Anda di halaman 1dari 30

TEORI PERKEMBANGAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan merupakan perubahan, dalam upaya mengungkap perubahan dalam konteks


pertumbuhan dan perkembangan ini para ahli psikologi mengungkapkan berbagai konsepsi yang
menggambarkan mekanisme perubahan yang dialami manusia sepanjang masa
perkembangannya. Masing-masing teori dan konsep yang dikemukakan mempunyai alasan dan
cara pandang yang berbeda, sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk sepenuhnya
mengikuti salah satu konsep secara murni, mengingat tidak ada konsep yang berlaku obyektif
untuk semua kondisi perkembangan manusia.

Selain pendapat diatas beberapa ahli juga berpendapat bahwa Perkembangan pada manusia ialah
perubahan yang bersifat kualitatif. Sifat perubahan ini tidak dapat diukur, tetapi jelas berlaku jika
dibandingkan dengan peringkat yang lebih awal.(Atan Long,1980). Paul Eggan dan Don
Kauchak berpendapat perkembangan adalah perubahan yang berurutan dan kekal dalam diri
seseorang hasil daripada pembelajaran, pengalaman dan kematangan. Slavin (1997) pula
berpendapat perkembangan adalah berkaitan dengan mengapa dan bagaimana individu
berkembang dan membesar, menyesuaikan diri kepada persekitaran dan berubah melalui
peredaran masa. Beliau berpendapat, individu akan mengalami perkembangan sepanjang hayat,
yaitu perkembangan dari segi fizikal, personaliti, sosioemosional dan kognitif serta bahasa.
Sedangkan Menurut Crow dan Crow (1980), perkembangan merupakan perubahan secara
kualitatif serta cenderung ke arah yang lebih baik dari segi pemikiran, rohani, moral dan sosial.

Secara singkat ada lima perspektif teoritis utama tentang perkembangan yaitu psikoanalitis,
kognitif, belajar perilaku atau social, etologis dan ekologis. Keberagaman teori ini akan
menyebabkan pemahaman perkembangan masa hidup sebagai suatu usaha yang menantang,
sama seperti ketika kita berpikir mengenai suatu teori yang memiliki penjelasan benar tentang
perkembangan masa hidup, teori lain muncul dan menyebabkan kita memikirkan ulang
kesimpulan kita sebelumnya untuk mencegah frustasi ingat bahwa perkembangan masa hidup
adalah suatu topic yang kompleks, banyak wajah dan tidak ada teori tunggal yang
memperhitungkan semua aspeknya.

Oleh karena itu, teori perkembangan harus kita pelajari sebagai upaya untuk mengetahui
tahapan-tahapan hidup manusia terutama kita sebagai calon guru harus memahami
perkembangan dari peserta didik agar kita dapat menentukan jenis pembelajaran yang tepat
baginya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
Apa sajakah perspektif teoritis utama tentang perkembangan?

Apakah anak dilahirkan dalam keadaan baik atau keadaan buruk atau keadaan netral?

Apakah alam (nature) ataukah lingkungan (nature) yang memberikan pengaruh utama terhadap
perkembangan anak?

Apakah anak berperan aktif atau pasif dalam proses perkembangan?

Apakah perkembangan anak berjalan kontinyu ataukah diskontinyu?

Apakah perkembangan anak perorang sama ataukah berbeda dari satu anak ke anak lainnya?

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui Apa sajakah perspektif teoritis utama tentang
perkembangan, Apakah anak dilahirkan dalam keadaan baik atau keadaan buruk atau keadaan
netral, Apakah alam (nature) ataukah lingkungan (nature) yang memberikan pengaruh utama
terhadap perkembangan anak, Apakah anak berperan aktif atau pasif dalam proses
perkembangan, Apakah perkembangan anak berjalan kontinyu ataukah diskontinyu, Apakah
perkembangan nak orang perorang sama ataukah berbeda dari satu anak ke anak lainnya.

1.4 Manfaat Penulisan

Penulisan ini mempunyai beberapa manfaat terutama dalam aspek akademis yaitu memberikan
informasi kepada masyarakat mengenai teori-teori perkembangan dan peranananya terhadap
pendidikan dan perkembagan anak.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Teori-teori Perkembangan

2.1.1 Teori Psikoanalis

Bagi para teoritisi psikoanalitis, perkembangan pada dasarnya tidak disadari yaitu diluar
kesadaran dan sangat diwarnai oleh emosi. Para teoritis psikoanalitis yakin bahwa perilaku
semata-mata adalah suatu karakteristik permukaan dan untuk benar-benar memahami
perkembangan kita harus menganalisis makna simbolis perilaku dan kerja pikiran yang paling
dalam. Para teoritisi psikoanalitis juga menekankan bahwa pengalaman-pengalaman sebelumnya
dengan orang tua secara ekstensif membentuk perkembangan kita. Karakteristik ini
digarasbawahi dalam teori psikoanalitis utama yaitu Sigmuend Freud.

Kepribadian, karena ego membuat keputusan-keputusan rasional. Id dan ego tidak memiliki
moralitas. Id dan ego tidak memperhitungkan apakah sesuatu benar atau salah. Superego adalah
struktur kepribadian freud yang merupakan badan moral kepribadian dan benar-benar
memperhitungkan apakah sesuatu benar atau salah. Anggaplah superego sebagai apa yang selalu
kita rujuk sebagai hati nurani kita. Kita barangkali mulai merasa bahwa Id maupun superego
menyebabkan kehidupan kasar bagi ego. Ego kita barangkali mengatakan aku akan melakukan
hubungan sex kadang-kadang saja dan memastikan untuk menggunakan alat pencegah
kehamilan yang tepat, karena aku tidak ingin gangguan anak dalam perkembangan karirku.
akan tetapi ide anda mengatakan akau ingin dipuaskan, sex itu nikmat. Superego anda sedang
bekerja juga aku merasa bersalah kalau melakukan hubungan sex.

Ingat bahwa freud melihat kepribadian seperti gunung es; kebanyakan kepribadian di bawah
tingkat kesadaran kita, sama seperti bagian terbesar dari suatu gunung es yang terdapat di bawah
permukaan air.

Asumsi yang mendasari teori psikoanalis adalah kegiatan terjadi pada tiga tingkat kesadaran,
ialah keadaan sadar, mencakup apapun yang dipikirkan dan dikerjakan manusia, prasadar
mencakup segala pengetahuan dan ingatan yang sewaktu-waktu dapat dikeluarkan ke alam sadar,
tidak sadar mencakup segala sesuatu yang tidak ingin disadari dan dengan sengaja ditekan agar
terluka. Asumsi berikutnya dari teori ini adalah bahwa banyak hal yang dilakukan manusia
sebenarnya didorong oleh kekuatan di bawah sadar. Freud menyebutkan sebagai desire (dapat
diterjemahkan sebagai hasrat) atau instic drive sebagai lawan dari reason (nalar). Dengan
demikian energy psikologis tidk lain adalah energy instingtif. Dalam garis besarnya insting di
bagi menjadi dua yaitu ego dan libido. Libido mengacu pada insting primer, sedangkan ego
merupakan insting yang menyertai insting primer tersebut: kepribdian terdiri dari ego, suatu
proses kejiwaan yang asli pad diri manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam prinsip
kenyamanan dan hedonistic,id, bagian kepribadian yang mempunyai prinsip realitas dan
superego, bagian proses kejiwaan dalam prinsip kesempurnn hidup.

Konsepsi ini berpendapat bahwa sumber pokok perilaku manusia adalah libido
seksualis( dorongan untuk memuaskan nafsu). Insting ini tidak mengenal batas, sehingga freud
berpendapat bahwa anak anak itu asocial (ego). Sedang kenyataan dimasyarakatnya menganut
norma (id). Dengan demikian anak mengalami dua dunia yang bertentanga, disatu pihak ingin
memuaskan instingnya, dilain pihak norma masyarakat membatsi. Banyak tuntutan insting yang
terhalang oleh norma masyarakat. Untuk mengatasi konflik ini, anak harus menyesuaikan diri
dengan menekan dorongan yang tidak dibenarkan masyarakat. Keudian menyalurkan dorongan
melalui kaidah yang berlaku dalam masyarakat (superego). Proses ini disebut sebagai
internalisasi, sublimasi, dan identifikasi. Melalui perkembangan ini anak berubah dari asocial
menjdi sosil.

