Anda di halaman 1dari 243

247

MAKALAH PENUNJANG

Makalah penunjang dalam Seminar Nasional Komunikasi


Pembangunan Mendukung Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
dalam Kerangka Pengembangan Masyarakat ini tidak disajikan oleh
penulis dalam forum seminar. Keberadaan makalah ini adalah untuk
menunjang keberadaan makalah undangan yang disajikan oleh
pembicara baik pada seminar panel utama, seminar kelompok A,
seminar kelompok B, seminar kelompok C, maupun seminar kelompok
D.
Makalah penunjang diperoleh dari penulis atas inisiatif penulis
sendiri. Hal ini terjadi karena panitia membuka kesempatan kepada
berbagai pihak untuk mengirimkan makalah terkait dengan
penyelenggaraan seminar nasional ini. Jumlah makalah yang berhasil
dihimpun panitia adalah sebanyak dua belas makalah yang berasal
dari berbagai pihak seperti mahasiswa, dosen, peneliti, maupun
pegawai pemerintah. Judul duabelas makalah penunjang tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Implementasi Cyber Extension dalam Komunikasi Inovasi Pertanian
2. Peran Komunikasi Pembangunan dalam Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir
3. Strategi Optimalisasi Kinerja Pemberdayaan Masyarakat Melalui
Peningkatan Mutu Hubungan Interpersonal
4. Revitalisasi Radio Pertanian Ciawi (RPC) Sebagai Pusat Informasi
Pembangunan Pertanian Ideal
5. Perbandingan Efektivitas Media Cetak (Folder dan Poster-Kalender)
dan Penyajian Tanaman Zodia terhadap Peningkatan Pengetahuan
Masyarakat
6. Pola Komunikasi dalam Pengembangan Modal Manusia dan Sosial
Pertanian
7. Hambatan-hambatan Komunikasi yang Dirasakan Peternak Dalam
Pembinaan Budidaya Sapi Potong
8. Analisis Teori Performance dan Positioning dalam Komunikasi
Pembangunan Berwawasan Gender
9. Efektivitas Komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima Tani
10.Peran Komunikasi dalam Modernisasi Pertanian Berbasis Koperasi
11.Implementasi CSR untuk Meningkatkan Peran Pendidikan dalam
Pengembangan Masyarakat
12.Persepsi Petani tentang Saluran Komunikasi Usahatani Padi
248

IMPLEMENTASI CYBER EXTENSION DALAM


KOMUNIKASI INOVASI PERTANIAN

Sumardjo1 dan Retno Sri Hartati Mulyandari2

ABSTRACT
Cyber extension is one of the agricultural innovation network development mechanism
effectively for bringing into contact between research, development, and assessment
institution with innovation disseminator (extension workers), educators, farmers, and
other stakeholders group that have each need with various information kind and form,
so can be collaborated and equipped each other. Many problems that stakeholders
were known in cyber extension implementation can be divided into three major
categories, are: 1) Management (commitment and policy not yet consistence and
limited managerial capability in ICT area; 2) Infrastructure (low and instability in
electric and limited internet connection network or communication infrastructure,
widely regional broadness, and limited local government budgeting); 3) Human
resource development (limited human resource development capability in
communication and information technology application); and 4) Culture (low of culture
in sharing information and knowledge and low awareness for usually to documenting
the information/activities/data that can be accessed and owned). In agricultural
innovation communication network system through cyber extension based on
information technology application, the District Extension Agency is a bridge between
information source within center organization with local stakeholders and at the same
time act as a synergizing system. Besides to facilitate the local users and stakeholders
in accessing agricultural information manually and electronically, District Extension
Agency can be functioning as information accumulator related to indigenous
knowledge from local information resource through Extension agency at Sub district
level that collecting information and facilitating information material for field extension
workers in each rural. Cyber extension is expected to support the extension
revitalization especially in conducting the collaboration and networking agricultural
extension with related institutions.

Key words: cyber extension, agricultural innovation communication, agricultural


innovation network, agricultural innovation communication network,
agricultural extension work network, extension revitalization

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertanian di Indonesia dikuasai oleh petani kecil dengan produk
pertanian dan mutu yang bervariasi. Keterbatasan-keterbatasan
petani, antara lain dalam bentuk permodalan, penguasaan lahan,
keterampilan, pengetahuan, aksesibilitas akan informasi pasar dan
teknologi pertanian, serta bergaining position akan berpengaruh
terhadap proses pengambilan keputusan dalam penentuan komoditas
yang akan diusahakan dan teknologi yang akan diterapkan petani.
Rendahnya tingkat kekosmopolitan atau kemampuan petani untuk
membuka diri terhadap suatu pembaharuan dan atau informasi yang
berkaitan dengan unsur pembaharuan juga semakin memperburuk

1 Kepala Pusat Kajian Resolusi Konflik dan Pemberdayaan LPPM IPB


(assoka252@yahoo.com)

2 Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian (retnoshm@yahoo.com)


249

kondisi petani dalam membuat keputusan untuk menolak atau


menerima inovasi. Hal ini akan bermuara pada rendahnya pendapatan
dan keadaan yang sulit berkembang. Dengan demikian, dalam bidang
pengembangan pertanian, akses terhadap inovasi pertanian menjadi
hal yang sangat penting demi kelangsungan usahatani yang
dilaksanakan. Inovasi pertanian yang memadai dan tepat waktu
didukung informasi pertanian terkait lainnya dapat digunakan sebagai
dasar strategi penguasaan pasar dan dasar perencanaan untuk
pengembangan usaha tani lebih lanjut (Mulyandari 2005).
Dewasa ini pelaku pengembangan pertanian di Indonesia masih
mengeluhkan minimnya inovasi pertanian tepatguna yang dapat
disediakan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian.
Departemen memiliki kewajiban untuk dapat menyediakan informasi
pertanian bagi pelaku agribisnis. Penyuluhan pertanian sebagai
tonggak penting Departemen Pertanian untuk melakukan komunikasi
inovasi pertanian saat ini masih menghadapi banyak permasalahan
penting, khususnya dalam mengembangkan dan menyediakan inovasi
pertanian tepatguna yang berkelanjutan yang sebenarnya dibutuhkan
oleh petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian. Sementara
itu, dalam UU No. 16 Tahun 2006 pasal 15 ayat 1c telah diamanatkan
bahwa Balai Penyuluhan berkewajiban menyediakan dan menyebarkan
informasi tentang teknologi, sarana produksi, pembiayaan, dan pasar.
Adapun dalam ayat 1e diamanatkan pula bahwa Balai Penyuluhan
bertugas memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh PNS, Penyuluh
Swadaya, dan Penyuluh Swasta melalui proses pembelajaran secara
berkelanjutan. Dalam situasi saat ini, tugas tersebut menjadi sulit atau
tidak dapat dilaksanakan apabila tidak ada mekanisme yang
terprogram untuk mendukung ketersediaan informasi inovatif
pertanian yang mutakhir dan berkelanjutan.
Pengembangan sistem kerja cyber extension merupakan
salahsatu mekanisme pengembangan jaringan komunikasi inovasi
pertanian yang terprogram secara efektif. Cyber extension perlu
diimplementasikan untuk mempertemukan lembaga penelitian,
pengembangan, dan pengkajian dengan diseminator inovasi
(penyuluh), pendidik, petani, dan kelompok stakeholders lainnya yang
masing-masing memiliki kebutuhan dengan jenis dan bentuk informasi
yang berbeda sehingga dapat berperan secara sinergis dan saling
melengkapi. Dengan demikian diharapkan dengan operasionalnya
cyber extension dapat mendukung program revitalisasi penyuluhan
khususnya dalam melaksanakan pengembangan kerjasama dan
jejaring kerja penyuluhan pertanian dengan instansi terkait
(Departemen Pertanian 2009). Cyber extension juga merupakan
sistem yang mampu menjadi pendorong mekanisme pengelolaan,
penyebaran, pendokumentasian, pencarian kembali, sinergisasi inovasi
pertanian yang dibutuhkan para pelaku pembangunan pertanian
sehingga dapat mendukung pengembangan inovasi yang berkelanjutan

Permasalahan
250

Permasalahan penting yang mengemuka dan mendesak untuk


segera dijawab adalah keberlanjutan inovasi pertanian yang dapat
menjawab setiap tuntutan perubahan lingkungan sosial maupun fisik
dunia pertanian. Secara spesifik, permasalahan yang perlu segera
dijawab sehingga mampu mendukung terselenggaranya sistem
komunikasi inovasi pertanian melalui mekenisme penyuluhan
pertanian yang efektif dan berkelanjutan adalah:
1) Bagaimana konsep cyber extension dalam komunikasi inovasi
pertanian?
2) Informasi/inovasi dengan pesan dan kemasan seperti apa saja
(bagaimana)kah yang sebenarnya dibutuhkan oleh pihak-pihak
terkait agar lebih kondusif bagi terwujudnya pembangunan
pertanian yang efektif dan berkelanjutan?
3) Permasalahan-permasalahan apa saja yang dihadapi dalam
implementasi cyber extension?
4) Bagaimana strategi dalam mengembangkan sistem komunikasi
inovasi yang efektif melalui implementasi cyber extension?

Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, kajian ini
bertujuan untuk:
1) Mempelajari konsep cyber extension dalam komunikasi inovasi
pertanian;
2) Mengkaji informasi/inovasi dengan pesan dan kemasan seperti apa
saja (bagaimana)kah yang sebenarnya dibutuhkan oleh pihak-pihak
terkait agar lebih kondusif bagi terwujudnya pembangunan
pertanian yang efektif dan berkelanjutan?;
3) Menganalisis permasalahan-permasalahan apa saja yang dihadapi
dalam implementasi cyber extension; dan
4) Merumuskan strategi dalam mengembangkan sistem komunikasi
inovasi yang efektif melalui implementasi cyber extension?

METODOLOGI
Kerangka Berpikir
Berbagai kajian telah mengungkap salahsatu permasalahan
utama untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam sistem
penyuluhan adalah keterbatasan dalam mengembangkan inovasi
secara berkelanjutan. Penyuluh merasakan kekurangan inovasi ketika
harus menjalankan tugasnya sebagai pendamping petani dalam
melakukan kegiatan usaha tani, bahkan tidak jarang menghadapi
kesulitan dan tidak mampu membantu petani memecahkan
permasalahan yang dihadapi petani. Hal ini terungkap dalam disertasi
Sumardjo (1999) dengan fokus penelitian tentang kemandirian petani
dan kesiapan penyuluh; Tamba (2007) dalam penelitian disertasinya
tentang kebutuhan informasi pertanian dan aksesnya bagi petani di
Provinsi Jawa Barat; serta penelitian disertasi Marliati (2008) tentang
pengembangan kapasitas dan kemandirian petani di Provinsi Riau.
251

Model konvergensi komunikasi (convergence model of


communications) telah dirumuskan oleh Everet M. Rogers dan D.
Lawrence Kincaid (1981) dan pada tahun 1999 telah diuji oleh
Sumardjo dalam disertasinya bahwa lebih efektif dan efisien dalam
sistem penyuluhan pertanian. Oleh karena itu, model komuninasi
konvergen layak ditempatkan sebagai paradigma dominan dalam
komunikasi inovasi dalam penyuluhan pertanian. Hal tersebut diduga
dapat dipercepat proses dan konvergensinya dalam skala yang lebih
luas apabila didukung oleh aplikasi sistem jaringan teknologi informasi
yang handal. Secara paradigmatik, model konvergensi komunikasi
inovasi tersebut disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Model komunikasi konvergen (Rogers dan Kincaid 1981)

Model konvergensi komunikasi inovasi mendorong terjadinya


keterpaduan antara kebutuhan petani dengan kebutuhan pihak-pihak
terkait yaitu peneliti, penyuluhan pemerintah, dan dunia bisnis.
Kesinambungan dalam inovasi pertanian tersebut memacu masing-
252

masing pihak untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara proaktif dan


antisipatif melalui sharing informasi (knowledge sharing) dan saling
memperkuat upaya pemenuhan kebutuhan masing-masing pihak.
Dengan demikian terjadi akselerasi dalam penyediaan dan
penggunaan inovasi secara efektif dan efisien. Efektif karena yang
dibutuhkan dapat dipenuhi dan efisien karena tidak memerlukan energI
yang berlebihan untuk mencari dan memperoleh inovasi yang
bermanfaat bagi masing-masing pihak terkait.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
khususnya internet dapat digunakan untuk menjembatani informasi
dan pengetahuan yang tersebar di antara yang menguasai informasi
dan yang tidak. Akses terhadap komunikasi digital membantu
meningkatkan akses terhadap peluang pendidikan, meningkatkan
transparansi dan efisiensi layanan pemerintah, memperbesar
partisipasi secara langsung dari peran masyarakat yang tidak mampu
berpendapat dalam proses demokrasi, meningkatkan peluang
perdagangan dan pemasaran, memperbesar pemberdayaan
masyarakat dengan memberikan suara kepada kelompok yang semula
tidak bersuara (perempuan) dan kelompok yang rentan, menciptakan
jaringan dan peluang pendapatan untuk wanita, akses terhadap
informasi pengobatan untuk masyarakat yang terisolasi dan
meningkatkan peluang tenaga kerja (Servaes 2007).

Metode Kajian
Lokasi kajian yang dipilih adalah Provinsi Jawa Barat, yaitu di
Kabupaten Bogor dan Cianjur yang dinilai dapat mewakili tingkat
ketersediaan dan kesiapan dalam aplikasi teknologi informasi. Kajian
dilaksanakan selama empat bulan (Juli Oktober) tahun 2009. Data
dikumpulkan dengan teknik nonsurvei, menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode triangulasi, observasi, wawancara mendalam
dengan keyperson terkait dan melalui Focuss Group Discussion (FGD).
FGD juga dilakukan dengan pihak pakar terkait di lembaga
Departemen Pertanian yang berada di pusat. Analisis data yang
digunakan adalah justifikasi ahli dan disajikan dalam rumusan hasil
FGD. Model dibangun dan diuji dengan diskusi dan disempurnakan
melalui proses diskusi sekaligus untuk proses sosialisasi secara
partisipatif. Strategi disusun dengan menganalisis kondisi dan
permasalahan yang ada dan menyusun rekomendasi model alternatif
pengembangan cyber extensions yang sesuai dengan kondisi kesiapan
elemen penyuluh pertanian di Indonesia.

KONSEP DAN SISTEM KERJA CYBER EXTENSION


Konsep Cyber Extension
Cyber extension adalah mekanisme pertukaran informasi
pertanian melalui area cyber, suatu ruang imajiner-maya di balik
interkoneksi jaringan komputer melalui peralatan komunikasi. Cyber
extension ini memanfaatkan kekuatan jaringan, komunikasi komputer
253

dan multimedia interaktif untuk memfasilitasi mekanisme berbagi


informasi atau pengetahuan (Wijekoon et al. 2009).
Kelemahan keterkaitan antara penyuluhan, penelitian, jaringan
pemasaran dan keterbatasan efektivitas penelitian dan penyuluhan
bagi petani memberikan kontribusi pada pembangunan pertanian.
Sebagai suatu inisiatif perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi, mekanisme Cyber agricultural extension sudah mulai
diterapkan di banyak Negara sebagai suatu mekanisme penyaluran
informasi untuk mencukupi keterbatasan petani di perdesaan terhadap
informasi yang dibutuhkannya.
Sebuah sistem cyber extension memberikan dukungan pada
keseluruhan pengembangan termasuk produksi, manajemen,
pemasaran, dan kegiatan pembangunan perdesaan lainnya. Model
komunikasi cyber extension mengumpulkan atau memusatkan
informasi yang diterima oleh petani dari berbagai sumber yang
berbeda maupun yang sama dan disederhanakan dalam bahasa lokal
disertai dengan teks dan ilustrasi audio visual yang dapat disajikan
atau diperlihatkan kepada seluruh masyarakat desa khususnya petani
semacam papan pengumuman (bulletin board) pada kios atau pusat
informasi pertanian. Dalam model komunikasi cyber extension,
transmisi informasi dari sumber ke pusat informasi komunitas akan
menjadi milik umum, sedangkan dari pusat informasi komunitas ke
petani, informasi tersedia di wilayah pribadi (milik pribadi). Keuntungan
yang potensial dari komunikasi cyber extension adalah ketersediaan
yang secara terus menerus, kekayaan informasi (informasi nyaris tanpa
batas), jangkauan wilayah internasional secara instan, pendekatan
yang berorientasi kepada penerima, bersifat pribadi (individual), dan
menghemat biaya, waktu dan tenaga (Adekoyaa 2007).

Lesson Learned Sistem Kerja Cyber Extension di Beberapa


Negara
Mulai akhir abad 20 akses informasi pasar di negara Cina sudah
dilakukan melalui PCs desktop. Pada saat ini, selain pengusaha besar,
petani sudah mulai akses informasi pasar melalui telepon seluler
(mobile phones) dengan biaya yang relatif lebih murah. Website
khusus untuk produk pertanian telah dioperasionalkan dengan
menyediakan direktori berbagai produk, papan penawaran produk,
layanan untuk perdagangan, pusat informasi produk pertanian, dan
virtual office sehingga proses perdagangan global yang melibatkan
pedagang dan perusahaan besar dalam dan luar negeri untuk produk
dari Cina dapat berkembang dengan pesat (BBC News 2004).
Kenya Agricultural Commodities Exchange (KACE) dibangun
oleh perusahaan swasta sejak tahun 1997 untuk mengembangkan
Sistem Informasi Pasar (SIP) melalui aplikasi ICT yang dirancang untuk
membantu petani, khususnya untuk mengakses informasi pasar dan
harga komoditas pertanian yang dihasilkan petani miskin di daerah
perdesaan atau daerah terpencil di Kenya. Komponen dari SIP KACE
adalah: 1) Market information Points (MIPs); 2) Market Information
254

Centres (MICs); 3) Short Messaging Service (SMS); 4) Interactive Voice


Respons (IVR) Service; 5) Regional Commodity Trade and Information
System (RECOTIS); dan 6) Web Site (BBC News 2004).
India memiliki banyak proyek pengembangan infrastruktur
teknologi untuk akses informasi bagi masyarakat di perdesaan dan di
perkotaan baik yang bersifat top-down maupun yang bottom up.
Wireless pony express of Daknet menggunakan ribuan bis yang
dilengkapi dengan Wi-Fi transceivers untuk memperoleh dan
mengirimkan informasi melalui e-mail dengan sistem tanpa kabel dari
kios desa. Teknologi wireless yang dikembangkan oleh organisasi
Information and Communication Technology for Billions (ICT4B) telah
mendorong petani di India langsung mengakses informasi untuk
mengetahui peluang dalam mengusahakan komoditas yang memiliki
harga yang lebih baik dan menguntungkan seperti komoditas buah-
buahan dan hortikultura dibandingkan dengan hanya mengusahakan
gandum dan padi. Nabanna, merupakan salahsatu proyek yang
diimplementasikan dengan menyiapkan akses melalui ICT dan
pelatihan bagi wanita di perdesaan di Bengal Barat. Peoplelink dan
CatGen membantu pekerja di perdesaan untuk meningkatkan
pendapatannya dengan mengurangi ketergantungannya pada
tengkulak dan menjual produk yang dihasilkannya secara langsung
melalui internet (AgriWatch.com 2005).
Jaringan Huaral Valley di Peru dibangun untuk meningkatkan
akses petani terhadap informasi pertanian. Jaringan dari pusat
informasi masyarakat ini dirancang dengan teknologi jaringan tanpa
kabel (wireless). Akses internet berjalan (mobile internet) memberikan
kemungkinan yang lebih besar dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi yang nyata bagi kehidupan petani perdesaan, khususnya
dalam mengikuti perkembangan dunia, di mana teknologi jaringan
tanpa kabel (wireless) mampu mengatasi hambatan infrastruktur untuk
akses informasi. Selain petani, para pelajar di perdesaan juga dapat
merasakan manfaat dari infrastruktur telekomunikasi yang telah
dibangun tersebut.
Thailand Canada Tele-centre Project (TCTP) bekerja sama
dengan beberapa lembaga pemerintahan Thailand, sektor swasta dan
World Bank telah mempromosikan akses layanan ICT di desa-desa
dengan menempatkan beberapa telepon dan komputer untuk akses ke
internet di lokasi yang mudah diakses oleh masyarakat. Lokasi yang
menyelenggarakan layanan ICT untuk akses informasi ini disebut
telecentre. Selain mendemonstrasikan layanan ICT di perdesaan dan
daerah terpencil, TCTP bertujuan untuk membantu end-users
memperoleh informasi yang penting bagi kemajuan nya, dan
mengurangi biaya transaksi pada saat menjual nya. Pendekatan
umum dari TCTP adalah menyediakan dana untuk modal awal seperti
instalasi layanan telepon, komputer, printer, modem dan mesin fax.
Selama satu tahun, biaya untuk operasionalisasi telecentre termasuk
biaya bulanan akses internet dibiayai oleh TCTP. Namun demikian,
setelah satu tahun operasionalisasi, telecentres ini mampu membiayai
255

sendiri biaya operasionalisasinya karena memiliki dukungan yang kuat


dari masyarakat, kepala desa, maupun tokoh masyarakat. Masyarakat
memberikan dana untuk peralatan (komputer, printer dan scanner) dan
konstruksi bangunan untuk telecentre (CIDA 2002).

Rintisan Program Cyber Extension dalam Meningkatkan Akses


Masyarakat terhadap Informasi di Indonesia
CTLC Microsoft

Program Unlimited Potential (UP) merupakan sebuah inisiatif


global Microsoft yang diimplementasikan di seluruh dunia sejak tahun
2003. Dalam program ini, Microsoft bekerja sama dengan berbagai
lembaga non-profit menyediakan sarana pelatihan dan pembelajaran
jangka panjang bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan, melalui
Community Training and Learning Centre (CTLC). Tujuan utama
program Unlimited Potential adalah untuk mengurangi kesenjangan
digital bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan. Hal ini sejalan
dengan target pemerintah melalui kesepakatan yang ditandatangani
pada World Summit on Information Society (WSIS) di Geneva untuk
memberikan akses kepada 50 persen penduduk Indonesia pada tahun
2015.

Program UP di Indonesia pertama kali diluncurkan di Indonesia


tanggal 23 Oktober 2003. Hingga saat ini, Microsoft Indonesia telah
bekerjasama dengan tujuh lembaga non-profit yaitu: Koalisi Perempuan
Indonesia (KPI), Forum Daerah, Yayasan Mitra Mandiri, Yayasan Mitra
Netra, dan LPPM Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Yayasan Mitra
Kesehatan dan Kemanusiaan. Tujuh lembaga tersebut berperan
sebagai koordinator untuk mengelola 33 CTLC di seluruh Indonesia.

Keberhasilan pemanfaatan TIK oleh petani di Indonesia dalam


memajukan usaha taninya ditunjukkan oleh beberapa kelompok tani
yang telah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan promosi
hasil produksinya dengan menggunakan fasilitas yang disediakan
256

Community Training and Learning Centre (CTLC) di Pancasari (Bali) dan


Pabelan (Salatiga) yang dibentuk Microsoft bekerja sama dengan
lembaga nonprofit di bawah Program Unlimited Potential. Misalnya,
petani mengenal teknologi budidaya paprika dalam rumah kaca
melalui internet. Sejak mengirimkan profil produksi di internet,
permintaan terhadap produk pertanian yang diusahakan terus
berdatangan. Promosi melalui internet dapat memutus hubungan
petani dengan tengkulak yang sering memberikan harga jauh di bawah
harga pasar (Sigit et al. 2006).

Proyek Partnerships for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP)


Partnerships for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP - Proyek
Percontohan Mengurangi kemiskinan dengan Memanfaatkan Teknologi
Informasi dan Komunikasi), yang dilaksanakan oleh Bappenas dengan
dana hibah dari UNDP menitikberatkan pendekatannya kepada
pembangunan masyarakat informasi yang bersifat bottom-up, yaitu
berakar pada kebutuhan masyarakat (demand driven). Selain
mendirikan telecenter yang merupakan akses TIK bersama untuk
masyarakat desa, Pe-PP juga melakukan pendampingan intensif
selama satu tahun kepada kelompok-kelompok masyarakat desa agar
mereka dapat membangun kultur informasi dan komunikasi serta
menjadi kelompok-kelompok belajar mandiri yang terus menerus
meningkatkan kapasitas dirinya.
Sampai saat ini di bawah program Pe-PP, telah berdiri beberapa
telecenter, diantaranya adalah di Desa Pabelan, Magelang, Jawa
Tengah (Mei 2004), di Desa Muneng, Madiun, Jawa Timur (Mei 2005)
dan di Desa Kertosari, Lumajang, Jawa Timur (Mei 2005), di Lapulu,
Sulawesi Tenggara (Maret 2006), dan di desa Tuladenggi, Gorontalo
(April 2006), di Desa Salubomba, Sulawesi Tengah (Juni 2006), dan di
Kabupaten Fak Fak, Papua (Januari 2008). Khusus untuk telecenter di
Jawa Timur, beberapa lokasi telecenter dibangun oleh pemda sebagai
replikasi dari model Pe-PP yang dibiayai sepenuhnya oleh APBD, Jatim.

Pengembangan Sumber Informasi Pertanian Nasional dan Lokal


P4MI
Poor Farmers Income Improvement through Innovation Project
(PFI3P) atau Program Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi
(P4MI) merupakan sebuah program Departemen Pertanian dengan
dana dari Loan ADB yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Pertanian
untuk meningkatkan kesejahteraan/pendapatan petani di lahan
257

marjinal melalui inovasi pertanian mulai dari tahap produksi sampai


pemasaran hasil. Melalui kegiatan ini telah dilaksanakan program
pengembangan sumber informasi pertanian nasional dan lokal dengan
mengembangkan website informasi pertanian di tingkat nasional,
membangun pusat informasi pertanian lokal di tingkat kabupaten, dan
menyediakan informasi pasar dan informasi teknologi pertanian
dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi.
Pusat informasi pertanian lokal atau Unit Pelayanan Informasi
Pertanian Kabupaten (UPIPK) berfungsi sebagai one stop shop untuk
pertukaran informasi di mana kontak tani dapat memperoleh informasi
yang berguna dan sesuai dengan inovasi produksi dan pemasaran.
Model UPIPK ideal P4MI disajikan dalam Gambar 2. Selain UPIPK,
dikembangkan pula Unit Pelayanan Informasi Pertanian tingkat Desa
(UPIPD) atau telecenter P4MI. Dengan mengadopsi konsep telecenter,
UPIPD berfungsi sebagai sarana publik di perdesaan yang berbasis TIK.
Layanan informasi UPIPD tidak hanya berupa informasi pertanian saja,
namun juga berbagai informasi lain yang dapat meningkatkan kualitas
hidup masyarakat. Dengan semakin dekatnya sumber informasi,
masyarakat dapat mengetahui dan memperoleh informasi langsung
dari sumbernya, mengolahnya, dan kemudian memanfaatkan informasi
tersebut sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya. Dengan
demikian, masyarakat memiliki peluang yang lebih besar dan
berkembang menjadi masyarakat yang berbudaya informasi dan
berpengetahuan (knowledge based society). Selanjutnya dengan
informasi dan pengetahuan yang dimilikinya, masyarakat dapat
memperkaya inovasi pertanian yang dimilikinya untuk mendukung
usaha agribisnis.
258

Gambar 2 Model UPIPK ideal (Tim Komponen 2 P4MI 2007)

INFORMASI INOVASI PERTANIAN YANG DIBUTUHKAN


STAKEHOLDERS
Lembaga-lembaga penelitian pertanian telah banyak
menghasilkan teknologi yang seharusnya dapat membantu petani
dalam mengembangkan dan peningkatan pendapatannya. Namun
demikian, teknologi yang telah dihasilkan tidak mudah sampai di
tingkat petani karena adanya beberapa kendala internal maupun
eksternal. Kendala internal berkaitan dengan substansi dari
teknologinya sendiri yang belum sepenuhnya disesuaikan dengan
kebutuhan pengguna. Kendala eksternal berkaitan dengan kelancaran
alur teknologi dari sumber ke pengguna dan umpan-balik dari
pengguna yang belum optimal (Sulaiman 2002). Kondisi ini
mengakibatkan terjadinya berbagai sumbatan (bottleneck) dalam
proses penelitianpenyuluhan-pengembangan yang utuh (research-
extension-development continuum).
Permasalahan yang umum terjadi dalam proses adopsi inovasi
pertanian adalah lambatnya adopsi teknologi oleh petani yang
disebabkan di antaranya oleh: (a) Sulitnya informasi sampai ke petani
karena infrastruktur yang terbatas; (b) Petani tidak memahami
informasi yang diterimanya, karena media penyampaian informasi
kurang sesuai dengan materi yang disampaikan dan karakteristik
petani; (c) Meskipun informasi mengenai inovasi dapat dimengerti,
259

namun sulit untuk menerapkannya karena keterbatasan sumber daya


yang tersedia; (d) Petani belum melihat manfaat dan dampak yang
secara langsung menguntungkan dari inovasi yang diintroduksi; (e)
Sifat petani yang cenderung tidak mau ambil resiko dalam menerapkan
inovasi yang belum mereka kenal sebelumnya; dan (f) Tidak mudah
mengubah perilaku petani yang berkaitan dengan kebiasaan dalam
melaksanakan kegiatan usahataninya. Upaya untuk mengembangkan
mekanisme komunikasi inovasi pertanian yang efektif dan efisien perlu
dilaksanakan untuk mempercepat proses adopsi inovasi pertanian
melalui pembentukan lembaga pemadu sistem komunikasi inovasi
pertanian dan pengembangan sistem jaringan informasi yang disajikan
pada Gambar 3. Adapun keterkaitan masing-masing lembaga atau
pemangku kepentingan dalam sistem jaringan informasi inovasi
pertanian disajikan pada Gambar 4.

Gambar 3 Posisi lembaga pemadu sistem dalam jaringan


informasi
inovasi pertanian
260

Gambar 4 Dasar pemikiran sistem jaringan informasi inovasi


pertanian
(Sumardjo 1999)

Masing-masing pemangku kepentingan memiliki subsistem


jaringan komunikasi yang terdiri atas lembaga-lembaga yang berada di
bawah koordinasi masing-masing lembaga tersebut atau yang memiliki
fungsi setara dalam jaringan komunikasi. Informasi inovasi pertanian
yang dibutuhkan untuk masing-masing subsistem dalam mendukung
pengembangan sistem jaringan informasi inovasi pertanian merupakan
input bagi subsistem tersebut untuk menjalankan tugas dan fungsinya.
Tabel 14 menyajikan hasil identifikasi input informasi inovasi
pertanian di subsistem lembaga terkait di Kabupaten Bogor dan
Cianjur. Identifikasi telah dilakukan identifikasi secara menyeluruh
untuk beberapa subsistem dengan pelaku atau elemen yang terkait di
dalam subsistem.
Hasil analisis lainnya adalah terdapatnya kesenjangan jaringan
sistem informasi yang terkait dengan problem, problem solving,
inovasi, hasil riset, maupun teknologi tepatguna baik dari pusat ke
daerah dan antar daerah, serta antar daerah dengan lokal. Hal ini
berakibat pada tidak terjadinya inovasi yang berkelanjutan, meskipun
biaya telah banyak dikeluarkan untuk menghasilkan inovasi melalui
dana riset. Oleh karena itu, mekanisme implementasi cyber extension
perlu disusun dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan
yang terjadi di lapangan.
261

Tabel 1 Input informasi inovasi pertanian berdasarkan jenis


kebutuhan, bentuk, saluran inovasi pertanian untuk
lembaga penelitian dan pengembangan pertanian
(Subsistem sumber informasi)
Stakeholders Kebutuhan informasi Bentuk informasi Saluran
Peneliti - Problem (substansi, - Jurnal ilmiah - Internet
lokasi, subyek) dalam dan luar - Perpustakaan
- Literatur teori negeri - Lembaga Pemadu
(teknik dan non - Laporan Sistem
teknik) penelitian
- Hasil penelitian - Textbook
(teori, konsep, - Data
preposisi) BPS/dokumen
- Data terkait terkait

Pustakawan - Karya peneliti dalam - Brosur, leaflet, - Lembaga Pemadu


dan luar negeri jurnal riset Sistem
(inovasi, TTG) - Jurnal - Publisher jurnal ilmiah,
- Karya penyuluh penyuluhan ilmiah populer dalam
(problem petani) dan luar negeri

Operator riset - Problem - Textbook - Internet


- Teknik aktual uji - Jurnal riset - Perpustakaan
statistik - Jurnal
- Teknik aktual riset penyuluhan
Petani - Problem di tingkat - Jurnal - Penyuluh/Lembaga
innovator lokal Penyuluhan Penyuluhan
- Real needs, hasil uji - Majalah - Media massa/Internet
lokal pertanian
- Info - Leaflet dan
pasar/harga/mutu brosur
Perusahaan - Problem di tingkat - Jurnal - Penyuluh/Lembaga
pertanian lokal Penyuluhan Penyuluhan
- Real needs, hasil uji - Jurnal Riset - Media massa/Internet
lokal - Leaflet, brosur
- Info
pasar/harga/mutu
Penguji lokal - Problem di tingkat - Jurnal - Penyuluh/Lembaga
lokal Penyuluhan Penyuluhan
- Real needs - Jurnal Riset - Media massa/Internet
- Inovasi (Teknologi - Leaflet, brosur
Tepat Guna/TTG)
262

Tabel 2 Input informasi inovasi pertanian berdasarkan jenis


kebutuhan, bentuk, saluran inovasi pertanian
Kebutuhan, bentuk, saluran inovasi pertanian untuk
lembaga pendidikan (Subsistem Diseminasi Inovasi:
Problem dan problem solving)
Stakeholder Kebutuhan Bentuk informasi Saluran
s informasi
Penyuluh - Problem - Informasi dari - Media
(formal dan (substansi, hasil interaksi massa/internet
informal) lokasi, subyek) dengan petani - Perpustakaan
- Teknologi - Informasi dari - BPTP di 33
tepatguna hasil observasi Provinsi
- Hasil penelitian - Warta Litbang - Lembaga
(inovasi/proble Pertanian pemadu sistem
m solving) - Majalah
- Data terkait pertanian
(felt needs & (Sinar Tani)
potensi) - Data
BPS/dokumen
terkait

Guru/ - Karya peneliti - Brosur, leaflet, - Lembaga


widyaiswara (inovasi, TTG) jurnal riset Pemadu Sistem
- Karya - Majalah - Majalah lokal
penyuluh pertanian dan domestik
(problem - Internet
petani)
Dosen - Problem, - Texbook - Internet
problem - Jurnal riset - Perpustakaan
solving - Jurnal
- Inovasi penyuluhan
- Teori, konsep,
dan hasil riset
Petani - Problem di - Warta - Penyuluh/Lemba
innovator tingkat lokal Penyuluhan ga Penyuluhan
- Inovasi, TTG - Majalah - Media
- Real needs, pertanian massa/Internet
hasil uji lokal - Leaflet, brosur - Lembaga
- Info pemadu sistem
pasar/harga/
mutu
Perusahaan - Potensi - Jurnal - Penyuluh/Lemba
pertanian SDA/SDM Penyuluhan ga Penyuluhan
problem di - Warta - Media
tingkat lokal Pertanian massa/Internet
- Real needs, - Jurnal Riset
hasil uji lokal, - Leaflet, brosur
- Info
pasar/harga/
mutu
Penguji - Problem di - Jurnal - Penyuluh/Lemba
263

lokal tingkat lokal Penyuluhan ga Penyuluhan


- Real needs - Jurnal Riset - Jurnal
- Inovasi - Leaflet, brosur riset/penyuluha
(Teknologi n
Tepatguna/TTG - Internet
)
264

Tabel 3 Input informasi inovasi pertanian berdasarkan bentuk,


saluran inovasi pertanian untuk lembaga
agribisnis/pengguna informasi (Subsistem Enduser
inovasi-Kelembagaan Agribisnis)
Stakehold Kebutuhan Bentuk informasi Saluran
ers informasi
Petani - Problem - Pedoman teknis, - Perpustakaan
innovator solving brosur, leaflet daerah
- Teknologi - Jurnal penyuluhan, - Lembaga
tepatguna materi riset
(TTG) pelatihan/magang, /pendidikan/
- Produk aktual kursus pelatihan
hasil - Warta dan majalah - Media
pengkajian pertanian massa/internet
(inovasi) - Model/produk/peng - Forum-forum
- Informasi etahuan tentang koordinasi/
pasar (jenis, inovasi pertanian komunikasi dan
mutu, jumlah diseminasi
Petani - Real needs - Majalah pertanian - Penyuluh/lemba
- Hasil uji lokal, - Leaflet, brosur, ga
inovasi, TTG poster penyuluhan/age
- Info - Pedoman teknis n
pasar/harga/ - Model/produk/peng pembangunan
jenis produk/ etahuan tentang - Media
mutu/jumlah inovasi pertanian massa/internet
- Pedagang/dunia
bisnis/pasar
- Showwindow,
lahan
percobaan
Konsumen - Mutu produk - Jurnal Penyuluhan - Penyuluh/lemba
- Manfaat - Warta dan majalah ga penyuluhan
- Info pertanian - Jurnal
pasar/harga/ - Leaflet, brosur riset/penyuluha
mutu n
- Media
massa/Internet
Pelaku - Produk petani - Jurnal Penyuluhan - Jaringan
usaha (jumlah, - Info pasar (media kemitraan
jenis, dan massa) - Petani
mutu) - Jaringan kemitraan - Media
- Kebutuhan massa/internet
pasar (mutu - Konsumen/pasa
produk, r
jumlah & - Showroom
jenis)
- Potensi
jaringan
kemitraan
265
266

Tabel 4 Input informasi inovasi pertanian berdasarkan bentuk,


saluran inovasi pertanian untuk lembaga pendukung
sistem agribisnis pengaturankeuangan (Subsistem
penunjang)
Stakeholders Kebutuhan informasi Bentuk informasi Saluran
Lembaga - Felt needs, potensi, - Brosur dan - Media massa/ internet
Pelayanan kebutuhan leaflet - Lembaga diseminasi
(Dinas/ Instansi saprotan - Jurnal riset, - Forum-forum
terkait) - Problem solving Laku, pelatihan koordinasi/
- Teknologi - Jurnal komunikasi
tepatguna (TTG) penyuluhan
- Produk aktual riset
(inovasi)
- Informasi pasar
(jenis, mutu,
jumlah)
Lembaga - Real needs - Jurnal - Penyuluh/Lembaga
penyedia - Hasil uji lokal, Penyuluhan Penyuluhan
fasilitataor inovasi, TTG - Jurnal Riset - Lembaga diseminasi
(Pendamping/ - Info - Leaflet, brosur, - Media massa/internet
LSM) pasar/harga/jenis poster - Pedagang/dunia
produk/ - Artikel ilmu bisnis/pasar
mutu/jumlah terapan
- Kebutuhan dan
ketersediaan
saprotan
Lembaga - Potensi usaha & - Jurnal - Penyuluh/ Lembaga
Keuangan - Kebutuhan modal Penyuluhan Penyuluhan
usaha - Jurnal Riset - Jurnal
- Informasi - Leaflet, brosur riset/penyuluhan
kelembagaan - Media massa/internet
keuangan mikro
- Jaringan
penyaluran dana
Lembaga - Produk petani - Jurnal - Forum koordinasi
Pengaturan (jumlah, jenis, Penyuluhan - Petani, Penyuluh
mutu) - Info pasar - Media massa/internet
- Kebutuhan pasar (media massa)
(mutu produk, - Forum
jumlah & jenis) Koordinasi
- Kebutuhan & stok - Jaringan
saprotan kemitraan
- Potensi jaringan
kemitraan
267

PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI CYBER EXTENSION


Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mengacu pada
penggunaan peralatan elektronik (terutama komputer) untuk
memproses suatu kegiatan tertentu. TIK mempunyai kontribusi yang
potensial untuk berperan dalam mencapai manfaat ekonomi, sosial,
dan lingkungan yang signifikan. Di Indonesia, bidang teknologi
informasi dan komunikasi merupakan salahsatu dari enam bidang
fokus utama pengembangan iptek (Ristek, 2005), yaitu: [1] ketahanan
pangan, [2] sumber energi baru dan terbarukan; [3] teknologi dan
manajemen transportasi, [4] teknologi informasi dan komunikasi, [5]
teknologi pertahanan, dan [6] teknologi kesehatan dan obat-obatan.
Dalam mendukung kegiatan pembangunan pertanian berkelanjutan,
TIK memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukung
tersedianya informasi pertanian yang relevan dan tepat waktu.
Survai yang dilakukan oleh the International Society for
Horticultural Sciences (ISHS) telah mengidentifikasi hambatan-
hambatan dalam mengimplementasikan cyber etension untuk
mengadopsi TIK oleh petani, khususnya petani hortikultura, yaitu:
keterbatasan kemampuan, kesenjangan dalam pelatihan (training),
kesadaran akan manfaat TIK, waktu, biaya dari teknologi yang
digunakan, integrasi sistem dan ketersediaan software. Partisipan dari
Negara-negara maju menekankan pada hambatan: tidak adanya
manfaat ekonomi yang dapat dirasakan, tidak memahami nilai lebih
dari TIK, tidak cukup memiliki waktu untuk menggunakan teknologi,
dan tidak mengetahui bagaimana mengambil manfaat dari
penggunaan TIK. Responden dari Negara-negara berkembang
menekankan pentingnya biaya teknologi TIK dan kesenjangan
infrastruktur teknologi. Hasil kuesioner dari the Institute for
Agricultural and Fisheries Research sejalan dengan survei ISHS dan
survei dari the European Federation for Information Technology in
Agriculture (EFITA) mengindikasikan adanya suatu pergeseran dari
kecakapan secara teknis TIK sebagai suatu faktor pembatas menuju
pada kesenjangan pemahaman bagaimana mengambil manfaat dari
pilihan TIK yang bervariasi (Taragola et al. 2009).
Data yang berkaitan dengan permasalahan aplikasi TIK dalam
implementasi cyber extension di Indonesia saat ini masih perlu
diidentifikasi secara seksama. Berdasarkan hasil identifikasi
permasalahan untuk aplikasi TIK dalam implementasi cyber extension,
khususnya di Kabupaten Cianjur dan Bogor diperoleh beberapa
permasalahan yang dihadapi stakeholders dalam kemungkinannya
untuk penerapan cyber extension dapat dikategorikan ke dalam tiga
kelompok utama, yaitu sebagai berikut:

Manajemen
1. Belum adanya komitmen dari manajemen di level stakeholders
managerial yang ditunjukkan dengan adanya kebijakan yang belum
konsisten. Salahsatu contohnya adalah dikeluarkannya kebijakan
pengembangan perpustakaan digital di daerah, namun belum
268

diikuti dengan penyediaan infrastruktur dan ketersediaan sumber


daya manusia yang memadai untuk implementasinya di lapangan,
terutama karena terbatasnya anggaran yang tersedia;
2. Kemampuan tingkat manajerial pimpinan di level stakeholders
(khususnya di lingkup Pemda dan Dinas Kabupaten) sebagian besar
masih belum memiliki kapasitas di bidang teknologi informasi,
sehingga banyak sekali proses pengolahan input yang seharusnya
dapat difasilitasi dengan aplikasi teknologi informasi tidak
diperhatikan dan bahkan cenderung dihindari penerapannya.
Dengan adanya fakta terbatasnya kapasitas aplikasi teknologi
informasi di level manajerial stakeholders akan mempengaruhi
proses pemberian arahan bagi anggota organisasi di level yang
lebih renddah untuk mengoptimalkan aplikasi teknologi informasi
dalam pengelolaan input sehingga menghasilkan output yang lebih
efisien dan dapat diakses oleh stakeholders lain secara cepat,
akurat dan memadai.
3. Dalam kasus di beberapa institusi di lingkup Kabupaten Cianjur dan
Jawa Barat, kalaupun institusinya ditekan untuk memanfaatkan
teknologi informasi, sebagian besar level managerial belum
mengetahui secara persis konsep aplikasi teknologi informasi,
sehingga belum mengetahui secara persis apa yang harus
dilakukan. Dengan demikian, sebagai jalan biasanya Kepala atau
Pimpinan tidak mengetahui dengan persis apa yang harus mereka
lakukan, sehingga akhirnya mencari konsultan yang berbasis
vendor tertentu sehingga seluruh proyeknya dikuasai oleh
keuntungan semata, bukan menomorsatukan pemanfaatannya.

Infrastruktur dan sarana-prasarana lainnya


1. Infrastruktur penunjang tidak mendukung operasi pengelolaan dan
penyebaran informasi pertanian yang berbasis teknologi informasi,
seperti misalnya pasokan listrik yang masih kurang memadai (naik
turunnya daya dan sering terjadi pemadaman lampu),
perlengkapan hardware tidak tersedia secara mencukupi baik
kualitas maupun kuantitasnya, gedung atau ruangan yang tidak
memadai, serta jaringan koneksi internet yang masih sangat
terbatas (khususnya untuk wilayah remote area).
2. Terlalu luasnya wilayah jangkauan cyber extension, sehingga
penerapannya tidak dapat merata, baik karena terbatasnya
anggaran maupun lambatnya proses penyebarannya karena
perluasannya tidak dapat berjalan secara bersamaan.
3. Biaya untuk operasional aplikasi teknologi informasi dalam
implementasi cyber extension yang disediakan, oleh pemerintah
daerah khususnya, sangat tidak memadai terutama untuk biaya
langganan ISP untuk pengelolaan informasi yang berbasis internet.
4. Infrastruktur telekomunikasi yang belum memadai dan mahal.
Infrastruktur telekomunikasi Indonesia memang masih belum
tersebar secara merata. Di berbagai daerah di Indonesia masih
belum tersedia saluran telepon apalagi akses jaringan internet.
269

Kalaupun semua fasilitas ada, harganya masih relatif mahal.


Pemerintah juga belum menyiapkan pendanaan (budget) untuk
keperluan ini.
5. Tempat akses informasi melalui aplikasi teknologi informasi sangat
terbatas. Di beberapa tempat di luar negeri, pemerintah dan
masyarakat bergotong-royong untuk menciptakan access point
yang terjangkau, misalnya di perpustakaan umum (public library).
Di Indonesia hal ini seharusnya dapat dilakukan di kantor pos,
kantor pemerintahan, dan tempat-tempat umum lainnya. Namun
Pemda belum sepenuhnya mendukung penyediaan tempat akses
informasi untuk memperluas jangkauan cyber extension.

Sumber Daya Manusia


1. Sebagian SDM pada usia produktif dan yang bekerja di perkantoran
tidak berbasis teknologi informasi, sehingga semua pekerjaan jalan
seperti biasanya dan tidak pernah memikirkan effisiensi atau
pemanfaatan teknologi informasi yang konsisten;
2. Dunia teknologi informasi terlalu cepat berubah dan berkembang,
sementara sebagian besar sumber daya manusia yang ada
cenderung kurang memiliki motivasi untuk terus belajar mengejar
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga seringkali
kapasitas SDM yang ada tidak dapat mengikuti perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi dan cenderung menjadi lambat
dalam menyelesaikan tugas.
3. Terbatasnya kemampuan kapasitas SDM dalam aplikasi teknologi
informasi dan komunikasi, khususnya di level penyuluh pertanian
sebagai motor pelaksana diseminasi inovasi pertanian. Pemerintah
umumnya jarang memiliki SDM yang handal di bidang teknologi
informasi. SDM yang handal ini biasanya ada di lingkungan
bisnis/industri. Kekurangan SDM ini menjadi salahsatu penghambat
implementasi dari e-government. Kekurangan kemampuan
pemerintah ini sering dimanfaatkan oleh oknum bisnis dengan
menjual solusi yang salah dan mahal.

Budaya
1. Kultur berbagi masih belum membudaya. Kultur berbagi (sharring)
informasi dan pengetahuan untuk mempermudah akses dan
pengelolaan informasi belum banyak diterapkan oleh anggota
lembaga stakeholders. Banyak di antara mereka merasa akan
terancam posisi dan kedudukannya apabila mau membagikan ilmu
atau informasi yang dimilikinya kepada orang lain;
2. Kultur mendokumentasi informasi/data belum lazim, khususnya
untuk kelembagaan di daerah. Salahsatu kesulitan besar yang
dihadapi adalah kurangnya kebiasaan mendokumentasikan segala
sesuatu yang terkait dengan kegiatan. Padahal kemampuan
mendokumentasi ini menjadi bagian dari ISO 9000 dan juga menjadi
bagian dari standar software engineering.
270

STRATEGI IMPLEMENTASI CYBER EXTENSION


DALAM KOMUNIKASI INOVASI PERTANIAN
Informasi pertanian merupakan salahsatu faktor yang paling
penting dalam produksi dan tidak ada yang menyangkal bahwa
informasi pertanian dapat mendorong ke arah pembangunan yang
diharapkan. Informasi pertanian merupakan aplikasi pengetahuan
yang terbaik yang akan mendorong dan menciptakan peluang untuk
pembangunan dan pengurangan kemiskinan. Integrasi yang efektif
antara TIK dalam sektor pertanian akan menuju pada pertanian
berkelanjutan melalui penyiapan informai pertanian yang tepat waktu
dan relevan, yang dapat memberikan informasi yang tepat kepada
petani dalam proses pengambilan keputusan ber untuk meningkatkan
produktivitasnya. TIK dapat memperbaiki aksesibilitas petani dengan
cepat terhadap informasi pasar, input produksi, tren konsumen, yang
secara positif berdampak pada kualitas dan kuantitas produksi mereka.
Informasi pemasaran, praktek pengelolaan ternak dan tanaman yang
baru, penyakit dan hama tanaman/ternak, ketersediaan transportasi,
informasi peluang pasar dan harga pasar input maupun output
pertanian sangat penting untuk efisiensi produksi secara ekonomi
(Maureen 2009).
Sejalan dengan perubahan global, dunia pertanian mengalami
dinamika yang luar biasa. Model pendekatan lama dimana penyuluhan
merupakan agen transfer teknologi dan informasi sudah tidak cukup.
Tuntutan di lapangan semakin rumit sehingga jika penyuluhan
pertanian sebagai penyedia public goods tidak bisa berperan dengan
baik maka akan semakin ditinggalkan oleh penguna tradisionalnya.
Pada saat ini penyuluh lapangan swasta yang juga merupakan pelayan
teknis perusahaan sarana produksi nasional dan multinasional juga
telah merambah ke desa-desa.
Dalam era baru pertanian, penyuluh lapangan dituntut untuk
memiliki fungsi paling tidak dalam tiga hal yaitu transfer teknologi
(technology transfer), fasilitasi (facilitation) dan penasehat (advisory
work). Untuk mendukung fungsi-fungsi tersebut, penyuluh pertanian
lapangan mestinya juga menguasai dan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi. Tema-tema penyuluhan juga bergeser tidak
hanya sekedar pada peningkatan produksi namun menyesuaikan
dengan isu global yang lain misalnya bagaimana menyiapkan petani
dalam bertani untuk mengatasi persoalan perubahan iklim global dan
perdagangan global. Petani perlu dikenalkan dengan sarana produksi
yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap goncangan iklim, selain
itu teknik bertani yang ramah lingkungan, hemat air serta tahan
terhadap cekaman suhu tinggi nampaknya akan menjadi tema penting
bagi penyuluhan pertanian masa depan.
Peningkatan kapasitas lembaga penyuluhan dalam mekanisme
pengembangan sistem jaringan informasi inovasi pertanian sangat
mendesak untuk dilakukan. Cyber extension merupakan salahsatu
strategi untuk mengoptimalkan peran penyuluhan di masa kini dalam
mekanisme pengembangan sistem jaringan informasi inovasi pertanian
271

berbasis aplikasi teknologi informasi dan komunikasi. Di negara


berkembang, TIK yang sesuai dengan kondisi lokal adalah sebuah
telecenter atau pusat multimedia komunitas yang terdiri atas desktop
untuk penerbitan, surat kabar komunitas, penjualan atau penyewaan
alat multimedia, peminjaman buku, fotokopi, dan layanan telepon/faks.
Apabila memungkinkan dapat pula dilengkapi dengan akses internet
dan penggunaan telepon genggam untuk meningkatkan akses
pengusaha dan petani di perdesaan terhadap akses informasi untuk
meningkatkan kesejahterannya. TIK merupakan alat yang sangat
bermanfaat untuk berbagi pengetahuan (knowledge sharing), namun
seringkali belum dapat memecahkan permasalahan pembangunan
yang disebabkan oleh isu sosial, ekonomi, dan politik. Informasi pun
seringkali belum dapat digunakan sebagai pengetahuan karena belum
mampu diterjemahkan langsung oleh masyarakat. Dengan
mengintegrasikan TIK dalam pembangunan pertanian berkelanjutan
melalui peningkatan kapasitas petani, maka petani akan berpikir
dengan cara yang berbeda, berkomunikasi secara berbeda, dan
mengerjakan bisnisnya secara berbeda.
Meskipun disadari TIK memiliki peranan yang sangat penting
dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan, namun
sampai saat ini petani di dunia, khususnya di Indonesia masih belum
dipertimbangkan dalam bisnis TIK dan lingkungan kebijakan. Fakta
yang agak mengejutkan adalah bahwa aplikasi TIK memiliki kontribusi
yang tidak terukur secara ekonomi bagi masing-masing GDPs. Dalam
waktu yang sama, pemanfaatan TIK dalam pembangunan pertanian
berkelanjutan membutuhkan proses pendidikan dan peningkatan
kapasitas karena masih terdapat kesenjangan secara teknis maupun
keterampilan dalam bisnis secara elektronis (e-business). Membangun
sebuah masa depan elektronis (berwawasan TIK) yang berkelanjutan
(sustainable e-future) memerlukan strategi dan program untuk
menyiapkan petani dengan kompetensi TIK. Hal ini bermanfaat untuk
mendukung perdagangan dan kewirausahaan, sehingga pemerintah
dapat meningkatkan kapasitas petani untuk berperanserta dan
bermanfaat bagi tiap pertumbuhan ekonomi. Dengan
mengintegrasikan TIK dalam pembangunan pertanian berkelanjutan
melalui peningkatan kapasitas petani, maka petani akan berpikir
dengan cara yang berbeda, berkomunikasi secara berbeda dan
mengerjakan bisnisnya secara berbeda.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan
akuntabilitas riset di antaranya adalah seberapa hasil riset benar-benar
aplikatif dengan didukung insentif hasil riset yang dikaitkan dengan
karir peneliti. Di Tingkat Pusat dan Daerah (di setiap Tingkat) perlu ada
lembaga pemadu sistem komprehensif yang didukung dengan jaringan
informasi dengan lembaga dari subsistem user dari Pusat maupun dari
daerah/lokal. Informasi yang perlu disediakan meliputi data potensi
sumber daya alam/sosial; problem (antisipatif & preventif); real needs;
pasar (jenis, mutu jumlah) yang didukung oleh jaringan informasi
dengan subsistem sumber inovasi dari pusat maupun dari daerah/lokal.
272

Inovasi yang disediakan merupakan hasil riset, hasil uji lokal, real
needs dan problem solving.
Jaringan informasi dengan subsistem diseminasi di pusat
maupun di daerah berperan menampung dan mengolah informasi
yang diterima dari subsistem jaringan (sumber dan user) untuk dapat
memenuhi/menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh dua
subsistem tersebut. Diharapkan lembaga yang memiliki fungsi
tersebut berupa unit yang menjadi instrumen Badan Pelaksana
Penyuluhan di Pusat dan di Daerah (di tiap tingkat) yang secara
operasional menjadi lembaga pemadu sistem yang dipahami dan
dimanfaatkan oleh subsistem sumber maupun user, yaitu: Di Propinsi
adalah Badan Pelaksana Penyuluhan di Tingkat Propinsi; Di Kabupaten
adalah Badan Pelaksana Penyuluhan di Tingkat Kabupaten; dan di
Kecamatan adalah Badan Pelaksana Penyuluhan di Tingkat Kecamatan.
Badan Pelaksana Penyuluhan adalah lembaga yang memiliki
tugas: 1) menyusun kebijakan dan programa penyuluhan pada tingkat
kabupaten/kota bekerja sama dengan Komisi Penyuluhan
Kabupaten/Kota dengan memperhatikan program pembangunan
pertanian di daerahnya; 2) melaksanakan penyuluhan dan
mengembangkan mekanisme, tata kerja, dan metode penyuluhan; 3)
melaksanakan pengumpulan, pengolahan, pengemasan, penyebaran
materi penyuluhan; 4) melaksanakan pembinaan pengembangan kerja
sama, kemitraan, pengelolaan kelembagaan, ketenagaan, sarana
prasarana, serta pembiayaan penyuluhan; 5) menumbuhkembangkan
dan memfasilitasi kelembagaan dan forum kegiatan bagi pelaku utama
(petani) dan pelaku usaha; 6) melaksanakan peningkatan kapasitas
penyuluh secara berkelanjutan; dan 7) menyalurkan informasi ke Balai
Penyuluhan Pertanian (BPP).
Adapun Balai Penyuluhan Pertanian adalah lembaga yang
memiliki tugas: 1) menyusun programa penyuluhan pada tingkat
kecamatan; 2) melaksanakan penyuluhan berdasarkan program
penyuluhan; 3) menyebarkan informasi pertanian seperti informasi:
teknologi, sarana produksi, permodalan (pembiayaan), pasar, dan
informasi lainnya; 4) memfasilitasi pengembangan kelembagaan serta
kemitraan pelaku utama (petani) dan pelaku usaha; 5) memfasilitasi
peningkatan kapasitas penyuluh melalui proses pembelajaran secara
berkelanjutan; 6) melaksanakan proses pembelajaran melalui
percontohan dan pengembangan usaha bagi pelaku utama (petani)
dan pelaku usaha; dan 7) Menyalurkan informasi ke petani melalui
penyuluh.
Dengan adanya otonomi daerah, kelembagaan penyuluhan di
daerah mengalami banyak perubahan. Dalam hal kompetensi
penyuluh, orientasi berubah-ubah dari tuntutan kompetensi tunggal
misalnya tanaman pangan (monovalen) menjadi kompetensi plural
(polivalen). Setelah beberapa waktu, tuntutan kompetensi juga
dikembalikan lagi ke monovalen. Hal ini membingungkan penyuluh di
lapangan. Implementasi UU Otonomi Daerah juga semakin membuat
penyuluhan pertanian menjadi tidak pasti baik dalam afiliasi
273

kelembagaan maupun personalianya. Meskipun salahsatu hal ideal


yang ingin dicapai dengan otonomi daerah adalah mendekatkan
pelayanan kepada khalayak sesuai dengan kondisi lokal, namun dalam
prakteknya masih jauh dari harapan.
Bagi daerah dimana kepala daerah dan politisi lokalnya memiliki
perhatian besar pada pembangunan pertanian maka pembangunan
dan penyuluhan pertanian berkembang pesat. Namun sebaliknya,
cukup banyak kepala daerah dan politisi lokal yang tidak memandang
penting pembangunan pertanian, akibatnya kedudukan penyuluhan
pertanian menjadi tidak jelas bahkan banyak yang dibubarkan.
Berkaitan dengan fakta yang ada saat ini, fungsi kelembagaan
pelayanan, khususnya terkait dengan penyuluh dalam memfasilitasi
penyediaan informasi inovasi pertanian yang tepatguna bagi end user
semakin jauh dari harapan.
Masa-masa suram pembangunan pertanian dan lebih khusus lagi
penyuluhan pertanian telah berdampak pada stagnasi produksi
pertanian. Hal ini juga telah medorong pemerintah pusat dan DPR
untuk merancang perundangan penyuluhan pertanian. Melalui
pembahasan panjang dan melelahkan, pada Oktober 2006 telah
diterbitkan UU No.16/2006 tentang Sistim Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Salahsatu amanat UU tersebut
adalah pembentukan kelembagaan penyuluhan di berbagai level
administrasi pemerintahan, selain itu pemerintah daerah harus
berkontribusi terhadap pendanaan kelembagaan dan
operasionalisasinya.
Dalam prakteknya tidak mudah, interpretasi UU Otonomi Daerah
yang memberi ruang besar bagi kepala daerah dan DPRD untuk
mengatur kelembagaan daerah kadang-kadang mengabaikan dan tidak
memberi ruang yang cukup atas amanat UU SP3K tersebut.
Implementasi kebijakan penyuluhan yang lain adalah perekrutan
petugas penyuluh bantu/kontrak yang ditagetkan mencapai 10.000
orang sampai dengan 2007. Langkah ini cukup membantu mengatasi
persoalan kekurangan penyuluh lapangan di daerah akibat banyak
petugas pensiun atau beralih lembaga dan profesi setelah otonomi
daerah. Dalam banyak kasus, kinerja penyuluh bantu juga diragukan
karena dengan status kontrak sebagian digunakan sebagai batu
loncatan untuk mencari pekerjaan yang lebih permanen. Status
tersebut mempengaruhi semangat dan kinerjanya di lapangan
sehingga perlu ditinjau kembali.
Keterkaitan antara masing-masing stakeholders terkait baik
pusat maupun daerah dalam pengembangan sistem jaringan informasi
pertanian nasional dalam strategi implementasi cyber extension
disajikan pada Gambar 5. Dalam jaringan komunikasi inovasi
pertanian nasional, Badan Penyuluhan Kabupaten merupakan pusat
dari kegiatan akses informasi yang berbasis aplikasi teknologi
informasi yang menjembatani antara sumber informasi yang berada di
pusat dengan stakeholders lokal sekaligus bertindak sebagai pemadu
sistem. Selain memfasilitasi pengguna dan stakeholders lokal dalam
274

akses informasi pertanian, Badan Penyuluhan Kabupaten juga dapat


berfungsi sebagai penghimpun informasi (indigenous knowledge) dari
sumber informasi lokal melalui Badan Penyuluhan tingkat Kecamatan
yang menghimpun informasi sekaligus memfasilitasi materi informasi
bagi penyuluh lapangan yang berada di tiap desa.
Petugas penyuluh lapangan menyampaikan informasi inovasi
pertanian langsung ke petani atau kelompok tani melalui berbagai
media potensial yang familiar dengan pengguna akhir, misalnya
dengan mengkombinasikan antara media interpersonal dengan
kelembagaan tradisional dan bahasa lokal. Hal ini didasarkan atas
kenyataan di lapangan bahwa meskipun aplikasi teknologi informasi
telah diimplementaskan melalui cyber extension, namun sebagian
besar petani di perdesaan masih percaya pada fasilitasi akses
informasi melalui media interpersonal. Dengan telah dibekalinya
petugas penyuluh lapangan dengan informasi inovasi pertanian yang
tepatguna didukung dengan implementasi aplikasi teknologi informasi
melalui cyber extension, petugas penyuluh lapangan diharapkan dapat
memfasilitasi akses informasi secara cepat dan akurat untuk problem
solving. Sebaliknya, petugas penyuluh pertanian lapangan juga dapat
menghimpun indigenous knowledge dan permasalahan di lapangan
yang memerlukan pendokumentasian dan penanganan lebih lanjut.

Gambar 5 Sistem jaringan informasi pertanian (dari pusatdesa)


yang perlu dikembangkan dalam strategi implementasi
cyber extension di Indonesia (diadaptasi dari Mulyandari
2005)
KESIMPULAN
Pengembangan sistem kerja cyber extension merupakan
salahsatu mekanisme pengembangan jaringan untuk komunikasi
inovasi pertanian yang terprogram secara efektif. Cyber extension
mampu mempertemukan lembaga penelitian, pengembangan, dan
275

pengkajian dengan diseminator inovasi (penyuluh), pendidik, petani,


dan kelompok stakeholders lainnya yang masing-masing memiliki
kebutuhan dengan jenis dan bentuk informasi yang berbeda sehingga
dapat berperan secara sinergis dan saling melengkapi untuk mengolah,
mendokumentasikan, memadukan, mensinergikan inovasi pertanian
yang dibutuhkan pengguna secara tepat waktu dan relevan.
Informasi/inovasi yang dibutuhkan oleh masing-masing
stakeholders sangat bervariasi baik ditinjau dari jenisnya
(permasalahan, potensi sumber daya, problem solving, teknologi tepat
guna, dan informasi haga pasar), bentuk informasinya (jurnal, warta,
surat kabar, leaflet dan brosur) maupun salurannya (internet/media
massa, perpustakaan, publisher, penyuluh, lembaga terkait, maupun
lembaga pemadu sistem).
Data yang berkaitan dengan permasalahan aplikasi TIK dalam
implementasi cyber extension di Indonesia saat ini masih perlu
diidentifikasi secara seksama. Beberapa permasalahan yang dihadapi
stakeholders dalam kemungkinannya untuk penerapan cyber
extension dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu: 1)
Manajemen (komitmen dan kebijakan belum konsisten dan terbatasnya
kemampuan managerial di bidang TIK); 2) Infrastruktur dan sarana-
prasarana (rendah/kurang stabilnya pasokan listrik dan keterbatasan
jaringan koneksi internet atau infrastruktur komunikasi, luasnya
wilayah jangkauan, dan terbatasan dana Pemda); 3) Sumber daya
manusia (terbatasnya kemampuan kapasitas SDM dalam aplikasi
teknologi informasi dan komunikasi); dan 4) Budaya, yaitu rendahnya
kultur berbagi (sharring) informasi dan pengetahuan serta rendahnya
kesadaran untuk selalu mendokumentasikan data/informasi/kegiatan
yang dimiliki atau dapat diakses).
Strategi implementasi cyber extension dalam mengembangkan
jaringan komunikasi inovasi pertanian berpusat pada optimalisasi
fungsi Badan Penyuluhan Kabupaten sebagai pusat dari kegiatan untuk
akses informasi yang berbasis aplikasi teknologi informasi. Badan
Penyuluhan Kabupaten yang menjembatani antara sumber informasi
yang berada di pusat dengan stakeholders lokal sekaligus bertindak
sebagai pemadu sistem. Selain memfasilitasi pengguna dan
stakeholders lokal dalam akses informasi pertanian, Badan Penyuluhan
Kabupaten juga dapat berfungsi sebagai penghimpun informasi
(indigenous knowledge) dari sumber informasi lokal melalui Badan
Penyuluhan tingkat kecamatan yang menghimpun informasi sekaligus
memfasilitasi materi informasi bagi penyuluh lapangan yang berada di
tiap desa.

DAFTAR PUSTAKA
Adekoya AE. 2007. Cyber extension communication: A strategic
model for agricultural and rural transformation in Nigeria.
International journal of food, agriculture and environment
ISSN 1459-0255. Vol. 5, no1, pp. 366-368 [3 page(s)
(article)] (8 ref.)
276

AgriWatch.com. 2005. Agribusiness and Commodity Trade


Information, News, Analysis and Research.
http://agriwatch.com.
BBC News.2004. Farmers, Phones, and Markets: Mobile Technology in
Rural Development. http://Farmers, Phones and Markets: Mobile
Technology in Rural Development.htm
BBC News. 2004. Wi-fi web reaches farmers in Peru.
http://news.bbc.co.uk/
CIDA. 2002. Thailand Canada Telecentre Project. Capital Project
Detailed Study: Deliverable 5 Monitoring the Community
Telecentres: Quarter 2.
Departemen Pertanian. 2009. Program Revitalisasi Penyuluhan
Pertanian (Kegiatan Tahun 2005 2009). [terhubung berkala] 26
September 2009.
http://www.DepartemenPertanian.go.id/bpsdm/tampil.php?
page=penyuluhan.
Mulyandari RSH. 2005. Alternatif Model Diseminasi Informasi Teknologi
Pertanian Mendukung Pengembangan Pertanian Lahan Marginal.
Prosiding Seminar Nasional Pemasyarakatan Inovasi Teknologi
dalam Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Perdesaan
di Lahan Marginal, Mataram, 30-31 Agustus 2005.
Servaes J. 2007. Harnessing the UN System Into a Common Approach
on Communication for Development. International
Communication Gazette 2007; 69; 483. Terhubung berkala [29
desember 2008). http://gaz.sagepub.com/
cgi/content/abstract/69/6/483.
Sigit I, Mukhlison, Widodo S, Alexander Wibisono A.
[Laporan Khusus, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 3 Agustus
2006]. [terhubung berkala] 26 Agustus 2009.
http://www.gatra.com/2006-08-08/versi_cetak.php?id=96869.
Songhai Center. 2009. The farmer's autonomy. [terhubung berkala] 10
April 2009. http://www.songhai.org/songhai_en/index.php?
option=content&task =view&id=15
Sulaiman F. 2002. Assessment of Agricultural Innovation Transfer
System in the Decentralization Era. Forum Penelitian Agro
Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Vol. 20 (2). Bogor.
Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju
Pengembangan Kemandirian Petani. Disertasi. Institut Pertanian
Bogor.
Tamba M. 2007. Kebutuhan Informasi Pertanian dan aksesnya bagi
Petani Sayuran: Pengembangan Model Penyediaan Informasi
Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, Kasus di Provinsi Jawa
Barat. Disertasi, Pascasarjana IPB.
277

Tim Komponen 2 P4MI. 2007. Pedoman Pengembangan Unit Pelayanan


Informasi Pertanian Tingkat Kabupaten P4MI. Jakarta: PUSDATIN,
Departemen Pertanian.
Wijekoon RSE, Rizwan MFM, Sakunthalarathanayaka RMM, Anurarajapa
HG. 2009. Cyber Extension: An Information and Communication
Technology Initiative for Agriculture and Rural Development in
Sri Lanka. [terhubung berkala] 26 September 2009.
http://www.fao.org/fileadmin/user_upload/kce/Doc_for_
Technical_Consult/SRI_LANKA_CYBER_EXTENSION.pdf
278

PERAN KOMUNIKASI DALAM PEMBERDAYAAN


MASYARAKAT PESISIR

Siti Amanah3

ABSTRACT
Status and condition of coastal community relate to several factors included ecological
characteristics, socio ecconomic and cultural characteristics, natural and geographical
characteristics, government policy, local wisdom and knowledge, and their
cosmopolites. Up to now, the coastal community especially small fishery communities
still face the problems of lack of information, limited access of asset and capital, and
dependency to the external assistances. This situation was also found at the north
Bali, whereas most of the fishery communities ran their businesses traditionally.
Effective development communication strategy and program would help the
community to be more aware of coastal resources management. The study was
conducted at the Gerokgak and Buleleng District, North Bali. A number of 128
respondents involved in the research and 10 informal leaders contributed information
about various program in the region. Research results showed that development
communication was urged to be able to provide more facilitation in terms of
empowering the fishery group, capacity improvement of the group in coastal resources
management; enlarging people choices, implementing participatory approaches, and
strengthening network to support the community in managing the business.

Key words: coastal community, development communication, empowerment

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat pesisir memiliki kehidupan yang khas, dihadapkan
langsung pada kondisi ekosistem yang keras, dan sumber kehidupan
yang bergantung pada pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut
(selanjutnya disingkat SDP). Masyarakat pesisir terutama nelayan
kecil, masih terbelit oleh persoalan kemiskinan dan keterbelakangan.
Terdapat persoalan tertentu terkait dengan aspek ekologis, sosial, dan
ekonomi, sehingga masyarakat pesisir masih tertinggal (Hanson 1984).
Rendahnya taraf hidup masyarakat pesisir dan akses yang terbatas
akan aset dan sumber-sumber pembiayaan bagi nelayan kecil
merupakan persoalan utama yang dijumpai di kawasan pesisir.
Nelayanpun sangat rentan terhadap tekanan pemilik modal.
Kegiatan pembangunan di kawasan pesisir tidak terlepas dari
daya dukung lingkungan, keberlangsungan sumber daya alam dan
dilakukan secara terpadu oleh berbagai pihak terkait dengan
menekankan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Ketersediaan sumber daya alam di daratan seperti hutan, bahan
tambang, dan mineral serta lahan pertanian produktif semakin menipis
sedangkan kebutuhan penduduk terus bertambah sejalan dengan
jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat dan diprediksikan
akan mencapai 267 juta jiwa pada tahun 2015. Kebutuhan penduduk

3 Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas


Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
279

tersebut tidak akan mampu dipenuhi seluruhnya oleh sumber daya


alam di daratan (Dahuri 2000) mengingat luas daratan Indonesia
hanya sepertiga dari luas Indonesia keseluruhan, yaitu 1.926.337 km 2.
Sektor perikanan dan kelautan sangat potensial untuk dikembangkan,
mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
yang memiliki 17.506 buah pulau, dengan garis pantai sepanjang
81.000 km, dan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Selain itu, Indonesia
juga memiliki hak pengelolaan sumber daya alam hayati dan nonhayati
di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), yaitu perairan
yang berada 12 hingga 200 mil dari garis pantai titik-titik terluar
kepulauan Indonesia, yang luasnya 2.7 juta km 2 berdasarkan United
Convention on the Law of the Seas.
Kegiatan sektor perikanan dan kelautan, memiliki dua bidang
usaha (Amanah dan Yulianto 2002) yaitu perikanan darat dan
perikanan tangkap. Hasil penelitian tentang pendekatan penyuluhan
pada masyarakat pesisir (Amanah et al.. 2004) memperlihatkan bahwa
setiap komunitas memiliki keunikan dan berbeda dalam hal nilai,
orientasi, dan kebutuhan pengembangan diri, kelompok, komunitas,
serta daya dukung lingkungan fisik. Dalam hal ini komunikasi
pembangunan dapat menjadi wahana transformasi situasi masyarakat
dari sekarang ke kondisi yang lebih baik.
Kabupaten Buleleng memiliki panjang pantai sekitar 144 km dan
ada enam dari sembilan kecamatannya yang berbatasan langsung
dengan pantai utara. Kecamatan Buleleng dan Grokgak sangat
berprospek untuk berkembang menjadi kawasan perikanan dan wisata
bahari. Sampai saat ini masyarakat pesisir di kedua kecamatan
tersebut bergantung pada pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut,
baik untuk usaha perikanan, maupun untuk usaha jasa wisata.
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah bahwa proses-proses
komunikasi pembangunan belum berlangsung simultan, dan nelayan
masih dihadapkan pada persoalan klasik seperti hasil tangkapan yang
bervariasi, keterbatasan akses pada sumber-sumber permodalan,
pasar, dan program penyuluhan yang belum berjalan sesuai harapan.
Telaahan tentang permasalahan yang dihadapi nelayan, penyebab
masalah, alternatif penyelesaian masalah, diperlukan untuk mendesain
rancangan strategi komunikasi pembangunan yang relevan. Tanpa
strategi komunikasi pembangunan yang jitu, masyarakat pesisir akan
makin tertinggal. Terdapat beberapa program andalan pemerintah
dalam konteks komunikasi pembangunan, namun belum memberikan
dampak nyata terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat pesisir.
Oleh karenanya, penyajian pada makalah ini berfokus pada kondisi
masyarakat pesisir dan peran komunikasi pembangunan dalam
pemberdayaan komunitas, kasus Kabupaten Buleleng.

Tujuan
Tujuan makalah ini adalah (1) mendeskripsikan kondisi dan
permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir, khususnya komunitas
280

nelayan; dan (2) menganalisis peran dan strategi alternatif komunikasi


pembangunan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir.

Kegunaan
Bagi pengambil kebijakan di bidang pengembangan masyarakat
pesisir, diharapkan makalah ini dapat berkontribusi sebagai referensi
dalam mengembangkan masyarakat pesisir melalui pendekatan dan
strategi komunikasi yang efektif.

PERUMUSAN MASALAH
Masalah merupakan faktor yang dapat menyebabkan tidak
tercapainya tujuan. Dalam konteks masyarakat pesisir di lokasi kajian,
ada kesenjangan antara kondisi saat ini dan kondisi ideal yang
diharapkan (Gambar 1). Secara konseptual, komunikasi pembangunan
berperan menjembatani kondisi saat ini menuju kondisi yang
diharapkan terrwujud di tingkat komunitas pesisir.

