Chapter 6 Lengkap Tak Godfrey
Chapter 6 Lengkap Tak Godfrey
1. OBJECTIVES OF ACCOUNTING
Fungsi dari informasi akuntansi dari waktu ke waktu menjadi lebih signifikan seiring
dengan pertumbuhan perusahaan selama setengah abad terakhir. Informasi akuntansi
dianggap menjadi sumber yang penting tentang perusahaan dikarenakan adanya pemisahan
kepemilikan usaha, kontrol serta akuntabilitas perusahaan bisnis yang dapat dikatakan besar.
Sehingga, hal ini menyebabkan adanya keterbatasan pemilik untuk dapat langsung
mengontrol operasional dan kinerja perusahaan. Dapat kita simpulkan bahwa hal diatas
menjelaskan mengenai salah satu fungsi informasi akuntansi yakni fungsi pelayanan
(stewardship function) dimana laporan ditujukan pada pihak eksternal seperti pemilik dan
pemegang saham untuk dapat menilai kinerja perusahaan. Dengan begitu, menjadi jelas dasar
mengapa informasi akuntansi dalam beberapa dekade terakhir dianggap menjadi tujuan
terpenting dari fungsi pelaporan.
Kritik pun bermunculan dari banyak pendukung fair value cost mengenai pendapat
yang mengatakan bahwa laporan penghasilan berdasarkan konsep historical cost
mengindahkan pengakuan perubahan nilai aktiva dan kewajiban. Sehingga konsep itu
dianggap tidak relevan dan menghasilkan kebijakan dividen yang salah karena tidak
mencerminkan keadaan yang sebenarnya terjadi.
Hal yang pada mulanya harus diperhatikan entitas akuntansi dalam menentukan biaya
historis adalah dengan mempertahankan jumlah modal yang sama yakni dengan
mengurangkan aktiva dengan kewajiban di awal periode dimana penilaian atas semua aktiva
dan kewajiban dilakukan berdasarkan biaya pembelian historis mereka. Dapat kita ambil
benang merahnya yakni pendapatan merupakan kenaikan atas modal historical cost pada
akhir periode akuntansi.
Pendapatan dapat menjadi suatu indikator atau tolak ukur dalam menilai kinerja dan
prestasi perusahaan dalam jangka waktu tertentu sedangkan biaya dapat dikatakan sebagai
upaya yang telah dikeluarkan dalam hal kecocokan dengan historical cost dan efektifitas
perusahaan berkorelasi dengan profit yang diterima. Dengan demikian, laporan keuangan
menjadi sebuah elemen penting bagi perusahaan karena secara jelas mengungkapkan hasil
dari kegiatan operasional bisnis perusahaan. Sebagai tambahan informasi, FASB dahulu
menggunakan kata revenue-expense view dalam menjelaskan teori definisi dan perhitungan
langsung atas pendapatan dan beban. Mengenai hal ini ada dua konsep fundamental yakni :
matching of costs dan conservatism
Hal yang dapat dilakukan akuntan dalam rangka menentukan historical cost adalah
dengan menentukan aliran biaya. Ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa akuntan
menelusuri rekening transaksi bisnis. Menjadi bagian dari tugas seorang akuntan untuk tetap
menelusuri pergerakan biaya dan melampirkannya pada pendapatan yang diterima saat
mengalir melalui bisnis seiring dengan adanya pembelian yang dilakukan perusahaan.
Dalam hal ini, seorang akuntan juga harus dapat menentukan biaya yang telah
'berakhir' dan menyocokkan dengan pendapatan dalam laporan laba rugi, serta biaya tetap
'belum berakhir' dan harus ditempatkan pada neraca sebagai sisa (asset yang tidak cocok).
Teori pencocokan biaya terdapat pada laporan laba rugi.
Berdasarkan perspektif historical cost maka dapat dilihat dari pendapatan di masa
lampau lalu diadakan perbandingan dengan profit sehingga pada akhirnya kita dapat
menentukan laba rugi.
Dengan demikian, Matching cost berkorelasi dengan historical cost. Dalam hal ini
untuk melihat historic dari akuntansi keuangan dari masa lampau sehingga dapat melihat apa
yang sedang terjadi pada masa kini. Hubungan dengan historical cost ditujukan untuk
mengetahui bahwa assets tersebut dapat didepresiasikan.
