Anda di halaman 1dari 10

EKOLOGI TUMBUHAN

CAGAR ALAM GUNUNG BURANGRANG

BANDUNG

Disusun Oleh :

Hilyatuz Zahro 1500008155

PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA

2017

A. Letak Geografis, luas kawasan & iklim topografi


Letak astronomis kawasan cagar alam Burangrang berada di antara 107o 317
-107o 3256 BT dan 6o 4145 - 6o 4318 LS. Pemerintahan berada pada empat
wilayah kecamatan dalam dua kabupaten, yaitu Kecamatan Sagala Herang
Kabupaten Subang, Kecamatan Wanayasa, Bojong, dan Darangdan Kabupaten
Purwakarta (Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi
Jawa Barat, 2000).
Kawasan cagar alam Burangrang, yang juga mencakup kawasan Situ Lembang,
berada di ketinggian 1000 1500 mdpl (Departemen Kehutanan dan Perkebunan
Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat, 2000). Pada umumnya, keadaan topografi
kawasan tersebut berbukit dengan variasi kelerengan mulai landai (15%),
bergelombang (50%), dan curam berbatu (35%)

B. Sejarah, penduduk & budaya


Menurut (Haryoto Kunto, 2009) Bandung kota dan sekitarnya, pada masa
lampau merupakan danau yang dikenal dengan sebutan Danau Bandung. Keadaan
yang sekarang terlihat merupakan pedataran yang biasa disebut dengan istilah
Cekungan Bandung. Daerah sekitar cekungan tersebut, diperkirakan dahulu
merupakan tepian danau sehingga banyak diperoleh sisa-sisa aktivitas manusia
masa lampau.
Dataran tinggi Bandung yang dikelilingi oleh deretan gunung api mulai dari
arah utara timur selatan, dan setelah gunung api gamping disebelah baratnya
menampilakan suatu pemandangan alam yang indah dan merupakan daya penarik
yang besar baik bagi penduduk Bandung itu sendiri maupun bagi banyak
perjalanan perjalanann dan ekskursi ekskursi atau darmawisata dari
pengunjung domestic maupun mancanegara. Tampilan yang ada saat ini, tentunya
tidak terjadi dalam waktu singkat, tetapi terbangun oleh proses panjang dan waktu
yang relative lama untuk ukuran usia manusia.
Untuk mengetahui sejarah geologi Bandung yang didasarkan pada analisis Van
Bemmeleen, kita perlu mundur kedalam ke zaman Tersier kala
Miosen kurang lebih 25-30 juta tahun yang lalu. Pada saat itu, pesisir utara Jawa
Purba letaknya kira-kira sekitar Pangalengan, jadi sebelah utara Pangalengan
termasuk dataran tinggi Bandung saat ini, ketika itu masuk daftar lautan.
Perbukitan kapur di daerah Padalarang saat ini adalah salah satu buktinya. Jaman
ini dikenal dengan zaman evolusioner atau jaman tenang. Jaman berkutnya
adalah jaman Revolusioner, tepatnya kala Pliosen sekitar 2-14 juta tahun yang

