SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3
SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3
SESAK NAPAS
WRAP UP
KELOMPOK B-6
SESAK NAPAS
Seorang anak perempuan berusia 8 tahun dibawa ibunya berobat ke UGD RS YARSI
dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari yang lalu. Sesak napas tidak disertai demam, tidak ada
batuk pilek. Sesak napas dirasakan makin bertambah berat, sehingga pasien lebih suka duduk
untuk mengurangi sesak dan hanya bisa berbicara dalam penggalan kalimat. Sesak mulai
dirasakan pasien setelah makan coklat. Keluhan seperti ini sering dialami pasien, terakhi pasien
menderita sesak 1 bulan yang lalu. Sesak akan hilang bila pasien dibawa berobat ke RS.
Pada pemeriksaan fisik : pasien tampak sesak, frekuensi napas 42x/menit, frekuensi
denyut jantung 92x/menit, suhu dalam batas normal. Terdapat retraksi suprasternal dan sela iga,
terdengar wheezing di kedua lapang paru, tidak disertai ronkhi, bunyi jantung dalam batas
normal. Dokter mendiagnosis pasien dengan asthma episodic sering serangan sedang. Pasien
diberi nebulisasi untuk mengurangi sesak. Dokter menganjurkan pasien untuk menghindari
alergen dan menggunakan inhaler untuk mengendalikan serangan serta melakukan uji fungsi
paru.
Kata - Kata Sulit
Retraksi suprasternal : kontraksi yang terjadi pada otot perut & iga yang tertarik ke
dalam saat bernapas.
Wheezing : bunyi seperti bersiul, kontinu, yang durasinya lebih lama akibat
udara melewati jalan napas yang menyempit / tersumbat sebagian
Ronkhi : suara yang dihasilkan saat udara melewati jalan napas yang penuh
cairan/mucus. terdengar saat inspirasi maupun ekspirasi
Uji fungsi paru : untuk memberdakan antara penyakit paru obstruktif dan restriktif
, serta untuk mengukur tingkat gangguan paru
DISKUSI
Pertanyaan
Asma adalah kesulitan bernapas karena ada penyempitan saluran bernapas yang
disebabkan oleh alergen dan faktor resiko seperti genetic dan jenis kelamin. Sesak napas
terjadi karena penyempitan saluran napas sehingga pasien mengalami kesulitan untuk
ekspirasi dan berbicara. Pertolongan pertamanya menggunakan inhaler sebagai
bronkodilator.
Sasaran Belajar :
Definisi
Menurut WHO, asma adalah keadaan kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat
penyempitan lumen saluran nafas sebagai respons terhadap suatu stimuli yang tidak menyebabkan
penyempitan serupa pada kebanyakan orang.
Menurut Pedoman Nasional Asma Anak 2004, asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten
dengan kharakteristik sebagai berikut : timbul secara episodic, cenderung pada malam/ dini hari
(nocturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta terdapat riwyat asma atau atopi lain pada pasien
dan/ atau keluarganya.
Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada
anak). Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak
berusia 6- 7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2% (Kartasasmita,
2002)
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003),
prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah
anak 4,2 juta), dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta).
Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki.
WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan
berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100
ribu populasi. Kematian anak akibat asma jarang.
Etiologi
Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktorlingkungan dan
faktor genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut Strachan dan Cook (1998)
dalam Eder et al(2006) pada kajian meta analisis yang dijalankan menyimpulkan bahwa
orang tua yang merokok merupakan penyebab utama terjadinya mengi dan asma pada anak.