Perilaku yang terbentuk dalam diri manusia adalah interaksi dari ketiga bagian kejiwaan tersebut.
Sedang penahapan dari kontinum interaksi dari ketiga tersebut. Tahap-tahap yng di ajukan adalah
terdiri dari tahap oral ( 0-1 tahun), tahap anal ( 1-3 tahun), tahap falik ( 3-5 tahun), tahap laten
( 5-11 tahun), dan tahap genital (usia remaja).

Freud berfikir bahwa kepribadian orang dewasa ditentukan oleh cara-cara mengatasi konflik
antara sumber-sumber kenikmatn awal-mulut, dubur, dan kemudian alat kelamin dan tuntutan
relitas. Bila konflik ini tidak diatasi, individu dapat mengalami perasaan yang mendalam pada
tahap perkembangan tertentu. Misalnya, orang tua dapat menyapih seorang anak terlalu dini,
terlalu keras dalam pelatihan menggunakan toilet, menghukum anak karena melakukan
masturbasi, atu melimpahi anak dengan kehangatan. Kita akan kembali kepada gagasan tentang
fiksasi ( presaan mendalam) dan bagaimana perasaan itu dapat muncul dalm kepribadian orang
dewasa. Namun, pertama-tam kita harus belajar tentang tahap-tahap awal perkembangan
kepribadian.

1) Tahap mulut: ialah tahp pertama kepribadian Freud, yang berlangsung selama 18 bulan
pertama kehidupan, dalam mana penemptan bayi berpusat disekitar mulut. Umunya, mengunyah,
menghisap, dan menggigit adalh sumber utama kenikmatan. Tindakan-tindakan ini mengurangi
tekanan atu ketegangan pada bayi.

2) Tahap lubang anus: ialah tahap kedua kepribadian Freud yng berlangsung antara usia 1 dan
3 tahun, dalam mana kenikmatan terbesar anak meliputi lubang anus atau fungsi pengeluaran
yang diasosiasikan dengan dirinya. Dalam pandangan Freud latihan otot lubang dubur
mengurangi tekanan atu ketegangan.

3) Tahap alat kelamin laki-laki ialah tahp ketiga kepribadian Freud, yang berlangsung antara
usia 3 dan 6 tahun selam atahap ini kenikmatan berfokus pada alat kelamin, ketika anak bahwa
manipulasi diri dapat memberikan kenikmatan.

Dalam pandangan Freud, tahap phallic memiliki kepentingan khusus dalam perkembangan
kepribadian karena selama periode inilah Oedipus complex muncul, istilah ini berasal dari
mitologi yunani, di mana Oedipus, putra raja Thebes, tanpa sengaja membunuh ayahnya dan
menikahi ibunya. Oedipus complex ialah konsep Freud dalam mana anak kecil mengembangkan
suatau keinginan yang mendalam untuk menggantikan orang tua yang sama jenis kelamin
dengannya dan menikmati afeksi dari orang tua yang berbeda jenis kelamin dengannya. Konsep
Oedipus complex Freud dikecam oleh beberapa pakar psikoanalisis dan penulis.

Bagaimana Oedipus complex diatasi? Pada usia kira-kira 5 hingga 6 tahun, anak-anak menyadari
bahwa orang tua yang sama jenis kelamin dengannya dapat menghukum mereka atas keinginan
incest mereka. Untuk mengurangi konflik ini, anak mengidentifikasikan diri dengan orang tua
yang sama jenis kelamin dengannya, dengan berusaha keras menjadi seperti orang tua yang sama
jenis kelaminnya itu. Namun, bila konflik tidak teratasi, individu dapat terfiksasi pada tahap
phallic.

4) Tahap laten/tersembunyi ialah tahap keempat kepribadian Freud, yang berlangsung antara
kira-kira usia 6 tahun dan masa puberitas, anak menekan semua minat terhadap sex dan
mengembangkan keterampilan social dan intelektual. Kegiatan ini menyalurkan banyak energy
anak ke dalam bidang-bidang yang aman secara emosional dan menolong anak melupakan
konflik pada tahap phallic yang sangat menekan.

5) Tahap kemaluan ialah tahap kelima dan terakhir kepribadian Freud, yang berawal dari
masa puberitas dan seterusnya. Tahap kemaluan ialah suatu masa kebangkitan seksual; sumber
kenikmatan seksual sekarang menjadi seseorang yang berada di luar keluarga.Freud yakin bahwa
konflik yang tidak teratasi dengan orang tua menjadi kembali selama masa remaja. Bila teratasi,
individu mampu mengembangkan suatu hubungan cinta yang dewasa dan berfungsi secara
mandiri sebagai seorang dewasa.

Teori Freud mengalami revisi yang signifikans oleh sejumlah teoritis psikoanalitis. Banyak
teoritisi psikoanalitis kontemporer kurang memberi tekanan pada naluri seksual dan lebih
menekankan pada pengalaman-pengalaman kebudayaan sebagai factor-faktor yang menentukan
perkembangan individu. Pikiran tidak sadar tetap merupakan tema sentral, tetapi sebagian besar
psikoanalisis kontemporer yakin bahwa pikiran sadar terdiri dari lebih banyak gunung es
daripada yang diperkirakan oleh Freud.

2.1.2 Teori Perkembangan kognitif

Pakar psikologi Swiss terkenal Jean Piaget (1896-1980) menekankan bahwa anak-anak
membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri; informasi tidak sekedar dituangkan ke
dalam pikiran mereka dari lingkungan. Piaget yakin bahwa anak-anak menyesuaikan pemikiran
mereka untuk mencakup gagasan-gagasan baru, karena informasi tambahn memajukan
pemahaman.

Teori piaget didasarkan atas presuposisi biologis, dengan focus minatnya pada bagaimana
makhluk hidup menyesuaikan atau mengorganisasikan dirinya terhadap lingkungannya dan
berkembang.

Dinyatakan dalam teori tersebut bahwa makhluk hidup mempunyai regulasi diri untuk mencapai
keseimbangan dengan lingkungannya. Apabila penyesuaian berjalan dengan baik, maka akan
tercapai keseimbangan, sedang apabila penyesuaian tidak berjalan dengan baik akan tercapai
ketidakseimbangan. Dalam diri makhluk hidup terdapat pola perilaku yang terorganisasikan
dengan baik yang disebut skema. Skema tersebut disesuaikan dengan lingkungannya melalui 2
cara, ialah: asimilasi dalam bentuk mempersepsi dan menafsir informasi dari lingkungannya
sebagai bentuk pengetahuan baru, dan akomodasi dalam bentuk restrukturisasi organisasi mental
agar informasi yang baru tersebut dapat diterima.

Asimilasi terjadi ketika individu menggabungkan informasi baru ke dalam pengetahuan mereka
yang sudah ada. Akomodasi terjadi ketika individu menyesuaikan diri dengan inforrmasi baru.
Perhatikan suatu keadaan di mana seorang anak perempuan berusia 7 tahun diberi palu dan paku
untuk menggantung gambar di dinding. Ia belum pernah menggunakan palu, tetapi dari
pengamatan dan pengalaman orang lain ia mengetahui bahwa palu adalah obyek yang harus
dipegang, yang diayun dengan tangkai untuk memukul paku, dan yang biasanya diayun beberapa
kali. Dengan mengenal kedua benda itu, ia menyesuaikan perilakunya dengan informasi yang
sudah ia miliki (asimilasi). Akan tetapi, palu berat, sehingga ia memegangnya di bagian ujung. Ia
mengayun terlalu keras dan paku bengkok, sehingga ia menyesuaikan tekanan pukulannya.
Penyesuaian ini memperlihatkan kemampuannya untuk sedikit mengubah konsepnya tentang
dunia (akomodasi).

Piaget berpikir bahwa asimilasi dan akomodasi berlangsung sejak kehidupan bayi yang masih
sangat kecil. Bayi yang baru lahir secara reflex mengisap segala sesuatu yang menyentuh
bibirnya (asimilasi), tetapi setelah beberapa bulan pengalaman, mereka membangun pemahaman
mereka tentang dunia secara berbeda. Beberapa obyek, seperti jari dan susu ibu, dapat diisap, dan
obyek lain, seperti selimut yang berbulu halus sebaiknya tidak diisap (akomodasi).