Kondisi saat ini Kondisi yang Diharapkan

Pengelolaan
Kapasitas pengelolaan potensi sumberdaya pesisir potensi
dan laut sumber daya pesisir dan laut oleh komunitas bekerja
terbatas
Masyarakat dapat mendayagunakan media rakyat dalam program pengelo
Pendayagunaan media komunikasi tradisional masih belum optimal
Manajemen pengelolaan kelompok yang mengacu pada pedoman tata per

Kelompok wanita nelayan pengolah hasil perikanan tangkap yang sesuai


Pengelolaan kelompok nelayan belum optimal
Jejaring
Pemberdayaan wanita nelayan pengolah hasil kerjatangkap
perikanan sama luas dan efektif
belum saling memperkuat

Jejaring kerjasama masih terbatas

Gambar 1 Kesenjangan kondisi yang dihadapi masyarakat


pesisir

Kondisi nelayan di Kabupaten Buleleng dicirikan oleh tipologi


nelayan kecil, dan armada penangkapan ikan oleh mayoritas nelayan
di Kecamatan Buleleng dan Grokgak adalah perahu bermotor tempel.
Nelayan di Kecamatan Buleleng lebih banyak menggunakan pancing
ulur dan tonda untuk menangkap ikan, sedangkan seser dan pancing
ulur lebih banyak digunakan oleh nelayan di Kecamatan Grokgak. Jenis
281

ikan hasil tangkapan umumnya berupa tongkol, teri, walang dan tuna.
Sampai saat ini, masyarakat pesisir setempat masih belum terlepas
dari persoalan klasik yang dihadapi nelayan kecil yakni keterbatasan
aset, akses, dan peluang untuk meningkatkan produktivitas dan daya
saing. Upaya peningkatan kualitas hidup nelayan kecil sulit terwujud
tanpa adanya perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan
sumber daya manusia. Menghadapi permasalahan tersebut,
komunikasi pembangunan diperlukan peran utamanya sebagai sebuah
proses yang dialogis dalam penyampaian ide, informasi dan inovasi,
oleh pihak-pihak terkait guna menunjang terjadinya proses perubahan
sosial ke arah yang lebih baik daripada sebelumnya. Perubahan
tersebut dampaknya dapat dilihat pada tingkat individu, keluarga,
kelompok, organisasi, komunitas dan masyarakat yang lebih luas.
Proses-proses komunikasi pembangunan akan memiliki dampak luas
apabila dilaksanakan secara sistemik dan berkelanjutan.

KONSEPSI DAN HASIL PENELITIAN TERDAHULU TENTANG


KOMUNIKASI PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN
Komunikasi Pembangunan
Nasution (2004) mengutip pernyataan Hedebro tentang tiga
aspek komunikasi dan pembangunan yang berkaitan dengan tingkat
analisisnya. Ketiga aspek tersebut meliputi hal berikut: (i) Pendekatan
yang berfokus pada pembangunan suatu bangsa, dan peran media
massa menyumbang upaya tersebut. Di sini, politik dan fungsi-fungsi
media massa dalam pengertian yang umum merupakan objek studi,
sekaligus masalah-masalah struktur organisasional dan pemilikan,
serta kontrol terhadap media. Untuk studi jenis ini, digunakan istilah
kebijakan komunikasi dan merupakan pendekatan yang paling luas dan
bersifat umum; (ii) Pendekatan untuk memahami peranan media
massa dalam pembangunan nasional, namun lebih jauh spesifik.
Persoalan utama dalam studi ini adalah penggunaan media agar dapat
dipakai secara efisien, untuk mengajarkan pengetahuan tertentu bagi
masyarakat suatu bangsa; dan (iii) Pendekatan yang berorientasi
kepada perubahan yang terjadi pada suatu komunitas lokal atau desa.
Studi jenis ini mendalami bagaimana aktivitas komunikasi dapat
dipakai untuk mempromosikan penerimaan yang luas akan ide-ide dan
produk baru.
Hasil penelitian Kifli (2007) tentang strategi komunikasi
pembangunan pada komunitas dayak di Kalimantan Barat menemukan
bahwa berbagai bentuk materi komunikasi yang selama ini tersedia,
ternyata belum dapat dipahami atau diakses dengan optimal oleh
orang Dayak. Materi komunikasi dari luar baik berupa materi tercetak
maupun elektronik, seperti brosur, leaflet, majalah atau program radio
dan televisi, tidak dapat diakses. Kendala dari sisi fisik disebabkan
karena keterisoliran geografis, sedangkan kendala sisi bahasa
menyebabkan mereka tidak dapat memahami isi (content) yang
282

terkandung di dalamnya. Konsep dan strategi pembangunan yang


cenderung seragam, belum mampu menjangkau komunitas Dayak
secara memadai. Berbagai asumsi dan prasyarat penerima (receiver)
dari kebijakan strategi komunikasi tersebut tidak mampu dipenuhi oleh
sebagian masyarakat, termasuk oleh masyarakat Dayak. Penelitian
Amanah (2007) tentang pengembangan masyarakat pesisir
mengungkap pula bahwa terdapat korelasi positif yang nyata antara
kompetensi komunikasi yang dimiliki oleh penyuluh terhadap perilaku
masyarakat pesisir dalam mengelola sumber daya pesisir yang dimiliki.
Selain faktor keterisoliran dan kompetensi komunikasi, strategi
komunikasi pun berpengaruh terhadap efektifitas komunikasi.
Harris (Bessete & Rajasunderam 1996) menyatakan bahwa
pendekatan komunikasi pembangunan partisipatif perlu dikembangkan
untuk mengembangkan masyarakat di tingkat bawah melalui
pendekatan pendidikan non formal. Terkait dengan pendekatan
pembangunan yang diterapkan di Indonesia, Waskita (2005)
mencermati bahwa pembangunan sampai saat ini masih terlalu
berfokus pada hal-hal fisik dan terukur. Hal ini pada gilirannya,
berkontribusi terhadap model komunikasi yang dianut cenderung
menunjukkan pola interaksi yang terbatas dan berkaitan dengan
kekuasaan dan pelayanan. Alternatif model komunikasi yang diusulkan
adalah komunikasi dialogis antar orang yang terlibat dalam proses
pembangunan.

Pemberdayaan
Pemberdayaan memiliki berbagai interpretasi, pemberdayaan
dapat dilihat sebagai suatu proses dan program. Payne (1997)
mengemukakan bahwa pemberdayaan (empowerment) pada
hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan kekuatan
(daya) untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan
dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi
kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Pemberdayaan
dilakukan dengan jalan meningkatkan kapasitas, pengembangan rasa
percaya diri untuk menggunakan kekuatan dan mentransfer kekuatan
dari lingkungannya. Sebagai suatu proses, pemberdayaan adalah
usaha yang terjadi terus menerus sepanjang hidup manusia.
Bowling dan Barbara (2002) mengemukakan bahwa program
penyuluhan dapat membentuk perubahan perilaku melalui prinsip
berbagi pengetahuan, dan pengalaman dengan masyarakat. Bersama
sama masyarakat, dapat dilakukan berbagai kegiatan yang mengarah
pada pembentukan perilaku masyarakat. Pemberdayaan sebagai
sebuah program mempunyai makna bahwa pemberdayaan merupakan
tahapantahapan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dalam kurun
waktu tertentu. Dalam konteks ini, pelaksanaan program
pemberdayaan dibatasi waktu, sehingga tampak sebagai kegiatan
keproyekan. Kondisi seperti ini tentu tidak menguntungkan bagi
pelaksana program maupun komunitas target, karena sering terjadi
283

kegiatan terputus di tengah jalan dan kurangnya koordinasi antar


lembaga yang terlibat dalam program.
Pemberdayaan masyarakat pesisir mencakup dua dimensi yaitu
budaya dan struktur sosial (Satria 2002). Selain itu, pemberdayaan
dalam komunitas nelayan akan lebih berhasil jika menerapkan prinsip
kejelasan tujuan, prinsip dihargainya pengetahuan dan penguatan nilai
lokal, prinsip keberlanjutan, prinsip ketepatan kelompok sasaran atau
tidak bias pada nelayan pada strata maupun golongan tertentu, dan
prinsip kesetaraan gender, artinya baik pria maupun wanita memiliki
secara aktif diakui hakhaknya dalam masyarakat, memiliki status dan
peran sesuai budaya setempat dan terlibat dalam proses pengambilan
keputusan dalam keluarga dan masyarakat.
Hasil penelitian Mubyarto dan Dove (1984) menyimpulkan
bahwa modernisasi perikanan melalui introduksi kapal-kapal motor
telah menimbulkan jurang yang bertambah lebar antara mereka yang
mampu dan yang tidak mampu memanfaatkan teknologi tersebut,
bahkan introduksi budidaya tambak udang yang padat modal hanya
berpihak pada kelompok kaya atau dengan perkataan lain
pembangunan berakibat pada menguatnya marjinalisasi kelompok
miskin. Dampak positif maupun negatif dari modernisasi perikanan,
khususnya bagi masyarakat nelayan, petani petambak, maupun
kelompok masyarakat pesisir yang lain (pengolah hasil laut, pemberi
jasa wisata bahari dan lain-lain) perlu diantisipasi, yaitu melalui
penerapan paradigma pembangunan yang lebih menekankan pada
aspek manusianya. Implikasinya adalah pembangunan akan
berkelanjutan (sustainability), karena program-program pembangunan
menciptakan manusia-manusia yang berdaya dan mandiri. Soedijanto
(1997) menyatakan bahwa pembangunan yang hanya menekankan
pada produktivitas, justru hanya menimbulkan ketergantungan petani
pada pemerintah.
Berkaitan dengan permasalahan di atas, peran komunikasi
pembangunan sangat dibutuhkan dalam membantu masyarakat
pesisir, khususnya nelayan dalam menghadapi modernisasi. Seperti
telah dikemukakan oleh van Den Ban (1999) bahwa peranan berbagai
program penyuluhan sebagai implementasi komunikasi pembangunan
adalah dengan membantu petani untuk mengambil keputusan sendiri
dengan cara menambah pilihan bagi mereka, dan dengan cara
menolong mereka mengembangkan wawasan mengenai konsekuensi
dari masing-masing pilihan tersebut. Upaya pemberdayaan nelayan
kecil menurut Satria (2001) perlu memahami struktur sosial
masyarakat nelayan, tidak hanya melihat aspek ekonomi atau
teknologi saja, melainkan juga aspek sosial-budaya perlu diperhatikan,
sehingga program tidak lagi hanya bersifat ingin cepat selesai.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di dua wilayah pesisir Kabupaten
Buleleng yakni di Kecamatan Grokgak dengan jarak lebih kurang 55 km
sebelah barat ibu kota kabupaten, dan di Kecamatan Buleleng yang
284

letaknya lebih kurang delapan kilometer dari ibu kota kabupaten.


Penelitian dilaksanakan mulai tahun 2004-2006. Responden penelitian
adalah pelaku utama dalam usaha penangkapan, pengolahan,
pembudidaya dan pemasar. Tercatat lebih kurang 692 rumah tangga
perikanan (RTP) melaksanakan usaha di dua wilayah tersebut dan 159
RTP dipilih sebagai responden secara acak; namun untuk keperluan
analisis statistik dipilih responden yang memiliki aktivitas serupa untuk
mewakili populasi yaitu 128 RTP.

Tabel 1 Responden penelitian di Kecamatan Grokgak dan


Pemuteran, 2006
Responden
N Kecamatan dan Kegiatan Rumah Tangga Representasi
(Rumah
o Usaha Perikanan (RTP) (Rumah tangga)
tangga)
1 Gerokg Nelayan ikan 246*) 44 44
ak konsumsi
Pengolah 60 21 -
Pengolah dan 20 11 11
pemasar
Pembudidaya 25 10 -
Jumlah 341 86 55
2 Bulelen Nelayan ikan 248*) 49 49
g konsumsi
Pengolah dan 109 24 24
pemasar
Jumlah 351 73 73
*) Armada motor tempel

Data primer yang diperoleh dari responden meliputi: (1)


keragaan sosial ekonomi responden penelitian; (2) informasi tentang
SDP terutama masalah penurunan kualitas SDP meliputi jenis ikan hasil
tangkapan, kualitas terumbu karang, dan kondisi pantai; (3) program
pemberdayaan dan atau intervensi yang pernah berlangsung, hasil
yang dicapai dan kontinuitas program; (4) kompetensi komunikasi
penyuluh/fasilitator program pemberdayaan; (5) kualitas sarana dan
prasarana pendukung kegiatan perikanan. Selain dari responden, data
diperoleh pula dari sumber sekunder yakni Dinas Kelautan dan
Perikanan, Kantor Kecamatan, Badan Pusat Statistik, literatur dan
media. Panduan metode wawancara semi terstruktur, pengamatan
dan diskusi dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi selama
penelitian. Data dianalisis secara deskriptif dengan menerapkan
konsep Checkland (1981) tentang soft system methodology (SSM). Di
dalam SSM dikemukakan bahwa untuk mendinamiskan aktivitas
manusia sebagai sebuah sistem, perlu adanya desain konsep tentang
CATWOE. CATWOE merupakan singkatan dari Customers (C), Actors
(A), Transformation (T), Welstanchaung (W), Owner (O) dan
Environment (E). Konsep CATWOE digunakan untuk menganalisis
peran para pihak dalam pengembangan strategi komunikasi
pembangunan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir.
285

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Wilayah dan Gambaran Masyarakat Pesisir di Lokasi Penelitian
Kabupaten Buleleng merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Bali yang terletak di Bagian Utara dengan luas wilayah 1.366 km 2 dan
pernah menjadi ibukota provinsi pasca kemerdekaan Republik
Indonesia hingga tahun 1960-an. Batas-batas wilayah Kabupaten
Buleleng adalah di utara berbatasan dengan Laut Jawa, di barat
berbatasan dengan Kabupaten Jembrana, di selatan berbatasan
dengan Kabupaten Tabanan, Badung dan Bangli, serta di Timur
berbatasan dengan Kabupaten Karang Asem. Jumlah penduduk
berdasarkan hasil registrasi pada tahun 2007 berjumlah sebanyak
643.274 jiwa, dari jumlah 167.780 kepala keluarga. Dari jumlah
tersebut terdiri dari penduduk perempuan sebanyak 320.839 jiwa atau
49,88 persen dan penduduk laki-laki sebanyak 322.435 jiwa atau 50,12
persen dari kondisi tersebut tercermin penduduk laki-laki relatif
dominan jika dibandingkan dengan penduduk perempuan. Penyerapan
tenaga kerja per lapangan usaha di Kabupaten Buleleng pada tahun
2005-2006 (Tabel 2) memperlihatkan bahwa sektor pertanian dalam
arti luas menyerap paling banyak tenaga kerja dibanding sektor lain.
Ini berarti, kebijakan pemerintah harus mampu memakukan
pembangunan pertanian dalam arti luas yang menjadi tumpuan hidup
sebagian besar penduduk Kabupaten Buleleng.
Secara umum, sebagaimana disajikan pada Tabel 3, mayoritas
responden berusia produktif, mayoritas berpendidikan formal SMP tidak
tamat, dengan pengalaman usaha terbanyak antara 12 sampai dengan
20 tahun, pendapatan dari usaha perikanan bervariasi mulai Rp 420
ribu sampai lebih dari Rp 1 juta per bulan. Tanggungan keluarga
umumnya tiga sampai empat orang.
Pengelolaan pesisir Kabupaten Buleleng dibagi ke dalam tiga
wilayah pengembangan yaitu (1) Buleleng Barat dengan usaha utama
adalah penangkapan ikan di laut, budi daya laut, dan pembenihan, (2)
Buleleng Tengah untuk usaha penangkapan ikan, dan pengolahan hasil
perikanan, dan (3) Buleleng Timur untuk penangkapan ikan hias, ikan
konsumsi, dan pengolahan (Dinas Kelautan & Perikanan 2003). Guna
mengantisipasi hal tersebut, strategi komunikasi pembangunan
perikanan dan kelautan harus berfokus pada peningkatan kemampuan
nelayan dalam pengelolaan teknologi penangkapan, penguatan
kapasitas permodalan, kemampuan pengelolaan keuangan dan yang
paling urgen adalah perubahan sikap dan perilaku yang positif
memanfaatkan kekayaan bahari.

Tabel 2 Penyerapan tenaga kerja per lapangan usaha di


Kabupaten Buleleng dari tahun 2005-2006
No. Lapangan Usaha 2005 2006
286

Penduduk
yang Penduduk yang
% %
bekerja bekerja (Orang)
(Orang)
Pertanian dalam arti
1 luas 141.839 42,07 141.839 42,07
Pertambangan dan
2 Penggalian 3.910 1,16 3.910 1,16
3 Industri 50.033 14,84 50.033 14,84
Listrik, Gas & Air
4 Minum 1.450 0,43 1.450 0,43
5 Bangunan 19.319 5,73 19.319 5,73
6 Perdagangan 72.285 21,44 72.285 21,44
Angkutan &
7 Komunikasi 14.565 4,32 14.565 4,32
8 Keuangan/Persewaan 2.933 0,87 2.933 0,87
9 Jasa-Jasa 30.816 9,14 30.816 9,14
10 Lainnya - - - -
Jumlah 337.151 100 337.151 100
Sumber : Buleleng Dalam Angka Tahun 2008

Kegiatan nelayan di Grokgak dan Buleleng adalah melakukan


penangkapan ikan. Beberapa desa pesisir di Kecamatan Buleleng
seperti Kaliasem, Tukadmungga dan Anturan melakukan kegiatan
memandu wisatawan menikmati pemandangan laut dan mengamati
perilaku lumba-lumba di pagi hari-hari, dan perempuan nelayan
menjual ikan hasil tangkapan. Kegiatan nelayan di Kecamatan Grokgak
meliputi budidaya ikan hias, memandu wisata laut berupa taman laut,
budidaya bandeng, pembenihan kerapu dan pengolahan ikan oleh
wanita nelayan. Aktivitas penangkapan ikan di dua lokasi kajian sangat
dipengaruhi oleh musim, yaitu pada musim panen ikan, nelayan
umumnya berangkat pada dini hari dan pulang lebih cepat (sekitar
pukul 2.00 atau 3.00 dini hari melaut dan kembali pukul 7.00 hingga
pukul 8.00). Pada saat populasi ikan rendah, nelayan di dua desa
melakukan kegiatan tani dan mengandalkan hasil ikan di alat tangkap
bagan dan berangkat pukul 18.00 petang dan baru kembali keesokan
hari pada pukul 06.00 pagi hari. Nelayan membutuhkan
pendampingan dalam hal pemasaran hasil, pemeliharaan terumbu
karang, kawasan pesisir dan penguatan kelembagaan kelompok
nelayan. Proses-proses komunikasi pembangunan yang saat ini
berlangsung masih terlalu berfokus pada sosialisasi informasi tentang
program kerja dan prioritas pemerintah, belum mengarah pada
terobosan pendayagunaan saluran dan media komunikasi lokal untuk
memperkuat jaringan sosial masyarakat pesisir.
287

Tabel 3 Ciri-ciri responden di dua lokasi penelitian, 2006


Gerokgak Buleleng
Perihal
Jumlah % Jumlah %
1. Jenis kelamin (jiwa):
Laki-laki 43 78,2 48 65,8
Perempuan 12 21,8 25 34,2
Total 55 100,0 73 100,0
2. Usia (tahun):
a. Kurang dari 32 6 10,9 8 11,0
b. 32 < 42 23 43,8 32 43,8
c. 42 <52 18 31,5 23 31,5
d. > 52 8 13,7 10 13,7
Total 55 100,0 73 100,0
3. Pendidikan formal (tahun)
a. < 4 8 14,5 1 13,4
b. 4 - < 6 10 18,2 15 20,5
c. 6 - < 8 24 43,6 30 41,1
g. > 8 13 23,6 27 37,0
Total 55 100,0 73 100,0
4. Jumlah tanggungan (jiwa)
a. 1 3 5,4 2 2,7
b. 1 - < 3 31 5,3 32 43,8
c. 3 - < 5 17 31,0 31 42,5
d. > 5 4 7,3 8 11,0
Total 55 100,0 73 100,0
5. Pengalaman berusaha
(tahun)
a. < 12 6 10,9 11 15,1
b. 12 < 20 24 43,6 33 45,2
c. 20 < 28 14 25,5 21 28,8
d. > 28 11 20,0 8 10,9
Total 55 100,0 73 100,0
6. Pendapatan (x Rp
1000/bulan)
a. < 420 5 9,1 2 2,7
b. 420 - <750 29 52,7 29 32,7
c. 750 - <1.080 15 27,3 20 27,4
d. > 1.080 6 10,9 22 30,1
Total 55 100,0 73 100,0
Sumber: Data primer diolah

Peran Strategi Komunikasi Pembangunan dalam Menjembatani


Kesenjangan
Menghadapi permasalahan masyarakat pesisir di lokasi kajian,
maka dalam aplikasinya di lapangan dapat dikomunikasikan program
berikut:
1. Peningkatan keterampilan nelayan dan keluarganya dalam
mengelola hasil tangkapan, memperbaiki sikap yang merusak
lingkungan dengan mensosialisasikan pentingnya menjaga
kelestarian sumber daya alam;
288

2. Peningkatan kemampuan manajemen usaha penangkapan dan


diversifikasi usaha yang disertai penguatan ekonomi keluarga
melalui usaha produktif;
3. Penguatan kelembagaan lokal termasuk organisasi pemasaran hasil
perikanan;
4. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dengan
mengedepankan prinsip sustainability (sumber daya alam) dan
kesejahteraan masyarakat; dan
5. Membangun jejaring (network) dengan mitra usaha guna
memperbesar armada dan menggunakan alat tangkap yang lebih
efektif dan tidak merusak lingkungan.
Dengan demikian, pesan-pesan atau materi dalam komunikasi
pembangunan masyarakat pesisir tidak sekedar mentransferkan
informasi saja, tetapi menyangkut aspek transformasi keadaan dari
kondisi sekarang yakni nelayan dan keluarganya yang masih
terpinggirkan, menjadi lebih mandiri, sejahtera dan bermartabat.
Komunikasi pembangunan dapat memainkan peran dalam perubahan
berencana, sebagaimana dikemukakan pula oleh S.C. Dube (Shramm &
Lerner 1976), bahwa dalam pembangunan di India, komunikasi
memegang peran nyata dalam mengembangkan media untuk
memobilisasi masyarakat dan pemerintahnya.
Fenomena berlangsung di salah satu desa di Kecamatan
Grokgak yakni di Desa Pemuteran adalah kerja sama antara nelayan
dengan pecalang dalam pengelolaan kelestarian sumber daya laut.
Sebetulnya Desa Pemuteran sudah memiliki peraturan adat atau
awigawig yang menyebutkan bahwa setiap perusak lingkungan
akan dikenakan sanksi, yakni pembinaan awal, yang apabila dilanggar
sampai tiga kali maka ada sanksi khusus. Akan tetapi, kesadaran
bahwa laut harus dipelihara kelestariannya sudah mulai tumbuh di
kalangan masyarakat. Seperti yang pernyataan seorang nelayan
berikut:

kami nelayan di sini sangat kuatir dengan kegiatan


pengeboman nelayan pencari ikan hias. Sudah banyak
sekali karang-karang hancur dan ini menyebabkan
rusaknya lingkungan di sini. Kami juga menjadi rugi,
karena ndak bisa nangkap ikan banyak..mohon yang
berwenang mengambil tindakan.. dan kami juga
kekurangan modal untuk ngembangkan usaha.

Komentar nelayan itu memperlihatkan bahwa nelayan


sesungguhnya memiliki kepedulian atas degradasi lingkungan yang
dipicu oleh kebutuhan ekonomis. Nelayan mengeluhkan minimnya
penegakan hukum dan modal yang terbatas untuk berusaha di bidang
lain. Atas latar belakang inilah maka secara bertahap, sejak tahun
1993 diadakan pendekatan melalui pertemuan dengan tokohtokoh
adat dan nelayan untuk menimbulkan kesadaran pemahaman
pentingnya pemeliharaan laut, khususnya kawasan wisata. Usaha ini
289

mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Beberapa tahun


kemudian, kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potasium
sudah berkurang dan penghasilan nelayan pun bertambah. Hal ini
didukung oleh kerjasama antara pecalang dengan nelayan dalam
pelarangan penangkapan ikan di kawasan wisata, serta pembuatan
terumbu karang buatan.
Sejatinya, dalam kaitan pengelolaan sumber daya perikanan
berbasis masyarakat (PSPBM), Nikijuluw (2002) menyebutkan bahwa di
beberapa daerah di Indonesia seperti Maluku, dalam menangkap ikan
hanya menggunakan alat tangkap sederhana. Sedangkan di Irian Jaya
menurut Nikijuluw (2002) menerapkan aturan bahwa jika penduduk
suatu suku ingin menangkap ikan di perairan yang menjadi wilayah
suku lain, maka teknologi yang digunakan harus sama. Kehadiran alat
tangkap modern, cenderung mendesak nelayan kecil untuk
meninggalkan daerahnya dan keluar dari perairan daerah asalnya,
sehingga seringkali menimbulkan konflik antara nelayan satu dengan
lain karena perebutan fishing ground dan penggunaan teknologi yang
berbeda. Atas dasar pemikiran ini, maka sebenarnya peran program
komunikasi pembangunan sangat luas mulai dari sekedar
pentransferan informasi dan teknologi, pemberdayaan hingga
peningkatan pemahaman masyarakat akan nilai-nilai budaya lain (able
to understand).
Hasil wawancara dengan perempuan nelayan di Desa Anturan
memperlihatkan bahwa kaum perempuan masih berkutat pada
persoalan domestik, belum ada inovasi yang sesuai dengan nilai-nilai
lokal yang dapat mengefisienkan waktu untuk kegiatan domestik. Jika
dapat diefisienkan, maka kaum perempuan ada kesempatan untuk
mengembangkan diri dan keluarganya dalam kegiatan sosial ekonomi
untuk peningkatan kualitas hidup keluarga. Pengolahan hasil
perikanan tangkap untuk fish nugget belum menjadi minat nelayan
setempat. Salah seorang perempuan nelayan berkata:

.Saya ndak dikasi kerja macem-macem, yang penting


jualan ikan ini dulu. Nanti kan kalo laku, bisa buat mencari ikan
lagi di laut. Kalo ngolah ikan pasti perlu ini itu dan tambah
repot, iya kalo ada yang beli, kalo ndak ada yang beli, kan
rugi.

Terdapat tiga hal yang menyebabkan perempuan nelayan tidak


ada peluang untuk mengelola usaha pengolahan ikan, yaitu (i)
kebutuhan uang (cash) yang mendesak; (ii) keterbatasan waktu dan
modal usaha; dan (iii) pemasaran. Dengan demikian, orientasi
komunikasi pembangunan di kawasan pesisir cukup berat karena
bukan hanya dituntut mampu mengubah pengetahuan, tetapi juga
mengubah sikap dan membantu memperkuat struktur sosial ekonomi
nelayan, sehingga lebih kuat dalam menghadapi tantangan.

Strategi Komunikasi Pembangunan pada Masyarakat Pesisir


290

Pelaksanaan program pemberdayaan di lokasi penelitian hingga


tahun 1990-an masih belum berorientasi pada pengutamaan
kebutuhan masyarakat. Pada tahun 2000 secara lebih intensif
diterapkan pendekatan yang mengutamakan penyelesaian persoalan
masyarakat (problem solving) dan berpusat pada kebutuhan
masyarakat (people centered development). Pendapat masyarakat
pesisir tentang pendekatan penyuluhan/pemberdayaan masyarakat
dirangkum pada Tabel 4. Contoh kasus: pendekatan berpusat pada
nelayan diterapkan pada program rehabilitasi karang sebagai salah
satu pilihan atas solusi persoalan degradasi lingkungan. Selain itu,
dikembangkan usaha penangkapan ikan hias yang ramah lingkungan
untuk meningkatkan pendapatan nelayan melalui penggunaan jaring
khusus (stable net).
Komunikasi pembangunan harus diselenggarakan secara
partisipatif, sebab pendekatan ini memudahkan agent of change
membantu masyarakat menyelesaikan persoalannya. Komunikasi
pembangunan dapat dipandang sebagai upaya pemberdayaan
masyarakat, yang dalam kegiatannya berkaitan dengan orang dewasa.
Implikasi hal ini, pendekatan yang digunakan adalah pembelajaran
orang dewasa (adult learning approach) dalam penyiapan dan
penyelenggaraan perlu dipusatkan dalam kebutuhan nyata peserta
proses belajar (Amanah 1996) atau lebih dikenal dengan learner-
centred approaches. Orang dewasa merupakan orang yang sudah
kaya pengalaman sebagaimana dikemukakan oleh (Simpson 1993)
sehingga perlu memperhatikan hal-hal berikut:
1. Pembelajaran orang dewasa didasarkan pada pengalaman masa
lalu dan patut dihargai.
2. Pengalaman masa lampau tersebut harus dihargai oleh peserta
lainnya dan harus diupayakan diterapkan dalam proses belajar.
Pembelajaran yang melibatkan transformasi pengalaman masa lalu
membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih besar dibandingkan
model belajar lainnya.
3. Lingkungan mempengaruhi kemampuan orang dewasa dalam
belajar. Lingkungan terbaik seperti kondisi yang mengurangi
gangguan pada orang dewasa yang sedang belajar akan
memberikan dukungan yang berharga. Peserta dewasa akan
belajar dengan baik di lokasinya sendiri. Orang dewasa tidak akan
efektif jika belajar di bawah tekanan atau waktu yang dibatasi.
Mereka tidak suka membuang waktu, dan orang dewasa lebih
tertarik padaa proses belajar yang memberikan hasil nyata yang
nyata dan cepat.
4. Orang dewasa akan belajar bahan atau materi yang dia perlukan
(selektif).
5. Orang dewasa dapat didorong untuk belajar pada materi yang
relevan pada peran dan kehidupannya saat ini.
6. Orang dewasa belajar untuk kehidupannya dan untuk mereka yang
terlibat dalam kelompoknya.
291

Tabel 4 Pendapat masyarakat pesisir tentang penyuluhan/program


pemberdayaan di lokasi penelitian, 2009

No Kecamatan Gerokgak Buleleng


Uraian
S (%) TS Total S (%) TS Total
(%) (%) (%) (%)
1 Metode partisipatori bermanfaat 85 1 10 90 1 10
5 0 0 0
2 Proses komunikasi harus berorientasi 90 1 100 85 1 100
kepada perubahan perilaku 0 5
3 Harus bekerjasama dengan penyuluh 10 0 100 10 0 100
0 0
4 Prioritas kebutuhan nelayan 10 0 100 10 0 100
diperhatikan 0 0
5 Perlu dukungan mitra usaha 10 0 100 10 0 100
0 0
6 Dukungan pemerintah dan swasta 90 1 100 90 1 100
0 0
7 Peran lembaga lokal dalam 85 1 100 80 2 100
pemberdayaan 5 0
Keterangan: T = Setuju; TS = Tidak Setuju
Sumber: Data primer diolah

Prinsip partisipasi dalam komunikasi pembangunan bukan


sebatas proses sekedar hadir, memberikan pendapat atau hanya
berdasarkan persepsi pemerintah atau penyuluh sendiri. Sangat
rasional, jika masyarakat pesisir belum mau terlibat dalam berbagai
program pembangunan khususnya kegiatan penyuluhan karena sejak
awal masyarakat tidak terlibat dalam menentukan kegiatan yang
diprogramkan. Terkait dengan hal ini, proses aksi sosial dan proses
pengambilan keputusan dalam model adopsi inovasi Rogers (1994)
dapat dimodifikasi. Proses aksi sosial meliputi lima tahap: (1)
stimulasi minat (stimulation of interest) yaitu inisiatif dalam komunitas
mulai berkembang pada tahap awal dalam ide baru dan praktek; (2)
inisiasi (initiation) yaitu kelompok yang besar mempertimbangkan ide
baru atau praktek dan alternatif dalam implementasi; (3) legitimitasi
(legitimation) merupakan tahap saat pimpinan komunitas memutuskan
akan meneruskan tindakan atau tidak; (4) keputusan bertindak adalah
rencana spesifik tindakan mulai dibangun; dan (5) aksi yaitu penerapan
rencana (Donnermeyer et al. 1997). Model adopsi inovasi Rogers
meliputi lima tahap: (1) pengetahuan (knowledge) seseorang menjadi
sadar akan adanya ide atau cara baru; (2) persuasi (persuasion) yaitu
individu mulai mengembangkan sikap suka atau tidak suka terhadap
ide tersebut, (3) keputusan (decision) adalah individu membuat
keputusan awal untuk mengadopsi atau tidak ide tersebut; (4)
implementasi (implementation) adalah individu mencoba ide atau cara
baru tersebut untuk pertama kali; dan (5) konfirmasi (confirmation)
adalah individu memutuskan menerapkan ide atau cara baru secara
berulang dan dapat disertai modifikasi.
Menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan wilayah pesisir tidak cukup hanya dengan
292

mengidentifikasi isu yang dihadapi saja, tetapi perlu diwujudkannya


beberapa aspek yaitu adanya aspek situasional, kolaborasi dan
evaluasi diri dari setiap unsur yang terkait dengan perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi program. Agent of change seyogyanya
mampu mengembangkan empat aspek (Kemmis & McTaggart 1988),
yaitu:
a. Suatu kondisi yang memungkinkan tumbuhnya kebersamaan
dalam kelompok masyarakat dan rasa memiliki problem yang
tengah dihadapi;
b. Adanya kemampuan berkreasi dan pemikiran yang kritis;
c. Program yang dilaksanakan adalah untuk tujuan perbaikan dan
pengembangan; dan
d. Kemampuan memfasilitasi masyarakat untuk membantu
menyelesaikan masalah.
Keterlibatan masyarakat dalam program-program
pengembangan dan proyek pembangunan dapat digolongkan kedalam
tujuh tipe (Adnan et al. dalam Pretty 1995), seperti tampak pada Tabel
5.

Tabel 5 Tipologi partisipasi masyarakat menurut Adnan et al.


(Pretty 1995)
Tipologi Karasteristik
1. Partisipasi pasif Masyarakat hanya berpartisipasi karena diperintah.
2. Partisipasi dalam Masyarakat berpartisipasi dengan menjawab kuesioner atau
memberikan dalam wawancara tertentu.
informasi
3. Partisipasi melalui Masyarakat berpartisipasi dalam proses konsultasi. Agen
konsultasi pembaharu berperan dalam membantu masyarakat
menyelesaikan persoalannya
4. Partisipasi dalam Masyarakat berpartisipasi dalam menyediakan sumber
menyediakan materi daya seperti tenaga kerja, uang tunai, bahan pangan dsb.
penting dalam
program/proyek
5. Partisipasi Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok
fungsional yang bekerja untuk pengembangan organisasi setempat.
Lembaga masyarakat ini masih bergantung sepenuhnya
kepada fasilitator
6. Partisipasi interaktif Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, guna
penyusunan rencana kegiatan dan program yang akan
dilaksanakan guna memperkokoh kelembagaan yang telah
dibentuk.
7. Mobilisasi diri Masyarakat berpartisipasi dengan berinisiatif untuk
mengubah sistem, bebas dari pengaruh institusi luar.
Masyarakat bebas mengadakan kontak dengan dunia luar
dalam rangka pengembangan sumber daya dan saran-
saran teknis yang dibutuhkan.
Sumber: Adnan et al. (dalam Pretty 1995)
Para pihak terkait dengan program komunikasi pembangunan
perlu mengetahui tipe partisipasi masyarakatnya, sehingga dapat
mengembangkan pendekatan yang dapat mempertahankan dan
meningkatkan partisipasi masyarakat di wilayahnya. Idealnya,
293

masyarakat memiliki tipologi keenam dan ketujuh. Meskipun demikian,


jika masyarakat sudah berada pada tipologi kelima itu sudah bagus
karena sudah ada langkah maju untuk berinisiatif membentuk dan
mengembangkan organisasi di lingkungan mereka sendiri. Hal ini
dapat dibanding dengan hasil penelitian Douglah dan Sicilima di
Tanzania (1997) tentang pelibatan masyarakat dalam dua pendekatan
penyuluhan yaitu Latihan dan Kunjungan dan Sasakawa Global 2000.
Partisipasi pada kedua pendekatan belum menerapkan pendekatan
partisipasi yang berimbang. Partisipasi masih ditekankan hanya pada
pelaksanaan ketimbang pelibatan petani saat perencanaan dan
evaluasi program. Tampak bahwa prinsip partisipasi bukanlah hal yang
mudah untuk diterapkan. Penerapan metode partisipasi memerlukan
proses yang bertahap. Penumbuhan partisipasi perlu dimulai dengan
fasilitasi pada masyarakat pesisir tentang pentingnya keterlibatan
yang bersangkutan pada kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat
sekaligus untuk memperbaiki hidup dan kehidupan. Pada tahap awal
bentuk partisipasi bisa berupa pemanfaatan hasil-hasil penyuluhan
(inovasi), lalu partisipasi akan lebih intensif secara bertahap, hingga
akhirnya masyarakat mampu mandiri untuk mengelola kegiatannya
dengan mobilisasi diri.

Stakeholders yang dalam Komunikasi Pembangunan


Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir merupakan sistem sosial, sehingga
framework CATWOE ini relevan dengan proses transformasi
masyarakat pesisir ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, pihak
terkait yang dapat komunikasi pembangunan berorientasi
pemberdayaan meliputi:
Customers: Masyarakat pesisir termasuk nelayan dan anggota
keluarganya,
Actors: Pemuka masyarakat, agen pembaharu, penyuluh, ketua dan
anggota kelompok nelayan,
Transformation: proses perubahan berupa proses komunikasi
pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan martabat
masyarakat pesisir, seperti kegiatan penguatan kelembagaan lokal
(seperti lembaga pemasaran, kelompok nelayan), pengembangan
kapasitas sumber daya manusia setempat, pengelolaan sumber
daya pesisir dan lautan terpadu dan lain-lain.
Welstanchaung = worldview: pemahaman terhadap cara pandang,
nilai-nilai lokal yang dianut oleh masyarakat pesisir, dan dihargai
sebagai aset masyarakat setempat. Di wilayah penelitian, masing-
masing kelompok nelayan memiliki awig-awig (peraturan yang
dikelola oleh komunitas lokal dan didasarkan pada adat istiadat dan
budaya Bali) sangat ditaati oleh nelayan dan masyarakat pesisir
setempat.
Owners: Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata, Dinas
Perdagangan dan Perindustrian, pemerintahan desa dan kecamatan
294

dan instansi terkait lainnya yang berfungsi mengembangkan


masyarakat setempat
Environment: kondisi lingkungan setempat perlu diperhatikan seperti
kebijakan lokal apakah mendukung atau tidak terhadap program
pemberdayaan masyarakat pesisir.
Sebagai sebuah sistem sosial, masyarakat pesisir tentunya
memiliki struktur sosial tertentu, dan dikenalnya status dan peran pada
tiap anggota masyarakat. Strategi komunikasi pembangunan pada
masyarakat bersifat spesifik untuk tiap wilayah, setiap upaya
perubahan perlu mempertimbangkan berbagai faktor seperti masalah
sosial ekonomi, kondisi fisik lingkungan (sumber daya alam), dan
sumber daya manusia secara umum (termasuk agen pembaharu).
Unsur-unsur yang terlibat dalam komunikasi pembangunan berubah-
ubah dan harus diantisipasi secepatnya. Perubahan merupakan proses
alamiah yang tidak bisa dihindari dan harus terjadi pada sesuatu,
individu atau masyarakat sebagai reaksi atau adaptasi pada kondisi
yang dihadapi. Proses perubahan pada masyarakat pesisir dalam
konteks perubahan sosial ke arah yang lebih baik berkaitan dengan
transformasi struktur dan interaksi sosial dari sebuah masyarakat
(Horton & Hunt dalam Garcia 1985) dan merupakan variasi atau
modifikasi dalam pola organisasi sosial atau subkelompok dalam
masyarakat atau pada keseluruhan masyarakat itu sendiri (Panopio,
Cordero, & Raymund dalam Garcia 1985). Dengan demikian, kendala-
kendala yang dihadapi dan masalah yang timbul diantaranya adalah
adanya keinginan untuk mempertahankan status quo (reluctant to
change) oleh sekelompok masyarakat yang dapat mempengaruhi
proses perubahan. Sebagai mana diketahui, dalam teori adopsi-inovasi
ada tahapan yang dilalui jika suatu ide baru diterapkan dan proses itu
merupakan proses mental. Setiap tahap akan memerlukan waktu,
pemikiran dan respon yang berlainan (awareness, interest, trial,
evaluation dan keputusan apakah menolak ataukah menerima inovasi
(pembaharuan ide atau teknologi baru). Guna mengantisipasi hal ini,
maka sangat relevan bagi agen pembaharu untuk menerapkan
pendekatan penyuluhan yang tepat sesuai dengan tahapan komunikasi
yang sedang berlangsung di masyarakat (Gambar 3).

Metode Tahap komunikasi Tahap adopsi


pendekatan

------------------------- Menggerakkan ----------- Adopsi


Usaha
I
---------------------- Meyakinkan ----------- Coba

K ------------------ Membangkitkan ------------ Evaluasi


keinginan

------------------ Menggugah hati ------------ Minat


M
295

------------ Menarik ------------ Sadar


Perhatian

Gambar 3 Kaitan antara metode pendekatan, tahap


komunikasi dan tahap adopsi (Wiriaatmadja, 1973)
Keterangan: I = Individu; K = Kelompok dan M =
Massal

Terdapat tiga pilihan metode pendekatan atau kombinasi


ketiganya yang dapat digunakan dalam pelaksanaan program
ketahanan pangan, yaitu:
1. Pendekatan perorangan, misalnya kegiatan kunjungan perorangan,
konsultasi ke rumah, penggunaan surat atau telpon, dan magang.
2. Pendekatan kelompok, misalnya kursus tani-nelayan, demonstrasi
cara atau hasil, kunjungan kelompok, karyawisata, diskusi
kelompok, ceramah, pertunjukan film, slide, karyawisata,
penyebaran brosur, buletin, folder, liptan, asah terampil,
sarasehan, rembug utama atau madya, temu wicara, temu usaha,
temu karya dan temu lapang.
3. Pendekatan massal seperti pameran, Pekan Nasional (Penas),
Pekan Daerah (Peda), pertunjukan film atau wayang, drama,
penyebaran pesan melalui siaran radio, televisi, surat kabar,
selebaran atau majalah, pemasangan poster atau spanduk dan
sebagainya.

KESIMPULAN
Kondisi masyarakat pesisir dan nelayan di lokasi penelitian
belum terbebas dari persoalan yang dihadapi oleh pelaku usaha kecil
menengah meliputi, akses terhadap aset dan sumber-sumber modal
terbatas, kebutuhan akan penguatan kelembagaan kelompok untuk
pengembangan kapasitas pengelolaan sumber daya pesisir dan laut.
Peran penting komunikasi pembangunan dalam pemberdayaan
masyarakat pesisir adalah menjembatani kesenjangan yang terjadi
antara kondisi masyarakat saat ini dengan kondisi yang ingin dicapai
melalui proses-proses komunikasi yang partisipatif, dialogis dan
memotivasi.
Strategi komunikasi pembangunan untuk wilayah pesisir
hendaknya spesifik lokasi, dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:
(i) Program pembangunan perlu menjaga keseimbangan antara
pembangunan fisik dan non fisik, tidak hanya mengejar pertumbuhan,
tetapi harus menanamkan modal manusia untuk masa depan; (ii)
Pesan-pesan dalam komunikasi pembangunan tersebut ditentukan
berdasarkan kebutuhan masyarakat nelayan dan ditransformasikan
kepada masyarakat melalui metode-metode yang relevan dengan
situasi dan kondisi setempat, (iii) Diperlukan perencanaan yang
matang dalam rancang bangun strategi komunikasi pembangunan,
melibatkan peran serta masyarakat pesisir dan stakeholders terkait
296

dalam proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi hingga tindak lanjut


dan (iv) Sinkronisasi dan koordinasi antar stakeholders terkait dengan
masyarakat pesisir dapat menjamin keberlanjutan program
pembangunan dan mendorong terwujudnya struktur sosio-ekonomi
masyarakat lokal yang kuat.

DAFTAR PUSTAKA
Adnan SBA, Nurul Alam SM, Brustinow A. 1995. Peoples
Participation. NGOs and the Flood Action Plan. Dalam J. N.
Pretty. Regenerating Agriculture. London: Earthscan
Publication Ltd.
Amanah S. 1996. A Learner-Centred Approach to Improve Teaching
and Learning Process in Agricultural Polytechnic in Indonesia.
Thesis. Australia: University of Western Sydney.
Amanah S, Fatchiya A, Dewi S. 2004. Pemodelan Penyuluhan
Perikanan Pada Masyarakat Pesisir Secara Partisipatif. Laporan
Penelitian Hibah Bersaing X. IPB, Bogor.
Amanah S, Yulianto G. 2002. Profil Penyelenggaraan Penyuluhan
Perikanan Menunjang Kinerja DKP di Era Globalisasi. Jakarta:
STP (dulu AUP).
Amanah S. 2007. Kearifan Lokal dalam Pengembangan Komunitas
Pesisir. Bandung: CV. Citra Praya.
Bowling CJ, Brahm BA. 2002. Shaping Communities through Extension
Programs. Journal of Extension, June 2002 Volume 40 Number
3. http://www. joe.org/joe 2002june/a2.html.
Dahuri R. 2000. Pendayagunaan Sumber Daya Kelautan Untuk
Kesejahteraan Rakyat (Kumpulan Pemikiran DR. Ir. Rokhmin
Dahuri, MS). Jakarta: LISPI (Lembaga Informasi dan Studi
Pembangunan Indonesia) bekerjasama dengan DIrektorat
Jenderal Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil, Dep. Eksplorasi
Laut dan Perikanan.
Dinas Kelautan dan Perikanan Buleleng. 2003. Data Perikanan
Kabupaten Buleleng Tahun 2002. Singaraja: Dinas Kelautan dan
Perikanan.
Direktur Jenderal Perikanan, 2000. Visi dan Misi Pembangunan
Perikanan. Jakarta: Dep. Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Donnermeyer, Joseph F, Plested BA, Edwards RW, Oetting G,
Littlethunder L. 1997. Community Readiness and Prevention
Programs. Journal of the Community Development Society,
Vol. 28. No.1: 65-83.
Douglah M, Sicilima N. 1997. A Comparative Study of farmers
Participation in Two Agricultural Extension Approaches in
Tanzania. Journal of International Agricultural and Extension
Education. Volume 4, Number1, Spring 1997
Dube SC. 1976. Development Change and Communication in India.
Dalam Schramm, W dan Lerner, D.(editors). Communication
297

and Change: The Last Ten Years and The Next. Honolulu: An
East-West Center Book, The University Press of Hawaii.
Checkland P. 1984. Systems Thinking, System Practice. Chichester:
John Wiley & Sons.
Garcia MB. 1985. Sociology of Development: Perspective and Issues.
Philippines: National Book Store, Inc.
Hanson AJ. 1984. Coastal Community: International Perspectives.
Paper Presented at the 26 th Annual Meeting of the Canadian
Commission for UNESCO, St Johns Newfoundland, 6 th June
1984.
Harris EM. 1996. The Role of Participatory Development
Communication as a Tool of Grassroots Nonformal Education:
Workshop Report. Dalam Guy Bessette and C.V. Rajasunderam
(Editor). Participatory Development Communication: A West
African Agenda. The International Development Research
Centre: Science for Humanity.
Kemmis, Stephen, Mac.Taggart, Robin. 1988. The Action Research
Planner. Melbourne: Deakin University Press.
Kifli GC. 2007. Strategi Komunikasi Pembangunan pada Komunitas
Dayak di Kalimatan Barat. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol.
25 No. 2, Desember 2007 : 117 125
Mubyarto SL, Dove M. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Jakarta:
Rajawali.
Nasution Z. 2002. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan
Penerapannya. Edisi Revisi. Jakarta: Divisi Buku Perguruan
Tinggi PT RajaGrafindo Persada.
Nikijuluw V. 2002. Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan.
Jakarta: Kerjasama Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan
Regional (P3R) dengan PT Pustaka Cidesindo.
Payne M. 1997. Modern Social Work Theory. Edisi Kedua. London:
MacMillan Press Ltd.
Pretty JN. 1995. Regenerating Agriculture. London: Earthscan
Publication.
Rogers EM. 1994. The Diffusion Process. Edisi Keempat. New York:
The Free Press.
Satria A. 2000. Dinamika Modernisasi Perikanan, Formasi Sosial dan
Mobilitas Nelayan. Humaniora Utama Press, Bandung.
________. 2001. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT Pustaka
Cidesindo.
Shumsky A. 1988. Cooperation in Action Research: A Rationale.
Dalam Kemmis, S dan R. McTaggart (eds). The Action Research
Reader. Victoria, Melbourne: Deakin University Press.
Simpson I. 1993. Rural Extension A Change in Emphasis.
Proceedings of the Workshop: Defining/redefining Extension
Practice Science LeadersGroup. Goulburn: NSW Agriculture.
298

Soediyanto. 1997. Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu


(SLPHT) sebagai Salah Satu Alternatif model Penyuluhan untuk
Mendukung Pembangunan Pertanian di Awal Datangnya
Millenium Baru. Presentasi Pertemuan Penyegaran Pemandu
Lapangan. Malang: Univ. Brawijaya.
Van den Ban AW, Hawkins HS. 1989. Agricultural Extension. London:
Elsevier.
Waskita D. 2005. Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan.
Jurnal Organisasi dan manajemen. Vol 1. No. 1, September
2005.
299

STRATEGI OPTIMALISASI KINERJA PEMBERDAYAAN


MASYARAKAT MELALUI PENINGKATAN MUTU HUBUNGAN
INTERPERSONAL

Budhi Waskito4

ABSTRACT
Community empowerment is one of program that implemented by government to
alleviate the poverty in Indonesia. The meaning of community empowerment is
interpreted in many terms so making the performance of community empowerment
program is not optimal. The objective of this paper are to (1) analyze the role of
interpersonal relationship to optimalize the performance of community empowerment
program; (2) analyze strategy for improving the quality of interpersonal relationship in
order to optimalize the performance of community empowerment. The result of this
analysis shows that the top-down pattern of community empowerment must be
redesign because the interpersonal relationship is not accomodated. The interpersonal
relationship between goverment and community is a key factor to optimalize the
performance of community empoverment program. Strategy to optimalize the
performance of community empowerment through improving the quality of
interpersonal relationship can be implemented by using the combination between
factor that can rise interpersonal relationship (culture, social, and economic) with
communication contex (trust supportiveness, and open-mindedness). To prefer the
appropriate strategy, government must consider many factors that are reward, cost,
benefit, and comparation level that be accepted by community.

Key words: community empowerment, interpersonal relationship, top down, strategy


for improving the quality of interpersonal relationship

PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan suatu fenomena di Indonesia yang
hingga saat ini belum mampu diatasi sehingga membuat bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang lemah dan tidak bermartabat. Selain
itu, bukan rahasia lagi jika salahsatu penghambat daya saing bangsa
ini terletak pada masalah kemiskinan.
Berbagai program pemberdayaan masyarakat telah
dilaksanakan pemerintah sebagai upaya menanggulangi kemiskinan,
diantaranya adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program
Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE),
Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak
(PKPSBBM), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Proyek Peningkatan
Masyarakat Pesisir (P4K), dan Kelompok Usaha Bersama (Kube).
Program pemberdayaan yang terbaru adalah Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Dengan adanya program
pemberdayaan ini ditargetkan tingkat kemiskinan di Indonesia pada
tahun 2015 menjadi hanya 7,55 persen (Widi 2007).
Meskipun berbagai program telah dilaksanakan, namun masalah
kemiskinan di Indonesia belum dapat terpecahkan. Bahkan, beberapa
kebijakan pemerintah, seperti menaikkan harga BBM dan beras, justru

4 Dosen Universitas Bandar Lampung (budhi.waskito@yahoo.co.id)


300

menambah panjang daftar masyarakat miskin. Dengan demikian dapat


dikatakan bahwa berbagai program pemberdayaan di Indonesia belum
dapat berjalan secara optimal.
Tidak optimalnya pelaksanaan berbagai program pemberdayaan
masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan pada dasarnya terjadi
karena adanya penyimpangan dalam memahami dan menjalankan
program pemberdayaan masyarakat. Widiputranti et al. (2005)
mengemukakan beberapa penyimpangan dalam memahami dan
menjalankan pemberdayaan di Indonesia, diantaranya adalah: (1)
pemberdayaan ditempuh pemerintah untuk mengubah masyarakat
dengan argumen bahwa problem terletak pada diri masyarakat bukan
problem yang bersifat struktural; dan (2) pemberdayaan tidak
dijalankan sebagai bentuk pembelajaran dan kemitraan bersama antar
subyek, tetapi ada penempatan posisi pemerintah sebagai subyek
(yang memberdayakan) dan masyarakat sebagai obyek (yang
diberdayakan).
Terjadinya penyimpangan dalam memahami dan menjalankan
program pemberdayaan seperti tersebut di atas mengindikasikan
bahwa proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam
program pemberdayaan masyarakat (pembangunan) dilakukan dari
atas ke bawah 'top down'. Masyarakat diikutkan tanpa diberikan pilihan
dan kesempatan untuk memberi masukan sehingga kurang
bertanggungjawab terhadap program dan keberhasilannya. Sebagai
akibatnya adalah program pemberdayaan yang dilaksanakan kadang-
kadang tidak sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masyarakat.
Bahkan bantuan yang diberikan justru menciptakan ketergantungan
yang pada gilirannya akan lebih menyusahkan masyarakat daripada
menolongnya.
Mengingat pemberdayaan masyarakat merupakan suatu
kegiatan pembangunan (perubahan sosial), maka pemberdayaan
masyarakat harus dilaksanakan dengan partisipasi yang luas dalam
suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk kemajuan sosial dan
material untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang
mereka peroleh terhadap lingkungan mereka (Rogers 1983) dalam
(Nasution 2004). Oleh karena itu, pemerintah sebagai agen perubahan
sosial harus melaksanakan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan
tahapan yang benar. Langkah dalam mengoptimalkan kinerja
pemberdayaan masyarakat secara teoritis dapat dilakukan dengan
mengikuti langkah sebagaimana tersaji pada Gambar 1.
301

Membina hubungan

Mendiagnosis (keluhan, permasalahan, tujuan, dan lain-lain)

Mendapatkan sumber-sumber yang relevan

Memilih pemecahan

Memperoleh penerimaan

Menjaga kestabilan dan membangkitkan kemampuan

Sumber: Havelock (1973)


Gambar 1 Langkah agen perubahan dalam perubahan sosial (pemberdayaan
masyarakat)

Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa mutu hubungan


interpersonal antara agen perubahan dan masyarakat dalam
pemberdayaan masyarakat merupakan kunci utama agar kinerja
pemberdayaan masyarakat dapat berjalan secara optimal. Namun
demikian, terdapat beberapa permasalahan yang harus dijawab
berkaitan dengan hubungan interpersonal dalam pemberdayaan
masyarakat, yaitu:
1. Bagaimanakah peranan hubungan interpersonal dalam
mengoptimalkan kinerja pemberdayaan masyarakat ?
2. Bagaimanakah strategi yang harus dilakukan untuk meningkatkan
mutu hubungan interpersonal dalam rangka mengoptimalkan
kinerja pemberdayaan masyarakat?

TINJAUAN TEORITIS
Berdasarkan persinggungan dan saling menggantikannya
pengertian community development dan community empowerment,
secara sederhana, Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai
pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk
memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan
dan mengelola sumber daya lokal yang dimiliki melalui collective
action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki
kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi dan sosial.
Pemberdayaan masyarakat dapat dikatakan sebagai suatu
perubahan sosial yang terjadi karena adanya ide baru dari pembawa
ide (innovator) yang ditujukan kepada sasaran (recipients). Ide baru
tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengubah pola tradisional ke
arah yang lebih efisien. Rencana perubahan (pemberdayaan
masyarakat) akan berhasil optimal apabila terjadi integrasi antara ide
(dibuat dalam suatu rencana) dengan masyarakat. Dalam
302

mengoptimalkan kinerja pemberdayaan masyarakat terdapat dua hal


yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, usaha dan teknik yang
dilakukan inovator untuk meyakinkan sasaran (recipients) akan ide
baru (action of innovator) dan kedua, perilaku recipients terhadap
inovasi yang ditawarkan (reaction of recipients) (Gambar 2).

(Idea)

PLAN
Action of Innovator Reaction of Recipients

INTEGRATION

Gambar 2 Proses inovasi dalam pemberdayaan masyarakat (Niehof

1966)

Havelock (1973) mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan


perubahan sosial (pemberdayaan masyarakat) terdapat enam langkah
yang harus dilakukan agar pemberdayaan masyarakat dapat berjalan
dengan optimal. Dari enam langkah tersebut, membina hubungan
dengan masyarakat merupakan langkah pertama yang sangat
menentukan langkah berikutnya (Gambar 1).
Rakhmat (2003) menyatakan bahwa peningkatan mutu
hubungan interpersonal ke arah yang lebih akan mengakibatkan
berbagai hal yang sangat positif sehingga sangat penting dalam
mengoptimalkan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Akibat
positif yang ditimbulkan dari makin meningkatkatnya mutu hubungan
interpersonal tersebut adalah: (1) makin terbukanya orang untuk
mengungkapkan dirinya; (2) makin cermat persepsinya tentang orang
lain dan persepsi dirinya; dan (3) makin efektifnya komunikasi yang
berlangsung diantara komunikan (agen perubahan dan masyarakat
sasaran).
Dalam menumbuhkan atau meningkatkan mutu hubungan
interpersonal terdapat tiga faktor penting yang harus diperhatikan oleh
agen perubahan (innovator), yaitu:
1. Percaya (trust), yaitu mengandalkan perilaku orang untuk mencapai
tujuan yang dikehendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan
dalam situasi yang penuh resiko (Giffin 1967 dalam Rakhmat 2003).
2. Sikap suportif (supportivenes), sikap yang mengurangi sikap
defensif dalam komunikasi. (Gibb 1961 dalam Rakhmat 2003)
menyebut enam perilaku yang menimbulkan sikap suportif, yaitu:
deskripsi, orientasi masalah, spontanitas, empati, persamaan, dan
profesionalisme.
303

3. Sikap terbuka (open-mindedness), yaitu sikap yang berpengaruh


besar dalam menumbuhkan komunikasi interpersonal yang efektif.
Karakteristik sikap terbuka (Brooks dan Emmert 1977 dalam
Rakhmat 2003) adalah (1) menilai pesan secara obyektif; (2)
membedakan dengan mudah; (3) beroritensi pada isi; (4) mencari
informasi dari berbagai sumber; (5) lebih bersifat profesional dan
bersedia mengubah kepercayaannya dan (6) Mencari pengertian
pesan yang tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaannnya.
Model pertukaran sosial (social exchange model) merupakan
salah satu model yang digunakan dalam menganalisa hubungan
interpersonal. Model ini memandang bahwa hubungan interpersonal
sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang
lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya.
Thibault & Kelley dalam Rakhmat (2003) menyatakan bahwa
asumsi dasar yang mendasari analisis model pertukaran sosial adalah
bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam
hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan
ditinjau dari segi ganjaran dan biaya. Bila seseorang individu merasa
tidak memperoleh laba sama sekali dalam suaut hubungan
interpersonal, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan
laba. Dalam model pertukaran sosial terdapat empat konsep pokok,
yaitu:
1. Ganjaran, yaitu setiap akibat positif yang diperoleh dari suatu
hubungan.
2. Biaya, yaitu setiap akibat negatif yang terjadi dalam suatu
hubungan.
3. Hasil atau laba, yaitu ganjaran dikurang dengan biaya.
4. Tingkat perbandingan, yaitu ukuran baku (standar) yang dipakai
sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu
sekarang.

PERANAN HUBUNGAN INTERPERSONAL DALAM OPTIMALISASI


KINERJA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Kinerja berbagai program pemberdayaan masyarakat di
Indonesia yang belum secara optimal mampu mengentaskan
kemiskinan mengindikasikan bahwa pola pemberdayaan masyarakat
yang bersifat top down perlu dikaji ulang. Partisipasi masyarakat
secara luas dalam pemberdayaan merupakan suatu hal yang pantas
untuk dilakukan dengan jalan membuka komunikasi dua arah antara
masyarakat dengan pemerintah.
Dengan adanya komunikasi dua arah antara pemerintah dan
masyarakat, maka pemberdayaan masyarakat akan dapat berjalan
dengan optimal (sesuai dengan rencana yang telah disusun) karena
terjadi integrasi antara masyarakat dan pemerintah. Kondisi ini akan
dapat terwujud apabila mutu hubungan interpersonal antara
pemerintah dan masyarakat sangat baik.
Pola pemberdayaan masyarakat di Indonesia yang selama ini
dilakukan secara top down dipastikan telah mengabaikan mutu
304

hubungan interpersonal antara masyarakat dan pemerintah. Oleh


karena itu, maka sangat wajar apabila dalam pemberdayaan
masyarakat di Indonesia selama ini tidak terjadi integrasi antara
masyarakat dengan pemerintah (kinerja pemberdayaan masyarakat
tidak optimal).
Berkaitan dengan hal tersebut, mutu hubungan interpersonal
antara pemerintah dan masyarakat merupakan kunci utama dalam
mengoptimalkan kinerja pemberdayaan masyarakat. Hal ini dapat
terjadi karena membina hubungan (penumbuhan hubungan
interpersonal) merupakan langkah pertama yang dapat menentukan
kinerja (keberhasilan atau kegagalan) dari langkah pemberdayaan
masyarakat (perubahan sosial) selanjutnya (Gambar 1).
Dengan demikian, maka dalam setiap program pemberdayaan
masyarakat, peningkatan mutu hubungan interpersonal (antara
pemerintah sebagai innovator dan masyarakat sebagai recipients)
merupakan hal utama yang harus dilakukan karena berpotensi dalam
mengoptimalkan kinerja pemberdayaan masyarakat secara
berkelanjutan.

STRATEGI PENINGKATAN MUTU HUBUNGAN INTERPERSONAL


Dalam The first World Congress on Communication for
Development pada 2006 dinyatakan bahwa komunikasi adalah
kontekstual. Tidak ada satu pun pedoman komunikasi yang dapat
diaplikasikan dalam semua situasi. Oleh karena itu maka komunikasi
seharusnya diaplikasikan sesuai dengan konteks budaya, sosial, dan
ekonomi. Berdasarkan pengertian komunikasi pembangunan tersebut
dapat dipahami bahwa peningkatan mutu hubungan interpersonal
dapat dilakukan dengan berbagai macam strategi tergantung dari
konteksnya.
Peningkatan mutu hubungan interpersonal dalam setiap konteks
komunikasi (budaya, sosial dan ekonomi) akan dapat berjalan dengan
optimal apabila memperhatikan faktor-faktor yang dapat
menumbuhkan hubungan interpersonal (percaya, sikap suportif, dan
sikap terbuka). Dengan kata lain strategi peningkatan mutu hubungan
interpersonal dapat dilakukan dengan mengkombinasikan antara
konteks yang terjadi dengan faktor yang dapat menumbuhkan
hubungan interpersonal. Dengan demikian, maka peningkatan mutu
hubungan interpersonal (antara pemerintah sebagai innovator dan
masyarakat sebagai recipients) dapat dilakukan dalam sembilan pilihan
strategi (Tabel 1).

Tabel 1 Strategi peningkatan mutu hubungan interpersonal


untuk mengoptimalkan kinerja pemberdayaan
masyarakat
Konteks Komunikasi Faktor Yang Menumbuhkan Hubungan Interpersonal
305

(Interpersonal Relationship)
Sikap Suportif
Percaya Sikap Terbuka
(Contex) (Supportivenes
(Trust) (Open-Mindedness)
)
-IT- -IO-
-IS-
Budaya (Cultural) Strategi 1: Strategi 2: Strategi 3:
-CC- CC IT CC IS CC IO
Sosial (Social) Strategi 4: Strategi 5: Strategi 6:
-CS- CS IT CS IS CS IO
Ekonomi (Economic) Strategi 7: Strategi 8: Strategi 9:
-CE- CE IT CE IS CE IO

Optimalisasi kinerja pemberdayaan masyarakat melalui


peningkatan mutu hubungan interpersonal pada dasarnya dapat
dilakukan dengan melakukan sembilan strategi seperti tersaji pada
Tabel 1. Namun demikian, agar terjadi efisiensi dalam hal waktu dan
biaya, maka innovator (pemerintah) pemberdayaan masyarakat harus
memilih strategi yang tepat dan sesuai dengan sasarannya.
Mengingat hubungan interpersonal dapat dipandang sebagai
suatu transaksi dagang (model pertukaran sosial), pemilihan strategi
yang tepat dari sembilan strategi pada Tabel 1 dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan potensi yang timbul dilihat dari berbagai segi
(ganjaran, biaya, manfaat, dan tingkat perbandingan) yang diterima
oleh masyarakat dari masing-masing strategi.
Oleh karena masyarakat mengharapkan sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhannya dari setiap hubungan interpersonal yang
dilakukan, maka innovator (pemerintah) sebaiknya memilih strategi
peningkatan hubungan interpersonal yang dapat memberikan manfaat
(ganjaran dikurangi biaya) yang paling besar bagi masyarakat dalam
mengoptimalkan kinerja pemberdayaan masyarakat.

KESIMPULAN
1. Hubungan interpersonal memiliki peran yang sangat penting
(sebagai kunci utama) dalam mengoptimalkan kinerja
pemberdayaan masyarakat karena dapat mewujudkan
pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan.
2. Strategi peningkatan mutu hubungan interpersonal dapat dilakukan
dalam berbagai konteks (budaya, sosial dan ekonomi) dengan
menggunakan berbagai faktor yang dapat menumbuhkan
hubungan interpersonal (percaya, sikap suportif dan sikap terbuka).
3. Pemerintah harus mempertimbangkan berbagai hal (ganjaran,
biaya, manfaat dan tingkat perbandingan) yang diterima
306

masyarakat dalam memilih strategi peningkatan mutu hubungan


interpersonal yang tepat.
4. Strategi peningkatan mutu hubungan interpersonal yang
memberikan manfaat (ganjaran dikurangi biaya) terbesar dapat
dipilih pemerintah sebagai strategi yang digunakan dalam
mengoptimalkan kinerja pemberdayaan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Havelock RG. 1973. The Change Agensts Guide to Innovation in
Education. Englewood Clifs. NJ: Educational Technology
Publications.
Nasution Z. 2004. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan
Penerapannya. Edivis Revisi. Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada.
Niehof AH. 1966. A Casebook of Social Change. Chicago: Aldine
Publishing Company.
Rakhmat J. 2003. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Supriyanto, Subejo. 2004. Harmonisasi Pemberdayaan Masyarakat
Pedesaan Dengan Pembangunan Berkelanjutan. Buletin Ekstensia-
Pusat Penyuluhan Pertanian Deptan RI Vol 19/Th XI/2004.
Widi N. 2007. Mencermati Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM). Jawa Pos, Selasa 22 Mei 2007.
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=286347
Widiputranti CS, Hardjono, Hartono, Hastowiyono, Darori M,
Ruswahyuningsih, Tiurmida N, Dorojati R, Angeningsih R,
Sumarjono, Anadarsih WM. 2005. Pemberdayaan Kaum Marjinal.
Yogyakarta: APMD Press.
307
308

REVITALISASI RADIO PERTANIAN CIAWI (RPC) SEBAGAI


PUSAT INFORMASI PEMBANGUNAN PERTANIAN

Retno Sri Hartati Mulyandari5, Amiruddin Saleh6, Dadan7

ABSTRACT
Information Center for Rural Development (Pusat informasi pembangunan perdesaan-
PIPP) is one of the institutions for developing the network collaboration with
government institutions, private, and Non Government Organizations related in rural
and agricultural development. PIPP is expected to develop the social networking
within target audiences, especially for productive message intentions enforcement. It
is such as appropriate knowledge information that has been translated from science
institutions source. As a radio broadcasting that focusing on educated information
services for communities, farmers especially, Radio Pertanian Ciawi (RPC) that was
developed by Agricultural Management and Leadership Training Center, Indonesian
Agency for Human Resource Development, Ministry of Agricultural (Pusat Pelatihan
Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian, Badan SDM, Deptan) is not pure as a
commercial radio broadcasting. RPC revitalization is needed for facing the RPC
development as an ideal PIPP and multifunctional for supporting the each aspects of
agribusiness chain. This revitalization activities are: a) Proposing the RPC as a leader
or information source of improving the human resource development of farmers
community and radio broadcast legality application (Ijin Siaran Radio ISR) to Dirjen
Postel; b) Developing the PIPP-RPC management through organization completion and
human resource development professionally; c) Revitalizing the RPC services through:
providing information and promoting products, documenting and managing the
agricultural information and other related information supporting the agribusiness
activities, facilitating the interpersonal approach for information access and technical
consultation, and improving the agribusiness player capabilities in supporting the
agricultural information access and management both manually and information
technology application.

Key words:Rural development information center, agricultural radio broadcasting,


agricultural information, communication for development, revitalization,
agricultural information dissemination

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Begitu banyak hasil penelitian bidang pertanian yang telah dan
sedang dilaksanakan, serta akan terus ada di masa depan, di dalam
maupun di luar negeri. Hasil penelitian bidang pertanian yang berupa
informasi pertanian baik dalam hal teknik produksi dan pemasaran
pada hakekatnya adalah untuk memperbaiki atau memecahkan
masalah yang ada dalam bidang pertanian. Informasi tersebut bukan
hanya sekedar konsumsi bagi para peneliti lain untuk dijadikan bahan
acuan, akan tetapi jauh ke depan adalah untuk para petani, terutama

5 Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian


6 Departemen Sains Komunikasi Pembangunan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor

7 Pusat Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian-Ciawi, Badan SDM, Deptan


309

untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya, yang pada


akhirnya juga untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh umat
manusia. Demikian halnya informasi pasar pertanian telah dihimpun
dan dipublikasikan secara umum kepada masyarakat dengan berbagai
media. Namun demikian, informasi hasil penelitian pertanian dan
informasi pasar tersebut pada kenyataannya belum mencapai sasaran
utamanya, yaitu para petani (Mulyandari 2005).
Pusat informasi pembangunan perdesaan (PIPP) merupakan
salahsatu wadah bagi implementasi pengembangan jaringan kerja
sama dengan lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan LSM yang
terkait dalam pembangunan pertanian dan perdesaan. PIPP
diharapkan dapat mengembangkan jaringan sosial di kalangan
khalayak yang hendak dicapai, terutama untuk maksud-maksud
enforcement pesan-pesan produktif. Pesan tersebut di antaranya
adalah informasi pengetahuan terapan yang telah diterjemahkan dari
sumbernya (lembaga ilmiah). Seberapa besar PIPP mampu menjadi
lembaga yang sesuai untuk menyampaikan informasi bidang
pertanian yang dibutuhkan oleh petani sebagai pengguna akhir
sekaligus penghimpun umpan balik bagi pembangunan pertanian
masih perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut.

Perumusan Masalah
Radio Pertanian Ciawi (RPC) merupakan salahsatu radio
pertanian yang berada di Kabupaten Bogor dan memiliki program yang
menitikberatkan pada penyampaian informasi pembangunan
pertanian. RPC diharapkan mampu menjadi salahsatu Pusat Informasi
Pembangunan Pertanian khususnya bagi masyarakat Kabupaten Bogor.
Seberapa besar RPC mampu menjadi lembaga semacam PIPP dan
bagaimana peluang dalam pengembangannya lebih lanjut agar
memenuhi kriteria PIPP yang ideal bagi masyarakat pertanian?

Tujuan
Tujuan kajian ini secara umum adalah untuk memahami peran
Pusat Informasi Pembangunan Perdesaan mendukung pembangunan
pertanian dalam implementasinya pada Radio Pertanian Ciawi sebagai
Pusat Informasi Pembangunan Pertanian (PIPP) yang ideal. Secara
khusus, tujuan makalah ini adalah:
1. Mempelajari konsep Pusat Informasi Pembangunan Pertanian
ideal;
2. Menganalisis peran, khalayak layanan, tujuan dan prioritas
program RPC, sistem distribusi materi RPC, dan evaluasi
performance RPC sebagai PIPP;
3. Merumuskan rekomendasi untuk revitalisasi Radio Pertanian Ciawi
Bogor sebagai Pusat Informasi Pembangunan Pertanian Ideal.

KONSEP PUSAT INFORMASI PEMBANGUNAN PERTANIAN (PIPP)


310

Dasar pertama dalam sistem pengembangan dan penyebaran


informasi teknologi pertanian adalah menyiapkan sistem yang efektif
dalam penciptaan teknologi/pengetahuan oleh lembaga penelitian
pertanian dengan sistem penyebarannya (delivery system) dan aplikasi
teknologi tersebut di tingkat lapangan (pengembangan atau
penyebarannya (Lionberger & Gwin 1982). Secara spesifik, sistem
tersebut menyiapkan mekanisme penemuan dan pengembangan
ilmu/teknologi baru, proses adaptasinya di tingkat lapangan dan
penyebarannya di tingkat petani.
Teknologi pertanian adalah segala sesuatu yang dihasilkan
melalui kegiatan penelitian dan pengkajian pertanian untuk membantu
pengembangan pertanian secara umum. Secara umum, teknologi
(inovasi) pertanian dapat berupa produk (varietas benih), pengetahuan
(knowledge), maupun alat dan mesin pertanian. Tiga jenis teknologi
pertanian ini memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga
membutuhkan penanganan strategi penyampaiannya kepada petani
dengan tahapan dan teknik yang berbeda pula (IRRI 1998).