Menurut Corne et al (2002) paparan terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada
asma. Infeksi virus terutamanya rhinovirus yang menyebabkan simptom infeksi salur
pernafasan bagian atas memicu kepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma
bagi semua peringkat usia (Eder et al, 2006). Terdapat juga teori yang menyatakan bahwa
paparan lebih awal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan untuk anak
tersebut diserang asma (Cockrill et al, 2008). Selain faktor linkungan, faktor genetik juga
turut berpengaruh terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan
IgE diturunkan dalam keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen
sering mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan bahwa
faktor
genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cock rill et al, 2008). Menurut Tatum dan Shapiro
(2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang menyatakan bahwa udara yang tercemar
berperan dalam mengurangkan fungsi paru, mencetuskan eksaserbasi asma seterusnya
meningkatkan populasi pasien yang dirawatdi rumah sakit. Mekanisme patogenik yang
menyebabkan bronkokonstriksi adalah disebabkan alergen yang memicu kepada serangan
asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen outdoor sebagai penyebab namun alergen indoor
turut memainkan peran seperti house dust mites, hewan peliharaan dan kecoa. Apabila pasien
asma terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel di sel mast. Sel mast yang
telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator-mediator ini yang akan menyebabkan
bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga membolehkan
antigen menempel ke IgE-spesifik yang mempunyai sel mast. Antara mediator yang paling
utama dalam implikasi terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien
(Cockrill et al, 2008).
Faktor resiko :
a. Jenis Kelamin
Anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan. Pada orang
dewasa rasio ini berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun.
b. Usia
Asma pertama kali timbul pada usia muda. 25% anak asma presisten mendapat mengi pada usia
<6bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun.
c. Riwayat atopi
Sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama kehidupan
merupakan predictor utama timbulnya asma.
d. Lingkunngan
Adanya alergen di lingkungan anak meningkatkan risiko penyakit asma. Alergen yang sering
mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit binatang piaraan, tungau debu rumah,
jamur dan kecoa
e. Ras
Prevalens asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.
f. Asap rokok
Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak terpajan
rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam kandungan, umumnya
berlangsung terus setelah anak dilahirkan.
h. Infeksi respiratorik
Infeksi virus berulang yang tidak menyebabkan infeksi respiratorik dapat memberikan anak proteksi
terhadap asma.
Klasifikasi
1. Intermiten
2. Persisten ringan
3. Persisten sedang
4. persisten berat
Pembagian yang dibuat Phelan dkk (dikutip dari Konsensus Pediatri Internasiolnal III tahun 1998) :
3. Asma persisten
5% anak asma
Seringnya episode akut
Mengi pada aktivitas ringan
Diantara interval gejala dibutuhkan agonis-2 >3x/minggu
Terapi profilaksis sangat dibutuhkan
Patofisiologi
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan, terutama
sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai
faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita
asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma
persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma
nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
1. Inflamasi akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan,
alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
a. Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik
Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 1015 menit.
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast
tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator seperti histamin protease
dan newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan platelet activating factor
yang menyebabkan kontraksi otot polos, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut
dapat hilang segera, baik secara spontan maupun dengan bronkodilator seperti
simpatomimetik. Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis
H1 dan H2 sebelumnya. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid
beberapa saat sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari sebelumnya
dapat mencegah reaksi ini.
b. Reaksi fase lambat dan lama
Reaksi ini timbul antara 69 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta
aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis reaksi yang tergantung pada
IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil 48 jam setelah rangsangan. Reaksi
lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin
dan tromboksan mungkin juga mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat
dapat dihambat oleh pemberian kromiglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.
2. Inflamasi kronik
Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi
di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti limfosit T,
eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada otopsi
ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan sumbatan
bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan
dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear terjadi akibat factor
kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF yang dihasilkan oleh sel
mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan
mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kortikosteroid
biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini.
Airway Remodeling
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti
matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic growth factor,
protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur
yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran retikular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat
inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan
gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan
jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat
dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.
Patologi Anatomi
Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah :
a. Mukus penyumbat dalam bronki,
b. Inflasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang nyata, dan
c. Kadang-kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang berhubungan
dengan aspergilosis.
Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang terdiri dari sel yang mengalami deskuamasi.
Musin sering mengandung komponen seroprotein yang timbul dari reaksi peradangan hebat
dalam submukosa. Dinding bronki tampak lebih tebal dari biasa. Apabila eksudat supuratif
terdapat dalam lumen, maka superinfeksi dan bronkitis harus diwaspadai.
Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya otot
polos bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerah-daerah yang tidak
mengandung epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema subepitel. Pertambahan
jumlah limfosit peradangan yang agak banyak, terutama eosinofil terdapat pada mukosa yang
edema.
PATOFISIOLOGI
Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan mereka.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang
terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk
sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis
dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru
mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakan membran
mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf
vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alergi ketika ujung saraf pada
jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan,
jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung
menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas
diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor - dan -adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki.
