Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Dalam pembuatan kebijakan publik, diawali dengan proses perumusan kebijakan


publik. Perumusan kebijakan publik merupakan suatu hal yang kompleks. Diperlukan
pemahaman yang baik mengenai perumusan kebijakan publik, karena proses
pembuatan kebijakan seringkali dianggap sebagai suatu hal yang bersifat siklis
(Kurniawan dalam academia.edu, 2010). Perumusan kebijakan publik dapat terjadi pada
tatanan pemerintah tingkat pusat maupun daerah. Pada tingkat pemerintah daerah,
khusunya pemerintah provinsi, perumusan kebijakan publik melibatkan gubernur
maupun wakil gubernur sebagai eksekutif di tingkat provinsi.

Di Provinsi DKI Jakarta, salah satu kebijakan yang telah dilaksanakan dan
melalui perumusan kebijakan yakni kebijakan lelang jabatan camat dan lurah yang
dilakukan oleh gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Jabatan camat dan lurah yang
merupakan garis depan dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat perlu
diperbaiki karena merupakan lini depan dari birokrasi pelayanan publik di Indonesia.
Berbagai patologi birokrasi pelayanan publik yang terjadi di Indonesia menyebabkan
buruknya kinerja pelayan publik. Sebagai street level bureaucracy, jabatan camat dan
lurah merupakan jabatan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Oleh karena
itu diperlukan landasan kuat bagi jabatan tersebut untuk memberikan pelayanan publik
yang optimal (berkas.dpr.go.id, 2013).

Joko Widodo (Jokowi) mengadakan lelang posisi camat dan lurah mulai April
sampai Juni 2013 yang mana awal mula tercetusnya ide menerapkan sistem lelang
jabatan dilandasi oleh usulan dari masyarakat. Oleh karena itu, Jokowi merespons cepat
dan memasang target untuk melaksanakan terobosan tersebut. Lelang jabatan dilakukan
agar Pemerintah Provinsi Jakarta memiliki data Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Ibu
Kota. Adapun jabatan di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang dilelang berjumlah 311
jabatan dengan rincian 44 jabatan camat dan 267 jabatan lurah. Jabatan Sekretaris
Daerah (Sekda) juga termasuk jabatan yang dilelang. Kementerian Pemberdayaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) serta Lembaga Administrasi
Negara (LAN) juga melelang jabatan, terutama untuk Eselon I. Lelang jabatan juga
pernah dilakukan untuk memilih kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan kepala
LAN (berkas.dpr.go.id, 2013).

Lelang jabatan selalu diidentikan dengan barang atau jasa, sedangkan jabatan
bukan termasuk kategori barang dan jasa. Kemudian diperhalus dan diperjelas
maknanya dengan sebutan seleksi dan promosi jabatan publik secara terbuka. Lelang
jabatan yang dilakukan pada dasarnya seperti menyampaikan sebuah proposal kerja atau
di perusahaan biasanya disebut bussines plan, jadi ada ukuran performance. Di swasta
ada customer service index, di pemerintah nantinya ada government service index.
Lelang jabatan mempunyai landasan hukum berupa Surat Edaran (SE) Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) No. 16 Tahun
2012 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong secara Terbuka di
Lingkungan Instansi Pemerintah dan UU Pokok- Pokok Kepegawaian (berkas.dpr.go.id,
2013).
Terdapat pro dan kontra mengenai sistem lelang jabatan yang dicanangkan Jokowi
dalam proses pelaksanaannya. Ada pihak yang melihat seleksi jabatan menyebabkan
regenerasi di lingkungan PNS tidak berjalan dengan baik. Sebab, tidak ada lagi
keteraturan bagi PNS yang mengantri untuk mendapatkan kesempatan jabatan eselon III
dan IV. Adanya tuntutan para lurah yang sedang menjabat dan menolak diseleksi
karena harus menjalani banyak mekanisme untuk mengemban amanah lurah atau camat.
Sedangkan menurut pengamat hukum tata negara Universitas Khairun Ternate,
Margarito, kebijakan seleksi jabatan secara terbuka yang dilakukan Pemprov DKI
Jakarta memang belum dijabarkan secara terperinci dalam peraturan dan perundang-
undangan yang ada. Hal itu membuat kalangan tertentu yang melihat mekanisme ini
secara hukum tentu sangat bertabrakan. Akan tetapi seleksi jabatan camat dan lurah ini
memiliki sebuah substansi besar perihal transparansi dalam sebuah pemerintahan daerah
atau birokrasi. Lelang jabatan camat dan lurah merupakan salah satu bentuk upaya yang
dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam meningkatkan pelayanan publik di masyarakat.
Proses lelang jabatan tidak sekadar mengganti pejabat publik, tetapi juga berusaha
memperbaiki sistem seleksi jabatan publik di tingkat daerah (berkas.dpr.go.id, 2013).
BAB II