Testing dan evaluasi Produksi lokal


Alsintan Prototipe

Varietas benih Uji coba di lapangan


Penyebaran dan multiplikasi benih

ADOPSI OLEH PETANI


PENELITIAN

Pelaksanaan diseminasi teknologi pertanian


Pengetahuan

Sintesis dan distilling Evaluasi secara partisipatif oleh petani


Penyederhanaan

Gambar 1 Langkah - langkah/tahapan dari kegiatan diseminasi


teknologi pertanian mulai dari dihasilkannya inovasi
pertanian sampai diadopsi oleh petani (Diadaptasi
dari: IRRI. Bridging the Knowledge Systems of Rice
Scientists and Farmers. Crop and Resource
Management Network-CREMNET 1998)
311

Lamanya waktu yang dibutuhkan petani dalam proses adopsi


antara lain dipengaruhi oleh jenis inovasi/teknologi yang diintroduksi.
Untuk jenis inovasi berupa alsintan, model penyebarannya yang perlu
dikembangkan cukup sederhana, yaitu alsintan yang akan
diintroduksikan dibuat prototipenya. Selanjutnya, dilakukan pengujian
(testing dan evaluasi), termasuk pengujian pengoperasian Alsintan di
tingkat lapang. Adapun introduksi untuk jenis inovasi berupa
pengetahuan (teknologi produksi, prosedur/cara, sistem pemasaran,
model kelembagaan, analisis kebijakan) perlu dilakukan tahapan yang
lebih panjang dan kompleks, karena inovasi yang dihasilkan dari
lembaga penelitian biasanya masih sangat ilmiah. Model penyebaran
untuk jenis inovasi ini dinilai lebih kompleks dibandingkan dengan dua
model penyebaran untuk jenis inovasi yang berupa produk dan
Alsintan. Setelah melalui tahapan sintesis, masih perlu dilakukan
tahap penyederhanaan dan evaluasi, dimana pengguna diikutsertakan
dalam proses evaluasi. Untuk mempercepat adopsi inovasi oleh petani
dilakukan dengan menggunakan berbagai metode dan media
komunikasi yang sesuai dengan latar belakang calon penggunanya.
Keterbatasan beberapa aspek pada petani akan berpengaruh
terhadap proses pengambilan keputusan dalam penentuan teknologi
yang akan diterapkan petani. Rendahnya tingkat kekosmopolitan atau
kemampuan petani untuk membuka diri terhadap suatu
pembaharuan dan atau informasi yang berkaitan dengan unsur
pembaharuan juga semakin memperburuk kondisi petani dalam
membuat keputusan untuk menolak atau menerima inovasi. Hal ini
akan bermuara pada rendahnya pendapatan dan keadaan usahatani
yang sulit berkembang.
Dengan demikian, dalam bidang pengembangan pertanian,
akses terhadap informasi pasar dan teknologi pertanian menjadi hal
yang sangat penting demi kelangsungan usahatani yang dilaksanakan.
Informasi yang dibutuhkan oleh petani merupakan informasi yang telah
matang yang bermanfaat bagi petani untuk peningkatan
kesejahteraannya. Pengembangan pusat-pusat informasi bidang
pertanian (PIPP) di lokasi yang stretegis dengan pemanfaatan berbagai
media yang mampu menjembatani antara penghasil atau sumber
teknologi dengan pengguna akhir merupakan salahsatu pemecahan
permasalahan dalam meningkatkan efektivitas pembangunan
pertanian.
Untuk menjembatani lembaga penelitian dan pengembangan
bidang pertanian sebagai penghasil teknologi pertanian dan informasi
pasar dengan pelaku usahatani di perdesaan, perlu dikembangkan
suatu lembaga yang menanganinya secara khusus. Pusat Informasi
Pembangunan Perdesaan (PIPP) merupakan salahsatu lembaga
potensial yang ditujukan untuk menangani penyebaran informasi
pengetahuan kepada khalayak penduduk perdesaan yang sebagian
besar masyarakat pertanian. Pada hakekatnya, PIPP merupakan
lembaga komunikasi yang membantu lembaga-lembaga riset ataupun
sumber-sumber lainnya untuk mengolah lebih lanjut informasi yang
312

dihasilkan agar menjadi lebih jelas dan dapat dipahami oleh khalayak
yang dituju dan menyebarkan informasi tersebut pada saat yang tepat.
Terdapat beberapa tipe kelembagaan (organisasi) yang dibentuk
sebagai PIPP, diantaranya adalah:
1. PIK dari World Bank yang ditawarkan untuk membuat TV/Radio/Pers
komunitas sebagai pusat informasi komunitas yang berbentuk
badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu,
independen, tidak komersial, luas jangkauan terbatas, serta untuk
melayani kepentingan komunitasnya, untuk mendidik dan
mensejahterakan dan melaksanakan program acarayang meliputi
budaya, pendidikan, informasi yang menggambarkan identitas
bangsa;
2. PIPP yang merupakan bagian dari universitas dan juga memiliki
basis data;
3. PIPP yang difasilitasi oleh PEMDA, baik di tingkat kabupaten
maupun di tingkat kecamatan dan memiliki basisdata;
4. PIPP yang merupakan forum warga yang beberapa di antaranya
memiliki jaringan internet;
5. PIPP yang merupakan bentukan lembaga ilmiah di tingkat Pusat
secara mandiri maupun bekerjasama dengan lembaga donor,
misalnya ADB maupun UNDP.
Sebagai lembaga komunikasi, PIPP harus mampu melakukan
perubahan sosial bagi masyarakat. Hal ini sebagaimana dinyatakan
oleh Schramm (1964), bahwa tugas pokok komunikasi dalam suatu
perubahan sosial untuk pembangunan nasional, yaitu:
1. Menyampaikan informasi tentang pembangunan nasional kepada
masyarakat agar dapat memusatkan perhatian pada kebutuhan
akan perubahan, kesempatan dan cara mengadakan perubahan,
sarana-sarana perubahan, dan membangkitkan aspirasi nasional.
2. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil
bagian secara aktif dalam proses pembuatan keputusan,
memperluas dialog agar melibatkan semua pihak yang membuat
keputusan mengenai perubahan, memberi kesempatan kepada para
pemimpin masyarakat untuk memimpin dan mendengarkan
pendapat rakyat kecil, serta menciptakan arus informasi yang
berjalan lancar dari bawah ke atas.
3. Mendidik tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan yang
mendukung proses untuk mengubah hidup masyarakat.
Berdasarkan pengertian dan batasan yang terkait dengan PIPP,
maka secara umum tujuan PIPP adalah:
1. Menjembatani lembaga riset dengan masyarakat lokal,
2. Menghubungkan masyarakat dengan sumber informasi,
3. Melakukan interpretasi terhadap hasil-hasil riset agar dapat
dipahami oleh petani,
4. Melayani kepentingan komunitasnya, dan
5. Mendidik dan mensejahterakan rakyat.
Dalam menjalankan perannya, PIPP harus memiliki program
yang jelas yang dapat disampaikan pada khalayak. Kata program
313

berasal dari Bahasa Inggris programme atau program yang berarti


acara atau rencana. Morissan (2008) menyatakan bahwa Undang-
Undang Penyiaran Indonesia tidak menggunakan kata program untuk
acara tetapi menggunakan istilah siaran yang didefinisikan sebagai
pesan atau rangkaian pesan yang disajikan dalam berbagai bentuk.
Namun kata program lebih sering digunakan dalam dunia penyiaran
di Indonesia dari pada kata siaran untuk mengacu kepada pengertian
acara. Program adalah segala hal yang ditampilkan stasiun penyiaran
untuk memenuhi kebutuhan audiennya. Program dapat dianalogikan
dengan produk atau barang (goods) atau pelayanan (services) yang
dijual atau diberikan kepada pihak lain (audien dan mitra).
Menurut Morissan (2008), bagian program yang baik terdiri atas
orang-orang yang telah belajar untuk mengukur selera atau cita rasa
publik. Bagian pengelola program siaran harus mempertimbangkan
empat hal ketika merencanakan program, yaitu sebagai berikut.
1. Product, artinya materi program yang dipilih harus bagus dan
diharapkan akan disukai audien yang dituju.
2. Price, artinya biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi dan
melaksanakan program.
3. Place, artinya kapan waktu yang tepat bagi pelaksanaan program.
4. Promotion, artinya bagaimana memperkenalkan dan kemudian
menjual program agar menarik mitra untuk kerja sama yang
menguntungkan.

METODOLOGI
Kajian dilakukan terhadap berbagai aspek penting terkait
dengan PIPP dan peluangnya dalam melakukan Revitalisasi Radio
Pertanian Ciawi sebagai Pusat Informasi Pembangunan Pertanian yang
ideal. Data yang dihimpun adalah data sekunder dari implementasi
pusat informasi pembangunan pertanian, studi literatur dari beberapa
text book, jurnal dan makalah baik secara tercetak maupun elektronis
(online). Untuk melengkapi data dan memperkuat analisis, dilakukan
kunjungan lapangan ke Radio Pertanian CiawiRPC pada tanggal 23
dan 24 Oktober 2008. Data primer diperoleh dari hasil diskusi langsung
dengan pengelola RPC dan pejabat struktural terkait dalam bentuk
focuss group discussion dalam tiga sesi yang diatur berdasarkan
tingkatan manajerial.
Analisis data dilakukan dengan mempelajari konsep dan
kerangka teori pengembangan pusat informasi pembangunan
pertanian yang diimplementasikan dalam suatu kasus Pusat Informasi
Pembangunan Pertanian, yaitu pada Stasiun Radio Pertanian Ciawi.

HASIL KAJIAN
Radio Pertanian Ciawi (RPC)
Ide untuk mendirikan lembaga penyiaran informasi pertanian
berawal dari dilaksanakannya hearing antara pihak Deptan dengan
Komisi IV DPR pada Juli 2003 yang salahsatunya memunculkan topik
314

perlunya media informasi elektronik untuk menyampaikan program


Deptan kepada stakeholder. Pada tanggal 19 Februari 2004, RPC
sudah mulai mengudara yang merupakan program top down dari
Deptan. Pada awalnya RPC berdiri sebagai radio komunitas (radio
dengan jangkauan 2,5 km di frekuensi 107,7) dengan ijin Dishub dan
non komersial. Keadaan ini kurang disetujui oleh Deptan karena
Deptan berkeinginan agar RPC dapat menjangkau wilayah yang luas.
Sejalan dengan UU No. 32 tahun 2004 yang diberlakukan efektif tahun
2005 tentang penyiaran terdapat perubahan bahwa lembaga
penyiaran pemerintah yang boleh mengudara hanya RRI.
RPC berada di kawasan Puncak Bogor, tepatnya di Jl. Raya
Puncak KM 11; Jl. Pertanian PO Box 26 Ciawi Bogor 16720. Gedung
RPC terletak di Komplek Mega di lingkungan Kantor Pusat Pelatihan
Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian (PPMKP), Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia, Departemen Pertanian.

Khalayak RPC
Khalayak atau audien media dapat diartikan sebagai
sekumpulan orang yang menjadi pembaca, pendengar, pemirsa
berbagai media, atau komponen isinya (McQuail 1987). Khalayak
potensial RPC berada di wilayah jangkauan RPC yaitu meliputi: Kota
Bogor dan Kabupaten Bogor sampai di beberapa wilayah di Sumatera
(Lampung dan Palembang) pada saat penggunaan frekuensi AM.
Secara umum, target audien siaran RPC yang menjadi khalayak
potensial adalah petani dan keluarganya (petani, pemuda tani dan
wanita tani), generasi muda perdesaan, LSM (lembaga
kemasyarakatan), lembaga pemerintah, pengusaha agribisnis,
penyuluh pertanian, pertugas pertanian, widyaiswara, tenaga
fungsional lainnya, serta masyarakat lain yang memiliki perhatian
terhadap bidang pertanian.
Khalayak aktual adalah khalayak yang sudah menggunakan
media yang dikuasainya untuk mendengarkan/nonton siaran yang
dipancarkan dari sebuah stasiun radio/tv. Besarnya khalayak aktual
ditunjukkan oleh percentage of tune-in, yaitu: jumlah radio yang
sedang disetel ataupun rumahtangga yang menggunakan tv untuk
mendengarkan/nonton siaran yang dipancarkan stasiun radio/tv itu.
Keheterogenan khalayak yang memiliki potensi untuk dilayani
oleh sebuah stasiun (radio atau televisi), mendorong manajernya untuk
mempertimbangkan ciri apa saja yang patut diperhatikannya dalam
pengembangan program siaran. Untuk mengetahui khalayak aktual
RPC, pada tahun 2006 telah dilakukan survei oleh manajemen RPC
berdasarkan demografi, yaitu meliputi tingkat pendidikan, usia, jenis
kelamin, dan jenis pekerjaan (Gambar 2).
315

Gambar 2 Tingkat pendidikan, usia, dan jenis pekerjaan khalayak


aktual RPC (Sumber: Profil RPC 2008)

Melihat profil pendengar RPC diketahui bahwa kelompok


pendengar RPC merupakan masyarakat yang memiliki tingkat
pendidikan yang cukup tinggi. Dari segi usia, pendengar RPC sebagian
besar berada pada usia produktif, yaitu 2040 th (60%). Dari segi
demografi, segmentasi RPC tidak hanya mengerucut pada kelompok
tertentu. Artinya pada tingkat pendidikan, usia dan jenis kelamin
maupun jenis pekerjaan apa pun dapat mendengarkan siaran RPC.
Setiap program yang disiarkan RPC memiliki kekhususan yang menarik
pendengar sesuai dengan seleranya. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa segmentasi RPC didasarkan atas psikografis, yaitu
segmentasi khalayak yang didasarkan atas gaya hidup dan kepribadian
manusia. Di manapun pendengar berada (geografis dan
geodemografis) dan kelompok apa pun mereka (demografi) tidak
membatasi peluangnya dalam memperoleh informasi melalui siaran
RPC. Namun demikian, tentu saja yang perlu digarisbawahi di sini
adalah bahwa sasaran khalayak utama RPC adalah petani dan pihak
yang peduli dengan masalah pembangunan pertanian.

Tujuan dan Prioritas Program RPC


RPC bergerak di bidang Radio Siaran dan Production House (PH)
Audio Visual dan mulai mengudara tanggal 6 Februari 2004 dengan
call sign PM3ACE dan PM3ABW. RPC serta berada pada frekuensi 95,3
FM (5.000 Watt) dan 846 AM Stereo (3.000 Watt). Dalam menjalankan
programnya, RPC dipayungi oleh visi dan misi organisasi.
Visi RPC yang dicantumkan dalam Profil RPC (2008) adalah
Menjadi Suara Hati Masyarakat Pertanian. Untuk mewujudkan visi
tersebut, RPC merumuskan misinya, yaitu: 1) Mengembangkan kualitas
SDM Pertanian; 2) Membangun jejaring kerja (net working) masyarakat
pertanian; 3) Menyuarakan aspirasi petani dan masyarakat secara
obyektif; 4) Menginformasikan/mensosialisasikan kebijakan pemerintah
dalam bidang pembangunan pertanian secara efektif; 5) Menjadi mitra
usaha terpercaya bagi para pelaku agribisnis; dan 6) Menjadi media
hiburan bagi para pendengarnya.
Tugas pokok dan fungsi RPC adalah: (1) membangun media
komunikasi antarmasyarakat pertanian mulai dari petani, pengusaha
agribisnis, lembaga pemerintahan dan nonpemerintahan serta
stakeholder lainnya dengan asas demokrasi, kemandirian, keakraban
316

dan kekeluargaan, (2) menyediakan media sebagai tempat


menyampaikan keinginan, pendapat, kritisi yang membangun dari
masyarakat pertanian terhadap pemerintah, dan (3) menyediakan
media pembelajaran dan hiburan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat pertanian.
Sebagai Pusat Informasi Pembangunan Pertanian dan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya, RPC memiliki tujuan sebagai
berikut.
1. Menyediakan informasi tentang dunia agribisnis serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat
bagi masyarakat pertanian, khususnya petani Kabupaten Bogor.
2. Menyediakan media komunikasi antarmasyarakat pertanian.
3. Menyediakan media pembelajaan dan hiburan yang sesuai dengan
kebutuhan komunitas pertanian.
4. Membangun komunitas agribisnis yang kaya dan menjadi sumber
informasi bagi seluruh masyarakat yang membutuhkannya.
5. Memacu operasional pelaksanaan pembangunan pertanian dengan
tujuan akhir pembangunan pertanian yaitu peningkatan SDM dan
kesejahteraan petani khususnya dan masyarakat umumnya dapat
tercapai.
Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, RPC telah
menetapkan target penerima manfaat dari program-program yang
diselenggarakannya yaitu: a) Petani dan keluarganya (Petani, Pemuda
Tani, Taruna Tani dan Wanita Tani), b) Generasi muda perdesaan, c)
Lembaga Kemasyarakatan (LSM), d) Lembaga Pemerintah, e)
Pengusaha Agribisnis, f) Penyuluh Pertanian, Widyaiswara dan Tenaga
Fungsional lainnya, g) Petugas Pertanian, dan h) Masyarakat lain yang
tertarik dengan bidang pertanian.
Output yang diharapkan melalui PIPP - RPC adalah terbangunnya
pemancar radio siaran pertanian sebagai media komunikasi dan
informasi bagi masyarakat pertanian, terutama masyarakat pertanian.
Adapun outcome yang diharapkan adalah tersedianya informasi
pembangunan pertanian dan terjalinnya komunikasi antarmasyarakat
pertanian mulai dari petani, pengusaha agribisnis, lembaga pemerintah
dan nonpemerintah, serta stakeholder lainnya. Benefit yang
diharapkan dari PIPP-RPC adalah meningkatnya kemampuan
masyarakat pertanian dalam mengelola usahataninya yang
berorientasi agribisnis melalui media Radio Siaran Pertanian. Melalui
PIPP-RPC diharapkan memberi impact pada tumbuh dan
berkembangnya masyarakat pertanian dalam pengembangan sistem
dan usaha agribisnis, khususnya di wilayah Kabupaten Bogor.
Program atau acara RPC merupakan faktor penting dalam
menentukan keberhasilan pencapaian tujuan RPC sebagai salahsatu
PIPP. Program RPC yang membawa audien mengenal RPC sebagai
salahsatu PIPP. Secara umum, program PIPP- RPC dibagi menjadi dua
jenis yaitu program off-air dan on-air.
Program off-air merupakan kegiatan yang diselenggarakan RPC
di luar bentuk broadcast (on-air) yang meliputi kegiatan: (1) RPC fans
317

club yang dimotori oleh kontak tani, petani dan masyarakat umum, (2)
jumpa pendengar; dan (3) berbagai kegiatan sosial. Adapun untuk
program on-air, siaran RPC mengudara setiap hari yaitu mulai jam 5
pagi sampai jam 24.00. Program on-air RPC dituangkan ke dalam lima
prioritas program utama sesuai dengan urutan prioritasnya, yaitu: (1)
pendidikan, penyuluhan dan informasi pertanian, (2) informasi layanan
masyarakat, (3) siraman rohani, (4) hiburan; dan (5) pelestarian
budaya. Kelima program utama tersebut mempunyai format
persentase sebagai berikut: Pendidikan (penyuluhan pertanian)
sebesar 45 persen, hiburan 30 persen, agama 15 persen dan budaya
10 persen.

Pendidikan, Penyuluhan dan Informasi Pertanian


Program pendidikan, penyuluhan dan informasi pertanian
meliputi program-program dengan acara: Bincang siang, Karedok,
Wacana, Sosok/Teropong Desa, Jumpa Petani, Pasar Kita dan Info Tani.
Sebagian program tersebut merupakan akronim yang memiliki arti
yang mudah dipahami di lingkungan audien RPC, yaitu mengandung
kata-kata dengan bahasa lokal (Sunda). Karena program ini
merupakan program prioritas pertama RPC, maka waktu siarannya pun
disesuaikan dengan saat-saat audien utama yaitu petani (Tabel 2).

Informasi dan Layanan Masyarakat


Program informasi dan layanan masyarakat yang dilaksanakan
oleh RPC meliputi acara: Kicau burung, Juwita, Swara Andika, Layanan
PLN, Layanan Telepon, HAM (Hak Azasi Manusia), Pajak, Kesehatan,
Curhat, AGRI dan Suka-Suka (Tabel 3).

Siraman Rohani
Program siraman rohani yang diselenggarakan oleh RPC
meliputi: Cahaya Pagi, Nada dan Dakwah, Tajwid AlQuran serta
Kumandang Senja (Tabel 4). Program siraman rohani yang
dilaksanakan ini keseluruhannya adalah siraman rohani Islam. Hal ini
sesuai dengan kondisi keagamaan sebagian besar audien RPC yang
merupakan masyarakat yang hidup di lingkungan islami.

Hiburan
Program hiburan yang disajikan oleh RPC-PIPP meliputi acara:
Pojok Dangdut (Senin, Selasa, Rabu dan Sabtu: 11.0012.00), Putar
Donk (SeninSabtu: 14.0015.00), Hiburan Malam (SeninJumat: 22.00
24.00), Akron (Senin: 22.0024.00), Nostalgia Kita (Senin: 20.0022.00)
dan Kontes Suara (13.0015.00).
318

Tabel 2 Diskripsi dan jadwal program pendidikan, penyuluhan,


dan informasi pertanian PIPP-RPC
Program Deskripsi
Bincang Program untuk mengeluarkan pendapat, uneg-uneg,
siang maupun pertanyaan yang berkaitan dengan program
pembangunan pertanian melalui diskusi dan mencari
solusi pemecahannya.
Acara ini didukung oleh nara sumber yang
berkompeten, khususnya dari Deptan, Pemda, swasta,
maupun unsur masyarakat lainnya.
Karedok Program untuk meningkatkan wawasan di bidang
(Kasawan teknologi, pengembangan agribisnis, dan
g permaslahaan lainnya di bidang pertanian, peternakan,
Rarancan kehutanan dan bidang terkait lainnya.
g Disajikan untuk mitra tani, masyarakat pertanian,
Endah pemerhati pertanian, penyuluhan pertanian, dan
Dina petugas pertanian yang dikemas dalam bentuk
Obrolan obrolan.
Kiwari)
Wacana Program yang membahas dinamika bidang politik,
(Wawasan pendidikan, lingkungan, dan isu-isu hangat yang
can dirancang khusus bagi mitra tani dan masyarakat
Kalaksana umum untuk menyelesaikan permasalahan di bidang
) pertanian maupun layanan umum.
Sosok/ Program yang dikemas untuk menampilkan sosok
Teropong seseorang baik yang berasal dari masyarakat
Desa pertanian, pengusaha, maupun masyarakat umumnya
yang berprestasi sehingga dapat memotivasi
pendengar untuk mengikuti jejaknya.
Jumpa Program untuk menyalurkan aspirasi, pendapat,
Petani keinginan, dan kritik petani terhadap pembangunan
pertanian dan kebijakan pemerintah. Program ini
diulas secara interaktif dengan menghadirkan nara
sumber yang berkompeten yaitu petani, masyarakat
tani, dan tokoh masyarakat lainnya.
Pasar Kita Program untuk mewadahi masalah pemasaran hasil
usahatani yang saat ini masih menjadi kendala para
pelaku agribisnis. Acara ini membahas informasi
tentang segala hal yang menyangkut pasar,
pemasaran, dan kebutuhan hasil pertanian sebagai
ajang temu bisnis. Dalam acara ini RPC juga
memfasilitasi adanya kontak bisnis hasil usahatani.
Info Tani Program yang mengetengahkan informasi program
pertanian yang materinya diperoleh dari informasi
pertanian terbaru dari media cetak maupun elektronis
termasuk dengan sumber utamanya dari Biro Humas
Deptan.
319
320

Tabel 3 Diskripsi dan jadwal program informasi dan layanan


masyarakat PIPP-RPC
Program Deskripsi
Kicau Program untuk menyampaikan isu hangat mengenai
Burung berbagai masalah yang perlu diketahui sebagai cermin
kita untuk melangkah ke depan. Program berisi
pengantar aktivitas untuk berkarya bagi yang akan
berangkat ke kantor, sekolah, sawah/kebun, atau pasar.
Topik materi bersumber pada headline media cetak yang
up to date yang bersifat umum dilengkapi dengan
informasi seputar pasar di kawasan Bogor dan
sekitarnya. Insert khusus dapat berupa ucapan selamat
(ulang tahun, pernikahan, kelahiran, promosi jabatan)
Juwita Program ini menyajikan informasi dunia kewanitaan
(jendela untuk meningkatkan wawasan kewanitaan di era
wanita globalisasi. Program berisi pengetahuan tentang gizi,
Indonesia) kesehatan, dapur keluarga, dan info wanita. Semuanya
dikemas dalam bentuk narasi, dapat pula berupa
interaktif bersama nara sumber.
Swara Program yang ditujukan untuk membangun kreativitas,
Andika sifat mandiri, dan sikap positif lainnya bagi anggota
(Pramuka) pramuka dan diramu dengan musik, dialog interaktif,
dengan berbagai nara sumber terkait.
Layanan Program yang menyampaikan berbagai masalah
PLN penggunaan listrik sehari-hari yang perlu diketahui dan
solusi pemecahannya. Acara ini bersifat interaktif
antara pelanggan dengan nara sumber aparat dari PLN
Layanan Program yang menyampaikan berbagai permasalahan
Telepon terkait dengan layanan telepon yang dikemas secara
interaktif sehingga pelanggan dapat langsung
berinteraksi dengan nara sumber dari Telkom
HAM (Hak Acara ini menyajikan topik seputar hak perlindungan
Asasi anak di mana sebagai seorang anak memiliki hak yang
Manusia) sama untuk diperlakukan secara manusiawi dan
dikemas secara interaktif dengan audien.
Pajak Program tentang informasi layanan pajak. Dalam acara
ini masyarakat dapat berinteraktif untuk menyampaikan
keluhannya dalam masalah pajak seperti wajib pajak,
utang pajak, penagihan/tunggakan pajak dengan nara
sumber dari kantor pajak.
Kesehatan Program tentang dunia kesehatan baik pencegahan
maupun pengobatannya. Dalam acara ini masyarakat
dapat berinteraksi secara langsung dengan nara
sumber Dokter dan ahlinya dari Dinak Kesehatan
Curhat Program ini untuk mewadahi keluhan dan jeritan hati
pendengar yang sedang ada masalah yang dikemas
secara interaktif bersama host dan mitra.
Agri Acara ini menampilkan kreasi para remaja berprestasi
yang diramu dengan dialog interaktif dengan mitra
321

seputar bakat yang dimiliki nara sumber


Suka-Suka Program ini bersifat menghibur diselingi dengan isu
hangat, musik, lagu (pop, keroncong, tradisional) yang
dikemas secara segar, santai, hunoris, akrab, dan
kekeluargaan

Tabel 4 Deskripsi dan jadwal program siaran rohani PIPP-RPC


Program Deskripsi
Cahaya Program ini disiarkan setelah sholat subuh secara
pagi interaktif dengan menghadirkan ustazd sebagai nara
sumber. Program ini diawali dengan sapaan
pendengar, kumandang ayat suci Al Quran, suara
adzan dan manajemen kalbu. Khusus untuk Sabtu
materi cahaya pagi ditujukan khusus untuk generasi
muda.
Nada dan Acara ini merupakan gabungan antara acara interaktif
Dakwah dengan nara sumber ustazd di studio yang diselingi
dengan lagu-lagu rohani penyejuk kalbu.
Tajwid Program yang dirancang untuk belajar dan
Alquran memperdalam cara membaca Al Quran dengan tajwid
yang benar dan dibawakan oleh ustazd secara
interaktif dengan pendengar di rumah.
Kumandan Acara ini ditujukan untuk memotivasi pendengar
g Senja dalam mengevaluasi diri melalui perenungan hati
yang diisi dengan pengajian alquran, musik rohani,
kumandang adzan dan kecapi suling.

Pelestarian budaya
Program pelestarian budaya diselenggarakan oleh RPC untuk
ikut berpartisipasi dalam pelestarian budaya lokal yaitu budaya Sunda
maupun Jawa umumnya dengan acaranya meliputi: Kitra,
Ngawangkong dan Campur Sari.
Program RPC disajikan dengan gaya siaran yang akrab, santai
dan kekeluargaan, RPC mengudara setiap hari yaitu jam 05.0024.00
dengan sebagian besar siarannya bersifat live dan interaktif, sehingga
tidak monologis, yaitu dapat berbentuk Obrolan Pakar (wawancara
terstruktur), Di antara pematang (fakta lapangan), Agri-info (informasi
agribisnis interaktif), Profil petani/pengusaha, Quiz pertanian dan
Kontak pendengar dan hiburan.
Divisi Program RPC memiliki tugas antara lain menggabungkan
isi dan produksi program yang diminati oleh pendengar yang dituju,
mengadakan program agar sesuai dengan waktu pendengar
mendengarkan program acara dan memproduksi iklan, pengumuman-
pengumuman dan iklan layanan masyarakat. Untuk membantu Divisi
Program, RPC memiliki Tim Kreatif yang memiliki tugas untuk
322

melakukan pengembangan format, program, naskah, multimedia,


penelitian, dan pengembangan siaran radio baik on air maupun off air.
Tim kreatif ini berasal dari berbagai tenaga ahli lintas disiplin, yaitu:
penyuluh, widyaiswara, instruktur, pustakawan dan pejabat struktural
lingkup PPMKP.
RPC mengadakan kegiatan baik di lingkup Deptan maupun
instansi pemerintah lainnya melalui kerja sama, misalnya berupa
undangan untuk menghadiri acara seminar, peresmian dan jumpa pers
untuk memenuhi kebutuhan materi siaran. Hasil kegiatan ini dijadikan
bahan untuk materi siaran maupun liputan langsung di lapangan
sehingga informasi tentang pertanian dapat langsung disampaikan ke
masyarakat pertanian. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
Dominick tentang teori komunikasi massa bahwa terkadang pesan
bukan diawali dari komunikator tetapi dapat berasal dari suatu
peristiwa.
Secara umum, pada dasarnya RPC telah memiliki konsep
program yang partisipatif dengan melibatkan masyarakat. Namun
demikian, sejak adanya pemotongan anggaran dari Departemen
Pertanian menyangkut anggaran negara, maka RPC mengurangi
kunjungan secara langsung ke lapangan, kecuali apabila mendapat
undangan dari kelompok atau masyarakat tertentu.
Dalam operasionalisasi program, RPC bekerja sama dengan
pihak penyelenggaran kegiatan, baik dari lingkup Deptan, Pemerintah
Daerah, maupun organisasi pertanian, seperti Kelompok Tani Nelayan
Andalan(KTNA) dan Himpunan Kelompok Tani Indonesia (HKTI) untuk
melakukan siaran luar di studio mini yang RPC miliki. Kegiatan ini
bertujuan untuk mempercepat informasi kepada masyarakat pertanian
terutama di sekitar wilayah kegiatan berlangsung karena jarak jangkau
RPC terbatas maka dengan adanya studio mini ini sekaligus menjadi
salahsatu promosi tentang keberadaan RPC. Selain itu, terdapat juga
lembaga lain yang bekerja sama dengan RPC antara lain yayasan,
kelembagaan, asosiasi, perguruan tinggi dan pengusaha.

Pengembangan Sistem Distribusi Material Komunikasi PIPP-


RPC
Dalam ilmu komunikasi ada suatu rangkaian proses yang harus
dilalui, dimulai dari sumber/lingkungan, pesan, media yang digunakan,
sasaran, efek dan feedback (Dominick 1990). Sebelum pesan
diterima oleh pendengar, pengelola RPC melakukan rapat evaluasi
terlebih dahulu untuk menentukan topik apa yang akan disiarkan dan
bagaimana acara di sajikan. Hal ini dilakukan agar pesan dapat
diterima tepat sasaran.
Topik yang diangkat dapat berasal dari berbagai sumber, di
antaranya adalah bukuleafletsurat kabar majalah yang berasal
dari perpustakaan lingkup PPMKP, bahan seminar dan pelatihan, saran
pendengar melalui telepon, sms dan fax, serta hasil penjajagan secara
langsung di lapangan. Meningkatnya kemampuan masyarakat
pertanian dalam mengelola usahataninya yang berorientasi melalui
323

media radio siaran pertanian merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh
RPC.
RPC merupakan organisasi yang tidak berdiri sendiri. Setiap
sumber informasi yang akan disampaikan bekerja sama dengan
kelembagaan yang terkait di sekitar lokasi RPC. RPC bekerja sama
dengan pihak penyelenggara kegiatan pembangunan bidang
pertanian, baik dari lingkup Deptan, Pemerintah Daerah, maupun
organisasi pertanian, seperti Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA)
dan Himpunan Kelompok Tani Indonesia (HKTI) untuk melakukan siaran
luar di studio mini yang RPC miliki. Kegiatan ini bertujuan untuk
mempercepat informasi kepada masyarakat pertanian terutama di
sekitar wilayah kegiatan berlangsung karena jarak jangkau RPC
terbatas maka dengan adanya studio mini ini sekaligus menjadi
salahsatu promosi tentang keberadaan RPC. Tidak hanya itu, terdapat
juga lembaga lain yang bekerja sama dengan RPC antara lain yayasan,
kelembagaan, asosiasi, perguruan tinggi dan pengusaha (Gambar 13).
Pesan disampaikan oleh RPC agar pendengar dapat memperoleh
efek, yakni perubahan pengetahuan dan sikap terhadap materi siaran.
Untuk mengetahui apakah pesan tersebut sampai kepada audien maka
RPC membuka komunikasi dengan audien melalui berbagai media
komunikasi, di antaranya adalah melalui telepon, sms, dan fax untuk
mendapatkan feedback baik secara langsung(saat acara berlangsung)
maupun tidak langsung (setelah acara berlangsung). Feedback ini
merupakan respon berupa pernyataan, komentar, masukan, maupun
usulan topik materi selanjutnya agar RPC dapat menyesuaikan strategi
yang ditempuh sesuai dengan kebutuhan pendengar. Materi ini
kemudian diterima oleh pihak perencana program yang kemudian
didiskusikan kembali di meja evaluasi siaran.
324

Gambar 3 Kerja sama RPC dalam menghimpun informasi yang akan


didistribusikan (Profil RPC 2008b)

Penyampaian materi informasi RPC juga dilakukan melalui


program off air yang diselenggarakan RPC. Dalam program ini RPC
berkesempatan langsung berjumpa dengan fans RPC sehingga dapat
langsung pula mendistribusikan informasi dan program RPC kepada
audien. Kegiatan off air yang diselenggarakan RPC dihadiri oleh RPC
fans club yang dimotori oleh kontak tani, petani dan masyarakat
umum, bakti sosial, maupun melalui program acara yang dilakukan
dalam peliputan di lokasi (desa).

Evaluasi Performans RPC


Evaluasi performans RPC secara internal secara resmi dilakukan
melalui mekanisme pelaporan secara rutin dalam bentuk
pertanggungjawaban operasional PIPP-RPC baik realisasi fisik maupun
keuangan secara reguler dan berjenjang. Adapun evaluasi eksternal
dilakukan dengan mengembangkan mekanisme penghimpunan umpan
balik dari para penggemar dan audien RPC terhadap program yang
diselenggarakan melalui berbagai program off air, di antaranya melalui
kegiatan jumpa pendengar. Evaluasi program juga dilakukan melalui
penghimpunan data terkini dari kegiatan ilmiah yang dilaksanakan
oleh mahasiswa atau praktisi lainnya terkait dengan kegiatan RPC.
Satu di antara program RPC yang telah dilakukan evaluasi adalah
program Karedok yang merupakan program kerjasama antara RPC
dengan Badan Litbang Pertanian (instansi penulis).
325

Hasil penelitian Yasmin Muslimat Syarchie yang mengkaji


evaluasi program RCP oleh khalayak di Desa Cilengsi pada Bulan
OktoberDesember tahun 2007 menunjukkan bahwa petani di Desa
Cilengsi sebagian besar (80%) memilih RPC sebagai saluran radio yang
paling sering didengarkan. Pilihan RPC sebagai radio yang paling
sering didengarkan karena pilihannya yang tepat mengingat isi materi
siarannya sebagian besar mengupas tentang dunia pertanian. Petani
Desa Cilengsi yang tergabung dalam Kelompok Tani Bina Sejahtera
memiliki tempat berkumpul untuk saling bertukar pikiran terkait
dengan bidang pertanian, berbincang-bincang, atau hanya sekedar
duduk-duduk saja di sebuah bangunan milik Ketua Kelompok Tani. Di
tempat inilah radio diputar hampir 24 jam dengan volume yang cukup
tinggi untuk mendengarkan program RPC sebagaimana dinyatakan
oleh Ketua Kelompok Tani:

Di sini radio menyala selama 24 jam, tidak pagi, siang, atau pun
malam. Jadi setiap yang datang ke tempat ini dapat mendengarkan
siaran RPC. Apalagi kalau kebetulan ada topik yang menarik, dapat
dijadikan sebagai bahan diskusi.

Sebagian besar (60%) responden selalu dan sering mendengar


RPC setiap hari karena menganggap bahwa mendengarkan RPC
merupakan satu kebutuhan. Sebanyak 83,33 persen responden
memilih Karedok sebagai acara yang paling sering didengar dengan
alasan program ini berisi tentang informasi pertanian yang bersifat
teknis, mendatangkan nara sumber dan terdapat sesi tanya jawab.
Karedok (Kasawang Rarancang Endah dina Obrolan Kiwari) adalah
acara yang diselenggarakan RPC setiap Senin dan Jumat (16.0017.30)
yang khusus membahas teknologi dan pengembangan agribisnis serta
permasalahan lainnya bidang pertanian, peternakan dan kehutanan.
Badan Litbang Pertanian merupakan salahsatu lembaga yang secara
rutin menyampaikan materi untuk disajikan dalam program Karedok.
Selain Karedok, Teropong Desa juga sangat digemari oleh petani
Desa Cilengsi karena pada setiap sesinya mendatangkan figur petani
sukses yang berguna untuk memotivasi pendengar yang lain. Sebagai
radio yang memiliki nuansa pendidikan pertanian juga pendidikan
rohani dan hiburan, acara pojok dangdut, kicau burung dan cahaya
pagi merupakan program-program yang sering pula didengar oleh para
khalayak.
Motif khalayak dalam mendengarkan program RPC sebagian
besar (94,66%) adalah untuk memperoleh pengetahuan dan atau
hiburan. Bagi responden, kebutuhan untuk memperoleh informasi,
terutama dalam bidang pertanian merupakan kebutuhan yang sangat
penting disamping juga memperoleh hiburan. Sebanyak 33,33 persen
responden yang menyatakan RPC sebagai sumber pengetahuan saja
menyatakan bahwa RPC sangat bermanfaat sebagai sumber
pengetahuan bidang pertanian, sedangkan untuk memperoleh hiburan
326

dapat dicari dari stasiun radio yang lain dan televisi. Berdasarkan hasil
penelitian ini juga diketahui bahwa 90 persen responden menyatakan
fungsi radio sangat penting dan penting.
Waktu siaran sangat menentukan apakah materi dapat sampai
ke pendengar. Sebanyak 23,33 persen responden menilai waktu siaran
sudah sangat sesuai, 53,33 persen sesuai dan 16,67 persen cukup
sesuai. Beberapa petani Desa Cilengsi sudah memanfaatkan telepon
genggam untuk mendengarkan siaran radio, sehingga pada saat dalam
perjalanan atau pada saat bekerja dapat tetap mendengarkan siaran
radio yang diinginkan. Adapun untuk sifat materi, sebagian besar
(86,67%) responden menyatakan bahwa materi RPC sudah baik yaitu
dapat memenuhi harapan pendengar.
Secara umum, kualitas siar dari RPC di wilayah Kabupaten dan
Kota Bogor termasuk Desa Cilengsi cukup baik (jernih) meskipun
terkadang masih ada gangguan. Apabila dilihat dari jangkauan siaran
RPC yang mencakup kurang lebih 20 km dari pusat kota, kualitas
siaran RPC di Cilengsi seharusnya bagus. Namun demikian, ternyata
masih sering juga terjadi gangguan, seperti padamnya listrik di studio
pada saat musim penghujan sehingga siaran tidak dapat diterima.
Dilihat dari segi partisipasi masyarakat, ternyata masyarakat
kurang dilibatkan dalam pemilihan suatu topik siaran dan pihak RPC
tidak memiliki strategi publikasi yang baik sebelum materi disiarkan,
sehingga pendengar tidak mengetahui jadwal siaran yang akan
didengarkan dan sesuai dengan kebutuhan. Meskipun dari pihak RPC
telah membuka line telepon dan SMS untuk layanan umpan-balik dari
pendengar, namun pendengar yang masih tergolong pasif kurang
memanfaatkan fasilitas tersebut.

REVITALISASI RPC SEBAGAI PIPP IDEAL


Kabupaten Bogor adalah salahsatu kabupaten dengan wilayah
lahan pertanian yang masih cukup luas yang sangat membutuhkan
suatu lembaga yang fungsional mendukung sistem operasional
agribisnis di lapangan. Lembaga yang dibutuhkan adalah lembaga
yang multifungsi memenuhi kebutuhan dalam setiap aspek pendukung
rantai agribisnis bukan hanya sekedar sebagai Pusat Informasi
Pembangunan Perdesaan. Salahsatu lembaga yang memenuhi kriteria
tersebut adalah Radio Pertanian Ciawi yang telah dikembangkan oleh
Pusat Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian, Badan SDM,
Deptan. Dalam perjalanannya untuk menuju Pusat Informasi
Pembangunan Pertanian yang ideal, RPC masih banyak mengalami
kendala. Berikut disajikan beberapa rekomendasi untuk
pengembangan RPC sebagai PIPP ideal.

Pemantapan RPC sebagai Pusat Informasi Pembangunan


Pertanian (PIPP)
Penyusunan proposal RPC sebagai radio pertanian nasional
dan rintisan pusat informasi pembangunan pertanian
327

Deptan melalui Mentan telah memberikan lampu hijau bagi RPC


yang telah memiliki ijin radio komersial untuk menjadi radio pertanian
nasional. Hal ini dimungkinkan karena RPC merupakan radio
bernuansa pertanian yang sangat bermanfaat bagi masyarakat
pertanian dan dapat dimonitor secara nasional. Berdasarkan hasil
kajian diketahui bahwa rumitnya proses perijinan justru berada di
tingkat internal PPMKP. Mentan sudah memberikan lampu hijau dan
akan merekomendasikan RPC sebagai radio jaringan pertanian nasional
untuk memperoleh ijin khusus ke Menkoinfo. Diharapkan konsolidasi
internal dapat segera dilaksanakan untuk proses penyelesaian proposal
sehingga dapat segera diajukan ke Deptan untuk dimintakan
rekomendasi resmi ke Menkoinfo. Apabila RPC telah menjadi radio
pertanian nasional sebagai jaringan Deptan, informasi pembangunan
pertanian akan semakin mudah disampaikan ke masyarakat dan
masyarakat pertanian di seluruh Indonesia juga dapat menyampaikan
suara hatinya melalui RPC.

Penyusunan proposal rintisan RPC sebagai pembina/sumber


informasi/peningkatan SDM radio komunitas petani
Saat ini di seluruh Indonesia sudah mulai tumbuh dan
berkembang radio komunitas petani. Radio komunitas petani adalah
radio yang didirikan oleh komunitas petani yang bersifat independen
dan tidak komersial dengan daya pancar rendah, luas jangkauan
wilayah terbatas serta untuk melayani kepentingan petani. Saat ini di
Jawa Barat telah terbentuk Jaringan Radio Komunitas Suara Petani yang
beranggotakan 55 radio yang disponsori oleh HKTI dan Dinas Pertanian
setempat. RPC memiliki potensi yang sangat baik untuk menjadi radio
pembina untuk peningkatan kapasitas SDM maupun pengelolaan radio
komunitas petani. Hal ini sangat dimungkinkan karena RPC memiliki
pengalaman dan kapasitas yang memadai didukung dengan lembaga
yang ada di lingkungan RPC memiliki kompetensi untuk bidang
pelatihan media termasuk audio visual. Apabila hal ini dapat
dikukuhkan dan dilaksanakan secara efisien dan efektif maka RPC
sebagai radio suara hati masyarakat pertanian akan memberikan
manfaat dalam mendukung SDM pelaku pembangunan pertanian
nasional yang tangguh.

Permohonan ijin siaran radio (ISR) ke Dirjen Postel


RPC telah memiliki Ijin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), namun
belum memiliki ISR. IPP RPC dengan No 032/IPP/KPI0/02/2007 dan
perpanjangan ijin alokasi dan penggunaan frekuensi untuk penyiaran
Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat No.
482/675/BPSFR/2008 RPC menyatakan bahwa RPC sebagai radio
komersial yang telah dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
sesuai ketentuan perlu didaftarkan ke loket pelayanan Izin Stasiun
radio di Jl, Medan Merdeka Barat No. 17, Gedung Sapta Pesona Ditjen
Postel untuk mendapatkan ISR. Oleh karena itu, diharapkan pihak
328

pengelola RPC didukung oleh stakeholder dapat segera menyelesaikan


ISR RPC. Dengan diperolehnya ISR, RPC yang resmi sebagai radio
komersial akan dilirik oleh pengiklan dan terbebas dari sweeping dan
komplain dari stasiun radio lainnya.

Revitalisasi Layanan RPC sebagai PIPP Ideal


RPC berada di lokasi yang sangat strategis dengan sarana
prasarana yang cukup memadai. Di dekat studio pemancar RPC
terdapat perpustakaan yang cukup layak diakses oleh petani dan
pengguna lainnya. Disamping itu, di samping gedung RPC juga
terdapat satu gedung khusus tempat berkumpulnya para penyuluh
pertanian. Hal tersebut memungkinkan dilaksanakannya kegiatan
konsultasi teknis oleh para penyuluh bagi para petani. Apabila para
penyuluh masih mengalami kesulitan, Penyuluh di lingkungan kantor
PPMKP dapat menghubungi atau bekerja sama dengan para peneliti
dari Badan Litbang Pertanian atau petugas dari Dinas Pertanian yang
lokasinya relatif dekat dengan RPC. Oleh karena itu, beberapa aktivitas
RPC yang disarankan dapat dikembangkan untuk menjadi sebuah
lembaga PIPP yang ideal adalah sebagai berikut:

Penyediaan informasi produk baik input maupun hasil


kegiatan usahatani
Informasi produk yang disediakan PIPP (RPC) dalam mendukung
pengembangan agribisnis adalah informasi input maupun hasil
kegiatan usahatani. Informasi input produksi antara lain benih, pupuk,
maupun obat pemberantas hama dan penyakit dapat diakses melalui
internet maupun berbagai sumber informasi tercetak yang tersedia di
PIPP. Demikian halnya dengan informasi produk untuk hasil usahatani,
PIPP dapat memberikan informasi produk yang dihasilkan dalam
kegiatan pengembangan agribisnis. Pelaku agribisnis diharapkan dapat
menyampaikan informasi produk yang dihasilkan melalui kegiatan
agribisnis yang dilaksanakannya.
Saat ini peran PIPP belum dapat diwujudkan, namun ke depan
diharapkan selain informasi juga terdapat showroom produk untuk
kategori input maupun output. Contoh-contoh informasi tentang benih
tanaman yang unggul maupun pupuk yang asli dapat dijadikan sebagai
referensi bagi pelaku agribisnis untuk mendukung kegiatan usahanya.
Adapun contoh produk yang dihasilkan oleh pelaku agribisnis (petani)
merupakan sarana yang sangat baik untuk mempromosikan produknya
ke pengusaha atau konsumen.

Pengelolaan dan dokumentasi informasi termasuk


penyederhanaan dan pengemasan kembali informasi ke dalam
format dan media yang sesuai dengan karakteristik pelaku
agribisnis
Kegiatan pengelolaan dan dokumentasi informasi pertanian yang
berkaitan dengan pengembangan agribisnis dapat dilaksanakan di
329

PIPP-RPC. Selain pengelolaan dan pendokumentasian, melalui PIPP juga


dilaksanakan kegiatan penyederhanaan dan pengemasan kembali
informasi pertanian ke dalam format dan media yang sesuai dengan
karakteristik pelaku agribisnis. Hal ini sangat memungkinkan karena di
lingkungan PPMKP, khususnya pengelola RPC memiliki tenaga
(khususnya penyuluh) yang memang sudah ahli di bidang pengemasan
kembali informasi dalam berbagai media (tercetak dan elektronis) dan
bentuk penyajian (komik, poster dan sandiwara).
Informasi pertanian yang telah disesuaikan dengan karakteristik
pelaku agribisnis akan mempercepat proses pemahaman pelaku
agribisnis dalam memahami inovasi teknologi pertanian, sehingga
dapat diterapkan untuk mendukung kegiatan agribisnis. Pelaku
agribisnis pun dapat mendokumentasikan sendiri kegiatan
agribisnisnya secara partisipatif, sehingga dapat dijadikan sebagai
bahan lesson learned pelaku yang lain sekaligus promosi produk yang
dihasilkannya.

Fasilitasi akses informasi dan komunikasi tatap muka termasuk


konsultasi teknis bagi pelaku agribisnis
Fasilitasi akses informasi pertanian dapat dilakukan oleh PIPP-
RPC melalui berbagai cara. Perpustakaan PPMKP yang berada tepat di
sebelah RPC dapat digunakan sebagai sarana untuk penyediaan
informasi bagi pengunjung yang langsung datang ke kantor PIPP-RPC.
Selain fasilitasi akses informasi, PIPP juga dapat dijadikan
sebagai sarana konsultasi teknis bagi pelaku agribisnis. Konsultasi
teknis dilaksanakan oleh para PPL maupun peneliti dan penyuluh di
BPTP atau Dinas Pertanian. Kantor PIPP-RPC merupakan gedung
tempat berkumpulnya para penyuluh. Lokasi ini dapat dimanfaatkan
sebagai wahana tatap muka dan konsultasi teknis audien dengan para
penyuluh. Untuk menjamin keberadaan petugas di ruangan konsultasi,
maka perlu dilakukan penjadwalan (piket petugas). PIPP RPC dapat
bekerja sama dengan Dinas Pertanian dan institusi lingkup Badan
Litbang serta intansi lainnya yang tergabung dalam kemitraan untuk
menjadi nara sumber yang dibutuhkan oleh audien.
Menanggapi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
khususnya teknologi internet, PIPP-RPC juga perlu mengembangkan
akses informasi secara online untuk memenuhi kebutuhan pengguna
dan dalam pengembangan program. Oleh karena itu, sangat
disarankan dalam ruangan konsultasi juga disiapkan sarana komputer
yang sudah tersambung dengan internet (online) sehingga
memudahkan akses informasi global.

Fasilitasi transaksi bisnis dan promosi/sosialiasi produk


pertanian
Kegiatan transaksi bisnis dapat dilakukan untuk sarana jual beli
produk yang dihasilkan dari kegiatan pengembangan agribisnis.
Transaksi bisnis dapat dilaksanakan melalui beberapa cara antara lain:
- memberikan contoh produk kepada pembeli,
330

- memfasilitasi pertemuan antara pembeli dan petani di


PIPP-RPC baik melalui kontak on-air secara interaktif maupun off-air,
- memfasilitasi pertemuan antara pembeli dan petani di
lokasi kegiatan produksi atau di PIPP-RPC, dan
- memanfaatkan/bekerjasama dengan kios sarana produksi
maupun hasil produksi untuk layanan transaksi bisnis.

Peningkatan kapasitas pelaku agribisnis dalam mendukung


kegiatan pengelolaan informasi pertanian dan akses informasi
pertanian baik secara manual maupun melalui pemanfaatan
teknologi informasi
Peran PIPP dalam pengembangan kapasitas pelaku agribisnis
diwujudkan dalam bentuk kegiatan untuk memfasilitasi akses informasi
dan komunikasi tatap muka (dalam bentuk konsultasi teknis, jaringan
pemasaran dan pertukaran informasi) antara pelaku agribisnis dengan
sumber informasi. Kegiatan ini tidak hanya bermanfaat bagi pelaku
agribisnis, namun juga bagi lembaga penghasil informasi dan
teknologi. Dari fasilitasi ini diharapkan muncul feed-back bagi kegiatan
penelitian selanjutnya.
Pelaksana pembangunan pertanian di pusat menyadari
pentingnya feed back bagi kegiatan penelitian dan pengembangan
pertanian. Departemen Pertanian sendiri telah menerapkan paradigma
baru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, yaitu Penelitian untuk
Pembangunan (Research for Development). Dengan paradigma baru
ini, orientasi kerja Departemen Pertanian khususnya Badan Litbang
Pertanian adalah menghasilkan teknologi inovatif untuk diterapkan
sebagai mesin penggerak pembangunan pertanian. Untuk itu, kegiatan
penelitian dan pengembangan haruslah berorientasi pada pengguna
(user oriented) sehingga teknologi inovatif yang dihasilkan lebih
terjamin benar-benar tepat-guna spesifik lokasi dan pemakai.
Penelitian dan pengembangan haruslah dilakukan secara partisipatif
dengan melibatkan perwakilan calon pengguna outputnya (Simatupang
2004).
Peningkatan kapasitas bagi pelaku agribisnis dalam pengelolaan
informasi dan akses informasi melalui pemanfaatan teknologi informasi
dapat dilakukan melalui PIPP-RPC. Kegiatan ini dapat dilaksanakan
apabila di PIPP-RPC telah dilengkapi dengan fasilitas akses informasi
secara online.
Tim Pengelola PIPP secara formal maupun informal dapat
melaksanakan pelatihan secara berjenjang bagi pelaku agribisnis
dalam pengelolaan informasi maupun akses informasi. Diharapkan
melalui kegiatan pelatihan ini, pelaku agribisnis khususnya petani juga
dapat langsung akses ke berbagai sumber informasi sesuai dengan
kebutuhan secara mandiri, termasuk akses informasi secara online.
Untuk meningkatkan permintaan akan informasi (kebutuhan
informasi di tingkat pengguna), RPC dapat menggunakan strategi
Information Market Development (Supply Creates Its Own Demand),
antara lain:
331

1. Melakukan advokasi informasi/pendidikan kelompok pengguna;


2. Membentuk Kelompok Pengguna (di atas
pemobilisasian/pengorganisasian petani);
3. Menjelaskan layanan yang tersedia dengan tanpa berorientasi
komersial (misal tidak dipungut bayaran selama jangka waktu
tertentu);
4. Melibatkan opinion leader sebagai daya penggerak atau Driving
Force dalam pemanfaatan informasi;
5. Menyiapkan petani agar menjadi melek informasi dan teknologi
dengan mengakses informasi (sumber informasi secara
konvensional dan non-konvensional);
6. Membangun rasa percaya diri petani dalam menghadapi publik;
7. Peningkatan jenis dan jumlah informasi (menambah jumlah dan
variasi program);
8. Studi khusus dan kelompok studi kecil/pelatihan dan kunjungan;
9. Pemanfaatan sarana prasarana yang telah tersedia;
10.Pengalokasian anggaran khusus untuk pengembangan pasar
informasi.
Agar RPC sebagai pusat informasi pertanian berfungsi secara
optimal, sosialisasi dan promosi yang intensif perlu dilakukan dengan
sebaik-baiknya. Sosialisasi dan promosi perlu dilakukan untuk
membangkitkan awareness (perhatian) terhadap keberadaan dan
layanan PIPP. Strategi yang dapat ditempuh untuk sosialisasi dan
promosi PIPP-RPC selanjutnya diharapkan dapat menjadi motivasi bagi
pengelola PIPP-RPC dalam melakukan kegiatan sosialisasi dan promosi
sesuai dengan sumber daya yang tersedia.
Pusat informasi pembangunan pertanian (PIPP) secara ideal
secara umum diharapkan akan berfungsi sebagai one stop shop untuk
pertukaran informasi di mana kontak tani dapat memperoleh informasi
yang berguna dan sesuai dengan inovasi produksi dan pemasaran
yang dibutuhkan. PIPP diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. Mendorong terbentuknya jaringan informasi pertanian di tingkat
lokal dan nasional.
2. Membuka akses petani terhadap informasi pertanian untuk
meningkatkan peluang potensi peningkatan pendapatan dan cara
pencapaiannya, meningkatkan kemampuan petani dalam
meningkatkan posisi tawar dan diversifikasi usahatani serta
merelasikan komoditas yang diusahakannya dengan input yang
tersedia, jumlah produksi yang diperlukan, dan kemampuan pasar
menyerap output.
3. Melaksananya kegiatan pengembangan, pengelolaan dan
pemanfaatan informasi pertanian secara langsung maupun tidak
langsung.
4. Mendokumentasikan informasi pertanian di tingkat lokal
(indigeneous knowledge) yang dapat diakses secara lebih luas.
332

Gambar 4 Rancangan pusat informasi pembangunan pertanian ideal


333

KESIMPULAN
Pusat Informasi Pembangunan Pertanian adalah pusat informasi
bidang pertanian yang berada di lokasi yang strategis dengan
pemanfaatan berbagai media yang mampu menjembatani antara
penghasil atau sumber teknologi dengan pengguna akhir merupakan
salahsatu pemecahan permasalahan dalam meningkatkan efektivitas
pembangunan pertanian. PIPP merupakan salahsatu lembaga potensial
yang ditujukan untuk menangani penyebaran informasi pengetahuan
kepada khalayak penduduk perdesaan yang sebagian besar
masyarakat pertanian. Pada hakekatnya, PIPP merupakan lembaga
komunikasi yang membantu lembaga-lembaga riset ataupun sumber-
sumber lainnya untuk mengolah lebih lanjut informasi yang dihasilkan
agar menjadi lebih jelas dan dapat dipahami oleh khalayak yang dituju
dan menyebarkan informasi tersebut pada saat yang tepat.
Radio Pertanian Ciawi merupakan salah satu PIPP yang memiliki
peran menyebarkan informasi bidang pertanian dengan khalayak
sasaran utamanya adalah petani. Secara umum, RPC memiliki tujuan
untuk: 1) menyediakan informasi tentang dunia agribisnis serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat
bagi masyarakat pertanian, 2) menyediakan media komunikasi
antarmasyarakat pertanian, 3) menyediakan media pembelajaan dan
hiburan yang sesuai dengan kebutuhan komunitas pertanian, 4)
membangun komunitas agribisnis yang kaya dan menjadi sumber
informasi bagi seluruh masyarakat yang membutuhkannya, dan 5)
memacu operasional pelaksanaan pembangunan pertanian dengan
tujuan akhir pembangunan pertanian yaitu peningkatan SDM dan
kesejahteraan petani khususnya dan masyarakat umumnya dapat
tercapai.
RPC merupakan salahsatu lembaga yang layak diperhitungkan
dan sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai PIPP.
Hasil kajian memberikan rekomendasi untuk revitalisasi RPC sebagai
PIPP melalui upaya: 1) Penyusunan Proposal RPC sebagai Radio
Pertanian Nasional dan Rintisan Pusat Informasi Pembangunan
Pertanian serta Proposal Rintisan RPC sebagai Pembina/Sumber
Informasi/Peningkatan SDM Radio Komunitas Petani dan Permohonan
Ijin Siaran Radio (ISR) ke Dirjen Postel serta 2) Pengembangan
layanan RPC dengan menyediakan informasi produk baik input
maupun hasil kegiatan usahatani, mengelola, mendokumentasikan,
menyederhanakan dan mengemas kembali informasi pertanian ke
dalam format dan media yang sesuai dengan karakteristik pelaku
agribisnis, memfasilitasi akses informasi dan komunikasi tatap muka
(konsultasi teknis) bagi pelaku agribisnis, memfasilitasi transaksi bisnis
dan promosi/sosialiasi produk pertanian, dan meningkatkan kapasitas
pelaku agribisnis dalam mendukung kegiatan pengelolaan informasi
pertanian dan akses informasi pertanian baik secara manual maupun
melalui pemanfaatan teknologi informasi.

DAFTAR PUSTAKA
334

Dominick JR. 1990. The Dynamics of Mass Communication. Edisi Ke 3.


New York: McGraw-Hill.
Gough H. (Editor). Tanpa tahun. Radio Management in the Small
Communication. Kuala Lumpur: Asia-Pacific Institute for
Broadcasting Development.
Gough H. 1982. Planning, Producing, Presenting the Radio Programme.
Kuala Lumpur: Asia-Pacific Institute for Broadcasting Development.
IRRI. 1998. Bridging the Knowledge Systems of Rice Scientists and
Farmers. Crop and Resource Management Network. Philipine: IRRI
CREMNET.
Lionberger HF, Gwin H. 1982. Communication Strategies: A. Guide for
Agricultural Change Agents. Danville, Illenois: The Interstate
Printers and Publishers, Inc.
Millet JD. 1954. Management in The Public Service, Mc.Graw Hill Book
Company, New York USA. [terhubung berkala] 25 November
2008. http://www.questia.com/library/book/management-in-the-
public-service-the-quest-for-efective-performance-by-john-d-
millett.jsp
Morissan. 2008. Manajemen Media Penyiaran. Strategi Mengelola
Radio dan Televisi. Jakarta: Prenada Media Group. .
Mulyandari RSH. 2005. Teknik Implementasi Pengembangan Sumber
Informasi Pertanian Nasional dan Lokal P4MI. Informatika
Pertanian 14 (2005).
Norton GW, Alwang J, Masters WA. 2006. Economic of Agricultural
Development. New York: Routledge 270 Madison Ave.
Nysate.org. 2008. Theory of Supervision. [terhubung berkala] 1
Januari 2009. http://www.nysate.org/training/supervision.pdf
Price G. 2005. Broadcast Management A Handbook for Asian
Broadcaster. Printed by: SP-Muda Printing Sdn Bhd 45, Jalan Ipoh
Kechil, Of Jalan Ipoh, 50350 Kuala Lumpur, Malaysia. Tel: 603-
4041 4829 Fax: 603-4041 4734. A Publication of AIBD and
Thomson Foundation, 2005
PPMKP. 2008. Laporan Pertanggung Jawaban RPC TA 2007 FM 95,3 MHZ
dan AM Stereo 846 KHZ. BogorL PMKP, Ciawi. .
Pringle PK, Starr MF, McCavitt WE. 1991. Electronic Media
Management (Second edition). London: Focal Press.
RPC. 2008a. Proposal PT Radio Pertanian Ciawi Bogor. RPC 95,3 FM.
Radio Pertanian Ciawi Bogor.
RPC. 2008b. Company Profile PT Radio Pertanian Ciawi (RPC).
Syarchie Y M. 2008. Efektivitas Program Penyuluhan Pertanian melalui
Siaran Radio Pertanian Ciawi (RPC). Program Studi Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.
Schramm W. 1964. Mass media and national development. Stanford,
CA: Stanford University Press.
335

Scott JC. 1976. Moral Ekonomi Petani. Pengolahan dan Subsistensi di


Asia Tenggara. Terjemahan Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.
Stoner JAF, Freeman RE. 1989. Management. USA. Prentice-Hall
International Editions.
336
337

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS MEDIA CETAK (FOLDER DAN


POSTER-KALENDER) DAN PENYAJIAN TANAMAN ZODIA
TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN MASYARAKAT
Lina Marlina8, Amiruddin Saleh9, Richard W.E. Lumintang9

ABSTRACT
The objective of this research was to determine the combination treatment of printed
material (folder media and calendar-poster) combined with zodia plant toward
increasing community knowledge in North Bogor sub-district. The design of this
research was a quasi-experimental design. Sample was chosen in the endemic area of
dengue disease (DBD). Sampling design was a separate sample pretest-posttest
control group design. Experimental design was a 2x3 factorial design. Respondents
were totally 90 housewives, divided into six groups. Research result was: (1)
effectiveness of printed media can be increased toward physical media usage; (2)
increasing knowledge was very effective toward media combination; (3) folder
combined with zodia plant was more effective to increase community knowledge;
Community knowledge was emphasis on utilizing zodia plant to prevent mosquito as
an agent of dengue disease; (4) several characteristic factors were increase
community knowledge effectively, (5) innovation factors were also effectively increase
community knowledge. It was concluded that folder media combined with zodia was
the most effective media to deliver a message of zodia plant to increase community
knowledge.

Key words: folder, calendar-poster, zodia, innovation, knowledge

PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit
yang harus ditanggulangi bersama khususnya di Indonesia. Di wilayah
Bogor, Provinsi Jawa Barat, jumlah penderita DBD terus mengalami
peningkatan, baik dari segi jumlah maupuan daerah yang terkena.
Strategi untuk pencegahan meluas dan bertambahnya kasus DBD
sampai saat ini masih memerlukan metode yang tepat dalam
pelaksanaannya, dengan melibatkan peran serta masyarakat.
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Bogor, data penyebaran
kasus DBD pada tahun 2007 terdapat penderita sebanyak 1807 orang
dan meninggal 10 orang. Tahun 2008 terlihat ada peningkatan ke arah
yang lebih baik yaitu pada kasus penderita turun menjadi 1345 orang
dan meninggal sembilan orang, sedangkan tahuan 2009 baru tercatat
sampai dengan bulan Februari berjumlah 448 orang penderita dan
tidak ada yang meninggal (DKK Bogor 2009).
Pemberantasan DBD akan berhasil dengan baik jika upaya
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M Plus dilakukan
secara sistematis, terus-menerus berupa gerakan serentak, sehingga
dapat mengubah perilaku masyarakat dan lingkungannya ke arah
perilaku dan lingkungan yang bersih dan sehat, tidak kondusif untuk
hidup nyamuk Aedes Aegypti. Cara lain pemberantasan nyamuk

8 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Bogor


9 Dosen Program Mayor Komunikasi Pembangunan IPB
338

vektor demam berdarah yaitu dengan bioinsektisida yang


menggunakan Teknik Serangga Mandul (TSM). Pemberantasan dengan
TSM ini nantinya, nyamuk-nyamuk jantan yang telah dimandulkan
dengan sinar Gamma itu dilepaskan ke alam. Melalui persaingan kawin
dengan jantan produktif di alam, produktivitas nyamuk betina di alam
diharapkan menurun. Namun upaya ini baru akan diaplikasikan pada
Semester I tahun 2009 (Kompas 2008).
Judarwanto (2007) juga menyatakan bahwa upaya pencegahan
lain di samping 3M tetap harus diupayakan. Salah satunya dapat
melakukan upaya pencegahan terhadap gigitan nyamuk dengan
menggunakan obat gosok anti nyamuk, tidur dengan kelambu dan
menyemprot rumah dengan obat nyamuk yang tersedia di pasaran.
Pencegahan alternatif lainnya yang mulai dilakukan adalah
penggunaan tanaman pengusir nyamuk seperti Zodia. Menurut hasil
analisis yang dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
(Balittro) dengan gas kromatografi, minyak yang disuling dari daun
tanaman ini terbukti mengandung linalool (46%) dan -pinene
(13,26%) dimana linalool sudah sangat dikenal sebagai pengusir
(repellent) nyamuk (Kardinan 2004). Pengujian yang dilakukan
terhadap nyamuk demam berdarah (Aides Aegypti), yaitu dengan cara
menggosokkan daun Zodia ke lengan, lalu lengannya dimasukkan ke
kotak yang berisi nyamuk demam berdarah dan dibandingkan dengan
lengan yang tanpa digosok dengan daun Zodia, menunjukkan bahwa
daun Zodia mampu menghalau nyamuk selama enam jam dengan
daya halau (daya proteksi) sebesar lebih dari 70 persen (Kadinan
2004).
Tanaman Zodia merupakan harapan baru untuk menghalau
serangan nyamuk demam berdarah di masa mendatang, yaitu gerakan
kembali ke alam dengan memanfaatkan tanaman di sekitar kita untuk
memerangi wabah demam berdarah. Informasi yang sangat
bermanfaat ini tidak mungkin diketahui masyarakat Indonesia
terutama yang bukan penduduk Papua, jika tidak disosialisasikan
dengan baik dan tepat. Peran komunikasi dalam hal ini sangat penting
dan dibutuhkan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat
luas tentang khasiat tanaman Zodia sebagai pengusir nyamuk yang
ampuh dan ramah lingkungan.
Diseminasi atau penyebarluasan informasi untuk menjangkau
masyarakat luas ini dapat dilakukan melalui media massa seperti
televisi, koran, majalah dan media cetak lainnya seperti folder, brosur,
leaflet dan lain sebagainya. Disamping media elektronik ada juga
media cetak yang memiliki beberapa keunggulan seperti: bentuknya
praktis, komunikan bisa mengatur sendiri suasana, metode dan
kecepatan pesannya, komunikan dapat mengulang-ngulang pesan
yang belum dipahami, dan pesan bisa disimpan sehingga bisa dibaca
kembali bila dibutuhkan. Salah satu media cetak (printed material)
yang murah dan mudah dibuat adalah media folder yang merupakan
media komunikasi grafis produk atau jasa yang bentuknya memiliki
beberapa lipatan. Folder termasuk ke dalam desain grafis yaitu
339

merancang/menyusun bahan (huruf, gambar dan unsur grafis lain)


menjadi informasi visual pada media (cetak) yang dimengerti publik.
Folder dan poster dipandang dapat menjangkau khalayak luas
yang heterogen dan tidak dikenal serta mampu mempertinggi minat
dan meningkatkan pengetahuan. Kondisi ini sangat cocok dalam upaya
mendiseminasikan informasi inovasi kepada ibu-ibu rumah tangga
tentang pengusiran nyamuk dengan tanaman Zodia. Media ini
dipandang tepat untuk masyarakat dalam hal ini ibu-ibu rumah tangga
usia menengah ke atas dalam menggugah daya imajinatif serta
meningkatkan pengetahuan.

Perumusan Masalah
Penelitian ingin mengetahui efek dari kedua media cetak (folder
dan poster-kalender) dan obyek tanaman Zodia dalam
menyosialisasikan tanaman Zodia terhadap peningkatan pengetahuan
masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka rencana penelitian ini
diharapkan dapat menjawab permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah penggunaan media cetak (folder dan poster-kalender) dan
pemberian obyek tanaman Zodia bagi penyampaian pesan tentang
Zodia tanaman pengusir nyamuk efektif terhadap peningkatan
pengetahuan masyarakat?
2. Kombinasi perlakuan media cetak (folder dan poster-kalender)
berikut tanaman Zodia yang mana yang efektif terhadap
peningkatan pengetahuan masyarakat?
3. Apakah faktor karakteristik individu dan sifat inovasi berpengaruh
terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat?

Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk:
1. Menganalisis efektivitas penyampaian pesan dan pemberian obyek
tentang tanaman Zodia melalui media cetak (folder dan poster-
kalender) terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat.
2. Mengetahui kombinasi perlakuan media cetak (folder dan poster-
kalender) berikut tanaman Zodia yang mana yang efektif terhadap
peningkatan pengetahuan masyarakat.
3. Mengidentifikasi faktor karakteristik individu dan sifat inovasi yang
berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat.

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan dapat menimbulkan kegunaan
antara lain:
1. Menghasilkan format media cetak (folder dan poster-kalender) yang
baik/efektif untuk digunakan sebagai salah satu alternatif dalam
penyampaian informasi tanaman Zodia kepada khalayak.
340

2. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kota (DKK) Bogor dalam


menyampaikan cara pengusiran nyamuk DBD yang ramah
lingkungan kepada khalayak dengan bentuk media informasi yang
praktis.
3. Pemberi masukan dan bahan pertimbangan bagi Lembaga
Penelitian dalam mendiseminasikan hasil penelitiannya.

Kerangka Berpikir
Peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap inovasi
tanaman Zodia sebagai pengusir nyamuk merupakan akibat dari
keterdedahan terhadap media cetak (folder dan poster-kalender) serta
obyek tanaman Zodia merupakan selisih skor pengetahuan setelah
membaca folder dan/atau poster-kalender dan menerima obyek
tanaman Zodia dengan skor sebelum membaca folder dan/atau poster-
kalender dan menerima obyek tanaman Zodia. Peningkatan
pengetahuan ini cenderung bervariasi di antara para responden
sebagai akibat dari beberapa faktor yang berhubungan dengan proses
komunikasi melalui media folder dan/atau poster-kalender tentang
tanaman Zodia dan terpaan obyek tanaman Zodia itu sendiri.
Terpaan pesan folder dan/atau poster-kalender serta obyek
tanaman Zodia merupakan variabel bebas/aktif dalam penelitian ini,
sedangkan variabel tidak bebas berupa peningkatan pengetahuan
masyarakat dalam mengadopsi tanaman Zodia sebagai pengusir
nyamuk. Pengukuran berikutnya adalah membandingkan antara
terpaan pesan media cetak (folder dan poster-kalender) dengan atau
tanpa tanaman Zodia serta terpaan obyek tanaman Zodia tanpa media
cetak terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat. Sedangkan
variabel lainnya (variabel anteseden) berupa faktor karakteristik
individu dan faktor sifat inovasi diukur untuk mengetahui peranannya
terhadap peningkatan pengetahuan.

Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran dan tinjauan pustaka yang
telah diuraikan sebelumnya maka beberapa hipotesis diuji
kebenarannya dalam penelitian ekperimental.
Hipotesis pertama (H1), bahwa media cetak (folder dan poster-
kalender) yang disertai tanaman Zodia lebih efektif dalam peningkatan
pengetahuan masyarakat pada penyampaian informasi tentang
tanaman Zodia sebagai pengusir nyamuk, dibandingkan dengan yang
tanpa Zodia. Hipotesis kedua (H2), bahwa pemberian obyek tanaman
Zodia lebih efektif jika digunakan untuk menyampaikan informasi
tentang tanaman Zodia dalam meningkatkan pengetahuan
masyarakat. Hipotesis ketiga (H3), bahwa pemberian kombinasi antara
media folder atau poster-kalender dan obyek tanaman Zodia yang
digunakan, dalam upaya menghasilkan media komunikasi yang paling
efektif. Hipotesis ketiga ini merupakan kombinasi dari dua hipotesis
terdahulu, dengan asumsi bahwa hipotesis satu dan dua tersebut
benar. Hipotesis keempat (H4), bahwa faktor karakteristik individu
341

berperan memperkuat peningkatan pengetahuan masyarakat dalam


mengadopsi tanaman Zodia. Hipotesis kelima (H 5), bahwa faktor sifat
inovasi berperan memperkuat peningkatan pengetahuan masyarakat
dalam mengadopsi tanaman Zodia.

TINJAUAN PUSTAKA
Proses Komunikasi
Theodornoson dan Theodornoson (1969) seperti diacu dalam
Bungin (2007) memberi batasan lingkup communication berupa
penyebaran informasi, ide-ide, sikap-sikap, atau emosi dari seorang
atau kelompok kepada yang lain (atau lain-lainnya terutama melalui
simbol-simbol. Dipertegas Efendy (2000) yang mengatakan
komunikasi sebagai proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses
penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator)
kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan,
informasi, opini dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan
bisa berupa keyakinan, kepastian, keraguan, kekhawatiran,
kemarahan, keberanian, kegairahan dan sebagainya yang timbul dari
lubuk hati. Definisi lain tentang komunikasi (Berlo 1960; Kincaid &
Schramm 1987; Rogers 2003) ialah proses penyampaian informasi atau
pesan dari sumber kepada penerima, dengan tujuan timbulnya respons
dari penerima sehingga melahirkan kesamaan makna.

Peran Media Cetak sebagai Penyampai Pesan Komunikasi


Pembangunan
Komunikasi pembangunan merupakan serangkaian usaha untuk
mengomunikasikan program-program pembangunan kepada
masyarakat supaya mereka ikut serta dan memperoleh manfaat dari
kegiatan pembangunan tersebut. Kegiatan mendidik dan memotivasi
masyarakat merupakan unsur yang paling utama dalam komunikasi
pembangunan. Tujuannya untuk menanamkan gagasan-gagasan, sikap
mental dan mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan oleh suatu
negara berkembang.
Pesan pembangunan dapat disampaikan melalui media massa
seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, film teatrikal dan media
cetak lainnya seperti poster, pamflet, spanduk dan lain sebagainya.
Media cetak merupakan media generasi kedua sebelum ada teknologi
media elektronik. Jahi (1988) menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan media cetak yang berkaitan dengan pembangunan adalah
surat kabar.

Folder
Folder yaitu suatu publikasi yang dibuat di atas selembar kertas.
Umumnya kertas tersebut berukuran A4 atau 21 cm x 29,7 cm dan
seringkali dilipat dua, lipat tiga atau lipat empat. Lipatan dapat berupa
342

lipatan ke samping atau ke atas dan setiap bagian merupakan unit


yang efektif (Montagnes 1991). Definisi lainnya, folder adalah media
cetak yang menyajikan pesannya melalui tulisan, terdiri dari sebuah
lembaran kertas yang dilipat sesuai dengan keinginan pembuatnya
(Turnbull & Baird 1975, diacu dalam Rochalia 2005).

Poster
Montagnes (1991) menyatakan bahwa poster merupakan
selembar kertas atau karton dengan sedikit kata-kata dan ilustrasi
yang digunakan untuk menyampaikan pesan sederhana. Poster
biasanya dipasang di suatu tempat dimana diharapkan agar orang
akan melihatnya berulangkali dan harus dibuat dalam bentuk yang
tepat untuk lokasi tertentu.

Kalender
Rukyatul Hilal Indonesia (2008) menyatakan bahwa pada
dasarnya, di dunia ini ada tiga macam bentuk kalender yang
berdasarkan pergerakan matahari dan bulan yaitu: (a) Kalender
Matahari = Solar Calendar; ( b) Kalender Bulan = Lunar Calendar; (c)
Kalender Bulan-Matahari = Luni-Solar Calendar.