1
lalu, yang dicirikan oleh adanya gerakan memeras dan mengangkat
batuan, sehingga membentuk pegunungan-pegunungan yang muncul di atas
permukaan laut. Dengan demikian pesisir utara Jawa Purba bergeser kea rah utara.
Gerakan melipat ini disertai dengan gerakan vulkanik sehingga terbentuk
beberapa gunung api. Sebagian sisa dari gunung api pra kwarter ini sekarang
masih dapat disaksikan puncak-puncak yang tajam disekitar Kota Cimahi,
seperti : G.Selacau, G. Bohong, G. Padalasih, dll. Yang mengeluarkan batuan
dasit, yaitu batuan lelehan yang banyak mengandung silikat (SiO2). Kira-kira
pada zaman kwarter tua, kala Pleistosen atau sekitar 2 juta tahun yang lalu,
aktivitas vulkanik berpindah ke bagian utara ke tempat gunung Tangkuban Parahu
sekarang. Sesungguhnya G.Tangkuban Parahu saat itu belum lahir, yang ada
hanyalah Gunung Purba Sunda dengan anak gunungnya seperti G.Burangrang,
G.Bukit Tunggul, G.Plasari, dan G. Sangak yang sekarang dapat disaksikan
disebelah Barat dan Timur G. Tangkuban Parahu.
Dengan data dan bukti yang ada di lapangan saat ini, para ahli dapat menduga
atau merekonstruksi bahwa G. Sunda Purba pada waktu itu memiliki ketinggian
kira-kira 2000 3000 meter di atas permukaan laut dan dengan kaki kurang lebih
20 Km. Gunung Burangrang dapat dipastikan berumur lebih tua daripada Gunung
Tangkuban Parahu, hal ini dapat dilihat dari ciri telah banyaknya sayatan erosi
yang menghasilkan lembah-lembah pada lereng Burangrang, sementara pada G.
Tangkuban Parahu masih mulus.
Pada suatu saat Gungung Sunda meletus dengan dahsyat, sehingga pada
puncaknya terbentuk kaldera yang sangat luas. Dindinf kaldera tersebut saat ini
masih dapat dilihat di Situ Lembang (sebuah danau yang terdapat diantara G.
Tangkuban Parahu dan G. Burangrang) yang terletak pada ketinggian kurang lebih
1568 m dpl. Tinggi dinding kaldera sendiri antara 200-300 meter di atas danau.
Peristiwa ledakan ini disusul pula oleh terjadinya gerak patahan yang disebabkan
oleh adanya kekosongan pada lubang kepundan sehingga keseimbangan
terganggu. Patahan ini dikenal dengan nama Patahan Lembang memanjang arah
Barat-Timur sejauh 20 Km, bertepatan dengan letak dataran Lembang sekarang.
Bagian Selatan patahan ini relative pada posisinya sementara bagian utaranya
relatif turun sedalam 450 meter. Saat ini contoh pemotongan G. Sunda purba iniu

2
dapat disaksikan cukup jelas terutama bila kita berada di Lembang melihat ke arah
selatan nampak batu gantung sebelah timur Maribaya dan bukit Batu disebelah
timur ovservation Boscha segera setelah patahan Lembang terjadi, pada zaman
Kwarter muda atau sekitar 11000 tahun yang lalu. Gunung Tangkuban Parahu
lahir dari sisi timur kaldera Gunung Sunda (Erupsi Fase A), material
letusanya mengisi patahan Lembang. Erupsi fase B Gunung Tangkuban Parahu
terjadi sekitar 6000 tahun yang lalu, material letusanya menyumbat sungai Ci
Tarum purba di sekitar Padalarang. Maka Danau Bandung Purba atau Situ
Hyang. terbentuk. Selanjutnya proses penggenangan berlangsung lama. Saat itu
diduga Bnadung sudah dihuni manusia, terbukti dengan ditemukanya artefak dari
batu obsidian yang berupa mata anak panah, mata tombak, belati dan kapak
genggam di beberapa tempat disepanjang garis kontur + 725 m dpl. Penemuan
terbanyak di sekitar Dago Pakar. Menurut ahli konon kata Pakar bermula dari
kata pakarang yang dalam bahasa Sunda berarti perkakas (T.Bachtiar, 2002).
Selanjutnya dipaparkan bahwa pada masa itu daerah tersebut diduga merupakan
pusat pembuatan senjata dari batu kaca tersebut, yang bahan bakunya diambil
dari Gunung Kendan didaerah antara Cicalengka-Nagreg.
Pada saat Bandung tergenang air dan genangan tersebut bersentuhan dengan
daerah perbukitan kapur yang terletak di sebelah Barat bandung, sejak itulah batu
kapur itu ad dalam proses pelarutan. Sehingga danau Bandung itu mendapat
penyayatan melalui celah celah batu kapur, akhirnya terbentuklah terowongan
bawah tanah sebagai sungai bawah tanah yang dikenal dengan sebutan Sang
Hyang Tikoro. Sisa sungai bawah tanh tersebut saat ini masih dapat disaksikan
didekat instalasi
Pembangkit Listrik Tenaga Air (Power House) Saguling didaerah
Rajamandala yang juga memanfaatkan aliran sungai Citarum tersebut. Dengan
terterobosnya bukit kapur oleh aliran Sungai Citarum tersebut maka Danau
Bandung purba menjadi kering hingga saat sekarang ini, dan bekas danau inilah
terletak kota Bandung sekarang dengan pesawahan di sebelah timur-selatanya
yang sangat subur.
Berkaitan dengan kehidupan dikawasan perbukitan kapur di sebelah Barat
Bandung (Padalarang-Rajamandala) tersebut kelompok riset cekungan