Ketika reseptor adrenergik dirangsang , terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika
reseptor -adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor - dan -adrenergik
dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor -alfa
mengakibatkan penurunan c-AMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi respon beta- mengakibatkan
peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan b-adrenergik terjadi pada individu
dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan
konstriksi otot polos.
Manifestasi Klinis
DIAGNOSIS
Anamnesa
Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang
tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.Semua keluhan biasanya bersifat episodic dan
reversible. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi
yang lain.
PemeriksaanFisik
Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman
dalam posisi duduk
Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi
Paru
Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong kebawah
Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang
Perkusi : Hipersonor
Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri
B2 (Blood)
Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan hemodinamik
seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
B3 (Brain)
Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya oliguria sebagai
tanda awal gejala syok.
B5 (Bowel)
Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat merangsang
serangan asma. Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan
pemenuhan kebutuhan nutrisi karena pada pasien sesak napas terjadi kekurangan. Hal
ini terjadi karena dispnea saat makan dan kecemasan klien.
B6 (Bone)
Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas karena
merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan kasar,kering,
kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, besisik, pruritis, eksim dan adanya bekas
dermatitis. Pada rambut kaji kelembaban dan kusam. Adanya wheezing, sesak
danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas olahraga, pekerjaan dan aktivitas lainnya.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkhus
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug
Pemeriksaan Darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, atau asidosis
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan
4. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling
cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1
atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon
aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang
berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang
lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya
hanya singkat, dengan waktu pengamatan antara satu sampai dua jam.
Gambaran Klinis Status Asmatikus
Penderita tampak sakit berat dan sianosis
Sesak nafas, bicara terputus-putus
Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita sudah
jatuh dalam dehidrasi berat
Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun
dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam
koma
DIAGNOSIS BANDING
Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun
paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi
pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari,
lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium
lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya
tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada
pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak
hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya
hiperinflasi.
Gagal Jantung Kiri
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai
paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak,
tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
kardiomegali dan udem paru.
Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis
dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat
dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal
jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.
Komplikasi
o Pneumothorax
Keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura, sehingga paru
paru kesulitan untuk mengembang.
o Pneumodiastinum
Adanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.
o Emfisema
Pembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus terminal,
disertai dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis yang jelas.
o Atelektasis
pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan saluran udara
(bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
o Bronchitis
Peradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus.
o Gagal nafas
o Perubahan bentuk thorax
Thorax membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen terlihat
diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, hilus kiri dan kanan
bertambah. Pada asma berat dapat terjadi bentuk dada burung (pektus
karinatum/ pigeon chest) dan tampak sulkus Harrison.
Pencegahan
1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma
(orangtua asma), dengan cara :
a. Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa perkembangan
bayi/anak
b. Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu
asupan janin
c. Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
d. Diet hipoalergenik ibu menyusui
2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah
tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan
terutama tungau debu rumah.
3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah
menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal
dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children) mendapatkan bahwa
pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE
spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian
asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini
bukan sebagai pengendali asma (controller).
Prognosis
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10
juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas
kesehatan terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan
pada 5080% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa
kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 710 tahun setelah diagnosis pertama
bervariasi dari 2678% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang
menderita ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma
penyakit yang berat relatif berat (6 19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 7080% asma
anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.
Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala
asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka
obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat
pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan
untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan
demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi
gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan pelan yaitu 25 % setip penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 8 minggu.
Obat obat Pereda (Reliever)
1. Bronkodilator
a. Short-acting 2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada
anak.Reseptor 2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel
inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas.
Obat ini menstimulasi reseptor 2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi
cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan
terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan
permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast.
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada 2 agonis
selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor 1, 2, dan sehingga
menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia,
tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada
jantung dan CNS.
2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 0,5
mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dicapai dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak
dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 4 semprotan tiap 3 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 10 semprotan tiap 1 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini
obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping
takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB
setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan
dengan 0,1 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan 2 agonist inhalasi, tapi karena
efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan
pada serangan asma berat dengan kombinasi 2 agonist dan anticholinergick.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor
adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5.Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah
pemberian oral, rectal, atau parenteral.Pemberian teofilin IM harus dihindarkan
karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam
lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi
derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati
plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati,
sebagian besar dieksresi bersama urin.