KERANGKA TEORI

Perumusan Kebijakan Publik

Perumusan kebijakan publik ialah suatu hal yang kompleks (Kurniawan, 2010).
Diperlukan pemahaman yang baik mengenai perumusan kebijakan publik, karena
proses pembuatan kebijakan seringkali dianggap sebagai suatu hal yang bersifat siklis
(Kurniawan, 2010). Dye (2005, dalam Kurniawan, 2010) dan Anderson (2006, dalam
Kurniawan 2010) pun menjelaskan sebuah kerangka untuk memahami bagaimana
perumusan kebijakan publik tersebut.

Menurut Thomas R. Dye (2005, dalam Kurniawan, 2010) perumusan kebijakan


publik merupakan sebuah proses aktivitas yang dilakukan dalam sistem politik. Proses
tersebut mencakup identifikasi masalah, penetapan agenda, perumusan kebijakan,
legitimasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Pada setiap
kegiatan yang berada dalam proses tersebut, melibatkan berbagai pelaku atau aktor
berserta aktivitas mereka.

Gambar 2.1 Perumusan Kebijakan Publik Menurut Thomas R. Dye (2005, dalam
Kurniawan 2010)

Pada tahap identifikasi masalah, ada berbagai hal yang dilakukan. Para aktor
yang terlibat dapat melakukan publikasi mengenai masalah sosial, dan juga
memberitahukan adanya saran atau tuntutan untuk pemerintah. Identifikasi masalah ini
dapat kita ambil dari berbagai tuntutan mengenai masalah sosial dari media massa,
kelompok kepentingan, inisiatif masyarakat, atau juga opini publik.

Tahap kedua dalam melakukan perumusan kebijakan publik adalah penetapan


agenda atau agenda setting. Penetapan agenda adalah bagaimana pemerintah
menentukan masalah apa saja yang akan diangkat untuk diselesaikan atau diputuskan.
Dalam penetapan agenda ini, aktor yang terlibat adalah pemerintah, termasuk presiden
dan kongres, beberapa orang dalam pemerintahan yang terkait dengan masalah
kebijakan yang akan dirumuskan, serta meda massa.

Setelah melakukan penetapan agenda, langkah selanjutnya adalah perumusan


kebijakan. Dalam perumusan kebijakan ini, presiden atau lembaga eksekutif, kongres,
dan berbagai kelompok kepentingan ikut serta dalam membuat proposal kebijakan guna
mengatasi permasalahan yang ada. Proposal kebijakan ini tentu dibuat berdasarkan
permasalahan apa yang akan diangkat.

Proposal kebijakan yang telah dibuat akan memasuki tahap berikutnya yaitu
legitimasi kebijakan. Tahap ini memungkinkan proposal kebijakan tersebut untuk dipilih
yaitu manakah proposal yang akan ditetapkan menjadi peraturan. Kemudian, proposal
tersebut juga akan diputuskan konstitusionalnya sehingga menjadi legal sebagai
kebijakan publik. Pada tahap ini, aktor yang terlibat adalah presiden, kelompok
kepentingan, kongres, dan pengadilan.