Piaget mengakui bahwa perkembanagn ialah suatu yang kontinyu. Namun ia berpendapat bahwa
perkembangan kontinyu tersebut terjadi secara sekuensial. Satu bagian dikembangkan di atas
bagian lain yang telah ada dalam kurun waktu sebelumnya. Dengan demikian kematangan
intelektual terjadi melalui tahap-tahap yang berbeda dan berurutan.

Piaget juga yakin bahwa kita melampui empat tahap dalam memahami dunia. Masing-masing
tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berpikir yang khas/berbeda. Ingat, cara yang
berbeda dalam memahami dunialah yang menyebabkan satu tahap lebih berkembang dari tahap
yang lain; menurut pandangan Piaget mengetahui lebih banyak informasi tidak menyebabkan
pemikiran anak lebih berkembang, inilah yang Piaget maksudkan ketika ia mengatakan bahwa
kognisi anak berbeda secara kualitatif pada satu tahap dibandingkan dengan tahap lain.

Diungkapkan oleh Piaget adanya 5 tahapan perkembangan yaitu tahap sensorik-motorik (usia 0-2
tahun), tahap prekonsep (usia 2-4 tahun), tahap intuisi (usia 4-7 tahun), tahap operasional konkrit
(usia 7-11 tahun) dan tahap operasinal formal (usia 11-15 tahun).

Tahap sensorimotor yang berlangsung dari kelahiran hingga usia 2 tahun, merupakan tahap
pertama Piaget. Pada tahap ini, bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan
mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensor (seperti melihat dan mendengar) dengan
tindakan-tindakan motorik fisik oleh karena itulah istilahnya sensorimotor. Pada permulaan tahap
ini, bayi yang baru lahir memiliki sedikit lebih banyak daripada pola-pola reflex. Pada akhir
tahap, anak berusia 2 tahun memiliki pola-pola sensorimotor yang kompleks dan mulai
beroperasi dengan symbol-simbol primitive.

Tahap praoperasional yang berlangsung kira-kira dari usia 2 hingga 7 tahun, merupakan tahap
kedua Piaget. Pada tahap ini, anak-anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-
gambar. Pemikiran simbolis melampui hubungan sederhana antara informasi sensor dan tindakan
fisik. Akan tetapi, walaupun anak-anak prasekolah dapat secara simbolis melukiskan dunia,
menurut Piaget mereka masih belum mampu untuk melaksanakan apa yang Piaget sebut
operasi tindakan mental yang diinternalisasikan yang memungkinkan anak-anak melakukan
secara mental apa yang sebelumnya dilakukan secara fisik.

Tahap operasional konkret yang berlangsung kira-kira dari usia 7-11 tahun, merupakan tahap
ketiga Piaget. Pada tahap ini, anak-anak dapat melaksanakan operasi, dan penalaran logis
menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan ke dalam contoh-contoh
yang spesifik atau konkret. Misalnya, pemikir operasional konkret tidak dapat membayangkan
langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu persamaan aljabar, yang terlalu
abstark untuk dipikirkan pada tahap perkembangan ini.

Tahap operasional formal yang tampak dari usia 11 hingga 15 tahun, merupakan tahap keempat
dan terakhir Piaget. Pada tahap ini, individu melampaui dunia nyata, pengalaman-pengalaman
kongkret dan berpikir secara abstrak dan lebih logis. Sebagai bagian dari pemikiran yang lebih
abstrak, anak-anak remaja mengembangkan gambaran keadaan yang tak ideal. Mereka dapat
berpikir tentang seperti apakah orang tua yang ideal dan membandingkan orang tua mereka
dengan standar ideal ini. Mereka mulai mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan bagi masa
depan dan terkagum-kagum terhadap apa yang dapat mereka lakukan. Dalam memecahkan
masalah, pemikir operasional formal ini lebih sistematis, mengembangkan hipotesis tentang
mengapa sesuatu terjadi seperti itu, kemudian menguji hipotesis ini dengan cara deduktif.

Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :

a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar
dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

e. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman-temanya.

Kebanyakan ahli psikologi sepenuhnya menerima prinsip-prinsip umum Piaget bahwa pemikiran
anak-anak pada dasarnya berbeda dengan pemikiran orang dewasa, dan jenis logika anak-anak
itu berubah seiring dengan bertambahnya usia. Namun, ada juga peneliti yang meributkan detail-
detail penemuan Piaget, terutama mengenai usia ketika anak mampu menyelesaikan tugas-tugas
spesifik.

- Pada sebuah studi klasik, McGarrigle dan Donalson (1974) menyatakan bahwa anak sudah
mampu memahami konservasi (conservation) dalam usia yang lebih muda daripada usia yang
diyakini oleh Piaget.

- Studi lain yang mengkritik teori Piaget yaitu bahwa anak-anak baru mencapai pemahaman
tentang objek permanence pada usia di atas 6 bulan. Balillargeon dan De Vos (1991) ; 104 anak
diamati sampai mereka berusia 18 tahun, dan diuji dengan berbagai tugas operasional formal
berdasarkan tugas-tugas yang dipakai Piaget, termasuk pengujian hipotesa. Mayoritas anak-anak
itu memang belum mencapai tahap operasional formal. Hal ini sesuai dengan studi-studi
McGarrigle dan Donaldson serta Baillargeon dan DeVos, yang menyatakan bahwa Piaget terlalu
meremehkan kemampuan anak-anak kecil dan terlalu menilai tinggi kemampuan anak-anak yang
lebih tua

- dan belum lama ini, Bradmetz (1999) menguji pernyataan Piaget bahwa mayoritas anak
mencapai formal pada akhir masa kanak-kanak.

- Inilah yang menjadi pertentangan dan kritikan diantara para ahli psikologi.
Piaget sang penemu teori

2.1.3 Teori Belajar (Konsepsi Asosiasi)

Inti dari konsepsi asosiasi adalah bahwa hakekat perkembangan adalah proses asosiasi, dimana
bagian-bagian mempunyai nilai yang lebih pening dari keseluruhan. Dalam perkembangannya
anak-anak pada mulanya mempunyai kesan sebagian-sebagian, kemudian melalui proses asosiasi
bagian-bagian tersebut akan membentuk menjadi suatu keseluruhan. Banyak tokoh terkenal
penganut konsepsi ini diantaranya yaitu: John locke (dengan teori tabularasa), Thorndike (denga
teori conectionisme), J.B Watson dengan Teori Behaviriosme, dan Ivan Pavlov dengan teori
Conditiononing Reflect.

Konsepsi asosiasi dibangun dari teori Pavlov mengenai pebiasaaan klasik. Dimulai dari kajian JB
Watson, teori ini mendapatkan bentuknya yang lengkap dari BF Skiner. Focus utama teori ini
adalah bahwa perilaku sepenuhnya merupakan hasil dari kegiatan belajar. Perilaku terbentuk
sebagai respon terhadap stimulus. Selain pembiasaan klasik bias diberikan pembiasaan aktif
(conditioning operant), yang dikenal sebagai penguatan (reinforcement).

1. Teori Belajar Menurut Thorndike

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah
apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang
dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta
didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi
perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati,
atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah
laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula denganteori koneksionisme
(Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum
latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana
hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

1. 2. Teori Belajar Menurut Watson


Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi
walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses
belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan
karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi
pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

1. 3. Teori Belajar Menurut Clark Hull

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan
pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull,
seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan
pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral
dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun
hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul
mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini,
tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

1. 4. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus
yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan
yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan
respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.
Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara,
oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar
hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa
hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat.
Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru
tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

1. 5. Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebihkomprehensif.
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan
lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi
antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini
memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah
laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan
lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang
mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi,
demikian seterusnya.

Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung
merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

1. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.

2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui
proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut
akan menurun bahkan musnah.

Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah
sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant
conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh
reinforcer. Reinforceritu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan
timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus
lainnya seperti dalam classical conditioning.

