal dari identifikasi dan analisa masalah
DAFTAR PUSTAKA
Donna, D.I. Et al. 1995. Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach 2 nd
Edition : WB Sauders.
FKUA, 1984. Pedoman Diagnosis dan Ilmu Penyakit Dalam. FKUA, Surabaya
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.