4. CONSERVATISM
Selanjutnya adalah penerapan prosedur pencocokan konservatif. Dalam hal ini, beban
harus dialokasikan sesegera mungkin, berbeda dengan pendapatan yang tidak harus diakui
sampai ada kemungkinan besar bahwa pendapatan akan diterima. Berdasarkan hal diatas,
terlihat ada indikasi bias terhadap pengakuan beban dan pengakuan pendapatan. Selain itu
berdasarkan conservatism, jika terjadi kenaikan nilai dari asset maka tidak diakui. Sedangkan,
jika ada penurunan terhadap nilai asset, sepeti harga pasar yang lebih murah, maka harus
diakui. Dapat disimpulkan bahwa penghitungan profit berdasarkan prosedur diatas adalah
cara yang konservatif.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa prinsip akuntansi dengan menggunakan
sistem historical cost telah dikritik oleh banyak kritikus yang tidak sepaham dengan
konsep yang diterapkan, terutama atas dasar bahwa konsep dari historical cost yang tidak
merevaluasi nilai dari komponen asset dan liabilities yang diseseuaikan dengan nilai
sekarang. Di sisi lainnya, pihak yang setuju dan menganut konsep ini memiliki counter
argument mengenai alasan mereka menggunakan konsep historical cost, yakni sebagai
berikut:
Pelaporan atas profit berdasarkan konsep ini dirasakan oleh para kritikus tidak
memiliki interpretasi yang bersifat prospektif terapi lebih retrospektif. Selain itu,
dengan menggunakan historical cost, kita akan overstates yang kita dapatkan karena
kita tidak memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti inflasi. Hal ini menyebabkan
akan ada overstatement atas profit yang pada akhirnya membuat pengambilan
keputusan menjadi tidak benar dan relevan.
5.2.3 MATCHING
.
5.2.4 NOTIONS OF INVESTOR NEEDS
Munculnya berbagai kritik tentang historical cost menjadi sebuah hal yang tak
asing lagi di telinga kita. Berikut ini adalah pendapat bahwa dalam menentukan laba
berdasarkan historical cost dapat menyebabkan distorsi atau penyembunyian
disclosures.
Whitman dan Shubik dalam hal ini menyatakan pendapatnya bahwa masalah
ini muncul karena tujuan dari akuntansi biaya konvensional historis salah untuk
dipahami, bahwa :
a. Akuntan memiliki pandangan naif, pandangan sederhana investor dan
kebutuhan mereka.
b. Akuntan menerima pandangan kebiasaan lama, fundamentalis kuno
tentang bagaimana perusahaan dan sahamnya harus dianalisis.
Ada perbedaan antara analisis pangsa pasar dan analisis perusahaan. Hal ini
utamanya terdiri dari mencoba memahami cara berfikir investor. Pengikut perspektif
ini tidak benar-benar memerhatikan tentang fakta-fakta perusahaan, tapi tentang
psikologi pasar. Mereka tertarik pada apa yang disebut Keynes 'pendapat rata-rata
berpendapat rata-rata'.
Menurut Whitman dan Shubik, alasan untuk penekanan ini pada psikologi
investor daripada kenyataan perusahaan bahwa :
Selain itu, pengguna informasi akuntansi untuk membuat keputusan tidak hanya
manager tetapi juga oleh para pemegang saham ataupun pemilik modal. Oleh karena
itu, terdapat dua tujuan dalam informasi akuntansi yaitu: 1) evaluasi oleh manager
terhadap kejadian dimasa lalu yang dapat membantu mereka dalam membuat
keputusan dimasa depan, dan 2) evaluasi atas manager untuk menilai performance
perusahaan yang akan digunakan oleh pemegang saham dan pihak external lainnya.
Dalam historical cost system, kenaikan biaya (gain) yang diperoleh perusahaan
hanya bisa didapatkan saat perusahaan menjual asetnya dengan harga yang lebih
tinggi dari harga beli asset tersebut. Hal ini menyulitkan untuk mengetahui apakah
dengan keputusan manajemen untuk tetap memiliki asset tersebut telah berhasil
kecuali saat asset tersebut dibeli dan dijual dalam periode yang sama.
Selain itu, system ini juga memiliki kelemahan dalam membandingkan efisiensi
antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Hal ini disebabkan karena nilai
beban depresiasi yang berbeda apabila menggunakan current cost system. Dengan
menyajikan informasi yang kurang tepat, maka penilaian efisiensi perusahaan juga
tidak bisa diandalkan. Padahal seharusnya efisiensi operasional perusahaan dinilai dari
nilai output yang dihasilkan dibandingkan dengan nilai input (asset) yang digunakan.