1. 6. Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku
dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam
berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan
kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan
suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang
sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua
teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori
belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran
berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep
hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar
yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau
belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu
menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar,
walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat
menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus
dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak
kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan
atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang
mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan
penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan
berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada
beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:

Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;

Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si
terhukum) bila hukuman berlangsung lama;

Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan
buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si
terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang
diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak
sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai
stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah)
dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang
disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
1. 7. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan
praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya,
apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-
hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan
kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.
Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri
mereka.

Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan
ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang
perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku
yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan,
sedangkan belajar sebagi aktivitas mimetic, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi
atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara
ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan
paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila
pebelajar menjawab secara benar sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa
pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan
pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

1. 8. Teori Belajar Sosial

Beberapa pakar psikologi yakin bahwa behavioris pada dasarnya benar ketika mereka mengtakan
perkembangan dipelajari dan dipengaruhi secara kuat oleh pengalaman-pengalaman lingkungan.
Akan tetapi, merekan yakin bahwa Skinner bergerak terlalu jauh dengan menyatakan bahwa
kognisi tidak penting dalam memahami perkembangan. Teori belajar social ialah pandangan para
pakar psikologi yang menekankan perilaku, lingkungan dan kognisi sebagai faktor kunci dalam
perkembangan.

Para teoritis belajr mengatakan kita tidak seperti robot yang tidak memiliki pikiran, yang tanggap
secara meknis kepada orang lain di dalam lingkungan kita. Tidak seorangpun dari kita seperti
penunjuk arah angin, yang berperilaku seperti orang komunis dalam kehadiran seorang komunis
atau seperti seorang John Brcher. Sebaliknya, kita berfikir, bernalar, membayangkan,
merencanakan, mengharapkan, menginterpretasikan, meyakini, menilai dan
membandingkan.ketika orang lain, mencoba mengendalikan kita, nilai-nilai dan keyakinan kita
memungkinkan kita menolak kendali mereka.

Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang psikolog pendidikan dari Stanford
University, USA. Teori belajar ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana orang belajar
dalam seting yang alami/lingkungan sebenarnya.

Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku (B), lingkungan (E) dan kejadian-
kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P) adalah merupakan
hubungan yang saling berpengaruh(interlocking), Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku
Tingkah laku sering dievaluasi, bebas dari umpan balik lingkungan sehingga mengubah kesan-
kesan personal Tingkah laku mengaktifkan kontingensi lingkungan Karakteristik fisik seperti
ukuran, ukuran jenis kelamin dan atribut sosial menumbuhkan reaksi lingkungan yang berbeda.

Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu Kontingensi yang aktif
dapat merubah intensitas atau arah aktivitas.
P
B
E

Tingkah laku dihadirkan oleh model Model diperhatikan oleh pelajar (ada penguatan oleh model)
Tingkah laku (kemampuan dikode dan disimpan oleh pembelajar) Pemrosesan kode-kode
simbolik Skema hubungan segitiga antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku,
(Bandura, 1976).

Proses perhatian sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang baru (kompetensi)
tidak akan diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi sangat penting agar
pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual atau kode verbal dan penyimpanan dalam
memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini rehearsal (ulangan ) memegang peranan
penting.

Proses motivasi yang penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari dirinya sendiri dan
Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi).
Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak
hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga
sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni sense of
self Efficacy dan self regulatory system. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar
bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku.
Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku
dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah
laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan goal setting
dan self evaluation pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang
tinggi dan sebaliknya.

Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan


model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan self of
mastery, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.
Berikut Bandura mengajukan usulan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran yaitu
sebagi berikut :

MODEL KOGNISI
2.1.4 Teori Humanistik

Teori ini terutama dikembangkan oleh Maslow. Teori ini menjelaskan bahwa pada hakekatnya
setiap diri manusia adalah unik, memiliki potensi individual dan dorongan internal untuk
berkembang dan membentuk perilakunya dalam kaitan itu maka setiap diri manusia adalah bebas
dan memiliki kecendrungan untuk tumbuh dan berkembang mencapai aktualisasi diri. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa kebutuhan manusia adalah beritngkat-tingkat, terdiri dari tingkatan:
kebutuhan faaali, kebutuhan keamanan, kebutuhan pengakuan, dan kebutuhan aktualisasi diri.

2.1.5 Teori Ethologi ( sosiobiologi)

Etologi menekankan landasan biologis, dan evolusioner perkembangan. Penamaan ( imprinting )


dan periode penting ( critical period ) merupakan konsep kunci. Teori ini di tegakkan
berdasarkan penelitian yang cermat terhadap perilaku binatang dalam keadan nyata. Pendirinya
adalah Carl Von Frisch serang pecinta binatang. Bertahun-tahun ia memelihara berbagai macam
binatang dan mengamati perilakunya. Percobaan yang dilakukan pada sekelompok itik dengan
ank-anaknya adalah yang yang digunakan untuk menyusun teori ini. Ia pisahkan dua kelompok
anak angsa, satu kelompok diasuh induknyadan satu kelompok lagi ia asuh sendiri. Setelah
beberapa bulan kelompok anak angsa yang diasuhnya mengidentifikasi Carl Von Frisch sebagai
induknya. Kemanapun Carl Von Frisch pergi mereka selalu mengikuti. Suatu saat dipertemukan
kelompok asuhnya dengan induk aslinya ternyata kelompok yang diasuh ini menolak induk
aslinya

Garis besar teori ini mengatakan pada dasarnya sumber dari semua perilaku social ada dalam
gen. ada instink dalam makhluk untuk mengembangkan perilakunya. Analogi yang dikemukakan
adalah genes setting the stage, and society writing the play. Teori ini memberikan dasar bagi
pemahaman periode kritis perkembangan dan perilaku melekat pada anak segera setelah
dilahirkan.

Kepekaan terhadap jenis pengalaman yang berbeda berubah sepanjang siklus kehidupan. Adanya
atau tidak adanya pengalaman-pengalaman tertentu pada waktu tertentu selama masa hidup
mempengaruhi individu dengan baik di luar waktu pengalaman-pengalaman itu pertama kali
terjadi. Para etologi yakin bahwa kebanyakan pakar psikologi meremehkan pentingnya kerangka
waktu khusus ini pada awal perkembangan dan peran yang kuat yang dimainkan evolusi dan
landasan biologis dalam perkembangan.

Etologi lahir sebagai pandangan penting karena pekerjaan para pakar ilmu hewan eropa,
khususnya Konrad Lorenz (1903-1989). Etologi menekankan bahwa perilaku sangat dipengaruhi
oleh biologi terkait dengan evolusi, dan ditandai oleh periode yang penting atau peka.

Melalui penelitian yang sebagian besar dilakukan dengan angsa abu-abu, Lorenz (1965)
mempelajari suatu pola perilaku yang dianggap diprogramkan di dalam gen burung. Seekor anak
angsa yang baru ditetaskan tampaknya dilahirkan dengan naluri untuk mengikuti induknya.
Pengamatan memperlihatkan bahwa anak angsa mampu berperilaku demikian segera setelah
ditetaskan. Lorenz membuktikan bahwa tidak benar anggapan bahwa perilaku semacam itu
diprogramkan terhadap binatang.

2.1.6 Teori Ekologis

Teori etologis menempatkan tekanan yang kuat pada landasan perkembangan biologis. Berbeda
dengan teori etologi, Urie Bronfenbrenner (1917) mengajukan suatu pandangan lingkungan yang
kuat tentang perkembangan yang sedang menerima perhatian yang meningkat. Teori ekologi
adalah pandangan sosiokultular Bronfenbrenner tentang perkembangan, yang terdiri dari 5
sistem lingkungan mulai dari masukan interaksi langsung dengan gen-gen social (social agent)
yang berkembang baik hingga masukan kebudayaan yang berbasis luas. Ke 5 sistem dalam teori
ekologis Bronfenbrenner ialah mikrosystem, mesosyem, ekosistem, makrosistem dan
kronosistem. Modal ekologis Bronfenbrenner (1979, 1986, 1989, 1993).

