Anda di halaman 1dari 6

Putramu bukanlah putramu..

Mereka adalah putra-putri kehidupan yang mendambakan hidup


mereka sendiri. Mereka datang dari kamu tetapi tidak dari kamu. Dan sungguhpun bersamamu
mereka bukanlah milikmu. Engkau dapat memberi kasih sayangmu tetapi tidak pendirianmu
sebab mereka memiliki pendirian sendiri. Engkau dapat memberikan tempat pijak bagi raganya
tapi tidak bagi jiwanya, lantaran jiwa mereka ada di masa datang, yang tidak bisa engkau capai
sekalipun dalam mimpi. Engkau boleh berusaha mengikuti alam mereka, tetapi jangan berharap
mereka dapat mengikuti alammu, sebab hidup tidak surut ke belakang, tidak pula tertambat di
masa lalu. Engkau adalah busur dari mana bagai anak-anak panah kehidupan putra-putrimu
melesat ke depan. (Kahlil Gibran, Sang Nabi).

Pendahuluan

Menurut Urie Bronfenbrenner (1990) setidaknya ada 5 (lima) sistem yang berpengaruh terhadap
tumbuh kembang anak, yaitu: Pertama, sistem mikro yang terkait dengan setting individual di
mana anak tumbuh dan berkembang yang meliputi: keluarga, teman sebaya, sekolah dan
lingkungan sekitar tetangga. Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro
sistem, misalnya hubungan pengalaman-pengalam an yang didapatkan di dalam keluarga dengan
pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya. Ketiga, sistem exo yang
menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam setting sosial yang berada di luar kontrol aktif
tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan anak, seperti, pekerjaan orang tua
dan media massa. Keempat, sistem makro yang merupakan budaya di mana individu hidup
seperti: ideologi, budaya, sub-budaya atau strata sosial masyarakat. Kelima, sistem chrono yang
merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik).

Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam pengembangan
berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan, pola pembelajaran, pola pergaulan
termasuk penggunaan media massa, dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling
mendukung. Di samping optimalisasi keempat sistem tersebut, perlu dilakukan upaya
penanganan yang tepat terhadap berbagai kemungkinan kondisi kritis dan transisional pada anak.
Dalam teori perkembangan anak sebagaimana disampaikan Prof Urie Bronfenbrenner, tumbuh-
kembang anak tidak akan terpisahkan dari kelima sistem interaksi seperti tersebut di atas. Pada
proses interaksi inilah banyak institusi yang akan menyosialisasikan nilai-nilai dan pengetahuan
kepada anak. Oleh karena itu, orangtua tidak dapat dengan sempurna menginginkan anaknya
menjadi seperti yang ia inginkan, karena banyak institusi yang turut berperan dalam proses
sosialisasi.

Adapun proses sosialisasi pada anak itu sendiri secara umum melalui 4 fase, yakni dijelaskan
sebagai berikut:

1. Fase Laten (Laten Pattern), pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat jelas. Anak belum
merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak dengan
lingkungannya. Pada fase ini anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu, dan anak pada fase
ini masih merupakan satu kesatuan yang disebut two persons system.
2. Fase Adaptasi (Adaption), pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan dan memberikan
reaksi atas rangsangan-rangsang an dari lingkungannya. Orangtua berperan besar pada fase
adaptasi, karena anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya.

3. Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment), pada fase ini dalam sosialisasinya anak tidak
hanya sekadar memberikan umpan balik atas rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya,
tapi sudah memiliki maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk
mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya.

4. Fase Integrasi (Integration), pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi hanya sekadar
penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan, tapi sudah menjadi bagian dari
karakter yang menyatu dengan dirinya sendiri.

Menurut Sosiolog George Ritzer (1969:114) dalam T. O. Ihromi (2004), orangtua bukanlah satu-
satunya pihak yang akan mempengaruhi tumbuh-kembang anak, akan tetapi orangtua merupakan
significant other bagi anak dan role model bagi seorang anak dalam proses pembentukan
kepribadiannya. Dengan demikian pada tahap awal, orangtua memiliki peran penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan karakter dan penanaman
nilai-nilai budi pekerti pada anak. Karena orangtua merupakan sosok pertama dan utama dalam
melindungi, merawat, dan mencurahkan kasih-sayang sebelum anak mengenal orang lain.