Apabila menggunakan current cost yang menggunakan nilai saat ini, yang harusnya
nilai asset lebih rendah karena ada faktor depresiasi asset tersebut, maka tingkat
efisiensi perusahaan yang menggunakan current cost system lebih mencerminkan nilai
sebenarnya.
Dengan mengetahui secara spesifik komponen manakah yang mendominasi
jumlah profit perusahaan karena adanya pemisahan antara holding gains/losses dan
hasil operasional perusahaan, manager pun dapat membuat keputusan untuk masa
depan lebih baik.
Suatu perusahaan yang diuntungkan dengan naiknya harga atas suatu asset karena
perusahaan telah melakukan penghematan pengeluaran kas untuk membeli atau
acquire asset tersebut di masa lalu. Apabila menggunakan konsep opportunity cost,
maka penghematan yang telah didapat perusahaan merupakan opportunity gain.
Karena, apabila perusahaan membeli asset tersebut saat ini maka perusahaan harus
membayar lebih mahal. Sedangkan, perusahaan telah membeli asset tersebut dimasa
lalu dimana harganya lebih rendah dari harga beli asset yang sama saat ini.
Holding gains juga mencerminkan cost saving yang artinya adalah penghematan
yang didapat perusahaan. Karena apabila dibandingkan dengan perusahaan lain yang
akan membeli asset tersebut sekarang, mereka akan mengeluarkan uang yang lebih
untuk membayar kenaikan biaya belinya.
Argument lainnya ialah dengan memasukkan holding gains sebagai bagian dari
profit maka secara implisit terdapat informasi mengenai perubahan arus kas dimasa
depan yang terkait dengan asset tersebut. Harga yang meningkat mencerminkan
adanya refleksi kenaikan earning power nantinya.
Dianggap nilai residual antara nilai diakhir periode dengan nilai diawal investasi
merupakan pofit, sehingga holding gains merupakan bagian dari profit..
Perbedaanya tidak terletak pada bagaimana kedua paradigma ini menilai, namun
bagaimana kedua teori ini mendefinisikan capital dan bagaimana profit dihitung. Perbedaan
paling mendasar adalah apakah holding gain (loss) dihitung dalam profit. Mari kita lihat
ilustrasi berikut:
Sebuah perusahaan mempunyai modal $1000 pada tanggal 1 Januari, dan langsung
membelanjakan semua modalnya dengan membeli inventory sebanyak 100 buah dengan
biaya masing-masing $10. Di tanggal 31 Januari, ia menjual semua inventory-nya dengan
harga masing-masing $18. Pada hari penjualannya, current cost adalah $12 per satuannya.
Diasumsikan ia membagikan dividen di akhir tahun. Berikut adalah perhitungan profit
perusahaan menurut financial maupun physical view.
Financial Physical
*Holding gain = current cost cost of goods when purchased ($2 = $12 - $10)
Pendukung teori ini berpendapat bahwa capital adalah physical unit yang menggambarkan
kapabilitas operasi (operating capability) dari perusahaan.Dalam ilustrasi di atas, perusahaan
harus mempertahankan jumlah capital-nya tetap 100 buah. Namun, akibat kenaikan harga di
current cost sebanyak $2, maka perusahaan butuh tambahan $200 di akhir periode untuk
tetap mempertahankan capitalnya. (current cost cost of goods when purchased = additional
cost; $1200 - $1000 = $200).
Bagi mereka, $200 hanyalah sebuah capital maintenance adjustment, bukan holding gain.
Berikut ilustrasi untuk menjelaskan kasus tersebut:
Beginning capital $1000
Jika saja perusahaan membayar dividen sebanyak $800 (menurut perhitungan financial view),
maka perusahaan hanya memiliki $1000 di akhir periode, yang mana di bulan Februari hanya
dapat membeli 83 buah, akibatnya adalah naiknya harga. Disinilah, target perusahaan untuk
tetap mempertahankan inventory-nya sebanyak 100 buah, gagal.
Ada dua argumen mengapa kita harus memasukkan holding gain dalam profit, yaitu:
Cost savings
Memperlihatkan peningkatan pada future cashflow.
Secara konsep, profit berhubungan dengan net cash flow, baik itu realized atau expected.
Samuelson bingung mengapa cost saving adalah bagian dari profit padahal ia tidak termasuk
realized cash flow maupun expected cash flow. Bila Edwards dan Bell bersikeras untuk
memasukkan holding gain dalam profit, mengapa tidak menggunakan alternatif lain dalam
cost saving, misalnya membeli asset X daripada asset Y, atau meminjam uang saat bunganya
rendah?