Makrosystem, dalm teori ekologis Bronfenbrenner ialah setting dalam mana individu hidup.
Konteks ini meliputi keluarga individu, teman-teman sebaya, sekolah dan lingkungan. Dalam
mskrosystem inilah interaksi yang paling langsung dengan agen-agen social berlangsung.
Misalnya orang tua, teman-teman sebaya, dan guru. Individu tidak dipandang sebagai penerima
pengalaman yang pasif dalam setting ini, tetapi sebagai seseorang yang menolong membangun
setting. Bronfenbrenner menunjukkan bahwa kebanyakan penelitian tentang dampak-dampak
sosiokultular berfokus pada mikrosystem.

Mesosistem dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem
atau hubungan antar beberapa konteks. Contohnya ialah hubungan antara pengalaman keluarga
dan pengalaman sekolah, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan pengalaman
keluarga dengan pengalaman teman sebaya. Misalnya anak-anak yang orang tuanya menolak
mereka dapat mengalami kesulitan mengembangkan hubungan positif dengan guru, para
developmentalis semakin yakin pentingnya mengamati perilaku dalam setiing majemuk seperti
keluarga, teman sebaya, dan konteks sekolah untuk mmperoleh gambaran yang lebih lengkap
tentang perkambangan individu.

Ekosistem dalam teori ekologi Bronfenbrenner dilibatkan ketika pengalaman-pengalaman dalam


setting social lain dalam mana individu tidak memiliki peran yang aktif mempengaruhi apa yang
individu alami dalam konteks yang dekat. Misalnya pengalaman kerja dapat mempengaruhi
hubungan seoran perempuan dengan suami dan anaknya. Seorang ibu dapat menerima promosi
yang menuntutnya melakukan banyak perjalanan, yang dapat meningkatkan konflik perkawinan
dan perubahan pola interaksi orang tua anak. Contoh lain ekosistem adalah pemerintah kota yang
bertanggung jawab bagi kualitas taman, pusat-pusat rekreasi dan fasilitas perpustakaan bagi
anak-anak dan remaja.

Makrosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi kebudayaan di mana individu hidup
ingat bahwa kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan dan semua produk lain. Dari
sekelompok manusia yang diteruskan dari generas-generasi ingat juga bahwa studi lintas budaya
perbandingan antar satu kebudayaan dengan kebudayaan lain atau lebih kebudayaan lain,
member informasi tentang generalitas perkembangan.

Kronosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa


lingkungan dan transisi sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan sosiohistoris. Misalnya
dalam mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa
dampak negative sering memuncak pada tahun pertama setelah perceraian dan bahwa
dampaknya lebih negatef bagi anak laki-laki daripada anak perempuan. 2 tahun setekah
perceraian interaksi keluarga tidak begitu kacau lagi dan lebih stabil dengan mempertimbangkan
keadaan-keadaan sosiohistoris, dewasa ini, kaum perempuan tampaknya sangat didorong untuk
meniti karir dibandingkan pada 20 atau 30 tahun yang lalu. Dengan cara seperti ini, kronosistem
memiliki dampak yang kuat pada perkembangan kita.

2.1.7 Teori Erikson

Erikson mengembangkan dua filosofi dasar berkenaan dengan perkembangan, yaitu:

1. dunia bertambah besar seiring dengan diri kita

2. kegagalan bersifat kumulatif

Kedua dasar filosofi inilah yang membentuk teorinya yang terkenal itu. Ia hendak mengatakan
bahwa dunia semakin besar seiring dengan perkembangan karena kapasitas persepsi dan kognisi
manusia juga mengalami perubahan. Di sisi lain, dalam pengertian Erikson, kegagalan yang
terjadi pada sebuah stage perkembangan akan menghambat sebuah proses perkembangan ke
stage berikutnya. Kegagalan ini tidak lantas hilang dengan sendirinya, bahkan terakumulasi
dalam stage perkembangan berikutnya.

Dari penelitiannya, Erikson yang penganut Freudian (karena menggunakan konsep ego) ini
melihat bahwa jalur perkembangan merupakan interaksi antara tubuh (pemrograman biologi
genetika), pikiran (aspek psikologis), dan pengaruh budaya.

Erikson sang penemu teori

Erikson mengelompokkan tahapan kehidupan ke dalam 8 stage yang merentang sejak kelahiran
hingga kematian.

1. Tahap Bayi (Infancy): Sejak lahir hingga usia 18 bulan.

Kekuatan dasar: Dorongan dan harapan

Periode ini disebut juga dengan tahapan sensorik oral, karena orang biasa melihat bayi
memasukkan segala sesuatu ke dalam mulutnya. Sosok Ibu memainkan peranan terpenting untuk
memberikan perhatian positif dan penuh kasih kepada anak, dengan penekanan pada kontak
visual dan sentuhan. Jika periode ini dilalui dengan baik, bayi akan menumbuhkan perasaan trust
(percaya) pada lingkungan dan melihat bahwa kehidupan ini pada dasarnya baik. Sebaliknya,
bila gagal di periode ini, individu memiliki perasaan mistrust (tidak percaya) dan akan melihat
bahwa dunia ini adalah tempat yang mengecewakan dan penuh frustrasi. Banyak studi tentang
bunuh diri dan usaha bunuh diri yang menunjukkan betapa pentingnya pembentukan keyakinan
di tahun-tahun awal kehidupan ini. Di awal kehidupan ini begitu penting meletakkan dasar
perasaan percaya dan keyakinan bahwa tiap manusia memiliki hak untuk hidup di muka bumi,
dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh sosok Ibu, atau siapapun yang dianggap signifikan dalam
memberikan kasih sayang secara tetap.
QS Al-Baqarah 233: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara maruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Islam mengatakan bahwa sosok Ibu atau pengganti Ibu adalah madrasah pertama melalui kasih
sayangnya, sehingga ada pepatah surga di telapak kaki ibu. Ibu lah yang bertanggung jawab
di awal untuk mengantarkan anak ke surga.

2. Tahap Kanak-Kanak Awal (Early Childhood): 18 Bulan hingga 3 tahun

Hasil perkembangan ego: autonomy vs shame (otonomi vs rasa malu)

Kekuatan dasar: Pengendalian diri, keberanian, dan kemauan (will)

Selama tahapan ini individu mempelajari ketrampilan untuk diri sendiri. Bukan sekedar belajar
berjalan, bicara, dan makan sendiri, melainkan juga mempelajari perkembangan motorik yang
lebih halus, termasuk latihan yang sangat dihargai: toilet training. Di masa ini, individu
berkesempatan untuk belajar tentang harga diri dan otonomi, seiring dengan berkembangnya
kemampuan mengendalikan bagian tubuh dan tumbuhnya pemahaman tentang benar dan salah.
Salah satu ketrampilan yant muncul di periode adalah kemampuan berkata TIDAK. Sekalipun
tidak menyenangkan orang tua, hal ini berguna untuk pengembangan semangat dan kemauan.

Di sisi lain, ada kerentanan yang bisa terjadi dalam periode ini, khususnya berkenaan dengan
kegagalan dalam proses toilet training atau mempelajari skill lainnya, yang mengakibatkan
munculnya rasa malu dan ragu-ragu. Lebih jauh, individu akan kehilangan rasa percaya dirinya.

Dalam periode ini, hubungan yang signifikan adalah dengan orang tua.

QS Al-Maidah 6: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur.

Kebersihan selalu menjadi bagian dari Islam, karena itu layak diajarkan sejak anak-anak masih
kecil agar mereka bisa mandiri dalam melakukannya serta terbiasa membersihkan diri
sekalipun belum siap untuk beribadah secara formal.
3. Tahap Usia Bermain (Play Age): 3 hingga 5 tahun

Hasil perkembangan ego: initiative vs guilt (inisiatif vs rasa bersalah)

Kekuatan dasar: Tujuan

Pada periode ini, individu biasanya memasukkan gambaran tentang orang dewasa di sekitarnya
dan secara inisiatif dibawa dalam situasi bermain. Anak laki-laki bermain dengan kuda-kudaan
dan senapan kayu, anak perempuan main pasar-pasaran atau boneka yang mengimitasi
kehidupan keluarga, mobil-mobilan, handphone mainan, tentara mainan untuk bermain peran,
dsb. Di masa ini, muncul sebuah kata yang sering diucapkan seorang anak:KENAPA?