Efektivitas Pesan
Komunikasi bisa dikatakan efektif jika: (a) pesan yang
disampaikan dapat dipahami oleh komunikan, (b) komunikan bersikap
atau berperilaku seperti apa yang dikehendaki oleh komunikator dan
(c) ada kesesuaian antar-komponen. Menurut teori tentang efektivitas
pesan yang berasumsi bahwa jika komunikasi diharapkan efektif maka
pesan-pesannya perlu dikemas sedemikian rupa sehingga sesuai atau
merupakan kebutuhan komunikan. Menarik perhatian, dalam arti baru
tidak biasa. Simbol yang digunakan hendaknya mudah dipahami,
meliputi bahasa, istilah, kata-kata atau kalimatnya. Komunikator
menganjurkan menggunakan sesuatu, maka hendaknya sesuatu
tersebut mudah didapat dengan menggunakan cara tertentu, termasuk
misalnya tentang tempatnya (Schramm 1973, diacu dalam Hamidi
2007). Berdasarkan teori tersebut, maka unsur-unsur yang mendukung
efektivitas pesan adalah: (1) menimbulkan kebutuhan, (2) menarik
perhatian, (3) simbol yang dipahami dan (4) cara memperoleh.

Efek Terpaan Pesan


Efek adalah perubahan-perubahan yang terjadi di dalam diri
audien akibat keterpaan pesan-pesan media. Berlo (1960)
mengklasifikasikan efek atau perubahan ke dalam tiga kategori, yaitu
perubahan dalam ranah pengetahuan, sikap dan perilaku nyata
(tindakan). Perubahan perilaku biasanya didahului oleh perubahan
sikap, dan perubahan sikap biasanya didahului oleh perubahan
pengetahuan. Efek diketahui melalui tanggapan khalayak (response
audience) yang digunakan sebagai umpan balik (feedback). Demikian
343

pula menurut Lionberger dan Gwin (1982), terdapat tiga jenis efek
komunikasi yang dihasilkan dari paparan (exposure) terhadap pesan
media massa yaitu efek kognitif (cognitive efect), efek afektif
(afective efect), dan efek behavioral (behavioral efect) yang sering
disebut efek konatif (conative efect).

Inovasi dan Faktor Sifat Inovasi


Inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap
baru atau relatif baru oleh seseorang. Baru dalam ide yang inovatif
tidak berarti harus baru sama sekali. Suatu inovasi mungkin telah lama
diketahui oleh seseorang beberapa waktu yang lalu (yaitu ketika ia
kenal dengan ide itu) tetapi ia belum mengembangkan sikap suka
atau tidak suka terhadapnya, apakah ia menerima atau menolaknya
(Rogers 2003). Secara sederhana, Adam (1988) menyatakan, an
innovation is an idea or object perceived as new by an individual.
Definisi lain yang disampaikan oleh van den Ban dan Hawkins (1996)
menyatakan: an innovation is an idea, method, or object which is
regarded as new by individual, but which is not always the result of
recent research.
Strategi untuk memilih inovasi yang tepat guna adalah
menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut (Rogers 2003): (1)
Keuntungan Relatif; (2) Kompatibilitas (keterhubungan inovasi dengan
situasi masyarakat); (3) Kompleksitas (kerumitan inovasi); (4)
Trialabilitas (dapat dicobanya suatu inovasi); (5) Observabilitas (dapat
diamatinya suatu inovasi): adalah tingkat di mana hasil-hasil suatu
inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Asumsi: observabilitas suatu
inovasi menurut anggapan anggota sistem sosial berhubungan positif
dengan kecepatan adopsinya.

Hasil Penelitian Relevan


Berdasarkan penelitian tentang media booklet dan leaflet yang
dikaji oleh Adawiyah (2003), Bangun (2001), Yanti (2002) dan Nuh
(2004) telah membuktikan bahwa media komunikasi berbentuk cetak
tersebut sangat efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan
mengubah sikap khalayak sasarannya. Pengaruh bahasa daerah dan
bahasa nasional tidak berbeda nyata terhadap tingkat pemahaman
dari responden. Sedangkan faktor umur, pendidikan, status ekonomi,
hasilnya tidak sama pada penelitian yang dilakukan Adawiyah (2003)
dan Yanti (2002). Gambar foto dan tampilan berwarna serta
penggunaan bahasa nasional menunjukkan hasil yang sangat efektif
dalam meningkatkan pengetahuan dan merubah sikap responden.
Penelitian yang dikaji oleh Rochalia (2005), Bangun (1994) dan
Harahap (1994) juga telah membuktikan bahwa media folder tersebut
efektif dalam meningkatkan pengetahuan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh deVreese dan Boomgaarden
(2005) tentang arus pesan satu arah melalui media yang dikondisikan
dan komunikasi interpersonal pada opini publik telah membuktikan
beberapa faktor variabel yang ditelitinya menyumbangkan perubahan
344

sikap yang signifikan. Disamping itu, kajian difusi Internet oleh Auter
(2007) melalui media berita TV dan program-program hiburan telah
terbukti efektif dalam meningkatkan penggunaan Internet di Amerika
Serikat. Begitu pula dalam kajian Cheng et al. (2005) tentang pengaruh
media massa dan komunikasi keluarga terhadap perokok anak remaja
terbukti bahwa media TV merupakan saluran yang amat kuat untuk
menyampaikan pesan anti merokok kepada anak remaja.

Zodia: Tanaman Pengusir Nyamuk


Pentingnya pesan indigenious seperti khasiat tanaman Zodia
selayaknya diinformasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia
dimana wabah DBD sering terjangkit. Zodia atau Evodia suaveolens
Schef-Zodia dalam bahasa Inggris disebut Euodia suaveolens
merupakan tanaman asli Indonesia yang berasal dari daerah Irian
(Papua). Tanaman ini berfungsi ganda, selain sebagai tanaman hias
yang dapat menyejukkan suasana rumah ketika dilihat, juga berfungsi
sebagai anti nyamuk yang handal. Saat ini sebagian masyarakat
menyimpan tanaman Zodia pada pot di dalam ruangan, sehingga
selain memberikan aroma yang khas, juga aromanya dapat menghalau
nyamuk dari ruangan.

Faktor Karakteristik Individu


Salkind (1985) menyatakan bahwa umur merupakan suatu
indikator umum tentang kapan suatu perubahan harus terjadi. Umur
dapat dipakai sebagai indeks perkembangan komponen yang penting
dalam perkembangan manusia. Perbedaan umur antara kelompok
dapat menunjukkan faktor kedewasaan.
Pendidikan sebagai salah satu upaya dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup manusia, pada intinya bertujuan untuk
memanusiakan manusia, mendewasakan, serta mengubah perilaku,
dan meningkatkan kualitas menjadi lebih baik. Semakin tingginya
kehidupan sosial masyarakat sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, telah semakin meningkatkan tuntutan
kebutuhan kehidupan sosial masyarakat. Pada akhirnya tuntutan
tersebut bermuara kepada pendidikan, karena masyarakat meyakini
bahwa pendidikan mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai
tantangan tersebut (Fattah 2004).
Pendapatan keluarga adalah jumlah uang yang didapat secara
rutin, biasanya sebagai pembayaran dari hasil kerja seseorang atau
bunga dari sebuah investasi (Longman 1989).
Motivasi adalah bermaksud sebab, tujuan atau pendorong, maka
tujuan seseorang itulah sebenarnya yang menjadi penggerak utama
baginya berusaha keras dalam mencapai atau mendapatkan apa yang
diinginkannya secara negatif atau positif.

Peningkatan Pengetahuan
Kognisi atau pengetahuan dalam proses komunikasi sering
dipandang sebagai salah satu hasil akhir atau tujuan yang terpenting.
345

Kincaid dan Schramm (1987) diacu dalam Kriyantono (2007)


mengatakan bahwa pengetahuan merupakan wujud dari kenyataan
atau kebenaran, informasi dan prinsip-prinsip yang dimiliki oleh umat
manusia. Seseorang mengetahui berarti ia mengamati secara
langsung, memiliki pengalaman, mengenali, atau sudah biasa terhadap
sesuatu hal, menginsafi kesamaan dengan sesuatu yang sudah lebih
dulu diketahui, memahami, meyakini, atau merasa pasti serta
menyadari kebenaran tentang sesuatu hal.

PROSEDUR PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Tegal Gundil, Kecamatan Bogor
Utara, Bogor. Pemilihan lokasi penelitian ini adalah berdasarkan
pertimbangan bahwa Kecamatan Bogor Utara tersebut merupakan
salah satu wilayah endemi wabah DBD. Waktu penelitian adalah dua
bulan yaitu pada bulan April Mei 2009 dari mulai uji coba media dan
instrumen kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan penelitian.

Populasi dan Sampel


Populasi penelitian adalah ibu rumah tangga di Kelurahan Tegal
Gundil, Kecamatan Bogor Utara dengan sampel berjumlah 90 orang
sebagai responden. Kategori sampel yang dipilih dilakukan secara
purposive sampling method (Wimmer & Dominick 2003) dimana
peneliti hanya memilih ibu rumah tangga dari kelompok Posyandu.
Sebagai sarat penentuan sampel ialah ibu-ibu rumah tangga kelompok
posyandu yang saat dilakukan penelitian ini masih aktif terdaftar
sebagai kelompok posyandu, yang tiap kelompoknya terdiri dari 50
sampai 60 orang anggota.

Desain Penelitian
Penelitian merupakan penelitian ekperimental kuasi (quasi-
experimental) atau eksperimen pura-pura. Pemilihan desain atas
pertimbangan jumlah target (ibu-ibu rumah tangga kelompok
posyandu), pengontrolan terhadap beberapa variabel pengamatan dan
pemberian perlakuan (treatment) sesuai dengan kebiasaan ibu-ibu
dalam menerima informasi. Rancangan penelitian menggunakan
desain faktor 2 x 3 yang melibatkan analisis simultan terhadap dua
variabel independen dan setiap variabel independen disebut factor
(Wimmer & Dominick 2003).
Variabel bebas penelitian adalah media cetak (folder dan poster-
kalender) dengan atau tanpa objek tanaman Zodia serta obyek
tanaman Zodia saja tanpa media (folder dan poster-kalender). Variabel
terikatnya adalah peningkatan pengetahuan, yang mengukur skor
peningkatan pengetahuan ibu-ibu rumah tangga kelompok posyandu
tentang informasi Zodia sebagai tanaman pengusir nyamuk.
Sedangkan variabel anteseden adalah faktor karakteristik individu dan
faktor sifat inovasi.
346

Secara spesifik, rancangan pengelompokkan sampel


menggunakan the separate-sample pretest-posttest control group
design yang mana terdapat kelompok kontrol di samping kelompok
eksperimental. Desain ini dapat diterapkan dalam situasi seandainya
tidak dapat ditentukan bilamana dan kepada siapa treatment
diperkenalkan dan bagaimana pengukurannya dan desain ini juga
cukup mampu untuk mengontrol sumber-sumber ketidakvalidan, yang
secara rinci digambarkan sebagai berikut (Campbell & Stanley 1966):

R O (X)
R X O
Dimana: -----------------
O = observasi/pengukuran
X = perlakuanR(folder,
O poster-kalender, tanaman Zodia)
R = random/pengacakan

Pertama-tama setiap kelompok diuji tingkat pengetahuannya


tentang penyakit DBD secara umum, perihal manfaat tanaman Zodia,
cara penanaman, pemeliharaan dan peletakkan tanaman (pretest).
Kemudian mereka diberikan perlakuan penyajian informasi tanaman
Zodia sebagai tanaman pengusir nyamuk melalui media cetak (folder
dan poster-kalender) dengan atau tanpa pemberian obyek tanaman
Zodia, serta yang diberi tanaman Zodia saja, lalu diuji kembali
(posttest) dengan pertanyaan yang sama saat pretest. Begitu pula
subyek penelitian yang tidak diberi perlakuan sama sekali yakni
kelompok kontrol (K0) diberi posttest. Selisih skor kedua pengujian
tersebut merupakan peningkatan pengetahuan subyek penelitian ini.
Pembandingan skor peningkatan pengetahuan dilakukan antara
kelompok eksperimental dan kelompok kontrol, maka dapat diuji
apakah peningkatan pengetahuan terhadap pengusiran nyamuk
dengan tanaman Zodia akibat dari perlakukan media cetak (folder dan
poster-kalender) yang menyajikan materi tentang informasi manfaat
tanaman Zodia, atau karena faktor lain.

Tahapan Penelitian
Secara keseluruhan penelitian ini melalui tiga tahapan yang
secara terinci diuraikan sebagai berikut:
1. Tahap pertama, yaitu tahap penyiapan materi penelitian, tahapan
ini mencakup dua kegiatan utama yakni: (a) Observasi awal; (b)
Pembuatan folder dan poster-kalender sebagai materi penelitian
yang meliputi aktivitas penyusunan skrip atau naskah, layout, dan
pencetakan.
2. Tahap kedua adalah uji coba folder, poster-kalender dan instrumen,
pengumpulan data uji coba dilakukan pada kelompok lain yang
tidak dilibatkan dalam penelitian yaitu pihak yang ahli di bidangnya
masing-masing seperti ahli pertanian, kesehatan dan desain grafis.
347

3. Tahap ketiga adalah pelaksanaan penelitian.


Pelaksanaan penelitian pretest dan pemberian perlakuan
dilakukan tidak serempak dan pada waktu yang berbeda di lokasi
Posyandu dan PAUD sesuai kelompok perlakuan dan masing-masing
dipandu oleh satu orang petugas yang telah diberi pelatihan dalam hal
menangani penelitian ini. Sedangkan pelaksanaan posttest
dilaksanakan satu minggu setelah pretest dan dipandu oleh satu orang
petugas yang sama pada saat pretest.
Definisi Operasional
Secara operasional variabel-variabel penelitian dapat
didefinisikan sebagai berikut:
1. Umur adalah usia responden pada saat penelitian dilakukan dalam
satuan tahun, yang dikelompokkan sebagai berikut: muda (19 29
tahun), setengah baya (30 50 tahun) dan tua (51 64 tahun).
2. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi responden
yang dicapai sampai dengan saat penelitian dilakukan, yang
dibedakan sebagai berikut: sekolah dasar (tidak tamat SD dan
tamat SD), sekolah menengah (SMP dan SMA), dan perguruan tinggi
(diploma dan sarjana).
3. Pendapatan Keluarga adalah jumlah rata-rata pendapatan per bulan
dalam enam bulan terakhir yang diperoleh dari pekerjaan suami
atau istri (dalam rupiah), yang dibedakan menjadi rendah (Rp
155.000 1.900.000), sedang (Rp 2.000.000 Rp 4.900.000) dan
tinggi (Rp 5.000.000 Rp 10.000.000).
4. Motivasi adalah suatu kondisi kejiwaan dan mental seseorang
berupa aneka keinginan, harapan, dorongan dan kebutuhan yang
membuat seseorang melakukan sesuatu untuk mengurangi
kesenjangan yang dirasakannya. Motivasi yang akan dianalisis
adalah motivasi responden terhadap kesadaran kesehatan dan
kesadaran lingkungan yang menunjang pada peningkatan
pengetahuan selama bulan berlangsungnya penelitian. Motivasi
dikelompokkan menjadi rendah (skor 10 15) dan tinggi (skor 16
20).
5. Keuntungan (manfaat) relatif: diukur dari sejauh mana inovasi
tanaman Zodia dipandang lebih baik daripada gagasan yang
digantikannya (pengasapan/fogging) serta biaya yang dikeluarkan
dibandingkan dengan sebelumnya (obat nyamuk kimia).
6. Kesesuaian: sejauh mana inovasi tanaman Zodia dipandang
konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman-pengalaman
masa lalu, dan kebutuhan-kebutuhan pengadopsi yang potensial.
7. Kerumitan: sejauh mana inovasi tanaman Zodia dipandang sulit
untuk dimengerti dan digunakan.
8. Kemampuan untuk dicoba: sejauh mana inovasi tanaman Zodia
mungkin dicoba secara terbatas.
9. Kemampuan dapat dilihat: sejauh mana hasil-hasil inovasi tanaman
Zodia dapat dilihat oleh orang lain.
348

10.Peningkatan pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui


dan dipahami oleh ibu-ibu tentang tanaman Zodia sebagai pengusir
nyamuk dalam rangka mengurangi wabah DBD.
Penelitian ini untuk melihat peningkatan pengetahuan pada ibu-
ibu setelah membaca media cetak (folder dan poster-kalender) tentang
tanaman Zodia yang disertai pemberian obyek tanaman Zodia maupun
tidak, serta kepada yang tidak membaca media cetak namun diberi
obyek tanaman Zodia dan kepada yang tidak diberi perlakuan sama
sekali.

Uji Coba Media


Hasil uji coba media folder dan poster-kalender dari sepuluh
responden (masing-masing lima responden) dibuat rata-rata dan nilai
tiga ditetapkan sebagai skor penilaian bahwa media tersebut menarik
dan skor dibawah nilai dua dianggap tidak menarik. Keseluruhan item
penilaian terhadap media folder memiliki skor rata-rata di atas tiga,
dimana skor tiga menunjukkan bahwa item tersebut menarik atau
memenuhi syarat. Item yang dianggap kurang adalah bagian Gambar
Depan, Gambar Dalam dan Kesesuaian Pesan yang disampaikan.
Demikian pula dengan keseluruhan item penilaian terhadap media
poster memiliki skor rata-rata di atas tiga, dimana skor tiga
menunjukkan bahwa item tersebut menarik atau memenuhi syarat.
Dari hasil pengujian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa media
folder dan poster-kalender adalah media yang menarik dan layak untuk
disebar luaskan kepada masyarakat umum.

Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dihimpun dari sumber primer yaitu
langsung dari sampel yang dikenakan perlakuan melalui instrumen
yang telah disusun, sedangkan data sekunder didapatkan dari Dinas
Kesehatan Bogor dan sumber-sumber lain yang layak dipercaya,
seperti: Puskesmas, Kantor Kelurahan dan Kantor Kecamatan Bogor
Utara.

Instrumen
Seperangkat alat pengumpul data yang disusun dalam
penelitian, yaitu kuesioner untuk mengukur peningkatan pengetahuan
mereka tentang penyakit DBD secara umum, teknis penanaman,
pemeliharaan tanaman, peletakkan tanaman dan manfaat tanaman
Zodia yang digunakan dalam pretest dan posttest.

Validitas dan Reliabilitas Instrumen


Butir-butir pertanyaan di dalam kuesioner dianalisis
menggunakan korelasi Product Moment atau pearsons correlation
(Ancok 1995). Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan dengan
menggunakan 30 responden. Hasil uji validitas terhadap kuesioner
karakteristik individu dan sifat inovasi menunjukkan angka korelasi
349

0,824, sedangkan untuk kuesioner pengetahuan folder


memperlihatkan angka korelasi 0,912 dan untuk kuesioner
pengetahuan poster-kalender menunjukkan angka korelasi 0,956
dimana nilai-nilai tersebut di atas angkat kritik pada taraf lima persen
(r = 0,633). Ketiga kuesioner yaitu kuesioner karakteristik responden
dan sifat inovasi, kuesioner pengetahuan folder, serta kuesioner
pengetahuan poster-kalender dengan menggunakan korelasi Product
Moment menunjukkan bahwa nilai korelasi seluruh item lebih besar
dari nilai korelasi tabel (r = 0.6332) sehingga dapat disimpulkan bahwa
seluruh item valid.
Reliabilitas instrumen dilakukan dengan cara mengujicobakan
terlebih dahulu instrumen yang akan digunakan. Berdasarkan hasil
ujicoba tersebut dilakuan pengujian reliabilitas. Pengujian reliabilitas
dilakukan dengan menggunakan formula Cronbach Alpha. Hasil uji
reliabilitas ketiga kuesioner menunjukkan bahwa nilai Cronbach Alpha
untuk kuesioner karakteristik individu dan sifat inovasi memperoleh
skor 0,943; kuesioner pengetahuan folder sebesar 0,967 dan kusioner
pengetahuan poster-kalender sebesar 0,956. Oleh karena nilai ketiga
kuesioner tersebut seluruhnya lebih dari nilai tabel (r = 0,6332) maka
dapat disimpulkan bahwa ketiga kuesioner sangat reliabel.

Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian, selanjutnya diolah dan
dianalisis dengan beberapa prosedur statistik yang relevan. Data
tentang perbedaan tingkat pengetahuan responden kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol yang dilibatkan dalam penelitian,
dianalisa dengan uji signifikansi (test of significance) yaitu ANOVA dan
t-Test (Wimmer & Dominick 2003). Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima ulangan, model linier. Uji
Tukey selanjutnya dilakukan untuk mengetahui perlakuan apa saja
yang memiliki perbedaan pengaruh terhadap peningkatan
pengetahuan masyarakat.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum
Keadaan Geografis
Secara geografis, luas wilayah Kecamatan Bogor Utara adalah
1.772 Ha dengan kepadatan penduduk 90 Jiwa/Ha terdiri atas delapan
kelurahan, 106 RW dan 507 RT. Sedangkan batas wilayah Kecamatan
Bogor Utara di sebelah utara adalah Desa Cimandala, Desa Pasir
Jambu, Desa Pasir Laja Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor; di
sebelah barat adalah Kali Ciliwung Kelurahan Tanah Sareal, Kedung
Badak Kecamatan Tanah Sareal; sebelah timur adalah Kelurahan
Katulampa Kec. Bogor Timur, Desa Sukaraja, Desa Cadas Ngampar
Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor; dan di sebelah selatan adalah
Kelurahan Babakan, Kelurahan Tegallega Kecamatan Bogor Tengah
(Pemerintah Kota Bogor 2008).
350

Keadaan Demografis
Berdasarkan Laporan Bulanan Kependudukan, jumlah penduduk
Kecamatan Bogor Utara sampai bulan Nopember 2008 adalah 34.262
Kepala Keluarga terdiri atas 136.258 jiwa dengan perincian sebagai
berikut, WNI berjenis kelamin laki-laki sejumlah 69.051 jiwa dan
perempuan sebanyak 67.207 jiwa. Jumlah keseluruhan WNI yang
tinggal di Kecamatan Bogor Utara ialah 136.258 jiwa. Sedangkan warga
negara asing atau WNA dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah
sembilan jiwa dan perempuan ada dua jiwa dengan total keseluruhan
adalah 11 jiwa (Pemerintah Kota Bogor 2008).

Kelompok Posyandu
Kelompok sosial yang berada di Kelurahan Tegal Gundil
khususnya untuk ibu-ibu antara lain Kelompok PKK, Kelompok
Posyandu, Kelompok Pengajian dan Arisan. Empat Kelompok Posyandu
yang berada di Kelurahan Tegal Gundil yakni Posyandu Pisang A,
Posyandu Pisang B, Posyandu Nangka A dan Posyandu Nangka B
merupakan kelompok posyandu yang dijadikan subyek penelitian.
Kelompok ini merupakan kelompok sosial dari Ibu-ibu yang berdomisili
di RW 02, 05 dan 11.

Karakteristik Individu
Jumlah responden yang diteliti sebanyak sembilan puluh (90)
orang ibu rumah tangga kelompok Posyandu terdiri atas lima kelompok
perlakuan (K1, K2, K3, K4, K5) dan satu kelompok kontrol (K0).
Karakteristik individu responden yang diamati dalam penelitian ini
adalah umur, pendidikan dan pendapatan (Tabel 1). Sedangkan
pekerjaan, jumlah keluarga, lama tinggal dan asal daerah dijadikan
sebagai unsur tambahan informasi jika diperlukan dalam menjelaskan
latar belakang permasalahan. Adapun variabel motivasi dilihat dari
keseluruhan kelompok responden dengan membagi dua kategori yakni
motivasi rendah dan tinggi, dimana terdapat 44 orang (48%) memiliki
motivasi rendah dan 46 orang (52%) bermotivasi tinggi terhadap
kesehatan dan lingkungan.

Tabel 1 Data karakteristik individu responden berdasarkan


kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
Karakteristik K1 K2 K3 K4 K5 K0
Individu Kategori % % % % % %
Responden
Umur:
Muda 19 29 tahun 13 13 27 47 7 20
Setengah 30 50 tahun 74 54 73 53 60 73
baya 51 64 tahun 13 33 0 0 33 7
Tua
Pendidikan:
Sekolah Dasar Tamat/Tidak 0 0 47 20 0 7
Sekolah Tamat 40 40 40 73 87 66
351

Menengah SMP/SMA 60 60 13 7 13 27
Perguruan Diploma/Sarjana
Tinggi
Pendapatan
(Rp): 155.000 - 1.900.000 40 80 93 93 67 80
Rendah 2.000.000 - 33 20 0 7 20 20
Sedang 4.900.000 27 0 7 0 13 0
5.000.000 -
Tinggi
10.000.000
Pekerjaan:
Tidak bekerja Ibu RT, pensiunan 93 87 87 100 93 80
Bekerja PNS, swasta, 7 13 13 0 7 20
buruh
Jumlah
keluarga: 2 4 orang 73 60 47 67 60 33
Kecil 5 12 orang 27 40 53 33 40 67
Besar
Lama tinggal:
Belum lama 1 5 tahun 33 7 0 13 0 27
Cukup lama 6 19 tahun 60 0 33 20 7 46
Lama 20 64 tahun 7 93 67 67 93 27
Asal daerah:
Bogor Tinggal sejak lahir 0 93 67 80 73 7
Luar Bogor Pendatang 100 7 13 20 27 93
Keterangan: N = 15

Berdasarkan data sebaran umur tersebut, dapat dikatakan


bahwa responden yang merupakan warga Kelurahan Tegal Gundil
memiliki umur di atas rata-rata yang pada umumnya memiliki
pengetahuan cukup banyak. Berdasarkan kecenderungan umur pada
data tersebut, maka segi umur masyarakat responden dapat dikatakan
memiliki kemampuan belajar sehingga diharapkan dapat memahami isi
pesan dan dapat meningkatkan pengetahuannya.
Jenjang pendidikan yang diraih responden pada kelompok K 1 dan
K2 pada umumnya berpendidikan tinggi yaitu masing-masing sembilan
orang (60%). Sedangkan pada kelompok K3 mayoritas berpendidikan
rendah setingkat SD yaitu tujuh orang (47%), tetapi pada kelompok K 4
sebanyak 11 orang (73%) berpendidikan menengah setingkat SMP dan
SMA. Demikian pula, kelompok K5 dan K0 masing-masing berjumlah 13
orang (87%) dan 10 orang (66%) berpendidikan menengah. Menyimak
data sebaran tingkat pendidikan masyarakat responden menunjukkan
perbedaan yang tidak terlalu besar kecuali kelompok K 3, sehingga
diperkirakan tidak terlalu berpengaruh terhadap perbedaan
pemahaman atas pesan yang diperoleh.
Mayoritas responden pada semua kelompok memiliki
pendapatan rendah, yakni K1 sebanyak 6 orang (40%), 12 orang (80%)
kelompok K2, 14 orang (93%) kelompok K 3 dan K4, 10 orang (67%)
kelompok K5 dan 13 orang (80%) kelompok K0. Sebagian besar
responden pada seluruh kelompok berstatus tidak bekerja yakni ibu
rumah tangga dan pensiunan, masing-masing 14 orang (93%)
kelompok K1, 13 orang (87%) kelompok K 2 dan K3, 15 orang (100%)
kelompok K4, 14 orang (93%) kelompok K5 dan 12 orang (80%)
352

kelompok K0. Pada umumnya, seluruh responden pada kelompok K 1, K2,


K4, K5 memiliki keluarga kecil antara dua hingga empat orang kecuali
pada kelompok K3 dan K0 yang memiliki keluarga besar antara lima
hingga 12 orang. Sedangkan asal daerah, mayoritas responden pada
kelompok K2, K3, K4 dan K5 berasal dari Bogor dengan lama tinggal
antara 20 hingga 64 tahun kecuali untuk kelompok K 1 dan K0 berasal
dari luar Bogor (pendatang) dengan lama tinggal antara enam hingga
19 tahun.

Pengetahuan Responden pada Pretest dan Posttest


Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor pretest yang diperoleh
semua kelompok sangat tinggi, dimana skor minimum 300 dan
maksimum 1200 untuk K1, K2, K5 dan K0 karena pertanyaan yang
diberikan sebanyak 20 soal. Sedangkan pada kelompok K 3 dan K4
memiliki skor minium 225 dan maksimum 900 karena pertanyaan yang
diberikan sebanyak 15 soal. Disamping itu, tingkat pendidikan seluruh
responden adalah tamat sekolah dasar (SD), dimana pendidikan
merupakan proses belajar yang dapat dijadikan sebagai upaya untuk
membawa perubahan. Selaras dengan pendapat Rochalia (2005)
bahwa pendidikan merupakan tingkat intelegensia yang berhubungan
dengan daya pikir, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
semakin luas ilmu pengetahuan sehingga menimbulkan cara pikir yang
lebih baik.
Terdapat perbedaan menyolok antara kelompok K1 dan K2 dalam
perolehan skor peningkatan pengetahuannya, padahal kedua kelompok
tersebut berpendidikan tinggi dan diberi terpaan media komunikasi
yang sama, yakni folder. Perbedaan ini disebabkan kelompok K 1 dan K2
memiliki persepsi yang tidak sama terhadap media folder yang
menyampaikan pesan tanaman Zodia karena kelompok K2 tidak
mendapatkan obyek tanaman Zodia sehingga tidak memiliki
peneguhan atas pesan tersebut. Sejalan dengan pernyataan Rogers
(2003) bahwa pesan-pesan yang disiarkan media massa terlalu umum
untuk bisa mengukuhkan kepercayaan seseorang terhadap inovasi.
Kelompok responden yang diberi perlakuan poster-kalender
dengan atau tanpa tanaman Zodia (K 3 dan K4) memperoleh skor
pretest yang tidak jauh berbeda yakni 491 dan 573. Sedangkan skor
posttest responden memiliki nilai 657 dan 743 dimana peningkatan
pengetahuan pada kondisi kelompok K3 dan K4, cukup tinggi yakni 166
dan 170. Hal ini disebabkan terpaan media poster-kalender yang
menyampaikan pesan tanaman Zodia berikut informasi penanggalan
tahun masehi. Poster-kalender dibuat dalam bentuk lebih sederhana
namun menarik karena gambar visual yang dibuat cukup besar dan
dapat ditempel di dinding rumah sehingga pesan yang disampaikan
mudah dipahami dan dibaca ulang oleh responden yang mayoritas
berpendidikan SD pada kelompok K3 dan SMA pada kelompok K4.
Dengan demikian, obyek tanaman Zodia pada media poster-kalender
tidak perlu diberikan karena media tersebut sudah sangat efektif
meningkatkan pengetahuan responden.
353

Kelompok K5 yang hanya diberi obyek tanaman Zodia dan


kelompok K0 yang tidak diberi perlakuan apa pun, mayoritas
berpendidikan menengah setingkat SMP dan SMA memperoleh skor
pretest cukup tinggi masing-masing sebesar 842 dan 903 sedangkan
skor posttest 1005 dan 948. Skor peningkatan pengetahuan kelompok
K5 dengan K0 jauh berbeda, masing-masing memperoleh nilai 163 dan
45. Hal ini dikarenakan rata-rata responden pada kelompok K 5 telah
mempunyai dasar informasi tentang tanaman Zodia dari sumber media
lain dan satu responden tidak menjawab pertanyaan pada saat pretest
maka skornya nol sedangkan skor posttest memperoleh nilai 73
sehingga skor peningkatan pengetahuan menjadi sangat tinggi.
Disamping itu, perolehan skor peningkatan pengetahuan yang tinggi
tersebut juga disebabkan oleh pemberian tanaman Zodia yang telah
menambah peneguhan responden terhadap manfaat tanaman Zodia,
sehingga responden menjadi lebih percaya diri pada saat posttest,
maka skornya meningkat sangat signifikan.
Kondisi pada kelompok kontrol yang memperoleh skor pretest
paling tinggi dan skor peningkatan pengetahuan paling rendah adalah
dikarenakan sebagian responden menjawab kuesioner atas dasar
tebak-tebakan dan sudah mengetahui jika dirinya sedang dijadikan
subyek penelitian sehingga ada keinginan untuk dianggap sudah tahu.
Hal ini ditunjukkan dari jawaban responden pada saat pretest dan
posttest yang tidak konsisten, yaitu sebagian dari responden ada yang
berubah jawabannya. Sejalan dengan apa yang dikatakan Hamidi
(2007), kenyataan telah membuktikan bahwa ada perbedaan antara
seseorang individu dengan yang lain dalam memproses informasi yang
datang pada dirinya. Orang tertentu kurang perhatian terhadap bagian
kecil suatu obyek, yang lain justru menginginkan pengetahuan yang
lebih rinci. Hal ini dikarenakan ada perbedaan gaya kognitif antara
seseorang dengan yang lain, yakni karakteristik dan cara-cara yang
kosisten yang dimiliki seseorang dalam merasakan, mengingat dan
memikirkan diri dan lingkungannya.

Efektivitas Folder+Zodia vs Folder tanpa Zodia dan


Efektivitas Poster-Kalender+Zodia vs Poster-Kalender tanpa
Zodia
terhadap Peningkatan Pengetahuan
Hasil uji-t pada kelompok K1 dan K2 menunjukkan bahwa nilai-p
= 0,000 lebih kecil dibandingkan (0,05) sehingga keputusan yang
diambil adalah menolak H0. Keputusan tersebut dapat disimpulkan
bahwa nilai tengah peningkatan pengetahuan pada kelompok yang
diberi media folder yang disertai tanaman Zodia lebih baik
dibandingkan dengan kelompok yang diberi media folder tanpa
tanaman Zodia. Nilai tengah efektivitas media folder+Zodia terhadap
peningkatan pengetahuan adalah 21,4 sedangkan nilai tengah
efekvitas media folder tanpa tanaman Zodia adalah 3,5. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa peningkatan pengetahuan telah terjadi pada kedua
354

kelompok tersebut baik yang diberi media folder berikut tanaman


Zodia maupun tanpa tanaman Zodia.
Hasil uji-t untuk kelompok K 3 dan K4, yakni kelompok yang diberi
perlakuan media poster-kalender dengan atau tanpa tanaman Zodia,
menunjukkan bahwa nilai-p = 0,550 > 0,05 sehingga keputusan yang
diambil adalah menerima H0. Keputusan tersebut dapat disimpulkan
bahwa nilai tengah peningkatan pengetahuan pada kelompok yang
diberi media poster-kalender berikut tanaman Zodia maupun tanpa
tanaman Zodia tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan.
Nilai tengah efektivitas media poster-kalender dengan atau tanpa
tanaman Zodia terhadap peningkatan pengetahuan adalah sama yaitu
11. Kedua kelompok responden tersebut memperoleh peningkatan
pengetahuan tentang informasi tanaman Zodia yang sama tinggi
akibat terpaan media poster-kalender.
Hasil analisis dengan uji-t terhadap dua kelompok yang diterpa
media poster-kalender dengan atau tanpa tanaman Zodia tidak
membuktikan hipotesis pertama (H1), bahwa media poster-kalender
yang disertai tanaman Zodia lebih efektif meningkatkan pengetahuan
dibandingkan dengan yang tidak disertai tanaman Zodia.

Efektivitas Pemberian Obyek Tanaman Zodia


terhadap Peningkatan Pengetahuan
Efektivitas pemberian obyek tanaman Zodia kepada kelompok
K1, K2, K3 dan K4 di uji untuk mengetahui apakah pemberian media
(folder dan poster-kalender) yang disertai tanaman Zodia memiliki
pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan pengetahuan
dibandingkan dengan pemberian media tanpa tanaman Zodia. Hasil
uji-t menunjukkan bahwa nilai-p = 0,001 < 0,05 sehingga keputusan
yang diambil adalah menolak H 0. Kesimpulannya adalah nilai tengah
peningkatan pengetahuan yang diberi media (folder dan poster-
kalender) yang disertai tanaman Zodia sebesar 16,2 dengan standar
deviasi 10,3 lebih baik dibandingkan pemberian media tanpa tanaman
Zodia yang memperoleh nilai tengah 7,7 dengan standar deviasi 10,4.
Artinya peningkatan pengetahuan yang diberi media (folder dan
poster-kalender) dan tanaman Zodia lebih baik dibandingkan
peningkatan pengetahuan yang diberi media (folder dan poster-
kalender) tanpa tanaman Zodia. Hasil penelitian menjawab hipotesis
kedua (H2), bahwa pemberian obyek tanaman Zodia berperan terhadap
peningkatan pengetahuan. Hal ini dikarenakan tanaman Zodia memiliki
sifat inovasi yang baik sehingga dapat diterima masyarakat.

Perbedaan Pengaruh pada Kombinasi Perlakuan


Analisis variansi dengan ANOVA dilakukan untuk mengetahui
apakah terdapat perbedaan pengaruh antara kombinasi perlakuan-
perlakuan yang diberikan. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini
adalah Folder+Zodia, Folder, Poster-Kalender+Zodia, Poster, Zodia, dan
Kontrol. Asumsi awal yang harus dipenuhi dalam analisis variansi
adalah ragam antara populasi (perlakuan) harus homogen, sehingga
355

perbedaan respon antara perlakuan yang diberikan hanya berasal dari


pengaruh perlakuan. Uji kehomogenan ragam yang digunakan adalah
uji Bartlett. Hasil uji menunjukkan bahwa uji statistik bernilai 4,68
dengan nilai-p = 0,456 (nilai-p > 0,05) sehingga keputusan yang
diambil adalah terima H0, yaitu ragam antara keenam perlakuan
homogen, maka layak untuk dibandingkan. Hasil analisis dengan
ANOVA terhadap enam perlakuan yang berbeda menunjukkan bahwa
nilai-p = 0,002 < 0,05 menghasilkan keputusan untuk menolak H 0,
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh
diantara enam perlakuan tersebut terhadap peningkatan pengetahuan.
Pengaruh perlakuan mana yang paling efektif terhadap
peningkatan pengetahuan ditunjukkan oleh hasil analisis ANOVA
dengan Rancang Acak Lengkap dengan lima ulangan, model linier yang
menyatakan bahwa perlakuan media Folder yang disertai tanaman
Zodia memiliki nilai tengah tertinggi yakni 1,08 dengan standar deviasi
0,4087 dan perlakuan Kontrol memiliki nilai tengah terendah 0,16
dengan standar deviasi 0,5320 sehingga dapat disimpulkan bahwa
perlakuan pemberian media Folder yang disertai tanaman Zodia paling
efektif dalam peningkatan pengetahuan.
Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa perlakuan Folder+Zodia
memiliki pengaruh yang berbeda dengan perlakuan Folder dan
perlakuan Kontrol, sedangkan perlakuan Poster+Zodia, Poster, Zodia,
Folder dan Kontrol memiliki pengaruh yang sama hubungannya, seperti
yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Folder+Zodia Poster+Zodia Poster Zodia Folder Kontrol

Gambar 1 Perbedaan pengaruh pada beberapa perlakuan

Dugaan hipotesis ketiga (H3) yang menyatakan bahwa


penyampaian pesan tentang tanaman Zodia, menunjukkan skor
peningkatan pengetahuan yang diberi media poster-kalender dan
diberi obyek tanaman Zodia adalah yang paling tinggi ternyata tidak
terbukti sama sekali karena yang memiliki skor tertinggi dalam
peningkatan pengetahuan adalah kelompok yang diberi media folder
berikut tanaman Zodia.

Hubungan Faktor Karakteristik Individu terhadap Peningkatan


Pengetahuan
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa keempat
variabel dari variabel karakteristik individu, tiga variabel memiliki
hubungan sangat nyata terhadap variabel peningkatan pengetahuan
dimana nilai-p < 0,01 yaitu umur, pendidikan, dan pendapatan.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah faktor karakteristik individu
yang berperan dalam peningkatan pengetahuan adalah umur,
pendidikan, dan pendapatan dengan nilai korelasi secara berturut-turut
356

adalah 0,330; 0,458 dan 0,330, artinya semakin tua usia masyarakat
maka peningkatan pengetahuan juga akan semakin tinggi, demikian
juga jika pendidikan semakin tinggi dan pendapatan semakin tinggi
maka peningkatan pengetahuan juga akan semakin tinggi.
Variabel motivasi dianggap tidak berperan terhadap variabel
peningkatan pengetahuan karena memiliki skor -0,027 (nilai-p > 0,05).
Hal ini disebabkan oleh kondisi di lapangan bahwa mayoritas
responden tidak memiliki pekarangan atau halaman untuk menanam
pohon sehingga motivasi tinggi terhadap lingkungan tidak diimbangi
dengan keingin untuk menanam pohon dan pengetahuan yang
memadai tentang budidaya tanaman. Hasil analisis korelasi
karakteristik individu yang terdiri dari umur, pendidikan dan
pendapatan telah menjawab hipotesis keempat (H 4), bahwa faktor
karakteristik individu berperan terhadap peningkatan pengetahuan
kecuali motivasi.

Hubungan Faktor Sifat Inovasi terhadap Peningkatan


Pengetahuan
Variabel faktor sifat inovasi yang memiliki lima indikator yaitu
keuntungan relatif, kompatibilias, kompleksitas, triabilitas dan
observabilitas dianalisis untuk mengetahui apakah sifat inovasi yang
dimiliki tanaman Zodia dapat diterima oleh masyarakat sebagai upaya
pengusiran nyamuk sehingga berpengaruh terhadap peningkatan
pengetahuan. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa
variabel faktor sifat inovasi memiliki hubungan sangat nyata terhadap
peningkatan pengetahuan yaitu 0,545 (nilai-p < 0,01), sehingga dapat
diartikan bahwa sifat inovasi berperan terhadap peningkatan
pengetahuan dimana jika sifat inovasi semakin baik maka peningkatan
pengetahuan juga akan semakin tinggi. Kesimpulan dari hasil analisis
korelasi Spearman telah menjawab hipotesis kelima (H5), bahwa faktor
sifat inovasi berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan.
Mengenai saluran komunikasi sebagai sarana untuk menyebarkan
inovasi, Rogers (2003) menyatakan bahwa media massa lebih efektif
untuk menciptakan pengetahuan tentang inovasi, sedangkan saluran
antarpribadi lebih efektif dalam pembentukan dan perubahan sikap
terhadap ide baru, jadi dalam upaya mempengaruhi keputusan untuk
melakukan adopsi atau menolak ide baru.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang merujuk kepada tujuan
penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) efektivitas
media dapat ditingkatkan melalui penggunaan media fisik; (2)
peningkatan pengetahuan sangat efektif melalui kombinasi media; (3)
media poster-kalender yang disertai tanaman Zodia tidak terbukti
memiliki pengaruh yang paling tinggi terhadap peningkatan
pengetahuan masyarakat; (4) umur, pendidikan dan pendapatan
357

sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat;


(5) sifat inovasi sangat berpengaruh terhadap peningkatan
pengetahuan masyarakat.

Saran
Saran yang perlu diperhatikan bagi para pembuat pesan media
cetak dan peneliti lainnya adalah: (1) media folder yang disertai obyek
tanaman Zodia dapat dijadikan acuan yang sangat baik sebagai media
dalam menyampaikan informasi tentang Zodia tanaman pengusir
nyamuk dan sangat tepat jika disampaikan kepada ibu rumah tangga
yang berpendidikan menengah ke atas, (2) media poster-kalender yang
disertai tanaman Zodia maupun tidak, juga dapat dijadikan alternatif
yang tepat sebagai media dalam menyampaikan informasi tentang
Zodia tanaman pengusir nyamuk dan sangat cocok jika disampaikan
kepada ibu rumah tangga yang berpendidikan rendah setingkat SD, (3)
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat pengaruh pada
perubahan sikap dan perilaku masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
[DKK] Dinas Kesehatan Kota Bogor. 2009. Distribusi Kasus dan
Kematian DBD Tahun 2009 di Kota Bogor. Bogor. DKK.
[RHI] Rukyatul Hilal Indonesia. 2008. Sistem Kalender Dunia.
http://www.rukyatulhilal.org/kalender.html [30 Oktober 2008].
Adam ME. 1988. Agricultural Extension in Developing Countries. First
Edition. Singapore: Longman Singapore Publisher Pte Ltd.
Adawiyah SE. 2003. Pengaruh media komunikasi HIV/AIDS berbentuk
booklet dan leaflet terhadap peningkatan pengetahuan
mahasiswa perguruan tinggi swasta di DKI Jakarta [tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana IPB.
Auter J. 2007. Difusion of the Concept that the Internet is Good via
Television: How CNET Tech Briefs Helped Shape American Views
about the Internet.
http://www.acjournal.org/holdings/vol19/winter/articles/cnet.html
[23 Oktober 2008].
Bangun SI. 2001. Kajian jenis grafis dan warna pada buklet panduan
pewarnaan bunga potong sedap malam untuk keterampilan
petani Desa Garokgek, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten
Purwakarta [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB.
Berlo DK. 1960. The Process of Communication: An Introduction to
Theory and Practice. New York: Holt Rinehart and Winston, Inc.
358

Bungin B. 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus


Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Campbell DT, Stanley JC. 1966. Experimental and Quasi-Experimental
Design for Research. Chicago: Rand McNally College Pusblishing
Company.
Cheng H, Miller L, Poole M, Armer J, Cameron G. 2005. The Influence of
Mass Media and Family Communication on Adolescent Smoking.
http://www.allacedemic.com/meta/p93296_index.html [23
Oktober 2008].
deVreese C, Boomgaarden. 2005. Media Message Flows and
Interpersonal Communication: The Conditional Nature of Efects
on Public Opinion. Chicago, Illinois.
http://www.allacademic.com/meta/p85431_index.html [23
Oktober 2008].
Fattah N. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan
Sekolah. Bandung: Bani Quraisy.
Hamidi. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi: Pendekatan
Praktis Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: UMM
Press.
Harahap H. 1994. Pengaruh Bentuk dan Frekuensi Penyajian Pesan Gizi
Seimbang Melalui Folder [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana
IPB.
Jahi A. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di
Negara-Negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Judarwanto W. 2007. Profil Nyamuk Aedes dan Pembasmiannya.
http://www.childrenfamily.com [8 September 2008].
Kardinan A. 2004. Zodia: Tanaman Pengusir Nyamuk.
http://www.langitlangit.com [8 September 2008].
Kincaid DL, Schramm W. 1987. Asas-asas Komunikasi Antar Manusia.
Jakarta & Hawaii. LP3ES bekerjasama dengan East-West
Communication Institute.
Kompas. 2008. Bioinsektisida: Lokasi Pelepasan Nyamuk Mandul Belum
Ditentukan. Harian Umum Kompas, 3 Oktober. Jakarta.
Kriyantono R. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Lionberger HF, Gwin PH. 1982. Communication Strategies: A Guide for
Agricultural Change Agents. Danville, Illinois: The Interstate
Printer & Publishers, Inc.
Longman Dictionary. 1989. Longman dictionary of contemporary
English. New Edition. England: Longman Group UK Limited.
Montagnes I. 1991. Editing and Publication: A Training Manual. Manila:
International Rice Research Institute, International Development
Research Centre.
359

Nuh M. 2004. Kajian penggunaan merek dan leaflet sebagai media


promosi terhadap persepsi Konsumen Citra Produk Buah Keranji
[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB.
Rochalia LG. 2005. Efektivitas Media Folder bagi Penyajian Pesan
Tanaman Hias [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovations. Fifth Edition. New York: Free
Press.
Salkind NJ. 1985. Theories of Human Development. New York: John
Wiley and Sons.
van den Ban AW, Hawkins HS. 1996. Agricultural Extension. Second
Edition. New York: John Wiley & Son, Inc.
Wimmer RD, Dominick JR. 2003. Mass Media Research: An Introduction.
Seventh Edition. USA: Thomson Wadsworth.
Yanti L. 2002. Pengaruh Bahasa dan Jenis Ilustrasi pada Buklet
terhadap Peningkatan Pemahaman Petani tentang
Pendayagunaan Melinjo [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana
IPB.
360

POLA KOMUNIKASI DALAM PENGEMBANGAN MODAL


MANUSIA
DAN SOSIAL PERTANIAN

Retno Sri Hartati Mulyandari10 dan Sumardjo11

ABSTRACT
The limited of agricultural human capital and social capital capacity are the causes of
limited ability of accessing Indonesian agricultural to face the global competition. The
low farmer education level causing limited farmers capacity in information
management and technology adoption resulting the low product quality. At the
extension level, these problems are limited extension workers availability in quantities
and qualities. Besides the low of basic capability, the most of extension workers do
not hae adequate mental capacity, especially related to integrity, communication skills,
morally and ethic capacity. At the policy makers level, still many areas which the
institutions hae not yet mapping of agriculture resource in area comprehensively and
have careful in making its exploiting concept. Besides owning high technical ability,
agriculture human resource as being capital and social resource also have a quality of
adequate mentally and spiritual, and also have share values, rules, personal
relationships, trust, and common sense about community responsibilities. To be
agricultural sector gain strength in supporting national development, agricultural
sector need an appropriate communication pattern for supporting the agricultural
human resource improvement at each agricultural development level. Communication
pattern that to improve the agricultural human and social capital base on the
convergen-interractional communication pattern through knowledge sharing model.
This model is appropriate to both human resource at agricultural staff and farmers
level. Through information and communication technology (ICT) application and
proactive role within various institutions in Ministri of Agriculture, effort to realize
agriculture information network reach farmer storey level can be realized.

Key words:communication patterns, human capital, social capital, agricultural


resources, agricultural development, agricultural capacity

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber daya manusia (SDM) merupakan unsur yang sangat
penting dalam pencapaian tujuan suatu bangsa. Dalam menyongsong
era globalisasi dan era informasi, setiap bangsa memerlukan SDM yang
memiliki keunggulan yang prima, yaitu manusia yang memiliki kualitas
di samping menguasai iptek juga harus memiliki sikap mental dan soft
skill sesuai dengan kompetensinya. SDM yang besar harus dapat
diubah menjadi suatu aset yang bermanfaat bagi pembangunan
bangsa. Oleh karena itu, berbagai keahlian, keterampilan, dan
kesempatan harus dibekalkan kepada SDM sesuai kemampuan biologis
dan rohaninya. Tindakan yang cermat dan bijaksana harus dapat

10 Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian (retnoshm@yahoo.com)


11 Kepala Pusat Kajian Resolusi Konflik dan Pemberdayaan LPPMIPB
(assoka252@yahoo.com)
361

diambil dalam membekali dan menyiapkan SDM, sehingga benar-benar


menjadi aset pembangunan bangsa yang produktif dan bermanfaat.
Salah satu kendala yang dihadapi sektor pertanian adalah
keterbatasan jumlah dan kualitas SDM bidang pertanian. Rendahnya
tingkat pendidikan petani menyebabkan kemampuan dalam menyerap
informasi dan mengadopsi teknologi relatif sangat terbatas sehingga
menghasilkan produk yang berkualitas rendah. Rendahnya tingkat
pengetahuan dan keterampilan petani berakibat pada rendahnya
kemampuan petani dalam mengelola usahanya sehingga tidak dapat
berkembang dengan baik dan rata-rata pendapatan menjadi rendah
(Awang 2008). Rendahnya kemampuan petani dalam bekerja sama
dan kurangnya motivasi untuk meningkatkan mutu/nilai tambah
produk yang dihasilkannya memperburuk rendahnya kinerja
pembangunan pertanian secara keseluruhan.
Pada tingkat penyuluh, ketersediaannya di lapangan juga sangat
terbatas jumlah dan kualitasnya. Selain kemampuan dasar yang masih
rendah, sebagian besar penyuluh juga belum memiliki kapasitas
mental yang memadai, khususnya terkait dengan integritas,
kemampuannya dalam berkomunikasi, serta kapasitas moral dan etika.
Adapun di tingkat pengambil kebijakan, masih banyak instansi daerah
yang belum mampu memetakan sumber daya pertanian di daerah
secara komprehensif dan memiliki kecermatan dalam membuat konsep
pemanfaatannya. Keperluan SDM pertanian yang berkualitas,
khususnya yang mampu memahami karakter pelaku pembangunan
pertanian di lapangan (petani) menjadi sangat penting, dikarenakan
arah pengembangan pertanian dalam konsep revitalisasi bersifat
pendekatan partisipatif lokal. Think globally, act locally (berfikir
secara global dan bertindak sesuai dengan kondisi lokal) diharapkan
dapat diimplementasikan oleh aparatur pertanian dalam menghadapi
era globalisasi. Oleh karena itu, pola komunikasi dalam mendukung
peningkatan kapasitas SDM pertanian dalam kapasitasnya sebagai
human capital dan social capital yang berkualitas perlu dirumuskan
sehingga dapat meningkatkan kinerja pembangunan nasional secara
keseluruhan.

Permasalahan
Rendahnya kapasitas SDM pertanian merupakan salah satu
penyebab kurang mampunya pertanian Indonesia dalam menghadapi
persaingan global. Oleh karena itu, agar sektor pertanian semakin
kuat dalam mendukung pembangunan nasional, diperlukan pola
komunikasi yang tepat untuk mendukung peningkatan kapasitas SDM
pertanian di setiap lini pembangunan pertanian. Berkaitan dengan hal
tersebut, terdapat beberapa permasalahan, yaitu:
1. Bagaimana teori dan pendekatan pengembangan SDM dalam
konsep SDM sebagai human capital dan social capital?
2. Bagaimana kriteria kualitas modal manusia dan sosial pertanian
yang dibutuhkan dalam meningkatkan kinerja pembangunan
nasional?
362

3. Pola komunikasi yang bagaimana yang mampu mendukung


peningkatan kapasitas modal manusia dan sosial pertanian agar
mampu mendukung kinerja pembangunan nasional?

Tujuan
Kajian ini disusun dengan tujuan untuk:
1. Mempelajari teori dan pendekatan pengembangan SDM pertanian
dalam konsep SDM sebagai human capital dan social capital;
2. Menganalisis kriteria modal manusia dan sosial pertanian yang
berkualitas dalam meningkatkan kinerja pembangunan nasional;
3. Merumuskan pola komunikasi untuk mendukung peningkatan
kapasitas modal manusia dan sosial pertanian di setiap lini
pembangunan pertanian.

KAJIAN TEORITIS
Modal Manusia dan Sosial
SDM adalah kemampuan terpadu dari daya pikir dan daya fisik
yang dimiliki individu, perilaku dan sifatnya ditentukan oleh keturunan
dan lingkungannya, sedangkan prestasi kerjanya dimotivasi oleh
keinginan untuk memenuhi kepuasannya. SDM juga dapat diartikan
sebagai potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk
mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan
transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh
potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan
kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan.
SDM adalah kekayaan lembaga/institusi yang menjadi faktor
penentu keberhasilan aktivitas lembaga. Program yang cemerlang
atau sarana prasarana yang canggih tidak akan memberikan manfaat
yang berarti bagi lembaga apabila tidak didukung oleh ketersediaan
SDM yang berkualitas. Sebagai manusia, SDM memiliki pikiran,
perasaan, dan perilaku tertentu yang melandasi motivasi, sikap,
loyalitas, pemahaman peran, komitmen dan kepuasannya dalam
bekerja (Istijanto 2008).
Konsep SDM menjadi landasan dalam merancang berbagai
strategi pengembangan manusia. Banyak nama proyek dan program
dalam pembangunan menggunakan frasa pengembangan SDM.
Dalam konsep SDM ini, diasumsikan bahwa manusia dapat
dikembangkan sebagai individu demi indvidu. Jika individu-individu
dalam masyarakat berpendidikan baik, sehat dan memiliki motivasi
tinggi; maka diyakini akan mampu mendorong perubahan. Konsep
SDM tersebut masih mengandung kelemahan karena manusia lebih
dipandang sebagai obyek ekonomi, atau sebagai kapital agar
ekonomi suatu perusahaan (maupun sebuah wilayah) berkembang.
Agar manusia dapat dilihat secara lebih utuh, maka satu lagi alat
yang dibutuhkan adalah menambahkan konsep social capital
(modal sosial). Hanya dengan memadukan konsep human capital dan
363

social capital, maka analisis kita kepada manusia menjadi lengkap,


karena keduanya sesungguhnya saling melengkapi. Jika konsep
human capital merupakan hasil dari pemikiran para ahli ekonomi,
maka social capital merupakan sumbangan dari ahli-ahli ilmu sosial.
Social capital melengkapi pendekatan individual otonom yang
merupakan karakter utama ilmu ekonomi dalam melihat manusia.
Social capital merupakan syarat penting untuk menggerakkan
sebuah organisasi, khususnya untuk pengembangan masyarakat.
Untuk itu, social capital harus dikenali dan dikembangkan pula. World
Bank memberi perhatian yang tinggi dengan mengkaji peranan dan
implementasi social capital khususnya untuk pengentasan kemiskinan
di negara-negara berkembang. Menurut definisi World Bank, social
capital adalah a society includes the institutions, the relationships,
the attitudes and values that govern interactions among people and
contribute to economic and social development. Social capital menjadi
semacam perekat yang mengikat semua orang dalam masyarakat. Di
dalamnya berjalan nilai saling berbagi (shared values) serta
pengorganisasian peran-peran (rules) yang diekspresikan dalam
hubungan-hubungan personal (personal relationships), kepercayaan
(trust) dan common sense tentang tanggung jawab bersama.
Elemen utama dalam social capital mencakup norms,
reciprocity, trust dan network. Social capital tercipta dari ratusan
sampai ribuan interaksi antarorang setiap hari. Modal sosial tidak
berlokasi di diri pribadi atau dalam struktur sosial, tapi pada space
between people dan menjadi pelengkap institusi. Modal sosial
merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah, yang berasal dari
orang-orang yang membentuk koneksi sosial dan network yang
didasarkan atas prinsip kepercayaan dalam hubungan yang saling
menguntungkan (mutual reciprocity). Modal sosial tidak dapat
diciptakan oleh seorang individual, namun sangat bergantung kepada
kapasitas masyarakat. Meskipun belum ada kesepakatan, namun ada
dua pendekatan untuk mengukurnya.

Pendekatan Pengembangan Modal Manusia dan Sosial


berdasarkan Teori Pembelajaran Kontemporer
Pada umumnya, teori pembelajaran kontemporer memunculkan
model berdasarkan bagian-bagian dari sisi-sisi pengetahuan dan
interaksi yang saling berhubungan (teori pembelajaran holistik).
Karenanya, sangat memungkinkan untuk membuat sebuah teori
holistik bagi pembelajaran orang dewasa dengan memadukan berbagai
dalil umum dari teori pembelajaran kontemporer.

Andragogi
Andragogi dipandang sebagai seni dan sains yang digunakan
untuk membantu orang dewasa dalam pembelajaran. Konsep
andragogi didasarkan pada beberapa asumsi atau prinsip
pembelajaran bagi orang dewasa yang netral. Sebagai tambahan pada
beberapa prinsip pembelajaran bagi orang dewasa yang netral,
364

andragogi telah dikembangkan untuk menerima dua faktor yang


mempegaruhi pembelajaran bagi orang dewasa: (a) tujuan dan
maksud pembelajaran dan (b) perbedaan individual dan situasional.
Deskripsi konsep dari karakteristik pembelajaran bagi orang dewasa
dapat membantu menciptakan pemahaman yang lebih baik terhadap
pembelajaran bagi orang dewasa dan telah menggambarkan berbagai
implikasi yang berguna bagi praktek instruksional.

Belajar dengan kesadaran diri


Belajar Dengan Kesadaran Diri (SDL = Self-Directed Learning)
merupakan konsep lain pada pembelajaran bagi orang dewasa yang
tergolong populer. SDL merupakan suatu proses pembelajaran di
mana orang mengambil inisiatif yang dibutuhkan untuk merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi pengalaman belajarnya masing-
masing. Beberapa rangkaian kunci yang menghubungkan teori SDL
dengan teori belajar holistik dapat dilihat pada tujuan dan arah
pembelajaran. Terdapat tiga tujuan utama SDL adalah: (a) Untuk
meningkatkan kemampuan pelajar dewasa; (b) Untuk mempercepat
pembelajaran transformasional dan (c) Untuk memperkenalkan
pembelajaran emansipatif dan tindakan sosial. Model-model SDL pada
umumnya memperkenalkan aktivitas pembelajaran yang berpusat
pada pelajar dan terkontrol.

Belajar reflektif kritis


Berbagai konsep reflektif dan praktek reflektif kritis menentang
epistimologi praktek profesional kaum positivis. Berdasarkan prinsip
teori holistik pembelajaran reflektif dapat diinterpretasikan sebagai
interaksi dinamis di antara sisi pengetahuan eksplisit dan implisit pada
level manifestasi. Sebagai contoh, model pembelajaran eksperiental
yang dikemukakan Kolb (2001) menggambarkan suatu proses
pembelajaran berdasarkan pengalaman. Model ini memandang
pembelajaran sebagai suatu proses peredaran yang terdiri atas empat
fase: (a) Pengalaman kongkret, (b) Observasi dan refleksi, (c)
Pembentukan konsep abstrak dan (d) Menguji situasi baru.
Schon (1987) menggunakan istilah reflection-in-action untuk
menunjukan proses pembelajaran dari praktek profesional dan
kemudian membangun pengetahuan implisit. Sejumlah pengetahuan
implisit mungkin dipandang sebagai knowledge-in-action atau
knowing-in-action. Proses tersebut mencerminkan suatu proses di
mana kita dapat mengirim sesuatu tanpa bisa mengatakan apa yang
telah kita lakukan. Fase pembentukan konsep abstrak menyerupai
mode pembelajran konseptualisasi di dalam teori belajar holistik.

Pembelajaran sosial (Kognitif)


Teori pembelajaran sosial (kognitif) menyatakan bahwa orang
belajar dengan mengamati objek lainnya pada sejumlah situasi sosial
tertentu. Bandura (1977) meyakini bahwa secara virtual, segala
fenomena pembelajaran yang dihasilkan dari pengalaman langsung
365

dapat muncul dalam suatu basis yang seolah dialami sendiri melalui
observasi terhadap perilaku orang lain dan konsekuensinya terhadap
perilaku. Gibson (2004) mengemukakan empat elemen utama dari
teori Bandura: (a) Proses belajar observatif, (b) Determinisme timbal-
balik, (c) Regulasi diri, dan (d) Kemampuan diri. Elemen yang pertama,
proses observatif atau pembelajaran sosial, memuat empat
komponen: perhatian, ingatan atau memori, produksi perilaku dan
motivasi. Elemen yang kedua, determinisme timbal-balik, menunjukkan
suatu proses di mana perilaku, kognisi dan faktor personal lainnya dari
seorang pelajar berinterksi dengan pengaruh lingkungan. Teori tersebut
menyatakan bahwa baik faktor lingkungan maupun individual saling
mempengaruhi satu sama lain. Elemen yang ketiga, regulasi diri,
merupakan suatu mekanisme yang memungkinkan seseorang untuk
mengatur perilaku dirinya sendiri dengan menggambarkan
konsekuensi kebangkitan diri. Elemen yang keempat, kemampuan diri,
adalah kepercayaan seseorang pada kemampuannya untuk
menunjukan suatu perilaku di dalam situasi tertentu dengan sebaik-
baiknya.
Sekalipun hampir semua konsep pembelajaran sosial (kognitif)
cenderung sesuai dengan teori belajar holistik, ada satu konsep
terbaru yang menawarkan suatu perspektif pembelajaran bagi orang
dewasa yang lebih luas. Teori pembelajaran sosial (kognitif)
memadukan sejumlah proses kognitif ke dalam alasan mengapa
seseorang belajar, teori pembelajaran sosial (kognitif) memfokuskan
diri pada domain pengetahuan praktis/implisit dan kemudian tidak
sepenuhnya dapat mengarahkan pembelajaran kepada dua domain
pengetahuan lainnya. Orang tidak dapat belajar hanya dengan
mengamati (merujuk pada model belajar partisipatif dalam teori
belajar holistik) namun juga melalui berpikir dan dipengaruhi. Kedua,
teori pembelajaran sosial (kognitif) tidak mampu menjelaskan ketiga
sisi pengetahuan dan peran relatifnnya masing-masing.

Pendekatan pembelajaran trasformasional


Brooks (2004) mengemukakan empat cabang teoritis
pembelajaran transformasional: (a) Pendekatan rasional Jack Mezirow,
(b) Pendekatan Jungian, (c) Pendekatan emansipatif Paulo Freire (1984)
dan (d) Mode transformatif pembelajaran tindakan. Pertama, daftar
teori rasional Mezirow (1978 1990 1991) dengan cakupan proses
kognitif pada pembelajaran transformasional. Teori ini menunjukan
bahwa pembelajaran sebagian besarnya merupakan suatu proses
individual yang dipengaruhi oleh rasionalitas.
Berdasarkan pandangan teori pembelajaran holistik, pendekatan
rasional ini menyarankan agar pelajar memiliki otonomi dan
memandang peran sisi pengetahuan eksplisit dalam pembelajaran
transformasional. Kedua, pendekatan Jungian pada pembelajaran
transformasional nampak menekankan sisi pengetahuan emansipatif,
sekalipun dalam level individual. Dengan didukung oleh agenda
humanistik tentang aktualisasi diri, pendekatan ini menyatakan bahwa
366

tujuan utama dari pembelajaran adalah untuk membebaskan pelajar


dari kontrol bawah sadar individual dan pembatasan norma sosial.
Ketiga, pendekatan Freire menyoroti hak dan keadilan sosial.
Pendekatan ini menggunakan proses pembelajaran transformasional
untuk memunculkan kesadaran pemahaman partisipan di dalam situasi
yang sedang mereka hadapi. Berdasarkan perspektif pembelajaran
holistik, pendekatan ini bertujuan untuk mengubah pengetahuan
emansipatif individual dan pengetahuan kritis yang dimiliki oleh suatu
kelompok partisipan. Pendekatan ini menganggap sistem sosial yang
ada terlalu mengekang, dan mereka yang terkekang harus dibebaskan
melalui kesadaran kritis. Terakhir, pendekatan pembelajaran tindakan
bertujuan untuk melakukan transformasi individual sekaligus
organisasional. Berdasarkan pandangan teori belajar holistik,
pendekatan ini bertujuan mengadakan suatu perubahan mendalam
terhadap pengetahuan praktis yang dimiliki oleh sekelompok partisipan
guna memecahkan berbagai masalah keseharian yang muncul di
dalam kelompok.

Pedagogi kritis
Pedagogi kritis merupakan suatu bentuk pendidikan orang
dewasa yang berakar pada teori kritis. Teori kritis menyatakan bahwa
pembelajara tidak semata-mata berkisar pada proses mental atau
teknis guna memecahkan permasalahan dengan tujuan produktivitas
dan efisiensi. Pedagogi kritis berpendapat bahwa pembelajaran bagi
orang dewasa bukan sekedar proses individual, namun juga proses
sosial dan politis (Cunningham 2004). Pedagogi kritis menganggap
pengetahuan bukan suatu entitas netral, namun merupakan suatu
perangkat yang telah terbangun secara sosial dan politis. Ada beragam
konseptualisasi yang berbeda di dalam pendidikan pedagogi kritis, dan
tiga tema utamanya dapat ditemukan di antara beragam
konseptualisasi tersebut, termasuk di antaranya kelas sosial, kekuatan
dan pengekangan, pengetahuan dan kebenaran (Merriam & Cafarella
1999). Pola pertama menggambarkan perhatian terhadap ketimpangan
sosial yang tercermin dalam ras, gender dan kelas sosial dan ekonomi.
Tema ini menyarankan diselenggarakannya berbagai pengkajian politik
dan ekonomi terhadap pembelajaran dan pendidikan. Tema kedua
menganggap bahwa ketimpangan sosial merupakan hasil dari
kekuatan sistem yang hegemonik. Pedagogi kritis berniat membekali
mereka yang dikekang oleh kekuatan sistem yang ada, semacam
perusahaan multinasional atau lembaga pemerintah yang berkuasa,
dengan diskursus rasional tentang sumber kekuatan, pengetahuan dan
pengekangan. Tema ketiga dari pedagogi kritis berada pada sifat dasar
pengetahuan dan kebenaran. Tema ini menganggap bahwa
pengetahuan telah terkontruksi secara sosial dan bahwa kebenaran itu
relatif. Beberapa pendukungnya bahkan lebih jauh lagi menganggap
bahwa tidak ada satu pun kebenaran atau realitas yang bebas dari
jangkauan manusia. Pandangan pedagogi kritis yang menyatakan
bahwa pembelajaran bukan sekedar suatu proses psikologis dari
367

seorang pelajar individual adalah benar. Pembelajaran juga harus


dipandang sebagai suatu proses sosial dan politis. Berdasarkan
perspektif pedagogi kritis, banyak ahli PSDM yang menjadi bagian dari
kepentingan perusahaan dan kemudian hanya menyumbangkan sedikit
perhatian terhadap tindakan sosial untuk memajukan suatu
masyarakat yang layak dan setara.

KRITERIA MODAL MANUSIA DAN SOSIAL PERTANIAN YANG


BERKUALITAS DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN NASIONAL
Modal Manusia dan Sosial Pertanian
Modal manusia adalah kekayaan lembaga/institusi yang
menjadi faktor penentu keberhasilan aktivitas lembaga. Program
yang cemerlang atau sarana prasarana yang canggih tidak akan
memberikan manfaat yang berarti bagi lembaga apabila tidak
didukung oleh ketersediaan modal manusia yang
berkualitas. Sebagai manusia, modal manusia memiliki pikiran,
perasaan dan perilaku tertentu yang melandasi motivasi, sikap,
loyalitas, pemahaman peran, komitmen dan kepuasannya dalam
bekerja (Istijanto 2008).
Pembangunan merupakan proses yang berlangsung dalam
suatu sistem dengan melibatkan seluruh sumber daya pembangunan
yang ada. Dengan demikian, salah satu subsistem yang terpenting
dari Pembangunan Pertanian adalah "Manusia Pertanian" (modal
manusia Pertanian), sebagai pelaku utama pembangunan, yang
merupakan motor penggerak sekaligus pelaksana kegiatan-kegiatan
yang dirancang untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian dan
perdesaan. Modal manusia pertanian secara umum terdiri atas
aparatur pemerintah dan masyarakat tani. Kelompok yang termasuk
dalam jajaran aparatur pemerintah untuk modal manusia pertanian
adalah dari pengambil kebijakan level menteri sampai pada petugas
lapangan yaitu para penyuluh pertanian. Adapun masyarakat tani
adalah petani dan keluarganya (Deptan 2005).
Aparatur pertanian dipandang bukan hanya sebagai tenaga
kerja, tetapi sebagai modal sosial, yang menempatkan aparatur
pertanian sebagai manusia seutuhnya yang senantiasa berinteraksi
dengan manusia lainnya di bumi ini. Dengan konsep ini manusia
diharapkan memiliki ilmu dan bermartabat tinggi. Jadi pada hakekatnya
pengembangan SDM termasuk menuntut ilmu adalah diwajibkan bagi
setiap manusia manakala ingin menjadi manusia seutuhnya atau
subyek dalam konteks modal sosial di muka bumi ini. Secara garis
besar ada dua jenis SDM pertanian yaitu: (1) SDM yang bekerja di
sektor pertanian dan (2) aparatur pertanian yang melayani mereka.
SDM aparatur pertanian diharapkan dapat menjadi fasilitator,
motivator dan dinamisator pembangunan pertanian agar terjadi
gerakan pembangunan pertanian oleh petani, pengusaha pertanian
dan pedagang pertanian sebagai subyek dalam pembangunan
pertanian itu sendiri. Secara status aparatur pertanian dibedakan
368

menjadi dua yaitu, Pertama, aparatur Departemen Pertanian Pusat


yang secara hierarkis dan pembinaan karirnya berada langsung di
bawah tanggung jawab dan kewenangan Departemen Pertanian.
Kedua, aparatur pertanian daerah, yang secara administrasi dan
pembinaan karir sepenuhnya tanggung jawab dan kewenangan
pemerintah daerah. Departemen Pertanian berkewajiban dalam
pembinaan kemampuan teknis aparatur pertanian daerah.
SDM pertanian dalam konsep sebagai modal manusia dan
sosial yang unggul berarti selain memiliki kemampuan teknis juga
harus memiliki kualitas mental dan spiritual yang memadai. Sejalan
dengan hal tersebut, Deptan (Achmad 2005) telah menetapkan misi
pembangunan pertanian di antaranya adalah mewujudkan birokrat
yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi. Oleh
karena itu, baik dalam pembinaan maupun perekrutan sumber daya
pertanian Deptan sebagai aparatur pemerintah diarahkan tidak hanya
pada kecerdasan intelektualitas, namun juga kecerdasan emosional,
sosial dan spiritual.