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
1 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
1 9 tahun : 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam
> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang
lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia
1. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida.Kombinasi dengan nebulisasi 2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1
cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas
6 tahun 8 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 10 tetes. Efek sampingnya adalah
kekeringan atau rasa tidak enak dimulut.Antikolinergik inhalasi tidak
direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang
cukup lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid
hirupan sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai
perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 24 jam. Preparat oral
yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 2
mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali sehari selama 3 5 kali sehari.
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja
sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis
eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan
paru dan menurunkan permeabilitas vascular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan
paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid
minimal.Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4
sampai 6 jam.Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 6 jam. Dosis
dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 8
jam.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan
penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan
asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan
inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi
frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan
kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi
bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah
terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down
regulation receptor 2 agonist.Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari
(respire anak).Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan
sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut
Terapi Suportif
a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker atau
headbox.Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse
oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan
pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol dan
metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan
peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki
oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen
menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan
cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin.
Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi peningkatan sekresi
Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan
pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru.
Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut (orofaring),
jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang
lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk
anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler,
Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas
gelas atau botol minuman atau menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah
dipotong untuk anak kecil dan bayi.
Kurangnya pengertian mengenai cara-cara pengobatan yang benar akan mengakibatkan asma
salalu kambuh. Jika pengobatannya dilakukan secara dini, benar dan teratur maka serangan asma
akan dapat ditekan seminimal mungkin.
Pada prinsipnya tata cara pengobatan asma dibagi atas:
1. Pengobatan Asma Jangka Pendek
2. Pengobatan Asma Jagka Panjang
Tatalaksana Serangan
1. Tatalaksana di rumah
Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin. Bila
tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih cepat dan efek samping
sistemiknya minimal. Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu MDI
dengan atau tanpa spacer atau nebulizer.
Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan terjadi
perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.
2. Tatalaksana di klinik
Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya.
Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat
ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit.
Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus
berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat
secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.
Jika menurut penilaian awal penderita datang dengan serangan berat yang jelas, langsung
berikan nebulisasi beta agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Penderita serangan berat
dengan disertai dehidrasi dan asodosis metabolik dapat mengalami takifilaksis atau respons yang
kurang terhadap nebulisasi beta agonis. Penderita seperti ini cukup sekali dinebulisasi kemudian
secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena selain diatasi masalah dehidrasi dan
asidosisnya.
Sedangkan bila dengan sekali nebulisasi penderita menunjukkan respons yang baik, berati
serangannya ringan. Penderita diobservasi selama 2 jam, jika respons tersebut bertahan,
penderita dapat dipulangkan. Penderita dapat diresepkan obat beta agonis, baik hirup maupun
oral, yang diberikan tiap 4 sampai 6 jam. Jika pencetus serngannya adalah infeksi virus, dapat
ditambahkan steroid oral jangka pendek, 3 sampai 5 hari. Penderita kemudian dianjurkan untuk
kontrol dalam waktu 24 sampai 48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum
serngan penderita sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di
klinik. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembal, penderita harus segera dibawa
ke rumah sakit.
Tujuan pengobatannya untuk mengatasi penyempitan jalan napas, mengatasi sembab selaput
lendir jalan napas, dan mengatasi produksi dahak yang berlebihan. Macam obatnya adalah:
Obat jenis ini untuk melemaskan otot polos pada saluran napas dan dikenal sebagai obat
bronkodilator. Ada 3 golongan besar obat ini, yaitu:
- Golongan Xantin, misalnya Ephedrine HCl (zat aktif dalam Neo Napacin)
- Golongan Simpatomimetika
- Golongan Antikolinergik
Walaupun secara legal hanya jenis obat Ephedrine HCl saja yang dapat diperoleh penderita
tanpa resep dokter (takaran < 25 mg), namun tidak tertutup kemungkinannya penderita
memperoleh obat anti asma yang lain.