Sebuah kebijakan baru pun telah lahir. Kemudian, kebijakan tersebut akan
diimplementasikan kepada masyarakat. Menurut Dye (2005, dalam Kurniawan 2010)
contoh dari bentuk implementasi kebijakan adalah pengorganisasian badan atau
departemen, pemberian layanan untuk masyarakat, atau penetapan pajak. Implementasi
kebijakan dilakukan oleh presiden dan staf kepresidenan serta departemen.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kebijakan merupakan sebuah proses yang


bersifat siklus. Oleh karena itu, implementasi bukanlah tahap terakhir dalam sebuah
proses kebijakan. Tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah evaluasi. Evaluasi
dilakukan guna melihat dampak kebijakan tersebut bagi masyarakat. Selain itu, evaluasi
dilakukan untuk melihat output dari kebijakan itu dan juga sebagai sarana untuk
perbaikan. Dalam evaluasi, aktor yang terlibat adalah departemen dan badan, komite
pengawasan kongres, media massa, dan para ahli lainnya atau para pemikir.

Anderson (2006, dalam Kurniawan 2010) juga mengungkapkan pemikiran


mengenai proses perumusan kebijakan publik yang sedikit berbeda dengan Dye.
Menurut Anderson, perumusan kebijakan dilakukan dalam lima tahap yakni, agenda
kebijakan, perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan
evaluasi kebijakan.
Gambar 2.2 Perumusan Kebijakan Publik Menurut Anderson (2006, dalam Kurniawan
2010)

Pemikiran Anderson dan Dye memiliki perbedaan pada identifikasi masalah


(Kurniawan, 2010). Anderson berpendapat bahwa identifikasi masalah dan penetapan
agenda merupakan hal yang sama. Sedangkan Dye membedakan kedua hal tersebut.

Berikut akan dijelaskan mengenai tahapan pembuatan kebijakan publik oleh


Anderson,

Agenda kebijakan bagi Anderson adalah pemetaan sejumlah masalah yang


mendapat perhatian serius bagi pemerintah dari berbagai masalah yang ada.
Perumusan kebijakan merupakan sebuah aktifitas yakni mengembangkan
berbagai usul mengenai tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi
permasalahan publik yang ada pada agenda kebijakan.
Adopsi kebijakan ialah mengembangkan dukungan pada proposal kebijakan
sehingga proposal tersebut dapat disahkan.
Implemetasi kebijakan adalah proses pengaplikasian kebijakan melalui
administrasi pemerintah.
Evaluasi kebijakan merupakan proses yang terakhir. Artinya, evaluasi ini
merupakan upaya dari pemerintah dalam penentuan sebuah kebijakan tersebut
apakah berjalan secara efektif atau tidak serta apa alasan yang
melatarbelakanginya.

Menurut Anderson (2006, 122-127), terdapat tiga teori utama yang dapat
digunakan dalam proses pembuatan sebuah kebijakan yakni: teori rasional-
komprehensif; teori inkremental; serta teori mixed scanning. Teori rasional-
komprehensif adalah teori yang intinya mengarahkan agar pembuatan sebuah kebijakan
publik dilakukan secara rasional-komprehensif dengan mempelajari permasalahan dan
alternatif kebijakan secara memadai. Sementara itu, teori inkremental adalah teori yang
intinya tidak melakukan perbandingan terhadap permasalahan dan alternatif serta lebih
memberikan deskripsi mengenai cara yang dapat diambil dalam membuat kebijakan.
Adapun teori mixed scanning adalah teori yang intinya menggabungkan antara teori
rasional-komprehensif dengan teori inkremental.