Kriteria Modal Manusia dan Sosial Pertanian yang Berkualitas


dalam Pembangunan Nasional
Kriteria pelaku agribisnis (termasuk petani) yang berkualitas
Pembangunan pertanian saat ini menghadapi persaingan bebas
dalam era globalisasi. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur
untuk penyediaan input, pemasaran, dan komunikas inovasi sangat
diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup pertanian
individual. Kecenderungan adanya persaingan yang semakin ketat di
pasar dunia menyebabkan hanya petan-petani yang lebih efisien saja
yang mampu bertahan (van den Ban & Hawkins 2007). Hal ini menjadi
dasar pentingnya sumber daya pertanian yang berkualitas, khususnya
petani sebagai pelaku utama untuk mewujudkan pertanian yang maju
dan tangguh. Petani yang berkualitas adalah petani yang memiliki
tingkat keberdayaan atau kemandirian yang tinggi.
Slamet (2000) berpendapat bahwa untuk menumbuhkan dan
membina kemandiriannya, petani perlu diarahkan agar dengan
kekuatan dan kemampuannya berupaya untuk bekerja sama dalam
mencapai segala yang dibutuhkan dan diinginkan. Kemandirian tidak
berarti anti terhadap kerja sama atau menolak saling keterkaitan dan
ketergantungan. Kemandirian justru menekankan perlunya kerja sama
disertai tumbuh dan berkembangnya: aspirasi, kreativitas, keberanian
menghadapi resiko dan prakarsa seseorang bertindak atas dasar
kekuatan sendiri dalam kebersamaan. Aspirasi adalah dinamika untuk
mencapai sesuatu dengan kerja keras atau ulet. Kreativitas adalah
kecepatan menemukan pemecahan baru terhadap masalah-masalah
yang dihadapinya. Berani menghadapi resiko adalah cirri petani yang
rasional dengan ditandai oleh sifat inovatif yang senantiasa mencari
peluang untuk meningkatkan kehidupannya dan memiliki kemampuan
mengantisipasi masa depannya. Adapun prakarsa untuk bertindak
369

adalah inisiatif untuk memulai suatu kegiatan ke arah tercapainya


tujuan.
Marzuki (2001) menyatakan bahwa petani yang berdaya adalah:
1) Mampu memahami diri dan potensinya; 2) Mampu merencanakan,
mengarahkan dirinya sendiri; 3) Memiliki kekuatan untuk berunding
bargaining power; 4) Memiliki kemampuan bersanding dan
berbanding dengan kelompok masyarakat lainnya; dan 5) Bertanggung
jawab atas tindakannya sendiri. Analog dengan petani yang mandiri,
Abbas dalam Soebiyanto (1998) menyebutkan beberapa ciri petani
yang memiliki ketangguhan dalam berusaha tani, yaitu: 1) Mampu
memanfaatkan sumber daya secara optimal dan efisien; 2) Mampu
mengatasi segala hambatan dan tantangan; 3) Mampu menyesuaikan
diri dalam pola dan struktur produksi, serta mampu menciptakan pasar
yang menguntungkan produksinya; 4) Berperan aktif dalam
peningkatan produksi serta 5) Mampu menciptakan pasar yang
menguntungkan produksinya.
Petani yang mandiri menurut Sumardjo (1999) berarti mampu
mengambil keputusan dalam pengelolaan usahataninya secara cepat,
tanpa harus bergantung atau tersubordinasi oleh pihak lain, mampu
beradaptasi secara optimal dan inovatif terhadap berbagai berubahan
lingkungan fisik dan sosialnya, serta mampu bekerjasama dengan
pihak lain dalam situasi yang saling menguntungkan sehingga terjadi
kesalingtergantungan (interdependency). Petani mandiri juga dicirikan
oleh perilakunya yang efisien dan berdaya saing tinggi. Berperilaku
efisien berarti berfikir dan bertindak disertai dengan sikap positif dalam
menggunakan sarana secara tepat guna atau berdaya guna. Perilaku
berdaya saing tinggi artinya dalam berfikir dan bertindak senantiasa
disertai sikap berkarya dalam hidup yang berorientasi pada mutu dan
kepuasan konsumen atas produk atau jasa yang dihasilkan. Petani
yang memiliki kemandirian, dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu:
1. Kapabilitas (kemampuanya) dengan ciri-ciri: kompeten, inovatif,
self-reliance dan self-confidence atau memiliki kepercayaan pada
diri sendiri yang besar.
2. Interdependence (handal) yang merujuk pada trust (kepercayaan)
dan pengembangan kapabilitas.
3. Jaringan kerjasama (kemitraan) yang bersifat egaliter (kesamaan),
bersinergi dan interdependen.
The farmer have an autonomy if the farmer responsible and
capable to conduct every facet of his activities with minimum
intervention from the outside. The farmer's autonomy also concerns
the financing of the farm's activities. If at the beginning some financial
or material support is necessary start the activity, the follow-up period
makes the farmer place more value on the help received by increasing
his profits so that he will be able to reinvest in those activities. (Petani
memiliki kemandirian apabila petani bertanggung jawab dan mampu
melakukan setiap aspek kegiatannya dengan intervensi yang sangat
minim dari pihak luar. Kemandirian petani juga berhubungan dengan
pembiayaan kegiatan pertaniannya. Apabila pada awalnya beberapa
370

dukungan pembiayaan atau material adalah penting, periode


selanjutnya membuat petani mampu lebih menghargai bantuan yang
diterimanya dengan meningkatkan pendapatan, sehingga mereka akan
mampu menginvestasikannya untuk kegiatan usaha tani (Songhai
Center 2009).
Berkaitan dengan kualitas petani, Achmad (2005) menyatakan
bahwa petani yang berkualitas adalah petani yang amanah, yang di
antaranya memiliki ciri:
1. Tawadhu atau rendah hati, karena mereka menyadari bahwa
keberhasilan dalam mengusahakan kebun, mulai dari persiapan,
menanam, memelihara, hingga panen, semuanya merupakan
pertolongan Allah SWT;
2. Senantiasa bersyukur kepada Allah atas segala karunia dan rahmat-
Nya dengan cara mengakui dan menyadari bahwa setiap
keberhasilan yang diperoleh berasal dari Allah SWT dan
mengoptimalkan karunia dan rahmat-Nya untuk meningkatkan
ketaatan kepada-Nya;
3. Menyediakan dengan ikhlas sebagian hasil kebunnya untuk fakir
miskin, baik dalam bentuk zakat ataupun shodaqoh;
4. Menyadari bahwa seluruh aktivitasnya adalah ibadah, bukan
semata-mata untuk memenuhi target keluarga ataupun target
pemerintah. Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah bekerja
keras untuk menyongsong rizki karena Allah SWT.
5. Sabar menghadapi ujian dalam kehidupannya.
6. Tawakal atas hasil dari setiap aktivitas yang telah diusahakan
secara maksimal dengan dilandasi keikhlasan dan disertai doa,
karena ia yakin tidak ada sesuatupun yang dapat terjadi kecuali
atas kehendak Allah SWT.
Untuk mewujudkan petani yang amanah, diperlukan upaya
pembinaan secara terprogram, intensif dan terus menerus. Seluruh
pihak, baik pemerintah, swasta, berbagai lembaga kemasyarakatan
maupun masyarakat sendiri harus terlibat secara aktif dalam
mekanisme pola komunikasi yang dialogis.

Kriteria aparatur pertanian yang berkualitas


Menurut David McClelland, hard skill merupakan faktor penting
dalam bekerja, namun keberhasilan seseorang dalam bekerja biasanya
lebih ditentukan oleh soft skill-nya yang baik. Faktor utama
keberhasilan para eksekutif muda dunia adalah kepercayaan diri, daya
adaptasi, kepemimpinan dan kemampuan mempengaruhi orang lain
yang disebut sebagai soft skill. SDM unggul, tidak hanya semata-mata
memiliki hard skill yang baik tetapi juga didukung oleh soft skill yang
tangguh. Berkaitan dengan hal tersebut, selain memiliki kapasitas
teknis di bidangnya, SDM pertanian yang berkualitas juga harus
memiliki nilai-nilai, di antaranya adalah: (1) Enterpreneurship
(kewirausahaan); (2) Akuntabilitas; (3) Good governance dan clean
goverment; (4) Responsibilitas; (5) Reinventing goverment; (6)
Pemihakan kepada petani; (7) Kerjasama kemitraan; (8) Pelimpahan
371

wewenang; (9) Pelayanan prima; dan (10) Asah gergaji


(pengembangan diri secara terus menerus).
Apabila dikaitkan dengan kebutuhan kualifikasi di masa
mendatang, maka sistem perekrutan aparatur pertanian yang saat ini
masih belum memadai untuk ke depan harus sudah dilakukan secara
lebih komprehensif dalam peningkatan profesionalisme SDM.
Mangkuprawira (2008) menyatakan bahwa salah satu soft skill
penting adalah dalam melakukan komunikasi antarpersonal. SDM yang
piawai dalam melakukan komunikasi antarpersonal dicirikan oleh
kemampuannya dalam mengarahkan, memotivasi dan bekerjasama
secara efektif dengan orang lain. Selain itu mampu memahami
pemikiran orang lain dengan jelas. Semuanya berbasis pada kesadaran
diri. Jadi orang seperti itu, sebelum mampu memahami orang lain,
seharusnya mampu memahami dirinya, perasaannya, keyakinannya,
nilai pribadinya, sikap, persepsi tentang lingkungan, dan motivasi
untuk memperoleh sesuatu yang patut dikerjakannya. Hal demikian
membantunya untuk menerima kenyataan bahwa tiap orang adalah
berbeda dalam hal keterampilan dan kemampuan, keyakinan, nilai,
dan keinginannya. Dalam hal ini, maka SDM pertanian yang memiliki
keterampilan komunikasi antarpersonal yang baik sebagaimana
disampaikan oleh Cole (2005) harus memiliki ciri-ciri:
1. Komunikasi yang jelas. Gagasan cemerlang dan instruksi-instruksi
penting dari seorang manajer menjadi percuma kalau tidak
dipahami orang lain. Sementara itu lebih dari 75 persen waktu para
manajer dialokasikan untuk berkomunikasi dengan orang lain.
2. Asertif dan empati. Manajer bekerja dengan dan atau melalui orang
lain. Jadi setiap pernyataannya harus mudah dipahami dan
dimengerti orang lain seperti juga dia mampu melihat sesuatu dari
pikiran atau pandangan orang lain tersebut.
3. Integritas. Ciri-ciri orang yang memiliki kemampuan dalam
komunikasi antar personal biasanya bekerja dengan jujur dan
menghargai orang lain, yang berpegang pada etika, dan sistem
nilai. Para manajer dengan integritas tinggi melakukan sesuatu
sejalan dengan yang mereka katakan. Satunya kata dengan
perbuatan, menghindari kecurangan, dan membangun kejujuran.
Say what they mean and mean what they say. Para subordinasi
umumnya percaya dengan sifat manajer yang mampu bekerja
dengan benar dan akan mengikuti apa yang diarahkan oleh manajer
tersebut.
4. Mendorong dan memotivasi. Kemampuan manajer dalam
mendorong dan memotivasi serta meningkatkan spirit orang lain
dalam mencapai hasil terbaik. Sesuatu yang terbaik adalah aset
yang tinggi nilainya.
5. Respek pada orang lain. Manajer yang efektif adalah seseorang
yang tidak lalai menghormati orang lain dalam hal perasaan,
gagasan, aspirasi dan kontribusi untuk organisasi dan luar
organisasi.
372

6. Mampu sebagai pemain tim dan bekerjasama secara efektif.


Manajer efektif adalah seseorang yang mampu bekerja sama
dengan orang lain secara kooperatif di dalam organisasi (manajer
lainnya, tim kerja, dan departemen lainnya) dan luar organisasi
(publik, pemasok, kontraktor, pekerja musiman dan pelanggan).

Kriteria modal sosial pertanian yang berkualitas


Modal sosial merupakan cerminan sejauh mana masyarakat
yang terdiri atas individu-individu yang bersifat unik mampu
mengembangkan hubungan-hubungan, interaksi, dan transaksi sosial
sehingga terwujud struktur sosial. Modal sosial dapat bergradasi dari
yang paling lemah (encer) sampai paling kuat (kental) yang dicirikan
oleh struktur sosial masyarakat dari loose structure sampai ke solid
structure. Sebagai indikator dari encer/kentalnya kadar modal sosial
adalah:
1. Aspek kebersamaan antarindividu di dalam masyarakat guna
memenuhi berbagai kebutuhan;
2. Sejauhmana anggota-anggota masyarakat tahu, mau, dan mampu
memanfaatkan waktu-waktu senggang (leisure time) menjadi waktu
yang berharga, produktif dan bahkan dapat menghasilkan uang.
Status seseorang di dalam masyarakat umumnya diperoleh dari
perjuangan berprestasi melalui jalur proses belajar (learning
process) baik formal maupun nonformal dengan status yang
diperoleh digolongkan sebagai achieved status.
3. Sejauhmana sistem jaringan (networking) dengan prinsip saling
membantu dan saling menguntungkan, yang kuat membantu yang
lemah dapat berkembang dalam sistem sosial masyarakat.
4. Keterpercayaan (trust) atau lebih tepatnya adalah tingkat
kepercayaan sosial (social trust). Indikator ini terkait dengan
seberapa tinggi semangat saling menghargai, menghormati, dan
mengakui (recognizing) eksistensi dan hak-hak antar anggota
masyarakat.
Dalam suatu sistem sosial dengan modal sosial yang tinggi
memiliki ciri-ciri:
1. Sesuai dengan posisi dan statusnya, setiap individu dalam sistem
sosial memiliki kedewasaan (maturity), baik secara fisiologik,
psikologik dan sosiologik;
2. Setiap individu dalam sistem sosial merasa nyaman, nyaman dan
terhindarkan dari rasa takut dan terdeprivasi karena tumbuh dan
berkembangnya demokratisasi, keterpercayaan sosial dan
pelayanan publik yang manusiawi dan berkualitas;
3. Setiap individu dalam sistem sosial menyadari akan potensi yang
dimilikinya, memiliki kompetensi untuk mengembangkan potensi
potensi positif dan mengendalikan potensi yang negatif;
4. Apabila hak-hak dasar setiap orang dalam sistem sosial dapat
terpenuhi secara optimal dan manusiawi, berkeadilan dan secara
konsisten, berkesinambungan;
373

5. Apabila setiap individu dalam posisi dan statusnya dalam sistem


sosial memiliki peluang besar dan dapat meraih kompetensi optimal
yang dapat diperankan dan difungsikan secara benar dan
bermartabat;
6. Apabila setiap individu dalam posisi dan statusnya dalam sistem
sosial memiliki kepribadian kuat dan berperilaku positif sesuai
sistem nilai normatif yang dianut dan merupakan kesepakatan
bersama;
7. Apabila setiap individu dalam sistem sosial memiliki dorongan dan
kemampuan kuat untuk menghargai dan menghormati keberadaan
dan hak-hak dasar orang-orang lain di lingkungan ia berada;
8. Apabila setiap individu dalam sistem sosial posisi dan statusnya
memiliki dorongan kuat untuk terlibat di dalam aksi solidaritas, baik
yang berciri mekanik maupun organik.
Secara garis besar dapat dinyatakan bahwa modal manusia
dan sosial pertanian yang berkualitas adalah yang dapat
didayagunakan untuk merealisasikan visi dan misi Departemen
Pertanian dan memiliki mental yang amanah. SDM seperti itu adalah
salah satu keunggulan kompetitif yang sangat sulit ditiru, yang hanya
akan diperoleh dari SDM aparatur pertanian yang produktif, inovatif,
kreatif, selalu bersemangat dan loyal didukung oleh semangat kerja
sama, kepercayaan, saling menghormati dan pengembangan jaringan
sosial yang efektif. SDM dan sosial pertanian yang memenuhi kriteria
seperti itu hanya akan dimiliki melalui penerapan konsep dan teknik
pendekatan pengembangan SDM yang tepat dan efektif. Oleh karena
itu, pola komunikasi yang tepat merupakan salah satu unsur penting
dalam pengembangan SDM pertanian mendukung perwujudan modal
manusia dan sosial pertanian yang berkualitas.

POLA KOMUNIKASI DALAM PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN


Komunikasi memiliki arti proses penerusan faktor-faktor,
kepercayaan, sikap, reaksi emosi atau lain-lain pengetahuan antar
individu dalam masyarakat. Komunikasi adalah proses mengubah
perilaku orang lain. Proses komunikasi pada hakekatnya adalah proses
penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator)
kepada orang lain (komunikan). Pikiran dapat berupa gagasan,
informasi, maupun opini. Adapun perasaan bisa berupa keyakinan,
kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, maupun
keberanian. Komunikasi akan berhasil apabila pikiran disampaikan
dengan perasaan yang disadari, sebaliknya komunikasi akan gagal
apabila sewaktu menyampaikan pikiran, perasaan tidak terkontrol.
Pikiran bersama perasaan yang akan disampaikan kepada orang lain
dinamakan picture in our head. Yang menjadi permasalahan adalah
bagaimana caranya agar gambaran dalam benak dan isi kesadaran
pada komunikator yang oleh Laswell dinyatakan sebagai pesan itu
dapat dimengerti, diterima dan bahkan dilakukan atau diterapkan oleh
komunikan.
374

Pola komunikasi dalam mendukung pengembangan kapasitas


SDM yang dirumuskan dan diajukan adalah pola komunikasi interaktif
yang lebih dekat dengan model komunikasi konvergen (Rogers &
Kincaid 1981). Kedudukan komunikasi dan komunikator sama-sama
pentingnya, kedua belah pihak saling menghargai aspirasi dan
kepentingan mereka dalam proses komunikasi tersebut, sehingga
dengan pola tersebut akan menghasilkan komitmen bersama dan
sama tingginya.
Model komunikasi konvergen atau interaktif dinilai layak untuk
dikembangkan dalam proses pengembangan SDM pertanian karena
menghasilkan keseimbangan dalam perspektif teori pertukaran
melalui jalur kelembagaan yang telah mapan, didukung dengan bentuk
komunikasi yang konvergen (interaktif), baik vertikal maupun
horizontal dengan sistem sosial pertanian. Bentuk komunikasi
interaktif ini, sejalan dan memperhatikan prinsip-prinsip yang berlaku
dalam bentuk komunikasi konvergen mencakup: 1) Informasi; 2)
Adanya ketidakpastian; 3) Konvergensi kepentingan; 4) Saling
pengertian; 5) Persamaan tujuan; 6) Tindakan bersama; dan 7)
Jaringan hubungan atau relasi sosial.

Aspek Komunikasi dalam Sembilan Prinsip Pendidikan


Orang Dewasa
Prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa ini berkaitan dengan
training (pelatihan) dan pendidikan, dan biasanya diterapkan pada
situasi kelas formal atau untuk sistem on the job training (magang).
Tiap bentuk pelatihan sebaiknya memuat sebanyak mungkin sembilan
prinsip yang tersebut di bawah ini. Sudrajat (2009) menyatakan
bahwa prinsip pendidikan orang dewasa dideskripsikan dengan sistem
jembatan keledai, yaitu RAMP 2 FAME.
R = Recency
A = Appropriateness
M = Motivation
P = Primacy
2 = 2 Way Communication
F = Feedback
A = Active Learning
M = Multi Sense Learning
E = Excercise

R Recency
Hukum dari Recency menunjukkan kepada kita bahwa sesuatu
yang dipelajari atau diterima pada saat terakhir adalah yang paling
diingat oleh peserta/partisipan. Ini menunjukkan dua pengetian yang
terpisah di dalam pendidikan. Pertama, berkaitan dengan isi (materi)
pada akhir sesi dan kedua berkaitan dengan sesuatu yang segar
dalam ingatan peserta. Pada aplikasi yang pertama, penting bagi
pelatih untuk membuat ringkasan (summary) sesering mungkin dan
yakin bahwa pesan-pesan kunci/inti selalu ditekankan lagi di akhir
375

sessi. Pada aplikasi kedua, mengindikasikan kepada pelatih untuk


membuat rencana kaji ulang (review) per bagian di setiap
presentasinya.

A: Appropriateness (Kesesuaian)
Hukum dari appropriatenes atau kesesuaian mengatakan kepada
kita bahwa secara keseluruhan, baik sistem pembelajaran, informasi,
alat-alat bantu yang dipakai, studi kasus -studi kasus dan material-
material lainnya harus disesuaikan dengan kebutuhan
peserta/partisipan. Peserta akan mudah kehilangan motivasi apabila
fasilitator gagal dalam mengupayakan agar materi relevan dengan
kebutuhan mereka. Selain itu, fasilitator harus secara terus menerus
memberi kesempatan kepada peserta untuk mengetahui bagaimana
keterkaitan antara informasi-informasi baru dengan pengetahuan
sebelumnya yang sudah diperolah peserta, sehingga kita dapat
menghilangkan kekhawatiran tentang sesuatu yang masih samar atau
tidak diketahui.

M: Motivation (motivasi)
Hukum dari motivasi mengatakan kepada kita bahwa
partisipan/peserta harus punya keinginan untuk belajar, dia harus siap
untuk belajar dan harus punya alasan untuk belajar. Fasilitator
menemukan bahwa apabila peserta mempunyai motivasi yang kuat
untuk belajar atau rasa keinginan untuk berhasil, dia akan lebih baik
dibanding yang lainnya dalam belajar. Pertama-tama karena motivasi
dapat menciptakan lingkungan (atmosphere) belajar menjadi
menyenangkan. Jika kita gagal menggunakan hukum kesesuaian
(appropriateness) tersebut dan mengabaikan untuk membuat material
relevan, kita akan secara pasti akan kehilangan motivasi peserta.

P: Primacy (Menarik Perhatian di awal sesi pembelajaran)


Hukum dari primacy mengatakan kepada kita bahwa hal-hal
yang pertama bagi peserta biasanya dipelajari dengan baik, demikian
pula dengan kesan pertama atau serangkaian informasi yang diperoleh
dari pelatih betul-betul sangat penting. Untuk alasan ini, ada praktek
yang bagus yaitu dengan memasukkan seluruh poin-poin kunci pada
permulaan sesi. Selama sesi berjalan, poin-poin kunci berkembang dan
juga informasi-informasi lain yang berkaitan. Hal yang termasuk dalam
hukum primacy adalah fakta bahwa pada saat peserta ditunjukkan
bagaimana cara mengerjakan sesuatu, mereka harus ditunjukkan cara
yang benar di awalnya.

2: 2- Way Communication (Komunikasi 2 arah)


Hukum dari 2-way-communication atau komunikasi 2 arah
secara jelas menekankan bahwa proses pelatihan meliputi komunikasi
dengan peserta, bukan pada mereka. Berbagai bentuk penyajian
sebaiknya menggunakan prinsip komunikasi 2 arah atau timbal balik.
Ini tidak harus bermakna bahwa seluruh sesi harus berbentuk diskusi,
376

tetapi yang memungkinkan terjadinya interaksi di antara


pelatih/fasilitator dan peserta/partisipan.

F: Feedback (Umpan-Balik)
Hukum dari feedback atau umpan-balik menunjukkan kepada
kita, baik fasilitator dan peserta membutuhkan informasi satu sama
lain. Fasilitator perlu mengetahui bahwa peserta mengikuti dan tetap
menaruh perhatian pada apa yang disampaikan dan sebaliknya
peserta juga membutuhkan umpan balik sesuai dengan
penampilan/kinerja mereka.
Penguatan juga membutuhkan umpan-balik. Jika kita
menghargai peserta (penguatan yang positif) untuk melakukan hal-hal
yang tepat, kita mempunyai kesempatan yang jauh lebih besar agar
mereka mengubah perilakunya seperti yang kita kehendaki. Waspada
juga bahwa terlalu banyak penguatan negatif mungkin akan
menjauhkan kita memperoleh respon yang kita harapakan.

A: Active Learning (Belajar Aktif)


Hukum dari active learning menunjukkan kepada kita bahwa
peserta belajar lebih giat jika mereka secara aktif terlibat dalam proses
pelatihan. Belajar Sambil Bekerja merupakan peribahasa penting
dalam proses pembelajaran orang dewasa.

M : Multiple -Sense Learning


Hukum dari multi- sense learning mengatakan bahwa belajar
akan jauh lebih efektif jika partisipan menggunakan lebih dari satu dari
kelima inderanya. Fasilitator harus mampu memberitahu/mengatakan
sesuatu kepada peserta belajar dengan baik dengan menggunakan
sebanyak mungkin indera peserta. Ketika menggunakan multiple-
sense learning, fasilitator harus yakin bahwa tidak sulit bagi kelompok
untuk mendengarnya, melihat dan menyentuh apapun.
Implikasi dari prinsip ini adalah pemanfaatan berbagai media,
pendekatan, dan teknik komunikasi dalam proses belajar mengajar
sesuai dengan materi yang disajikan dan karakteristik peserta belajar
perlu diperhatikan. Penggabungan berbagai media komunikasi
(interpersonal, peragaan/demonstrasi produk, tercetak maupun
elektronis), pendekatan komunikasi (perorangan, kelompok, massa),
maupun teknik komunikasi (presentasi, praktek, focus group
discussion, story telling) perlu dipilih dan digunakan dengan baik untuk
mendapatkan efektivitas proses pembelajaran yang optimal.

E. Exercise (Latihan)
Hukum dari latihan mengindikasikan bahwa sesuatu yang
diulang-ulang adalah yang paling diingat. Dengan membuat peserta
melakukan latihan atau mengulang informasi yang diberikan, kita
dapat meningkatkan kemungkinan mereka semakin mampu mengingat
informasi yang sudah diberikan. Yang terbaik adalah jika pelatih
377

menambah latihan atau mengulangi pelajaran dengan mengulang


informasi dalam berbagai cara yang berbeda. Fasilitator dapat
membicarakan mengenai suatu proses baru, lalu menunjukkan
diagram, menunjukkan produk yang sudah jadi dan akhirnya minta
kepada peserta untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Latihan
juga menyangkut intensitas. Hukum dari latihan juga mengacu pada
pengulangan yang berarti atau belajar ulang.

Knowledge Sharing untuk peningkatan kapasitas SDM


pertanian
Knowledge Sharing model (berbagi pengetahuan) merupakan
salah satu metode atau salah satu langkah dalam Manajemen
Pengetahuan yang digunakan untuk memberikan kesempatan kepada
anggota suatu kelompok, organisasi, instansi atau perusahaan untuk
berbagi ilmu pengetahuan, teknik, pengalaman dan ide yang dimiliki
kepada anggota lainnya. Berbagi pengetahuan hanya dapat dilakukan
apabila setiap anggota memiliki kesempatan yang luas dalam
menyampaikan pendapat, ide, kritik dan komentarnya kepada anggota
lainnya (Subagyo 2009).
Pengelolaan pengetahuan merupakan suatu proses siklus, dimana
output dari satu mata rantai proses menjadi input untuk mata proses
berikutnya yang secara keseluruhan saling berkaitan. Misalnya proses
knowledge sharing yang dilakukan dengan kegiatan diskusi formal di
suatu pertemuan, merupakan output dari suatu proses kajian
kebutuhan atau adanya rekomendasi dari proses sebelumnya agar
diadakan diskusi tersebut. Sedangkan diskusi formal tersebut tentunya
menghasilkan beberapa poin-poin kesimpulan. Setiap poin kesimpulan
dapat berupa informasi. Kemudian setiap informasi akan memerlukan
internalisasi kepada masing-masing peserta. Setelah internalisasi
tersebut maka muncullah beberapa ide baru atau pemahaman baru.
Setiap ide baru memerlukan obyektifikasi yang ia memerlukan diskusi-
diskusi kembali. Semakin banyak ide baru yang muncul,
memungkinkan inovasi yang semakin banyak, sehingga akan semakin
meningkatkan daya saing.
378

Gambar 1 Siklus sharing pengetahuan (Huysman 2003)


Gambar 1 menggambarkan secara sederhana siklus sharing
pengetahuan (Huysman 2003). Berger dan Luckmann (1966)
menyebutkan ada tiga momen dalam proses membangun
pengetahuan dalam organisasi: eksternalisasi, obyektifikasi dan
internalisasi. Eksternalisasi pengetahuan adalah proses dimana terjadi
pertukaran pengetahuan personal, sehingga pengetahuan
dikomunikasikan diantara anggota.
Obyektivikasi pengetahuan adalah proses dimana pengetahuan
menjadi realitas obyektif, sehingga pengetahuan tersebut diakui
organisasi (komunitas). Internalisasi pengetahuan adalah proses
dimana pengetahuan yang terobyektifikasi tersebut digunakan oleh
personal dalam rangka sosialisasi mereka. Internalisasi pengetahuan
dilakukan melalui kegiatan pencarian dan menemukan kembali
pengetahuan yang tersimpan dalam organisasi. Inovasi dihasilkan dari
kombinasi pengetahuan personal, pengetahuan yang di-share oleh
kelompok dan pengetahuan organisasi. Ketiga proses tersebut juga
menggambarkan tipe-tipe sharing pengetahuan yang diusulkan
Marleen Huysman dan Dirk de Wit (2003), yaitu knowledge exchange,
knowledge retrieval dan knowledge creation.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini
sangat mendukung terlaksananya proses berbagi pengetahuan.
Dengan demikian, sharing pengetahuan selain dapat dilakukan melalui
pertemuan fisik konvensional seperti: diskusi rutin, workshop, magang,
juga dapat menggunakan sarana TIK, yaitu: pertemuan virtual seperti
tele-conference, email, mailling-list, web-discussion-forum, web-
conference, wiki dan blogging. Sharing pengetahuan tidak dapat
379

dilakukan tanpa adanya komunikasi lebih dari satu arah. Semua sarana
tersebut sebenarnya memiliki unsur utama yaitu story-telling
(bercerita). Semua personal yang terlibat diharapkan memberikan
kontribusinya dengan menceritakan pemikiran, ide atau
pengalamannya. Apalagi dalam konteks sharing pengetahuan terkait
pengetahuan lokal atau indigenous knowledge (IK), dimana salah
satu karakteristiknya adalah disebarkan secara oral, story-telling
menjadi jembatan agar pengetahuan oral tersebut dapat dikodifikasi
dan menjadi pengetahuan tertulis.
Model knowledge sharing ini tidak hanya sesuai untuk SDM dalam
kategori aparatur pertanian, namun juga sesuai untuk petani. Hanya
saja, model knowledge sharing yang diimplementasikan bagi petani di
lapangan mekanismenya perlu lebih disederhanakan. Hal ini dilandasi
oleh adanya kenyataan bahwa petani menggunakan berbagai sumber
informasi untuk mendapatkan inovasi yang diperlukan dalam
mengelola usahataninya. Gagasan tersebut yang melandasi konsep
sistem pengetahuan dan informasi pertanian atau agricultural
knowledge and information system (AKIS) yang dirumuskan sebagai:
peningkatan keserasian antar pengetahuan, lingkungan, dan teknologi
yang diperlukan melalui sinergi dari berbagai pelaku, jejaring kerja,
dan lembaga yang akan menciptakan proses kesinambungan dalam
transformasi, transmisi, dokumentasi (documentation), pencarian
informasi (search), pemanggilan (retrieval), integrasi, difusi, serta
pemanfaatan bersama (sharing) inovasi. Dengan demikian, untuk
mengelola usahataninya dengan baik, petani memerlukan berbagai
sumber inovasi (van den Ban & Hawkins, 1999), antara lain: 1)
Kebijakan pemerintah; 2) Hasil penelitian dari berbagai disiplin ilmu; 3)
Pengalaman petani lain; dan 4) Informasi terkini mengenai prospek
pasar yang berkaitan dengan sarana produksi dan produk pertanian.
Sistem pengetahuan dan informasi pertanian tersebut dapat
berperan dalam membantu petani dengan melibatkannya secara
langsung dengan sejumlah besar kesempatan, sehingga mampu
memilih kesempatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi faktual di
lapangan. Peningkatan efektifitas jejaring pertukaran informasi antar
pelaku agribisnis terkait merupakan aspek penting untuk mewujudkan
sistem pengetahuan dan informasi pertanian. Dengan dukungan TIK
serta peran aktif berbagai institusi dalam lingkup Departemen
Pertanian, upaya untuk mewujudkan jaringan informasi bidang
pertanian sampai di tingkat petani dapat diwujudkan. Keberhasilan
proses knowledge sharing sangat bergantung pada peran aktif dari
berbagai institusi terkait lingkup Departemen Pertanian untuk
mengembangkan jaringan informasi pertanian di setiap lini pelaku
pembangunan pertanian.

KESIMPULAN
Modal manusia adalah kekayaan lembaga/institusi yang menjadi
aktor penentu keberhasilan aktivitas lembaga atau masyarakat. Dalam
menghadapi era globalisasi dan era informasi, setiap bangsa
380

memerlukan modal manusia yang memiliki keunggulan yang prima,


yaitu manusia yang memiliki kualitas di samping menguasai iptek juga
harus memiliki sikap mental dan live skill sesuai dengan
kompetensinya. Konsep SDM pertanian yang perlu dikembangkan
dalam peningkatan kapasitas SDM pertanian adalah SDM pertanian
sebagai human capital dan social capital.
Pada umumnya, teori pembelajaran kontemporer memunculkan
model berdasarkan bagian-bagian dari sisi-sisi pengetahuan dan
interaksi yang saling berhubungan. Teori motivasi merupakan salah
satu dasar dalam pengembangan sumber daya manusia. Teori holistik
bagi pembelajaran orang dewasa dengan memadukan berbagai dalil
umum dari teori pembelajaran kontemporer merupakan pendekatan
yang lebih mengarah pada konsep pengembangan SDM dalam konsep
SDM sebagai human capital maupun social capital.
Pola komunikasi dalam pengembangan SDM yang sesuai dengan
kapasitas SDM pertanian sebagai human capital dan social capital
adalah pola interaksi dengan model komunikasi konvergen, yaitu
berbagi pengetahuan (knowledge-sharing model) secara setara antara
benefactors dan beneficiaries, sehingga keduanya saling
mempengaruhi dan berbagi pengetahuan. Pelaksanaan komunikasi
dalam pengembangan SDM mengkombinasikan paradigma dominan
dan kritis karena dipandang menjadi lebih lengkap. Perkembangan TIK
saat ini sangat mendukung terlaksananya proses berbagi
pengetahuan. Dengan demikian, sharing pengetahuan selain dapat
dilakukan melalui pertemuan fisik konvensional seperti: diskusi rutin,
workshop, magang, juga dapat menggunakan sarana TIK, yaitu:
pertemuan virtual seperti tele-conference, e-mail, mailling-list, web-
discussion-forum, web-conference, wiki dan blogging.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad. 2005. Sumber Daya Manusia Pertanian yang Amanah.
Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian,
Departemen Pertanian.
Alderfer CP. 1969. An empirical test of a new theory of human needs.
Organizational Behavior and Human Performance, 4, 142175.
Awang M. 2008. Sumber Daya Manusia dalam Revitalisasi Pertanian.
http://awangmaharijaya.wordpress.com/2008/02/27/sumberdaya
-manusia-dalam-revitalisasi-pertanian/.
Berger P, Luckmann T. 1966. The Social Construction of Knowledge.
London: Penguin.
Cole K. 2005. Management, Theory and Practice. Australia: Pearson
Education. dalam Tb.Sjafri Mangkuprawira. 2008.Horison:Bisnis,
Manajemen, dan SDM. IPB Press. Bogor.
DeGraf J, Lawrence KA. 2002. Creativity at Work: Developing The
Right Practices to Make Innovation. John Wiley & Sons.
Deptan. 2008. Penyelenggaraan Pendidikan Pertanian pada
Departemen Pertanian. [terhubung berkala] 3 November 2008.
381

Freire P. 1984. Pendidikan, pembebasan, dan perubahan sosial.


Diterjemahkan oleh Mien Joebhaar dan Dick Hartono. Jakarta:
PT. Sangkala Pulsar.
Hage S. 2006. Study tours as a knowledge sharing mechanism and a
networking opportunity in the development sector. The example
of a Local Economic Development study tour in South Africa. KM
for Development Journal. Volume 2(1), 88-92. www.km4dev.org
Herzberg F, Mausner B, Snyderman B. 1959. The motivation to work.
New York: John Wiley and Sons; Herzberg, F. 1965. The
motivation to work among Finnish supervisors. Personnel
Psychology, 18, 393402
Hinds PJ, Pfefer J. 2003. Why Organization Dont Know What They
Know, Sharing Expertise Beyond Knowledge Management. MIT
Press.
Huysman M, Wit D. 2003. A Critical Evaluation of Knowledge
Management Practices, Sharing ExpertiseBeyond Knowledge
Management. MIT Press.
IRRI. CREMNET (Crop and Resource Management Network). Manila,
Philippines. Istijanto. 2008. Riset Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Gramedia.
Jalal F. 2008. Menyiapkan SDM yang Kompetitif. [terhubung berkala] 5
Desember 2008. http://www.edubenchmark.com/menyiapkan-
sdm-yang-kompetitif. html
Mangkuprawira Syafri. 2008. ronawajah.wordpress.com. [terhubung
berkala] 1 Oktober 8 Desember 2008.
McCluskey A. 2000. Knowledge and Local Community,
Connected.Org, http://www.connected.org/learn/local.html
Miller FJ. 2002, I = O (Information has no intrinsic meaning).
Information Research, 8(1), paper no. 140.
http://InformationR.net/ir/8-1/paper140.html
Rogers EM, Kincaid DL. 1981. Communication Networks. Toward a
New Paradigm for Research. The Free Press. A Division of
Macmillan Publishing Co., Inc.
Slamet M. 2000. Memantapkan Posisi dan Meningkatkan Peran
Penyuluhan Pembangunan dalam Pembangunan. Disampaikan
pada Seminar Nasional Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani. Bogor, 25-26
September 2000
Songhai Center. 2009. The farmer's autonomy. [terhubung berkala] 10
April 2009. http://www.songhai.org/songhai_en/index.php?
option=content&task =view&id=15
Subagyo H. 2009. Pengantar Knowledge Sharing untuk Community
Development. [terhubung berkala] 2 Juni 2009.
www.gumilarcenter.com/ict/knowledgesharing.pdf
382

Sudrajat , Akhmad. 2009. 9 Prinsip Pendidikan Orang Dewasa. Diambil


dari Bahan TOT Pemberdayaan Komite Sekolah. 2006.
[terhubung berkala] 2 Juni 2009.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com.
Suit Y, Almasdi. 1987. Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumber
Daya Manusia. Ghalia Indonesia.
Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju
Pengembangan Kemandirian Petani. Disertasi. Institut Pertanian
Bogor.
van den Ban, Hawkins HS. 2007. Penyuluhan pertanian. Diterjemahkan
oleh Agnes Dwina Herdiasti. Yogyakarta: Kanisius.
Zifana M. 2008. Teori Belajar Holistik dan Berbagai Implikasinya
Terhadap Pengembangan Sumber Daya Manusia. [terhubung
berkala] 2 Juni 2009. Mahardhikazifana.com/.../teori-belajar-
holistik-dan-berbagai-implikasinya-terhadap-pengembangan-
sumberdaya-manusia
383

HAMBATAN-HAMBATAN KOMUNIKASI YANG DIRASAKAN


PETERNAK DALAM PEMBINAAN BUDIDAYA SAPI POTONG

Amiruddin Saleh12, Elly Rosana13, Hadiyanto12

ABSTRACT
Effective communication can influence receiver attitude in order to accept innovation
while its effectivity will decline by various factors. This research is design to describe
individual characteristics and communication activities, communication barriers of
cattle farmer in Ogan Ilir District, to analyze correlation of individual characteristics
and communication activity to communication barrier and to analyze correlation
between individual characteristics to communication activity of cattle farmer in Ogan
Ilir Regency. The results were 1) Cattle farmers individual characteristics generally
middle aged, elementary school graduated, low income, less experienced in cattle
raising, low cosmopolite and good knowledge of cattle raising. While highest score in
communication activity were communication methods, followed by group engagement,
communication direction, communication intensity and information seeking
respectively, 2) the most communication barrier felt by farmers are attention and
friendliness, followed by prejudice, expectation gap and needs gap, 3) Generally, there
was significant correlation between individual characteristics to communication barrier
for experience, cosmopolite and knowledge level, 4) there was significant correlation
between communication activity to communication barriers and 5) generally, there was
significant correlation between individual characterstics with communication activity
for age, education, income, experience, cosmopolite and knowledge level. Based on
the result, it is concluded that there was significant correlation between farmer factor
and communication activity to communication barrier in order to improve productivity
cattle farmers in Ogan Ilir Regency.

Key words: communication barriers, cattle farmer, cattle rising

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi yang besar
sebagai negara penghasil produk peternakan. Daging, telur dan susu
merupakan produk peternakan sumber protein hewani utama yang
berasal dari ternak ruminansia dan unggas. Produktivitas ternak
dipengaruhi oleh tiga hal yaitu bibit (breeding), pakan (feeding) dan
tata laksana pemeliharaan (management). Daya dukung lahan dan
ketersediaan pakan merupakan faktor yang menjadi pembatas dan
pendukung pada beberapa jenis ternak. Pengembangan usaha
subsektor peternakan perlu didasarkan pada peluang dan kesempatan
yang dimiliki suatu wilayah dengan sumber daya yang tersedia dan
mengacu pada penggunaan sumber daya yang optimal, keunggulan
komparatif wilayah maupun keunggulan kompetitif komoditas.
Pengembangan subsektor peternakan diarahkan untuk mewujudkan
peternakan yang berwawasan maju, efisien dan tangguh, kompetitif,
mandiri dan berkelanjutan, berbasis perdesaan dengan memanfaatkan

12 Dosen Program Mayor Komunikasi Pembangunan IPB


13 Dosen Universitas Sriwijaya Palembang
384

potensi sumber daya wilayah perdesaan serta pemberdayaan


masyarakat peternak.
Peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian yang
memiliki peran penting dalam konteks pemenuhan kebutuhan pangan
nasional. Produk hasil peternakan seperti daging, susu dan telur
merupakan produk pangan asal ternak yang berperan dalam upaya
pemenuhan gizi. Permasalahan dalam upaya pemenuhan protein asal
hewan adalah tidak seimbangnya produksi produk peternakan (daging,
telur dan susu) secara nasional. Hal ini dapat dilihat pada data
produksi dan konsumsi lima tahun terakhir yaitu tahun 2001-2005 yang
terus meningkat, misalnya data tahun 2005 daging 2.113,2 ribu ton,
telur 1.149 ribu ton dan susu 342 ribu ton, sementara konsumsi
daging 2.151,7 ribu ton, telur 1.149 ribu ton dan susu 1.306 ribu ton.
Produksi yang terus meningkat setiap tahunnya dan
konsumsi/kebutuhan yang juga terus meningkat meIebihi produksi
sehingga masih harus dipenuhi dengan impor (Ditjennak 2006).
Pembangunan peternakan nasional diawali dari lingkup terkecil
suatu wilayah. Berdasarkan potensi dan sumber daya yang
dimilikinya, suatu wilayah akan mengembangkan peternakan sebagai
salah satu aspek pembangunan wilayahnya. Kabupaten Ogan Ilir
merupakan daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir
yang diresmikan tahun 2004, terletak di Provinsi Sumatera Selatan.
Potensi desa-desa di Kabupaten ini salah satunya mempunyai bahan
pakan yang melimpah tetapi masih relatif rendah populasi ternaknya.
Data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ogan Ilir tercatat 16
kelompok ternak yang berada di wilayah Kabupaten Ogan Ilir
(Disnakkan Ogan Ilir 2006). Untuk itu Pemerintah daerah Ogan Ilir
mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Ogan Ilir No.2 Tahun 2005 yang
mengatur tugas dan fungsi Dinas Peternakan dan Perikanan yang
dijabarkan pada pasal 36 dan 37 surat keputusan bupati tersebut.
Berkaitan dengan pembangunan peternakan tersebut, perlu
adanya komunikasi antara peternak dan dinas peternakan sebagai
komunikator dalam hal transfer teknologi dan pengetahuan. Hal ini
dilakukan agar produktivitas peternak meningkat dan dapat
menjalankan usaha ternaknya dengan baik. Menurut laporan akhir
pengembangan iptek, bahwa permasalahan perkembangan dunia
peternakan nasional yang berhubungan dengan sumber daya manusia
bidang peternakan selama ini salah satunya adalah lemahnya
penguasaan teknis lapangan dan teori dari peternak (Menristek 2006).
Menurut Dilla (2007) komunikasi sangat diperlukan dalam
menunjang proses pembangunan karena komunikasi dapat digunakan
untuk menjembatani arus informasi ide dan gagasan baru, dari
pemerintah kepada masyarakat atau sebaliknya. Melalui proses
komunikasi pesan-pesan pembangunan dapat diteruskan dan diterima
khalayak untuk tujuan perubahan.
Hasil review penelitian sepuluh tahun terakhir didapatkan,
hambatan komunikasi yang sering dilihat oleh peneliti sebelumnya
adalah hambatan pada komunikasi organisasi pemerintah misalnya
385

pada penelitian: Saendinobrata (1998), Damayanti (2003) dan Azainil


(2003). Sementara penelitian mengenai hambatan komunikasi yang
terjadi pada penyuluh dan petani dilakukan oleh Danudiredja (1998)
dan Suryadi (2000). Penelitian-penelitian ini masih melihat hambatan
komunikasi secara keseluruhan baik hambatan secara: psikologis,
semantik, karakteristik personal maupun lingkungan. Sementara
penelitian ini ingin melihat khusus pada hambatan-hambatan
komunikasi secara psikologis yan dirasakan peternak sapi potong di
Kabupaten Ogan Ilir.
Produktivitas ternak di Kabupaten Ogan Ilir masih rendah, hal ini
karena sifat kegiatan yang umumnya masih tradisional, skala usaha
kecil, teknologi sederhana dengan keterampilan rendah dan
usahaternak yang masih bersifat sambilan. Untuk itu pemerintah
Kabupaten Ogan Ilir memfasilitasi peternak, salah satunya dengan
mengadakan pembinaan untuk mendukung program peningkatan
produksi hasil peternakan. Namun program pembangunan bidang
peternakan masih jauh dari target, yang dapat dilihat antara lain: dari
laporan tahun 2006 sampai tahun 2007 mengenai populasi dan
produksi ternak yang hanya naik 4,5 persen saja (Disnakkan Ogan Ilir
2007; 2008). Sementara kenaikan tersebut tidak sepenuhnya
merupakan hasil ternak dari masyarakat Kabupaten Ogan Ilir
melainkan perhitungan keseluruhan dari bantuan pemerintah daerah
setempat pada tahun 2006-2007. Menurut pemerintah daerah
setempat rendahnya populasi dan produksi ternak karena keterbatasan
biaya. Tetapi peneliti melihat keterbatasan biaya bukanlah menjadi
suatu penghambat apabila masyarakat telah termotivasi menjalankan
usahaternaknya dengan mengaplikasikan inovasi budidaya sapi potong
yang diberikan pembina.
Terdapat hambatan-hambatan komunikasi yang terjadi pada
proses transfer inovasi dari pembina ke peternak. Seperti diketahui
kondisi peternakan yang ada di berbagai daerah, sama dengan
persoalan peternakan nasional yaitu lemahnya sumber daya manusia
yang tersedia. Pernyataan ini telah diungkapkan oleh Susanto (1977)
bahwa salah satu hambatan komunikasi di Indonesia adalah sumber
daya manusianya. Kenyataan inilah yang menarik untuk diteliti
sehingga dapat dianalisa hambatan-hambatan dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya di dalam proses komunikasi antara pembina dan
peternak sapi potong di Kabupaten Ogan Ilir.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan
penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa saja faktor karakteristik individu dan aktivitas komunikasi yang
ada pada peternak sapi potong di Kabupaten Ogan Ilir?
2. Seperti apa hambatan-hambatan komunikasi yang dirasakan
peternak sapi potong di Kabupaten Ogan Ilir?
386

3. Sejauh mana hubungan antara faktor karakteristik individu dan


aktivitas komunikasi dengan hambatan-hambatan komunikasi yang
dirasakan peternak sapi potong di Kabupaten Ogan Ilir?
4. Sejauh mana hubungan antara faktor karakteristik individu dengan
aktivitas komunikasi pada peternak sapi potong di Kabupaten Ogan
Ilir?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, Penelitian ini bertujuan
untuk :
1. Mendeskripsikan faktor karakteristik individu dan aktivitas
komunikasi yang ada pada peternak sapi potong di Kabupaten Ogan
Ilir.
2. Mendeskripsikan hambatan-hambatan komunikasi yang dirasakan
peternak sapi potong di Kabupaten Ogan Ilir.
3. Menganalisis hubungan antara faktor karakteristik individu dan
aktivitas komunikasi dengan hambatan-hambatan komunikasi yang
dirasakan peternak sapi potong di Kabupaten Ogan Ilir.
4. Menganalisis hubungan antara faktor karakteristik individu dengan
aktivitas komunikasi pada peternak sapi potong di Kabupaten Ogan
Ilir.

Hipotesis
H1 Terdapat hubungan nyata antara faktor karakteristik individu
peternak dengan hambatan-hambatan komunikasi yang
dirasakan peternak sapi potong di Kabupaten Ogan Ilir.
H2 Terdapat hubungan nyata antara aktivitas komunikasi dengan
hambatan-hambatan komunikasi yang dirasakan peternak sapi
potong di Kabupaten Ogan Ilir.
H3 Terdapat hubungan nyata antara faktor karakteristik individu
peternak dengan aktivitas komunikasi.

METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini didesain sebagai penelitian survei yang bersifat
deskriptif korelasional yaitu untuk mengetahui hubungan yang terjadi
dari peubah-peubah yang diteliti serta menjelaskan hubungan antar
peubah.

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Ogan Ilir, mengambil lima
kecamatan dengan enam desa sebagai wilayah sampel. Pengumpulan
data primer dan sekunder di lapangan serta pengolahan data dilakukan
selama dua bulan yaitu bulan Maret sampai April 2009.
Populasi dan Sampel
387

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peternak sapi yang


berjumlah 2.995 orang dengan penetapan jumlah sampel
menggunakan rumus Slovin sehingga di dapat 97 orang sampel.

Data dan Instrumentasi


Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh melalui hasil kuesioner dan observasi langsung.
Sementara data sekunder diperoleh dari kantor desa, ketua kelompok
ternak, dinas peternakan dan dinas terkait lainnya yang dapat
mendukung pembahasan hasil penelitian.

Validitas dan Reliabilitas Instrumen


Uji Validitas dilakukan dengan cara: a) menyesuaikan isi
pertanyaan dengan keadaan responden, b) menyesuaikan dengan apa
yang dilakukan oleh peneliti terdahulu untuk memperoleh data yang
sama, c) mempertimbangkan teori dan kenyataan yang telah
diungkapkan para ahli dari berbagai pustaka dan d)
mempertimbangkan nasihat-nasihat para ahli dan dosen pembimbing.
sedangkan Hasil uji reliabilitas diperoleh nilai split-half test untuk
instrumen kekosmopolitan sebesar 0,911, untuk tingkat pengetahuan
tentang budidaya sapi potong 0,669, untuk aktivitas komunikasi
sebesar 0,771 dan untuk hambatan-hambatan komunikasi sebesar
0,940, dibandingkan dengan nilai r tabel = 0,564 ( = 0,05) maka
koefisien reliabilitas lebih besar dari r tabel sehingga dari nilai tersebut
kuesioner yang digunakan dalam penelitian reliabel, bahkan untuk
instrumen kekosmopolitan dan hambatan-hambatan komunikasi masuk
kategori sangat reliabel.

Analisis Data
Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif, dimana
data dari hasil penelitian dikumpulkan, dianalisis dan disajikan secara
deskriptif dalam bentuk frekuensi, rataan skor, total rataan skor,
persentase dan tabel distribusi, sementara untuk melihat hubungan
antar peubah menggunakan analisis statistik inferensial yaitu dengan
menggunakan rumus korelasi Tau Kendall yang pengolahan datanya
menggunakan program SPSS 15 for windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Individu Peternak
Karakteristik individu adalah sifat-sifat atau ciri yang melekat
pada diri individu yang berhubungan dengan aspek kehidupan di
lingkungannya. Menurut Rogers (2003) karakteristik akan berpengaruh
terhadap tingkat adopsi inovasi. Karakteristik individu peternak yang
diamati dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan, pendapatan,
pengalaman, kekosmopolitan dan tingkat pengetahuan tentang
budidaya sapi potong dapat dilihat pada Tabel 1.
388

Tabel 1 Distribusi sampel menurut karakteristik individu peternak


Karakteritik Jumlah Persentas
Kategori
individu (orang) e (%)
Muda (18 37 tahun) 34 35,0
Umur Paruh baya (38 56 tahun) 48 49,5
Tua (57 75 tahun) 15 15,5
Tidak tamat SD (1-5 tahun) 22 24,7
Pendidikan Tamat SD (6 tahun) 44 45,4
Sekolah lanjutan (7-12 tahun) 29 29,9
Rendah (Rp 200.000-Rp 72 74,2
1.950.000) 19 19,6
Sedang (Rp 1.951.000-Rp 6 6,2
Pendapatan
3.701.000)
Tinggi (Rp 3.702.000-Rp
5.452.000)
Rendah (0,5 - 10 tahun) 82 82,5
Pengalaman Sedang (11 - 20 tahun) 7 7,2
Tinggi (21 - 31 tahun) 8 8,3
Rendah (skor 1,47 1,98) 68 69,9
Kekosmopolita
Sedang (skor 1,99 2,49) 19 19,1
n
Tinggi (skor 2,50 3) 11 11,0
Tingkat 8 8,3
Rendah (skor 2,61 2,74)
pengetahuan 41 43,1
Sedang (skor 2,75 2,88)
tentang 47 48,6
Tinggi (skor 2,89 3)
budidaya sapi
potong
Keterangan: n = 97

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik individu


peternak di Kabupaten Ogan Ilir adalah 1) Umur paruh baya (49,5%)
yaitu 38-56 tahun, 2) Pendidikan tamat SD (45,4%), 3) Pendapatan
rendah (74,2%) yaitu kisaran Rp 200.000,00Rp 1.950.000,00, 4)
Pengalaman rendah (82,5%) yaitu 0,5 10 tahun), 5) Kekosmopolitan
rendah (69,9%) mengindikasikan bahwa hubungan interpersonal
responden dengan luar sistem sosialnya rendah dan 6) Tingkat
pengetahuan tentang budidaya sapi potong tinggi (48,6%).
Aktivitas Komunikasi
Aktivitas komunikasi adalah penilaian peternak terhadap
kegiatan komunikasi yang dilakukannya dengan pembina untuk
memenuhi kebutuhan informasi tentang budidaya sapi potong. Ada
lima indikator peubah aktivitas komunikasi yang diamati dalam
penelitian ini yaitu intensitas komunikasi, metode komunikasi,
pencarian informasi, keterlibatan dalam kelompok dan arah
komunikasi, lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Aktivitas komunikasi peternak sapi potong di Kabupaten


Ogan Ilir
Aktivitas Komunikasi Rataan Skor* Jenjang
389

Aktivitas
Komunikasi
Intensitas komunikasi 2,29 4
Metode komunikasi 2,57 1
Pencarian informasi 2,09 5
Keterlibatan dalam 2
2,49
kelompok
Arah komunikasi 2,41 3
Keterangan: * 1,00 1.75 = sangat rendah, 1,76 2,50 = rendah, 2,51
3,25 = sedang dan 3,26 4,00 = tinggi

Jenjang aktivitas komunikasi menurut penilaian peternak yang


sering dilakukan adalah metode komunikasi (2,57), disusul keterlibatan
dalam kelompok (2,49), arah komunikasi (2,41), intensitas komunikasi
(2,29) dan yang mendapat rataan skor terendah pencarian informasi
(2,09).

Hambatan-Hambatan Komunikasi
Penelitian ini meminta peternak untuk memberikan pernyataan
mengenai hambatan-hambatan komunikasi yang dirasakan mereka.
Untuk mengetahui hambatan-hambatan komunikasi yang dirasakan
dihitung dengan nilai rataan skor terbobot. Faktor kendala yang
mendapat nilai rataan skor terbobot tertinggi adalah faktor kendala
dalam komunikasi yang paling dirasakan oleh peternak sapi potong di
Kabupaten Ogan Ilir. Hambatan-hambatan komunikasi yang dirasakan
peternak sapi potong secara lengkap dapat di lihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hambatan-hambatan komunikasi yang dirasakan


peternak sapi potong
Jenjang
Hambatan - hambatan
Rataan skor* hambatan
komunikasi
komunikasi
Perbedaan harapan 2,22 4
Prasangka 2,27 3
Perbedaan kebutuhan 1,97 5
Perhatian 2,38 1,5
Keakraban 2,38 1,5
Keterangan: * 1,00 1.75 = sangat rendah, 1,76 2,50 = rendah, 2,51
3,25 = sedang dan 3,26 4,00 = tinggi

Hambatan komunikasi yang paling dirasakan oleh peternak


adalah perhatian dan keakraban (2,38), hambatan komunikasi ketiga
yang dirasakan peternak adalah prasangka (2,27), perbedaan harapan
berada pada urutan keempat (2,22) dan terakhir hambatan komunikasi
yang tidak begitu berpengaruh dengan hambatan komunikasi yaitu
390

perbedaan kebutuhan (1,97). Berikut uraian hambatan-hambatan


komunikasi yang dirasakan peternak berdasarkan urutan jenjangnya.

Hubungan Karakteristik Individu Peternak dan Hambatan


Komunikasi yang dirasakan Peternak dalam Pembinaan
Budidaya Sapi Potong di Kabupaten Ogan Ilir
Umur, pendidikan dan pendapatan tidak berhubungan nyata
dengan hambatan komunikasi (perbedaan harapan, prasangka,
perbedaan kebutuhan, perhatian dan keakraban). Artinya umur,
pendidikan dan pendapatan tidak mempengaruhi besar kecilnya
hambatan komunikasi antara peternak dan pembina. Hal ini karena
kultur masyarakat yang ada di Kabupaten Ogan Ilir bersifat egaliter
(sama), dimana mereka mempunyai kebiasaan beternak yang sama
dan mempunyai kepentingan yang sama dalam berusahaternak yaitu
untuk meningkatkan produksi sapi potongnya. Selain itu, usahaternak
sapi potong bukan merupakan mata pencarian utama sehingga
kegiatan dalam aspek kehidupan sehari-hari yang lebih dominan,
misalnya mencari nafkah atau menjalin hubungan sosial dengan
lingkungan tempat tinggalnya. Umur dan pendidikan cenderung tidak
berhubungan nyata negatif dengan hambatan komunikasi. Hal ini
karena berdasarkan data penelitian, umur dan pendidikan tidak berada
pada kategori tinggi sehingga tidak mempengaruhi rendahnya
hambatan komunikasi yang dirasakan responden. Hubungan
karakteristik individu peternak dengan hambatan komunikasi dapat
dilihat lebih jelas pada Tabel 4.

Tabel 4 Hubungan antara karakteristik individu peternak


dengan hambatan-hambatan komunikasi
Hambatan-hambatan Komunikasi ( )
Karakteristik Perbeda
Perbeda
Individu Prasang an Perhatia Keakrab
an
Peternak ka kebutuh n an
harapan
an
Umur - 0,007 - 0,010 - 0,117 - 0,027 - 0,032
Pendidikan 0,006 - 0,148 - 0,035 - 0,035 - 0,063
Pendapatan 0,013 0,131 0,092 0,054 0,059
0,232 * 0,192 0,260*
Pengalaman 0,042 ** 0,173 ** *

Kekosmopolita - - - -
- 0,095
n 0,243** 0,478** 0,450** 0,400**
Tingkat - - - -
- 0,522**
Pengetahuan 0,303** 0,217** 0,497** 0,525**
Keterangan: *
berhubungan nyata (p<0,05) = korelasi
Tau Kendall
**
berhubungan sangat nyata (p<0,01)
391

Pengalaman tidak berhubungan nyata dengan hambatan


komunikasi pada variabel perbedaan harapan. Artinya pengalaman
tidak mempengaruhi hambatan komunikasi yang dirasakan responden.
Sementara pengalaman berhubungan sangat nyata (p<0,01) positif
dengan hambatan komunikasi (prasangka, perhatian dan keakraban).
Artinya semakin tinggi tingkat pengalaman responden maka hambatan
komunikasi (prasangka, perhatian dan keakraban) yang dirasakan
responden akan semakin tinggi. Hal ini karena responden yang sudah
berpengalaman rata-rata telah berumur tua dan telah mengenal
budidaya sapi secara turun menurun sehingga bagi mereka informasi
yang diberikan bukanlah hal yang baru. Selain itu responden yang
telah berpengalaman merasa sudah sering diberikan janji-janji oleh
pemerintah yang tidak terealisasi sehingga mereka berprasangka
buruk atas kedatangan pembina. Responden yang sudah berumur
memerlukan perhatian lebih dari pembina, pertanyaan-pertanyaan
yang mereka ajukan memerlukan tanggapan yang lebih cepat untuk
ditanggapi secara nyata karena banyak responden yang kecewa jika
tanggapan yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan
responden. Responden yang lebih berpengalaman juga akan sulit
untuk terlibat akrab dengan pembina karena adanya prasangka dan
kurangnya perhatian yang diberikan pembina.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pengalaman juga
berhubungan nyata (p<0,05) positif dengan hambatan komunikasi
pada variabel perbedaan kebutuhan. Ini menunjukkan bahwa semakin
responden berpengalaman maka makin tinggi hambatan komunikasi
(perbedaan kebutuhan) yang dirasakan. Pengalaman berusahaternak
yang lama membuat peternak telah terbiasa dengan kegiatan
usahaternaknya sehingga sulit untuk menerima informasi baru yang
diberikan pembina. Sementara responden akan tertarik dengan materi
yang diberikan apabila sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini sesuai
dengan teori (Djasmin diacu dalam Suprapto & Fahrianoor 2004) yang
menyatakan salah satu faktor psikologis hambatan dalam proses
belajar petani adalah petani baru mau belajar jika materi sesuai
dengan kebutuhannya.
Kekosmopolitan berhubungan sangat nyata (p<0,01) negatif
dengan hambatan komunikasi (prasangka, perbedaan kebutuhan,
perhatian dan keakraban). Artinya semakin tinggi tingkat
kekosmopolitan maka hambatan komunikasi (prasangka, perbedaan
kebutuhan, perhatian dan keakraban) yang dirasakan responden
semakin rendah. Seringnya responden terdedah dengan lingkungan di
luar lingkungannya membuat responden lebih terbuka wawasannya.
Responden dengan mudah dapat menerima orang luar (pembina)
tanpa prasangka dan dapat berkomunikasi dengan baik sehingga tidak
merasakan adanya hambatan komunikasi. Pada penelitian ini,
kekosmopolitan tidak berpengaruh terhadap hambatan komunikasi
pada variabel perbedaan harapan. Berdasarkan hasil pengamatan
dilapangan diketahui bahwa adanya hambatan komunikasi dalam hal
perbedaan harapan merupakan hal yang sulit untuk dihilangkan dari
392

responden karena kebiasaan masyarakat yang masih sangat terikat


dengan budaya/kebiasaan turun-menurun responden dalam
menjalankan usahaternaknya. Informasi yang diberikan pembina
banyak yang tidak sesuai dengan harapan responden dalam hal
budidaya sapi potong sehingga walaupun responden mengerti dengan
materi yang diberikan tetapi responden belum mau menerapkannya
dalam usahaternaknya.
Kenyataan di lapangan, kekosmopolitan responden rata-rata
rendah sehingga hambatan komunikasi yang dirasakan oleh responden
cukup tinggi. Hal ini seharusnya dipelajari oleh pembina sehingga
dapat membuat strategi dalam memberikan materi budidaya sapi
potong dengan lebih fleksibel dan menarik agar dapat di terima oleh
peternak yang ada di Kabupaten Ogan Ilir.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan sangat
nyata (p<0,01) negatif antara tingkat pengetahuan dengan hambatan
komunikasi (Perbedaan harapan, prasangka, perbedaan kebutuhan,
perhatian dan keakraban). Artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan
responden maka semakin rendah hambatan yang dirasakan
responden. Dengan Bertambahnya pengetahuan responden maka
kebutuhan responden akan pengetahuan pun bertambah sehingga
membutuhkan informasi-informasi yang diberikan oleh pembina, hal
inilah yang membuat hambatan komunikasi yang dirasakan responden
menurun.
Berdasarkan uraian di atas maka secara umum hipotesis
pertama yang menyatakan terdapat hubungan nyata antara faktor
karakteristik individu peternak dengan hambatan-hambatan
komunikasi yang dirasakan peternak dalam pembinaan budidaya sapi
potong di Kabupaten Ogan Ilir diterima untuk pengalaman,
kekosmopolitan dan tingkat pengetahuan.

Hubungan Aktivitas Komunikasi dan Hambatan Komunikasi


yang
dirasakan Peternak dalam Pembinaan Budidaya Sapi Potong
di Kabupaten Ogan Ilir
Intensitas komunikasi tidak berhubungan nyata dengan
hambatan komunikasi (perbedaan harapan dan prasangka), artinya
sering atau tidaknya responden bertemu dengan pembina tidak
mempengaruhi hambatan komunikasi yang dirasakan peternak. Hal ini
karena dari awal harapan responden sudah berbeda dengan pembina
dan sejak lama responden merasa sudah sering dikecewakan oleh
pemerintah sehingga prasangka yang dirasakan oleh responden sulit
untuk hilang.
Hasil analisis pada Intensitas komunikasi berhubungan sangat
nyata (p<0,01) negatif dengan hambatan komunikasi (perbedaan
kebutuhan, perhatian dan keakraban), yang artinya semakin tinggi
intensitas komunikasi maka semakin rendah hambatan komunikasi
(perbedaan kebutuhan, perhatian dan keakraban) yang dirasakan
responden. Seringnya responden bertemu dengan pembina akan
393

mempengaruhi pola pikir responden mengenai cara berbudidaya sapi


potong sehingga yang awalnya responden tidak merasa membutuhkan
informasi menjadi tertarik dan membutuhkan informasi tersebut. Selain
itu, seringnya responden bertemu pembina membuka kesempatan
pada pembina untuk dapat memberikan perhatiannya ke usahaternak
yang dijalankan responden. Peternak dan pembina bisa berdiskusi
mengenai masalah peternakan yang sedang terjadi dan memberikan
solusi dengan cepat sehingga keakraban antara pembina dan peternak
pun bisa terjalin. Hal ini membuat hambatan komunikasi yang terjadi
bisa diperkecil atau bahkan menghilangkan hambatan komunikasi.
Hubungan antara aktivitas komunikasi dengan hambatan-hambatan
komunikasi secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.
394

Tabel 5 Hubungan antara aktivitas komunikasi dengan hambatan-


hambatan
komunikasi
Hambatan-hambatan Komunikasi ( )
Aktivitas Perbeda
Perbeda
Komunikasi Prasang an Perhatia Keakrab
an
ka kebutuh n an
harapan
an
Intensitas
- 0,129 - 0,115 - 0,446** - 0,362** - 0,337**
komunikasi
Metode - -
komunikasi 0,275** 0,237** - 0,624** - 0,562** - 0,585**
Pencarian -
- 0,042 - 0,495** - 0,455** - 0,459**
informasi 0,374**
Keterlibatan
-
dalam - 0,163* - 0,516** - 0,469** - 0,490**
0,316**
kelompok
Arah -
komunikasi 0,329** - 0,118 - 0,324** - 0,345** - 0,394
Keterangan: *
berhubungan nyata (p<0,05) = korelasi
Tau Kendall
**
berhubungan sangat nyata (p<0,01)

Metode komunikasi berhubungan sangat nyata (p<0,01) negatif


dengan hambatan komunikasi (perbedaan harapan, prasangka,
perbedaan kebutuhan, perhatian dan keakraban). Artinya semakin
sering intensitas responden dalam merasakan metode komunikasi
yang digunakan pembina maka semakin rendah hambatan komunikasi
(perbedaan harapan, prasangka, perbedaan kebutuhan, perhatian dan
keakraban) yang dirasakan responden. Metode komunikasi merupakan
hal yang sangat penting dalam penyampaian informasi, karena
penggunaan metode komunikasi yang salah akan mengakibatkan
komunikasi yang terjadi tidak efektif.
Hasil wawancara di lapangan menunjukkan bahwa responden
lebih senang apabila metode komunikasi yang digunakan adalah
kunjungan langsung yaitu pembina mengunjungi ke kandang atau
rumah peternak, sehingga responden dapat bertanya mengenai
permasalahan usahaternaknya saat itu juga dan tidak merasa
canggung dengan pembina. Selain itu metode kunjungan dapat
mendekatkan hubungan antara pembina dan peternak sehingga
hambatan komunikasi seperti perbedaan harapan, prasangka,
perbedaan kebutuhan, perhatian dan keakraban pembina dan peternak
dapat dikurangi.
Pencarian informasi tidak berhubungan nyata dengan perbedaan
harapan, artinya tinggi atau rendahnya pencarian informasi responden
tidak mempengaruhi hambatan komunikasi yang mereka rasakan.
Tetapi pencarian informasi berhubungan sangat nyata negatif pada
395

taraf 0,01 dengan hambatan komunikasi (prasangka, perbedaan


kebutuhan, perhatian dan keakraban) yang artinya semakin tinggi
tingkat pencarian informasi yang dilakukan maka semakin rendah
hambatan komunikasi (prasangka, perbedaan kebutuhan, perhatian
dan keakraban) yang dirasakan responden. Keterlibatan dalam
kelompok berhubungan nyata (p<0,05) negatif dengan hambatan
komunikasi pada variabel perbedaan harapan. Artinya semakin tinggi
keterlibatan responden dalam kelompok maka hambatan komunikasi
yang dirasakan akan semakin rendah. Hal ini karena responden yang
selalu hadir, aktif bertanya dan memberikan saran telah terdedah oleh
informasi yang diterimanya dari pembina dan peternak lain yang ada
dalam kelompok.
Keterlibatan dalam kelompok berhubungan sangat nyata
(p<0,01) negatif dengan hambatan komunikasi (prasangka, perbedaan
kebutuhan, perhatian dan keakraban), artinya semakin tinggi
keterlibatan responden dalam kelompok maka semakin rendah
hambatan komunikasi (prasangka, perbedaan kebutuhan, perhatian
dan keakraban) yang dirasakan responden.
Arah komunikasi berhubungan sangat nyata (p<0,01) negatif
dengan hambatan komunikasi (perbedaan harapan, perbedaan
kebutuhan dan perhatian). Artinya semakin baik arah komunikasi yang
digunakan pembina maka hambatan komunikasi (perbedaan harapan,
perbedaan kebutuhan dan perhatian) yang dirasakan responden
semakin rendah. Komunikasi dapat berjalan efektif apabila adanya
kesamaan makna dari komunikator dan komunikan, pemilihan dialog
(komunikasi dua arah) oleh pembina merupakan cara yang tepat. Hal
ini akan membuat responden merasa pendapatnya didengar dan
keputusan-keputusan yang diambil sesuai dengan yang responden
inginkan.
Arah komunikasi tidak berhubungan nyata dengan hambatan
komunikasi (prasangka, keakraban), artinya tidak ada hubungan antara
arah komunikasi yang digunakan pembina dengan hambatan
komunikasi (prasangka dan keakraban) yang dirasakan responden.
Berdasarkan hasil analisis, hipotesis kedua yang menyatakan
terdapat hubungan nyata antara aktivitas komunikasi dengan
hambatan-hambatan komunikasi yang dirasakan peternak dalam
pembinaan budidaya sapi potong di Kabupaten Ogan Ilir diterima
artinya terdapat hubungan nyata antara aktivitas komunikasi dengan
hambatan-hambatan komunikasi yang dirasakan peternak dalam
pembinaan budidaya sapi potong di Kabupaten Ogan Ilir.