Sesuai dengan konsep Freudian, di masa ini anak (khususnya laki-laki) juga sedang berjuang
dalam identitas gender-nya yang disebut oedipal struggle. Kita sering melihat anak laki-laki
yang bermain dengan alat kelaminnya, saling menunjukkan pada sesama anak laki-laki, atau
bahkan menunjukkan pada anak perempuan sebaya. Kegagalan melalui fase ini menimbulkan
perasaan bersalah.

Hubungan yang signifikan di periode ini adalah dengan keluarga inti (ayah, ibu, dan saudara).

Rasulullah SAW bersabda; Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang-
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR Bukhari)

Anak-anak di usia ini disebut dengan golden age, karena memiliki ingatan yang luar biasa, dan
apapun memory yang didapatkan di kurun usia ini akan menjadi kenangan seumur hidup.
Karena itu biarlah mereka selalu mengenang orang tuanya sebagai ilham bagi perbuatan penuh
kebajikan dan amal saleh di kelak kemudian hari.

4. Tahap Usia Sekolah (School Age): Usia 6 12 tahun

Hasil perkembangan ego: Industry vs Inferiority (Industri vs Inferioritas)

Kekuatan dasar: Metode dan kompetensi

Periode ini sering disebut juga dengan periode laten, karena individu sepintas hanya
menunjukkan pertumbuhan fisik tanpa perkembangan aspek mental yang berarti, berbeda dengan
fase-fase sebelumnya. Kita bisa simak, dalam periode sebelumnya pertumbuhan dan
perkembangan berbilang bulan saja untuk manusia agar bisa tumbuh dan berkembang.

Ketrampilan baru yang dikembangkan selama periode ini mengarah pada sikap industri
(ketekunan belajar, aktivitas, produktivitas, semangat, kerajinan, dsb), serta berada di dalam
konteks sosial. Bila individu gagal menempatkan diri secara normal dalam konteks sosial, ia
akan merasakan ketidak mampuan dan rendah diri.

Sekolah dan lingkungan sosial menjadi figur yang berperan penting dalam pembentukan ego ini,
sementara orang tua sekalipun masih penting namun bukan lagi sebagai otoritas tunggal.
Imam asy-Syafii rahimahullaah pemah mengatakan dalam syairnya: Saudaraku, engkau tidak
akan mendapat ilmu, melainkan dengan enam perkara.Kukabarkan kepadamu rinciannya
dengan jelas: Kecerdasan, kemauan keras, bersungguh-sungguh, bekal yang cukup, bimbingan
ustadz, dan waktunya yang lama.

Anak-anak selalu menganggap guru sebagai orang tua kedua, bahkan seringkali lebih
mendengar penuturan mereka. Karena guru dan teman-teman sekolah memberikan pengaruh
penting, kita wajib seksama dalam memilihkan pendidikan dasar anak kita.

5. Tahap Remaja (Adolescence): Usia 12 hingga 18 tahun

Hasil perkembangan ego: Identity vs Role confusion (identitas vs kebingungan peran)

Kekuatan dasar: devotion and fidelity (kesetiaan dan ketergantungan)

Bila sebelumnya perkembangan lebih berkisar pada apa yang dilakukan untuk saya, sejak
stage perkembangan ini perkembangan tergantung padaapa yang saya kerjakan. Karena di
periode ini individu bukan lagi anak tetapi belum menjadi dewasa, hidup berubah sangat
kompleks karena individu berusaha mencari identitasnya, berjuang dalam interaksi sosial, dan
bergulat dengan persoalan-persoalan moral.

Tugas perkembangan di fase ini adalah menemukan jati diri sebagai individu yang terpisah dari
keularga asal dan menjadi bagian dari lingkup sosial yang lebih luas. Bila stage ini tidak lancara
diselesaikan, orang akan mengalami kebingungan dan kekacauan peran.

Hal utama yang perlu dikembangkan di sini adalah filosofi kehidupan. Di masa ini, seseorang
bersifat idealis dan mengharapkan bebas konflik, yang pada kenyataannya tidak demikian. Wajar
bila di periode ada kesetiaan dan ketergantungan pada teman.

Menyendiri lebih baik daripada berkawan dengan yang buruk, dan kawan bergaul yang sholeh
lebih baik daripada menyendiri. Berbincang-bincang yang baik lebih baik daripada berdiam
dan berdiam adalah lebih baik daripada berbicara (ngobrol) yang buruk. (HR. Al Hakim)
Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya, maka hendaklah kamu berhati-
hati dalam memilih kawan pendamping. (HR. Ahmad)

Pergaulan menjadi sangat crucial di usia ini, dan sangat menentukan arah masa depan
perkembangan kerohanian seseorang kelak. Orang tua perlu mengontrol siapa saja teman anak-
anaknya tanpa merasa rikuh, karena tugas orang tua adalah memilihka teman yang bisa
membawa anak ke jalan kehidupan yang benar.

6. Tahap Dewasa Awal (Young Adulthood): Usia 18 hingga 35 tahun

Hasil perkembangan ego: Solidarity vs Isolation (Solidaritas vs isolasi)

Kekuatan dasar: affiliation and love (kedekatan dan cinta)


Langkah awal menjadi dewasa adalah mencari teman dan cinta. Hubungan yang saling
memberikan rasa senang dan puas, utamanya melalui perkawinan dan persahabatan.
Keberhasilan di stage ini memberikan keintiman di level yang dalam.

Kegagalan di level ini menjadikan orang mengisolasi diri, menjauh dari orang lain, dunia terasa
sempit, bahkan hingga bersikap superior kepada orang lain sebagai bentuk pertahanan ego.

Hubungan yang signifikan adalah melalui perkawinan dan persahabatan.

QS An-Nuur32: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

jika seorang hamba menikah sesungguhnya ia telah menyempurnakan separuh agamanya.


Karena itu bertakwalah pada Allah untuk menyempurnakan sebagian yang lain (HR Al
Baihaqi)

Menikah adalah pilihan, namun bagi kaum muslim adalah sunnah. Pernikahan yang baik dan
berdasarkan ridha Allah akan memberikan ketenteraman.

7. Tahap Dewasa (Middle Adulthood): Usia 35 hingga 55 atau 65tahun

Hasil perkembangan ego: Generativity vs Self Absorption or Stagnation

Kekuatan dasar: production and care (produksi dan perhatian)

Masa ini dianggap penting karena dalam periode inilah individu cenderung penuh dengan
pekerjaan yang kreatif dan bermakna, serta berbagai permasalahan di seputar keluarga. Selain itu
adalah masa berwenang yang diidamkan sejak lama.

Tugas yang penting di sini adalah mengejawantahkan budaya dan meneruskan nilai budaya pada
keluarga (membentuk karakter anak) serta memantapkan lingkungan yang stabil. Kekuatan
timbul melalui perhatian orang lain, dan karya yang memberikan sumbangan pada kebaikan
masyarakat, yang disebut dengan generativitas. Jadi di masa ini, kita takut akan ketidak aktifan
dan ketidak bermaknaan diri.

Sementara itu, ketika anak-anak mulai keluar dari rumah, hubungan interpersonal tujuan
berubah, ada kehidupan yang berubah drastic, individu harus menetapkan makna dan tujuan
hidup yang baru. Bila tidak berhasil di stage ini, timbullah self-absorpsi atau stagnasi.

Yang memainkan peranan di sini adalh komunitas dan keluarga.

Anas bin Malik r.a. berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, Tidak sempurna iman
seseorang di antaramu kecuali jika ia mencintai saudaranya sebagaimana yang ia cintai untuk
dirinya. (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Numan bin Basyir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, Perumpamaan orang-orang
beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan saling membantu itu bagaikan satu jasad.
Jika ada di antaranya yang merasa sakit, maka semua unsur jasad ikut tidak tidur dan merasa
demam. (HR Bukhari dan Muslim)

Menjadi bagian dari komunitas adalah tuntunan bagi orang Islam, selain untuk amalan hablum
minannas juga untuk menunjukkan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin.