Budaya Jawa dalam Menyambut Tumbuh Kembang Anak

Sebagian besar masyarakat Indonesia melihat kehadiran seorang anak sebagai anugrah yang luar
biasa sehingga sangat dinantikan oleh anggota keluarganya. Refleksi syukur atas kehadiran anak
ditunjukan dengan hadirnya berbagai upacara untuk menyambut kehadiran anak semisal pada
suku Jwa di Yogyakarta antara lain:

Upacara Mitoni atau Tingkeban adalah upacara yang diselenggarakan bagi wanita hamil
tujuh bulan. Tujuannya adalah untuk membentuk jiwa sang calon bayi semenjak ia masih di
dalam kandungannya. Upacara ini diadakan pada hari Rabu atau Sabtu pada pertengahan bulan
dari pukul sembilan sampai pukul sebelas pagi hari. Pada upacara ini sang calon ibu dimandikan
oleh orang tuanya, kakek neneknya, dan keluarga yang dituakan lainnya. Air yang digunakan
untuk mandi merupakan campuran air dengan beberapa jenis kembang (kembang setaman) yang
dipetik dari satu kebun.

Brokohan adalah acara sedekahan yang dilakukan sebagai salah satu wujud ungkapan rasa
syukur setelah kelahiran bayi dan untuk memohon keselamatan dan agar bayi menjadi anak yang
baik yang dimulai dengan penanaman ari-ari dan pembagian sesaji kepada tetangga;

Sepasaran yang ditujukan untuk memohon keselamatan bagi bayi ketika bayi memasuki hari
kelima yang dilaksanakan setelah magrib;

Puputan yang ditujukan untuk memohon keselamatan bagi bayi yang dilaksanakan pada saat
tali pusat putus dengan mengadakan kenduri, bancakan dan pemberian nama bayi;
Selapanan adalah selamatan ketika bayi sudah berumur selapan (35 hari) yang ditujukan
untuk keselamatan bayi, dilakukan pada hari ke-36 sesuai dengan weton atau hari pasaran
kelahiran si bayi; dan

Upacara Tedak Sinten merupakan upacara yang diperuntukkan bagi bayi pada saat pertama
kali ia diijinkan untuk menginjak bumi atau belajar berjalan dan dilaksanakan pada usia 7 lapan
(7 x 35 hari = 245 hari) atau sekitar delapam bulan. Tedah Siten ditujukan untuk memohon
keselamatan dan harapan agar bayi cepat berjalan dengan adanya peristiwa turun tanah. Adapun
tahapan dalam upacara ini antara lain meliputi: membersihkan kaki, menginjak tanah, berjalan
melewati tujuh wadah, tangga tebu wulung, kurungan, memberikan uang dan melepas ayam.
Secara keseluruhan uapacara ini bermakna untuk mengajarkan konsep kemandirian pada anak;

Sapihan yang ditujukan untuk memohon keselamatan dan menolak bala yang dilaksanakan
pada saat bayi sudah tidak menyusui lagi pada ibunya.

Upacara Sunatan atau Khitanan merupakan upacara yang diperuntukan bagi anak laki-laki.
Orang tua harus menyunat anak laki-lakinya sebagai tandai kesiapannya menjadi anak laki-laki
yang tumbuh dewasa. Dalam keluarga bangsawan juga dikenal upacara tetesan yaitu upacara
khitanan untuk putri raja yang berusia 8 tahun. Upacara tetesan diadakan dibangsal Pengapit
sebelah selatan Dalem Prabayeksa. Dihadiri oleh gaewa dalem, putar dalem, wayah, buyut, serta
canggah. Selain itu juga abdi dalem bedaya, emban, amping, abdi dalem keparak berpangkat
Tumenggung serta Rio yang duduk diempert bangsal pengapit. Sedangkan upacara khitanan bagi
kaum bangsawan laki-laki dilakukan pada usia kira-kira 14 tahun, yang berarti dia mulai tinggal
di kesatriyan, terpisah dari ibunya dan saudara perempuannya.

Tarapan yaitu upacara inisiasi haid pertama bagi anak perempuan. Upacara ini diadakan di
bangsal Sekar Kedaton sebelah selatan Kedaton Kulon. Upacara ini termasuk upacara intern
wanita.