Hubungan Karakteristik Individu Peternak dan Aktivitas


Komunikasi
Hasil uji korelasi Tau Kendall umur berhubungan nyata (p<0,05)
positif dengan aktivitas komunikasi pada variabel intensitas
komunikasi, artinya semakin tinggi tingkat umur maka semakin tinggi
intensitas komunikasi yang dilakukan responden. Responden yang
berusia lanjut cenderung untuk mengikuti pertemuan-pertemuan
396

kelompok ternak. Hal ini disebabkan tingkat kesibukan responden


berusia lanjut lebih rendah dibandingkan dengan responden yang
berusia muda.
Tetapi umur tidak berhubungan nyata dengan aktivitas komunikasi
(metode komunikasi, pencarian informasi, keterlibatan dalam kelompok
dan arah komunikasi). Hal ini menunjukkan bahwa tinggi atau
rendahnya umur tidak akan mempengaruhi aktivitas komuniksi
(metode komunikasi, pencarian informasi, keterlibatan dalam kelompok
dan arah komunikasi) responden. Hubungan antara karakteristik
individu peternak dengan aktivitas komunikasi selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hubungan antara karakteristik individu peternak dengan


aktivitas
komunikasi
Karakteristik Aktivitas Komunikasi ( )
Individu Pencaria
Peternak Intensitas Metode Keterlibat Arah
n
komunika komunika an dalam komunika
informas
si si kelompok si
i
Umur 0,174* 0,127 0,070 - 0,033 - 0,003
0,218*
Pendidikan - 0,049 0,082 * 0,187 *
0,245**
Pendapatan - 0,102 - 0,045 0,178* 0,034 0,151
Pengalaman 0,117 - 0,152* - 0,109 - 0,073 - 0,119
0,447* 0,540* 0,466*
Kekosmopolitan * * * 0,456** 0,316**
Tingkat 0,567* 0,341*
0,157* 0,294** 0,422**
Pengetahuan * *

Keterangan: *
berhubungan nyata (p<0,05) = korelasi Tau
Kendall
**
berhubungan sangat nyata (p<0,01)

Pendidikan tidak berhubungan nyata pada aktivitas komunikasi


(intensitas komunikasi dan metode komunikasi). Tingginya tingkat
pendidikan tidak mempengaruhi responden untuk hadir pada
pertemuan-pertemuan dan tidak mepengaruhi penerimaan responden
terhadap informasi yang diberikan dengan metode komunikasi yang
sesuai.
Pendidikan berhubungan sangat nyata (p<0,01) positif dengan
aktivitas komunikasi (pencarian informasi dan arah komunikasi).
Artinya semakin tinggi pendidikan responden maka semakin tinggi
tingkat aktivitas komunikasi (pencarian informasi dan arah komunikasi)
397

responden. Tingginya tingkat pendidikan membuat keingintahuan


responden pun meningkat sehingga responden cenderung untuk
mencari informasi. Responden yang mempunyai pendidikan tinggi akan
lebih memilih komunikasi dua arah agar terjadi dialog antara
responden dan pembina sehingga responden akan lebih mengerti dan
merasa dihargai pendapatnya.
Pendidikan juga berhubungan nyata (p<0,01) positif dengan
aktivitas komunikasi pada variabel keterlibatan dalam kelompok, yang
artinya semakin tinggi pendidikan responden maka tingkat keterlibatan
dalam kelompok akan semakin tinggi pula. Pendidikan akan
mempengaruhi responden dalam berpikir dan membuka wawasan
sehingga responden yang berpendidikan tinggi aktif ikut terlibat dalam
kelompok, lebih aktif dalam bertanya dan memberikan saran-saran
yang diperlukan. Tetapi hasil di lapangan menunjukkan bahwa rata-rata
pendidikan responden rendah, hanya sampai tamat SD sehingga
aktivitas yang dilakukan responden pun rendah dalam mencari
informasi mengenai budidaya sapi potong.
Pendapatan tidak berhubungan nyata terhadap aktivitas
komunikasi (intensitas komunikasi, metode komunikasi, keterlibatan
dalam kelompok dan arah komunikasi). Ini menunjukkan bahwa
pendapatan yang tinggi atau rendah tidak mempengaruhi responden
dalam melakukan aktivitas komunikasi (intensitas komunikasi, metode
komunikasi, keterlibatan dalam kelompok dan arah komunikasi). Tetapi
pendapatan berhubungan nyata positif pada taraf 0,05 dengan
aktivitas komunikasi (pencarian informasi) artinya semakin tinggi
pendapatan maka semakin tinggi aktivitas komunikasi (pencarian
informasi). Responden yang tingkat pendapatannya tinggi mempunyai
modal yang besar dalam berusahaternak sehingga mereka
memerlukan pengetahuan agar dapat mengembangkan
usahaternaknya. Dalam melakukan usahaternak sapi potong,
responden yang mempunyai pendapatan tinggi lebih cenderung untuk
mencari informasi secara mandiri karena mereka menganggap hal ini
merupakan kebutuhan pribadi.
Pengalaman tidak berhubungan nyata dengan aktivitas
komunikasi (intensitas komunikasi, pencarian informasi, keterlibatan
dalam kelompok dan arah komunikasi), artinya tingkat pengalaman
responden tidak akan mempengaruhi aktivitas komunikasi (intensitas
komunikasi, pencarian informasi, keterlibatan dalam kelompok dan
arah komunikasi) responden. Pengalaman berhubungan nyata (p<0,01)
negatif dengan aktivitas komunikasi (metode komunikasi). Artinya
semakin berpengalaman maka intensitas penggunaan metode
komunikasi yang dirasakan responden semakin rendah, hal ini karena
responden yang telah berpengalaman merasa mereka telah lebih dulu
tahu mengenai budidaya sapi potong sehingga metode komunikasi
yang dipakai pembina tidak membuat aktivitas komunikasi yang
dilakukan responden menjadi tinggi.
Kekosmopolitan berhubungan sangat nyata (p<0,01) positif
dengan aktivitas komunikasi (intensitas komunikasi, metode
398

komunikasi, pencarian informasi, keterlibatan dalam kelompok dan


arah komunikasi). Artinya semakin tinggi tingkat kekosmopolitan maka
aktivitas responden akan semakin tinggi pula. Responden yang sering
keluar lingkungannya akan lebih terbuka terhadap informasi, sehingga
aktivitas komunikasi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan informasi
budidaya sapi potong responden. Namun demikian, kenyataan di
lapangan diketahui bahwa kekosmopolitan peternak sapi potong
rendah sehingga aktivitas komunikasi yang dilakukan responden pun
rendah. Hal ini seharusnya menjadi celah bagi pembina dalam
memberikan motivasi ke peternak untuk terus melakukan aktivitas
komunikasi. Menurut Djasmin diacu dalam Suprapto dan Fahrianoor
(2004) bahwa petani lebih suka dimotivasi daripada disuruh belajar
untuk mencari pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baru.
Tingkat pengetahuan berhubungan nyata (p<0,05) positif
dengan aktivitas komunikasi pada variabel intensitas komunikasi,
artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan responden maka semakin
tinggi tingkat intensitas komunikasinya dengan pembina. Pengetahuan
yang didapat responden mengenai budidaya sapi potong, salah
satunya didapat dari pembinaan sehingga apabila responden sering
datang menghadiri pertemuan maka otomatis pengetahuan responden
akan bertambah.
Tingkat pengetahuan berhubungan sangat nyata (p<0,01) positif
dengan aktivitas komunikasi (metode komunikasi, pencarian informasi,
keterlibatan dalam kelompok dan arah komunikasi). Artinya makin
tinggi tingkat pengetahuan responden maka aktivitas komunikasi
(metode komunikasi, pencarian informasi, keterlibatan dalam kelompok
dan arah komunikasi) yang dilakukan juga tinggi.
Berdasarkan hasil dari analisis hubungan di atas maka secara
umum hipotesis ketiga yang menyatakan terdapat hubungan nyata
antara faktor karakteristik individu peternak dengan aktivitas
komunikasi diterima untuk umur, pendidikan, pendapatan,
pengalaman, kekosmopolitan dan tingkat pengetahuan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Karakteristik individu peternak di Kabupaten Ogan Ilir adalah pada
umumnya umur paruh baya, pendidikan tamat SD, pendapatan
rendah, pengalaman beternak sapi potong rendah, kekosmopolitan
rendah dan tingkat pengetahuan tentang budidaya sapi potong
tinggi. Sedangkan jenjang aktivitas komunikasi skor tertinggi pada
metode komunikasi, disusul keterlibatan dalam kelompok, arah
komunikasi, intensitas komunikasi dan terakhir pencarian informasi.
399

2. Hambatan komunikasi yang paling dirasakan peternak adalah pada


faktor perhatian dan keakraban, disusul dengan faktor prasangka,
perbedaan harapan dan perbedaan kebutuhan.
3. Pengalaman peternak berhubungan sangat nyata pada faktor
hambatan prasangka, perhatian dan keakraban serta berhubungan
nyata dengan hambatan komunikasi faktor perbedaan kebutuhan.
Karakteristik kekosmopolitan peternak berhubungan sangat nyata
negatif dengan faktor hambatan-hambatan komunikasi pada
prasangka, perbedaan kebutuhan, perhatian dan keakraban.
Karakteristik tingkat pengetahuan peternak berhubungan sangat
nyata negatif dengan seluruh faktor hambatan-hambatan
komunikasi yang dirasakan peternak sapi potong di Kabupaten
Ogan Ilir.
4. Aktivitas komunikasi secara umum berhubungan nyata dan sangat
nyata dengan hambatan-hambatan komunikasi yang dirasakan
peternak sapi potong di Kabupaten Ogan Ilir.
5. Faktor karakteristik umur peternak berhubungan nyata dengan
aktivitas komunikasi pada aspek intensitas komunikasi, pendidikan
berhubungan nyata pada aspek aktivitas keterlibatan dalam
kelompok dan sangat nyata dengan aktivitas komunikasi dalam
pencarian informasi dan arah komunikasi, pendapatan berhubungan
nyata dengan aktivitas komunikasi dalam pencarian informasi,
pengalaman berhubungan nyata negatif dengan aktivitas
komunikasi dalam metode komunikasi, kekosmopolitan
berhubungan sangat nyata dengan kesemua aspek aktivitas
komunikasi dan tingkat pengetahuan berhubungan nyata dengan
aktivitas komunikasi pada aspek intensitas komunikasi dan sangat
nyata pada empat aspek lainnya dari peubah aktivitas komunikasi.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disarankan hal-hal
sebagai berikut:
1. Perlu adanya kegiatan pelatihan motivasi untuk peternak, agar
peternak memahami usahaternak yang mereka lakukan memiliki
nilai ekonomi sehingga semangat peternak dapat lebih ditingkatkan
dalam pencarian informasi budidaya sapi potong.
2. Perlu adanya pemberian contoh-contoh yang nyata dari pembina
dalam pemberian materi budidaya sapi potong, agar peternak
merasa lebih diperhatikan usahaternaknya sehingga hambatan
komunikasi yang disebabkan faktor perhatian dapat dikurangi.
3. Perlu adanya peningkatan frekuensi pertemuan antara pembina dan
peternak, tidak hanya pada kegiatan kelompok ternak (pemberian
materi budidaya sapi potong) tetapi juga pada kegiatan sosial
peternak yang ada dilingkungannya, agar peternak merasa dekat
dengan pembina sehingga hambatan komunikasi yang disebabkan
faktor keakraban dapat dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA
400

Azainil. 2003. Analisis Hambatan Komunikasi Organisasi Pemerintah


Desa di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Damayanti P. 2003. Hambatan-Hambatan Komunikasi Organisasi
Pemerintah Daerah: Kasus pada Pembangunan Pertanian di Kota
Pagar Alam [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Danudiredja DE. 1998. Hubungan Karakteristik dan Perilaku Komunikasi
Penerima Bantuan P3DT dengan Persepsi dan Partisipasi dalam
Penerapan Program P3DT di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat
[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Dilla S. 2007. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Statistik Peternakan
2005. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen
Pertanian Republik Indonesia.
[Disnakkan] Dinas Peternakan dan Perikanan Ogan Ilir. 2006. Laporan
Tahunan 2005. Inderalaya: Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir
Sumatera Selatan.
[Disnakkan] Dinas peternakan dan Perikanan Ogan Ilir. 2007. Laporan
Tahunan 2006. Inderalaya: Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir
Sumatera Selatan.
[Disnakkan] Dinas peternakan dan Perikanan Ogan Ilir. 2008. Laporan
Tahunan 2007. Inderalaya: Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir
Sumatera Selatan.
[Menristek] Menteri Negara Riset dan Teknologi. 2006. Pengembangan
IPTEK untuk Peningkatan Daya Saing Produk Pangan Hasil
Peternakan. Draf Laporan Kementerian Negara Riset dan
Teknologi Bekerjasama dengan Universitas Sriwijaya. Palembang:
Universitas Sriwijaya.
Rogers EM. 2003. Diffusion of innovations. Ed ke-5. New York: The Free
Press.
Suprapto T, Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan
Praktek. Yogakarta: Arti Bumi Intaran.
Suryadi R. 2000. Hubungan Karakteristik dengan Persepsi dari
Pembina dan Petani Kecil tentang Kendala Berkomunikasi: Kasus
Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Susanto AS. 1977. Problems of Communication Planning in Indonesia.
Di dalam Rahim SA, Middleton J, editor. Perspectives in
Communication Policy and Planning. Ed ke-3. Hawaii: East-West
Center, East-West Communication Institute.
401
402

ANALISIS TEORI PERFORMANCE DAN POSITIONING


DALAM KOMUNIKASI PEMBANGUNAN BERWAWASAN
GENDER

Aida Vitayala S. Hubeis14 dan Retno Sri Hartati Mulyandari15

ABSTRACT
Formative and positioning theories are the critique of structuralism and critical theory.
In the formative perspective and gender positioning, there is a consequence of the
semiotic practices, as a sign of deviation patterns of adaptation and negotiation
position of a subject. Participation of the performance of gender can be done through
mimicry and subversion rhetoric and understanding the intersection of gender with
race, class, sexuality, ethnicity, and nationality. According to formative theory, gender
or sexuality oppression is more of an ideological oppression and representation.
Formative and positioning theories describe the relationship between subjects,
discourses, practices, and position. The development of post structuralism theory
manifests a constellation of challenges and new methodologies and adapts into a
feminist critique of structuralism with methodological theory and new horizons,
especially Post-Structuralism Discourse Analysis (PDA), which is directed at the meso
level and the conversation focused on understanding the structure of actions speaking
(words and deeds) which is limited by reference to social forces. PDA and then
developed into a Post-Structuralism Feminist Discourse Analysis (FPDA). Forms of
participatory development communication perspective in the perspective of gender
performance and positioning theory state that the concept of empowerment of women
in development is more focused on the patterns of conversation, dialogue and dialectic
process that includes grassroots forum for dialogue, a new function of participatory
communications on media, knowledge sharing on an equal footing, and Development
Support Communication Model (DSC).

Key words: Post structuralism, formative and positioning theories, development


communication, gender, post-structuralism discourse analysis (PDA)

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kesetaraan gender sering diucapkan oleh para aktivis sosial,
kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah
kesetaraan gender dalam tatanan praktis hampir selalu diartikan
sebagai kondisi ketidaksetaraan yang dialami oleh para wanita. Oleh
karena itu, istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-
istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan,
perlakuan tidak adil dan semacamnya (Megawangi 1999).
Terdapat dua kelompok besar dalam diskursus feminisme
mengenai konsep kesetaraan gender, dan keduanya saling bertolak
belakang. Pertama adalah sekelompok feminis yang mengatakan
bahwa konsep gender adalah konstruksi sosial, sehingga perbedaan
perbedaan jenis kelamin tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran
dan perilaku gender dalam tatanan sosial. Namun ada juga sekelompok
feminis lainnya yang menganggap perbedaan jenis kelamin akan selalu

14 Guru Besar Institut Pertanian Bogor


15 Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian
403

berdampak terhadap konstruksi konsep gender dalam kehidupan


sosial, sehingga akan selalu ada jenis-jenis pekerjaan berstereotip
gender. Kedua kelompok yang berbeda ini didasari oleh landasan teori
dan ideologi yang berbeda, sehingga memberikan dasar analisis
gender yang berbeda pula.
Analisis gender adalah proses yang dibangun secara sistematik
untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki
dan perempuan, akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya
pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat
yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan
yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan
faktor-faktor lainnya seperti kelas sosial, ras dan suku bangsa.
Berbagai paham dan teori telah mendasari pemahaman kita
terhadap komunikasi gender. Namun demikian, dalam konteks
pengembangannya untuk aplikasi komunikasi pembangunan, perlu
dilakukan pemahaman secara terstruktur terhadap komunikasi gender
sehingga konsep-konsepnya dapat dimanfaatkan secara tepat. Salah
satu konsep dalam teori komunikasi gender adalah pandangan dari
Post-Structuralist yang bersumber pada teori fiolosofi dan bahasa.
Pandangan Post-Structuralist dari perspektif teori Performance dan
Positinioning termasuk dalam kelompok feminisme yang mengatakan
bahwa konsep gender adalah konstruksi sosial, sehingga perbedaan-
perbedaan jenis kelamin tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran
dan perilaku gender dalam tatanan sosial khususnya dalam
pembangunan atau pengembangan masyarakat.

Permasalahan
Komunikasi pembangunan dalam perspektif gender selama ini
masih belum banyak dikembangkan dan dikaji secara mendalam,
khususnya berdasarkan pandangan Post-Structuralist dari perspektif
teori performance dan positioning. sebagai salah satu pandangan dari
teori Post-Structuralist. Beberapa permasalahan yang muncul terkait
dengan kajian komunikasi pembangunan dalam perspektif gender ini
adalah:
1. Bagaimana pandangan post-structuralist khususnya dari perspektif
teori performance dan teori positioning dalam komunikasi gender?
2. Bagaimana aplikasi Post-structuralist Discource Analysis dalam
komunikasi gender?
3. Bagaimana aplikasi teori performance dan positioning dalam
komunikasi pembangunan?

Tujuan
Penulisan makalah ini secara umum ditujukan untuk memahami
konsep komunikasi gender melalui analisis teori performance dan
positioning yang termasuk dalam pandangan post-structuralist. Secara
khusus, tujuan makalah ini adalah:
1. Me-review pandangan post-structuralist khususnya dari perspektif
teori performance dan teori positioning dalam komunikasi gender.
404

2. Memahami aplikasi Post-structuralist Discource Analysis dalam


komunikasi gender.
3. Menganalisis aplikasi teori performance dan positioning dalam
komunikasi pembangunan.
Makalah ini mendeskripsikan hasil review terhadap teori
performance dan positioning sebagai salah satu pandangan dari teori
Post-Structuralist dalam komunikasi gender. Analisis dilakukan
terhadap beberapa hasil penelitian, literatur, dan text book baik
tercetak maupun elektronis (online melalui internet) dengan literatur
utama adalah dari buku Gender Communication Theories & Analyses:
from Silence to Performance buah karya dari Charlotte Krolokke dan
Anne Scot Sorensen tahun 2006.

PANDANGAN POST-STRUCTURALIST PERFORMANCE DAN


POSITIONING
DALAM KOMUNIKASI GENDER
Perspektif yang tidak dapat dipisahkan dalam strukturalis
adalah menonjolkan keadaan saling mempengaruhi dari subyek,
bahasa dan masyarakat, serta mengutamakan kelembagaan,
kompleksitas, dan kemungkinan dalam pemanfaatan kekuasaan. Post-
structuralist melambangkan sebuah perubahan performan, bahwa
sebuah perubahan ke arah performan sebagai sebuah wujud dari
praktek komunikasi (Krolokke & Anne 2006).
Ahli filsafat Michael Foucault, Jacques Lacan dan Judith Butler
telah menjadi sumber inspirasi untuk pengetahuan ilmiah di bidang
komunikasi yang mengarah pada paradigma post-structuralist. Dua
kata kunci yang diberikan oleh Foucault yaitu: a) merujuk pada sebuah
proses subyektifikasi dan perwujudan secara simultan, di mana
diskursus menjadi subyektif dan penting, serta b) kebenaran dan
sistem kekuasaan berhubungan secara komplek sehingga kebenaran
dan kekuasaan bukan struktur atau lembaga yang monolitik, tetapi
lebih diberikan untuk penyebutan situasi strategi yang kompleks.

Analisis Teori Performativitas dalam Komunikasi Gender


Teori performativitas dan positioning adalah sebuah kritik
terhadap strukturalisme dan teori kritis yang memiliki latar belakang
yang beragam terkait dengan teori feminisme sebagai teori kategori
sosial, identifikasi dan agensi. Dasar teori yang mendasari teori
formativitas dan positioning adalah teori aktivitas kemampuan
berbicara dan khususnya dari teori performativitas Austin.
Formativitas adalah sebuah kata kerja yang berupa tindakan dalam
suatu peristiwa berpidato, misalnya pengenalan tokoh, teriakan yang
keras (semangat dalam berpidato) dan menyimpulkan suatu kekuatan
yang diwujudkan dari sebuah ritual khusus. Hal ini mendasari adanya
pembentukan bahasa tubuh sebagai ritual sosial semacam girling
(kewanita-wanitaan) sebagai produksi dari seorang gadis atau
bermula pada pemberitahuan seorang bidan pada saat terjadinya
405

suatu kelahiran anak perempuan dengan teriakan Its a girl (Livia &
Hall 1997). Secara khusus, premis dan perspektif teori Performance
dan Positioning dalam komunikasi gender adalah sebagai berikut:
1. Gender adalah tidak hanya sekedar sebuah sumber dari identitas
dan bahasa tetapi lebih dari itu merupakan sebuah konsekuensi
sebuah tindakan yang dilakukan atau sebuah efek dari praktek-
praktek semiotik.
2. Gender adalah sebuah pertanda performativitas dengan efek
keganjilan, oleh apa yang kita sebut sebagai penyimpangan dari
pola adaptasi dan negosiasi posisi suatu subyek.
3. Kita berperan serta dalam performan gender dengan sebuah retorika
mimikri (peniruan) dan subversi.
4. Pengertian gender berinterseksi dengan pengertian ras, klas,
seksualitas, etnisitas dan nasionalitas.
Teori performativitas dikembangkan oleh Butler di awal tahun
90-an. Butler mengatakan bahwa tidak ada identitas gender di balik
ekspresi gender. Identitas dibentuk secara performatif, diulang-ulang
hingga tercapai identitas yang asli sebagaimana disampaikan dalam
bukunya yang berjudul Gender Trouble (Salih 2002):
Gender is the repeated stylization of the body, a set of repeated
acts within a highly rigid regulatory frame that congeal over time to
produce the appearance of substance, of a natural sort of being.
Gender tidak hanya sekedar sebuah proses, tetapi gender adalah
sebuah tipe proses tertentu dari seperangkat aktivitas yang diulang-
ulang dalam batas-batas kerangka yang mengatur dalam tingkatan
yang tinggi (a set of repeated acts within a highly regulatory frame).
Byrne (2000) menyatakan bahwa buku Butler yang berjudul
Gender Trouble berhubungan dengan penelitian bagaimana kategori
gender dihasilkan oleh rejim diskursif dari pada sebagai kategori
ontologi. Kategori dari laki-laki, perempuan, heteroseksual,
homoseksual bukan merupakan karakteristik yang penting atau yang
tidak dapat dipisahkan tetapi merupakan efek dari sebuah kekuatan
formulasi yang spesifik. Butler perhatian terhadap cara dalam mana
tubuh (body) secara diskursif terbentuk.
Identitas terbentuk secara performatif melalui berbagai ekspresi
tersebut yang selama ini dianggap sebagai hasilnya. Bentuk
seksualitas ini direproduksi dan dinaturalkan dengan imitasi yang
berulang-ulang (reiterative imitations), yang beroperasi melalui
devaluasi, stigmatisasi dan abnormalisasi praktek seksual lainnya
karena statusnya yang selalu terancam. Butler (Salih 2002) menulis:
Imitasi merupakan inti proyek heteroseksual dan binerisme
gendernya, bahwa drag bukanlah imitasi sekunder yang
mengasumsikan sebuah gender yang asli, melainkan heteroseksualitas
yang hegemonik itu sendiri adalah upaya yang konstan dan berulang-
ulang untuk menyerupai yang diidealkan. Bahwa imitasi ini harus
diulang-ulang, diproduksinya praktek-praktek yang mempatologikan
dan sains yang menormalkan secara besar-besaran untuk
menghasilkan dan membuktikan klaimnya tentang originalitas dan
406

kelayakan, menegaskan bahwa performativitas heteroseksual yang


sempurna itu selalu dalam ancaman dan tidak pernah dapat dicapai,
bahwa upayanya untuk menjadi idealisasinya tidak pernah bisa
dicapai, dan ia selalu dihantui wilayah kemungkinan seksual yang
harus dikeluarkan dari norma gender heteroseksual untuk
menghasilkannya.
Bagi Butler, seks bukanlah "a bodily given on which the
construct of gender is artificially imposed, melainkan adalah a
cultural norm which governs the materialization of bodies" (sebuah
norma budaya yang mengatur materialisasi tubuh). Baginya seks
adalah "konstruk ideal yang termaterialisasikan secara paksa melalui
proses waktu. Seks bukan sekedar fakta sederhana atau kondisi tubuh
yang statis melainkan adalah a process whereby regulatory norms
materialize 'sex' and achieve this materialization through a forcible
reiteration of those norms". Sex, tegasnya, adalah a regulatory
ideal whose materialization is compelled, dan materialisasi ini
berlangsung melalui praktek pendisiplin yang sangat canggih dan
laten. Pengulangan ini menurutnya penting sebagai tanda bahwa
materialisasi itu tidak pernah selesai. Bahwa tubuh tidak pernah
memperoleh 100 persen sesuai norma yang mengharuskan normalisasi
itu (Conanedogawa 2008).
Butler menghadapi kritik dari konstruksionis sosial radikal dalam
pengembangan pentingnya the body (tubuh): bodies do matter as
matter. Butler selanjutnya menyarankan topik pemahaman persoalan
dalam istilah permohonan (keinginan) dan tidak memiliki keputusan
yang pasti dari pembahasan yang terkait dengan hubungan antara
tubuh, keinginan (hasrat) dan diskursus, tetapi Butler telah membawa
permasalahan mengenai hal tersebut secara lebih mudah. Kritik
lainnya adalah bahwa teori ini adalah bersifat dasar-individual dan
tidak mempertimbangkan faktor lain, misalnya jangka waktu dalam
mana performan terjadi, keterlibatan orang lain, dan bagaimana
mereka melihat atau mempersepsikan apa yang mereka saksikan.
Kritik terakhir adalah premis pada anggapan bahwa gender tidak
datang lebih dahulu lebih tepatnya terjadi setelah praktek (kebiasaan
atau mengikuti pekerjaan orang lain) yang cepat terjadi dalam
interaksi mikro.

Analisis Teori Posisioning dalam Komunikasi Gender


Teori posisioning mungkin dapat dikatakan sebagai pelekatan
dalam teori diskursif Butler sebagai sifat dasar dari gender, yang
melengkapi batas perbedaan dari posisi subyek untuk tinggal, dengan
cara tersebut mentransformasikan (mengubah bentuk) mereka.
Meskipun demikian, hal ini juga muncul sebagai sebuah bagian dari
teori antara teori diskursus dalam tradisi Faucauldian: kecenderungan
terbaru dalam psikologi seperti psycho-socio-linguistics dan
formulasi yang baru-baru ini terjadi, contohnya, teori speech act
(kepura-puraan dalam berbicara/sandiwara) sebagaimana yang
dinyatakan oleh Baxter (2002).
407

Menurut Davies & Harre (Krolokke & Anne 2006) dinyatakan


bahwa teori posisioning menggambarkan hubungan antara subyek,
diskursus, praktek, dan posisi. Selanjutnya, kemungkinan pilihan
berasal dari keberadaan berbagai diskursus dan (perbedaan yang
diterima), boleh jadi juga pada posisi konflik dalam hubungan, situasi
dan konteks yang berbeda.
Dalam pendekatan analisis posisioning, Raggat (2007) membuat
tiga perbedaan utama dalam sistem klasifikasi. Pertama, terdapat
perbedaan yang didasarkan atas medium (perantara) atau mode
ekpresi yang mengindikasikan posisi (contohnya diskursif, embodied
menjadikan bagian dari). Kedua, kita dapat mengidentifikasi konflik
dinamis di dalam diri seseorangposisi pribadi. Ketiga, dalam domain
budaya, posisi sosial tetap dan menggolongkan secara individu, yang
selalu menempatkan derajat seseorang pada kekuatan kewenangan
untuk mengampuni (belas kasihan) dan pembagian di sekitar budaya.
Bentuk klasifikasi posisi menjadi domain ekspresif, personal, dan sosial
disajikan pada Tabel 1.
408

Tabel 1 Bentuk klasifikasi posisi dalam teori posisioning


(Raggatt 2007)
(a) Mode ekspresi
Narratif/diskursif Cerita diri sendiri, autobiografi, ucapan
naratif
Performatif/ekspresif Presentasi diri sendiri yang strategis,
bermain peran, teater, komedi, upacara
keagamaan secara pribadi
Embodied (menjadikan Komunikasi non verbal, pemaknaan dan
bagian pencitraan terhadap tubuh, kostum,
dari/mewujudkan) fashion, cross dressing dan trans gender
(b) Posisi pribadi: Konflik dinamis dalam diri orang tersebut
Moral career (Karir Kepribadian yang baik vs kepribadian yang
moral) buruk; hero vs penjahat
Affect (Pengaruh) Menyenangkan diri sendiri vs
menyedihkan diri sendiri
Agency (Lembaga) Kontrol, kebebasan, generativitas (sifat
dapat menghasilkan) dan stagnasi
Communion Kasih sayang dan pertengkaran;
(Persamaan/persahabat pengikatan dan perpecahan
an)
(c) Posisi sosial: Konstruksi sosial dan budaya
Konversasional/diskursif Posisi dalam dialog
Peran institusional/ritual Peran sosial mikro (keluarga, pekerjaan)
Posisi secara politik
/hirarki
Kekuasaan Otoritas dan subordinasi
Kelas Tinggi dan rendah
Etnisiti Perbedaan ras dan budaya
Gender Patriarchi: maskulinitas feminitas

Dalam mode ekspresi (a), Raggatt (2007) menyatakan bahwa


bentuk posisioning terdiri atas narasi, ekspresif, dan embodied.
Posisioning tidak hanya berperan secara diskursif, tetapi juga
memberikan tanda khusus sebagai performan dari aktor sosial dan
juga memahatnya melalui kekuatan media dari embodiment
(perwujudan) sebagaimana dinyatakan oleh Butler (1992).
Harre dan rekan-rekannya (Harre & Moghaddam 2003)
menyatakan bahwa teori posisioning adalah bersifat sosial, diskursif
dan dinamis. Identitas berubah-ubah dan maknanya tidak tetap, tetapi
agaknya dapat dibagi dengan pihak lain dan dinegosiasikan di antara
komunitas mereka sendiri. Masyarakat menegosiasikan makna posisi
mereka sendiri dan orang lain secara strategis melalui sebuah
pertukaran sosial. Posisi merupakan respon dinamis dan berubah
untuk sebuah proses sosial dan sebuah sumber perangkat budaya,
diskursif, dan simbolik yang terjadi (ada) sebelum subyek hidup.
Posisi muncul dari peran kelembagaan, misalnya yang memaksakan
409

melalui stereotipe mikro dan sosial makro yang sedang berlaku,


contohnya tentang peranan gender. Posisi sosial seringkali dihasilkan
secara implisit oleh kemurnian perbedaan kekuasaan dalam dikotomi
sosial; contohnya perempuan dan laki-laki. Istilah majikan (laki-laki)
didefinisikan sebagai kekurangan kepemilikan harta, yang dalam suatu
istilah yang negatif memberikan pengaruh bahwa secara individu dan
kelompok seringkali membuatnya menjadi pendiam atau tertekan oleh
bentuk posisi sosial tersebut.

POST-STRUCTURALIST DISCOURSE ANALYSIS (PDA)


DALAM KOMUNIKASI GENDER
PDA
Perkembangan post strukturalisme juga memanifestasikan
konstelasi teori dan metodologi baru yang menantang dan
diadaptasikan oleh feminis ahli komunikasi. Post strukturalisme
pertama kali mengekspresikannya dalam sebuah kritik strukturalisme
dan selanjutnya melampauinya untuk menunjukkan teori dan horison
metodologikal baru, khususnya terkait dengan Post-Structuralist
Discourse Analysis (PDA).
PDA tidak dapat memiliki agenda emansipatori dalam
kesadaran bahwa dukungan sebuah narasi yang indah yang menjadi
diskursus dominan miliknya sendiri. PDA memiliki perhatian dalam
kebebasan bermain dari kemampuan berbicara yang berkali-kali
(multiple) dalam sebuah konteks diskursus, yang berarti bahwa
percakapan tersebut diam (bungkam), minoritas atau kelompok yang
tertindas yang perlu didengarkan. Mengikuti alasan Foucault, Baxter
(2002) menyarankan bahwa PDA diperlukan untuk dekonstruksi
konteks diskursif di manapun diskursus dominan mencari sebuah
tekad untuk kebenaran dan selanjutnya sebuah tekad untuk
kekuasaan.
Kecenderungan lain dalam PDA berakar dari alasan hubungan
antara diskursif psikologi dan psikolinguistik sebagai positioning
analysis (analisis posisi). Selanjutnya Davies dan Harre berpendapat
bahwa praktek diskursif menyediakan posisi subyek yang memasukkan
konsepsi naskah pertunjukan dan lokasi. Asumsinya adalah dalam
posisi tertentu, seseorang tidak dapat terhindarkan untuk melihat dan
bertindak dari kedudukan yang baik di dunia terhadap posisi dan dalam
terminologi konsep, alur cerita, metafor dan image tertentu sebagai
naskah pertunjukan yang dapat diinterpretasikan. Kemungkinan
pilihan berakar dari eksistensi yang sering kali kontradiktif, praktek
diskursif. Selanjutnya, positioning diperagakan pada tingkatan
diskursus yang berbeda; pada tingkatan mikro dari pembentukan tata
bahasa dan kalimat, dan pada tingkatan messo dari percakapan,
bercerita dan hubungan sosial; serta pada tingkatan makro terhadap
skemata aestetik, diskursif repertoir, idiom dan sebagainya. Kerangka
kerja PDA terutama diarahkan pada tingkatan messo dan difokuskan
pada pemahaman percakapan sebagai sebuah struktur tindakan
410

berbicara, sebagai perkataan dan perbuatan dari tipe yang dibatasi


oleh referensinya terhadap kekuatan sosial mereka (Krolokke & Anne
2006).

Feminist Post-Structuralist Discourse Analysis (FPDA)


FPDA berasal dari sumber yang berbeda dan juga diasumsikan
dengan aturan yang agak berbeda. FPDA diinspirasikan dari teori
performance dan positioning dari Butler dan Davis khususnya dan
Judith Baxter merupakan satu dari pendukung utamanya. Berdasarkan
garis besar inspirasi dalam sebuah metodologi singkat tersebut, Judith
Baxter lebih menyukai terminologi PDA yang lebih luas. Baxter telah
memperluas secara eksplisit pada FPDA sebagai variasi PDA
didasarkan atas sebuah kritik terhadap analisis percakapan
(Conversation Analysis-CA) dan Critical Discourse Analisys (CDA), juga
lebih tepatnya ebuah pengembangan lebih lanjut dari analisis
diskursus dari CA dan CDA ke PDA. Baxter juga melaksanakan dua
studi utama yang dipresentasikan dalam bukunya yang berjudul
Feminist Post-Structuralist Discourse Analysis (FPDA): From Theory to
Practice dan telah memperkenalkan metodologi dalam serangkaian
buku Positioning Gender in Discourse: a Feminist Methodology. Kalau
Davis memiliki latar belakang dalam psikologi diskursif dan analisis
naratif, Baxter memiliki latar belakang dalam linguistik dan CA. Dalam
beberapa hal tertentu, Davis menjadi lebih rumit dalam pendekatan
teoritisnya, tetapi Baxter jauh lebih ekplisit dalam garis besar
metodologinya. Secara umum, Krolokke dan Anne (2006)
mendefinisikan pendekatan FPDA adalah sebagai berikut.
Saya menonjolkan sebuah pusat perhatian dari pendekatan
FPDA: yaitu untuk meneliti cara dalam mana pembicara
menegosiasikan identitasnya, hubungan, dan posisinya di dunia
sesuai dengan cara penempatan mereka yang berkali-kali dalam
diskursus (pidato) yang berbeda.
Dasar perhatian pendekatan tersebut lebih banyak
kesesuaiannya dengan teori performance maupun teori positioning.
Namun demikian, Baxter telah menyumbangkan pendekatan post
strukturalis sebuah prinsip pandangan yang dipinjam dari formalis
Rusia Mikhail Bakhtin: polyphony dan heteroglossia. Polyphony dalam
interpretasi Baxter menandakan perkembangan (multiplying) teknik
metodologi dan proses kerja dengan persaingan interpretasi terhadap
seni yang sama, dengan demikian menekankan proses tentang produk.
Heteroglossia berarti memperkuat polyphory dengan memfokuskan
pada partisipasi dan perspektif yang berbeda atau dengan penyajian
analisis terhadap keterlibatan partisipasi mata dan kemudian
mengolahnya lagi.

ANALISIS TEORI PERFORMANCE DAN POSITIONING DALAM


KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
Kontruksi Gender dalam Diskursus Komunikasi Pembangunan
411

Pengetahuan ilmiah komunikasi pembangunan saat ini


mempelajari diskursus yang digunakan untuk membenarkan dan
menjelaskan intervensi. Dalam usaha untuk mengekspos diskursus
pembangunan, para ilmuwan memiliki artefak (penemuan) diskursif
yang berbeda, seperti kebijakan pembangunan dan lembaga
pembangunan, teori pembangunan, dan dokumen proyek. Pendekatan
semiotik memahami diskursus sosial dan kode budaya sebagai
seperangkat koordinasi simbolik dengan mana sebuah komunitas
membuat kesadaran umum. Kode budaya dan diskursus sosial
menghasilkan usaha komunitas manusia untuk mengekstrak dunia dari
ruangan yang tidak terbatas oleh superimposing sebuah kisi-kisi dari
label realitas.
Pembangunan dapat dipelajari sebagai fenomena sosial yang
sesuai dengan proses sejarah dan ditransformasikan menjadi sifat
dasar dan bahasa yang dirampas. Pembangunan pertama muncul
pada waktu era selesai perang dunia kedua ketika negara-negara kaya
di dunia mengetahui kemiskinan massal di negara-negara Asia, Afrika
dan Amerika Latin. Nama dan definisi menandakan pada
predeterminasi realitas sosial tipe pertimbanga solusi yang sesuai.
Oleh karena itu, sebagai dunia ketiga didefinisikan untuk istilah solusi
pembangunan dalam terminologi modernitas, batasan disusun untuk
mendeterminasikan solusi pembangunan dalam terminologi untuk
menanggulangi kemiskinan, yang oleh Escobar (1986) dinyatakan
sebagai berikut:
Dengan demikian kemiskinan menjadi konsep yang terorganisir dan
obyek dari sebuah problematika baru. Dalam kasus beberapa
problematika (Foucault, 1986), bahwa kemiskinan membawa pada
adanya diskursus dan praktek yang membentuk realitas yang
dirujuk. Bahwa perlakuan esensial terhadap dunia ketiga adalah
kemiskinan tersebut dan solusinya adalah pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan menjadi jelas, penting, dan kebenaran universal.
Program pembangunan yang dirancang dan diimplementasikan
dalam konteks modernisasi ditujukan bagi laki-laki dan perempuan
dunia ketiga yang kental dengan ciri-ciri muncul sebagai sebuah mode
interpretasi realitas sosial yang dihasilkan oleh konstruksi simbol lokal
gender, kelas dan ras. Hasilnya adalah sebuah diskursus
pembangunan yang membicarakan diskursus Barat tentang
modernisasi dengan diskursus lokal terhadap ras, kelas dan gender.
Pembangunan menjadi sebuah mitos. Diskursus sosial, simbol-
simbol budaya dan mitos tidak innocent. Label tersebut dibentuk untuk
membuat kesadaran terhadap realita yang diorganisasikan menjadi
sistem simbolik yang berfungsi di sekitar sepasang oposisi yang diakui
dalam terminologi hirarki. Contohnya atas-bawah: atas secara
kultural diakui sebagai yang lebih baik dan bawah sebagai yang
kalah. Label tersebut menyaring hubungan kekuasaan yang sama
dengan naturalisasi dan legitimasi jika hirarki mereka organik dan
penting, serta bukan konstruksi kemanusiaan. Berdasarkan atas
legitimasi simbolik, hubungan kekuasaan yang tidak seimbang tetap
412

tinggal dalam kehidupan nyata masyarakat sepanjang mereka tidak


mempertanyakannya. Formula retorikal menempatkan diskursus
pembangunan bukan sesuatu yang luar biasa. Pembangunan muncul
sebagai sebuah mode interpretasi realitas sosial yang dihasilkan oleh
subyek sejarah tertentu (laki-laki, perempuan, dam lembaga di negara
kaya) ke arah berlawanan dari subyek sejarah lainnya (laki-laki dan
perempuan miskin dunia ketiga). Dalam kesadaran ini, pembangunan
tidak pernah membicarakan tentang dirinya sendiri, tetapi tentang
orang lain. Pembangunan merupakan sebuah diskursus historis dalam
mana manusia didefinisikan, dibentuk, diartikulasikandinamakan oleh
orang lain dalam lingkungan yang memiliki kekuasaan (Rodriguez
2001).

Komunikasi Pembangunan untuk Millenium Domestic Growth


(MDGs): UNICEFs Global Overview
Perbaikan dan peningkatan kualitas SDM bersifat multi dimensi,
baik pendidikan, keterampilan, kesempatan kerja dan berusaha,
maupun gizi dan kesehatan. Faktor-faktor ini juga yang harus
dikembangkan untuk memperkuat gerakan gender mainstreaming
dalam kebijakan pembangunan pertanian. Kesemuanya ini berkaitan
erat dengan peran, tugas dan fungsi serta kedudukan wanita dalam
strategi pembangunan pertanian melalui upaya pemberdayaan wanita
tani di perdesaan. Tingkat adopsi inovasi teknologi terhadap kaum
wanita relatif rendah.
Menurut Sayogyo (Elizabeth 2007), perubahan peran dan
status wanita umumnya disebabkan oleh perkembangan masyarakat
dan wilayah di lingkungannya. Perubahan masyarakat tersebut makin
dipacu oleh pertumbuhan ekonomi, akibat beralihnya sistem
perekonomian dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian. Perubahan
tersebut akan berdampak pada perubahan sosial dan budaya
masyarakatnya. Perkembangan ekonomi dan sosial menimbulkan
desintegrasi pembagian kerja antar gender yang secara tradisional
telah terbentuk sejak dulu. Pola kerja produktif yang baru antar
ataupun lintas gender mengarah pada diskriminasi pembagian kerja
antar pria-wanita. Selama masa transisi tersebut, bukan suatu
keniscayaan bilamana berbagai fungsi produktif wanita tani akan
tercabut, yang berdampak pada perlambatan proses pertumbuhan
pembangunan pertanian.
Perbedaan status/posisi setiap anggota rumah tangga
merupakan pengkajian diferensiasi peranan, berdasarkan perbedaan
umur, jenis kelamin, status perkawinan, status/posisi sosial ekonomi,
generasi, ataupun kekuasaan. Perbedaan tersebut merupakan analisis
struktural, yang sebagian besar disebabkan oleh alasan biologis dan
sosial budaya lingkungan suatu rumah tangga. Teridentifikasi bahwa
pada dasarnya wanita memiliki peranan ganda dalam rumah tangga.
Peran ganda kaum wanita tersebut terimplikasi pada (1) peran kerja
sebagai ibu rumah tangga (feminimine role), meski tidak langsung
413

menghasilkan pendapatan, secara produktif bekerja mendukung kaum


pria (kepala keluarga) untuk mencari penghasilan (uang), dan (2)
berperan sebagai pencari nafkah (tambahan ataupun utama).
Pada era globalisasi, peran transisi dan egalitarian diprediksi
akan menimbulkan berbagai kondisi, yaitu (1) dengan potensi dan
kemampuan sebagai indikator penentu, keajegan penajaman peran
pria dan wanita akan memudar sehingga tidak jelas lagi pembedanya,
(2) wanita pekerja akan meningkat sedangkan pria pengangguranpun
akan meningkat, (3) mobilitas sosial dan geografis memisahkan tempat
tinggal suami-isteri, orangtua anak, sehingga keluarga menjadi tidak
utuh (Vitayala 1995). Berbagai kemungkinan tersebut mengindikasikan
wanita dan pria dapat berperan setara, sebagai pencari nafkah di
berbagai bidang, kegiatan rumah tangga dan dalam bersosialisasi di
masyarakat. Hal ini berimplikasi pada terjadinya kesetaraan peran
antara wanita dan pria dalam pembangunan nasional.
Perencanaan pembangunan pertanian di masa lalu, bukan
mustahil secara tidak sengaja telah mengabaikan peran kaum wanita
tani tersebut. Keteledoran tersebut menyebabkan posisi kaum wanita
makin terjepit dan terkungkung dalam dimensi keterbatasan. Secara
internal, keterbatasan wanita tercermin pada lebih rendahnya
pendidikan, keterampilan, rasa percaya akan kemampuan dan potensi
diri. Secara eksternal, keterbatasan tersebut tercermin pada lebih
rendahnya akses wanita menangkap berbagai peluang di luar rumah
tangganya (Elizabeth 2007).
Analisis gender merupakan alat analisis konflik yang difokuskan
pada ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh gender. Vitayala
(1995) mengemukakan perlunya pendekatan GDP (Gender dalam
Pembangunan) dan pendekatan WDP (Wanita dalam Pembangunan)
dalam setiap program pembangunan. Pendekatan GDP mendesain
program yang mengintegrasikan dan mengarusutamakan
(memainstreamkan) aspirasi, kebutuhan, dan minat gender, sehingga
pengembangan perencanan dan implementasi program lebih banyak
mencakup kebutuhan strategis gender. Pendekatan WDP didesain
untuk menjembatani kesenjangan pria wanita dalam semua aspek
pembangunan. Muncul dan berkembangnya berbagai gerakan wanita
dan disiplin tentang studi wanita, mempengaruhi perkembangan
teoriteori feminis yang berkaitan erat dengan isu gender.
Dalam konsep GAP, gender dinyatakan oleh Butler sebagai
performance dari seseorang yang tidak bebas. Kita selalu memainkan
peran yang diatur secara sosial dan menginternalisaikan peranan
tersebut pada kita. Kita memainkan variasi peranan pada performance
yang diatur atau memberlakukan kembali peranan yang sama dengan
makna yang baru, pengulangan unit yang bertentangan, contohnya
julukan keganjilan (label queer) tidak sebagai sebuah pencemaran,
tetapi sebuah kebijakan (politik) baru.
Judith Butler menyatakan bahwa perubahan sosial maupun
kebijakan pembangunan dalam penampakan identitas muncul ketika
ada pergeseran dalam wacana-wacana dominan. Karya Judith Butler
414

ini menjadi penting dalam kajian tentang ruang, terutama untuk


menunjukkan bahwa tempat dan ruang bukanlah sesuatu yang sudah
hadir sebelumnya di mana suatu kejadian atau penampakan muncul.
Melainkan bahwa kejadian atau penampakan itu sendiri merupakan
sesuatu yang membentuk atau me(re)produksi tempat dan ruang
adalah efek dari persilangan kekuatan-kekuatan dominan. Dengan
demikian, dikotomi antara privat dan publik tidak lagi relevan. Kalau
dikotomi itu dulu memandang ruang itu homogen, artinya immobile
dan statis, kini ruang tidak jelas lagi batas-batasnya. Baik ruang publik
maupun ruang privat adalah heterogen dan tidak semua ruang jelas
batas-batasnya antara yang privat dan publik (Nancy Duncan).
Pernyataan Nancy Duncan ini memang ungkapan kegelisahannya atas
dikotomi yang dianggap merugikan kepentingan politik kaum
perempuan ini. Tapi saya juga dapat melanjutkan bahwa dikotomi
serupa juga merugikan kepentingan politik komunitas yang selama ini
dimarginalkan oleh proses modernisasi. Di sinilah hubungan antara
komunitas dan politik. Dalam konteks inilah kita berbicara tentang
proses bekerjanya kuasa dalam ruang (tanpa peduli apakah privat atau
publik) (Jolly 2000).
Konsep pembangunan misalnya, yang memisahkan antara
daerah perkantoran dan perumahan, menunjukkan terpisahnya
wilayah kerja antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki berurusan
dengan wilayah publik yang namanya kantor, sementara perempuan
bekerja di rumah, di wilayah privat, yang dipisah jauh jaraknya dari
kantor. Selain proses genderisasi ruang, kita juga mengenal proses
rasialisasi dan etnisisasi ruang. Artinya ruang didefinisikan kembali
dalam konteks nilai-nilai yang dilekatkan kepada masing-masing ruang
(yang sudah dipilah-pilah) dan juga didekatkan ke batas-batas di
antara kedua domain.
Gender mainstreaming (pengarusutamaan gender) bertujuan
agar pelaksanaan program-program pembangunan dapat
mempertimbangkan kesempatan dan akses wanita terhadap program
pembangunan, yaitu dengan terciptanya kendali serta manfaat bagi
wanita. Dengan demikian, diperlukan pembinaan peran wanita tani
agar mampu meningkatkan peran dan potensi, terutama
produktivitasnya melalui pemberdayaan kaum wanita di segala bidang.

Pentingnya GPI (Gender and Poverty Inclusive)


Gender and poverty inclusive, atau inklusif gender dan
kemiskinan, merupakan nilai atau roh yang diperjuangkan oleh
berbagai lembaga yang memberi perhatian khusus pada gender, di
antaranya adalah Australian Community Development and Civil
Society Strengthening Scheme (ACCESS) dan menjadi pegangan di
dalam melaksanakan program. Untuk itu ACCESS mencoba
mengembangkan policy, strategi dan teknik-teknik yang bisa
digunakan untuk mendorong agar nilai GPI bisa diterapkan dan
415

mewarnai semua aktivitas, dengan menggunakan proses-proses yang


partisipatif (CLAPPCommunity Led Assessment Plannning Process).
Keberpihakan pada perempuan dan orang miskin
dilatarbelakangi karena pada umumnya perempuan dan orang miskin
memiliki posisi yang lebih rentan dibandingkan kelompok laki-laki
maupun kelompok yang memiliki latar belakang sosial ekonomi yang
lebih kuat. Pada umumnya perempuan mengalami subordinasi dan
marginalisasi yang menyebabkan posisi perempuan di masyarakat
tidak cukup kuat. Meskipun bentuk dan tingkat subordinasi perempuan
berbeda-beda, tergantung pada budaya dan juga wilayah, namun bisa
ditemukan beberapa hal yang sama. Di samping itu, perempuan
miskin lebih menderita daripada laki-laki miskin dan lebih menderita
daripada sesama perempuan yang berasal dari kelas ekonomi yang
lebih baik. Sudah jelas bahwa orang miskin menghadapi kondisi yang
sulit, meskipun intensitas kemiskinan bervariasi di berbagai daerah.
Kekurangan pangan, penghasilan yang minim, penyakit yang tidak
diobati karena masalah biaya dan akses ke fasilitas kesehatan, gizi
buruk, rumah yang tidak sehat, lingkungan yang buruk, sulitnya
persediaan air bersih, adalah beberapa kondisi umum yang dihadapi
oleh orang miskin. Kondisi seperti ini memaksa orang miskin untuk
menghabiskan waktu dan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan
dasar supaya bisa bertahan hidup. Selain itu, orang miskin biasanya
juga berpendidikan rendah atau malah buta huruf, yang tentu saja
membatasi akses mereka pada informasi.
Birdshal dan McGreevey (1983) menemukan fakta bahwa beban
perempuan miskin lebih besar karena peran ganda merekasebagai
orang yang harus mengurus rumah tangga dan sebagai pencari nafkah
untuk keluarga. Perempuan bertanggungjawab untuk mengurus anak-
anak, menyiapkan makanan, mengambil air dan kayu bakar, mencuci
baju, membersihkan rumah, mengatur keuangan rumah tangga, yang
menyerap sebagian besar waktu mereka. Namun, pekerjaan ini sering
tidak dianggap sebagai pekerjaan, sehingga juga tidak
diperhitungkan dalam produksi sebuah rumah tangga. Hal ini
diperburuk lagi dengan adanya anggapan bahwa penghasilan
perempuan hanya sebagai tambahan penghasilan suami.

Isu Keseteraan Gender dalam Hak, Sumber Daya dan Aspirasi


Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi
perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan hak-
haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi
dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Selama ini,
perempuan memiliki akses yang secara sistematis rendah terhadap
berbagai sumber daya produktif, termasuk sumber daya pendidikan,
tanah, informasi dan keuangan. Di sebagian besar negara berkembang,
perusahaan yang dijalankan oleh perempuan cenderung kekurangan
modal, kurang memiliki akses terhadap mesin, pupuk, informasi
penyuluhan dan kredit, dibandingkan perusahaan yang dikelola laki-
laki. Ketidaksetaraan ini, baik dalam pendidikan maupun sumber daya
416

produktif lainnya, mengurangi kemampuan perempuan untuk berperan


serta dalam pembangunan dan dalam meningkatkan taraf hidup
keluarganya. Hal ini juga memperbesar resiko dan kerentanan
perempuan dalam menghadapi krisis pribadi maupun keluarga, dalam
masa tua maupun ketika terjadi krisis ekonomi (Laporan Penelitian
Bank Dunia 2002).
Ketidaksetraan gender dalam akses kontrol atas modal (asset)
produktif seperti tanah, informasi, teknologi dan modal keuangan
membatasi perempuan untuk berperan serta dan memanfaatkan
peluang yang diberikan oleh pembangunan. Tidak ada data
berdasarkan gender dari berbagai negara mengenai akses-akses ke
sumber daya produktif. Namun kenyataannya telah terdokumentasi
secara luas bahwa perempuan pada umumnya memiliki lebih sedikit
modal ketimbang laki-laki dan memiliki akses yang lebih buruk
terhadap kredit, pasokan lain, serta terhadap layanan penyuluhan.
Petani wanita juga hanya memiliki sedikit jaringan kerja dan jaringan
sosial yang dapat mempermudah akses terhadap pelayanan kredit.
Petani perempuan umumnya juga menerima lebih sedikit
bantuan teknis dan layanan penyuluhan pertanian. Perempuan lebih
sedikit memiliki akses terhadap layanan penyuluhan karena selain
pendidikan mereka kurang, tanah yang dikuasai juga kecil, dan karena
penyuluh yang sebagian besar laki-laki, cenderung memberikan
layanan bagi pertanian yang ada laki-lakinya. Staf penyuluhan juga
sebagian besar laki-laki, perempuan juga masih sedikit yang
berkonsultasi pada petugas layanan penyuluhan.
Hal ini juga bisa terjadi karena adanya batasan-batasan budaya
yang menentang agen penyuluhan untuk bekerja sama dengan petani
wanita karena petani pria bertanggungjawab atas tanaman
perdagangan yang seringkali lebih mendapat perhatian dari dinas
penyuluhan daripada tanaman pangan. Dalam berbagai latar belakang
budaya, wanita tidak boleh mengutarakan pendapat dalam sebuah
pertemuan kecuali bila diminta. Batasan ini mengandung arti bahwa
petani wanita memiliki jendela wawasan lebih sempit untuk melihat
dunia luar dibandingkan pria. Karena itu, wanita tidak banyak tahu
tentang permasalahan yang sesungguhnya dapat dimintakan bantuan
dari agen penyuluhan.
Petani perempuan cenderung mempunyai akses lebih buruk ke
sumber daya penunjang produksi pertanian. Informasi produksi,
pelatihan maupun teknologi dari berbagai lembaga penyuluhan tak
luput dari kelemahan ini. Apabila hal ini terjadi, maka dibandingkan
dengan laki-laki, hal ini berdampak lebih signifikan terhadap
pemahaman relatif perempuan terhadap informasi bidang pertanian.
Karena kebanyakan petugas penyuluh laki-laki, layanan penyuluhan
terbiasa mengutamakan petani laki-laki karena mereka menganggap
pengambil keputusan utama urusan pertanian dan akan menjalarkan
hasil penyuluhan kepada istrinya. Tidak satupun asumsi ini didukung
data akurat. Perempuan adalah pengelola lahan di banyak negara.Hal
ini berlangsung sejak dulu di Sub-Sahara Afrika, sedangkan di kawasan
417

lain semakin meningkat dengan semakin banyaknya laki-laki


meninggalkan kerja tani ke pekerjaan non-pertanian. Seperti sumber
daya lain rumahtangga, informasi penyuluhan antarwarga-rumah pun
seringkali tidak dipersatukan.
Dalam pengelolaan usahatani, terdapat pembagian kerja untuk
tugas-tugas tertentu antara pria dan wanita, dan umumnya peranan
pengambilan keputusan dilakukan oleh pria. Pria dan wanita memiliki
usaha yang terpisah, misalnya pria lebih banyak menguasai
pengelolaan tanaman perdagangan dan wanita pada ternak kecil.
Banyak pekerjaan di pertanian yang diserahkan kepada wanita saat
kaum pria pergi ke kota untuk bekerja (Ban & Hawkins 2007).

Komunikasi Pembangunan Berwawasan Gender berdasarkan


Teori Post-Structuralist (Permormance dan Positioning)
Jan Servaes mengkaitkan konsep pemberdayaan pada
partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan kolektif.
Pemberdayaan meyakinkan bahwa perempuan mampu membantu
dirinya sendiri. Dalam teori posisioning (Raggatt 2007), pemberdayaan
lebih diarahkan pada conversational yaitu proses dialog dan
dialektika. Melkote (2001) dalam bukunya yang berjudul
Communication for Development in the Third World, salah satu yang
sangat luas digunakan saat ini adalah pemberdayaan sebagai pusat
pengorganisasian konsep. Mereka setuju bahwa ketidakadilan
kekuasaan sebagai permasalahan sentral yang harus dipecahkan
dalam pembangunan. Selanjutnya pemberdayaan didefinisikan
sebagai sebuah proses dalam mana secara individual dan
organisasional memperoleh pengawasan dan penguasaan kondisi
sosial ekonomi yang lebih banyak, dengan partisipasi demokrasi yang
lebih dalam komunitasnya dan kisah mereka sendiri.
Bentuk-bentuk komunikasi pembangunan yang partisipatif
berwawasan gender dalam konsep pemberdayaan menurut Serveas
(2002) mencakup forum dialog akar rumput (grassroots dialog forum),
fungsi baru komunikasi pada media partisipatif (participatory media),
berbagi pengetahuan secara setara (knowledge-sharing on a co-equal
basis) dan model komunikator pendukung pembangunan
(Development Support Communication). Dialog akar rumput
didasarkan atas kaidah partisipasi untuk mempertemukan sumber dan
agen perubahan langsung dengan masyarakat. Metode yang
digunakan adalah penyadaran (conscientization) melalui dialog. Lebih
jauh lagi masyarakat diajak untuk merumuskan permasalahan dan
menemukan pemecahannya sekaligus pelaksanaan kegiatan dalam
upaya pemecahan permasalahan.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti
komputer dan teknologi komunikasi, khususnya internet dapat
digunakan untuk menjembatani informasi dan pengetahuan yang
tersebar di antara yang menguasai informasi dan yang tidak. Akses
terhadap komunikasi digital membantu meningkatkan akses (baik bagi
kaum laki-laki maupun perempuan) terhadap peluang pendidikan,
418

meningkatkan transparansi dan efisiensi layanan pemerintah,


memperbesar partisipasi secara langsung dari used-to-be-silent-
public (masyarakat yang tidak mampu berpendapat) dalam proses
demokrasi, meningkatkan peluang perdagangan dan pemasaran,
memperbesar pemberdayaan masyarakat dengan memberikan suara
kepada kelompok yang semula tidak bersuara (perempuan) dan
kelompok yang mudah diserang, menciptakan jaringan dan peluang
pendapatan untuk wanita, akses terhadap informasi pengobatan untuk
masyarakat yang terisolasi dan meningkatkan peluang tenaga kerja
(Servaes 2007).
419

KESIMPULAN
Pandangan post-structuralist dari perspektif teori performativitas
dalam komunikasi gender dinyatakan bahwa gender dan seksualitas
menentukan batas-batas maskulinitas dan feminisme, menentukan
norma-norma pergaulan antar gender yang berbeda-beda dan pada
gilirannya meneguhkan patriarki dan heteronormativitas.
Ketertindasan gender atau seksualitas lebih dipahami sebagai
ketertindasan secara ideologis dan representatif, daripada kondisi
material penindasan itu sendiri. Materialitas ideologi dan materialitas
di luar representasi dikesampingkan. Sedangkan dari perspektif teori
posisioning dalam komunikasi gender menggambarkan hubungan
antara subyek, diskursus, praktek dan posisi. Kemungkinan pilihan
berasal dari keberadaan berbagai diskursus dan (perbedaan yang
diterima) dan juga pada posisi konflik dalam hubungan, situasi dan
konteks yang berbeda.
Perkembangan post strukturalisme juga memanifestasikan
konstelasi teori dan metodologi baru yang menantang dan
diadaptasikan oleh feminis ahli komunikasi dalam sebuah kritik
strukturalisme dengan teori dan horison metodologikal baru,
khususnya terkait dengan Post-Structuralist Discourse Analysis (PDA).
Kecenderungan dalam PDA adalah berakar dari alasan hubungan
antara diskursif psikologi dan psikolinguistik sebagai positioning
analysis (analisis posisi). Posisioning diperagakan pada tingkatan
diskursus yang berbeda, pada tingkatan mikro dari pembentukan tata
bahasa dan kalimat dan pada tingkatan meso dari percakapan,
bercerita dan hubungan sosial; serta pada tingkatan makro terhadap
skemata aestetik, diskursif repertoir dan idiom. Kerangka kerja PDA
terutama diarahkan pada tingkatan meso dan difokuskan pada
pemahaman percakapan sebagai sebuah struktur tindakan
berbicara, sebagai perkataan dan perbuatan dari tipe yang dibatasi
oleh referensinya terhadap kekuatan sosial. PDA selanjutnya
dikembangkan menjadi Feminisme Post-Structuralist Discourse
Analysis (FPDA).
Bentuk-bentuk komunikasi pembangunan yang partisipatif
berwawasan gender dalam konsep pemberdayaan mencakup forum
dialog akar rumput (grassroots dialog forum), fungsi baru komunikasi
pada media partisipatif (participatory media), berbagi pengetahuan
secara setara (knowledge-sharing on a co-equal basis) dan model
komunikator pendukung pembangunan (Development Support
Communication). Dialog akar rumput (grassroots dialog) didasarkan
atas kaidah partisipasi untuk mempertemukan sumber dan agen
perubahan langsung dengan masyarakat. Metode yang digunakan
adalah penyadaran (conscientization) melalui dialog dan dialektika.
Lebih jauh lagi masyarakat diajak untuk merumuskan permasalahan
dan menemukan pemecahannya sekaligus pelaksanaan kegiatan
dalam upaya pemecahan permasalahan.

DAFTAR PUSTAKA
420

Ban VDAW, Hawkins HS. 2007. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta:


Kanisius.
Baxter J. 2002. Competing Discourses in the Classroom: a Post-
Structuralist Discourse Analyses of Girl and Boys Speech in
Public Contexts. Discourse Society 2002, 13; 827. [terhubung
berkala] 31 Oktober 2008. http://das.sagepub.com/cgi/content/
abstract/13/6/827.
Birdshall N, McGreevey WP. 1983. Women, Poverty, and Development.
In Women and Poverty in the Third World. Ed. M. Buvinic, MA.
Lycette, W.P, McGreevey. Pp 3-13. London: The John Hopkins
University.
Butler J. 1992. Contingent Foundation: Feminism and the Question of
Postmodernism. in Butler, Judith and Scott, Joan (eds.), Feminists
Theorize the Political. New York: Routledge.
Byrne B. 2000. Troubling Race. Using Judith Butlers Work to think
about Racialised Bodies and Selves. [terhubung berkala] 31
Desember 2008.
www.ids.ac.uk/UserFiles/File/participation_team/sexrights/byrne.
pdf -
Conanedogawa. 2008. Rethinking Gender dan Seksualitas Menurut
Teori Queer. [terhubung berkala] 30 Oktober 2008.
www.indoforum.org/ blog.php?b=72&goto=prev - 39k -
Elizabeth R. 2007. Pemberdayaan Wanita mendukung Strategi Gender
Mainstreaming dalam Kebijakan Pembangunan Pertanian di
Perdesaan. Forum Penelitian Agroekonomi. Volume 25 No. 2,
Desember 2007: 126 135.
Escobar A. 1995, Encountering Development, The Making and
Unmaking of the Third World. Princeton-NJ, University Press,
Princeton.
Foucault M. 1980. Herculine Barbine; Being The Recently Discovered
Memoirs of a Nineteenth-Century French Hermaphrodite, Sussex:
The Harvester Press. [terhubung berkala] 31 Desember 2008.
www.amazon.com/Herculine-Barbin-Michel-
Foucault/dp/0394508211 - 263k
Jolly S. 2000. What use is queer theory to development?. [terhubung
berkala] 31 Desember 2008.
www.ids.ac.uk/UserFiles/File/participation_team/ sexrights/
jollytalk.pdf
Krolokke C, Sorensen AC. 2006. Gender Communication Theories &
Analyses. SAGE Publications. Thousand Oaks, London, New
Delhi.
Livia A, Hall K. 1997. Its a Girl !. Bringing Performativity Back to
Linguistics. [terhubung berkala] 5 Januari 2009.
http://www.colorado.edu./linguistics/faculty/kira-hall/kira
hall/articles/ L&H1997
421

Megawangi. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang


Relasi Gender. Bandung: Mizan.
Melkote SR. 1991. Communication for Development in the Third World:
Theory and Practice. New Delhi: Sage.
Raggatt PTF. 2007. Forms of Positioning in the Dialogical Self: A
System of Classification and the Strange Case of Dame Edna
Everage. Theory Psychology tahun 2007 (17): 355. [terhubung
berkala] 31 Oktober 2008.
http://tap.sagepub.com/cgi/content/abstract/17/3/355.
Rodriguez C. 2001. Shattering Butterflies and A mazons: Symbolic
Constructions of Women in Colombian Development Discourse.
Communication Theory Eleven: Four, November 2001.
International Communication Association.
Salih S. 2002. On Judith Butler and Performativity. Lovaas 5001.qdx
7/8/2006: 55. [terhubung berkala] 1 Januari 2009.
www.questia.com/library/ book/judith-butler-by-
Servaes J. 2002. Communication for Development: one world, multiple
culltures. Second Printing. New Jersey: Hampton Press, Inc.
Cresskill.
Servaes J. 2007. Harnessing the UN System Into a Common Approach
on Communication for Development. International
Communication Gazette 2007; 69; 483.
Vitayala AS. 1995. Posisi dan Peran Wanita dalam Era Globalisasi
dalam E. L. Hastuti, 2004. Pemberdayaan Petani dan
Kelembagaan Lokal dalam Perspektif Jender. Working Paper No.
50. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
422
423

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI KLINIK AGRIBISNIS PADA PRIMA


TANI

Amiruddin Saleh16, Nia Rachmawati17, Sutisna Riyanto16

ABSTRACT
The objectives of this research are: (1) to understand the communication process in
Agribusiness Clinics service, (2) to analyze the level of Agribusiness Clinic
communication effectiveness, (3) to analyze relationship between characteristics
factors, farmers perception about field extension agent with communication process
in Agribusiness Clinics service and (4) to analyze relationship between characteristics
factors, farmers perception about field extension agent and communication process in
Agribusiness Clinics service with Agribusiness Clinic communication effectiveness.
This research designed as the description correlation for 70 farmers. Data was
analyzed by rank Spearman statistical test. The research results showed: (1) the
communication process in Agribusiness Clinics service consists of consultancy/service,
discussion, technical construction, printed media and location in farmers good
perception, (2) communication in Agribusiness Clinic is effective because can be
transmitted relevant information and satisfying members, (3) some individual
characteristics have a significant and high significant correlation with effectiveness of
communication are: formal education, level of cosmopolite and nonformal education
except age negatively. The farmers perception about the field extension agent is in
good category, only in writing/verbal communication skill and ability to send
information in enough category and generally farmers perception about the field
extension agent is in high correlation with Agribusiness Clinics service, and (4) the
formal education has a significant correlation with the level of transmission relevant
information, the nonformal education and level of cosmopolite show a high significant
correlation with satisfying member, except the age shows negatively with Agribusiness
communication effectiveness. The farmers perception about the field extension agent
in writing/verbal communication skill and usage accuracy media of communication has
a high correlation each in satisfying members. Agribusiness Clinics Service is in good
category only on printed media has a significant correlation with level of transmission
relevant information and high significant correlation with satisfying members, while
the location shows a high significant only with satisfying members. Based on the
results of the research that communication with printed media is better than
interpersonal communication at Prima Tani in Leuwi Sadeng Sub district, Bogor.

Key words: communication effectiveness, agribusiness clinic, prima tani

PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa kecepatan adopsi
dan tingkat pemanfaatan inovasi pertanian cenderung menurun. Selain
itu, penggunaan inovasi adakalanya salah kaprah. Kelambatan adopsi
terjadi antara lain karena kurang mulusnya arus informasi dari sumber
informasi teknologi ke penerima. Badan Litbang Pertanian membangun
suatu program rintisan pembangunan pertanian wilayah yang disebut
Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi

16 Dosen Program Mayor Komunikasi Pembangunan IPB


17 Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Badan Litbang
Departemen Pertanian
424

Teknologi Pertanian) untuk mempercepat diseminasi inovasi teknologi.


Dukungan faktor kelembagaan dalam pelaksanaan Prima Tani sangat
diperlukan untuk memperlancar operasionalnya maka dibentuklah
Klinik Agribisnis (Deptan 2006).
Klinik Agribisnis merupakan lembaga yang berperan sebagai
pemasok inovasi teknologi pertanian dan lebih mendekatkan sumber-
sumber teknologi pertanian kepada pengguna. Mengingat faktor
komunikasi dianggap sangat penting karena terkait dengan
penyampaian informasi dari sumber teknologi kepada petani maka
Klinik Agribisnis dapat dijadikan sebagai wadah berkomunikasi dengan
perhatian utama adalah masalah yang dihadapi petani dalam
menjalankan usahataninya (Deptan 2006).
Proses pengadopsian suatu teknologi merupakan suatu hasil dari
kegiatan komunikasi di bidang pertanian. Aspek efektivitas komunikasi
sangat penting karena membutuhkan keterlibatan aktif seluruh
pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Prima Tani. Keberadaan Klinik
Agribisnis diharapkan bukan hanya sebagai alat penyaluran informasi
dari pemerintah semata tetapi dapat menjadi sarana diskusi atau
dialog petani, sehingga mereka dapat mengenali masalah-masalah
dalam menjalankan usahatani sekaligus mencari alternatif
pemecahannya.

Masalah Penelitian
Penelitian efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima
Tani di Kecamatan Leuwi Sadeng Bogor ini, secara spesifik ingin
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Seperti apa proses komunikasi dalam jasa pelayanan Klinik
Agribisnis pada Prima Tani di Kecamatan Leuwi Sadeng Kabupaten
Bogor?
2. Seberapa besar tingkat efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada
Prima Tani di Kecamatan Leuwi Sadeng Bogor?
3. Sejauh mana hubungan karakteristik individu petani, persepsi
petani tentang PPL dengan proses komunikasi dalam jasa
pelayanan Klinik Agribisnis pada Prima Tani di Kecamatan Leuwi
Sadeng Bogor?
4. Sejauh mana hubungan karakteristik individu petani, persepsi
petani tentang PPL dan proses komunikasi dalam jasa pelayanan
Klinik Agribisnis dengan efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis
pada Prima Tani di Kecamatan Leuwi Sadeng Bogor?

Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian efektivitas komunikasi
Klinik Agribisnis pada Prima Tani di Kecamatan Leuwi Sadeng Bogor ini
adalah untuk:
1. Melakukan identifikasi proses komunikasi dalam jasa pelayanan
Klinik Agribisnis pada Prima Tani.
2. Menganalisis tingkat efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada
Prima Tani.
425

3. Menganalisis hubungan karakteristik individu petani, persepsi


petani tentang PPL dengan proses komunikasi dalam jasa
pelayanan Klinik Agribisnis pada Prima Tani.
4. Menganalisis hubungan karakteristik individu petani, persepsi
petani tentang PPL dan proses komunikasi dalam jasa pelayanan
Klinik Agribisnis dengan efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis
pada Prima Tani.

Kegunaan Penelitian
Penelitian efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima
Tani di Kecamatan Leuwi Sadeng Bogor ini diharapkan dapat
memberikan manfaat dan berguna bagi berbagai pihak yaitu:
1. Bagi pemegang kebijakan, sebagai bahan pertimbangan bagi
pemerintah daerah dalam penyusunan kebijakan penguatan
kelembagaan petani.
2. Bagi komunikator inovasi, sebagai bahan masukan untuk
dipertimbangkan dalam menyusun kebutuhan informasi dan
penyebarluasan inovasi agar inovasi yang diintroduksikan dapat
lebih cepat menyebar dan diadopsi oleh petani khususnya guna
meningkatkan taraf hidupnya.
3. Bagi pengembangan ilmu komunikasi, hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan bahan masukan atau sumber informasi untuk
kepentingan penelitian selanjutnya.

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS


Kerangka Berpikir
Berdasarkan telaahan dari beberapa literatur dapat diambil
kesimpulan bahwa efektivitas komunikasi adalah suatu kondisi yang
dapat menunjukkan adanya kesamaan makna terhadap pesan yang
disampaikan oleh komunikator kepada komunikan dan tercapainya
suatu tujuan sesuai dengan yang telah ditetapkan sebelumnya. Adanya
kelembagaan agribisnis pedesaan yang tumbuh dari bawah dan
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat merupakan prasyarat
teradopsinya teknologi inovasi secara berkelanjutan. Klinik Agribisnis
dibentuk untuk memberikan pelayanan informasi dan diharapkan
dapat mempercepat transfer teknologi kepada petani secara efektif
dan efisien. Kerangka berpikir penelitian ini dijelaskan pada Gambar 1.
426

Karakteristik Individu
X1. Umur
X2. Pendidikan formal
H3
X3. Pendidikan nonformal
X4. Luas lahan garapan
X5. Pendapatan rata-rata
X6. Lama berusahatani
X7. Tingkat kekosmopolitan Jasa Pelayanan Klinik Agribisnis (Y1/X9)
Efektivitas Komunikasi Klinik Agribisnis (Y2)
Konsultasi/Pelayanan
Derajat relevansi informasi yang ditransmisikan sesuai kebutuhan petani
Diskusi Derajat kepuasan anggota
H1 Pembinaan Teknis
H2
Media Tercetak
Persepsi petani tentang PPL (X8) Lokasi
Keterampilan berkomunikasi lisan/tulisan
Kemampuan penguasaan materi
Kemampuan penyampaian informasi
Ketepatan waktu penyampaian pesan
Ketepatan penggunaan media komunikasi
Frekuensi kunjungan ke kelompoktani

H4

Gambar 1 Kerangka berpikir efektivitas komunikasi klinik agribisnis


pada prima tani

Hipotesis
Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian maka hipotesis
yang diajukan:
H 1: Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu petani dan
persepsi petani tentang PPL dengan jasa pelayanan Klinik
Agribisnis pada Prima Tani di Kecamatan Leuwi Sadeng Kabupaten
Bogor.
H 2: Terdapat hubungan nyata antara jasa pelayanan dengan
efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima Tani di
Kecamatan Leuwi Sadeng Kabupaten Bogor.
H 3: Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu petani
dengan efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima Tani di
Kecamatan Leuwi Sadeng Bogor.
H 4: Terdapat hubungan nyata antara persepsi petani tentang PPL
dengan efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima Tani di
Kecamatan Leuwi Sadeng Bogor.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Desa Babakan Sadeng, Kecamatan Leuwi
Sadeng Bogor yang merupakan lokasi Prima Tani untuk Kabupaten
Bogor. Penelitian didesain sebagai penelitian deskriptif korelasional.
Pengumpulan data dilakukan selama dua bulan yaitu bulan Oktober
427

sampai November 2008. Populasi dalam penelitian adalah petani yang


terlibat langsung dan aktif dalam Prima Tani Kabupaten Bogor
berjumlah 70 orang, terdiri atas 20 orang dari Kelompok Tani Harapan
Maju, 23 orang dari Kelompok Tani Panca Karya dan 27 orang dari
Kelompok Tani Tunas Karya. Sejalan dengan apa yang dikemukakan
Gaspertz (1991) apabila penelitian diketahui tentang besarnya
populasi, lalu keseluruhannya dijadikan subyek penelitian dikatakan
bahwa penelitian tersebut menggunakan metode sensus. Data yang
dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Uji coba dilakukan
terhadap 20 orang petani di Desa Sadeng Kolot Kecamatan Leuwi
Sadeng Kabupaten Bogor dan menunjukkan nilai koefisien korelasi
product moment Pearson di atas angka kritik taraf lima persen maka
instrumen penelitian dinyatakan valid. Hasil uji reliabilitas
menunjukkan nilai koefisien split half masing-masing untuk persepsi
petani tentang PPL sebesar 0,915, untuk jasa pelayanan Klinik
Agribisnis sebesar 0,946 dan untuk efektivitas komunikasi Klinik
Agribisnis sebesar 0,912, yang berarti ketiga variabel penelitian
reliabel. Data dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif
berupa frekuensi, persentil, persentase, rataan, rataan skor dan total
rataan skor, sedangkan untuk melihat hubungan antar variabel
menggunakan analisis statistik inferensial dengan uji rank Spearman.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Proses Komunikasi dalam Jasa Pelayanan Klinik Agribisnis
Proses komunikasi terjadi selama pelaksanaan Prima Tani. Klinik
Agribisnis tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan atau melakukan
kerjasama baik internal (lingkup badan litbang pertanian) maupun
eksternal (perguruan tinggi, swasta dan lembaga lainnya) dalam
rangka mendukung percepatan inovasi teknologi. Jasa pelayanan Klinik
Agribisnis yang meliputi: konsultasi/pelayanan, diskusi, pembinaan
teknis, ketersediaan media (media tercetak) dan lokasi.
Karakteristik Individu
Karakteristik individu adalah sifat-sifat atau ciri yang melekat
pada diri individu yang berhubungan dengan aspek kehidupan di
lingkungannya. Umur responden beragam dengan kisaran umur antara
26-73 tahun di mana umur setengah baya merupakan kelompok yang
dominan. Rataan umur mereka adalah 48 tahun. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa umur responden didominasi umur produktif.
Sebagian besar (41,4%) tingkat pendidikan formal responden berada
pada kategori tamat SD yaitu menyelesaikan pendidikan formalnya
selama enam tahun. Pendidikan nonformal yang pernah diikuti
responden berkisar tiga sampai sembilan kali dan diketahui rataan
frekuensi 5,2 kali per satu tahun terakhir. Umumnya (71,4%) responden
memiliki luas lahan garapan yang termasuk dalam kategori sempit dan
diketahui rataan luas lahan yang diusahakan oleh responden adalah
0,34 ha. Pendapatan rata-rata per bulan responden berkisar Rp
458.400-Rp 3.496.600 dan sebagian besar (51,4%) termasuk kategori
428

rendah. Lama berusahatani responden sebagian besar (61,4%) masuk


dalam kategori cukup berpengalaman dan diketahui rataan lama
berusahatani mereka adalah 10,69 tahun. Selanjutnya untuk tingkat
kekosmopolitan responden sebagian besar (41,4%) termasuk kategori
sedang. Distribusi responden menurut karakteristik individu yang
diamati pada penelitian lebih lengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Distribusi responden menurut karakteristik individu yang


diamati
Jumlah Persenta
Karakteristik Individu Kategori
(orang) se (%)
Umur Muda (26 - 40 Tahun) 26 37,1
Paruh baya (41 64 Tahun) 36 51,4
Tua (65-73 Tahun) 6 11,5
Pendidikan formal Tidak tamat SD (1-5 Tahun) 19 27,1
Tamat SD (6 Tahun) 29 41,4
Sekolah lanjutan (7 -12 Tahun) 22 31,5
Pendidikan Jarang (3-4 kali) 18 25,7
nonformal Cukup (5-7 kali) 28 40,0
Sering (8- 9 kali) 24 34,3
Luas lahan garapan Sempit ( < 0,5 ha ) 50 71,4
Sedang (0,5 2,0 ha) 20 28,6
Luas (> 2,0 ha) 0 0
Pendapatan rata-rata Rendah (Rp 458.400- Rp 36 51,4
per bulan 1.470.900) 30 42,9
Sedang (Rp. 1.471.000 Rp. 4 5,7
2.483.900)
Tinggi ( Rp 2.484.000-Rp
3.496.600)
Lama berusahatani Cukup berpengalaman (1-12
tahun) 43 61,4
Berpengalaman (13 25 Tahun) 20 28,6
Sangat berpengalaman (26-37 7 10,0
tahun)
Tingkat Rendah (8-13 kali) 20 28,6
kekosmopolitan Sedang (14 21 kali) 29 41,4
Tinggi (22-27 kali) 21 30,0

Persepsi Petani tentang PPL, Jasa Pelayanan Klinik


Agribisnis dan Efektivitas Komunikasi Klinik Agribisnis
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) mempunyai mandat untuk
menyelenggarakan pendidikan non formal bagi petani sehingga
mampu mengelola sumber daya alam yang ada secara intensif demi
tercapainya peningkatan produktivitas ataupun pendapatan.
Keterlibatan PPL dalam Prima Tani: (1) aktif dalam kegiatan sosialisasi
program, (2) menginformasikan calon-calon peserta, (3) pengurus
potensial, (4) mengisi materi pelatihan, (5) membantu menyusun
rencana, (6) mengkoordinasikan aparat setempat, (7) membantu
429

bahan display, (8) menjadi nara sumber dan (9) membantu evaluasi.
Persepsi petani tentang PPL sudah baik dengan total rataan skor 2,48
pada keterampilan berkomunikasi lisan/tulisan dan kemampuan
penyampaian informasi yang dinilai cukup. Lebih jelasnya disajikan
pada Tabel 2.