B. Obat untuk mengatasi sembab selaput lendir jalan napas
Obat jenis ini termasuk kelompok kortikosteroid. Meskipun efek sampingnya cukup
berbahaya (bila pemakaiannya tak terkontrol), namun cukup potensial untuk mengatasi
sembab pada bagian tubuh manusia termasuk pada saluran napas. Atau dapat juga dipakai
kelompok Kromolin.
C. Obat untuk mengatasi produksi dahak yang berlebihan.
Jenis ini tidak ada dan tidak diperlukan. Yang terbaik adalah usaha untuk mengencerkan
dahak yang kental tersebut dan mengeluarkannya dari jalan napas dengan refleks batuk.
Oleh karenanya penderita asma yang mengalami ini dianjurkan untuk minum yang banyak.
Namun tak menutup kemungkinan diberikan obat jenis lain, seperti Ambroxol atau Carbo
Cystein untuk membantu.
Pengobatan Asma Jangka Panjang
Pengobatan diberikan setelah serangan asma merendah, karena tujuan pengobatan ini untuk
pencegahan serangan asma.
Pengobatan asma diberikan dalam jangka waktu yang lama, bisa berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun, dan harus diberikan secara teratur. Penghentian pemakaian obat ditentukan oleh
dokter yang merawat.
Pengobatan ini lazimnya disebut sebagai immunoterapi, adalah suatu sistem pengobatan yang
diterapkan pada penderita asma/pilek alergi dengan cara menyuntikkan bahan alergi terhadap
penderita alergi yang dosisnya dinaikkan makin tinggi secara bertahap dan diharapkan dapat
menghilangkan kepekaannya terhadap bahan tersebut (desentisasi) atau mengurangi
kepekaannya (hiposentisisasi).
Dalam mengatasi dan mencegah asma paling tidak meminimalisir terjadinya serangan asma
secara tiba-tiba, kita perlu mengetahui bagaimana tata pelaksanaan dalam menanggani asma.
Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak
Klinik / IGD
(sesuai tabel 3)
Tatalaksana awal
nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit
(2)
Serangan berat
(nebulisasi 3x,
Serangan ringan Serangan sedang
(nebulisasi 1-3x, respons baik, (nebulisasi 1-3x, respons buruk)
gejala hilang)
respons parsial) sejak awal berikan O2
observasi 2 jam saat / di luar nebulisasi
jika efek bertahan, boleh
berikan oksigen
(3) pasang jalur parenteral
pulang
nilai kembali derajat nilai ulang klinisnya, jika
jika gejala timbul lagi, sesuai dengan serangan
serangan, jika sesuai dgn
berat, rawat di Ruang
*) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis
Tabel Jenis Obat Asma
Prokaterol IDT
IDT : Inhalasi dosis terukur = Metered dose inhaler/MDI, dapat digunakan bersama dengan spacer
Solution: Larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebuliser
Oral : Dapat berbentuk sirup, tablet
Injeksi : Dapat untuk penggunaan subkutan, im dan iv
Terapi Inhalasi
Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui
hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping yang
sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral, karena dosis yang sangat kecil
dibandingkan jenis lainnya.
Cara memberikan obat melalui hirupan tersebut dikenal sebagai terapi inhalasi. Secara garis
besar ada 3 macam alat/jenis terapi inhalasi, yaitu nebulizer, MDI (metered dose inhaler), dan
DPI (dry powder inhaler). Jenis DPI yang paling sering digunakan adalah turbuhaler. Terapi
inhalasi memiliki keuntungan dibandingkan dengan cara oral (diminum) atau disuntik, yaitu
langsung ke organ sasaran, awitan kerja lebih singkat, dosis obat lebih kecil, dan efek samping
juga lebih kecil.
Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal , obat yang diberikan per inhalasi harus dapat
mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya dalam bentuk
aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi (penumpukan) obat dalam mulut
(orofaring), sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan, dan mengurangi efek sistemik.
Deposisi (penyimpanan) dalam paru pun lebih baik, sehingga didapatkan efek terapetik
(pengobatan) yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler)
seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler memerlukan inspirasi
(upaya menarik/menghirup napas) yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia
sekolah.
Pemberian aerosol yang idel adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal,
secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas
atas, serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal tersebut
tidak dapat sepenuhnya tercapai.
Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan yang cukup
kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih besar, penggunaan obat
serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan MDI.
Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih konstan.
Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.
Nebulizer
Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus-
menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan, atau gelombang ultrasonik.
Aerosol yang terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece atau sungkup.
Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi (pelebaran
bronkus) yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Hasil pengobatan dengan nebulizer
lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer yang digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan
partikel aerosol terus-menerus, ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada
saat penderita melakukan inhalasi, sehingga obat tidak banyak terbuang
Kortikosteroid Inhalasi
Kortikosteroid terdapat dalam beberapa bentuk sediaan antara lain oral, parenteral, dan inhalasi.
Ditemukannya kortikosteroid yang larut lemak (lipid-soluble) seperti beclomethasone,
budesonide, flunisolide, fluticasone, and triamcinolone, memungkinkan untuk mengantarkan
kortikosteroid ini ke saluran pernafasan dengan absorbsi sistemik yang minim. Pemberian
kortikosteroid secara inhalasi memiliki keuntungan yaitu diberikan dalam dosis kecil secara
langsung ke saluran pernafasan (efek lokal), sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemik
yang serius. Biasanya, jika penggunaan secara inhalasi tidak mencukupi barulah kortikosteroid
diberikan secara oral, atau diberikan bersama dengan obat lain (kombinasi, misalnya dengan
bronkodilator). Kortikosteroid inhalasi tidak dapat menyembuhkan asma. Pada kebanyakan
pasien, asma akan kembali kambuh beberapa minggu setelah berhenti menggunakan
kortikosteroid inhalasi, walaupun pasien telah menggunakan kortikosteroid inhalasi dengan dosis
tinggi selama 2 tahun atau lebih. Kortikosteroid inhalasi tunggal juga tidak efektif untuk
pertolongan pertama pada serangan akut yang parah.
Farmokinetik
Kortikosteroid bekerja dengan memblok enzim fosfolipase-A2, sehingga menghambat
pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan leukotrien. Selain itu berfungsi
mengurangi sekresi mukus dan menghambat proses peradangan. Kortikosteroid tidak dapat
merelaksasi otot polos jalan nafas secara langsung tetapi dengan jalan mengurangi reaktifitas otot
polos disekitar saluran nafas, meningkatkan sirkulasi jalan nafas, dan mengurangi frekuensi
keparahan asma jika digunakan secara teratur.Kortikosteroid inhalasi secara teratur digunakan
untuk mengontrol dan mencegah gejala asma. Kontraindikasi bagi pasien yang hipersensitifitas
terhadap kortikosteroid. Efek samping kortikosteroid berkisar dari rendah, parah, sampai
mematikan. Hal ini tergantung dari rute, dosis, dan frekuensi pemberiannya. Efek samping pada
pemberian kortikosteroid oral lebih besar daripada pemberian inhalasi. Pada pemberian secara
oral dapat menimbulkan katarak, osteoporosis, menghambat pertumbuhan, berefek pada susunan
saraf pusat dan gangguan mental, serta meningkatkan resiko terkena infeksi. Kortikosteroid
inhalasi secara umum lebih aman, karena efek samping yang timbul seringkali bersifat lokal
seperti candidiasis (infeksi karena jamur candida) di sekitar mulut, dysphonia (kesulitan
berbicara), sakit tenggorokan, iritasi tenggorokan, dan batuk. Efek samping ini dapat dihindari
dengan berkumur setelah menggunakan sediaan inhalasi. Efek samping sistemik dapat terjadi
pada penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yaitu pertumbuhan yang terhambat pada
anak-anak, osteoporosis, dan karatak.
MITOS TENTANG OBAT HIRUPAN PADA ASMA ANAK, 5 TIDAK DALAM TERAPI
INHALASI
Anonim, 1998, Buku Kedokteran Dorlan edisi 25, Penerbit ECG, Jakarta
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia.
Price, Shirley Lorane M. Wilson. 1998. Patofisiologi Konsp Klinis Proses Penyakit edisi 4.
Jakarta : ECG.
Rahajoe N, dkk. 2004. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi. Jakarta : PP IDAI
Suardi, Adi Utomo, dkk. 2012. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : IDAI
Sudoyo, Aru W,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi 2004
http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=199741315235
http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html
http://medicastore.com/asma/pengobatan_asma.php
http://www.who.int/