Upacara Ruwatan, merupakan upaca untuk mengusir setan atau tolak bala. Upacara ini
ditujukan agar anak-anak terbebas dari segala marabahaya, gangguan, kecelakaan, dan lain-lain.
Banyak orang Jawa percaya bahwa sebuah keluarga yang memiliki hanya satu anak, atau dua
anak baik sejenis atau berlawanan jenis, atau lima anak dengan jenis kelamin yang sama harus
mengadakan upacara ini. Jika tidak maka sang anak akan ditelan oleh raksasa jahat. Kepercayaan
ini sudah ada sejak jaman kerajaan Majapahit.

Anjuran lain dalam tradisi di Yogyakarta adalah anjuran untuk mengganti nama bayi yang
keberatan nama, serta bayi yang wetonnya sama harus dipisah. Dalam rangkaian upacara
tersebut ada juga tradisi memantang, diantara makanan yang dipantang adalah: sambal, sayur
bersantan, telur ikan tawar, telur asin, ikan tawar, telur, dan makanan yang berbau amis.

Pola Asuh, Asah dan Asih

Di Indonesia orangtua mengenal istilah asuh, asah dan asih yang dijadikan pola untuk mendidik
putra-putrinya. Pola asuh adalah perlakuan orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan,
memberi perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh lebih
menyangkut pada perawatan dan perlindungan anak yang sangat menentukan pembentukan fisik
dan mental anak. Pola asah menyangkut perawatan anak dalam menyuburkan kecerdasan
majemuk, utamanya terkait dengan aspek kognitif dan psikomotorik. Pola asah ini meliputi
pembentukan intelektualitas, kecakapan bahasa, keruntutan logika dan nalar, serta ketangkasan
dalam mengolah gerak tubuh. Sedangkan pola asih merupakan perawatan anak dalam
mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual sehingga mampu menyuburkan rasa kasih
sayang, empati, memiliki norma dan nilai sosial yang bisa diterima oleh masyarakat. Pola asih
ini akan mempengaruhi perkembangan afeksi anak, meliputi moral, akhlak, emosi dan perilaku.

Pola asuh, asah dan asih orangtua terhadap anak dipengaruhi oleh banyak hal, seperti latar
belakang budaya, status sosial-ekonomi, kondisi geografis, dan pemahaman nilai-nilai. Dengan
demikian, masing-masing ranah kebudayaan memiliki pola asuh, asah dan asih yang berbeda-
beda. Orangtua di beberapa daerah menerapkan pola asuh, asah dan asih secara turun-temurun
dari nenek moyang.

Selanjutnya, dengan meminjam pisau analisis dari Teori Model Ekologi yang dikemukakan oleh
Prof. Urie Bronfenbrenner (1979) yang mengurai adanya empat milieu yang mempengaruhi
perkembangan anak, yaitu: tingkat mikro, meso, exo, dan makro, maka perspektif budaya ada
dalam tingkat makro sehingga tingkat pengaruhnya sangat luas tetapi tidak langsung. Keluarga
merupakan komponen masyarakat terkecil di mana orangtua adalah lingkungan yang pertama
dan utama bagi pembentukan kepribadian dan tingkah laku anak. Dikatakan demikian karena
sejak kelahirannya anak berada di lingkungan dan di bawah asuhan orangtuanya. Pola sikap,
perilaku, dan nilai-nilai yang ditanamkan orangtua kepada anak melalui pengasuhannya itu
merupakan landasan fundamental bagi perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak
selanjutnya. Segall, et al., (1990) menyebutkan bahwa the developmentalniche memiliki tiga
komponen yang saling terkait, yaitu: (1) konteks fisik dan sosial tempat anak hidup, (2)
pengasuhan yang ditentukan secara kultur dan praktek praktek pendidikan, dan (3)
karakteristik psikologis orangtua. Secara lebih tegas Fuhrmann (1990: 108) menyatakan, jika
suatu faktor dapat dipisahkan sebagai faktor tunggal yang berpengaruh dalam perkembangan
anak, faktor itu jelas faktor keluarga atau orangtua. Unit keluarga, meskipun berubah secara
drastis sebagai hasil inovasi teknologi dan sosiologis, tetapi tetap sebagai tempat sosialisasi
utama.
Dengan cara apa dan bagaimana orangtua menanamkan pola sikap, perilaku, dan nilai kepada
anak, sangat tergantung kepada filosofi atau cara pandang orangtua tentang anak (anak di mata
orangtua). Cara-cara yang digunakan orangtua dalam pengasuhan anak tersebut akan berdampak
terhadap perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak. Pada dasarnya ada tiga cara pandang
orangtua terhadap anak, yaitu:

1. anak dipandang sebagai obyek,

2. anak dipandang sebagai subyek, dan

3. anak dipandang sebagai obyek sekaligus subyek.

Orangtua yang memandang anak sebagai obyek, cenderung menggunakan pendekatan


authoritarian dalam mengasuh anak; dan orangtua yang memandang anak sebagai subyek,
cenderung mengunakan pendekatan permissive atau laissez-faire dalam mengasuh anak;
sedangkan orangtua yang memandang anak sebagai obyek sekaligus subyek, cenderung
menggunakan pendekatan authoritative dalam mengasuh anak. Baumrind seorang ahli psikologi
mengemukakan tiga tipe orangtua dengan karakteristiknya, yaitu: orangtua authoritarian,
orangtua permissive, dan orangtua authoritative (Baumrind dalam Lerner & Hullsch, 1983:282-
283).
PENUTUP

Tradisi yang berkembang dalam masyarakat ada yang kondusif untuk perkembangan si Thole /
Gendhuk juga ada yang menghambat tumbuh kembang si Thole / Gendhuk untuk itu,
diperlukan kemampuan untuk mengambil tradisi yang baik dan menghilangkan tradisi yang
kurang baik. Hal ini sejalan dengan adagium klasik yang menyatakan almuhafadzah ala al-
qadiimi al-shalih wa al-ahdu bi al-jadied al-aslah, menjaga yang lama yang baik dan
melakukan inovasi baru yang lebih baik. Tradisi baik misalnya sambutan hangat terhadap
kehadiran seorang anak yang melahirkan aroma keceriaan anak, adapun contoh budaya yang
kurang kondusif adalah kuatnya budaya patriarkhi yang menomorsatukan laki-laki terutama
bapak dalam berbagai hal termasuk penyediaan makanan sehingga bayi kurang mendapat
perhatian dan menu khusus yang berakibat pada munculnya berbagai kasus kekurangan gizi pada
bayi atau masih adanya anak yang dijadikan sumber daya ekonomi dengan menjadi pekerja anak
yang kadang juga dibarengi dengan kekerasan fisik dan mental terhadap anak.

Berbagai tradisi dan budaya lokal yang konstruktif dalam pengasuhan anak sudah selayaknya
dilestarikan, melalui sosialisasi dan advokasi pola asuh, asah dan asih yang holistik dan
terintegrtasi, termasuk mendorong pada penggunaan pola asuh yang positif berdasarkan kearifan
lokal (local genius and wisdom) dan mengarahkan pada proses tumbuh kembang , interaksi, dan
sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

Tingkat pendidikan perempuan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang bervariasi dan
umumnya didominasi oleh pendidikan rendah dengan ekonomi yang terbatas berdampak pada
beragamanya pola dan kualitas pengasuhan pada anak.

SUMBER BACAAN

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa Jakarta: Balai Pustaka, 1994

http://brantai2008.multiply.com/journal/item/7/Meneropong_Tumbuh_Kembang_Anak_
Perspektif_Sosial_Budaya diakses pada 18 February 2010

Ganug Nugroho Adi, dalam http://kabarsoloraya.com/2009/07/17/tedak-siten-ketika-


anak-kali-pertama-menginjak-tanah/ diakses pada 18 February 2010

http://tjokrosuharto.com/catalog/adat_upacara.php diakses pada 18 February 2010

http://www.tjokrosuharto.com/catalog/adat_tingkepan.php diakses pada 18 February


2010
http://kabarsoloraya.com/2009/07/17/tedak-siten-ketika-anak-kali-pertama-menginjak-
tanah/ diakses pada 18 February 2010

http://sabdalangit.wordpress.com/2009/11/21/selamatan-usia-kehamilan/

http://id.wikipedia.org/wiki/Tedak_ diakses pada 18 February 2010

http://id.wikipedia.org/wiki/Urie_Bronfenbrenner diakses pada 1 Maret 2010

Artikel

Anda mungkin juga menyukai