Tabel 2 Persepsi petani tentang PPL


Persepsi petani tentang PPL Rataan Skor *)
Keterampilan berkomunikasi lisan/tulisan 2,30
Kemampuan penguasaan materi 2,53
Kemampuan penyampaian informasi 2,21
Ketepatan waktu penyampaian pesan 2,53
Ketepatan penggunaan media komunikasi 2,49
Frekuensi kunjungan ke kelompoktani 2,80
Total rataan skor 2,48
Keterangan: *)1,00 1,66 = buruk; 1,67 2,33 = cukup; 2,34 3,00 =
baik

Jasa pelayanan Klinik Agribisnis yang terdiri dari


konsultasi/pelayanan, diskusi, pembinaan teknis, ketersediaan media
dan lokasi berdasarkan persepsi petani semuanya dinilai baik dengan
nilai total rataan skor 2,48. Lebih jelasnya mengenai rataan skor untuk
jasa pelayanan Klinik Agribisnis disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jasa pelayanan Klinik Agribisnis


Jasa Pelayanan Klinik Agribisnis Rataan Skor *)
Konsultasi/pelayanan 2,34
Diskusi 2,70
Pembinaan teknis 2,41
Ketersediaan media 2,43
Lokasi 2,61
Total rataan skor 2,48
*)
Keterangan: 1,00 1,66 = buruk; 1,67 2,33 = cukup; 2,34 3,00 =
baik

Efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis berdasarkan penilaian


petani dengan dua indikator yaitu derajat relevansi informasi yang
ditransmisikan dan derajat kepuasan anggota dinilai baik dengan total
rataan skor 2,57 seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis


*)
Efektivitas Komunikasi Klinik Agribisnis Rataan Skor
Derajat relevansi informasi yang ditransmisikan 2,66
Derajat kepuasan anggota 2,47
Total rataan skor 2,57
430

Keterangan: *)1,00 1,66 = buruk; 1,67 2,33 = cukup; 2,34 3,00 =


baik

Berdasarkan hasil analisis tersebut secara umum dapat


dikatakan bahwa persepsi petani tentang PPL, jasa pelayanan Klinik
Agribisnis dan efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis masuk kategori
baik. Hal ini menggambarkan bahwa umumnya penilaian petani
terhadap ketiga peubah tersebut berada pada kategori baik. Tingkat
efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada derajat relevansi informasi
yang ditransmisikan dan derajat kepuasan anggota disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan sebagian besar (74,3%) responden menilai
derajat relevansi informasi yang ditransmisikan masuk kategori tinggi.
Hal ini menunjukkan responden mempunyai penilaian yang positif
terhadap informasi pada Klinik Agribisnis karena sesuai dengan
kebutuhan, kondisi wilayah setempat dan dapat membantu mencari
pemecahan masalah teknis dalam usahatani. Selanjutnya penilaian
sebagian besar (57,1%) responden pada derajat kepuasan anggota
masuk kategori tinggi. Hal ini mengindikasikan responden merasakan
bahwa Klinik Agribisnis sebagai tempat berkomunikasi yang berguna
bagi petani, dapat meningkatkan komunikasi atau hubungan sosial
dengan orang lain dan menguntungkan sehingga responden merasa
puas dengan informasi yang tersaji pada berbagai media cetak.
Adanya jasa pelayanan juga dirasakan responden dapat membantu
memecahkan masalah yang dihadapi dalam menjalankan usahatani
sehingga pada akhirnya responden menganggap perlu melaksanakan
teknologi yang dianjurkan dalam usahatani yang sedang dijalankan.

Tabel 5 Distribusi responden berdasarkan tingkat efektivitas


komunikasi Klinik Agribisnis yang diamati
Efektivitas komunikasi Klinik Kateg Jumlah Persentas
Agribisnis ori (orang) e (%)
Derajat relevansi informasi yang Renda
ditransmisikan h 6 8,6
Sedan 12 17,1
g 52 74,3
Tinggi
Derajat kepuasan anggota Renda
h 7 10,0
Sedan 23 32,9
g 40 57,1
Tinggi

Hubungan Karakteristik Individu dan Persepsi Petani tentang


PPL dengan Jasa Pelayanan Klinik Agribisnis pada Prima Tani
Hasil analisis hubungan karakteristik individu dan persepsi
petani tentang PPL dengan jasa pelayanan Klinik Agribisnis pada Tabel
431

6 menunjukkan beberapa indikator dari karakteristik individu


pendidikan formal dan tingkat kekosmopolitan mempunyai korelasi
nyata (p<0,05), sedangkan pendidikan nonformal berkorelasi sangat
nyata (p<0,01) dan umur mempunyai korelasi nyata (p<0,05) negatif
dengan jasa pelayanan Klinik Agribisnis. Menurut Klausmeier dan Gwin
(Mardikanto 1993) semakin tua umur petani semakin lemah daya
biologis, daya psikologis, tingkat kepekaan dan potensi lainnya.
Pendidikan formal responden yang cenderung semakin tinggi,maka
semakin baik pula penilaian petani terhadap jasa pelayanan Klinik
Agribisnis. Responden yang mengikuti pendidikan nonformal lebih
sering cenderung semakin tinggi pula aktivitasnya dalam
memanfaatkan jasa pelayanan Klinik Agribisnis karena rasa
keingintahuannya lebih banyak. Terdapat kecenderungan semakin
tinggi tingkat kekosmopolitan responden maka semakin tinggi
aktivitasnya dalam mencari dan berupaya untuk memperoleh informasi
sehingga dapat memanfaatkan jasa pelayanan Klinik Agribisnis secara
optimal. Persepsi petani tentang PPL berkorelasi sangat nyata (p<0,01)
dengan jasa pelayanan Klinik Agribisnis. Hal ini mengindikasikan
bahwa semakin baik persepsi petani tentang PPL maka semakin baik
pula penilaiannya terhadap jasa pelayanan Klinik Agribisnis. Sejalan
dengan pernyataan Rogers dan Shoemaker (1995) bahwa agen
pembaharu (PPL) mempunyai kredibilitas yang lebih tinggi dari
beberapa sumber dan lebih banyak menggunakan saluran alternatif.
Berdasarkan paparan hasil analisis hubungan pada Tabel 6,
maka hipotesis pertama yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
nyata antara karakteristik individu dan persepsi petani tentang PPL
dengan jasa pelayanan Klinik Agribisnis pada Prima Tani di Kecamatan
Leuwi Sadeng Bogor pada indikator umur, pendidikan formal dan
nonformal, tingkat kekosmopolitan dan persepsi petani tentang PPL
diterima.

Tabel 6 Hubungan karakteristik individu dan persepsi petani


tentang PPL dengan jasa pelayanan Klinik Agribisnis
pada Prima Tani
Karakteristik Individu dan persepsi Jasa Pelayanan Klinik
petani tentang PPL: Agribisnis (rs)
umur - 0,278 *
Pendidikan Formal 0,274 *
Pendidikan Nonformal 0,415 **
Luas Lahan Garapan 0,104
Pendapatan 0,135
Lama berusahatani 0,028
Tingkat Kekosmopolitan 0,288 *
Persepsi tentang PPL 0,342 **
Keteranga
*Korelasi nyata pada taraf 0,05 rs = rank Spearman
n:
**Korelasi sangat nyata pada taraf 0,01
432

Hubungan Jasa Pelayanan dengan Efektivitas Komunikasi Klinik


Agribisnis
pada Prima Tani
Hasil analisis secara umum menunjukkan terdapat hubungan
yang sangat nyata (p<0,01) antara jasa pelayanan dengan efektivitas
komunikasi Klinik Agribisnis dengan koefisien korelasi 0,450 (Tabel 7).
433

Tabel 7 Hubungan jasa pelayanan dengan efektivitas


komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima Tani
Efektivitas Komunikasi Klinik
Agribisnis (rs)
Jasa Pelayanan Klinik
Derajat relevansi Derajat
Agribisnis
informasi yang kepuasan
ditransmisikan anggota
Konsultasi/pelayanan 0,111 0,184
Diskusi 0,037 0,063
Pembinaan teknis 0,053 0,157
Ketersediaan media 0,247 * 0,308 **
Lokasi 0,196 0,339 **
Total item 0,450 **

Keterang
*Korelasi nyata pada taraf 0,05 rs = rank Spearman
an:
**Korelasi sangat nyata pada taraf 0,01

Indikator yang berkorelasi dengan efektivitas komunikasi Klinik


Agribisnis pada jasa pelayanan Klinik Agribisnis pada ketersediaan
media berkorelasi nyata (p<0,05) dengan derajat relevansi informasi
dan sangat nyata (p<0,01) dengan derajat kepuasan anggota,
sedangkan lokasi Klinik Agribisnis hanya berkorelasi sangat nyata
(p<0,01) dengan derajat kepuasan anggota. Untuk indikator
konsultasi/pelayanan, diskusi dan pembinaan teknis tidak
menunjukkan korelasi yang nyata (p>0,05) dengan efektivitas
komunikasi Klinik Agribisnis, baik terhadap indikator derajat relevansi
informasi maupun derajat kepuasan anggota. Hipotesis kedua yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara jasa pelayanan
Klinik Agribisnis dengan efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada
Prima Tani di Kecamatan Leuwi Sadeng Bogor, pada indikator
ketersediaan media dan lokasi diterima.

Hubungan Karakteristik Individu dengan Efektivitas


Komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima Tani
Hasil analisis hubungan antara karakteristik individu dengan
efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima Tani menunjukkan
terdapat korelasi yang sangat nyata (p< 0,01) antara karakteristik
individu umur, pendidikan nonformal dan tingkat kekosmopolitan
petani responden dengan efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis. Umur
berkorelasi sangat nyata (p<0,01) negatif dengan efektivitas
komunikasi. Hal ini mengindikasikan dengan meningkatnya umur
responden maka efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis cenderung
menurun. Hal ini didukung oleh pendapat Rogers (2003) yang
mengemukakan bahwa petani yang tergolong laggard sebagian besar
adalah petani yang berusia tua dan berpengalaman tinggi dalam
berusahatani. Petani yang memiliki tingkat kekosmopolitan tinggi akan
434

memiliki efektivitas komunikasi yang lebih baik dibandingkan dengan


petani yang tingkat kekosmopolitannya rendah. Hal ini sejalan dengan
apa yang dikemukakan Rakhmat (2007) bahwa komunikasi
interpersonal yang terjadi menunjukkan adanya efektivitas komunikasi.
Selain itu juga terdapat hubungan nyata (p<0,05) pada indikator
pendidikan formal. Pendidikan formal seseorang mempengaruhi
aktivitas komunikasi orang tersebut. Melalui pelatihan petani
memperoleh banyak manfaat bukan hanya pengetahuannya saja yang
akan bertambah tetapi juga keterampilannya. Begitu pun, karakteristik
pendapatan berhubungan negatif dengan efektivitas komunikasi. Hal
ini mengindikasikan semakin meningkat pendapatan responden maka
efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis cenderung menurun. Sejalan
dengan pendapat Rogers (2003) golongan ini masuk kategori adopter
yang memiliki pendapatan tinggi sehingga cenderung mengadopsi
informasi untuk diri sendiri dan mencari informasi tidak hanya pada
Klinik Agribisnis saja tetapi juga dari sumber-sumber informasi yang
lain (Tabel 8).

Tabel 8 Hubungan karakteristik individu dengan efektivitas


komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima Tani
Efektivitas komunikasi Klinik
Karakteristik Individu
Agribisnis (rs)
Umur - 0,479 **
Pendidikan Formal 0,239 *
Pendidikan Nonformal 0,380 **
Luas Lahan Garapan 0,103
Pendapatan - 0,046
Lama Usahatani 0,019
Tingkat Kekosmopolitan 0,382 **

Keterang rs = rank
*Korelasi nyata pada taraf 0,05
an: Spearman
**Korelasi sangat nyata pada taraf
0,01

Berdasarkan hasil dari analisis hubungan antara karakteristik


individu dengan efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima
Tani di Kecamatan Leuwi Sadeng Bogor maka hipotesis ketiga yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara karakteristik
individu dengan efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima
Tani di Kecamatan Leuwi Sadeng Bogor untuk umur, pendidikan formal,
pendidikan nonformal dan tingkat kekosmopolitan dapat diterima.

Hubungan Persepsi Petani tentang PPL dengan Efektivitas


Komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima Tani
435

Hasil analisis hubungan antara persepsi petani tentang PPL


dengan efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima Tani secara
umum menunjukkan adanya hubungan yang sangat nyata (p<0,01).
Demi meyakinkan informasi yang diperolehnya petani melakukan
kontak interpersonal dengan PPL. Seseorang akan lebih cepat
mengadopsi inovasi apabila ia lebih banyak melakukan kontak
komunikasi interpersonal dengan agen pembaharu (Rogers &
Shoemaker 1995). Persepsi yang baik dari petani tentang PPL berperan
dalam penerimaan petani terhadap pesan yang disampaikan oleh PPL
(Tabel 9).

Tabel 9 Hubungan persepsi petani tentang PPL dengan


efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima Tani
Efektivitas Komunikasi Klinik
Agribisnis (rs)
Persepsi Petani tentang PPL Derajat relevansi Derajat
informasi yang kepuasan
ditransmisikan anggota
Keterampilan berkomunikasi
0,133 0,251 *
lisan/tulisan
Kemampuan penguasaan
- 0,084 0,183
materi
Kemampuan penyampaian
0.133 0,099
informasi
Ketepatan waktu
0,052 0,229
penyampaian pesan
Ketepatan penggunaan media
0,141 0,329 **
komunikasi
Frekuensi kunjungan ke
0,102 0,221
kelompok tani
Total item 0,312 **

Keterang
*Korelasi nyata pada taraf 0,05 rs = rank Spearman
an:
**Korelasi sangat nyata pada taraf 0,01

Data pada Tabel 9 secara umum menunjukkan terdapat


hubungan sangat nyata (p<0,01) antara persepsi petani dengan PPL
dengan efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis. Hubungan ini terdapat
pada keterampilan berkomunikasi lisan/tulisan dengan derajat
kepuasan anggota dan ketepatan penggunaan media komunikasi
dengan derajat kepuasan anggota. Persepsi petani tentang PPL pada
kemampuan penguasaan materi dengan derajat relevansi informasi
yang ditransmisikan menunjukkan hubungan negatif. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin PPL dinilai mampu dalam penguasaan
436

materi maka derajat relevansi informasi yang ditransmisikan semakin


rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa materi yang disampaikan PPL
sudah sesuai dengan kebutuhan petani dan situasi serta kondisi
setempat sehingga responden tidak terlalu menuntut terhadap derajat
relevansi informasi yang ditransmisikan pada Klinik Agribisnis.
Hipotesis keempat yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
nyata antara persepsi petani tentang PPL dengan efektivitas
komunikasi Klinik Agribisnis pada Prima Tani di Kecamatan Leuwi
Sadeng Bogor, untuk keterampilan berkomunikasi dan ketepatan
penggunaan media diterima.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses komunikasi yang dilakukan pada Klinik Agribisnis dalam
pelaksanaan Prima Tani adalah jasa pelayanan berupa:
konsultasi/pelayanan, diskusi, pembinaan teknis, media tercetak
dan lokasi semuanya sudah dinilai baik oleh petani.
2. Efektivitas komunikasi Klinik Agribisnis tergolong baik karena
mampu mentransmisi informasi yang relevan dan memuaskan
anggota.
3. Karakteristik pendidikan formal dan tingkat kekosmopolitan
berhubungan nyata dengan jasa pelayanan Klinik Agribisnis,
pendidikan nonformal berkorelasi sangat nyata. Persepsi petani
tentang PPL dinilai baik pada keterampilan berkomunikasi
lisan/tulisan dan kemampuan penyampaian informasi tergolong
cukup dan secara keseluruhan persepsi petani tentang PPL
berhubungan sangat nyata dengan jasa pelayanan Klinik Agribisnis.
4. Pendidikan formal berhubungan nyata dengan derajat relevansi
informasi yang ditransmisikan, pendidikan nonformal dan tingkat
kekosmopolitan berkorelasi sangat nyata dengan derajat kepuasan
anggota. Jasa pelayanan Klinik Agribisnis dinilai petani sudah baik
hanya pada media tercetak berhubungan nyata dengan derajat
relevansi informasi yang ditransmisikan dan berkorelasi sangat
nyata dengan derajat kepuasan anggota, sedangkan lokasi
berkorelasi sangat nyata hanya dengan derajat kepuasan anggota.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan komunikasi
menggunakan media tercetak lebih baik daripada komunikasi
interpersonal dalam Prima Tani di Kecamatan Leuwi Sadeng
Kabupaten Bogor.
437

Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disarankan hal-hal
sebagai berikut:
1. Pelaksanaan proses komunikasi pada jasa pelayanan Klinik
Agribisnis perlu ditingkatkan dan lebih merata pada semua jasa
pelayanan Klinik Agribisnis termasuk konsultasi, diskusi dan
pembinaan teknis sesuai dengan kebutuhan petani, situasi dan
kondisi wilayah setempat.
2. Jasa pelayanan Klinik Agribisnis lebih merata kesesuaiannya untuk
semua petani dari berbagai karakteristik.
3. Komunikasi Klinik Agribisnis lebih efektif lagi mentransmisikan
informasi yang relevan untuk seluruh petani dan memuaskan
anggota. PPL direkrut untuk meningkatkan kemampuan
penguasaan materi, ketepatan waktu penyampaian pesan dan
frekuensi kunjungan ke kelompok tani. PPL perlu lebih aktif
membina petani karena semakin baik persepsi petani tentang PPL,
semakin baik pula persepsi petani tentang jasa pelayanan Klinik
Agribisnis.

DAFTAR PUSTAKA
[Deptan] Departemen Pertanian. 2006. Panduan Umum Prima Tani.
Jakarta: Deptan.
Gaspertz V. 1991. Teknik Penarikan Contoh untuk Penelitian Survai.
Bandung: Tarsito.
Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Rakhmat J. 2007. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi, Cetakan ke-
24. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rogers EM, Shoemaker FF. 1995. Communication of Innovation: A
Cross Cultural Approach. Fifth Edition. New York: The Free Press.
Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovations. Ed ke-5. New York:
The Free Press.
438
439

PERAN KOMUNIKASI DALAM MODERNISASI PERTANIAN


BERBASIS KOPERASI

Parlaungan Adil Rangkuti18

ABSTRACT
Modern agricultural development is largely determined by the acceleration of
productivity improvement, quality and value-added production to agribusiness and
agro-industry approach. Since the development of the green revolution, agricultural
technology and agricultural business management in the country has developed
rapidly, especially in increasing the production of various food commodities through
the development program planned by the government. To encourage increased
capacity of farmers towards the realization of a more modern agriculture the
government to provide top down approach guidance through the extension program
and the spread of agricultural extension field workers (PPL). The process of
technological innovation and adoption of agricultural business management has
occurred through the Village Unit Cooperatives (KUD), but it has an impact on the
dependence of farmers to the government and adoption of technological innovation
has decreased (stagnant). Independence and competitiveness of farmers through KUD
has decreased, consequently increasing agricultural productivity also hampered and
economic conditions of farmers highly dependent on government aid with very weak
competitiveness. Entering the era of globalization with a very dynamic communication
technologies development require a sustainable modern agriculture development
model with agribusiness and agro-industry approach to farmer competitiveness based
on strengthening farmer agricultural cooperative. Performance and capacity of
agricultural cooperatives will be enhanced if there is a KUD arrangement and able to
take advantage of the available information optimally. To build an independent and
competitive agricultural cooperative, need to develop a specific leading commodity
programs in its working areas as agribusiness development area (KPA) as the concept
of OTOP (One Tambon One Product) which has been implemented in Thailand and
Japan. The role of cooperative organizations communications with two-way
communication model (convergence) can support the synergy of cooperation with
other economic actors towards the realization of a more modern agriculture.

Key words: Agricultural development communication, sustainable modern agriculture,


agricultural cooperatives, acompetitiveness of agricultural cooperatives,
agribusiness and agro-industry system

PENDAHULUAN
Menurut Adjid (2001), pembangunan pertanian modern adalah
suatu rangkaian panjang dari perubahan atau peningkatan kapasitas,
kualitas, profesionalitas dan produktivitas tenaga kerja pertanian,
disertai dengan penataan dan pengembangan lingkungan fisik dan
sosialnya, sebagai manifestasi dari akumulasi dan aplikasi kemajuan
teknologi dan kekayaan material serta organisasi dan manajemen.
Mosher (1985) mengemukakan bahwa ada sepuluh faktor penentu
dalam modernisasi pertanian yang meliputi lima syarat pokok dan lima
syarat pelancar. Kelima syarat pokok tersebut meliputi: (1) adanya
pasar untuk hasil-hasil usaha tani, (2) teknologi yang senantiasa
berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi
secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani, dan (5)

18 Staf Pengajar Institut Pertanian Bogor


440

tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu. Adapun syarat


pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan
pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani,
(4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan (5) perencanaan
nasional pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian modern
merupakan langkah strategis mewujudkan pembangunan pertanian
berkelanjutan sebagai paradigma baru, sehingga dapat meningkatkan
daya beli masyarakat perdesaan yang akan menjadi pendorong
pertumbuhan sektor nonpertanian.
Sejak dikembangkannya gerakan revolusi hijau, pemanfaatan
berbagai teknologi seperti teknologi kimia dan teknologi alat dan
mesin pertanian (alsintan) telah terjadi peningkatan produktivitas
pertanian yang sangat pesat. Namun disisi lain terjadi kerusakan
lingkungan hidup dan tatanan kehidupan sosial di pedesaan. Proses
adopsi inovasi teknologi bari di lingkungan petani telah terjadi berkat
dukungan sistem komunikasi pembangunan yang dikembangkan oleh
pemerintah. Oleh karena pendekatan pembangunan pertanian pada
waktu itu sangat memperhatikan persuasi dan propaganda, maka
pemerintah mengacu kepada model komunikasi linier (satu arah) dan
berbentuk vertikal dari atas ke bawah (top down). Sejak pasca
swasembada pangan tahun 1984 terjadi kecenderungan melambatnya
adopsi inovasi teknologi pertanian dalam peningkatan produksi, seperti
terlihat dari gejala stagnasi atau pelandaian produktivitas berbagai
produksi komoditas pertanian dan pendapatan serta kesejahteraan
petani di pedesaan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
adopsi inovasi teknologi antara lain: (1) teknis teknologinya, (2)
karateristik sasaran, (3) lingkungan dan (4) sumber informasi (Sahardi
2005).
Menurut Jahi (1988) bahwa setelah model komunikasi linier satu
arah dianggap kurang sempurna, kini pandangan orang mulai
mengarah pada komunikasi interaktif dua arah di antara partisipan.
Modernisasi pertanian di masa depan sangat tergantung kepada
manfaat optimal dari teknologi yang diperoleh oleh petani dan tidak
merusak lingkungan. Teknologi pertanian harus mampu menyesuaikan
diri dengan perkembangan global yakni berdaya saing dan ramah
lingkungan. Akses petani dalam memperoleh informasi dari berbagai
sumber telah terbuka luas sehingga dalam waktu singkat akan menjadi
bagian dari masyarakat informasi untuk memanfaatkannya bagi
percepatan moderniasi pertanian. Paradigma pembangunan saat ini
mengalami pergeseran, di mana pembangunan menekankan pada
pemberdayaan (empowerment) yang dikenal dengan pembangunan
manusia (people centered development), pembangunan berbasis
sumber daya lokal (resource based development), dan pembangunan
kelembagaan (institutional development).
Dalam hal ini peran komunikasi pembangunan dua arah
(convergen) di pedesaan menjadi penting agar petani dapat
memperoleh informasi dan menentukan teknologi pertanian yang tepat
untuk digunakan petani dan manajemen usaha tani yang semakin
441

maju. Sistem agribisnis dan agroindustri merupakan pendekatan


pengembangan usahatani modern dengan memperhatikan aspek
lingkungan hidup, nilai tambah dan daya saing petani. Berkaitan
dengan program otonomi daerah yang sedang dikembangkan oleh
pemerintah Indonesia, komunikasi pembangunan pertanian untuk
percepatan kemandirian petani dan peningkatan daya saing menuju
pertanian berkelanjutan yang modern, merupakan alternatif kebijakan
yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah daerah. Pemahaman
keberagaman sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan
karakteristiknya yang khas pada setiap daerah menjadi landasan pokok
untuk membangun pertanian modern di masa depan. Proses adopsi
inovasi teknologi dan jaringan komunikasi petani yang ditemukan di
daerah melalui perkuatan koperasi pertanian akan sangat
mempengaruhi efektivitas komunikasi pembangunan.
Pembangunan pertanian modern secara efisien dan efektif
dengan pendekatan agribisnis dan kelestarian lingkungan hidup
berbasis pada prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan merupakan alternatif
pilihan untuk percepatan kesejahteraan petani. Penataan dan
pengembangan model Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai salah satu
pilar kekuatan ekonomi masyarakat perlu didorong agar dapat
melakukan kerjasama sinergi dengan pilar kakuatan lainnya yakni
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Swasta
(BUMS). Soekartawi (2005) menyatakan bahwa untuk mendorong
percepatan modernisasi pertanian yang berkelanjutan dengan
penerapan teknologi tepat guna dan mendorong meningkatnya daya
saing dan kesejahteraan petani diperlukan dukungan komunikasi
pembangunan pertanian yang efektif. Komunikasi pertanian
mengandung beberapa aspek penting berkaitan dengan proses
pengambilan keputusan antara lain: motivasi dalam pemecahan
masalah, bagaimana menyelesaikan tiap masalah untuk mencapai
tujuan, apakah ada kesempatan untuk mencapai tujuan itu, dimana
dan kapan waktu yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut dan
perubahan situasi lingkungan.

Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi di lapangan adalah bagaimana pola
komunikasi yang efektif agar proses komunikasi dalam pemanfaatan
informasi yang tersedia dapat secara optimal mendorong percepatan
modernisasi pertanian berbasis koperasi kerjasama dengan pelaku
ekonomi lainnya di pedesaan dapat berlangsung efektif.

PEMBAHASAN
Paradigma Pembangunan Pertanian
Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya
pembangunan yang berkesinambungan meliputi seluruh aspek
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas
mewujudkan tujuan nasional. Steers (1985) mengemukakan bahwa
442

pembangunan sebagai upaya membangkitkan masyarakat di Negara-


negara sedang berkembang mengatasi masalah kemiskinan, tingkat
melek huruf yang rendah, pengangguran dan ketidakadilan. Rogers
(1976) mengartikan pembangunan sebagai proses-proses yang terjadi
pada tingkat sistem sosial dan modernisasi yang terjadi pada tingkat
individu termasuk istilah difusi inovasi, adopsi inovasi, akulturasi,
belajar atau sosialisasi. Dissayanake (1981) menggambarkan bahwa
pembangunan ialah proses perubahan yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup dari seluruh masyarakat tanpa merusak lingkungan alam
dan kultural tempat mereka berada dan berusaha, serta melibatkan
sebanyak mungkin anggota masyarakat dan menjadikan mereka
penentu dari tujuan mereka sendiri.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 17 tahun 2007 tentang
RPJPN tahun 2005-2025, visi pembangunan nasional tahun 2005-2025
adalah: Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Untuk
mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh melalui
delapan misi yang mencakup: (1) mewujudkan masyarakat berakhlak
mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan
falsafah Pancasila, (2) mewujudkan bangsa yang berdaya saing, (3)
mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum, (4)
mewujudkan Indonesia aman, damai dan bersatu, (5) mewujudkan
pemerataan pembangunan dan berkeadilan, (6) mewujudkan Indonesia
asri dan lestari, (7) mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan
yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional, dan
(8) mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia
internasional (Umar 2007). Terkait dengan upaya mewujudkan
Indonesia asri dan lestari yakni untuk memperbaiki pengelolaan
pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara
pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan dan kegunaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung
dan kenyamanan dalam kehidupan yang serasi antara penggunaan
untuk pemukiman, kegiatan sosial ekonomi dan upaya konservasi. Di
samping itu meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam
dan lingkungan yang berkesinambungan, memperbaiki pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas
kehidupan, memberi keindahan dan kenyamanan kehidupan, serta
meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati
sebagai modal dasar pembangunan.
Untuk percepatan modernisasi pertanian untuk meningkatkan
produktivitas dan nilai tambah ekonomi perlu paradigma baru yang
dikaitkan dengan pemanfaatan informasi melalui komunikasi
pembangunan pertanian berbasis koperasi yang profesional
berdasarkan prinsip-prinsip perkoperasian. Modernisasi pertanian harus
mampu menghindari kerusakan-kerusakan struktur tanah, polusi air,
pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk dan pestisida serta
penggunaan alsintan yang tidak ramah lingkungan. Pertanian lestari
menjadi pilihan utama yang telah muncul sebagai gerakan pertanian
berkelanjutan (sustainable agriculture) pada awal 1990-an. Munculnya
443

gerakan ini semula dipelopori oleh para pecinta lingkungan yang


khawatir terjadi kerusakan alam secara terus-menerus akibat
penggunaan bahan-bahan kimia, juga punahnya berbagai
keanekaragaman hayati di muka bumi. Gerakan ini mendorong
perubahan dalam praktek-praktek usaha tani. Penggunaan bahan-
bahan kimia (pupuk dan pestisida) dikurangi, kembali ke cara-cara
tradisional yang menghargai potensi lokal, menempatkan petani
sebagai subyek pertanian, mengelola usaha tani sesuai dengan budaya
dan lingkungan setempat, serta mengupayakan perdagangan yang adil
(fair trade).
Pendekatan dan strategi yang dikembangkan dalam model
pertanian berkelanjutan ini dilakukan dengan cara mendorong
tumbuhnya sumber-sumber pendapatan keluarga petani di pedesaan
dengan pendekatan agribisnis dan agroindustri. Strategi agribisnis
yang telah dikembangkan mencakup dua aspek yakni kegiatan pada
on farm (di lahan pertanian) dan kegiatan pada off farm (di luar lahan
pertanian). Model on farm yang dikembangkan tidak harus kembali
pada model tradisional yang sudah ada sejak dulu, namun perlu
disesuaikan dengan situasi lingkungan yang sudah berubah, juga
kebutuhan (pangan dan ekonomi) yang semakin besar. Prinsip
pengelolaan pertanian berkelanjutan adalah multikultur, menghargai
keanekaragaman hayati, menghargai kearifan lokal, memanfaatkan
bahan-bahan lokal, tidak bergantung bahan luar, tidak mengekploitasi
alam serta sesuai budaya dan pilihan serta kemampuan petani. Prinsip-
prinsip tersebut menumbuhkan beragam model pertanian
berkelanjutan di berbagai belahan dunia.
Petani kecil yang seringkali mempunyai keterbatasan dalam
mengakses sarana dan prasarana produksi pertanian, melalui
pertanian lestari mempunyai peluang yang luas dalam membangun
usaha pertaniannya. Kepercayaan petani kembali tumbuh karena bisa
membuat keputusan sendiri terhadap usaha taninya serta mampu
membuat benih pupuk dan pestisida sendiri, mempunyai organisasi
serta jaringan antar petani. Gerakan pertanian berkelanjutan yang
terjadi di hampir setiap negara, terutama negara-negara Amerika,
Eropa dan Asia selama 10 tahun terakhir ini menunjukkan perubahan-
perubahan yang menarik. Perubahan yang muncul antara lain: (1)
Gerakan konsumen hijau yakni perubahan kesadaran dan pola
konsumen terhadap produk pangan yang ramah lingkungan (organik)
meningkat dan (2) Gerakan konsumen ini sangat mendukung upaya
penyelamatan lingkungan dan menekan perusahaan pertanian dalam
memproduksi barang dan jasa agar menggunakan etika kemanusiaan
dan lingkungan. IFOAM adalah salah satu lembaga independent yang
diakui bisa memberikan sertifikasi organik.
Dengan kondisi petani saat ini yang masih serba lemah, baik
penguasaan lahan, modal maupun teknologi maka diperlukan multi
approach yakni pendekatan modernisasi, kemandirian dan partisipatif.
Untuk maksud tersebut peran koperasi pertanian yang semakin
profesional merupakan kebutuhan petani sehingga mempunyai daya
444

saing dan kemampuan meningkatkan nilai tambah bagi petani. Untuk


percepatan pembangunan koperasi pertanian perlu dilakukan penataan
KUD yang sudah ada agar semakin professional dengan kinerja dan
kapasitas yang semakin meningkat dengan pemanfaatan informasi
yang tersedia secara optimal. Dengan demikian peran komunikasi
pembangunan pertanian dan komunikasi organisasi koperasi dengan
pola dua arah dengan pendekatan sistem agribisnis dan agroindustri,
pertanian berkelanjutan, komoditas unggulan, teknologi tepat guna,
daya saing serta kesejahteraan anggota semakin penting. Bagan
paradigma modernisasi pertanian berbasis koperasi dapat dilihat pada
Gambar 1.
Arus Informasi
(1) downward communication
(2) upward communication
(3) horizontal communication.

Kinerja
Organisasi KUD

SUMBER INFORMASI KUD PERTANIANMODERN


PROFESIONAL

Kapasitas Organisasi KUD

Pendekatan
Sistem Agribisnis dan Agroindustri
Pertanian Berkelanjutan
Komoditas Unggulan
Teknologi tepat guna
Daya Saing
Kesejahteraan Anggota Koperasi

Gambar 1 Paradigma modernisasi pertanian berbasis koperasi


Komunikasi Pembangunan
Konsep pembangunan pertanian semakin berkembang menuju
pertanian modern seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek) dalam bidang teknologi dan manajemen
pertanian yang didukung oleh perkembangan teknologi komunikasi
yang sangat cepat. Sejarah perekonomian dunia telah menunjukkan
bahwa peran pertanian semakin penting untuk meningkatkan
kesejahteraan dan ketahanan nasionalnya. Upaya pemberdayaan
petani dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuannya agar
mempunyai kemandirian dan dan daya saing dengan posisi tawar yang
seimbang melalui sistem kemitraan usaha. Perkembangan globalisasi
perdagangan yang cepat memberi dampak terhadap peran komunikasi
445

dalam pembangunan pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan


kualitas produksi yang berdaya saing dan mampu meningkatkan
kesejahteraan petani.
Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan oleh
komunikator kepada komunikan dan terjadi saling pengertian,
pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Efek
komunikasi adalah perubahan pada perilaku individu dan dapat
berdampak pada lingkungan individu. Menurut Rakhmat (2007)
mengemukakan bahwa efek komunikasi adalah adanya perubahan
yang terjadi pada diri khalayak yakni perubahan kognitif, afektif dan
behavioral. Bila komunikasi terus menerus berlangsung akan terjadi
interaksi yaitu saling mempengaruhi antara individu yang satu dengan
yang lain. Secara umum komunikasi mempunyai fungsi untuk
menyampaikan suatu informasi dalam sistem sosial terkait dengan
pendidikan, hiburan dan mempengaruhi perilaku. Selanjutnya
Middleton (1975) diacu dalam Jahi (1988), mengungkapkan bahwa
terdapat empat pendekatan komunikasi yang dapat menimbulkan
perubahan perilaku khalayak sasaran yakni menyampaikan informasi,
instruksi, persuasi dan dialog.
Pada awalnya komunikasi pada umumnya dianggap sebagai
suatu fungsi linear, di mana seseorang mengkomunikasikan pesan-
pesannya melalui sebuah saluran kepada seorang penerima yang
kemudian memberikan umpan balik kepada pengirim tersebut. Model
komunikasi seperti ini dikenal sebagai teori peluru atau djarum suntik.
Dalam model ini komunikator menggunakan media massa untuk
menembaki atau menyuntik khalayak dengan pesan-pesan persuasive
yang tidak dapat mereka tahan. Proses seperti ini dinamakan proses
satu arah yakni dari komunikator kepada komunikan dan pada
umumnya dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat secara
hierarkhis ke bawah. Model komunikasi satu arah dikembangkan oleh
negara-negara dunia ketiga yang menggunakan teori modernisasi
dalam melaksanakan pembangunannya. Komunikasi telah berperan
untuk membantu mempercepat proses peralihan masyarakat
tradisional menjadi masyarakat modern, khususnya peralihan dari
kebiasaan-kebiasaan yang menghambat pembangunan ke arah sikap
baru yang tangap terhadap pembaharuan. Arus komunikasi satu arah
dari badan-badan pembangunan pemerintah kepada masyarakat
sangat mencolok. Media massa dapat secara cepat menjangkau
khalayak luas dengan pesan-pesan yang informatif mengenai berbagai
hal tentang pembangunan (Muhammad 2004).
Dalam komunikasi akan terjadi suatu proses yang
memungkinkan komponen-komponen suatu sistem sosial memperoleh
dan bertukar informasi yang dibutuhkan dengan pihak lain. Sistem
sosial tersebut memerlukan informasi untuk menyesuaikan diri dan
menjaga keseimbangan dengan lingkungannya untuk berubah setiap
saat. Penyesuaian diri sistem sosial tersebut dengan lingkungannya
akan mengalami perubahan dan perubahan-perubahan tersebut dapat
diartikan sebagai pembangunan. Menurut Rogers (1976) dalam
446

perkembangannya istilah pembangunan banyak digunakan terkait


dengan upaya melakukan perubahan sosial ekonomi. Kepincangan
sosial ekonomi yang terjadi di negara-negara dunia ketiga,
mengalihkan pemikiran para pakar untuk melahirkan konsep
pembangunan yang lebih memperhatikan kemajuan sosial, persamaan
dan kebebasan. Adanya pergeseran ini menimbulkan pengertian
pembangunan sebagai suatu proses perubahan sosial dalam suatu
masyarakat yang diselenggarakan dengan jalan memberi kesempatan
yang seluas-luasnya pada warga masyarakat berpartisipasi untuk
memdapatkan kemajuan, baik secara sosial maupun material. Dalam
hal ini termasuk pemerataan, kebebasan dan berbagai kualitas lain
yang diinginkan agar menjadi lebih baik bagi mayoritas warga
masyarakat dalam suatu lingkungan hidup yang lebih baik. Berarti
konsep pembangunan telah bertambah luas dan menjadikannya jauh
lebih fleksibel dan sekaligus memiliki implikasi yang lebih manusiawi.
Seiring dengan itu konsep paradigma pembangunan mengisyaratkan
bahwa peranan komunikasi dalam pembangunan semakin penting.
Teori pembangunan sebagai pola pikir yang berfungsi mengupas
dan memecahkan persoalan-persoalan pembangunan, muncul
bersamaan pada saat para pakar mencoba membahas pembangunan
sekitar tahun 40an hingga tahun 60an, di mana saat itu banyak
negara-negara yang baru merdeka. Berbagai tantangan dihadapi oleh
negara-negara baru tersebut, terutama keterbelakangan dibidang
ekonomi. Usaha untuk mengejar ketertinggalan tersebut ditempuh
melalui pembangunan. Sejak itu teori pembangunan mulai digunakan
sebagai resep bagi Negara dunia ketiga yang padat penduduk untuk
menciptakan perubahan yang lebih baik bagi kesejahteraan
masyarakatnya. Konsep pembangunan memiliki banyak teori yang
melatarbelakanginya seperti teori modernisasi, teori ketergantungan
dan keterbelakangan serta teori penyadaran (Gonzales diacu dalam
Jahi 1988). Teori modernisasi melahirkan model pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan. Sedangkan teori ketergantungan dan
keterbekangan berkembang akibat dari proses eksploitasi dan ekspansi
ekonomi dari perusahaan multinasional dari Negara-negara maju ke
Negara-negara dunia ketiga atau Negara-negara berkembang. Teori
penyadaran timbul belajar dari memahami kontradiksi sosial, politik
dan serta mengambil tindakan untuk menghindari unsur-unsur yang
menimbulkan kerugian pada masyarakat.
Menurut Freire (1984) teori penyadaran merupakan solusi
terhadap keterbelakangan yang banyak dialami Negara-negara
berkembang agar mampu mandiri. Teori penyadaran telah mengilhami
lahirnya model pembangunan yang berpusat pada manusia (people
centered development), yang memberikan peran pada warga
masyarakat, bukan hanya sebagai subyek melainkan sebagai aktor
yang menentukan tujuan-tujuannya sendiri, menguasai sumber daya
yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dan
mengarahkan proses-proses yang mempengaruhi hidupnya sendiri
(Korten 1983). Proses penyadaran kepada masyarakat tidak dapat
447

terlepas dari berinteraksinya secara aktif dengan komponen-komponen


yang ada di dalamnya. Untuk dapat berinteraksi memerlukan
komunikasi sebagai suatu proses di mana partisipan menciptakan dan
membagi informasi dengan yang lain sebagai usaha untuk mencapai
mutual understanding (pengertian bersama). Menurut Rogers dan
Kincaid (1981) model komunikasi yang sesuai dengan teori penyadaran
ini adalah model konvergensi sebagai proses transaksi diantara
partisipan artinya ada proses dialogis yang terjadi sehingga terjadi
mutual understanding.
Dari uraian diatas menunjukan bahwa teori komunikasi dengan
teori pembangunan mempunyai hubungan yang erat. Kontribusi teori
penyadaran telah melahirkan model komunikasi interaktif yakni
pendekatan komunikasi dua arah. Setiap partisipan memberikan
kontribusi pada proses komunikasi dalam derajat yang setara. Inisiatif
lokal diberikan penilaian yang tinggi dan konsep partisipatif menjadi
fokus sentral dalam pembangunan. Dalam hubungan ini Rogers (1976)
mengemukakan bahwa pembangunan diri (self development)
merupakan konsep komunikasi pembangunan yang bersifat
partisipatif. Pembangunan diri memberikan peranan yang amat
berbeda kepada komunikasi dibandingkan pada pendekatan atas-
bawah. Teori penyadaran lebih menekankan pada pendidikan dan
pembebasan seseorang. Agar proses penyadaran dan pendidikan
tersebut berjalan lancar, maka pembangunan diharapkan tidak
merupakan total usaha dari pemerintah kepada masyarakat umum,
melainkan merupakan usaha interaksi bersama. Untuk itu komunikasi
yang dibangun pada masa selanjutnya berupa komunikasi yang
interaksional sebagaimana model komunikasi interaksional Schramm
(Mulyana & Rakhmat 2001).
Dalam kaitannya dengan pembangunan pertanian di pedesaan,
kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat harus dilihat oleh
pemerintah daerah dalam rangka otonomi sebagai peluang besar
dalam mempromosikan potensi-potensi investasi unggulan yang ada di
lingkungan wilayahnya. Informasi teknologi dan pasar yang tersedia
dan dapat diakses oleh petani dalam mengembangkan agribisnis
unggulan tiap daerah sangatlah penting, oleh karena itu perlu
dibangun jaringan komunikasi antara petani dengan pihak luar, baik
pemerintah maupun pengusaha sebagai mitra di lapangan. Ada dua
faktor strategis yang mendesak untuk dikembangkan yakni mendorong
kembali peran koperasi petani sebagai organisasi ekonomi yang
semakin mandiri dan berdaya saing serta membangun Pusat Informasi
Agribisnis Komoditas Unggulan. Di era yang kompetitif dan ketat
seperti sekarang ini, beragam terobosan-terobosan inovatif harus
dilakukan Pemda untuk menjual potensi-potensi investasi di
wilayahnya melalui sistem informasi pertanian sebagai entitas bisnis
agar segala potensi investasi mampu dijual dengan kreativitas promosi
yang inovatif.

Peran dan Kondisi Nyata Koperasi Pertanian


448

Koperasi sebagai salah satu dasar pembangunan ekonomi


Indonesia perlu dikembangkan secara sistematis dan berkelanjutan.
Salah satu usaha untuk meningkatkan peran koperasi pertanian adalah
dengan memperkuat daya saing pasarnya. Dalam usaha pemulihan
krisis ekonomi Indonesia dewasa ini, sesungguhnya koperasi
mempunyai peluang (opportunity) untuk tampil lebih eksis. Keunggulan
koperasi, khususnya KUD, dalam menopang perekonomian bangsa
sangat besar meskipun masih dalam bentuk keunggulan komparatif.
Sejumlah peraturan (seperti Keputusan Presiden No. 9 tahun 2001)
menetapkan bahwa koperasi tidak lagi diberikan peran khusus, dan
dengan demikian harus mampu bersaing dengan pasar dalam rangka
untuk meningkatkan kemampuan layanan mereka kepada anggotanya.
Padahal, dibandingkan dengan daya saing pasar dari badan usaha
lainnya, daya saing pasar koperasi di Indonesia memang secara umum
masih rendah. Selain terkendala dalam mengembangkan partisipasi
aktif anggota, koperasi juga kekurangan fasilitas dan kemampuan
untuk menyediakan layanan untuk anggotanya.
Akibat rendahnya kemampuan KUD dan koperasi-koperasi
pertanian lainnya untuk peningkatan daya saing pasar maka
diperlukan suatu pola komunikasi dalam menyampaikan informasi
untuk memenuhi kebutuhan KUD. Salah satu kunci pembangunan KUD
ke depan adalah mendorong setiap KUD bersama anggotanya (petani)
untuk memanfaatkan informasi yang tersedia dari berbagai sumber
secara cepat, tepat dan berdayaguna melalui pengembangan
komunikasi pembangunan pertanian dan pedesaan khususnya
komunikasi organisasi yang efektif. Peran komunikasi yang efektif bagi
suatu organisasi KUD sangat penting karena menyangkut struktur
hubungan manusia dan berbagai elemen organisasi KUD yang saling
terkait dalam pertumbuhannya seperti: komunikasi kepemimpinan
KUD, iklim komunikasi organisasi, komunikasi publik organisasi KUD,
karakteristik anggota KUD, tingkat kepuasan komunikasi anggota
terhadap pelayanan KUD dan sebagainya.
Peran pembinaan KUD melalui sistem penyuluhan dengan
menggunakan tenaga PPL yang telah berkembang selama ini perlu
ditingkatkan dengan mengefektifkan komunikasi organisasi KUD untuk
mengembangkan kapasitasnya sebagai koperasi pertanian yang
semakin profesional. Sistem penyuluhan menunjukkan bahwa
penyampaian informasi lebih banyak diberikan ke kontak tani (81,3%)
dan sisanya ke petani (maju dan biasa), sedangkan aspirasi lebih
banyak diberikan oleh kontak tani (56,3%) ke PPL. Proses penyampaian
informasi dan aspirasi dari petani dalam proses adopsi inovasi, sangat
dipengaruhi oleh berbagai aspek lingkungan internal dan eksternal,
baik melalui pendekatan kelembagaan maupun melalui pendekatan
proses komunikasi (Soekartawi 2005).
Untuk membangun kembali peran koperasi sesuai dengan asas,
tujuan dan prinsip-prinsip perkoperasian, diperlukan upaya penguatan
organisasi melalui pengembangan model komunikasi organisasi KUD
untuk pengembangan kapasitasnya sebagai organisasi ekonomi petani
449

yang mandiri dan berdaya saing secara profesional. Dalam


implementasi pola komunikasi tersebut, diperlukan suatu kajian untuk
mengidentifikasi dan menilai kondisinya sendiri dengan mengandalkan
partisipasi aktif anggotanya serta selanjutnya mengembangkan
program-program yang didasarkan pada kemampuan yang dimiliki
sesuai dengan yang dibutuhkan anggota-anggotanya. Untuk itu peran
komunikasi organisasi yang telah terbentuk selama ini dengan
berbagai pihak (stakeholders) yakni dengan pihak pemerintah selaku
pembina KUD, pengusaha sebagai mitra usaha KUD, serta perguruan
tinggi, badan penelitian dan pengembangan (badan litbang) sebagai
sumber informasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta LSM (Lembaga
Sosial Kemasyarakatan) sebagai mitra perjuangan KUD perlu
dikembangkan melalui suatu model komunikasi organisasi yang efektif.
Dari hasil studi perkuatan daya saing pasar koperasi (Sembiring
et al. 2008) yang dilakukan di tiga kabupaten yakni Kabupaten Bogor,
Karawang dan Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat sebagai studi
kasus menyimpulkan bahwa terjadi penurunan dari kinerja dan
kapasitas KUD ditinjau dari aspek permodalan, pelayanan dan manfaat
ekonomi bagi anggota. Di tengah pertumbuhan jumlah koperasi di
Karawang sebesar 4.1 persen, ternyata jumlah KUD tidak mengalami
pertumbuhan. Fakta lainnya adalah sebagian besar KUD di Sukabumi
dikategorikan tidak aktif oleh Dinas Koperasi Sukabumi dan tidak ada
yang memiliki klasifikasi A. Persentase KUD dari keseluruhan koperasi
di Karawang dan Sukabumi sangat rendah yakni: 3.8 dan 2.6 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa KUD nampaknya semaikin tidak menarik
bagi masyarakat Dari hasil analisa dengan menggunakan analisa SWOT
menunjukkan berbagai indikasi kondisi nyata KUD sebagai berikut:

Pernyataan SWOT
Kekuatan (Strength):
1) Umumnya KUD masih melaksanakan RAT, rencana kerja dan
pembagian SHU.
2) KUD memiliki unit usaha yang berkaitan dengan kebutuhan
anggota.
3) Umumnya KUD masih memiliki pengurus yang terdiri dari ketua,
sekretaris dan bendahara.
4) Pengurus KUD masih memiliki motivasi untuk mengembangkan
koperasi.
5) Masih terdapat KUD yang unit usahanya terkait dengan kegiatan
ekonomi anggota-anggotanya yang dikelola oleh manajer.
6) Tingkat pendidikan pengelola sudah setingkat SLTA ke atas dan
telah mengikuti berbagai pelatihan di bidang koperasi.
7) Tersedia sumber modal dari anggota yang berupa sumbangan
pokok, wajib dan sukarela.
8) KUD memiliki aset berupa lahan, bangunan dan peralatan
pertanian.

Kelemahan (Weaknesses):
450

1) Pada umumnya pengurus merangkap sebagai manajer.


2) Simpanan wajib tidak terlaksana dengan baik.
3) Terdapat KUD tidak mengadakan RAT sebagaimana mestinya.
4) Umumnya pengurus dalam pengembangan usaha KUD kurang
memperhatikan kepentingan ekonomi anggota.
5) Keragaan (spesifikasi dan status) aset tidak dilaporkan secara jelas
dalam laporan RAT.
6) Umumnya, pemanfaatan aset tidak mendukung kegiatan ekonomi
dan kepentingan anggota.
7) Tidak ada perbedaan pelayanan antara anggota dan bukan anggota
KUD.
8) Sistem basis data masih belum memadai dan dilaksanakan secara
manual.
9) Belum ada sistem informasi yang dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi anggotanya.
10) Modal sosial belum dimanfaatkan secara optimum.

Peluang (Opportunity):
1) Masih terdapat potensi pengembangan kegiatan usaha tani meliputi
produksi, pengolahan dan pemasaran.
2) Sebagai penyalur saprotan bersubsidi.
3) Terdapat mitra dalam menjalankan unit usahanya.
4) Tersedia dana pembinaan atau penguatan dari pemerintah berbasis
kinerja yang baik.
5) Tersedia kredit komersil untuk peningkatan modal dari berbagai
lembaga keuangan.
6) Pasar produksi dalam negeri masih terbuka luas.

Ancaman (Thread):
1) Ketidaksesuaian data kondisi KUD di dinas dengan dilapangan.
2) Berkembang pesatnya koperasi non KUD di pedesaan.
3) Era pasar bebas menuntut daya saing yang semakin tinggi.
4) Meningkatnya tuntutan akan kualitas produk yang lebih baik.
5) Kebijakan pemerintah yang meniadakan proteksi bagi usaha
koperasi.
6) Peralihan profesi dari petani ke pekerjaan lain, sehingga sulit untuk
membuat rencana kerja yang sesuai dengan kebutuhan anggota.

Beberapa solusi alternatif


Selanjutnya, pernyataan SWOT tersebut di atas dapat
dirumuskan beberapa akar permasalahan antara lain adalah rendahnya
pemahaman pengelola akan pentingnya sistem manajemen informasi
dan rendahnya komitmen pengelola KUD dalam memanfaatkan sumber
daya informasi. Beberapa alternatif solusi yang disarankan untuk
penguatan daya saing KUD terkait dengan sistem informasi dan
manajemen pemanfaatan informasi adalah: penguatan kapasitas
kelembagaan koperasi, pengembangan sistem manajemen informasi
berbasis teknologi informasi dan sosialisasi pendayagunaan kearifan
451

lokal untuk pengembangan koperasi. Hasil kajian untuk mencari solusi


alternatif terhadap akar masalah yang ditemui dilapangan dapat dilihat
pada Tabel 1.

Model Koperasi Koperasi Profesional


Berdasarkan analisa peran dan kondisi nyata perkoperasian
pertanian dikaitkan dengan peran informasi sebagai kebutuhan petani
menuju modernisasi pertanian diperlukan penataan KUD agar efektif
dan efisien mewujudkan tujuan koperasi sebagai lembaga ekonomi
petani di pedesaan. Menurut Sinaga et al. (2008) konsep OTOP (One
Tambon One Product) yang telah diterapkan di Thailand dan Jepang
yakni suatu gerakan satu desa satu komoditas unggulan sangat
memungkinkan dapat dikembangkan di Indonesia. Program OTOP
dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah melalui perbaikan
mutu dan penampilannya yang dilandasi oleh tiga filosofi yakni: 1)
merupakan produk lokal yang mengglobal, 2) menghasilkan produk
atas kreativitas dan dengan kemampuan sendiri dan 3) sekaligus
mengembangkan kemampuan sumber daya manusia. Di antar unsur
yang mempengaruhi keberhasilan OTOP di Thailand terdapat beberapa
unsur yang menonjol sebagai unsur kunci yakni: 1) kesesuaian potensi
sumber daya alam, 2) sumber daya manusia yang mempunyai
keterampilan, etos kerja dan semangat kerja sama, 3) peluang pasar,
4) dukungan modal yang memadai, 5) pemanfaatan sumber daya
teknologi informasi dan 6) dukungan dan koordinasi yang solid di
antara institusi pemerintahan. Lebih lanjut Sinaga et al. (2008)
mengemukakan bahwa disamping unsur-unsur kunci tersebut terdapat
beberapa aspek sebagai penunjang keberhasilan OTOP yakni: 1)
adanya konsistensi pembangunan secara bertahap, 2) keberpihakan
kepada pengusaha ekonomi lemah dan menengah, 3) terjalinnya
koordinasi yang baik di antara para pelaku pembangunan dan 4)
adanya patron client yaitu Raja Thailand sebagai rujukan.

Tabel 1 Solusi alternatif terhadap akar masalah


No Akar Masalah Alternatif Solusi
1 Lemahnya pemahaman Peningkatan pemahaman anggota
anggota akan hak dan akan hak dan kewajibannya
kewajibannya
2 Lemahnya kemampuan Peningkatan kemampuan
kewirausahaan pengelola kewirausahaan pengelola
3 Pengelolaan kios saprotan yang Peningkatan kemampuan
tidak efisien kewirausahaan pengelola kios
saprotan
4 Lemahnya tata kelola KUD Pengembangan system tata kelola
KUD yang bersifat good corporate
governance
5 Rendahnya pemahaman Peningkatan pemahaman pengelola
pengelola akan pentingnya akan pentingnya manajemen sistem
manajemen sistem informasi informasi
452

6 Rendahnya komitmen pengelola Peningkatan komitmen pengelola


dalam memanfaatkan sumber dalam memanfaatkan sumber daya
daya informasi informasi
7 Lemahnya pemahaman Peningkatan pemahaman pengurus
pengelola akan fungsi manajer akan pentingnya fungsi manajer
8 Sistem renumerasi terhadap Mengembangkan sistem renumerasi
manajer yang tidak atraktif terhadap manajer yang atraktif
9 Komitmen anggota terhadap Peningkatan pemahaman anggota
pengembangan koperasi yang akan prinsip koperasi
rendah
Kepercayaan anggota terhadap Pengelolaan koperasi yang
pengelola koperasi yang rendah transparan dan akuntabel
9 Penyelenggaraan RAT yang Peningkatan pemahaman pengelola
tidak sesuai dengan prinsip dan anggota akan prinsip koperasi
koperasi
10 Rendahnya komitmen pengelola Peningkatan pemahaman pengelola
dalam peningkatan kegiatan akan prinsip koperasi
ekonomi anggota
11 Rendahnya pemahaman Peningkatan pemahaman pengelola
pengelola akan pentingnya akan pentingnya kearifan lokal
kearifan lokal
12 Tata kelola KUD yang tidak Penyehatan tata kelola KUD
sehat
13 Rendahnya pengetahuan Peningkatan pengetahuan pengelola
pengelola dalam pemanfaatan dalam pemanfaatan teknologi
teknologi pertanian pertanian
14 Kurangnya ketaatan pada Pengembangan system tata kelola
prinsip-prinsip koperasi KUD yang bersifat good corporate
governance
15 Kurangnya ketaatan pada Pengembangan sistem tata kelola
AD/ART koperasi KUD yang bersifat good corporate
governance

Replikasi program OTOP di Indonesia tampaknya dapat dikaitkan


dengan program sentra bisnis yang saat ini telah dikembangkan
pemerintah di berbagai daerah. Sentra sebagai pusat kegiatan
ekonomi atau dapat dianalogkan sebagai kawasan pengembangan
agribisnis (KPA) di mana terdapat komoditas unggulan tertentu yang
memiliki prospek untuk dikembangkan di pedesaan. Membangun
kemandirian dan daya saing dengan pendekatan KPA merupakan salah
satu alternatif solusi dalam rangka mengoptimalkan sumber daya tang
tersedia. Kementerian Negara Koperasi dan UKM ada tiga pilar yang
difasilitasi pemerintah untuk mengembangkan sentra bisnis pertanian
yakni: 1) pengembangan sentra UMKM menjadi klaster bisnis yang
dinamis dengan pendekatan pengorganisasian dan pemberdayaan, 2)
pengembangan BDS/LPB (Business Develompment Service/Lembaga
Pelayanan Bisnis) untuk menumbuhkan lembaga usaha yang
profesional, dan 3) pengembangan dana MAP (Modal Awal Pendanaan)
bagi sentra bisnis melalui KSP/USP (Koperasi Simpan Pinjam/Unit
Simpan Pinjam) koperasi sebagai bagian dari program pengembangan
453

sentra bisnis UMKM. Gerakan OTOP meskipun dilakukan dalam konteks


gerakan masyarakat dalam pembangunan daerah yang menciptakan
produk unggulan dan berdaya saing, memberi isyarat bagi
pengembangan sentra bisnis bahwa ada hubungan antara sentra dan
OTOP secara implementasi. Hubungan antara sentra dan programm
OTOP dalam pengembangan KUKM dapat dilihat pada Gambar 2.

Kebijakan Pemerintah Pusat

Pendekatan OTOP/KPA
Sentra pertanian pangan/non pangan
Komoditas unggulan
Berbasis koperasi agribisnis komoditas tertentu
Pusat Informasi
Pemanfaatan informasi KOPERASI AGRIBISNIS
Pertanian
Peningkatan pelayanan (Monokomoditas) an Modern
(PIP)
Peningkatan daya saing dan nilai tambah
Sinergi BUMN, MUMS dan KOP-AGRIBISNIS

Program Pemerintah Daerah


(Otonomi Daerah)

Gambar 2 Hubungan sentra bisnis (OTOP/KPA) dengan koperasi


agribisnis

Strategi yang perlu dilakukan untuk menerapkan OTOP/KPA


adalah melakukan berbagai kebijakan yang mendorong bangkitnya
koperasi pertanian sebagai lembaga ekonomi petani menuju pertanian
modern yang berdaya saing dan memberi nilai tambah yang wajar bagi
anggota dan sekaligus memperkokoh ekonomi kerakyatan sebagai
basis dari pembangunan perekonomian nasional adalah: 1)
menentukan komoditas unggulan daerah (kawasan), 2) memperkuat
fungsi koperasi dengan kinerja dan kapasitas yang semakin tinggi, 3)
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang semakin
profesional, 4) membangun peluang pasar di dalam negerai dan luar
negeri, 5) memupuk modal dari internal koperasi dan sumber dana
kredit dengan mambangun koperasi pertanian 6) mempersiapkan
teknologi tepat guna melalui riset unggulan dari lembaga riset dan
perguruan tinggi dan 7) mengembangkan sistem kemitraan antar
lembaga pelaku ekonomi secara sinergi yang saling menguntungkan.
Untuk mengefektifkan pemanfaatan informasi yang dibutuhkan
petani melalui koperasi perlu dkembangkan Pusat Informasi Pertanian
(PIP) spesifik terhadap komoditas unggulan. Teori komunikasi
454

pembangunan pertanian dan komunikasi organisasi koperasi menjadi


landasan utama yang perlu dikaji lebih lanjut agar mampu
mengembangkan proses komunikasi dilingkungan pertanian dan
pedesaan sesuai dengan kebutuhan wilayah atau kawasan. Partisipan
yang terkait dengan upaya pembangunan agribisnis komoditas
tertentu dengan pola OTOP/KPA dapat dikemas secara efisien melalui
PIP dengan dukungan kebijakan dan fasilitas pemerintah dan dukungan
yang berkelanjutan dari berbagai lembaga riset dan perguruan tinggi
yang relevan.

KESIMPULAN
1. Peran komunikasi pembangunan dalam modernisasi semakin
penting seiring dengan kemajuan iptek dan perkembangan
globalisasi yang menuntut kemandirian dan daya saing petani,
sehingga perlu dukungan penelitian komunikasi pembanguynan
pertanian yang lebih luas.
2. Dengan kondisi petani yang serba lemah saatn ini hanya
mungkin dapat membangun agribisnis dan agribisnis yang efektif
dan efisien jika bergabung dalam wadah koperasi pertanian yang
mempunyai keunggulan dan kemamapuan profesional, sehingga
perlu penataan KUD agar dapat mewujudkan harapan anggota
sesuai dengan prinsip-prinsip perkoparasian..
3. Koperasi pertanian profesional tidak mungkin dikembangkan
melalui model KUD yang bersifat multipurpose, perlu diarahkan
untuk mengembangkan program komoditas unggulan yang terkait
dengan usahatani anggota di tiap daerah dalam suatu kawasan
pengembangan agribisnis (KPA) komoditas unggulan tertentu
dengan memperhatikan pengalaman program OTOP di Thailand dan
Jepang.
4. Dalam era globalisasi sekarang ini telah terbentuk masyarakat
informasi yang sangat membutuhkan berbagai informasi yang
sesuai dengan kebutuhan petani, sehingga diperlukan upaya untuk
meningkatkan pemanfaatan informasi yang tersedia dalam
membangun pertanian yang semakin modern menuju kemandirian,
daya saing dan kesejahteraan petani melalui pusat informasi
pertanian (PIP) dengan melibatkan seluruh stakeholder di
lingkungan pedesaan.
5. Kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
rangka otonomi daerah perlu koordinasi untuk mendorong
akselerasi modernisasi pertanian berkelanjutan berbasis potensi
daerah dan koperasi pertanian menuju kemandirian, daya saing dan
kesejahteraan petani dalam upaya membangun ekonomi
kerakyatan sebagai amanah konstitusi nasional.
455

DAFTAR PUSTAKA
Adjid DA. 2001. Membangun Pertanian Modern. Jakarta: Yayasan
Pengembangan Sinar Tani.
Dissayanake W. 1981. Development and Communication Four
Approach. Singapore: Media Asia. The Asian Mass
Communication Research and Information Centre (AMIC).
Jahi A. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di
Negara-Negara Dunia Ketiga. Suatu Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Kossen S. 1993. Aspek Manusiawi dalam Organisasi. Edisi Ketiga.
Penerjemah Bakti Siregar. Jakarta: Erlangga.
Rakhmat J. 2007. Metode Penelitian Komunikasi. Cetakan ke-22.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rogers EM. 1976. Communication and Development: The Passing of
the Dominant Paradigm. In, Communication and Develpment,
Critical Perspective. London: Sage Publication, Beverly.
__________, Kincaid DL. 1981. Communication Network: Toward A New
Paradigm for Research. New York: A Division of Mc Millan
Publishing Co. Inc.
Mosher AT. 1985. Getting Agriculture Moving.: Frederick A. Prayeger,
Inc. Publisher. New York Muhammad, A. 2004. Komunikasi
Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Muhammad A. 2004. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyana D, Rakhmat J. 2001. Komunikasi antar Budaya: Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Sahardi 2005. Buletin BPTP Sulawesi Selatan; Volume I. Nomor I Tahun
2005. Makassar.
Sembiring EN. Tambunan, AHT. Rangkuti, PA. Nelwan, LO. 2008.
Jakarta: Studi Perkuatan Daya Saing Pasar Koperasi. Kantor
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah.
Sinaga P, Aedah S, Subiyantoko A. 2008. Koperasi dalam Sorotan
Peneliti. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI
Press.
Steers RM. 1985. Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga.
Umar A. 2007. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Republik Indonesia Tahun 2005-2025. Jakarta: Citra Utama.
456

IMPLEMENTASI CSR DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN


MASYARAKAT MELALUI PENINGKATAN PERAN PENDIDIKAN

Retno S.H. Mulyandari19, Wasidi Swastomo20, Cahyono Tri Wibowo20,


IlonaV. O. Situmeang20

ABSTRACT
Entering the third millennium, Indonesian is still challenged by various
multidimensional problems dealing with the fundamental aspect of human life.
Education plays a strategic role in community development. Unfortunately, this nation
has not been able to manage it properly due to poor quality of its human resources
quality compared to particularly with developed nations. Among the efforts to cope
with the problem of education is to involve private-sector directly in the
implementation of Corporate Social Responsibility (CSR) which is a form of its
awareness and responsibilities. One of the main components of CSR is leadership and
education development. Education plays an important role in the sustainable
development and growth concerning the poor. Therefore business world can provide
crucial contribution to prepare access to high quality education. Education creates a
crucial impact on the people empowerment process through the improvement of
leadership development standard within the corporation. Education development
cannot go alone and its progress cannot also be achieved without the involvement of
private-sector. Therefore a proper collaboration among private sectors, community and
government is strategically needed. This can be materialized through CSR. The
implementation of CSR is one form of a program called Cooperative Academic
Education (Co-op). This is a program in which the three parties namely, students,
universities and business world work together in a cooperative way. It forms a strategy
of educating and developing human resources by integrating students coming from
different campuses and disciplines with productive working experience. Through this
work-based learning or work-integrated learning, it is expected that the students
can find out and experience themselves what so- called the job world.
Key words:Corporate social responsibility, education program, human resource
development, community development

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Memasuki milenium ketiga dewasa ini, bangsa Indonesia
dihadapkan pada permasalahan multidimensi yang menyentuh
berbagai tatanan kehidupan mendasar manusia, bukan hanya
berkaitan dengan aspek ekonomi, namun juga aspek sosial, budaya
dan akhlak. Berbagai bentuk kemiskinan sosial juga banyak
diperlihatkan, seperti miskin pengabdian, kurang disiplin dan kurang
empati terhadap masalah sosial.
Meskipun kedudukan pendidikan cukup strategis untuk
perubahan suatu bangsa, namun bangsa kita belum cukup optimis
mengandalkan posisi tersebut karena pada kenyataannya kondisi dan
hasil pendidikan di Indonesia belum memadai. Kondisi tersebut

19 Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian


20 Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Mayor Komunikasi Pembangunan (S3), Institut
Pertanian Bogor
457

ditunjukkan dari kecilnya kemampuan sumber daya manusia (SDM)


Indonesia untuk berkompetisi dengan bangsa lain. Data yang
dipublikasikan oleh United Development Index sangat memprihatinkan
karena Human Development Index (HDI) Indonesia tahun 2007/2008
menempati peringkat 107, dua peringkat di bawah Vietnam. Indikator
dari HDI meliputi pendapatan perkapita, akses terhadap pendidikan
dan akses terhadap kesehatan. Peringkat Indonesia pada HDI tersebut
merupakan indikator dari kualitas pendidikan di Indonesia bahwa
kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah (Okvina et al. 2008).
Dilihat dari latar belakang pendidikan, gambaran SDM belum
menggembirakan. Berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-
tengah masyarakat telah terjadi, di antaranya adalah: a) Ketimpangan
antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang
dibutuhkan; b) Ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota,
antar Jawa dan luar Jawa, antar penduduk kaya dan penduduk miskin
(Zamroni 2009). Selain faktor paradigma pendidikan nasional yang
memisahkan peranan agama dari kehidupan, mahalnya biaya
pendidikan dan terbatasnya sarana prasarana pendidikan juga
merupakan penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Angin segar yang tengah berhembus bagi peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat Indonesia, ditandai dengan keseriusan
pemerintah menetapkan 20 persen dari APBN untuk dana pendidikan
pada tahun 2009. Meskipun demikian, untuk mengejar ketertinggalan
dunia pendidikan, perlu dilakukan program terobosan, mendukung
peningkatan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat
dengan melibatkan secara langsung pihak swasta sebagai bentuk
kepedulian dan tanggung jawab sosial.
Salahsatu program nyata gerakan kepedulian pihak swasta
(perusahaan) terhadap masyarakat adalah Corporate Social
Responsibility (CSR). Kepedulian sejumlah perusahaan untuk
memajukan dunia pendidikan melalui kegiatan CSR sangat berarti bagi
dunia pendidikan. CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan
dengan tegas dalam UU PT No.40 Tahun 2007 yang belum lama ini
disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di
bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib
menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
Elkington (1998) menyatakan bahwa perusahaan yang baik tidak
hanya memburu keuntungan ekonomi (profit) melainkan pula memiliki
kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan
masyarakat (people). Oleh sebab itu, implementasi CSR dalam
membantu memecahkan persoalan pendidikan perlu dilakukan untuk
mendukung peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat.

Permasalahan
Bertolak dari pentingnya implementasi CSR mendukung
peningkatan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat,
maka permasalahan yang perlu dikaji adalah: 1) Bagaimana konsep
CSR dan implementasinya dalam dunia usaha? 2) Apa peran
458

pendidikan dalam pengembangan masyarakat? dan 3) Sejauh mana


implementasi CSR dapat meningkatkan peran pendidikan dalam
pengembangan masyarakat?

Tujuan
1. Mengkaji konsep CSR dan implementasinya dalam dunia usaha;
2. Mengkaji peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat;
3. Menganalisis implementasi CSR dalam pengembangan masyarakat
melalui peningkatan peran pendidikan.

KONSEP CSR
CSR adalah tanggung jawab perusahaan di berbagai sektor
dalam mengembalikan sebagian keuntungan yang diperolehnya untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di negara tempat
perusahaan tersebut beroperasi. Konsep CSR pada dasarnya
mendorong korporasi untuk ikut memikirkan kepentingan masyarakat
dengan cara mengambil tanggung jawab terhadap dampak dari
aktivitas perusahaan di seluruh aspek operasinya yang dapat
dirasakan oleh para pelanggan, karyawan, pemegang saham,
masyarakat, serta lingkungan. Perusahaan diharapkan secara sukarela
mengambil langkah-langkah lebih jauh untuk meningkatkan kualitas
hidup para karyawan dan keluarganya, serta bagi masyarakat
sekitarnya dan masyarakat secara keseluruhan (Gondomono 2007).
Sampai saat ini, belum ada definisi CSR yang secara universal
diterima oleh berbagai lembaga. Pengertian CSR menurut berbagai
organisasi (Majalah Bisnis & CSR 2007 serta Wikipedia 2009) disajikan
dalam beragam definisi sebagai berikut:
1. Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk
berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan
ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan
keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada
umumnya (World Business Council for Sustainable Development);
2. Komitmen dunia bisnis untuk memberi kontribusi terhadap
pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerja sama dengan
karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas
untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik
bagi bisnis maupun pembangunan (International Finance
Corporation);
3. Jaminan bahwa organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu
memberi dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, seraya
memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham (stakeholders)
mereka (Institute of Chartered Accountants, England and Wales);
4. Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan dan
sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan
operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan
bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan
berkembang (Canadian Government);
459

5. Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan


perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis
mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku
kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan
(European Commission);
6. Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan
berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan dan
menyeimbangkan beragam kepentingan stakeholders (CSR Asia).
7. Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak dari
keputusan dan kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan
dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan
masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan,
sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku
internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara
menyeluruh (ISO 26000-draft 3, 2007). CSR mencakup tujuh
komponen utama, yaitu: the environment, social development,
human rights, organizational governance, labor practices, fair
operating practices and consumer issues (Sukada & Jalal 2008).
Apabila dipetakan, menurut pendefinisian CSR yang relatif lebih
mudah dipahami dan dapat dioperasionalkan untuk kegiatan audit
adalah dengan mengembangkan konsep Tripple Bottom Lines
(Elkington 1998) dan menambahkannya dengan satu line
tambahan, yaitu procedure (Suharto 2007);
8. Komitmen bisnis untuk berperan untuk mendukung pembangunan
ekonomi, bekerjasama dengan karyawan dan keluarganya,
masyarakat lokal dan masyarakat luas, untuk meningkatkan mutu
hidup mereka dengan berbagai cara yang menguntungkan bagi
bisnis dan pembangunan (Petkoski & Twose 2003).
Dengan demikian, konsep CSR secara umum adalah: Kepedulian
perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi
kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet)
secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan
profesional. Dalam aplikasinya, konsep 4P dapat dipadukan dengan
komponen dalam ISO 26000. Konsep planet berkaitan dengan aspek
the environment. Konsep people dapat merujuk pada konsep social
development dan human rights yang tidak hanya menyangkut
kesejahteraan ekonomi masyarakat (seperti pemberian modal usaha,
pelatihan keterampilan kerja) namun juga kesejahteraan sosial
(pemberian jaminan sosial, penguatan aksesibilitas masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan dan pendididikan, penguatan kapasitas
lembaga-lembaga sosial dan kearifan lokal). Sedangkan konsep
procedur bisa mencakup konsep organizational governance, labor
practices, fair operating practices, dan consumer issues (Marlia 2008).
Dalam prinsip responsibility, penekanan yang nyata diberikan
pada kepentingan stakeholders perusahaan untuk menciptakan nilai
tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders
perusahaan dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang
460

diciptakannya. Sedangkan stakeholders perusahaan dapat didefinisikan


sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi
perusahaan termasuk di dalamnya adalah karyawan, konsumen,
pemasok, masyarakat, lingkungan sekitar dan pemerintah sebagai
regulator. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi
dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom
line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam
kondisi keuangan (financial) saja. Tanggung jawab perusahaan harus
berpijak pada triple bottom lines. Di sini, bottom lines lainnya selain
finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan
saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara
berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan
terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan
lingkungan hidup (Idris 2005).
Fajar dalam Badri (2009) mengatakan bahwa perilaku para
pengusaha dalam mengimplementasikan CSR cukup beragam, dari
kelompok yang sama sekali tidak malaksanakan sampai kelompok
yang menjadikan CSR sebagai nilai inti (core value) dalam menjalankan
usaha. Terkait dengan praktek CSR, pengusaha dikelompokkan menjadi
empat, yaitu: kelompok hitam, merah, biru dan hijau.
Kelompok hitam adalah pengusaha yang tidak melakukan
praktek CSR sama sekali karena hanya menjalankan bisnis untuk
kepentingan sendiri. Kelompok merah adalah yang mulai
melaksanakan CSR, tetapi memandangnya hanya sebagai komponen
biaya yang akan mengurangi keuntungannya. Kelompok biru adalah
mereka yang menganggap praktek CSR akan memberi dampak positif
(return) terhadap usahanya dan menilai CSR sebagai investasi, bukan
biaya. Kelompok keempat, kelompok hijau, merupakan kelompok yang
sepenuh hati melaksanakan praktek CSR. Mereka telah
menempatkannya sebagai nilai inti dan menganggap sebagai suatu
keharusan, bahkan kebutuhan dan menjadikannya sebagai modal
sosial (ekuitas). Kelompok hijau diyakini akan mampu berkontribusi
besar terhadap pembangunan berkelanjutan.
CSR merupakan fenomena strategi perusahaan yang
mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR
timbul sejak era di mana kesadaran akan sustainability perusahaan
jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.
Perusahaan yang menjadikan program tanggung jawab sosial sebagai
bagian dari perencanaan strategis perusahaan mempunyai corporate
image yang lebih tinggi sehingga dapat berdampak pada loyalitas yang
tinggi bagi masyarakat yang telah diuntungkan oleh perusahaan
tersebut dan juga bagi konsumen yang sering mengandalkan
corporate image dalam mengonsumsi apa yang dibeli.
Berdasarkan sifatnya, pelaksanaan program CSR dapat dibagi
menjadi dua, yaitu: 1) Program Pengembangan Masyarakat
(Community Development/CD); dan 2) Program Pengembangan
Hubungan/Relasi dengan publik (Relations Development/RD). Adapun
sasaran dari Program CSR adalah: (1) Pemberdayaan SDM lokal
461

(pelajar, pemuda, dan mahasiswa termasuk di dalamnya); (2)


Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat sekitar daerah operasi; (3)
Pembangunan fasilitas sosial/umum; (4) Pengembangan kesehatan
masyarakat dan (5) Sosial budaya.