3
Bandung baru - baru ini tepatnya pada tahun 2000, telah berhasil menemukan
bukti-bukti berupa artefak dan fosil-fosil binatang tertentu yang mengarah pada
sebuah kesimpulan bahwa Gua Pawon dan kemungkinan gua-gua lain disekitar ini
sangat memungkinkan tempat tinggal manusia Sunda Purba. Sebelumnya yang
ditemukan adalah situs-situs dari arterfak dari batu obsidian yang terbesar pada
sepanjang haris kontur 725 m dpl, yang diyakini merupakan tepi danau Bandung
Purba belum pernah ditemukan bukti-bukti adanay tempat tinggal purba.
Erupsi Gunung Tangkuban Parahu pada fase C mengalirkan lava di lemba-
lembah, ada yang ke selatan kemudian membentuk air terjun seperti curug Dago,
ke Barat membentuk curug Bubruk, curug Cimahi, curug Panganten, dank e utara
menghasilkan curug Cijalu (Subang). Masih dalam kala ini, terjadi pula
rentetan letusan pada Guung Tangkuban Parahu denga arah Barat-Timur sehingga
terbentuklah kawah Pangguyangan Badak, Kawah Ratu, Kawah Upas, dan kawah
Domas. Kejadian inilah yang sesungguhnya telah memebentuk menyerupai
perahu yang terbalik.

C. Keanekaragaman hayati dan ekosistem


Tumbuhan obat dan fungsinya telah ditemukan sejak sekitar tahun 4000
sebelum masehi (Triastuti, 2006). Menurut Anonim (2007), dikatakan bahwa pada
tahun 2700 sebelum masehi telah ditemukan sekitar 365 jenis tumbuhan obat dan
fungsinya. Saat ini, jenis tumbuhan obat yang telah ditemukan semakin banyak.
Lebih dari 35.000 spesies tumbuhan dunia yang memiliki nilai medis telah
ditemukan. Selain itu, sekitar 7000 senyawa kimiawi medis didapat dari tumbuhan
(Ismael, 2001).
Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi
Jawa Barat (2000), Indonesia merupakan salah satu diantara negara yang memiliki
keanekaragaman hayati terkaya (Mega Biodiversity) bersama-sama Brazil, Zaire,
dan Meksiko. Indonesia memiliki keanekaragaman tumbuhan berbunga (10%),
mamalia (12%), reptilia dan amphibia (16%), burung (17%), dan ikan (25%) dari
yang dimiliki dunia.
Keanekaragaman tumbuhan terpelihara melalui cagar alam (Departemen
Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat, 2000). Daerah

4
Situ Lembang, yang masih termasuk dalam wilayah cagar alam Burangrang
adalah salah satu contohnya.
Salah satu kegiatan pengelolaan potensi kawasan yaitu kegiatan inventarisasi
dan identifikasi potensi kawasan seperti tumbuhan, hewan, dan ekosistem
(Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat,
2000). Hal ini sejalan dengan keunggulan tumbuhan obat untuk mengisi RPPK
dan sebagai alternatif pengobatan. Inventarisasi dan identifikasi tumbuhan
survival, termasuk tumbuhan obat, telah dilakukan di kawasan Situ Lembang,
tetapi hanya terbatas pada Blok Cicaruk dan Blok Legok Linda, padahal Blok
Legok Jero juga termasuk dari salah satu blok yang membagi daerah Situ
Lembang. Identifikasi tumbuhan di Blok Legok Jero perlu dilakukan untuk
melengkapi informasi tentang tumbuhan obat di daerah Situ Lembang.

D. Satwa & flora endemik


Jenis Fauna di kawasan ini adalah macan tutul (Panthera pardus), babi hutan
(Sus vitasus), kucing hutan (Felis bengalensis), trenggiling (Manis javanica), kera
ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Trachypitecus auratus), owa
(Hylobates moloch), surili (Hylobates comata), biawak (Varanus salvator), ular
welang (Bungarus candidu), ayam hutan (Gallus gallus), elang hitam (Ichnaetus
malayensis), raja udang meninting (Alcedo meninting) dan raja udang
(Halcyoncloris palmeri) (hal. 6).
Flora Vegetasi kawasan cagar alam burangrang merupakan hutan tropik
dimana sebagian besar tersusun oleh tumbuh tumbuhan berkayu, juga
dilengkapi dengan berbagai jenis liyana dan ephipyt. Jenis jenis pohon yang ada
diantaranya : Puspa (Schima walichii), Pasang (Quercus sp), Huru (Litsea
angulata), Taritin (Parinarium corymbosh), Gelam (Melalueca leucadendron),
Saninten (Castanopsi argentea), Jamuju (Podocarpus imbricatus), Rasamala
(Altingia ekscelsa). Penyebaran jenis vegetasi ini pada umumnya terdapat pada
ketinggian 1.000 1.400 mdpl, khususnya pada formasi hutan primer. Sedangkan
pada hutan sekunder hanya terdapat beberapa vegetasi pionir antara lain
Hamerang, Mara, Kibanen dan lain lain.