Physical capital maintenance didasarkan pada teori alokasi sumber daya optimal
(optimum resource allocation) dan pencapaian rate of return dari input.
Sistem current cost didasarkan pada entity concept bahwa perusahaan harus
mempertahankan operating capabilitynya. Bila tidak ada perubahan teknologi, maka capital
maintenance mengharuskan jumlah net asset awal harus dipertahankan. Ini dilakukan dengan
cara menyesuaikan penggunaan resource dengan melihat current buying prices, dan
memastikan general purchasing value dari monetary items tetap. Ini untuk menentukan
seberapa besar harga maksimum yang disetujui perusahaan untuk membeli input dan
seberapa kecil harga minimum yang disetujui perusahaan untuk menjual output untuk
mempertahankan continuity.
Sistem ini juga didasarkan pada konsep ekonomi tentang analisis marginal di pasar
factor produksi. Perubahan permintaan dan penawaran di pasar, akan mempengaruhi harga di
pasar factor produksi. Maka itu, perusahaan harus menyesuaikan kegiatan operasionalnya
untuk memanfaatkan perubahan harga ini menjadi competitive advantage maupun
peningkatan efisiensi.
Logika ekonomi menyatakan bahwa efiesiensi optimum terjadi saat jumlah output
tertentu berhasil diproduksi dengan minimum opportunity cost. Misalnya, jika upah (variable
cost) meningkat, maka ia akan mengurangi pekerja. Bila harga pasar bangunan (fixed cost)
meningkat, maka ia akan menjual bangunannya dan pindah ke tempat yang cost nya lebih
rendah. Current buying price adalah cara termudah mengetahui opportunity cost di factor
maket.
Barang moneter dan non-moneter mempunyai efek dan risiko yang berbeda saat
inflasi. Barang moneter secara nominal tidak berubah saat terjadi inflasi, karena disajikan
dalam jumlah dolar yang tetap. Sedangkan barang non-moneter akan disesuaikan sesuai
dengan jumlah permintaan dan penawaran di pasar dalam bentuk nominal dolar.
Di Balance Sheet, asset non-moneter akan dinilai berdasarkan current costnya. Bisa
dengan menggunakan current buying prices, indeks, atau service potential. Untuk asset yang
terdepresiasi, value nya dihitung dengan mengurangi current cost dengan akumulasi
depresiasinya.
Saat barang non-moneter di restate, maka penyesuaian akan dicatat di Current Cost
Reserve di bagian equity dalam balance sheet. Namun, bila penurunanhasil restate
menyebabkan penurunan permanen dalam operating capability perusahaan, maka langsung
dibuat penyesuaian di lajur debit di income statement.
Aset moneter disajikan dalam jumlah saat mereka pertama dibeli dan mengalami
penurunan dalam purchasing power. Sedangkan kewajiban moneter dinilai dalam jumlah
yang diekspektasikan untuk dibayar, dan menunjukkan peningkatan di purchasing power.
Item moneter dibagi ke dalam 2 komponen; yang pertama adalah didasarkan oleh
entity concept dan semua monetary items yang bukan loan capital. Gain atau loss dari
monetary item harus dihitung sesuai dengan index dari perubahan current cost. Bila indeks
tertentu tidak cocok dipakai, bisa menggunakan general price index.
Current cost operating system didasarkan pada entity concept. Semua sumber
financing perusahaan baik yang utang, bonds, shareholders equity, membentuk dasar modal
perusahaan. Gain dan loss dari loan capital dihitung untuk melihat pemegang saham mana
yang diuntungkan saat perusahaan menggunakan long-term loan capital sebagai sumber
pendanaan. Karena perhitungan ini berdampak langsung pada pemegang saham, maka
perhitungannya harus menggunakan general price index. Jika monetary liabilities melebihi
monetary assetnya, maka kelebihannya akan digunakan untuk mendanai non-monetary asset
daan diperlakukan seperti loan capital.
1.2.3 NON MONETARY ASSET BOUGHT AND SOLD ON THE SAME MARKET
Saham dan marketable commodities lain seperti emas, perak, dan apapun yang di hold
dengan tujuan spekulatif, dijual dan dibeli dalam pasar yang sama. Monetary asset ini tidak
menambah operating capability maupun digunakan untuk kegiatan produksi. Mereka di-hold
untuk dijual lagi dengan tujuan untuk memperoleh gain. Namun, operating capability
perusahaan ditentukan dari kemampuan reinvenstment asset tersebut. Kemampuan ini tidak
berubah jika market price berbanding lurus dengan inflasi. Tetapi, jika nilai dari asset
meningkat lebih besar daripada inflasi, operating capablility juga akan meningkat.