Sementara itu, menyangkut kriteria yang dapat digunakan untuk mempengaruhi


pemilihan terhadap suatu kebijakan tertentu, Anderson (2006, 127-137) mengemukakan
enam kriteria yang harusdipertimbangkan dalam memilih kebijakan, yakni: (1) nilai-
nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi,individu, kebijakan maupun ideologi; (2)
afiliasi partai politik; (3) kepentingan konstituen; (4) opinipublik; (5) penghormatan
terhadap pihak lain; serta (6) aturan kebijakan.

Tahap perumusan kebijakan melibatkan aktivitas identifikasi seperangkat


alternatif kebijakan untuk mengatasi sebuah permasalahan serta mempersempit
seperangkat alternative tersebut sebagai persiapan dalam penentuan kebijakan akhir
(Sidney, dalam Fischer, 2007 : 112 ). Hal ini didukung oleh Anderson (2006: 103-109 )
yang mengungkapkan bahwa perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan
usulan akan tindakan yang terkait dan dapat diterima untuk menangani permasalahan
publik. Adapun proses perumusan kebijakan meliputi:

1. Perumusan Masalah: membuat pohon masalah yang berakar dari masalah


publik. Mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
2. Perumusan Sasaran: Menganalisis sasaran permasalahan dari hasil perumusan
masalah.
3. Perumusan Alternatif: Merumuskan berbagai alternatif penyelesaian masalah
beserta konsekuensinya.
4. Perumusan Model: meliputi proses politik, ekonomi, administrasi, teknologi,
sosial, budaya, agama, dan Hankam.
5. Perumusan Kriteria: Mengidentifikasi kriteria yang harus ada dalam kebijakan
yang akan dibuat.
6. Penilaian Alternatif: Penimbangan alternatif-alternatif kebijakan yang ada atas
manfaat dan resiko dari masing-masing alternatife kebijakan tersebut.
7. Pemilihan Kebijakan: Penetapan kebijakan yang dianggap sebagai kebijakan
yang tepat untuk penyelesaian masalah yang ada di masyarakat.
BAB III

PEMBAHASAN

Provinsi DKI Jakarta memiliki Gubernur baru untuk periode 2012 2017. Hal
ini berdasarkan hasil pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang diselenggarakan tahun 2012
sebanyak dua putaran menjadikan Jokowi - Ahok menjadi Gubernur Wakil Gubernur
DKI Jakarta periode 2012 2017. Dwi tunggal ini membawa visi Jakarta baru yang
lebih manusiawi bagi warganya. Semangat baru, harapan baru, gebrakan yang akan
dibawa, program program yang dijanjikan berhasil menarik warga DKI untuk memilih
Jokowi Ahok.

Jakarta memiliki tiga persoalan yang sering dibahas oleh masyarakat dan media,
yaitu banjir, kemacetan, dan pemukiman. Tiga hal tersebut menjadi fokus yang harus
diselesaikan oleh Jokowi Ahok. Bagi penulis, tidak hanya tiga persoalan tersebut yang
harus menjadi fokus utama, pembenahan birokrasi juga harus menjadi fokus program.
Pembenahan birokrasi penting karena segala hal tata kelola pemerintahan, administrasi,
perizinan dimulai dari birokrasi. Birokrasi yang buruk akan berdampak buruk bagi
seluruh aktifitas lainnya, begitu pula sebaliknya.

Salah satu kebijakan Jokowi Ahok dalam sektor pembenahan birokrasi ini
ialah promosi terbuka jabatan Lurah dan Camat. Promosi terbuka atau yang lebih sering
kita dengar sebagai lelang jabatan menjadi terobosan baru yang dilakukan untuk
melakukan pembenahan birokrasi DKI Jakarta dari sisi perekrutan pegawai. Perekrutan
pegawai menjadi permasalahan dengan melihat kualitas aparatur birokrasi yang saat ini
sedang menjabat. Penyakit penyakit birokrasi seperti ketidakdisiplinan aparatur,
ketidakprofesionalan, posisi yang tidak sesuai fungsi, tidak netral dalam hal politik
ditemui di struktur birokrasi DKI.