PERANAN PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT


Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang
mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek
sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama
meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam
proses pembangunan, peranan pendidikan amatlah strategis. John C.
Bock dalam Philip et al. (1982) mengidentifikasi peran pendidikan
adalah untuk: a) Memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural
bangsa; b) Mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan,
kebodohan, dan mendorong perubahan sosial dan c) Meratakan
kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi
politik pendidikan dan dua peran yang lainnya merupakan fungsi
ekonomi.
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan
nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil
kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: paradigma
fungsional dan paradigma sosialis. Paradigma fungsional melihat
bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak
memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern dalam jumlah
yang cukup. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga
pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama
mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan
menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam
proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang
erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam
pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis human
investmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih
menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi
dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik (Zamroni 2009).
Paradigma sosialis melihat peranan pendidikan dalam
pembangunan adalah: a) Mengembangkan kompetensi individu; b)
Kompetensi yang lebih tinggi diperlukan untuk meningkatkan
produktivitas; dan c) Secara umum, meningkatkan kemampuan warga
masyarakat sehingga meningkatkan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialis ini,
pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh,
kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.
Paradigma fungsional dan paradigma sosialis telah melahirkan
pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal.
Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-
mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan
mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang
dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain.
462

Mekanistik melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian


tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian
menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan
telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang
satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti,
kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam,
pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah
dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan
tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan dan
ijazah.
Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan
pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko
pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan, pendidikan harus
mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti
kekuatan pembangunan. Pendidikan harus diorganisir secara terpusat
dalam suatu lembaga pendidikan formal, bersifat terpisah dan berada
di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi sehingga mudah
diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur
tunggal ini lembaga pendidikan diharapkan mampu menghasilkan
berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar efisien
dan efektif, proses pendidikan harus disusun dalam struktur yang rigid,
manajemen bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan
dan teori (text bookish).
Namun demikian, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa
pendidikan nasional sistem persekolahan tidak dapat berperan sebagai
penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass dalam Zamroni
(2009) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications
menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan
ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan:
kultural, sosial dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk
melimpahnya pengangguran terdidik.
Berbagai masalah pendidikan yang muncul tersebut di atas
bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan
yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya
lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic).
Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar
dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas
paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.
Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus
didasarkan atas paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan
nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur
bangsa sendiri. Oleh karena itu, dewasa ini telah muncul paradigma
baru peranan pendidikan dalam pengembangan masyarakat, yaitu:
Pendidikan Sistemik-Organik.
Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak
bersifat linier dan unidimensional, namun peranan pendidikan dalam
pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan
kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi
463

semacam ini, pendidikan tidak dapat lagi disebut sebagai engine of


growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan
formal sangat terkait dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan
yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada
khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan
sendiri tidak dapat meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja
yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik
jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan
kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat.
Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat
kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-
Organik dengan mendasarkan pada doktrin ekspansionisme dan
teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa
segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian
yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian
hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan
keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari
bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam
sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu
kesempatan berikutnya.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa
proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses
pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan
diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan
memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki
karakteristik khusus dan mandiri dan 4) Pendidikan merupakan proses
yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan
lingkungan.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan
bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak
bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya.
Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan
masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya.
Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya
ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah,
melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang
mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya.
Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan
bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus
melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja,
pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan. Dengan double
tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang
memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan
dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan
cepat.
464

IMPLEMENTASI CSR UNTUK MENINGKATKAN PERANAN


PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT INDONESIA
Secara umum, pendidikan mempunyai peranan dalam
meningkatkan kualitas manusia sebagai sumber daya pembangunan
dan menjadi titik sentral pembangunan. Manusia yang berkualitas
memiliki keseimbangan antara tiga aspek yang ada padanya, yaitu
aspek pribadi sebagai individu, aspek sosial dan aspek kebangsaan.
Sinergis peran antara dunia pendidikan dan dunia kerja, diantaranya
adalah dunia usaha (perusahaan) yang secara terpadu memberikan
kesempatan interaksi di antara keduanya untuk membangun sistem
pendidikan dengan paradigma sistemik-organik. Berkaitan dengan hal
ini, tampak adanya peluang perlunya membangun sinergi dunia
pendidikan dengan perusahaan, pasca disahkannya Udang-Undang
tentang Perseroan Terbatas (UUPT) pada 20 Juli 2007 khususnya Pasal
74 UUPT yang menyatakan adanya kewajiban melaksanakan
pengaturan tentang tanggung jawab sosial perusahaan (corporate
social responsibility/CSR).
Menurut The World Bank Institute, salah satu komponen utama
CSR adalah pengembangan kepemimpinan dan pendidikan. Karena
pendidikan merupakan salah satu kunci pembangunan berkelanjutan
dan pertumbuhan yang berpihak kepada kelompok miskin, maka dunia
bisnis dapat memberikan kontribusi penting dalam menyediakan akses
pendidikan berkualitas. Bahkan, perusahaan pun dapat memberikan
dampak yang kritis terhadap proses pemberdayaan melalui
peningkatan standar pengembangan kepemimpinan dan pendidikan
dalam perusahaan. Oleh karena itu, kemajuan dunia pendidikan
memang tidak dapat berjalan sendiri, sehingga perlu ada kerja sama
antara perusahaan, masyarakat dan pemerintah, yang dikemas melalui
program CSR.
Salah satu implementasi CSR dalam dunia pendidikan adalah
Program Cooperative Academic Education disingkat Co-op. Co-op
adalah belajar bekerja terpadu yang melibatkan tiga pihak yaitu
Mahasiswa, Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha. Program ini merupakan
salah satu strategi pendidikan dan pengembangan SDM yang
mengintegrasikan mahasiswa dengan berbagai latar belakang ilmu dari
bangku kuliah dengan pengalaman kerja yang produktif ( work-
based learning atau work-integrated learning) agar mahasiswa
dapat menemukan dan mengalami sendiri apa yang disebut dunia
kerja.
Kebijakan perusahaan dalam mengembangkan lingkungan
strategis yaitu melalui CSR akan menjadi landasan dari program-
program kolaborasi yang terkait dengan pemberdayaan para
mahasiswa dalam mengembangkan kemampuan kewirausahaan
melalui program Co-op. Selain dari sasaran yang bernuansa
kemampuan penguasaan teknologi dan bisnis tersebut, program CSR
juga ditujukan untuk memberikan akses dalam pemberdayaan
masyarakat baik yang terkait langsung dengan proses Bisnis
465

Perusahaan maupun lingkungan strategis yang lain, misalnya


lingkungan dunia pendidikan.
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk bekerjasama dengan DPPK
(Dewan Pengembangan Program Kemitraan) telah menyelenggarakan
Program Co-op sejak tahun 1998. Hingga tahun 2008, perguruan tinggi
yang telah berpartisipasi dalam Program Co-op PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk berjumlah 32 perguruan tinggi yang tersebar diseluruh
Indonesia dan telah merekrut dan memberikan kesempatan Magang
untuk sebanyak 1.170 mahasiswa dan dari 1170 mahasiswa yang telah
melaksanakan Co-op di TELKOM sebagian direkomendasikan untuk
dapat mengkuti Program Rekrut dan banyak di antara mereka saat ini
telah meniti karir di PT. TELKOM (Telkom 2009)
Kegiatan lain terkait dengan CSR di bidang pendidikan adalah
Partners in Learning oleh Micosoft Indonesia. Kegiatan ini dilakukan
dengan mendukung berbagai pihak yang memiliki tujuan
meningkatkan mutu pengajaran melalui peningkatan kemampuan
profesional pendidik. Selama empat tahun terakhir, Microsoft telah
bermitra erat dengan Depdiknas, terutama melalui Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, yang memiliki 30
Lembaga Penjamin Mutu Pendidik (LPMP) di 30 provinsi. Program
pelatihan bagi pendidik yang dilakukan secara rutin merupakan satu
cara strategis bagi Microsoft untuk menawarkan dukungannya dalam
berpartispasi di dalam kegiatan pendidikan melalui peer coaching.
Peer coaching tidak hanya sekedar pelatihan pemanfaatan
informasi teknologi di sekolah. Modul pelatihan ini merupakan upaya
untuk meningkatkan profesionalisme guru secara menyeluruh.
Penekanan dalam pelatihan ini adalah pada komunikasi dan bagaimana
para pesertanya berbagi materi ajar yang berbasis TIK. Oleh
karenanya, para peserta modul pelatihan peer coaching sudah
diasumsikan mampu dan terbiasa dalam menggunakan komputer di
kelas. Yang penting adalah para peserta dibawa ke pemikiran bahwa
mereka tidak sendiri dalam menjalankan tugas-tugasnya karena rekan-
rekan sesama pendidik ikut mendukung, dan mereka pun diharapkan
juga memberi dukungan yang sama dalam pengajaran (Gondomono
2007).
Dalam laporan Yulnardi (Maret 2009), dinyatakan bahwa
kepedulian sejumlah perusahaan untuk memajukan dunia pendidikan
melalui kegiatan CSR sangat berarti bagi dunia pendidikan. Jika
sekarang cenderung CSR diarahkan pada peningkatan kualitas SDM
melalui pemberian beasiswa maka ke depan CSR diharapkan dapat
mendongkrak pencapaian angka partisipasi kasar (APK) perguruan
tinggi, yang sampai sekarang masih rendah. APK perguruan tinggi
sampai sekarang masih menjadi masalah. Tahun 2008 lalu APK
perguruan tinggi (PT) adalah 17,75 persen. Tahun 2009 diharapkan
dapat meningkat menjadi 19 persen. Lima tahun ke depan, APK PT
ditargetkan mencapai 25 persen. Untuk mencapai peningkatan APK ini,
perlu diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada lulusan SMA untuk
masuk perguruan tinggi.
466

Selain untuk calon mahasiswa, CSR korporasi perlu diarahkan


untuk membantu penelitian dosen dan membantu perguruan tinggi
untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi berkualitas. Biaya
penyelenggaraan pendidikan tinggi berkualitas tidaklah murah,
terutama apabila diarahkan untuk mencapai taraf daya saing dunia
(global competitiveness). Sementara itu, alokasi dana dari pemerintah
sendiri maupun yang dihimpun dari penerimaan pendidikan juga
terbatas. Kepedulian perusahaan swasta dalam memberikan dukungan
bagi pendidikan tinggi sebagaimana ditunjukkan oleh Bank CIMB Niaga
yang merealisasikan bantuan senilai Rp 17 miliar untuk implementasi
kegiatan CSR dalam bentuk pembangunan Gedung Dosen Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang berlokasi di Depok. Selain
itu, Bank CIMB Niaga akan membantu FEUI dalam berbagai materi
pengajaran yang menyangkut aspek teknis penerapan corporate
banking dan corporate finance dengan mengirimkan pengajar yang
merupakan praktisi perbankan Bank CIMB Niaga sendiri. Bank CIMB
Niaga juga menyediakan program magang bagi mahasiswa yang baru
lulus. Di lain pihak, FEUI juga akan mengirimkan pengajar untuk
meningkatkan knowledge management karyawan Bank CIMB Niaga
sendiri sehingga dapat diterapkan pola training for trainers. Dalam
skema kerja sama ini, FEUI juga akan memberikan kesempatan
beasiswa bagi karyawan Bank CIMB Niaga untuk menempuh program
pendidikan S-1 hingga S-3 di FEUI (Yurnaldi 2009).
Dalam mengimplementasikan CSR di bidang pendidikan, ribuan
insinyur akan direkrut dalam empat tahun mendatang untuk
mendukung kegiatan hulu Pertamina, khususnya dalam rangka
memperoleh sumber energi yang baru. Dalam hal ini IPB telah
menerima bantuan pembangunan Auditorium Fakultas Kehutanan IPB,
rumah kaca, dan penambahan fasilitas kemahasiswaan berupa
komputer serta printer senilai Rp 2,272 milyar dari Pertamina melalui
program CSR. Selain IPB, bantuan di sektor pendidikan juga diberikan
kepada beberapa universitas lain oleh Pertamina seperti UI, ITB, UGM,
Unhas, Unpad dengan jumlah bantuan bervariasi. Bantuan tersebut
juga merupakan bagian dari program Pertamina Goes to Campus yang
sudah mulai berjalan sejak 2007 dan akan terus dikembangkan pada
2009. Selain itu, Pertamina juga telah memberikan beasiswa kepada
ribuan pelajar untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia (Suara Karya 2009)
Arah implementasi CSR yang mulai menitikberatkan pada aspek
pendidikan semakin terasa diwujudkan oleh berbagai perusahaan.
Sebagaimana dilakukan oleh PP London Sumatra (Lonsum) Indonesia,
Tbk, yang dewasa ini memfokuskan pengucuran dana CSR-nya kepada
dunia pendidikan. Alasan manajemen perusahaan itu memfokuskan ke
dunia pendidikan, karena selain melihat fakta bahwa sarana dan
prasarana pendidikan masih memprihatinkan, juga dengan pemikiran
diperlukannya SDM handal yang lahir dari pendidikan yang memadai.
Pada tahun 2008 ini, Lonsum membantu perbaikan 44 sekolah negeri
di berbagai desa yang beroperasi di sekitar wilayah kerja perusahaan
467

dan juga memberikan bantuan berupa komputer, beasiswa kepada


siswa dan termasuk pelatihan kepada para guru. Lonsum secara
langsung dan tidak langsung menciptakan sekitar 12 ribu lapangan
pekerjaan di pedesaan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa yang
merupakan wilayah operasional perusahaan tersebut (Lonsum 2009).
PT HM Sampoerna, salah satu perusahaan rokok besar di negeri
ini juga menyediakan beasiswa bagi pelajar SD, SMP, SMA maupun
mahasiswa. Selain kepada anak-anak pekerja PT HM Sampoerna,
beasiswa tersebut juga diberikan kepada masyarakat umum. Selain
itu,melalui program bimbingan anak Sampoerna, perusahaan ini
terlibat sebagai sponsor kegiatan-kegiatan konservasi dan pendidikan
lingkungan.
Implementasi CSR untuk meningkatkan peranan pendidikan
dalam pengembangan masyarakat tidak hanya dapat diterapkan di
perusahaan-perusaaan multinasional, atau perusahaan-perusahaan
besar. Perusahaan-perusahaan yang memiliki omzet tidak terlalu besar
juga dapat melakukannya. Inti dari CSR bukanlah kepada besar
kecilnya dana yang dikeluarkan, melainkan komitmen yang diberikan
perusahaan kepada masalah-masalah yang terjadi di masyarakat
sekitarnya, khususnya bidang pendidikan. Berkaitan dengan
keuntungan, CSR tentu menguntungkan, tetapi keuntungan yang
diterima mungkin dalam jangka waktu panjang. Karena CSR bukanlah
program sekali dan selesai, namun harus tetap berkelanjutan.
Meskipun implementasi CSR khususnya di bidang pendidikan
membutuhkan waktu yang lama, namun CRS akan memberikan
keuntungan jangka panjang yang berkelanjutan bagi perusahaan.
Implementasi CSR dapat lebih mengarah kepada suatu biaya
materi pendidikan yang dikelola dan diterapkan langsung kepada
masyarakat, sekaligus mendatangkan keuntungan sosial dalam bidang
pendidikan. Upaya mensinergikan CSR dengan dunia pendidikan,
merupakan langkah strategis perusahaan yang manfaatnya dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar di lokasi perusahaan itu
berdiri. Kepekaan perusahaan terhadap dunia pendidikan merupakan
investasi yang tak akan mubazir serta memberi manfaat secara
berkesinambungan.

KESIMPULAN
Meskipun kedudukan pendidikan cukup strategis dalam
pengembangan masyarakat, namun bangsa kita belum cukup optimis
mengandalkan posisi tersebut karena pada kenyatannya kondisi dan
hasil pendidikan di Indonesia belum memadai untuk berkompetisi
dengan bangsa lain. Untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan,
perlu melibatkan secara langsung pihak swasta sebagai bentuk
kepedulian dan tanggung jawab sosial. Salah satu program nyata
gerakan kepedulian pihak swasta (perusahaan) terhadap masyarakat
adalah CSR bagi dunia pendidikan.
Konsep CSR secara umum adalah bentuk kepedulian perusahaan
yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan
468

pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara


berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan
profesional. Berdasarkan sifatnya, salah satu pelaksanaan program
CSR merupakan program pengembangan sasaran utamanya di
antaranya adalah pemberdayaan SDM lokal (pelajar, pemuda dan
mahasiswa).
Pendidikan nasional sistem persekolahan saat ini ternyata tidak
dapat berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan bahkan
justru telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan
teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial
dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya
pengangguran terdidik. Paradigma peranan pendidikan dalam
pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional, namun peranan
pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat
interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain.
Sinergi antara CSR dengan dunia pendidikan merupakan
gerakan sosial bersama secara nasional yang perlu disosialiasikan dan
menjadi solusi alternatif di tengah stagnasi perkembangan pendidikan.
Berbagai implementasi CSR melalui kegiatan pemberian beasiswa,
pembangunan infrastruktur lembaga pendidikan, maupun pemberian
kesempatan magang oleh berbagai perusahaan menjadikan peran
pendidikan akan semakin besar dalam pengembangan masyarakat
pada umumnya. Kepekaan perusahaan terhadap dunia pendidikan
merupakan investasi yang tak akan mubazir serta memberi manfaat
secara berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA
Altbach AG, Arnove R, Kelly GP. 1982. Comparative Education. New
York: Macmillan. [terhubung berkala, 1 Mei 2009)
http://books.google.co.id/books?id= k58-
Yzis5noC&pg=PA1&dq=Philip+G.+ Altbach,+Robert+Arnove,
+Gail+P.+Kelly+ Comparative+education&client =firefox-
a#PPA295,M1
Alvita ON, Ginanjarsari G, Alam A. 2008. Pendidikan Holistik Berbasis
Kearifan Lokal pada KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan):
Jawaban Meningkatkan Social Capital Indonesia dan Daya Saing
Bangsa. [terhubung berkala] 26 Maret 2009.
http://okvina.wordpress.com/2008/04/28/kktm-kompetisi-karya-
tulis-mahasiswa-bidang-pendidikan-2008/
Badri. 2009. Peran PR dalam Membangun Citra Perusahaan melalui
Program CSR. [terhubung berkala] 4 Mei 2009.
http://ruangdosen. wordpress.com /2009/01/15/peran-pr-dalam-
membangun-citra-perusahaan-melalui-program-csr/
Bramastia, Djati Kusumo W. 2007. Segitiga Peran Strategis
Pendidikan. [terhubung berkala] 25 April 2009.
http://www.suaramerdeka.com /harian/0708/27/opi03.htm
469

Diknas. 2009. Peningkatan Kualitas SDM Sesuai Visi ke Depan.


http://www.diknas.go.id/headline.php?id=234
Elkington J. 1998. Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st
Century Business, Gabriola Island, BC: New Society Publishers.
Gondomono A. 2007. Mendukung Program Pendidikan di Indonesia.
[terhubung berkala] 28 April 2009. http://web.bisnis.com/sektor-
riil/telematika /1id24527.html
Idris AR. 2005. Corporate Social Responsibility (CSR) Sebuah Gagasan
dan Implementasi. [terhubung berkala] 23 April 2009.
http://www.fajar.co.id/.
Irianta Y. 2004. Community Relations. Konsep dan Aplikasinya.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
John CB. 1982. Education and Development: A Conflict Meaning in
Philip G. Altbach, Robert F. Arnove, Gail P. Kelly, eds.
Comparative Education. New York: Mac Millan.
Lonsum. 2009. CSR Lonsum fokuskan pada Pendidikan. [terhubung
berkala] 4 Mei 2009. http://newslinkweb.com/2008/12/08/csr-
lonsum-fokus-ke-pendidikan/
Majalah Bisnis dan CSR. 2007. Regulasi Setengah Hati, Edisi Oktober
2007.
Marlia MA. 2008. Pentingnya Implementasi Corporate Social
Responsibility pada Masyarakat Indonesia. [terhubung berkala]
28 Maret 2009. http://mamrh.wordpress.com/2008/07/21/53/
Petkoski D, Twose N. (Ed). 2003. Public Policy for Corporate Social
Responsibility. Jointly sponsored by The World Bank Institute, the
Private Sector Development Vice Presidency of the World Bank,
and the International Finance Corporation. [terhubung berkala]
20 April 2009. http://info.worldbank.org/ July 725, 2003.
Suara Karya Online. 2009. Dinamika Pertamina Program Goes to
Campus. IPB
IPB Peroleh Dana CSR Rp 2,2 Miliar. [terhubung berkala] 2 Mei
2009. http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=221897
Suharto E. 2007. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat
Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Responsibility). Bandung: Refika Aditama.
Telkom. 2009. UNP Jalin kerjasama Cooperative Academic Education
dengan PT. Telkom. [terhubung berkala] 4 Mei 2009.
http://www.telkom.co.id
Wikipedia. 2009, Corporate Social Responsibility. [terhubung berkala]
10 April 2009. http://en.wikipedia. org/wiki/Corporate
social_responsibility.
Yurnaldi. 2009. Laporan wartawan Kompas dari Depok, Kamis, 5 Maret
2009. [terhubung berkala] http://m.kompas.com
470

Zamroni. 2009. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Terhubung


Berkala [28 Maret 2009]
http://pakguruonline.pendidikan.net/wacana_pdd_1.html
471
472

PERSEPSI PETANI TENTANG SALURAN KOMUNIKASI


USAHATANI PADI

Pepi Rospina Pertiwi21 dan Amiruddin Saleh22

ABSTRACT
Serang District is a one of four districts of Banten Province which resulted high
production of paddy, at the west region of Java Island. This condition must be
defended with introduced paddy farming innovation continuously, what submitted
trough various of communication channel. The research objectives were: (1) to
describe the innovativeness characteristics of paddy farmers, (2) to know the
perception of paddy farmers on extension communication channel, (3) to analyze the
relationship between the innovativeness characteristics of paddy farmers with their
perception about extension communication channels. This research was conducted
with the survey methods and observations in the three Serang subdistricts, including
Ciruas, Carenang and Tirtayasa. The determination of the sample done in random
sampling, with the number of samples of 136 people. The correlation analysis of
variables is done through Spearman rank correlation test. Reasearch results were: the
innovativeness characteristics of paddy farmers were classified, except on the level of
risk, including category bad; perception of farmers about the communication channels
was good on the financing aspect, both interpersonal and media; farmer
innovativeness characteristics correlated significantly with the perception of
interpersonal and media communication channels, except ownership of capital

Key words: perception, communication channel, paddy


PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian di Indonesia tidak semata-mata hanya
dilakukan untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian, namun
juga diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan
keluarganya. Peningkatan kesejahteraan petani merupakan salah satu
tujuan penyuluhan pertanian, yang ditegaskan dalam UU RI No.16
Tahun 2006 bahwa penyuluhan salah satunya ditujukan untuk
memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan
kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif,
penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang,
peningkatan kesadaran dan pendampingan serta fasilitasi.
Upaya pencapaian tujuan penyuluhan salah satunya dilakukan
melalui pengembangan inovasi pertanian, penyebaran dan
penumbuhan motivasi pada petani untuk menggunakan inovasi
tersebut. Salah satu dampak penyebaran inovasi pada suatu
masyarakat adalah terbentuknya karakteristik inovasi, yang dibedakan
antara kelompok yang cenderung inovatif dan kurang inovatif. Rogers
dan Shoemaker (1995) mengistilahkan hal tersebut sebagai
karakteristik keinovatifan, yang dikelompokkan menjadi tiga bagian,
yaitu: (1) karakteristik sosial ekonomi, meliputi: status sosial, tingkat
mobilitas/kekosmopolitan, luas lahan, modal, jenis pekerjaan, orientasi
pada komersialisasi produk; (2) karakteristik individu yang
diperlihatkan dengan: sikap empati, dogmatis, kemampuan abstraksi,
21 Dosen Universitas Terbuka Tangerang
22 Dosen IPB Bogor
473

rasionalitas, intelegensi, sikap terhadap perubahan, keberanian


beresiko dan sikap futuristik; dan (3) karakteristik komunikasi yang
meliputi: tingkat partisipasi sosial, komunikasi interpersonal, hubungan
sosial dan dengan agen pembaharu, pemanfaatan media massa untuk
mencari informasi, serta tingkat kepemimpinan.
Karakteristik sasaran termasuk salah satu faktor yang dipertimbangkan
dalam kegiatan penyuluhan agar mendukung efektivitas penyampaian
pesan pembangunan. Beberapa hasil penelitian tentang karakteristik
keinovatifan antara lain dilakukan oleh Subagiyo (2005), di mana
karakteristik yang berkaitan dengan keinovatifan petani dalam
menerima informasi dan inovasi antara lain umur, tingkat pendidikan
dan pengalaman bekerja, motivasi, tingkat keterdedahan terhadap
informasi dari media, kekosmopolitan, serta keterlibatan dalam
organisasi. Adapun Pertiwi et al. (2007) menunjukkan bahwa tingkat
keinovatifan petani-nelayan yang dilihat dari peubah karakteristik
individu, sosial dan komunikasi, menunjukkan kondisi yang sejalan
dengan tingkatan kategori adopter. Artinya makin tinggi tingkatan
kategori adopter, makin tinggi pula tingkat keinovatifannya.
Di samping sebagai fungsi edukasi dan pemberdayaan
masyarakat, penyuluhan juga berperan sebagai fungsi penyebarluasan
informasi yang membutuhkan proses komunikasi penyuluhan. Henuk
dan Levis (2005) menyebutkan bahwa komunikasi penyuluhan
berkaitan dengan bagaimana melakukan komunikasi dengan petani-
petani kecil dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, agar
pesan yang disampaikan melalui komunikasi penyuluhan dapat
diterima dengan baik, diserap dan selanjutnya diterapkan dalam
usahatani mereka, sehingga petani kecil mampu meningkatkan
kesejahteraannya atau bagaimana mereka dapat hidup sejahtera.
Petani padi merupakan sasaran yang perlu dijamah oleh
informasi, mengingat petani padi merupakan pelaku utama dalam
penyediaan produksi beras. Informasi-informasi aktual berupa inovasi
usahatani padi yang semakin berkembang perlu sampai pada petani.
Informasi-informasi tersebut berupa sistem usahatani, mencakup
teknik pengolahan lahan, penanaman, pemupukan, pengairan,
pemeliharaan dan pemanenan. Berbagai saluran komunikasi dapat
dimanfaatkan untuk menyebarluaskan informasi ini, sehingga petani
mempunyai keputusan untuk memilih saluran komunikasi apa yang
sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Keputusan petani untuk
memilih saluran komunikasi awalnya terbentuk dari penilaian petani
terhadap saluran komunikasi. Berlo (1960) mengungkapkan sasaran
komunikasi akan memilih saluran sesuai dengan melihat: (1) saluran
apa yang tersedia, (2) berapa biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh saluran dan (3) saluran apa yang dipilihkan oleh sumber.
Dengan demikian, persepsi petani mengenai ketersediaan,
pembiayaan, kemudahan mengakses serta ketepatan penggunaan
saluran komunikasi sebagai pembawa informasi merupakan hal yang
cukup penting untuk dikaji terkait preferensi petani terhadap saluran
komunikasi.
474

Salah satu sentra produksi padi di wilayah Barat Pulau Jawa


adalah Provinsi Banten. Berdasarkan data yang tersedia, sampai
akhir tahun 2005 Provinsi Banten mengalami surplus beras sebanyak
65.488 ton, bahkan menyumbang 24,75 persen persediaan beras bagi
provinsi Banten (Khomsurizal 2008). Kabupaten Serang merupakan
wilayah kedua yang memiliki produksi padi terbanyak di Provinsi
Banten. Upaya penyediaan infomasi tentang inovasi padi bagi petani
padi di Serang makin giat digalakkan. Sebagai contoh, posko Prima
Tani dan klinik pertanian dibangun untuk menyediakan informasi bagi
petani secara langsung di lokasi tempat tinggal mereka. Di samping
itu juga disediakan pelayanan informasi melalui peralatan komunikasi
elektronik dan media cetak (Deptan 2008). Dengan saluran
komunikasi penyuluhan yang ditawarkan, diharapkan petani padi di
wilayah Serang dapat meningkat pengetahuannya tentang inovasi
pertanian komoditas padi, sehingga memacu mereka menggunakan
cara-cara pertanian yang baru.
Pada kenyataan di lapangan, petani padi masih menggunakan
cara-cara lama dalam mengelola usahataninya (seperti pola tanam
serumpun dalam satu lubang, pola pemupukan yang tidak sesuai
dengan perkembangan usia tanam dan lain-lain). Hal ini diduga
karena petani kurang mengakses informasi, sehingga petani masih
belum menerima informasi dengan baik tentang inovasi sistem
usahatani dari berbagai sumber yang relevan. Sistem penyuluhan
berjenjang memungkinkan terjadinya informasi yang hanya berhenti di
tingkat petani yang sudah lebih maju, yang kurang dekat dengan
petani lainnya. Upaya penyampaian informasi inovasi padi cenderung
sulit dijalankan mengingat umur rata-rata petani Indonesia cenderung
tua, yang cukup berpengaruh pada penerimaan informasi baru, karena
petani yang berusia tua cenderung sangat konservatif dalam
menyikapi terhadap perubahan atau inovasi teknologi (Henuk & Levis
2005). Di samping itu diduga mereka juga kurang tanggap terhadap
teknologi informasi dan menganggapnya sebagai sesuatu yang rumit.
Berdasarkan uraian di atas diperlukan suatu kajian untuk
menjawab beberapa pertanyaan berikut: (1) seperti apakah
karakteristik keinovatifan petani penerima informasi pengelolaan
usahatani padi? (2) bagaimanakah persepsi petani tentang saluran
komunikasi yang membawa informasi pengelolaan usahatani padi di
kalangan masyarakat petani? dan (3) sejauh mana hubungan
karakteristik keinovatifan petani dengan persepsinya tentang saluran
komunikasi yang membawa informasi pengelolaan usahatani padi?
Artikel ini ditulis berdasarkan hasil penelitian tahun 2009 yang
menganalisis tentang persepsi dan pemilihan petani terhadap saluran
komunikasi mengenai informasi pengelolaan usahatani padi, sebagai
suatu kasus yang diambil dari para petani di Kabupaten Serang. Aspek
karakteristik keinovatifan yang digunakan dalam kajian ini aspek
karakteristik keinovatifan yang dikemukakan oleh Rogers dan
Shoemaker (1995). Variabel-variabel karakteristik keinovatifan yang
dikaji antara lain status sosial, luas lahan dan kepemilikan modal
475

(karakteristik sosial ekonomi), tingkat empati, tingkat keberanian


beresiko dan tingkat futuristik (karakteristik individu) dan tingkat
partisipasi sosial, tingkat aktivitas komunikasi dan keterlibatan dalam
penyuluhan (karakteristik komunikasi).
Karakteristik keinovatifan petani tersebut dihubungkan dengan
persepsi petani tentang saluran komunikasi penyuluhan yang terbagi
menjadi saluran interpersonal dan saluran komunikasi bermedia.
Persepsi petani tentang saluran komunikasi ini dilihat dari empat
indikator, yaitu ketersediaan saluran, pembiayaan saluran, kemudahan
mengakses saluran dan ketepatan penggunaan saluran. Adapun
subjek informasi melalui saluran komunikasi penyuluhan yang diamati
adalah informasi inovasi tentang usahatani padi, mencakup teknik
pemilihan bibit, pola tanam, teknik pemupukan, teknik pengendalian
hama penyakit, teknik pengairan, teknik pemanenan, permodalan dan
pemasaran.
Informasi yang dibutuhkan dalam penelitian digali melalui
penyebaran kuesioner yang didukung dengan wawancara mendalam
terhadap petani responden. Instrumen dikembangkan dalam dua
bentuk, yaitu instrumen berupa kuesioner dalam bentuk penyataan
dan pertanyaan (terbuka dan tertutup). Hasil uji reliabilitas instrumen
penelitian diperoleh nilai koefisien reliabilitas untuk variabel
karakteristik keinovatifan petani sebesar 0,802 dan untuk variabel
persepsi tentang saluran komunikasi penyuluhan sebesar 0,870.
Berdasarkan kuesioner tertutup dihasilkan data kuantitatif yang
selanjutnya di-coding dan di-entry dengan menggunakan SPSS. Data
tersebut dianalisis menggunakan statistik deskriptif dengan
menampilkan distribusi frekuensi, persentase, rataan skor dan total
rataan skor; dan analisis statistik inferensial berupa uji korelasi rank
Spearman (rs), untuk mengetahui hubungan antara karakteristik
keinovatifan petani dengan persepsi petani tentang saluran komunikasi
penyuluhan. Adapun bentuk pernyataan atau jawaban dari pertanyaan
terbuka menghasilkan data kualitatif yang digunakan untuk
melengkapi informasi yang dapat mempertajam analisis data
kuantitatif.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua petani padi yang
menjadi anggota kelompok tani padi sawah di Kabupaten Serang.
Penentuan lokasi kecamatan dilakukan secara purposive dengan
memilih tiga kecamatan, dari 10 kecamatan yang memiliki kelompok
tani dengan komoditas khusus padi sawah, yaitu kecamatan Ciruas,
Tirtayasa dan Carenang. Dari jumlah populasi di tiga kecamatan
tersebut, diambil sampel penelitian sebanyak 2,5 persen sehingga
sampel penelitian berjumlah 136 orang. Sampel diambil secara acak
sederhana (simple random sampling) dari gabungan kelompok tani
(gapoktan) yang memiliki jumlah anggota kelompok tani terbanyak di
setiap kecamatan sejumlah 45-46 orang responden. Seluruh responden
diwawancara berdasarkan kuesioner yang telah dibuat.

GAMBARAN USAHATANI PADI DI KABUPATEN SERANG


476

Di Kabupaten Serang, kegiatan penanaman padi dilakukan


sepanjang tahun. Umumnya penanaman padi dilakukan dalam tiga kali
musim setahun. Varietas padi yang biasa ditanam oleh petani antara
lain Ciherang, Cigeulis dan IR 64. Varietas ini memiliki waktu tanam
yang singkat dan hasil yang baik. Petani banyak menggunakan varietas
ini karena cukup mudah mendapatkannya, baik melalui subsidi dari
pemerintah, membeli dari petani lain ataupun dari kios pertanian
setempat.
Tahapan penanaman padi diawali dengan persiapan lahan
umumnya dikerjakan oleh petani pemilik/penggarap dibantu oleh para
buruh tani. Secara umum pengolahan tanah dilakukan dengan cara
membajak, mencangkul atau dengan hand tractor yang menggunakan
bahan bakar solar. Ditinjau dari pembuatan jarak tanam, terdapat dua
sistem tanam padi yang dilakukan petani, yaitu sistem garit biasa dan
sistem jajar legowo. Sistem jajar legowo ini merupakan salah satu
inovasi padi sawah.
Penyiangan lahan dilakukan pada saat padi berumur sekitar 25-
30 hari, untuk mencabut gulma yang tumbuh di sekitar tanaman,
biasanya dilakukan bersamaan dengan penyemprotan tanaman.
Pemupukan untuk tanaman padi masih banyak dilakukan dengan
menggunakan pupuk kimia. Beberapa petani menggunakan pupuk
organik sebagai pupuk sampingan. Inovasi pemupukan terbaru, yaitu
pemupukan dengan cara menggunakan Bagan Warna Daun (BWD)
untuk pemupukan N, hampir belum dilakukan oleh responden petani.
Pengairan sawah yang dilakukan petani umumnya masih
menggunakan sistem pengairan tergenang, yang hanya sesekali
disusutkan airnya, yaitu apabila akan melakukan pemupukan atau
penyemprotan. Upaya penanggulangan HPT hampir seluruhnya
dilakukan secara kimia, yaitu dengan melakukan penyemprotan.
Umumnya petani tidak memperhatikan apakah ada gejala serangan
hama atau tidak, tetapi menyemprot sesuai keinginannya.
Panen padi dilakukan setelah padi menguning dan bulir penuh,
yaitu sekitar 3,5 bulan. Cara pemanenan di setiap hamparan atau
wilayah pertanian berbeda-beda, yaitu dengan cara melelang hasil
panen ke tengkulak, memanen dengan menyewa buruh tani, dan
memanen dengan sistem gebotan, di mana yang memanen adalah
para petani yang ikut andil pada saat menanam. Petani menuturkan
bahwa keuntungan panen dengan cara ini adalah keeratan hubungan
antar petani dapat terjalin dengan kuat, serta tidak ada petani yang
tidak memiliki padi di rumahnya sendiri. Selama cara panen ini
dilakukan secara serentak dan dilakukan dengan cara beregu, cara ini
tidak bertentangan dengan inovasi pertanian.
Hal lain di luar teknik bertani dan tak kalah penting adalah
tentang permodalan dan pemasaran. Secara umum, petani telah
memiliki kemandirian dalam melakukan permodalan dalam bentuk
uang. Banyak di antara petani yang menggunakan uang sendiri untuk
biaya operasional penanaman. Namun demikian ada pula petani yang
meminjam modal ke pihak lain, seperti ke kerabat, tengkulak atau
477

kelompok tani. Modal yang diperoleh dari kelompok tani umumnya


berupa subsidi yang diberikan melalui kelompok, baik berupa bibit
atau pupuk maupun sejumlah uang yang dialokasikan untuk pembelian
bibit atau pupuk. Peminjaman ke petani lain umumnya bukan dalam
bentuk uang, tetapi dalam bentuk sarana produksi atau alat-alat
pertanian. Pembayaran dilakukan pada saat panen, umumnya dengan
membayarkan sejumlah hasil panen sesuai kesepakatan.
Pemasaran hasil panen dilakukan dengan dua cara, yaitu
penjualan langsung sesaat sesudah panen, atau ditunda pada saat
membutuhkan uang. Dengan cara panen lelang, hasil panen secara
otomatis terjual secara langsung. Apabila hasil panen disimpan di
rumah, kapan pun petani ingin menjual hasil panen, banyak pembeli
yang datang mencari, atau menjual ke penggilingan (pabrik) sebagai
penampung hasil panen utama di wilayah internal pertaniannya.

SALURAN KOMUNIKASI PENYULUHAN DI KABUPATEN SERANG


Saluran komunikasi penyuluhan di Kabupaten Serang terbagi
menjadi dua bagian, yaitu saluran komunikasi langsung (interpersonal)
dan tidak langsung (bermedia). Saluran komunikasi langsung yang
paling berperan adalah sesama petani dalam lingkungannya. Petani
yang berprestasi merupakan andalan bagi kegiatan penyuluhan,
karena melalui petani teladan, petani lain dapat langsung mencontoh
cara usahatani yang baik. Tokoh masyarakat memegang peranan
penting dalam menginformasikan hal-hal terkait kegiatan sosial
maupun nilai-nilai yang berpengaruh terhadap kehidupan dan
usahatani. Penyuluh sendiri memfasilitasi informasi-informasi terkini
bagi petani. Untuk informasi tentang sarana produksi, pedagang
saprotan merupakan saluran komunikasi yang cukup tepat. Adapun
pengumpul merupakan saluran komunikasi yang cukup tepat bagi
petani untuk memperoleh informasi tentang harga dan pemasaran.
Dalam kaitannya dengan berbagai saluran komunikasi bermedia,
di tiga kecamatan terpilih diungkapkan bahwa media penyuluhan
masih tergolong relatif kurang. Stasiun TV lokal yaitu Cahaya Banten,
belum memiliki siaran spesifik tentang pertanian. Beberapa stasiun
radio memiliki slot siaran untuk acara pertanian, yaitu Radio
Megaswara dan Dimensi, namun dari hasil wawancara terhadap petani,
minat petani terhadap siaran radio ternyata kurang. Mereka lebih
mengharapkan siaran televisi untuk lebih banyak menayangkan siaran
pertanian, karena sifatnya yang mudah dipahami dan mudah didengar
dan dilihat.
Surat kabar dan majalah pertanian menurut penyuluh dinilai
mampu mewakili informasi yang dibutuhkan petani. Majalah yang
paling dikenal petani adalah trubus, sedangkan surat kabar adalah
Sinar Tani (Sinta). Buku-buku yang mengemukakan topik budidaya
pertanian, peternakan dan perikanan, sudah diakomodasikan di
perpustakaan Prima Tani. Adapun selebaran-selebaran berupa leaflet
atau poster dianggap penyuluh sebagai media yang jumlahnya paling
mencukupi. Bagi petani sendiri, leaflet biasanya mereka peroleh dari
478

pertemuan kelompok atau dari para formulator sarana produksi


pertanian.
Saluran komunikasi merupakan bagian dari proses komunikasi
yang terjadi dalam masyarakat. Badan Pengkajian Teknologi Pertanian
(2006) menyebutkan bahwa proses komunikasi dalam kegiatan
penyuluhan terintegritasi secara keseluruhan, mulai dari kegiatan
pertemuan kelompok, pelatihan-pelatihan disertai dengan berbagai
fasilitas media komunikasi cetak seperti leaflet, brosur, poster, surat
kabar dan majalah, serta noncetak yang umumnya berbentuk VCD
tentang teknik pertanian. Klinik pertanian pada Prima Tani pun dibuat
salah satunya sebagai fungsi penyedia informasi. Di perpustakaan
klinik disediakan bahan-bahan bacaan baik yang diproduksi oleh
pemerintah maupun swasta, dengan harapan para petani datang untuk
memanfaatkannya secara cuma-cuma.

KARAKTERISTIK KEINOVATIFAN PETANI PADI


Karakteristik keinovatifan petani adalah ciri-ciri yang melekat
pada diri petani dalam kaitannya dengan penerimaan inovasi.
Karakteristik keinovatifan petani yang diamati mengacu pada
karakteristik keinovatifan seperti yang dikemukakan oleh Rogers dan
Shoemaker (1995). Data-data yang dihimpun seputar deskripsi
karakteristik keinovatifan disajikan dalam bentuk rataan skor jawaban
petani, yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi karakteristik keinovatifan petani berdasarkan


rataan skor
Karakteristik Keinovatifan Petani Rataan skor*
Status sosial 1,89
Luas lahan 1,88
Kepemilikan modal 2,22
Tingkat empati 2,00
Tingkat keberanian beresiko 1,58
Tingkat futuristik 1,97
Tingkat partisipasi sosial 2,09
Tingkat aktivitas komunikasi 1,75
Keterlibatan dalam penyuluhan 1,69
Total rataan skor 1,90
Keterangan: * 1,00 - 1,66 = buruk/sempit/rendah; 1,67 - 2,33 =
cukup baik/cukup luas/sedang; 2,34 - 3,00 =
baik/luas/tinggi
Status sosial petani tergolong cukup baik (rataan skor 1,89).
Gambaran status sosial ini ditunjukkan dari jabatan sosial yang
diduduki di masyarakat dan tingkat kehidupan petani. Ditinjau dari
jabatan sosial, status sosial petani sebenarnya cenderung rendah.
Sebanyak 41,18 persen petani tergolong aktif dalam organisasi
kemasyarakatan, antara lain: kelompok tani, organisasi keagamaan
(pengurus mushola, dewan mesjid), kepemudaan, koperasi, komite
479

sekolah dan pemerintahan. Kategori cukup baik diperoleh dari tingkat


kehidupan yang cenderung tinggi, yang dilihat dari sejumlah 80,88
persen petani yang telah memiliki rumah sendiri, dan hampir seluruh
bangunannya permanen. Sebanyak 69,12 persen telah memiliki
kendaraan bermotor roda dua. Di samping itu kepemilikan alat mesin
pertanian tergolong cukup baik, di mana sekitar 40 persen petani
memiliki alat dan mesin pertanian lebih dari satu jenis. Dalam kegiatan
penyuluhan, kondisi status sosial petani yang terlihat di lapangan
memungkinkan petani untuk dapat lebih dimotivasi agar mau
mengakses berbagai saluran komunikasi sebagai media penyampai
informasi inovasi.
Luas lahan sawah yang digarap petani menunjukkan kategori
cukup luas, dengan rataan skor 1,88. Luas lahan petani adalah antara
300-25.000 m2, namun 63,24 persen tergolong cukup luas, yaitu
antara 3.500-10.000 m2. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kemampuan petani dalam mengusahakan lahan dapat mencukupi
kebutuhan hidup, bukan saja untuk konsumsi tapi juga mencukupi
kebutuhan sekundernya. Menurut Rogers dan Shoemaker (1995),
kepemilikan lahan berkaitan dengan keinovatifan seseorang. Petani
yang memiliki lahan luas cenderung lebih tanggap terhadap inovasi.
Dalam kegiatan penyuluhan, inovasi tentang teknik-teknik diversifikasi
untuk lahan sempit atau teknik ekstensifikasi untuk lahan luas
merupakan salah satu program yang dapat diinformasikan dan
ditumbuhkan minatnya pada masyarakat petani.
Kepemilikan modal petani tergolong cukup baik, dengan rataan
skor 2,22 (Tabel 1). Kenyataan ini didukung dengan sejumlah 54,41
persen petani yang memiliki lahan dengan status milik pribadi.
Kepemilikan lahan secara pribadi cenderung dapat menjamin petani
untuk berusahatani secara berkelanjutan. Jumlah modal yang
dikeluarkan petani setiap musim tergolong sedang, yaitu berkisar
antara 1-2 juta rupiah. Adapun sumber modal yang dikeluarkan oleh
52,2 persen berasal dari sumber modal pribadi. Kondisi kepemilikan
modal petani di lapangan mengindikasikan bahwa petani cenderung
mampu mencari berbagai informasi terkait dengan usahataninya.
Dengan modal yang ada, petani telah mempertaruhkan resiko dalam
berusahatani, sehingga sebisa mungkin dapat mempertahankan
usahataninya agar tidak mengalami kegagalan.
Tingkat empati petani tergolong cukup baik (rataan skor 2,00),
ditunjukkan dengan empat indikator yang ditanyakan, ternyata
sejumlah 41,91 persen menyatakan sering menghargai pendapat
orang lain, 44,12 persen sering mendahulukan kepentingan orang lain,
bahkan 80,15 persen menyatakan sering peduli terhadap kesulitan
orang lain. Berbeda halnya dengan perilaku petani dalam
menggantikan tugas orang lain, nilai yang diperoleh cenderung rendah,
karena lebih dari 40 persen menyatakan jarang mau menggantikan
tugas orang lain. Alasan terhadap jawaban ini umumnya petani
ketakutan melakukan kesalahan dalam melakukan sesuatu yang bukan
tugasnya. Secara idealis, orang yang memiliki empati kategori baik
480

akan dihargai banyak orang, termasuk kemungkinan untuk dijadikan


tempat bertanya bagi masyarakat sekitar. Untuk itu orang yang
memiliki empati besar termotivasi berusaha memperkaya dirinya
dengan berbagai ilmu pengetahuan baru.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat keberanian
petani dalam mengambil resiko tergolong buruk, yaitu memiliki rataan
skor 1,58. Indikator keberanian beresiko yang diamati antara lain
tindakan petani dalam mencoba cara tanam baru, mencoba varietas
baru, mengatasi masalah secara pribadi dan melakukan eksperimen
atau penemuan-penemuan sederhana di bidang pertanian. Persentase
jawaban petani terbesar berada pada jawaban jarang dalam
melakukan keempat indikator tersebut. Dalam kegiatan penyuluhan,
kekurangberanian mengambil resiko bagi petani merupakan hambatan
utama dalam penyebaran inovasi. Penyuluh memiliki tugas
membangkitkan motivasi petani agar mau mencoba hal-hal yang
belum pernah dilakukannya. Hal tersebut perlu disertai dengan metode
penyampaian teknik-teknik baru yang tepat seperti melakukan ujicoba
di lahan percontohan yang dapat dilihat oleh semua orang.
Tingkat futuristik adalah derajat kemampuan petani dalam
berorientasi ke masa depan. Petani memiliki tingkat futuristik yang
tergolong cukup baik, yaitu memiliki rataan skor jawaban 1,97 (Tabel
1). Sejumlah 20,59 persen petani yang percaya bahwa kehidupan
masa depan ditentukan oleh usahanya saat ini, sedangkan sejumlah
51,47 persen petani merasa yakin bahwa usahatani yang dijalankan
akan tetap bertahan walaupun kondisi negara serba sulit dan mahal
serta 46,32 persen petani sering merasa yakin bahwa kegiatan
usahatani akan terus kesinambungan dan mampu menopang
kebutuhan hidupnya sampai anak-anak mereka dewasa. Dalam
kegiatan penyuluhan, pandangan yang baik ke masa depan perlu
ditumbuhkan bagi masyarakat petani. Dengan memiliki pandangan
yang positif, petani akan berusaha untuk mengupayakan usahataninya
menjadi lebih baik, yang diharapkan terwujud melalui sikap proaktif
terhadap inovasi.
Tingkat partisipasi sosial merupakan salah satu ciri karakteristik
komunikasi yang berada dalam kategori cukup baik, dengan rataan
skor 2,09 (Tabel 1). Gambaran tingkat partisipasi sosial ini ditunjukkan
dengan keterlibatan petani dalam kehidupan bermasyarakat. Tingkat
keterlibatan petani yang paling tinggi adalah dalam kegiatan
keagamaan (70,59% petani menyatakan selalu mengikuti kegiatan
setiap bulan). Selanjutnya sejumlah 37,50% petani menyatakan selalu
mengikuti kegiatan gotong-royong, sering memberi bantuan apabila
ada yang terkena musibah (46,32%) dan sering terlibat dalam
pengurusan tetangga yang meninggal (48,53%). Secara keseluruhan
partisipasi petani dalam kegiatan masyarakat tergolong cukup baik.
Tingkat partisipasi seperti yang terlihat di lapangan dapat membantu
kelancaran kegiatan penyuluhan, termasuk penyebaran inovasi.
Tingkat Aktivitas komunikasi yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah tingkat aktif tidaknya petani dalam memperoleh informasi, baik
481

tentang kegiatan sosial maupun usahatani. Tabel 1 memperlihatkan


kategori cukup baik untuk aktivitas komunikasi petani, dengan rataan
skor 1,75. Walaupun sejumlah 55,88 persen petani mengaku tidak
pernah mencari informasi tentang kegiatan sosial secara aktif, namun
untuk informasi yang berkaitan dengan usahatani, sejumlah 31,62
persen reponden mengatakan selalu aktif mencari sendiri informasi
yang dibutuhkannya. Informasi yang paling sering dicari terutama yang
berkaitan dengan aktivitas perencanaan usahatani dan proses
produksi.
Peubah terakhir dari karakteristik keinovatifan petani yang
diamati adalah keterlibatan petani dalam penyuluhan, yang
memperoleh rataan skor sebesar 1,69. Walaupun masuk dalam
kategori cukup baik, namun keterlibatan petani dalam penyuluhan
cenderung ke arah kategori buruk. Sejumlah 36,03 persen petani
memiliki tingkat kehadiran yang tinggi dalam pertemuan kelompok,
dan sejumlah 55,88 persen menyatakan pernah mengikuti pelatihan
baik satu kali maupun lebih. Dalam kegiatan penyuluhan, sejumlah
33,09 persen petani menyatakan terlibat dalam identifikasi wilayah
penyuluhan, yaitu melalui pengisian data-data terkait usahataninya.
Sejumlah 8,82 persen petani menambahkan keterlibatannya dalam
perumusan tujuan selain identifikasi wilayah dan 13,24 persen ikut
merumuskan masalah dan pemecahannya. Akan tetapi sejumlah
44,85 persen menyatakan tidak pernah terlibat sama sekali dalam
perencanaan program penyuluhan. Berdasarkan uraian di atas, terlihat
bahwa keterlibatan petani dalam penyuluhan masih perlu
ditingkatkan. Pelibatan petani dalam kegiatan penyuluhan dan
perencanaan program penyuluhan dapat menumbuhkan interaksi antar
petani dan interaksi antara petani dan penyuluh dengan lebih baik lagi.
Semakin tinggi tingkat interaksi dalam masyarakat petani, menjadikan
semakin mudah pula proses difusi dan adopsi inovasi berlangsung.

PERSEPSI PETANI TENTANG SALURAN KOMUNIKASI


PENYULUHAN
Persepsi petani tentang saluran komunikasi penyuluhan dibagi
menjadi empat kategori, yaitu buruk, cukup baik, baik dan baik sekali.
Tabel 2 menunjukkan bahwa urutan tertinggi dari persepsi responden
tentang saluran komunikasi penyuluhan adalah pada aspek
pembiayaan untuk mengakses saluran komunikasi. Berdasarkan
kenyataan tersebut, terlihat bahwa petani tidak memiliki kekhawatiran
terhadap biaya yang dikeluarkan untuk mengakses saluran, sejauh
informasi yang dibutuhkan tersedia dan mudah diperoleh.

Tabel 2 Persepsi petani padi tentang saluran komunikasi


berdasarkan rataan skor
Persepsi tentang Saluran Komunikasi Rataan skor*
Interpersonal Bermedia
Ketersediaan saluran komunikasi 2,35 2,23
482

Pembiayaan mengakses saluran


komunikasi 2,89 2,58
Kemudahan mengakses saluran
komunikasi 2,50 2,14
Ketepatan penggunaan saluran
komunikasi 2,49 2,51
Total rataan skor 2,56 2,37
Keterangan: * 1,00 - 1,75 = buruk; 1,76 - 2,50 = cukup baik; 2,51
- 3,25 = baik; 3,26 - 4,00 = baik sekali.

Persepsi responden tentang ketersediaan saluran komunikasi


penyuluhan tergolong cukup baik, dengan rataan skor 2,35 untuk
saluran komunikasi interpersonal dan 2,23 untuk saluran komunikasi
bermedia. Saluran komunikasi interpersonal merupakan pihak-pihak
yang lebih sering ditemui oleh petani. Dalam kaitannya dengan
informasi pengelolaan usahatani padi, 50 persen responden
berpersepsi bahwa saluran komunikasi petani lain selalu tersedia
dalam memberikan informasi tentang penanggulangan hama dan
penyakit tanaman (HPT). Adapun penyuluh paling tinggi
ketersediaannya dalam menyediakan informasi tentang pemupukan
(47,06%). Pedagang saprotan tertinggi ketersediaannya dalam
menyediakan informasi tentang penanggulangan HPT (41,91%),
sedangkan pengumpul memiliki ketersediaan tertinggi pada informasi
tentang pemasaran (38,97%).
Saluran komunikasi bermedia yang dirasa responden paling baik
ketersediaannya adalah TV. Beberapa stasiun televisi diketahui
menyajikan acara pertanian, baik yang khusus acara pertanian, acara
selingan, siaran berita maupun iklan. Menurut responden,
ketersediaan tertinggi yang dicapai TV adalah dalam penyajian
informasi tentang penanggulangan HPT, pemupukan dan pemanenan.
Poster/leaflet dan surat kabar/majalah pertanian dirasa petani cukup
banyak tersedia, dan menyajikan banyak informasi tentang teknik
usahatani padi. adapun informasi yang selalu tersedia melalui
poster/leaflet dan surat kabar/majalah pertanian adalah tentang
penanggulangan HPT. Radio menempati urutan terbawah sebagai
saluran komunikasi yang dirasakan ketersediaannya oleh petani.
Sepertinya posisi radio telah tergeser dengan adanya televisi yang
mampu memberikan informasi lebih baik. Melalui televisi, siaran tidak
saja dapat didengar tetapi juga dilihat.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa persepsi petani tentang
pembiayaan saluran komunikasi tergolong pada kategori baik (rataan
skor 2,89 untuk saluran interpersonal dan rataan skor 2,58 untuk
saluran bermedia). Berbeda halnya dengan ketersediaan saluran
komunikasi, persepsi keterjangkauan biaya untuk mengakses petani
dan penyuluh hampir merata untuk setiap informasi teknik usahatani
padi. Jawaban murah dan sangat murah dilontarkan oleh sekitar 33-
50 persen responden untuk penyuluh, dan petani lain. Sedangkan
483

untuk pedagang saprotan dan pengumpul, persepsi responden


umumnya murah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah
perolehan informasi tidak terletak pada biaya yang harus dikeluarkan,
tetapi pada ada tidaknya informasi yang dapat diakses melalui saluran
komunikasi interpersonal.
Pada saluran komunikasi bermedia, sekitar 30 persen responden
menganggap bahwa poster/leaflet bisa diakses dengan sangat murah,
terutama dalam mencari informasi teknik usahatani padi. Petani dapat
dengan mudah mengakses poster/leaflet di tempat pertemuan
kelompok, klinik prima tani, kios saprotan bahkan dari formulator yang
mendatangi petani, sehingga petani tidak perlu mengeluarkan banyak
biaya. Selanjutnya sejumlah 8-11 persen responden menyatakan
bahwa surat kabar/majalah pertanian sangat murah diakses untuk
semua jenis informasi teknik usahatani. Adapun TV dan radio
dipersepsikan berada dalam jawaban murah dan mahal oleh
kebanyakan responden, untuk semua jenis informasi. Namun demikian
tingkat kemahalan TV lebih rendah daripada radio. Hal ini terjadi
karena TV telah banyak dimiliki oleh hampir semua petani, sedangkan
radio tidak. Dengan demikian petani menganggap harus
mengeluarkan biaya lagi jika menjadikan radio sebagai penyedia
informasi pengelolaan usahatani padi pada saat ini.
Tingkat kemudahan dalam mengakses saluran komunikasi yang
dipersepsikan baik oleh responden adalah petani lain dan penyuluh.
Kemudahan mengakses petani lain ini memiliki nilai tertinggi pada
pencarian informasi tentang pengadaan bibit unggul serta teknik
pemilihannya, yang ditunjukkan dengan jawaban sangat mudah oleh
48,53 persen responden. Adapun kemudahan mengakses penyuluh
terutama dalam mencari informasi tentang penanggulangan HPT.
Menurut petani, pedagang saprotan tergolong mudah diakses dalam
mencari informasi tentang pemupukan, penanggulangan HPT. Adapun
pedagang tergolong sulit diakses untuk mencari informasi teknik
usahatani padi.
Saluran komunikasi bermedia yang dipersepsikan paling mudah
diakses adalah TV. Namun demikian petani tidak terlalu merasa mudah
mengakses berbagai informasi pertanian melalui TV, karena siaran
untuk acara ini dirasa kurang. Selanjutnya, saluran komunikasi lain
yang dianggap mudah diakses adalah poster/leaflet, surat
kabar/majalah pertanian dan radio. Kemudahan mengakses
poster/leaflet menurut petani adalah dalam mencari informasi tentang
pembibitan, pemupukan dan penanggulangan HPT. Kenyataan ini
berbeda dengan kemudahan mengakses surat kabar/majalah
pertanian, dimana jawaban sulit dan sangat sulit mengakses dari
responden tergolong tinggi, yaitu mencapai 65 persen, baik untuk
informasi tentang teknik usahatani, permodalan maupun pemasaran.
Hal ini karena surat kabar/majalah pertanian tidak terlalu banyak
jumlahnya. Kemudahan mengakses radio tergolong rendah, yang
ditunjukkan dari kebanyakan responden yang menganggap sulit
mengakses radio, untuk semua informasi teknik usahatani padi.
484

Persepsi responden tentang ketepatan penggunaan saluran


komunikasi penyuluhan berada pada kategori cukup baik untuk saluran
komunikasi interpersonal (rataan skor 2,49), namun tergolong baik
untuk saluran komunikasi bermedia (rataan skor 2,51). Ketepatan
penggunaan saluran komunikasi ini sangat bergantung pada jenis
informasi yang disampaikan oleh saluran komunikasi.
Responden mempersepsikan bahwa saluran komunikasi yang
paling tepat penggunaannya adalah petani lain terutama untuk
informasi penanggulangan HPT padi, pembibitan dan pemupukan. Hal
ini menunjukkan bahwa petani selain sebagai pihak yang menjalankan
proses produksi, juga menjalankan perannya sebagai penyebar
informasi dengan baik. Penyuluh termasuk saluran komunikasi
berikutnya yang memiliki tingkat persepsi ketepatan penggunaan yang
baik sebagai penyampai informasi tentang teknik usahatani dan
permodalan, sedangkan kurang tepat untuk informasi tentang
pemasaran. Pedagang saprotan dinilai tepat dalam memberikan
informasi tentang penanggulangan HPT dan pemupukan, sedangkan
informasi lain dinilai tidak tepat disampaikan melalui pedagang
saprotan. Adapun 42,65 persen responden menyatakan bahwa
pengumpul merupakan saluran komunikasi yang sangat tepat
digunakan sebagai penyampai informasi tentang pemasaran, termasuk
harga gabah yang sedang berlaku saat ini.
Saluran komunikasi bermedia yang dinilai paling tepat
penggunaannya dalam menyampaikan informasi pengelolaan
usahatani padi adalah TV. Ketepatan penggunaan TV sebagai saluran
komunikasi yang menyampaikan inovasi berkaitan dengan kepemilikan
TV oleh masyarakat serta kejelasan informasi yang disampaikan.
Selanjutnya poster/leaflet menempati tempat kedua sebagai saluran
komunikasi yang dianggap tepat oleh petani. Radio dan surat
kabar/majalah memiliki kesamaan dengan TV dalam hal ketepatan
jenis informasi yang disampaikan. Ketiganya dianggap tepat dalam
memberikan semua informasi pengelolaan usahatani padi, mulai dari
teknik pembibitan sampai pemasaran, walaupun ketepatan radio
tergolong rendah. Lain halnya dengan poster/leaflet yang cenderung
tepat jika digunakan sebagai media penyampai informasi teknik
usahatani saja.
Pemanfaatan saluran komunikasi dalam kegiatan penyuluhan
dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat petani. Sebagai contoh,
sikap petani yang enggan untuk datang ke posko penyuluh seperti
klinik prima tani, dapat diatasi dengan membawa berbagai media
penyuluhan pada saat menemui petani. Upaya penyuluhan yang perlu
dilakukan peningkatan minat masyarakat petani terhadap berbagai
media komunikasi. Di samping itu penyuluh di tingkat atas mungkin
dapat mengembangkan berbagai materi penyuluhan tentang PTT padi
yang dapat ditayangkan di TV atau radio daerah dengan acara yang
lebih menarik, pencetakan surat kabar lokal, penyebaran media-media
tercetak serta pelibatan petani dalam menghimpun informasi
pertanian.
485

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KEINOVATIFAN PETANI PADI


DENGAN PERSEPSI PETANI TENTANG SALURAN KOMUNIKASI
PENYULUHAN
Tabel 3 menunjukkan beberapa unsur karakteristik keinovatifan
yang berkorelasi dengan persepsi petani tentang saluran komunikasi
baik interpersonal maupun bermedia.

Tabel 3 Hubungan karakteristik keinovatifan petani padi dengan


persepsinya tentang saluran komunikasi penyuluhan
Persepsi tentang Saluran Komunikasi
Karakteristik Keinovatifan (rs)
Interpersonal Bermedia
Status sosial 0,202* 0,170*
Luas lahan 0,170* -0,005
Kepemilikan modal 0,095 0,083
Tingkat empati 0,337** 0,154
Tingkat keberanian beresiko 0,170* 0,036
Tingkat futuristik 0,231** 0,434**
Tingkat partisipasi sosial 0,310** 0,161
Tingkat aktivitas komunikasi 0,129 0,258**
Keterlibatan dalam penyuluhan 0,268** 0,339**
Keterangan: * Korelasi nyata (p<0,05) rs = koefisien korelasi
rank Spearman
**Korelasi sangat nyata (p<0,01)

Berdasarkan Tabel 3, indikator status sosial berkorelasi nyata


(p<0,05) dengan saluran komunikasi interpersonal dan bermedia. Hal
ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi status sosial responden,
semakin baik pula persepsinya tentang saluran komunikasi yang
membawa berbagai informasi pengelolaan usahatani padi. Petani yang
berstatus sosial tinggi merupakan orang yang aktif dan memiliki
jabatan dalam organisasi yang diikutinya, cenderung lebih
berpendidikan, memiliki pemikiran yang lebih terbuka terhadap
lingkungan karena membutuhkan banyak hubungan dengan pihak lain
terkait kehidupan sosial ekonominya. Sifat tersebut menjadikan petani
menghargai segala hal yang ada di hadapannya termasuk pada saluran
komunikasi yang ada di lingkungannya.
Dalam hubungannya dengan saluran komunikasi interpersonal,
luas lahan memiliki korelasi yang nyata (p<0,05) namun memiliki
korelasi negatif dengan saluran komunikasi bermedia. Hal ini
mengindikasikan bahwa petani yang memiliki lahan yang luas
cenderung mempersepsikan saluran komunikasi interpersonal dengan
baik. Petani yang memiliki luas lahan banyak melakukan komunikasi
dengan penyuluh, petani lain bahkan dengan pedagang saprotan serta
pengumpul, karena menganggap pihak-pihak tersebut dapat
memenuhi kebutuhan informasi dalam mengelola lahan yang luas dan
486

dinilai cepat memberikan umpan balik. Sebaliknya, informasi tentang


usahatani dari saluran komunikasi bermedia dinilai tidak nyata
(p>0,05) negatif, yang artinya semakin luas lahan garapan petani,
cenderung semakin kurang baik persepsinya tentang saluran
komunikasi bermedia. Petani menganggap bahwa media komunikasi
kurang memberikan respons yang cepat atas informasi yang
diinginkannya, sehingga menjadi enggan mengakses dan
mengakibatkan pandangannya terhadap saluran komunikasi kurang
baik.
Tingkat empati merupakan indikator karakteristik keinovatifan
yang terlihat berkorelasi sangat nyata (p<0,01) dengan persepsi
responden tentang saluran komunikasi interpersonal. Hal ini dapat
dipahami karena sikap empati muncul dalam diri seseorang untuk
berusaha menempatkan dirinya pada peran orang lain. Petani yang
berempati tinggi cenderung banyak berhubungan dengan pihak-pihak
penyedia informasi yang bersifat interpersonal. Dengan demikian
petani yang berempati tinggi umumnya memiliki sikap positif yang baik
terhadap orang lain dan lingkungannya, termasuk terhadap saluran
komunikasi interpersonal. Beberapa responden menyatakan bahwa
walaupun tidak mudah untuk mendapatkan saluran komunikasi,
mereka sangat meyakini bahwa saluran komunikasi tersedia, murah
untuk mengaksesnya dan tepat penggunaannya.
Tingkat keberanian beresiko juga memiliki korelasi yang nyata
(p<0,05) dengan saluran komunikasi interpersonal. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat keberanian petani
untuk mengambil resiko, semakin baik pula persepsinya tentang
saluran komunikasi interpersonal. Kondisi ini sangat wajar, karena
umumnya petani mau mengambil resiko setelah bertanya pada orang
lain secara langsung atau melihat keberhasilan petani lain, sehingga
memiliki pandangan yang positif terhadap pembawa informasi
langsung. Adapun jika dilihat hubungannya dengan persepsi tentang
saluran komunikasi bermedia, tingkat keberanian petani dalam
beresiko tidak memiliki kaitan yang nyata (p>0,05), artinya faktor ini
tidak secara nyata menentukan baik atau buruknya persepsi petani
terhadap saluran komunikasi bermedia.
Tabel 3 juga memperlihatkan bahwa tingkat futuristik memiliki
korelasi yang sangat nyata (p<0,01) dengan persepsi tentang saluran
komunikasi, baik interpersonal maupun bermedia. Hal ini berarti
semakin tinggi tingkat futuristik petani, semakin baik pula persepsinya
tentang saluran komunikasi. Petani yang memiliki sifat futuristik
biasanya memiliki pemikiran yang sudah mengarah ke masa yang akan
datang, dan selalu optimis mampu menghadapi segala kemungkinan.
Untuk itu mereka cenderung lebih banyak menggali ilmu pengetahuan
baru yang dianggapnya dapat meraih keberhasilan di masa depan.
Petani yang lebih futuristik menganggap saluran komunikasi sebagai
media yang membantu keberlangsungan hidupnya. Dengan demikian
petani futuristik cenderung selalu membutuhkan saluran komunikasi,
487

baik interpersonal maupun media yang ada, dan menghargai saluran


komunikasi sebagai sarana dalam mencapai keberhasilan.
Hubungan lain yang terlihat sangat nyata (p<0,01) adalah
antara tingkat partisipasi sosial dengan persepsi petani tentang
saluran komunikasi walaupun taraf sangat nyata ini hanya terlihat
pada saluran komunikasi interpersonal. Partisipasi petani dalam
kegiatan sosial di lingkungannya menyebabkan petani terhubung
dengan banyak orang, termasuk orang-orang yang membawa berbagai
informasi tentang pengelolaan usahatani padi. Keterlibatan responden
dalam berbagai kegiatan seperti pengajian, gotong-royong, pertemuan
warga, atau saling bantu dalam kehidupan mereka, menumbuhkan
keeratan antar warga dan diakui responden sebagai ajang untuk saling
menghormati. Petani juga semakin terbuka pemikirannya terhadap
pentingnya berhubungan baik, dan semakin penting untuk berpikir
positif terhadap pihak-pihak yang terhubung dengannya. Dengan
demikian semakin tinggi tingkat partisipasi petani, semakin baik pula
persepsinya tentang pihak-pihak yang menjadi saluran komunikasi
baginya.
Selanjutnya hubungan yang sangat nyata (p<0,01) terlihat pula
antara tingkat aktivitas komunikasi petani dengan persepsinya tentang
saluran komunikasi bermedia. Hal ini mengindikasikan bahwa petani
memiliki penerimaan yang cukup baik terhadap media komunikasi
yang membawakan informasi pengelolaan usahatani padi. Sebagian
besar responden mengemukakan bahwa informasi terbaru
kemungkinan akan segera disebarkan melalui berbagai media, karena
akan lebih cepat menjangkau banyak orang. Petani yang aktif mencari
informasi, tidak terlalu mempermasalahkan biaya yang dikeluarkan
untuk mengakses saluran komunikasi, karena merasa setiap media
komunikasi menyampaikan informasi usahatani yang sesuai dengan
kebutuhannya.
Indikator terakhir yang berkorelasi sangat nyata (p<0,01)
dengan persepsi petani tentang saluran komunikasi adalah
keterlibatannya dalam kegiatan penyuluhan. Dengan demikian
semakin tinggi keterlibatan petani dalam kegiatan penyuluhan semakin
baik pula persepsinya tentang saluran komunikasi, terutama saluran
yang sering terlibat dan digunakan dalam kegiatan penyuluhan
pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh pendapat responden, bahwa
dalam kegiatan penyuluhan atau pelatihan sering diberikan informasi
baru oleh penyuluh, atau membawa pihak lain seperti para formulator
atau petani lain dalam menyampaikan teknik-teknik bertani yang lebih
baik. Di samping itu penyuluh memberikan fasilitas informasi berupa
poster, leaflet atau koran pertanian. Bahkan dalam kegiatan pelatihan
sering diberikan materi melalui film pertanian yang ditayangkan di
televisi. Menurut petani, kegiatan penyuluhan dan pelatihan banyak
membawa manfaat bagi wawasan dan pengetahuan petani, dan
membuka pikiran mereka tentang banyaknya saluran komunikasi yang
menyediakan informasi usahatani yang dibutuhkannya.
488

Hubungan yang tidak nyata (p>0,05) dengan persepsi petani


tentang saluran komunikasi adalah kepemilikan modal. Hal ini
mengindikasikan modal yang dimiliki petani bukan menjadi faktor
penentu dalam membentuk persepsi petani tentang saluran
komunikasi. Berapapun modal yang dimiliki, tidak menumbuhkan
persepi petani terhadap eksisnya saluran komunikasi. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam modal
yang digunakan petani atas persepsinya mengenai saluran komunikasi
dalam kegiatan penyuluhan.

KESIMPULAN
Pandangan yang baik dari petani terhadap saluran komunikasi
penyuluhan perlu dibentuk dan terus dipupuk. Tujuannya adalah agar
petani mampu dan berminat mengakses berbagai saluran dalam
mencari atau mempelajari inovasi-inovasi pertanian yang sedang
merebak di lingkungannya. Upaya yang terlihat berhasil dalam
kegiatan penyuluhan di Kabupaten Serang adalah pelibatan petani
teladan atau tokoh petani dalam penyampaian informasi. Namun
demikian, terobosan baru lebih diperlukan dalam kegiatan penyuluhan,
seperti melibatkan pihak pedagang saprotan dalam perekomendasian
pemupukan dan pengobatan HPT atau pelibatan para pengumpul
untuk memperoleh informasi harga dan varietas yang diminati
konsumen.
Terkait dengan penumbuhan minat petani terhadap saluran
komunikasi bermedia, penyuluh sebaiknya lebih giat dalam
menjalankan salah satu tupoksinya, yaitu menyiapkan materi
penyuluhan baik secara langsung maupun melalui berbagai bentuk
media komunikasi. Penyuluh dapat merancang sendiri poster atau
leaflet dengan bahasa lokal untuk disebarkan pada petani pada saat
melakukan penyuluhan. Penyuluh juga dapat memanfaatkan tabloid
lokal untuk menerbitkan tulisan-tulisan yang bermanfaat, atau
mempublikasikan keberhasilan para tokoh petani di tingkat lokal. Satu
hal yang mungkin dapat dihidupkan kembali, adalah dibuatnya
kelompok pendengar siaran radio atau pemirsa acara TV, sehingga
minat petani untuk mengakses media tersebut lebih meningkat.
Inovasi yang mudah, murah dan sesuai dengan kebutuhan petani
adalah pesan yang perlu disampaikan. Metode dan media penyuluhan
yang baik dengan banyak pilihan dan penggunaan yang tepat adalah
cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan inovasi tersebut,
sehingga menjadikan petani mengadopsi inovasi yang digulirkan.

DAFTAR PUSTAKA
Berlo DK. 1960. The Process of Communication: An Introduction to
Theory and Practice. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Departemen Pertanian. 2008. Penyelenggaraan Fungsi Informasi dan
Komunikasi serta Diseminasi Hasil Pengkajian BPTP.
489

http://bbp2tp.litbang.deptan.go.id/FileUpload/
files/publikasi/pros_05_7 .pdf. [29 Oktober 2008].
Henuk YL, Levis LR. 2005. Komunikasi Pertanian. Kupang: Lembaga
Penelitian Universitas Nusa Cendana.
Khomsurizal. 2008. Banten Surplus Beras.
http://khomsurizal.blogspot.com/ 2008/08/ banten [4 Agustus
2008].
Pertiwi PR, Noviyanti R, Farida I. 2007. Karakteristik Kategori Adopter
dan Tingkat Keinovatifan Masyarakat Nelayan. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Rogers EM, Schoemaker FF. 1995. Communication of Innovations: A
Cross Cultural Approach. Revised Edition. New York: The Free
Press.
Subagiyo. 2005. Kajian Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap
Inovasi Usaha Perikanan Laut Desa Pantai Selatan Kabupaten
Bantul, DIY. http://pse.litbang.deptan.go.id/ publikasi.php. [9
September 2007].

Anda mungkin juga menyukai