Current cost accounting dianggap kurang karena kebanyakan current cost yang
digunakan tidak didasarkan pada transaksi yang sebenarnya dialami perusahaan. Objektivitas
adalah relatifnamun pertanyaannya, apakah current cost telah memenuhi standar minimun
objektivitas di akuntansi.
Untuk barang yang harga pasarnya mudah didapatkan, objektivitasnya akan mudah
juga diterima oleh para akuntan. Misalnya, current cost untuk raw material akan lebih
objektif, dibandingkan menghitung flow dengan metode LIFO dan FIFO. Karena untuk
perusahaan besar, hampir tidak mungkin untuk mengukur alur historical cost. Karena
kerumitan itulah dibuat sebuah assumed flow yang tidak sesuai dengan actual flow. Ini
bertentangan dengan current cost yang menilai ending inventory menurut harga berlaku, dan
cost of sales menurut current cost saat asset dijual.
Mencari tahu current cost dari non-current asset adalah hal yang sulit. Untuk
beberapa asset seperti kendaraan dan peralatan kantor, current cost bisa didapat dari dealer
barang bekas. Namun, untuk non current asset yang harga pasarnya sulit didapatkan, maka
appraisals dan penggunakan index number akan dilakukan. Ini menimbulkan penilaian
subjektif, dan banyak akuntan yang tidak dapat menerima kekurangan current cost disini.
2.1.3 TECHNOLOGICAL CHANGE
Current cost accounting dikritik akibat tidak memperhatikan faktor teknologi. Jika
operasional di masa mendatang akan menggunakan metode berbeda, maka operating profit
yang diperoleh di masa sekarang bukanlah indicator yang tepat untuk mengukur operating
profit di masa mendatang (Lemke).
Mesin baru juga akan mengubah biaya produksi, bahwa harga mesin yang lama harus
disesuaikan (Revsine). Ini karena terdapat cross-elasticity antara permintaan mesin baru dan
lama. Saat dilakukan adjustment, harga mesin lama akan mencerminkan perubahan teknologi,
sebab, saat mesin baru digunakan, harga mesin lama akan turun, yang mana itu menunjukkan
efisiensinya yang lebih rendah.
Para pengikut teori historical cost menentang current cost system karena dianggap
tidak mengikuti prinsip realisasi yang tradisional. Argument mereka adalah untuk melakukan
penilaian dalam kenaikan harga asset pada saat ini tidak mudah karena kesubjektifan
mengukur kenaikan harga dari asset tersebut pada saat ini. Karena asset yang dibeli adalah
dengan harga pada saat itu, sehingga harga yang berlaku saat ini untuk asset yang sama
dianggap tidak relevan untuk menilai profit yang diterima oleh perusahaan. Maka, cara
alternative untuk menilai asset dengan harga saat ini adalah dengan menggunakan harga
apabila perusahaan akan membeli asset baru yang sama untuk menggantikan asset lama
(replacement cost). Hanya dalam menentukan profit dari perbedaan harga ini, perlu dihitung
kembali biaya depresiasi yang ditanggung perusahaan, output yang dihasilkan oleh asset baru
tersebut, dan biaya maintenance dari asset baru. Tetapi, counterargument yang diberikan
adalah hasil profit yang diterima perusahaan dengan cara tersebut adalah nilai yang belum
terealisasi.
Taxes 73 73 73
Profit from 99 47 34
continuing
operations
Dari tabel diatas, ditunjukkan bahwa adanya perbedaan signifikan antara profit menurut
historical cost dan current cost. Menurut system Edward and Bell, profit US$ 99 menurut
perhitungan historical cost disebabkan oleh adanya unrealized holding gains. Hasil profit
tersebut sebenarnya ada dua komponen didalamnya, yaitu: 1) profit yang berasal dari
operations sejumlah US$ 34 milyar dan 2) profit yang berasal dari holding gains sebesar US$
65 milyar. Profit yang lebih rendah dengan menggunakan current cost disebabkan karena
nilai beban depresiasi lebih tinggi yang ditanggung oleh perusahaan.
Perbedaan profit yang cukup tinggi antara system historical cost dan current cost
akan dialami oleh perusahaan-perusahaan yang bernaung di industry dengan modal fisik yang
tinggi.