E. Wisata yang telah & dikembangkan

5
Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi
Jawa Barat (2000), daerah cagar alam Burangrang yang juga mencakup kawasan
Situ Lembang, termasuk dalam Zona Montana.
Wana Wisata Curug Cijalu berada dalam kawasan cagar alam Gunung
Burangrang termasuk KPH Bandung Utara. Kawasan wisata ini berada pada
ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Menurut warga sekitar, jika hari
cerah dari ketinggian kawasan tersebut kita bisa melihat kota Subang, kota
Purwakarta dan Waduk Jatiluhur.
Di kawasan ini masih terdapat 2 curug lainnya, yaitu curug Putri / Perempuan
dan curug Cilemper. Curug Putri berada 100 meter dari curug Cijalu. Curug ini
dahulu dinamakan curug Cibuntu, namun sekarang lebih dikenal dengan curug
Putri / Perempuan.
Curug lainnya bernama curug Cilemper. Curug ini berada sekitar 500 meter
dari curug Cijalu. Curug Cilemper lebih tinggi dari curug Cijalu yaitu sekitar 100
meter, debit airnya pun lebih besar. Namun karena letaknya yang tersembunyi dan
jalan menuju curug ini cukup terjal sehingga tak banyak pengunjung yang sampai
ke curug ini.

F. Pengelolaan SDM, partner organisasi, aturan


Gunung Burangrang Memiliki ketinggian sekitar 2.050 meter diatas
permukaan laut (mdpl) yang juga termasuk dalam satu rangkaian gunung
tangkuban perahu dan gunung bukit tunggul. Rangkaian pegunungan ini
merupakan sisa-sisa dari letusan dahsyat gunung sunda purba yang pernah terjadi
pada zaman prasejarah.
Saat ini wilayah gunung burangrang telah dikelola oleh PT PERHUTANI
dimana sebagian kawasannya telah dijadikan pula sebagai lokasi latihan militer
oleh KOPASUS. Untuk itu untuk masuk kawasan gunung burangrang, anda harus
memiliki izin terlebih dahulu dari pos penjagaan.
Aturan yang berlaku di Cagar Alam Gunung Burangrang, diantaranya :
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman Jenis
tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya (SDAH & E).

6
G. Akses masuk kawasan, transportasi akomodasi
Gunung Burangrang termasuk dalam wilayah Desa kertawangi, Kecamatan
Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Terdapat tiba buah jalur pendakian yang bisa
digunakan untuk menuju ke puncaknya, yaitu melalui jalur komando, jalur legok
haji dan jalur pangheotan.
Jika melewati jalur Komando, banyak tersedia angkutan umum yang bisa anda
gunakan. Dari Jakarta, anda dapat menggunakan bus jurusan Terminal Leuwi
Panjang, Bandung, ongkosnya sekitar Rp 30.000*). Dari Terminal Leuwi Panjang
selanjutnya perjalanan menuju Terminal pasar atas Cimahi dengan menggunakan
angkot, ongkosnya sekitar Rp 5.000*). Dari Terminal pasar atas Cimahi
kemudian berganti angkutan lagi yang menuju Desa Kertawangi dan turun di
pertigaan komando, ongkosnya sekitar Rp 4.000*). Dari pertigaan komando ini
anda dapat berjalan kaki menuju pos perizinan yang dapat ditempuh dalam waktu
sekitar 30 menit atau jika tidak ingin capek anda dapat naik ojek.

H. Foto, denah lokasi dan daftar pustaka

7
8
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat


2000
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandung. 2009
Haryoto, Kunto. 2009. Wajah Bandoeng Tempo Doleo. Bandung: PT Ganesha
Bandung
T. Bahtiar. 2002. Kenali Sekarang Sebelum Semuanya Hilang. Bandung :
Masyarakat Geografi Indonesia.
http://dishut.jabarprov.go.id/index.php?
mod=manageMenu&idMenuKiri=473&idMenu=501 diakses tanggal : 7 April
2017 13:42

Anda mungkin juga menyukai