Perekrutan menjadi titik awal dari berjalannya sebuah sistem birokrasi.


Perekrutan yang baik, jujur, terbuka, adil akan menghasilkan aparatur yang sesuai
dengan kebutuhan birokrasi di DKI. Melalui promosi terbuka jabatan Lurah camat
diharapkan kinerja kualitas pelayanan kecamatan dan kelurahan dapat meningkat karena
telah diisi oleh orang-orang yang berkompeten dan bebas dari pengaruh politik di
dalamnya. Pelayanan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga dapat berjalan
lebih baik sesuai dengan reformasi birokrasi saat ini.

Dalam proses pembuatan kebijakan publik, termasuk pembuatan kebijakan


promosi terbuka, harus memperhatikan tahapan-tahapan proses pembuatan kebijakan,
tahapan yang paling penting berada di awal pembuatan kebijakan, yaitu perumusan
kebijakan. Pada sebuah proses perumusan kebijakan publik terdapat opini opini yang
berkembang di masyarakat, media massa yang ditangkap oleh pemerintah kemudian
dibahas oleh eksekutif hingga menjadi sebuah kebijakan publik. Perumusan kebijakan
publik ini dipengaruhi oleh keberadaan aktor, value, dan kepentingan kepentingan yang
mewarnai pengambilan keputusan.

Dalam kebijakan ini, aktor utama dalam penerapan kebijakan promosi jabatan
terbuka ini ialah Jokowi Ahok dibantu dengan seluruh jajaran di lingkungan Pemprov
DKI Jakarta. Jokowi Ahok membawa value total pelayanan kepada masyarakat . Hal
tersebut diyakini sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik
harus dipenuhi yang baik dan mereka merasa selama ini kebutuhan tersebut belum
terpenuhi. Value perubahan yang dibawa inilah yang kemudian membawa alternatif
kebijakan ini kepada tahapan selanjutnya.

Pada tahapan selanjutnya, kebijakan promosi terbuka menemui banyak


hambatan dan tantangan yang berasal dari internal birokrasi maupun dari masyarakat
luas. Hambatan dan tanangan ini lumrah adanya karena banyak pihak yang
berkepentingan dalam kebijakan ini. Hambatan dari internal ialah ketakutan bagi pihak
pihak yang merasa kenyamanan dan kepentingannya akan terganggu akibat adanya
penerapan kebijakan ini. Argumentasi yang diberikan ialah dengan diterapkannya
kebijakan ini, maka proses regenerasi aparatur akan terganggu karena tidak ada aturan
bagi PNS untuk mengantri dalam proses karir jabatan yang dijalani.

Pada kasus DKI, Jokowi Ahok dikenal sebagai pemimpin daerah yang sering
blusukan, baik pada saat kampanye maupun pada saat sudah terpilih, menangkap
aspirasi aspirasi dari masyarakat mengenai kurang optimalnya pelayanan yang diberikan
pada kantor kelurahan dan kecamatan di lingkungan Provinsi DKI Jakarta. Selanjutnya,
dibahas dalam biro internal kepegawaian DKI Jakarta mengenai dasar hukum, teknis,
dan administratif.

Kebijakan promosi terbuka ini tidak mengarah langsung kepada masyarakat,


tetapi pembenahannya dilakukan terhadap aparatur pemerintahan yang akan langsung
berhadapan dengan masyarakat, yaitu Lurah dan Camat. Garda terdepan inilah yang
harus diperbaiki agar sesuai dengan tuntutan masyarakat di era reformasi ini.
Masyarakat akan menilai setelah kebijakan ini diimplementasikan dan membuahkan
hasil berupa pelayanan terhadap masyarakat.

Kebijakan promosi jabatan terbuka ini dilakukan secara rasional menurut


metode analisis kebijakan Thomas R Dye. Kebijakan ini dilakukan secara rasional
dalam rangka menjawab permasalahan birokrasi di lingkungan Provinsi DKI Jakarta
serta memenuhi kebutuhan warga yang membutuhkan dan menginginkan kondisi
birokrasi yang benar benar melayani warga. Warga menginginkan dalam keperluannya
yang berurusan dengan birokrasi pemerintahan, urusannya tidak sesulit mengurai
benang kusut.