Para pendukung system exit price beranggapan bahwa cost merupakan opportunity
cost yang dihadapi perusahaan. Sehingga, seharusnya cost yang diperhitungkan adalah harga
jual asset yang telah dimiliki atau tetap melanjutkan penggunaan asset tersebut, bukan harga
beli asset baru karena asset tersebut sudah dimiliki oleh perusahaan. Jadi, harga asset baru
tersebut menjadi tidak relevan dan harga jual asset tersebutlah yang relevan (exit price).
Isu lainnya adalah depresiasi backlog yang merupakan tambahan beban depresiasi
disaat nilai suatu asset dinilai kembali karena dianggap bahwa beban depresiasi yang
sebelumnya tidak berlaku lagi. Hal ini akan menjadi isu karena perubahan pada beban
depresiasi tentu akan berpengaruh kepada nilai profit yang diperoleh oleh perusahaan.
Pendukung exit price juga berpendapat bahwa current cost system memiliki
ketidakseragaman sifat dari nilai-nilainya karena ada banyak metode yang digunakan pada
praktik penghitungan asset. Mereka juga menganggap bahwa informasi dari current cost
tidak relevan dengan keputusan untuk berinvestasi karena nilai tersebut tidak fokus pada
kemampuan perusahaan untuk menggunakan sumber daya keuangannya dalam beradaptasi
dengan lingkungannya.
Selain itu, Sterling juga berargumen bahwa profit berdasarkan modal fisik memiliki
kelemahan. Menurutnya, profit dari modal tersebut hanya signifikan apabila kondisi yang
perusahaan hadapi adalah kondisi yang secara terus-menerus menggantikan unit-unit yang
identik, kondisi dimana biaya terus naik, melakukan jual beli di pasar yang berbeda, dan
kondisi dimana perusahaan secara seluruhnya berinvestasi pada output yang bisa dihitung
secara fisik.
LO. 5 EXIT PRICE ACCOUNTING
2. OBJECTIVE OF ACCOUNTING
Tujuan utama dari Exit Price Accounting adalah membantu user untuk
membuat suatu keputusan yang adaptif. Perilaku adaptif ini berhubungan dengan
usaha perusahaan untuk terus melakukan penyesuaian dengan lingkungan bisnis agar
bisa terus bertahan di dalam bisnis tersebut. Asumsinya adalah dunia bisnis bersifat
dinamis dan bisnis harus beradaptasi agar tidak tertinggal. Semua pihak termasuk
investor tertarik pada cash equivalent bisnis tersebut.
Harga jual (selling price) dapat menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
masuk ke pasar dengan kas (asetnya) untuk tujuan beradaptasi dengan kondisi terkini.
Penunjang teori ini menyatakan bahwa menggunakan harga jual bukan disebabkan
ekspektasi bahwa perusahaan akan menjual asetnya, melainkan karena harga pasar
yang dapat menunjukkan cash equivalent dari aset perusahaan.
Ketika perusahaan akan membeli suatu non-current asset, mereka akan
mengurangi kemampuan mereka untuk beradaptasi. Perusahaan akan
mempertahankan non-current asset mereka apabila present value of future net cash
flow dari aset lebih besar dari present value of expected net cash flow dari investasi
alternatif yang seharga exit value dari aset tersebut. Ini merupakan konsep
opportunity cost yang juga memerlukan selling price sebagai dasar penilaian.
Kesimpulannya, perilaku adapatif perusahaan tidak dapat tercerminkan dengan
menggunakan harga beli atau historical cost dari aset melainkan dengan
menggunakan harga jual (selling price).
3.3 ADDITIVITY
Agar mendapatkan laporan keuangan yang berguna, semua elemen dalam
laporan keuangan tidak boleh dilaporkan pada skala yang berbeda. Kita tidak
dapat melaporkan liabilitas dalam historical cost, beberapa aset pada replacement
cost, aset lainnya pada present value, dan yang lainnya pada cash equivalent dan
tetap mendapatkan informasi yang berarti. Alasannya mudah, karena perbedaan
skala membuat elemen tersebut seharusnya tidak boleh digabungkan karena
perbedaan mendasar tersebut.
3.4 ALLOCATION
Historical and current cost accounting sangat bergantung pada alokasi biaya
untuk perhitungan aset dan penentuan profit. Salah satu keuntungan dari exit price
accounting adalah laporan keuangannya bersifat allocation-free. Income
Statement merupakan laporan arus masuk aset dan perubahan pada nilai akhir
(exit values) pada aset dan liabilitas perusahaan tersebut pada periode tertentu.
Profit menampilkan perubahan pada real purchasing power dari aset neto
perusahaan.
3.5 REALITY
Exit price accounting menampilkan informasi dari dunia nyata karena semua
elemennya merupakan nilai saat ini, pada harga nyata di pasar.
3.6 OBJECTIVITY
Menurut penelitian untuk objektifitas dan komparabilitas yang dilakukan pada
148 perusahaan, exit values memiliki dispersi (penyebaran atau deviasi) yang
lebih rendah daripada carrying amounts. Alasan utamanya adalah carrying
amount memerlukan estimasi terhadap umur aset dan nilai residunya.
4.2 ADDITIVITY
Nilai yang tertera untuk suatu aset atas dasar exit price belum tentu akan
menjadi nilai exercise aset tersebut. Alasannya adalah ketika memang perusahaan
dipaksa untuk melikuidasi asetnya, harga aset tersebut akan jatuh daripada harga
pasar. Contohnya adalah aset yang dijual cepat biasanya dijual dengan diskon
yang besar agar cepat terjual. Oleh karena itu, perhitungan antisipatif tidak dapat
dihindarkan untuk memastikan current cash equivalent yang sebenarnya. Hal
tersebut bertentangan dengan prinsip pada exit price dimana agar objektif,
perhitungan harus didasari atas kejadian di masa lalu dan sekarang. Maka,
penghitungan antisipatif tidak boleh dimasukkan.
Selain itu, exit price tidak memperhitungkan kemungkinan suatu aset dijual
sebagai satu paket. Terdapat beberapa aset yang ketika dijual terpisah tidak
semurah atau semahal ketika aset tersebut dijual sebagai satu kesatuan. Hal ini
bisa disebabkan oleh eksternalitas positif ataupun negative. Maka dari itu, exit
price belum tentu menggambarkan current cash equivalent yang sebenarnya
karena tidak memasukkan unsur tersebut.
Setiap barang memiliki value in use dan value in exchange. Perbedaan mengenai
value in use dan value in exchange pertama kali dikemukakan oleh Adam Smith. Adam Smith
mengatakan bahwa harga dan utilitas tidak dapat dihubungkan, karena harga berhubungan
dengan faktor produksi sedangkan utilitas merupakan perspektif pengguna barang tersebut.
Adam Smith mengatakan bahwa value in exchange suatu barang dapat jauh lebih tinggi dari
value in use -nya. Solomons mempertahankan pendapatnya bahwa nilai kegunaan bagi
pemilik barang merupakan pendekatan yang paling relevan, karena aset yang disimpan (tidak
dijual) oleh pemiliknya pasti memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai
jualnya (exit price). Hal ini berpengaruh besar untuk barang-barang yang jarang
diperdagangkan (non-marketable), karena untuk barang seperti ini bisa saja nilai jual barang
tersebut sangat murah karena tidak ada yang membutuhkan barang tersebut selain
pemiliknya, padahal bagi pemiliknya barang tersebut sangat bermanfaat dan memiliki nilai
utilitas tinggi.
Pada intinya, perusahaan dapat menilai suatu aset dari nilai kegunaan dan manfaat
yang diberikan barang tersebut kepada perusahaan ataupun dari nilai jual dan nilai sinergis
yang didapat barang tersebut. Keduanya memiliki kegunaan yang berbeda dalam
penggunaannya. Pendekatan value in use biasanya digunakan oleh perusahaan-perusahaan
berbasis produksi, dimana perusahaan seperti ini tidak terlalu mementingkan likuiditas dan
lebih fokus kepada arus kas di masa depan yang didapatkan dari proses produksi. Perusahaan
seperti ini biasanya memiliki aset-aset yang spesifik untuk produksinya sehingga harga jual
aset tersebut bisa saja sangat rendah. Yang diharapkan dari penggunaan pendekatan ini adalah
mendapatkan efisiensi dari penggunaan aset yang dimiliki. Pendekatan value in exhange
biasanya dari sudut pandang internal manajer suatu perusahaan yang membutuhkan likuiditas
tinggi (perusahaan yang memiliki hutang, perusahaan yang memperdagangkan tradeable
goods, dsb). Di perusahaan seperti ini, short-term performance lebih dipentingkan agar dapat
beradaptasi dengan kondisi pasar saat ini.
LO.7 A GLOBAL PERSPECTIVE AND INTERNATIONAL FINANCIAL
REPORTING STANDARDS
1. CURRENT COST
FASB tidak menjelaskan apakah peraturan mereka lebih ke sudut pandang modal
finansial atau sudut pandang modal fisik. Oleh karena itu, dalam Statement 33
perubahan current cost dengan historical cost lebih dikenal dengan penurunan atau
peningkatan current cost, bukan holding gains (losses).
1.3 Australia
Tahun 1976 Statement of Provisional Accounting Standards (PSA) tentang
Current cost Accounting dikeluarkan.Tahun 1978 peraturan ini diamandemen dan
disertai dengan petunjuk pelaksanaan sistem ini. Ada pendapat bahwa sistem ini akan
menghapuskan seluruh sistem historical cost di Australia. Namun, karena sistem ini
ternyata tidak signifikan secara material mempengaruhi dalam pelaporan keungan
serta adanya protes dari perusahaan dan orang pribadi maka dikeluarkanlah SAP 1
tahun 1983.Namun, Di SAP 1 ini dituliskan bahwa aturan untuk menyajikan data
pelengkap tentang current cost sebagai tambahan untuk data historis ini strongly
direkomendasikan dan bukan merupakan suatu requirement. Namun SAP 1 ini tidak
diterapkan secara umum di Australia.
Sejak tahun 2005, isu untuk menerapkan standar internasional di setiap negara
di dunia telah beredar dan IASB membuat peraturan agar penggunaan sistem fair
value measurement dilaksanakan dan sistemnya dibuat lebih umum daripada GAAP
local setiap negara. Melalui IAS 39 Financial Instruments: Recognition and
Measurement penggunaan sistem ini dapat dilakukan secara internasional.
2. HISTORICAL COST
Hal yang paling mendasar yang pasti kita ketahui adalah historical cost itu lebih
objektif dari current cost atau exit price. Current cost dan exit price mencerminka
jumlah yang ingin dibayar sedangkan historical cost mencerminkan harga yang telah
dibayar.Namun, banyak aplikasi dari penghitungan historical cost mengalami
berbagai perdebatan. Di bawah ini beberapa isu mengenai perhitungan historical
tersebut:
o Acquisition cost (current asset) sebagai historical cost bukan terdiri dari harga
yang tercantum dalam nota pembelian asset, tetapi juga termasuk biaya-biaya
yang diperlukan untuk menyiapkan barang tersebut hingga siap digunakan.
Terkait hal ini banyak perdebatan yang berkisar tentang biaya yang
seharusnya dikapitalisasi ke dalam acquisition cost dan masuk ke dalam asset
itu sendiri dan mana biaya yang menjadi beban saja. Sebagai contoh, biaya-
biaya untuk mempersiapkan inventory. Ada biaya seperti biaya penyimpanan,
biaya rehandling dan beberapa biaya yang berhubungan langsung dengan
pengadaan asset tersebut sebelum terjual. Berdasarkan IAS 2 hal ini harus
dikeluarkan dari kapitalisasi asset tersebut namun, US Committee menyatakan
bahwa biaya ini sungguh abnormal jika dikeluarkan dari kapitalisasi dan
dijadikan beban dalam periode tersebut. Padahal sebenarnya biaya tersebut
berhubungan langsung dengan pengadaan dari inventory itu.
o Isu besar akuntansi mengenai non-current asset tentang biaya mana yang
harusnya dimasukkan ke dalam cost atau dikapitalisasi dalam asset
o IAS 36 tentang Impairment of Assets (non-current) yang menjelaskan tentang
recoverable amount. Dalam IAS 36 recoverable amount adalah the higher of
its fair value less costs to sell and it value in use, where fair value lest cost to
sell is the amount obtainable from the sale of an asset or cash-generating unit
in an arms length transaction between knowledgeable, willing parties, less
the cost of disposal. Value in use is the present value of the future cash flows
expected to be derived from an asset or cahs-generating unit. Recoverable
amount nantinya akan dibandingkan dengan carrying amount dan selisih
inilah yang disebut sebagai impairment. Jumlah ini akan mempengaruhi dan
selalu memperbaiki melalui proses revaluasi nilai dari non-current asset.
o Antara perusahaan induk dan anak juga terdapat perdebatan mengenai
pencatatan asetnya. Hal ini terkait dengan induk yang memiliki control tapi
tidak 100% namun tidak mencatat peningkatan nilai dari asset anak secara
100% dan hanya sebesar porsi induk itu di perusahaan anak. Hal ini
membingungkan karena sebenarnya perusahaan induk sudah memiliki control
akan anak.