7. Tahap Dewasa Akhir (Late Adulthood): Usia 55 atau 65tahun hingga mati

Hasil perkembangan ego: Integritas vs Despair (integritas vs keputus asaan)

Kekuatan dasar: wisdom (kebijaksanaan)

Orang berusia lanjut yang bisa melihat kembali masa-masa yang telah dilaluinya dengan
bahagia, merasa tercukupi, dan merasa telah memberikan kontribusi pada kehidupan, ia akan
merasakan integritas. Kebijaksanaannya yang tumbuh menerima keluasan dunia dan menjelang
kematian sebagai kelengkapan kehidupan.

Sebaliknya, orang yang menganggap masa lalu adalah kegagalan merasakan keputus asaan,
belum bisa menerima kematian karena belum menemukan makna kehidupan. Atau bisa jadi, ia
merasa telah menemukan jati diri dan meyakini sekali bahwa dogma yang dianutnyalah yang
paling benar.

QS Al-Jumuah 8: Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka


Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, Kemudian kamu akan dikembalikan kepada
(Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia beritakan kepadamu apa yang
Telah kamu kerjakan.

2.1.8 Teori Vygotsky

Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi sosial yang
hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan Rusia, mengenal poin
penting tentang pikiran anak ini lebih dari setengah abad yang lalu. Teori Vygotsky mendapat
perhatian yang makin besar ketika memasuki akhir abad ke-20.

Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an dan 1930-an. Namun,
karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-an. Sejak saat itulah, tulisan-
tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky adalah pengagum Piaget. Walaupun setuju
dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya
berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak
menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas batinnya sendiri.
B. KONSEP SOSIOKULTURAL

Banyak developmentalis yang bekerja di bidang kebudayaan dan pembangunan menemukan


dirinya sepaham dengan Vygotsky, yang berfokus pada konteks pembangunan sosial budaya.
Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak
terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan bagaimana proses-
proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran
menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat
ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari
orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada
peran kebudayaan dan masyarakat di dalam perkembangan kognitif berbeda dengan gambaran
Piaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian.

Piaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual, sedangkan


Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam
memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental
yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian.
Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir
dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai alat
kebudayaan tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan
pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua selama pengalaman
pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin
mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap
anak dengan cara yang sama dengan anggota lain dalam kebudayaannya.

Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional maupun level konteks
sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan menyediakan
organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif melalui institusi seperti sekolah,
penemuan seperti komputer, dan melek huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu
norma-norma perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal
memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental anak. Menurut
vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui
interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-
hubungan interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia.
Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu
latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang.

C. PERKEMBANGAN BAHASA

Para pakar perilaku memandang bahasa sama seperti perilaku lainnya, misalnya duduk, berjalan,
atau berlari. Mereka berpendapat bahwa bahasa hanya merupakan urutan respons (Skinner,1957)
atau sebuah imitasi (Bandura, 1977). Tetapi banyak diantara kalimat yang kita hasilkan adalah
baru, kita tidak mendengarnya atau membicarakannya sebelumnya.

Kita tidak mempelajari bahasa di dalam suatu ruang hampa sosial (social vacuum).
Kebanyakan anak-anak diajari bahasa sejak usia yang sangat muda. Kita memerlukan
pengenalan kepada bahasa yang lebih dini untuk memperoleh keterampilan bahasa yang baik
(Adamson,1992; Schegloff,1989). Dewasa ini, kebanyakan peneliti penguasaan bahasa yakin
bahwa anak-anak dari berbagai konteks sosial yang luas menguasai bahasa ibu mereka tanpa
diajarkan secara khusus dan dalam beberapa kasus tanpa penguatan yang jelas ( Rice,1993).
Dengan demikian aspek yang penting dalam mempelajari suatu bahasa tampaknya tidaklah
banyak. Walaupun begitu, proses pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih banyak
dukungan dan keterlibatan dari pengasuh dan guru. Suatu peran lingkungan yang
membangkitkan rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa pada anak kecil disebutmotherese,
yakni cara ibu dan orang dewasa sering berbicara pada bayi dengan frekuensi dan hubungan
yang lebih luas dari pada normal, dan dengan kalimat-kalimat yang sederhana.

Bahasa dipahami dalam suatu urutan tertentu. Pada setiap tahap di dalam tahap perkembangan,
interaksi linguistik anak dengan orang tua dan orang lain pada dasarnya mengikuti suatu prinsip
tertentu ( Conti-Ramsden & Snow, 1991; Maratsos, 1991). Perkembangan pemahaman bahasa
pada anak bukan saja sangat dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di
sekitar anak sejak usia dini jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang diperkirakan di
masa lalu ( Von Tetzchner & Siegel, 1989).

Vygotsky lebih banyak menekankan bahasa dalam perkembangan kognitif daripada Piaget. Bagi
Piaget, bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai tahap perkembangan yang cukup maju.
Pengalaman berbahasa anak tergantung pada tahap perkembangan kognitif saat itu. Namun, bagi
Vygotsky, bahasa berkembang dari interaksi sosial dengan orang lain. Awalnya, satu-satunya
fungsi bahasa adalah komunikasi. Bahasa dan pemikiran berkembang sendiri, tetapi selanjutnya
anak mendalami bahasa dan belajar menggunakannya sebagai alat untuk membantu memecahkan
masalah. Dalam tahap praoperasional, ketika anak belajar menggunakan bahasa untuk
menyelesaikan masalah, mereka berbicara lantang sembari menyelesaikan masalah. Sebaliknya,
begitu menginjak tahap operasional konkret, percakapan batiniah tidak terdengar lagi.

D. ZONE PERKEMBANGAN PROKSIMAL

Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui
pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika
berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran
operasional formal tanpa bantuan orang lain.

Pada satu sisi, Piaget menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan dengan kemajuan anak-
anak, dan dia menggambarkan bahwa anak-anak mampu melakukan sesuatu sendiri. Pada sisi
lain, Vygotsky mencari pengertian bagaiman anak-anak berkembang dengan melalui proses
belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses pematangan.
Vygotsky membedakan antara aktual development dan potensial development pada anak. Aktual
development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang
dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama
dengan teman sebaya.
Menurut teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual
development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan
sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan
arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.

Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan
perkembangan anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri, perkembangan
mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan perkembangan, siswa
seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat memimpin secara sistematis
dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui perubahan yang berturut-turut dalam
berbicara dan bersikap, siswa mendiskusikan pengertian barunya dengan temannya kemudian
mencocokkan dan mendalami kemudian menggunakannya. Sebuah konsekuensi pada proses ini
adalah bahwa siswa belajar untuk pengaturan sendiri (self-regulasi).

E. KONSEP SCAFFOLDING

Scaffolding merupakan suatu istilah yang ditemukan oleh seorang ahli psikologi perkembangan-
kognitif masa kini, Jerome Bruner, yakni suatu proses yang digunakan orang dewasa untuk
menuntun anak-anak melalui zona perkembangan proksimalnya.

Pengaruh karya Vygotsky dan Bruner terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith et al.
(1998).

1. Walaupun Vygotsky dan Bruner telah mengusulkan peranan yang lebih penting bagi orang
dewasa dalam pembelajaran anak-anak daripad peran yang diusulkan Piaget, keduanya tidak
mendukung pengajaran didaktis diganti sepenuhnya. Sebaliknya mereka malah menyatakan,
walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif mendampingi
setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam zona
perkembangan proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama melalui ZPD.

2. Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga
berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan pembelajaran lewat
penemuan individu (individual discovery learning), kerja kelompok secara kooperatif
( cooperative groupwork) tampaknya mempercepat perkembangan anak.

3. Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluasa menjadi pengajaran pribadi oleh teman
sebaya ( peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam
pelajaran. Foot et al. (1990) menjelaskan keberhasilan pengajaran oleh teman sebaya ini dengan
menggunakan teori Vygotsky. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati
ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bis adengan mudah melihat
kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.