Landasan peraturan yang dijadikan dasar Pemprov melakukan kebijakan ini


ialah Surat Edaran Menteri PANRB No. 16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengisian
Jabatan Struktural yang Lowong secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah.
Pada kenyataannya, landasan ini menimbulkan penolakan akan dilakukan kebijakan.
Pihak kontra menyampaikan dengan landasan hukum tersebut, promosi jabatan terbuka
hanya diadakan jika ada posisi jabatan yang kosong dan atau lowong. Hal ini berarti
promosi jabatan terbuka yang dilaksanakan menjadi cacat hukum dan tidak memiliki
landasan hukum yang jelas.

Anggota DPRD DKI Jakarta pun menanyakan tentang legalitas dari kebijakan
yang baru pertama kali diterapkan di DKI Jakarta. Selanjutnya, Gubernur DKI Jakarta
menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi DKI Jakarta No. 19 Tahun 2013
tentang Seleksi Terbuka Camat dan Lurah. Dalam Pergub tersebut, seluruh camat dan
lurah yang sedang menjabat saat ini diharuskan mengikuti seleksi ini. PerGub ini
menjadi landasan hukum bagi kebijakan promosi jabatan terbuka.

Terdapat perdebatan antara pihak pro dan kontra sebelum akhirnya Pemprov
DKI Jakarta memutuskan untuk menerapkan kebijakan promosi jabatan terbuka untuk
Lurah dan Camat. Ketidaksamaan pandangan terjadi manakala membahas mengenai hal
yang substansial, yaitu dasar hukum. Pihak kontra menganggap kebijakan tersebut
bertentangan dengan UU 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pasal 21 ayat 3 dan pasal
22 ayat 3 dijelaskan mengenai tata aturan pengangkatan dan pemberhentian Lurah dan
Camat. Pengangkatan dan pemberhentian Camat dan wakil camat dilakukan atas usul
walikota atau bupati sesuai dengan ketentuan perundang undangan. Sedangkan,
pengangkatan dan pemberhentian Lurah dan wakil Lurah dilakukan oleh walikota atau
bupati berdasarkan pendelegasian wewenang Gubernur sesuai dengan ketentuan
perundang undangan.

PemProv DKI Jakarta telah memiliki tekad yang kuat dan bulat untuk
membenahi dirinya sendiri, yaitu sektor birokrasi di level terdepan. Penolakan
penolakan yang pada walnya terjadi, kemudian dikompromikan untuk mengambil jalan
tengah yang diusahakan semaksimal mungkin untuk meminimalisir kerugian kerugian
di berbagai pihak. Masyarakat tentu setuju terhadap kebijakan yang berpihak kepada
masyarakat. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah, pemerintah tetap harus
memperhatikan opini atau kepentingan kepentingan dari pihak yang bertentangan
serta mengajak berbicara agar ditemukan jalan tengah yang mengakomodir kepentingan
kedua belah pihak. Proses merangkul pihak pihak yang kontra tersebut merupakan
upaya untuk menyukseskan implementasi kebijakan agar tidak ditemui hambatan yang
berarti.
BAB IV

KESIMPULAN

Kesimpulan

Dari berbagai macam permasalahan yang ada di jakarta, pembenahan birokrasi


menjadi salah satu yang dijadikan sebagai fokus program pada masa kepemimpinan
Jokowi - Ahok. Pembenahan birokrasi penting karena segala hal tata kelola
pemerintahan, administrasi, perizinan dimulai dari birokrasi. Promosi terbuka jabatan
Lurah dan Camat menjadi salah satu program yang dilaksanakan pada masa
kepemimpinan Jokowi - Ahok guna membenahi birokrasi DKI Jakarta.

Program promosi jabatan terbuka di bentuk oleh Jokowi - Ahok dilaksanakan


guna menyiasati penyakit-penyakit yang seringkali terdapat dalam birokrasi seperti
ketidakdisiplinan aparatur, ketidakprofesionalan, posisi yang tidak sesuai fungsi, tidak
netral dalam hal politik, selain itu sistem perekrutan pada periode sebelum
kepemimpinan Jokowi - Ahok dinilai kurang baik, masih banyak unsur Nepotisme.
Kenijakan promosi terbuka dibentuk atas dasar banyaknya opini negatif yang
berkembang di media dan masyarakat mengenai buruknya birokrasi di DKI Jakarta.
Kebijakan promosi terbuka ini tidak mengarah langsung kepada masyarakat, tetapi
pembenahannya dilakukan terhadap aparatur pemerintahan yang akan langsung
berhadapan dengan masyarakat, yaitu Lurah dan Camat. Kebijakan promosi terbuka
diharapkan dapat mendukung kinerja dan keprofesionalitasan pegawai menjadi lebih
baik, karena memberi kesempatan yang selebar-lebarnya kepada masyarakat untuk
dapat masuk ke dalam struktural kepemerintahan berdasarkan kemampuan dan
komitmen, selain itu perekrutan dilaksanakan berdasarkan merit system dimana kriteria
dan indikator penilaian kinerja menjadi unsur terpenting.

Saran

Dalam melaksanakan program baru tentunya banyak hal yang harus


diperhatikan, jangan sampai kesalahan yang sama pada sistem perekrutan sebelumnya
terulang lagi pada program baru yang dicanangkan. Pengawasan dalam pelaksanaan
sistem rekruitmen sesuai SOP perlu dilaksanakan secara merata dan menyeluruh
kepada setiap aspek yang terkait dalam program promosi jabatan terbuka, agar tidak
terjadi lagi penyakit-penyakit pada birokrasi yang telah disebutkan sebelumnya, karena
perekruitan sudah berbasis kompetensi dan komitmen bukan lagi karena adanya faktor
keakraban atau nepotisme.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Anderson, J. E. 2006. Public Policy Making. Boston : Houghton Mifflin Company.

Fischer, F. G. 2007. Handbook of Public Policy Analysis : Theory, Politics and


Methods. Boca Raton : CRC Press.

Website :

Kurniawan, Teguh. 2010. Perumusan Kebijakan Publik : Sumbang Saran Pemikiran dari
Berbagai Perspektif teori yang ada. 27 November 2013 pukul 19.09 WIB
www.academia.edu/617983/Perumusan_Kebijakan_Publik_Sumbang_Saran_Pem
ikiran_dari_Berbagai_Perspektif_Teori_yang_ada

Analisis Kebijakan Publik. 2009. 29 November 2013 pukul 17.42 WIB


http://asropi.files.wordpress.com/2009/02/analisis-kebijakan-publik-bahan-ajar-
diklatpim-iii1.pdf.

Sendhikasari, Dewi. 2013. Lelang Jabatan Camat dan Lurah di DKI Jakarta. 30
November 2013, pukul 20.37 WIB
http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-V-9-I-P3DI-
Mei-2013-38.pdf
UNIVERSITAS INDONESIA

PERUMUSAN KEBIJAKAN PROMOSI TERBUKA JABATAN


CAMAT & LURAH DI PROVINSI DKI JAKARTA

DITULIS OLEH :

ADITYA M MUGIRAHARJO FAUZAN ALAM


1106007060 1106083126

DERRY DANUR WAFI H ISTININGSIH


1006713226 1106014665

DIBA AMALIA H KLARA MUSTIKA


1106011953 1106058641

DINDA RIZA A NUR AMRIDA S


1106003296 1106058654

DWI RUSIANA K WIDYA YULIANTIKA M


1106016046 1106002053

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

DEPOK

2013

Anda mungkin juga menyukai