Komputer juga dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dalam berbagai cara. Dari
perspektif pengikut Vygotsky-Bruner, perintah-perintah di layar komputer merupakan scaffolding
( Crook, 1994). Ketika anak menggunakan perangkat lunak (software) pendidikan, komputer
memberikan bantuan atau petunjuk secara detail seperti yang diisyaratkan sesuai dengan
kedudukan anak yang sedang dalam ZPD. Tak pelak lagi, beberapa anak di kelas lebih terampil
dalam menggunakan komputer sehingga bisa berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya.
Dengan murid-murid yang bekerja dengan komputer, guru bisa dengan bebas mencurahkan
perhatinnya kepada individu-individu yang memerlukan bantuan dan menyiapkan scaffolding
yang sesuai bagi masing-masing anak.

F. KONSTRUKTIVISME

Pendekatan konstruktivisme pada pendidikan berusaha merubah pendidikan dari dominasi guru
menjadi pemusatan pada siswa. Peranan guru adalah membantu siswa mengembangkan
pengertian baru. Siswa diajarkan bagaimana mengasimilasi pengalamn, pengetahuan, dan
pengertiannya dan apakah mereka siap untuk tahu dari pembentukan pengertian baru ini. Pada
bagian ini, kita melihat permulaan aliran konstruktivisme , peranan pengalaman siswa dalam
belajar dan bagaiman dapat mengasimilasi pengertiannya.

Konstruktivisme adalah suatu teori belajar yang mempunyai suatu pedoman dalam filosofi dan
antropologi sebaik psikologi. Pedoman filosofi pada teori ni ditemukan pada abad ke-5 sebelum
masehi. Ketika Socrates memajukan pemikiran dari level sophist oleh metode perkembangan
sistematis yang ditemukan melalui gabungan antara pertanyaan dan alasan logika. Metode baru
ini yang mengkontribusi secara besar-besaran untuk memajukan aspek pemecahan masalah
aliran konstruktivisme.

Penyelidikan atau pengalaman fisik, pengalaman pendidikan adalah kunci metode


konstruktivisme. Selama abad ke-18 dan ke-17, filosof Inggris Frances Bacon memberikan
ilmu metode untuk menyelidiki lingkungan.

Pendukung konstruktivisme percaya bahwa pengalaman melalui lingkungan, kita akan mengikat
informasi yang kita peroleh dari pengalaman ini ke dalam pengertian sebelumnya, membentuk
pengertian baru. Dengan kata lain, pada proses belajar masing-masing pelajar harus
mengkreasikan pengetahuannya. Pada konstruktivis, kegiatan mengajar adalah proses membantu
pelajar-pelajar mengkreasikan pengetahuannya. Konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan
tidak hanya kegiatan penemuan yang memungkinkan untuk dimengerti, tetapi pengetahuan
merupakan cara suatu informasi baru berinteraksi dengan pengertian sebelumnya dari pelajar.

Para konstruktivisme menekankan peranan motivasi guru untuk membantu siswa belajar
mencintai pelajaran. Tidak seprti behaviorist, yang menggunakan sangsi berupa reward,
sedangkan konstruktivisme percaya bahwa motivasi internal, seperti kesenangan pada pelajaran
lebih kuat daripada reward eksternal.

Konstruktivisme yang mempunyai pengaruh besar pada tahun 1930 yang bekerja sebagai ahli
Psikologi Rusia adalah L.S. Vygotsky, yang sangat tertarik pada efek interaksi siswa dengan
teman sekelas pada pelajaran. Jaramillo (1996) menjelaskan, Vygotsky mencatat bahwa interaksi
individu dengan orang lain berlangsung pada situasi sosial. Vygotsky percaya bahwa subyek
yang dipelajari berpengaruh pada proses belajar, dan mengakui bahwa tiap-tiap disiplin ilmu
mempunyai metode pembelajaran tersendiri. Vygotsky adalah seorang guru yang tertarik untuk
mendesign kurikulum sebagai fasilitas dalam interaksi siswa.
2.1.9 Konsepsi Gestalt

Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai bentuk atau
konfigurasi. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan
dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada
tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :

1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa
setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang.
Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan
figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi
kekaburan penafsiran antara latar dan figure.

2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun
ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.

3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan


dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.

4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada
dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk
tertentu.

5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya


bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang
baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan

6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola
obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.

Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:

1. Perilaku Molar hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku


Molecular. Perilaku Molecular adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau
keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku Molar adalah perilaku dalam keterkaitan
dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah
beberapa perilaku Molar. Perilaku Molar lebih mempunyai makna dibanding dengan
perilaku Molecular.

2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan
geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang
sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak.
Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan
behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan
hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian
peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya,
adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan
sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti
gunung atau binatang tertentu.

4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu


proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan
merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan
yang diterima.

Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :

1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam
perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan
tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau
peristiwa.

2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang


terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas
makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat
penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan
pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya
memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.

3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku
bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan
dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta
didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya
menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam
memahami tujuannya.

4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan
lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki
keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.

5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran
tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan
melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk
kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat.
Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam
pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi).
Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok
dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam
memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat
membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang
diajarkannya.

2.1.10 Konsepsi Neo-Gestalt

Konsepsi ini dikenal pula dengan nama Field Theory atau teori medan. Tokoh yang terkenal
pada konsepsi ini adalah Kurt Lewin. Pada intinya berpendapat perkembangan di samping
merupakan proses deferensiasi juga merupakan proses stratifikasi. Struktur pribadi manusia
digambarkan terdiri dari lapisan-lapisan, dan makin besar akan makin tinggi perkembangganya,
bertambah pula lapisan-lapisannya. Pada awal perkembanggannya anak kecil masih satu lapis,
anak akan jujur mengatakan apa adanya dan belum dapat menyembunyikan sesuatu dalam
jiwanya. Anak tidak akan dapat berdusta dengan sengaja.

2.1.11 Konsepsi Bio-Sosial

Konsep ini berpendapat bahwa hidup itu belajar dan perkembangan itu juga belajar. Living Is
Learning and Growing Is Learning maksudnya adalh setiap makhluk untuk dapat
mempertahankan hidupnya harus belajar, karena proses belajar manusia akan dapat berkembang.
Untuk belajar diperlukan, pemasakan biologis dan, pemasakan social. Tokoh yang berpendapat
demikian adalah R.J. Havighurs. Terdapat 4 faktor yang berkaitan dengan perkembangan
menurut pendapat ini. Factor tersebut yaitu pertama, kemasan fisik kedua, tekanan social, ketiga
nilai-nilai pribadi, keempat, gabungan ketiganya.

BAB III

KESIMPULAN

1. Perspektif teoritis utama tentang perkembangan daintaranya adalah: Teori Psikoanalis,


Teori Perkembangan kognitif, Teori Belajar (Konsepsi Asosiasi), Teori Humanistik, Teori
Etologi, dan teori ekologi.

2. Jika dilihat berdasarkan teori-teori di atas maka secara umum perkembangan anak akan
berbeda-beda misalnya saja pada teori etologi mempunyai pandangan sebagai berikut:

a. anak dilahirkan dengan tanpa kecenderungan tertentu

b. factor bawaan berperan utama dalam perkembangan anak

c. anak berperan aktif dalam proses perkembangan

d. perkembanga berjalan secara kontinu

e. tahap perkembangan bervariasi

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2006. Teori Perkembanagan Moral http://sylvie.edublogs.org/2006/09/19/teori-
perkembangan-moral/. (Online). Diakses Tanggal 10 Oktober 2009.

Anonymous. 2008. Teori Perkembangan Anak. http://eko13.wordpress.com/2008/05/31/teori-


perkembangan-anak--erickson-dan-gardner/. (Online). Diakses tanggal 10 Oktober 2009.

Anonymous. 2009. Tahapan Perkembangan Manusia.


http://mercusuarku.wordpress.com/2008/08/10/perkembangan-manusia/. (Online). Diakses
Tanggal 10 Oktober 2009.

Poerwanti, endang dan Nur Widodo. 2002. Perkembangan Peserta Didik. UMM Press. Malang.

Santrock, John. 1995. Life Span Development. Erlangga. Jakarta.

Hamalik, Oemar. 1992. Psikologi Belajar dan Mengajar. Sinar Baru. Bandung.

Soetjitiningsih. 1993. Tumbuh Kembang Anak. EGC Penerbit Kedokteran. Jakarta.

Suryabrata. 1993. Psikologi Pendidikan. CV Rajawali. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai