Anda di halaman 1dari 141

Perancangan Produk

Orthosis

Dewangga O. Nugroho
Muhamad F.N. Fadilah
Kholisa I. Rokhmana
Muhammad F. Hasan
Perancangan Produk
Orthosis
V

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan karunia-Nya, penyusunan buku Beomekanika ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
kepada Bapak Dr. Rifky Ismail, ST, MT selaku dosen pengampu mata kuliah
Penulisan Teknik dan Presentasi.
Dalam buku ini akan dibahas tentang biomekanika gerak pada manusia. Gerakan
tersebut meliputi biomekanika gerak berjalan, berlari, naik dan turun tangga,
jangkauan serta gerakan sholat.
Akhir kata, penulis menyampaikan permohonan maaf jika ada kesalahan
yang penulis lakukan dalam penyusunan buku ini. Maka kritik dan saran yang
sifatnya membangun sangat penulis harapkan, agar penyusunan berikutnya dapat
lebih baik lagi. Semoga buku ini bisa bermanfaat dan memberikan informasi yang
diperlukan bagi siapa saja yang memerlukannya.

Semarang, 1 April 2017

Penulis
VI
VII

Ringkasan

Pengobatan fisik dan Rehabilitasi selalu menjadi masalah yang belum


dijelajahi oleh sebagian besar medis dan paramedis profesional. Ada kekosongan
di ranah meresepkan prosthesis yang tepat dan paling berguna dan orthosis untuk
populasi penyandang cacat yang membutuhkan. Orthosis/Orthose/ ortesa adalah
segala alat yang ditambahkan ke tubuh atau alat bantu penyangga tubuh atau
anggota gerak tubuh yang layu, lumpuh atau cacat untuk menstabilkan atau
immobilize bagian tubuh, mencegah kecacatan, melindungi dari luka, atau
membantu fungsi dari anggota tubuh.
Buku ini Perancangan Produk Orthosis dimaksudkan untuk mengisi
kekosongan dan memberikan informasi yang cukup untuk bagaimana membuat
produk orthosis yang tepat. Pada buku ini akan dibahas beberapa jenis produk
orthosis, antara lain : boston brace, clubfoot orthotic, hip abduction splint, dan knee
brace. Dengan melakukan simulasi dan menggunakan matriks penilaian konsep
kita dapat merancang produk yang paling tepat.
VIII
IX

Daftar Isi

Kata Pengantar V
Ringkasan VII
Daftar Isi IX
Daftar Gambar XI

BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Hubungan antara Ilmu Teknik Mesin dengan Rehabilitasi Medis 2
1.3 Prothosis dan Orthosis 3
1.3.1 Pengertian Prothosis 3
1.3.2 Pengertian Orthosis 4
1.3.3 Jenis-jenis Orthosis 5
Referensi 7
BAB 2 BOSTON BRACE 9
2.1 Latar Belakang 9
2.2 Penanggulangan Penyakit 10
2.3 Parameter Pengguna Hasil Produk 14
2.4 Identifikasi Kebutuhan Pelanggan 14
2.5 Diagram Fungsi Produk 14
2.6 Tabel Klarifikasi Kombinasi 15
2.7 Rancangan Konsep 15
2.8 Matriks Penilaian Konsep 17
2.9 Produk-produk yang Ada di Pasar 18
Referensi 20
BAB 3 CLUBFOOT ORTHOTIC 21
3.1 Latar Belakang 21
3.2 Tujuan Perancangan 23
3.3 Identifikasi Kebutuhan Pelanggan 23
3.4 Penentuan Spesifikasi Teknis Produk 23
3.5 Tahap Perancangan 23
3.5.1 Matriks Morfologi 24
3.5.2 Pembentukan Konsep 24
3.5.3 Seleksi Konsep 27
3.6 Desain dan Proses Manufaktur 28
3.6.1 Analisa Pembebanan 28
X

3.6.2 Bill of Material 29


3.6.3 Estimasi Harga 31
3.7 Produk-produk yang Ada di Pasar 31
Referensi 33
BAB 4 HIP ABDUCTION SPLINT 35
4.1 Pendahuluan 35
4.2 Produk Hip Abduction Splint 36
4.3 Proses Perancangan Produk 37
4.2.1 Fasa 1 37
4.2.2 Fasa 2 38
4.2.3 Fasa 3 40
4.4 Pengambilan Keputusan 41
Referensi 43
BAB 5 KNEE BRACE 45
5.1 Pendahuluan 45
5.1.1 Ide Produk 45
5.1.2 Definisi 45
5.2 Fungsi Produk 46
5.2.1 Blok Fungsi 46
5.2.2 Diagram Blok Perancangan Alat 46
5.3 Konsep Desain Produk 47
5.4 Matrik Pengambilan Keputusan 49
5.5 Bentuk Produk Terpilih 51
5.6 Inovasi Produk Knee Brace 51
5.6.1 C-Brace High-Tech Leg Brace 52
5.6.2 E-Mag Active Electronically Controlled Knee Join System 52
5.6.3 Knee Brace Dalam Negeri 53
5.7 Paten-paten Knee Brace 56
Referensi 61
BAB 6 WEARABLE EXOSKELETON ROBOTIC FINGERS DAN
SUPERNUMERARY THUMB 63
6.1 Latar Belakang 63
6.2 Tujuan Penelitian 64
6.3 Produk 64
6.3.1 Siklus Kehidupan Produk 64
6.3.2 Originalitas Produk 66
6.3.3 Ciri Produk Berhasil 67
6.4 Perancangan dan Pengembangan Produk 67
6.5 Identifikasi Kebutuhan Pelanggan 69
6.6 Metode Pencarian Konsep Produk 69
6.6.1 Metode Brain Stroming 70
6.6.2 Metode Brain Writing 72
6.6.3 Metode Analogi 72
6.6.4 Memakai Paten Sebagai Sumber Ide 73
6.6.5 Buku, Jurnal, dan Katalog Sebagai Ide 73
XI

6.6.6 Menyewa Konsultan Untuk Mengembangkan Produk 73


6.6.7 Metode Morfologi 74
6.7 Penyusunan Spesifikasi Teknis Dengan Metode QFD 74
6.8 Antropometri 75
6.9 Data Antropometri 76
6.9.1 Antropometri Structural 77
6.9.2 Antropometri Fungsional 78
6.10 Perkembangan Wearable Exoskeleton Robotic Hand 80
6.11 Teori Dasar Metode Elemen Hingga 83
6.12 Flow Chart Penelitian 85
6.13 Objek penelitian 86
6.14 Identifikasi Pengguna 86
6.15 Mendesain Konsep Alat 86
6.16 Perancangan Atau Desain 87
6.17 Pengujian Kekuatan 87
6.18 Pembuatan Prototipe 87
6.19 Batasan Perancangan Produk 87
6.20 Pernyataan Misi 87
6.21 Perancangan Produk Kaki Tiruan Bawah Lutut Untuk Berlari 88
6.21.1 Ide Produk 88
6.21.2 Definisi 89
6.21.3 Kriteria Perancangan 89
6.21.4 Fungsi 89
6.21.5 Pemilihan Desain Geometri 90
6.22 Dokumentasi 90
Referensi 92
BAB 7 ALAT TERAPI ROBOTIK BERBASIS FLEX SENSOR 93
7.1 Pendahuluan 93
7.2 Tinjauan Pustaka 95
7.3 Pengaturan Sensor Penggerak Eksoskeleton 98
7.3.1 Pembuatan Wiring Diagram 100
7.3.2 Pemasangan Sensor Pada Sarung Tangan 101
7.3.3 Kalibrasi Flex Sensor 103
7.3.4 Pemrograman Mikrokontroler 105
7.3.5 Servo Linear 106
7.3.6 Software Alat Terapi Robotic 108
7.4 Hasil dan Pembahasan 114
7.4.1 Interface Hardware Dan Software 114
7.4.2 Pengujian Flex Sensor 115
7.4.3 Prototipe Eksoskeleton 117
7.4.4 Analisa Gerakan Jari Tangan 120
Referensi 125
XII
XIII

Daftar Gambar

Gambar 1.1 Oscar pistorius dengan alat prosthosis 4


Gambar 1.2 Orthosis sebagai alat penyembuhan 5
Gambar 2.1 Skoliosis 10
Gambar 2.2 Milwaukee brace 11
Gambar 2.3 Boston brace 12
Gambar 2.4 Charleston brace 13
Gambar 2.5 Spinecor brace 13
Gambar 2.6 Konsep 1 15
Gambar 2.7 Konsep 2 16
Gambar 2.8 Konsep 3 16
Gambar 2.9 Konsep 4 17
Gambar 2.10 Konsep terpilih 18
Gambar 2.11 Lightweight boston brace 19
Gambar 3.1 Konsep pertama 25
Gambar 3.2 Konsep kedua 25
Gambar 3.3 Konsep ketiga 26
Gambar 3.4 Konsep keempat 26
Gambar 3.5(a) Konsep ketiga tampak bawah 28
Gambar 3.5(b)Konsep ketiga tampak samping 28
Gambar 3.6 Analisa pembebanan 28
Gambar 3.7 Pengguna clubfoot orthosis pasca operasi 32
Gambar 4.1 Pasien hip abduction splint 36
Gambar 4.2 Produk hip abduction splint 37
Gambar 4.3 Diagram fungsi I 38
Gambar 4.4 Diagram fungsi II 38
Gambar 4.5 Pohon klarifikasi 38
Gambar 4.6 Konsep I 40
Gambar 4.7 Konsep II 40
Gambar 4.8 Konsep III 41
Gambar 4.9 Konsep IV 41
Gambar 5.1 Konsep Knee Brace ke 1 47
Gambar 5.2 Konsep Knee Brace ke 2 47
Gambar 5.3 Konsep Knee Brace ke 3 48
Gambar 5.4 Konsep Knee Brace ke 4 48
XIV

Gambar 5.5 Konsep Knee Brace ke 5 49


Gambar 5.6 Konsep Knee Brace ke 5 51
Gambar 5.7 High Tech Knee Brace 52
Gambar 5.8 E-MAG Active Electronically Controlled Knee Joint System 53
Gambar 5.9 Knee brace buatan PT. Kuspito Prosthetic dan Orthotic 53
Gambar 5.10 Knee brace buatan CV Japro Medika 54
Gambar 5.11 Knee brace produksi DonJoy 54
Gambar 5.12 Knee brace produksi Mueller 55
Gambar 5.13 Elastis pada knee brace buatan PT. Kuspito 56
Gambar 5.14 Paten US 5,063,916 57
Gambar 5.15 Paten US 7,150,721 B2 58
Gambar 5.16 Bagian bagian system pengunci 58
Gambar 5.17 Mekanisme pengunci 59
Gambar 5.18 Paten US 7,201,728 B2 60
Gambar 5.19 Sistem knee joint 60
Gambar 6.1 Siklus kehidupan produk 65
Gambar 6.2 Rumah kualitas atau diagram QFD 75
Gambar 6.3 Ukuran manusia yang sering digunakan untuk merancang
Produk 76
Gambar 6.4 Antropometri structural posisi berdiri dan duduk 78
Gambar 6.5 Antropometri fungsional/dinamis 79
Gambar 6.6 Antropometri fungsional posisi kerja 80
Gambar 6.7 (a)HandSOME, (b)HandEXOS, (c)Wege dkk, (d)Ueki dkk 81
Gambar 6.8 (a)Hasegawa dkk, (b)In dkk, (c)Shields dkk, (d)Dicicco dkk 82
Gambar 6.9 Aplikasi penggunaan FEM pada masalah teknik 84
Gambar 6.10 Flow chart penelitian 85
Gambar 6.11 Proses pembuatan prototype 90
Gambar 6.12 Prototipe kaki tiruan yang telah dibuat 91
Gambar 6.13 Prototipe kaki tiruan saat dipasang pada pasien 91
Gambar 7.1 Penyakit penyebab kematian tahun 2012 94
Gambar 7.2 Latihan jari-jari tangan pada terapi okupasi konvensional 96
Gambar 7.3 Terapi okupasi konvensional di RSUP Dr. Kariadi Semarang 97
Gambar 7.4 Diagram alir penelitian 99
Gambar 7.5 Wiring diagram alat terapi robotic 100
Gambar 7.6 PCB alat terapi robotika 101
Gambar 7.7 Sudut lekukan flex sensor 102
Gambar 7.8 Sarung tangan dengan flex sensor 103
Gambar 7.9 Pemasangan perangkat sensor dan mikrokontroler 104
Gambar 7.10 Flowchart pemrograman mikrokontroler 106
Gambar 7.11 Konfigurasi pin pada Firgelli L12-R 107
Gambar 7.12 Tampilan software Arduino IDE 109
Gambar 7.13 Tampilan command Windows 113
Gambar 7.14 Tampilan editor 113
Gambar 7.15 Tampilan figure Windows 114
Gambar 7.16 Interface antara hardware dengan hardware, software dengan
XV

hardware, dan hardware dengan user 115


Gambar 7.17 Grafik resistansi vs sudut flex sensor ibu jari dan telunjuk 116
Gambar 7.18 Grafik resistansi vs tegangan output ibu jari dan telunjuk 117
Gambar 7.19 Eksoskeleton tampak asimetri 118
Gambar 7.20 Eksoskeleton tampak atas 118
Gambar 7.21 Simulasi gerakan menggenggam 119
Gambar 7.22 Sambungan jari eksoskeleton 119
Gambar 7.23 Letak jari eksoskeleton pada jari tangan 120
Gambar 7.24 Kinematika jari tangan saat fleksi 120
Gambar 7.25 (a)DBB massa 1, (b)DBB massa 2 122
Gambar 7.26 Posisi awal 123
Gambar 7.27 Posisi akhir 124
Gambar 7.28 Kecepatan vs waktu 124
Gambar 7.29 Percepatan vs waktu 124
XVI
1

Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki jumlah penduduk ke 5 (lima) terbesar di dunia, dan


merupakan negara kepulauan yang terbanyak jika dibadingkan dengan negara
lainnya. Jumlah penduduk disabilitis (Kebutuhan khusus) umumnya adalah 10%
(sepuluh perseratus) dari total jumlah penduduk di suatu negara.
Pengertian dasar dari disabilitas adalah keterbatasan pada kondisi tertentu
dan disabilitas memiliki beberapa tingkatan dari yang ringan, sedang sampai
berat. Dimana disabilitas tingkat sedang dan berat pada umumnya
membutuhkan alat bantu.
Dalam era moderenisasi ini secara sadar atau tidak sadar kemajuan
teknologi serta dinamika kehidupan yang sangat dinamis dalam satu sisi
memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup masyarakat dimana teknologi
dapat menjadikan segala sesuatu lebih mudah dan cepat jika kita bandingkan
dengan 10 (sepuluh) tahun kebelakang. Namun kemajuan teknologi juga
menimbulkan dampak yang kurang baik jika tidak segera disadari. Dampak dari
perkembangan jaman ini memberikan tekanan psikologis yang cukup besar yang
mengakibatkan pola hidup yang kurang teratur, tingkat stess yang lebih tinggi,
dan sebagainya.
2

Beberapa faktor tersebut diatas juga memberikan kontribusi meningkatnya


tingkat disabilitasi khususnya di Indonesia seperti : stroke, flat foot (yang banyak
disebabkan oleh makanan dan minuman), syaraf terjepit, Cerebal palsy (CP) yang
bukan disebabkan karena faktor keturunan atau genetik. Dan meningkatnya
kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja.
Hal ini juga dapat dilihat dimana tingkat disabilitas pada usia dini lebih
meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sebagai salah satu contoh
penyakit diabetes militus dan stroke saat ini banyak yang terjadi pada usia yang
relatif muda sehingga stroke, radang sendi dan tulang serta diabetes tidak lagi
dikenal sebagai penyakit orang tua (Yuliardi, 2016).
Rehabilitasi medik adalah salah satu cabang ilmu kedokteran dan kesehatan
yang menitikberatkan pada memaksimalkan fungsi kerja anggota tubuh yang
menurun akibat faktor tertentu. Rehabilitasi medik dapat memiliki cabang ilmu
dan pelayanan antara lain :
1. Orthotic dan Prosthetic : yaitu unit yang memberikan pelayanan untuk
membuat alat ganti dan alat bantu tubuh.
2. Fisioterapy : yaitu unit yang memberikan pelayanan untuk membantu
fungsi gerak tubuh.
3. Ocupasiterapy : yaitu unit yang memberikan pelayanan untuk melatih dan
memaksimalkan gerak dasar harian seperti menulis, memegang benda dan
sejenisnya.
4. Speachterapy : yaitu unit yang memberikan pelayanan untuk melatih
berbicara.
5. Hydroterapy : yaitu unit yang memberikan pelayanan untuk membantu
fungsi gerak tubuh dengan menggunakan media kolam air.

1.2 Hubungan antara Ilmu Teknik Mesin dengan Rehabilitasi


Medis

Seperti yang dijelaskan di awal, jika saat ini kita berada pada era teknologi yang
sudah cenderung serba praktis. Perubahan ini tak hanya berdampak buruk bagi
manusia, namun juga berdampak baik. Seperti pada bidang industri, berbagai
industri saat ini sangat membutuhkan teknologi, karena dengan berkembangnya
teknologi dapat memberikan dampak positif efisiensi biaya maupun waktu.
Industri kesehatan merupakan salah satu contoh yang membutuhkan
teknologi didalamnya. Saat ini telah ditemukan banyak alat kesehatan yang
3

sangat membantu pekerja medik , beberapa contohnya adalah alat MRI


(Magnetic Resonance Imaging), Knee Brace dan lainnya.
Berkembangnya teknologi di bidang industri medis tak lepas dari campur
tangan insinyur atau peneliti di bidang teknik, khusunya teknik mesin. Bidang
keilmuan teknik mesin, jika dilihat lebih dalam dan lebih luas, memberikan andil
yang cukup besar pada kemajuan teknologi industri, salah satunya adalah
industri kesehatan.
Banyak sekali teknologi yang harus ditinjau secara mekanis agar dapat
memenuhi fungsi yang diharapkan. Disinilah peran seorang mekanik yang
sangat dibutuhkan untuk dapat meninjau suatu produk tertentu agar dapat
berfungsi secara maksimal.

1.3 Prothosis dan Orthosis

Prothosis dan Orthosis merupakan salah satu cara rehabilitasi medik dengan
menambahkan alat yang bertujuan untuk membantu fungsi kerja bagian tubuh
tertentu agar dapat bergerak dan beraktifitas secara maksimal. (Wijanarko dan
Azizah, 2016)

1.3.1 Pengertian Prothosis


Prothosis adalah alat pengganti organ yang sudah tidak ada atau disebut
sebagai artificial limb. Alat ini bertujuan agar pasien dapat beraktifitas
mendekati kemampuannya sebelum sakit atau hanya bersifat sebagai
kosmetik saja. Pasien yang menggunakan alat ini adalah pasien pasien
yang mengalami amputasi pada bagian tangan atau kakinya. (IKFR
Universitas Padjajaran, 2015).
Alat bantu prothosis sangatlah membantu para pasien yang
membutuhkan alat bantu agar tetap dapat beraktifitas seperti orang
normal pada umumnya. Dengan seiring perkembangan jaman, banyak
sekali produk yang ditawarkan, dan produk tersebut terbukti dapat
membantu pasien dengan sangat baik. Salah satu pasien yang terbantu
adalah Oscar Pistorius.
4

Oscar Pistorius merupakan atlit pelari sprint yang harus


mengamputasi kedua kakinya ketika peristiwa Paralympic. Setelah Oscar
mendapatkan kaki palsunya, tak mengurangi prestasinya dan dapat
meraih medali pada Kejuaraan Dunia Atletik tahun 2011 (Wikipedia,
2017)

Gambar 1.1 Oscar Pistorius dengan Alat Prothosis (Murano, 2012)

1.3.2 Pengertian Orthosis


Orthosis/Orthose/ ortesa adalah segala alat yang ditambahkan ke tubuh atau alat
bantu penyangga tubuh atau anggota gerak tubuh yang layu, lumpuh atau cacat
untuk menstabilkan atau immobilize bagian tubuh, mencegah kecacatan,
melindungi dari luka, atau membantu fungsi dari anggota tubuh. (Wijanarko dan
Azizah, 2016)
Pada kehidupan sehari-hari, biasanya alat Orthosis digunakan hanya
untuk alat penyembuhan atau alat rehabilitasi dari suatu penyakit tertentu,
penggunaannya hanya sementara.
Seperti pada gambar 1.2 dibawah ini, produk orthosis digunakan untuk
melindungi ligamen setelah proses perawatan/ operasi. Alat orthosis digunakan
hingga masa penyembuhan pasien berakhir. Trauma akibat operasi dapat
mengurangi stabilitas sendi dan ligamen. Dalam keadaan tersebut, pasien
membutuhkan alat bantu eksternal untuk mendukung sendi. (Judy, 2004)
5

Gambar 1.2 Orthosis sebagai Alat Bantu Penyembuhan (Judy, 2004)

1.3.3 Jenis-jenis Orthosis


Orthosis dibagi dalam 3 jenis, berdasarkan atas bagian dari tubuh manusia, yaitu:
(Arifin, 2012)
a. Orthosis anggota gerak atas
Orthosis ini diberikan kepada orang yang mengalami kecacatan atau
kelumpuhan pada anggota gerak atas yaitu lengan dan tangan. Orthosis untuk
orang sakit, penyakit tersebut misalnya stroke, osteoarthritis, cerebral palsy.
Fungsi orthosis yang lain sebagai alat koreksi kecacatan agar dapat
meningkatkan luas garak sendi, dan sebagai immobilitation pada masa
pemulihan setelah operasi.
Contoh:
1) Static cock up splint yang digunakan pada tangan yang mengalami drop
hand yang memungkinkan jari-jari tangan tidak dapat digerakan.
2) Cock up slint dynamic yang digunakan pada tangan yang mengalami drop
hand yang memungkinkan jari-jari tangan dapat digerakan.
3) Elbow brace yang digunakan untuk penguat sendi siku, orthosis pada AGA.
4) Arm corset yang digunakan untuk stabilitasi lengan bawah karena fracture.
5) Night splint yang digunakan untuk tangan yang mengalami drop hand
tetapi digunakan pada malam hari.
b. Orthosis anggota gerak bawah
Orthosis ini diberikan kepada orang yang mengalami kecacatan atau
kelumpuhan pada anggota gerak bawah yaitu paha, betis dan kaki. Contoh:
1) HKAFO (hip knee ankle foot orthose) yang digunakan pada anggota gerak
bawah yang seluruhnya mengalami kelayuan.
6

2) KAFO (knee ankle foot orthose) yang digunakan pada pasien dengan
kelainan panjang tungkai dan polio.
3) AFO (ankle foot orthose) yang digunakan untuk koreksi kecacatan pada
daerah ankle dan foot yang mengalami drop foot.
4) FO (foot orthose) yang digunakan untuk koreksi kecacatan pada telapak
kaki.
5) Orthopaedic shoes yang digunakan untuk mengoreksi kelainan kaki yang
cacat, seperti flat foot, menetralisir dari kaki yang mengalami valgus atau varus.
c. Orthosis untuk orang sehat
Orthosis untuk orang yang sehat seperti deker lutut, deker ankle, dan
corset.
d. Alat bantu mobilisasi
Alat bantu mobilisasi seperti crutch, walker, kursi roda, dan three foot.
7

Referensi
Arifin, Sahibul. (2012). Pengertian Orthose / Orthosis. http://arif-
plb2011.blogspot.co.id/2012/09/pengertian-orthose-orthosis.html (diakses
pada 30 Maret 2017)
Colditz, J.C. (2004). Low-Temperature Thermoplastic Splints/ Orthoses Made by
Therapists: An Overview of Current Practice.
http://www.oandp.com/articles/2004-10_03.asp. (diakses pada 26 April
2017)
Gesunde Medical. (2013). Kursi Roda Elektrik.
https://www.alatkesehatan.id/kursi-roda-elektrik/ (diakses pada 5 April
2017)
IKFR Universitas Padjajaran. (2015). Prosthesis Orthosis.
http://ikfrbandung.com/post/detail/prosthesis-orthosis (diakses pada 26
April 2017)
Murano, Grace. (2012). 10 Most Inspirational Athletes With Prostetic Limbs.
http://www.oddee.com/item_98313.aspx (diakses pada 26 April 2017)
Wijanarko, Agung dan Ronim Azizah. (2016) . Pusat Rehabilitasi Pasca Stroke di
Semarang dengan Pendekatan Healing Environment. Tugas Akhir Thesis.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Yuliardi, Windy. (2016). Ortotik dan Prostetik Berbasis Web pada PT. Pratama Sentra
Rehabilitasi. Skripsi. Akademi Manajemen Informatika dan Ilmu Komputer.
Wikipedia. (2017). Oscar Pistorius.
https://en.wikipedia.org/wiki/Oscar_Pistorius (diakses pada 26 April
2017)
8
9

Boston Brace 2

2.1 Latar Belakang

Boston Brace adalah alat untuk menanggulangi salah satu penyakit atau kelainan
pada tulang belakang, yaitu skoliosis.
Skoliosis adalah kondisi melengkungnya tulang belakang ke samping
secara tidak normal. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak sebelum
masa pubertas dengan kisaran usia 10 hingga 15 tahun. Anak laki-laki dan
perempuan memiliki risiko yang sama untuk mengidap skoliosis ringan, namun
anak perempuan lebih rentan untuk mengalami perburukan gejala sehingga
memerlukan penanganan yang memadai.
Meskipun kebanyakan kasus skoliosis yang menimpa anak-anak bersifat
ringan dan tidak memerlukan perawatan, namun harus diawasi secara saksama
dan disarankan untuk menjalani X-ray secara rutin untuk mengetahui
perkembangannya dan menghindari komplikasi lanjutan (www.alodokter.com).
10

Gambar 2.1 Skoliosis (www.mayoclinic.com).


2.2 Penanggulangan Penyakit

Ada 4 macam penanggulangan penyakit pada skoliosis, antara lain :


1. Observasi
Pemantauan dilakukan jika derajat skoliosis tidak terlalu besar, yaitu kurang dari
20 derajat pada tulang yang masih tumbuh. Observasi dengan pemeriksaan fisik
dan X-ray dapat dilakukan tiap empat hingga enam bulan untuk memantau
perkembangan lengkungan. Kebanyakan skoliosis yang diderita anak-anak tidak
parah dan tidak memerlukan perawatan karena tulang yang melengkung bisa
kembali normal seiring perkembangan anak (www.alodokter.com).

2. Obat
Perawatan dengan menggunakan obat-obatan biasanya diberikan kepada
penderita skoliosis dewasa dan bertujuan meredakan rasa nyeri. Obat yang
diberikan biasanya parasetamol atau obat antiinflamasi non-steroid (AINS),
seperti ibuprofen. Jika kondisi yang dialami cukup parah, dokter mungkin akan
menyuntikan obat steroid untuk meredakan nyeri, walau hanya untuk jangka
pendek (www.alodokter.com).

3. Operasi
Perawatan dengan menggunakan obat-obatan biasanya diberikan kepada
penderita skoliosis dewasa dan bertujuan meredakan rasa nyeri. Obat yang
diberikan biasanya parasetamol atau obat antiinflamasi non-steroid (AINS),
seperti ibuprofen. Jika kondisi yang dialami cukup parah, dokter mungkin akan
11

menyuntikan obat steroid untuk meredakan nyeri, walau hanya untuk jangka
pendek (www.alodokter.com).

4. Orthosis
Menggunakan alat bantu berupa brace atau penahan jika pembengkokan pada
tulang belakang memiliki sudut sebesar 30-40 derajat. Alat bantu yang
umumnya dapat dijumpai di pasaran antara lain :

a. Milwaukee
The Brace Milwaukee umumnya digunakan untuk tinggi toraks (punggung
tengah) kurva. Ini memanjang dari leher ke panggul dan terdiri dari korset
khusus berkontur panggul plastik dan cincin leher dihubungkan dengan jeruji
besi di bagian depan dan belakang brace. Batang logam membantu
memperpanjang panjang batang tubuh dan cincin leher membuat kepala
berpusat di panggul. Tekanan bantalan, ditempatkan secara strategis sesuai
dengan pola kurva pasien, yang melekat pada batang logam dengan tali (Innaz,
2012).

Gambar 2.2 Milwaukee Brace (www.bracingscoliosis.com)


12

b. Boston Brace
The Boston Brace memanjang dari bawah payudara ke awal daerah panggul
di depan dan dari bawah tulang belikat ke tulang ekor di belakang. Jenis penjepit
bekerja dengan menerapkan tiga-titik tekanan ke kurva untuk mencegah
perkembangannya. Ini memaksa daerah lumbal untuk fleksibel, yang
mendorong di perut dan rata kurva lumbal posterior. Ditempatkan secara
strategis tekanan bantalan tempat pada kurva, dan "void bantuan" yang terletak
di seberang daerah tekanan. Dikembangkan pada awal tahun 1970 oleh Dr John
Hall dan Mr William Miller dari Rumah Sakit Anak Boston, Boston Brace yang
biasanya diresepkan untuk kurva di lumbal (punggung) atau thoraco-lumbar
(mid-to-low back) bagian tulang belakang (Innaz, 2012).

Gambar 2.3 Boston Brace (Anis dkk, 2015).

c. Charleston Brace
Pilihan lain adalah Brace Charleston Bending. Brace ini dikembangkan pada
tahun 1979 oleh Dr Frederick Reed dan Ralph Hooper, Charleston Bending Brace
dikenakan hanya pada malam hari, itulah sebabnya itu juga dikenal sebagai
penahan "paruh waktu". Charleston Bending Brace dibentuk agar sesuai dengan
tubuh pasien di saat dia membungkuk ke arah konveksitas-atau luar tonjolan-
kurva, konsep di balik desain ini adalah "over-koreksi" kurva selama delapan jam
penjepit dikenakan.
Brace Charleston biasanya dianjurkan untuk kurva tulang belakang dari 20-35
derajat, dengan puncak kurva di bawah tingkat tulang belikat (Innaz, 2012).
13

Gambar 2.4 Charleston Brace (www.prothotic.com)

d. Spinecor
Alat ini adalah alat yang paling umum digunakan saat ini. Brace ini
mempunyai bagian pelvic dari tali elastic kuat yang membungkus badan.
Menarik lekukan, putaran dan ketidakseimbangan. Alat ini kebanyakan sukses
untuk pasien yang memiliki kelengkungan relative kecil, struktur muda.
Biasanya dipakai 20jam sehari. Spinecor juga satu-satunya scoliosis brace untuk
orang dewasa. Brace ini dikembangkan di Montral, Canada dan sudah
digunakan di beberapa Negara (en.wikipedia.org).

Gambar 2.5 Spinecor Brace (www.adultscoliosisbrace.com).


14

2.3 Parameter Pengguna Hasil Produk

Parameter yang harus dipenuhi pada calon pengguna hasil produk antara lain
(Anis dkk, 2015):
Usia maksimal 20 tahun ( berhentinya masa pertumbuhan)
Derajat pembengkokan 30-40 derajat
Tulang belakang berbentuk huruf

2.4 Identifikasi Kebutuhan Pelanggan

Kami telah mengidentifikasi beberapa kebutuhan pelanggan melalui survei


yang kami lakukan melalui beberapa situs internet. Hasilnya, ada beberapa hal
yang diprotes oleh pelanggan dari produk-produk yang sudah ada di pasaran,
antara lain (Anis dkk, 2015):
Ringan
Nyaman
Efisien
Harga ekonomis
Kemampuan untuk di produksi secara massal

2.5. Diagram Fungsi Produk


15

2.6 Tabel Klasifikasi Kombinasi


Penahan Desain Brace Material
Full Body Polimer
Sebagian Kain Strech (korset) dan Polimer
Sabuk Belt

2.7 Rancangan Konsep


I. Konsep 1 (Referensi Boston)

Penahan Desain Brace Material


Full Body Polimer
Sebagiann Kain Strech (korset) dan Polimer
Sabuk Belt

Gambar 2.6 Konsep 1 (Anis dkk, 2015).


16

II. Konsep 2 (Referensi Spinecor)

Penahan Desain Brace Material


Full Body Polimer
Sebagian Kain Strech (korset) dan Polimer
Sabuk Belt

Gambar 2.7 Konsep 2 (Anis dkk, 2015).

III. Konsep 3
Penahan Desain Brace Material
Full Body Polimer
Sebagian Kain Strech (korset) dan Polimer
Sabuk Belt
17

Gambar 2.8 Konsep 3 (Anis dkk, 2015).


IV. Konsep 4
Penahan Desain Brace Material
Full Body Polimer
Sebagian Kain Strech (korset) dan Polimer
Sabuk Belt

Gambar 2.9 Konsep 4 (Anis dkk, 2015).

2.8 Matriks Penilaian Konsep


Berikut ini adalah matriks penilaian dari keempat konsep produk yang telah
kami buat.
18

Jadi dapat disimpulkan, konsep produk yang dipilih oleh kelompok kami
adalah konsep 4.

Gambar 2.10 Konsep Terpilih (Anis dkk, 2015).

2.9 Produk-produk yang ada di pasar

1. Lightweight Boston Brace


Lightweigh Boston Brace menawarkan kenyamanan dan dukungan
trunk maksimal dalam pengobatan Skoliosis Idiopatik dan Kyphosis. Boston Brace
dianggap sebagai sistem utama untuk pengobatan non-operasi Skoliosis dan
19

Kyphosis. Setiap penjepit custom terbuat dari polimer kelas ortopedi tanpa retak
dengan busa liner Polyethylene hypo-allergenic untuk kenyamanan optimal.

Gambar 2.11 Lightweight Boston Brace (www.eagleenterprisesproducts.com)


20

Referensi

Anis, F.E.F. dkk. 2015. Laporan Tugas Besar 2 Perancangan Produk.


en.wikipedia.org. Back Brace. https://en.wikipedia.org/wiki/Back_brace
diakses pada 29 Maret 2017.
Innaz, Allya. Macam-macam Brace.
http://www.allyainnaz.net/2012/12/macam2-brace.html diakses pada 29
Maret 2017.
www.adultscoliosisbrace.com diakses pada 31 Maret 2017
www.alodokter.com. Skoliosis. http://www.alodokter.com/skoliosis diakses
pada 29 Maret 2017.
www.bracingscoliosis.com. Milwaukee brace.
http://www.bracingscoliosis.com/milwaukee-brace.html diakses pada 31
Maret 2017
www.mayoclinic.com. Adult scoliosis.
http://healthletter.mayoclinic.com/content/preview.cfm/n/254/t/Adult
scoliosis/ diakses pada 2 April 2017
www.prothotic.com. Orthotic Services.
http://www.prothotic.com/Orthotic.html diakses pada 1 April 2017
www.eagleenterprisesproducts.com. Spinal Orthotics.
http://www.eagleenterprisesproducts.com/spinal-
orthotics.html#customized-boston-brace diakses pada 26 April 2017
21

Clubfoot Orthotic 3

3.1 Latar Belakang

Bayi yang lahir dengan keadaan sehat serta memiliki anggota tubuh yang
lengkap dan sempurna merupakan harapan dari seorang Ibu dan seluruh
keluarga. Namun terkadang pada beberapa keadaan tertentu didapati bayi yang
lahir kurang sempurna karena mengalami kelainan bentuk anggota tubuh. Salah
satu kelainan adalah kelainan bawaan pada kaki yang sering dijumpai pada bayi
yaitu kaki bengkok atau CTEV(Congeintal Talipes Equino Varus). CTEV adalah
deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai,
adduksi dari kaki depan, dan rotasi medial dari tibia (Adillani, 2014) dan salah
satu anomali ortopedik kongenital yang sudah lama dideskripsikan oleh
Hippocrates pada tahun 400 SM (Miedzybrodzka, 2002).
Clubfoot atau Congenital Talipes Equino-varus (CTEV) adalah istilah umum
yang digunakan untuk menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah
dari posisi yang normal. Nama CTEV berasal dari bahasa latin, Talipes berasal
dari kata talus (ankle) dan pes (foot), menunjukkan suatu kelainan pada kaki yang
22

menyebabkan penderitanya berjalan pada ankle-nya. Sedang Equinovarus berasal


dari kata equino (meng.kuda) + varus (bengkok ke arah dalam/medial). (Bagus
dkk., 2015)
CTEV rata-rata muncul dalam 1-2:1000 kelahiran bayi di dunia dan
merupakan salah satu defek saat lahir yang paling umum pada system
musculoskeletal (Angganugraha, 2016). Clubfoot merupakan kelainan konginetal
(terjadi sejak lahir) pada kaki, dapat mengenai satu atau keduanya yang posisi
abnormal pada sejak lahir. Merupakan deformitas (kelainan) kompleks yang
melibatkan tulang, otot, tendon, dan pembuluh darah. Kondisi ini pada anak
laki-laki rationya dua kali lebih sering dibandingkan anak perempuan dan 50 %
kasus adalah bilateral (terjadi pada kedua kaki), dan kejadiannya meningkat
10% pada keluarga yang memiliki kasus anak serupa. (Jani Orthoprost, 2013)
Patogenesisnya bersifat multifaktorial. Banyak teori telah diajukan sebagai
penyebab deformitas ini, termasuk faktor genetik, defek sel germinativum primer,
anomali vascular, faktor jaringan lunak, faktor intrauterine dan faktor miogenik.
Telah diketahui bahwa kebanyakan anak dengan CTEV memiliki atrofi otot betis,
yang tidak hilang setelah terapi, karenanya mungkin terdapat hubungan antara
patologi otot dan deformitas ini.
Diagnosis CTEV ditegakkan dengan gambaran klinis deformitas telapak
kaki yang dapat dilihat segera setelah bayi lahir. Kaki terputar dan terbelit
sehingga telapak kaki menghadap postero-medial ( depan-kearah dalam). Bila
kelainan ini tidak dikoreksi klinisnya akan lebih nyata dengan bertambahnya
umur, karena adanya kontraktur (pemendekan) otot serta perubahan
pertumbuhan muskuloskeletal.
Pengenalan dan penanganan secara dini pada clubfoot sangat penting
dimana Golden Period untuk terapi adalah tiga minggu setelah lahir, karena
pada umur kurang dari tiga minggu ligamen-ligamen pada kaki masih lentur
sehingga masih dapat dimanipulasi (Ismiarto, 2015). Alat ini disebut clubfoot
orthotic . Ada banyak sekali macam-macam bentuk clubfoot orthotic .Tetapi dari
berbagai macam clubfoot orthotic tersebut masih jarang yang desainnya tanpa
menggunakan bar penyambung , dan yang terpenting di negara Indonesia ini
belum ada desain clubfoot orthotic ini yang dapat memberikan pemakai dapat
bergerak bebas.
23

3.2 Tujuan Perancangan

Tujuan perancangan produk clubfoot orthotic ini adalah Membuat suatu desain
inovatif produk orthotic yang dapat digunakan untuk penderita penyakit clubfoot
dan dapat diproduksi secara massal. (Bagus dkk., 2015)

3.3 Identifikasi Kebutuhan Pelanggan

Sebelum membuat konsep desain harus diketahui terlebih dahulu apa yang
sebenarnya menjadi kebutuhan pelanggan supaya desain produk yang
dihasilkan dapat memiliki manfaat yang maksimal bagi pelanggan. Kebutuhan
pelanggan yang harus dipenuhi oleh produk Clubfoot Orthotic:
Produk dapat melakukan gerak kanan , kiri maupun menendang
Produk dapat diatur sudutnya hingga 70o
Produk dapat diproduksi massal dan digunakan penyandang penyakit
clubfoot
Produk memiliki nilai estetika

3.4 Penentuan Spesifikasi Teknis Produk

Indikator-indikator pada produk Clubfoot Orthotic yang perlu menjadi


pertimbangan untuk diaplikasikan dalam pembuatan desain produk adalah
(Bagus dkk., 2015):
o Anjuran pemakaian (usia minimal) adalah 6-12 bulan
o Sudut yang ditetapkan diatur tanpa menggunakan bar , tetapi pengunci
baut
o Dimensi (diameter x tinggi) = 90 mm
o Berat Maksimal Produk = 0,5 kg
o Beban maksimal pengguna = 10 kg

3.5 Tahap Perancangan

Tahap perancangan dimulai dengan mencari referensi desain clubfoot yang telah
ada dan apa saja kekurangan produk tersebut. Dan berusaha untuk mencari
solusi dari masalah yang ada tanpa mengurangi keunggulan produk tersebut.
24

Dalam tahap perancangan, memantau dari sisi mekanisme penahan, material


produk, derajat kebebasan, dan pengatur sudut.

3.5.1 Matriks Morfologi

Terdapat beberapa pilihan, ditinjau dari sisi mekanisme penahan, material


produk, derajat kebebasan dan pengatur sudut. Hal tersebut dapat dilihat pada
tabel 3.1

Tabel 3.1 Kombinasi Konsep

Dengan mempertimbangkan kombinasi konsep dengan identifikasi


kebutuhan pelanggan seperti dibahas sebelumnya, maka dipilih konsep yang
mempunyai bahan polyethylen , mempunyai 3 sumbu derajat kebebasan ,
pengatur sudut horizontal dan tanpa menggunakan bar.

3.5.2 Pembentukan Konsep

Kombinasi elemen yang sudah dipilih menghasilkan empat konsep yang


memiliki desain dan bentuk yang berbeda. Keempat desain ini memiliki
keunggulan masing-masing.
25

a. Konsep Pertama
Keunggulan konsep pertama adalah konsep ini merupakan metal-less atau tidak
menggunakan logam sama sekali, sehingga dapat bergerak secara fleksibel dan
ringan ketika digunakan. Gambar konsep pertama dapat dilihat pada gambar 3.1

.
Gambar 3.1 Konsep Pertama (Bagus dkk., 2015)

b. Konsep Kedua
Keunggulan konsep kedua ini adalah memakai batang penyangga disamping,
agar kaki dari pasien clubfoot ini bisa rigid . Desain dari konsep ketiga bisa diliha
pada gambar 3.2

Gambar 3.2 Konsep Kedua (Bagus dkk., 2015)


26

c. Konsep Ketiga
Keunggulan konsep ketiga adalah pengatur sudut yang berupa pengunci
lingkaran , dengan adanya pengatur sudut ini kaki konsumen akan dapat diatur
sudutnya dan dapat kembali normal , konsep ini juga menawarkan clubfoot
orthotic yang dapat bergerak bebas tanpa menggunakan bar. Gambar konsep
kedua dapat dilihat pada gambar 3.3

Gambar 3.3 Konsep Ketiga (Bagus dkk., 2015)

d. Konsep Keempat
Keunggulan konsep keempat adalah adanya logam yang disusun segitiga
sehingga memiliki konstruksi yang lebih kuat. Selain itu konsep ini memiliki
ukuran yang kecil dibanding konsep lain serta bentuk yang tidak rumit, sehingga
tidak mengganggu aktivitas pasien. Gambar konsep keempat dapat dilihat pada
gambar 3.4
27

Gambar 3.4 Konsep Keempat (Bagus dkk., 2015)

3.5.3 Seleksi Konsep

Dari empat konsep yang tersedia, dilakukan pemilihan konsep menggunakan


matriks keputusan seperti pada tabel 3.2

Tabel 3.2 Matriks Keputusan

Keterangan:
28

Wt = Bobot Nilai Maksimal


Nilai Minimal =1
Nilai Maksimal =5

Dari matriks keputusan, dihasilkan konsep produk yang terpilih yaitu


konsep produk ketiga. Tetapi konsep ketiga masih memiliki kekurangan-
kekurangan , maka konsep ketiga ini dikembangkan kembali menjadi lebih
sempurna . Hasil pengembangan konsep ketiga ini dapat dilihat pada gambar
3.5a dan 3.5b.

(a) (b)
Gambar 3.5 (a) Konsep ketiga tampak bawah (b) Konsep ketiga tampak samping
(Bagus dkk., 2015)

3.6 Desain dan Proses Manufaktur

Setelah dihasilkan konsep yang terpilih dari opsi-opsi konsep, maka konsep yang
dipilih dan dikembangkan tersebut dipersiapkan untuk memasuki proses
manufaktur supaya dapat diproduksi.

3.6.1 Analisa Pembebanan


Analisa Pembebanan dilakukan pada bagian poros utama produk dengan
pembebanan ekstrim sebesar 100 N sesuai dengan batasan produk yang telah
disepakati sebelumnya, dihasilkan analisa seperti gambar 3.6.
29

Gambar 3.6 Analisa Pembebanan (Bagus dkk., 2015)


Berdasarkan simulasi pembebanan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa dengan material dan desain yang dibuat, mampu menahan beban
maksimal pasien yaitu 10 kg.

3.6.2 Bill of Material


Adapun bahan material yang digunakan pada komponen-komponen dari desain
produk yang sudah terpilih adalah seperti pada tabel 3.3
30

Tabel 3.3 Bill of Materials


31

3.6.3 Estimasi Harga


Dalam manufaktur clubfoot orthitic ini, kami mengestimasukan harga sebesar Rp
1.000.000,00 dengan prosentase yang dapat dilihat pada tabel 3.4

Tabel 3.4 Persentase pembagian estimasi biaya

3.7 Produk-produk yang Ada di Pasar

Kasus clubfoot banyak terjadi pada anak kecil, maka masih memungkinkan
untuk melakukan proses operasi untuk penyembuhan. Namun pengobatan pasca
operasi masih membutuhkan alat orthosis agar penyembuhan maksimal.
Seperti pada gambar 3.7 dapat dilihat seorang anak yang menggunakan
Dennis-Browne orthosis untuk berjalan. Dan untuk anak yang berumur lebih
dari 3 tahun, digunakan sepatu orthosis kombinasi yang memiliki material
plastik dikombinasi dengan batang Dennis-Browne. Alat bantu ini digunakan
minimum selama 2 tahun terhitung setelah operasi.
32

Gambar 3.7 Pengguna Clubfoot Orthosis Pasca Operasi


33

Referensi

Adillani, M. (2014) . Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Conginetal Talipes Equino


Varus (CTEV) Bilateral di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Naskah Publikasi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Angganugraha, I. (2016). Congenital Talipes Equino Varus (CTEV). Sari Pustaka.
Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah FK UNUD Denpasar.
Derzsi, Z, dkk. (2013). Congenital Clubfoot in Children After Walking Age:
Management and Evaluation of 41 Feet with the Dimeglio Score. Journal of
Clinical and Diagnostic Research ISSN-0973-709X Volume 7 December
2013.
Ismiarto, Y.D. (2015). Congenital Talipes Equinovarus (CLUB FOOT). Handbook.
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Jani Orthoprost. (2013). Club Foot (Kaki Bengkok pada Bayi). http://jani-
orthoprost.com/club-foot-kaki-bengkok-pada-bayi.html (diakses pada 25
Maret 2017)
Miedzybrodzka C.D,. dkk . (2008). Genetic Basis of Idiopathic Talipes Equinovarus.
Inggris : J. Hum. Genet
34
35

Hip Abduction Splint 4

4.1 Pendahuluan

Pada awalnya sebelum teknologi berkembang manusia yang mengalami cacat


sejak lahir tidak bisa berbuat apa apa dengan kekurangannya tersebut, dengan
mengunakan pengobatan tradisional penyakit dysplasia sulit untuk
disembuhkan. Sampai pada ahirnya para peneliti mengambangkan alat untuk
menyanggah bagian tubuh yang mengalami dysplasia tersebut dengan
menggunakan alat hip abduction splint. Alat ini menahan beban bayi pada
bagian pinggul sampai ke paha agar bagian tersebut memiliki kekuatan untuk
menumpu beban dari bayi tersebut sehingga bayi dapat melakukan gerakan
seperti duduk dan merangkak. Hip abduction splint memiliki bagian untuk
menahan pinggul dengan melingkarkan sebuat ikat pada perut yang dibelakang
nya menggunakan plat logam sebagai penumpu, dan di bagian kedua paha
terdapat selongsong dengan ikat pada bagian depannya dan pada bagian
belakang terdapat plat logam untuk menumpu bagian paha, pada kedua bagian
paha terdapat sebuah pengunci dari plat logam untuk menahan pergerakan kaki
bayi (Bashir, dkk., 2014).
Hip abduction splint adalah sebagai alat untuk membantu terapi dysplasia
pangkal paha agar perkembangan dari persendian pangkal paha dengan tulang
paha kembali normal. Menurut Bashir dkk. (2014) diperlukan adanya
36

pengembangan alat hip abduction splint, oleh karena itu pada bab ini membahas
tentang perancangan produk pada alat hip abduction splint. Batasan masalah
perancangan produk ini sebagai berikut:
1. Hip abduction splint diperuntukan bayi usia < 1 tahun
2. Kenyamanan pengguna diperhatikan
3. Analisa material hanya mencakup berat dan kuat menahan beban

Gambar 4.1 Pasien hip abduction splint (http://www.ortopedialopez.com/)

4.2 Produk Hip Abduction Splint

Produk hip abduction splint yang berada di pasaran seperti Gambar 4.2 yang
diproduksi oleh PT. Kuspito Ortotik Prostetik. Spesifikasi produk, dipakai
sebagai night splint (dipakai pada posisi tidur), menggunakan material
polyethylene dan stainless steel.
37

Gambar 4.2 Produk hib abduction splint PT. Kuspito Ostetik Prostetik
(http://transtibialprostesis.com)

4.3 Proses Perancangan Produk

Menurut Bashir dkk. (2014), dalam perancangan produk hip abduction splint ini
terdiri dari beberapa fasa, yaitu:
4.3.1 Fasa 1
1. Identifikasi Kebutuhan
a. Hip abduction splint dapat menahan beban.
b. Hip abduction splint nyaman saat digunakan.
c. Hip abduction splint memiliki bobot yang ringan.
d. Hip abduction splint adjustsable.
e. Hip abduction splint nilai estetika yang menarik.

2. Spesifikasi Teknis
a. Hip abduction splint adjustsable.
b. Hip abduction splint memiliki sudut hip flexion 90o .
c. Hip abduction splint memiliki sudut abduction 45o .
d. Hip abduction splint untuk bayi berumur < 1 tahun.
38

4.3.2 Fasa 2
Pada fasa 2 dilakukan perancangan konsep, dengan diagram fungsi dijelaskan
pada gambar 4.1 4.3. Kemudian dibuat tabel matriks kombinasi konsep sesuai
tabel 4.1 - 4.4.

Gambar 4.3 Diagram fungsi I (Bashir dkk., 2014)

Gambar 4.4 Diagram fungsi II (Bashir dkk., 2014)

Gambar 4.5 Pohon klasifikasi (Bashir dkk., 2014)


39

Tabel 4.1 Matriks kombinasi konsep I (Bashir dkk., 2014)

Tabel 4.2 Matriks kombinasi konsep II (Bashir dkk., 2014)

Tabel 4.3 Matriks kombinasi konsep III (Bashir dkk., 2014)

Tabel 4.4 Matriks kombinasi konsep IV (Bashir dkk., 2014)


40

5.3.3 Fasa 3
Pada fasa ini langkah yang dilakukan adalah perancangan produk, yang
menghasilkan beberapa konsep produk yang ditampilkan pada gambar 4.4 4.7.

Gambar 4.6 Konsep I (Bashir dkk., 2014)

Gambar 4.7 Konsep II (Bashir dkk., 2014)


41

Gambar 4.8 Konsep III (Bashir dkk., 2014)

Gambar 4.9 Konsep IV (Bashir dkk., 2014)

4.3 Pengambilan Keputusan

Dalam penentuan pengambilan keputusan diperlukan perbandingan harga


produksi dan matriks keputusan, yang disajikan pada tabel 4.5 dan 4.6.
42

Tabel 4.5 Perbandingan harga tiap konsep (Bashir dkk., 2014)


Konsep Harga Produksi

1 Rp. 1.300.000,00
2 Rp. 1.500.000,00
3 Rp. 1.700.000,00
4 Rp. 1.250.000,00

Tabel 4.6 Matriks keputusan (Bashir dkk., 2014)

Dari ke-empat alternatif konsep produk telah ditentukan satu produk yang
sesuai kriteria yaitu konsep IV.
43

Referensi

Bashir, Iqbal. Nana Supriatna, Riyan Nur Ramadhan. Arif Rahman Hakim. Suryo
Handrajati. 2014. Perancangan Produk Pengembangan Hip Splint
Abduction. Teknik Mesin Universitas Diponegoro: Semarang.
http://transtibialprostesis.com/. 2010. Hip Abduction Orthosis.
http://transtibialprostesis.com/produk/120110/pediatric_orthosis/12039
6/hip_abduction_orthosis. Diakses pada pukul 20:11 tanggal 26 April 2017.
http://www.ortopedialopez.com/. Ortesis para Perthes.
http://www.ortopedialopez.com/tienda/ortesis-cadera/ortesis-para-
perthes/. Diakses pada pukul 20:23 tanggal 26 April 2017
44
45

Knee Brace 5

5.1 Pendahuluan

5.1.1 Ide Produk


Alat penyangga lutut yang ada saat ini untuk penyandang Osteo Arthritis masih
memiliki kekurangan yaitu masih terlalu terbatas dalam gerakannya.
Sedangkan bagi penyandang Osteo Arthritis sendiri padahal tidak boleh dibatasi
pergerakan pada sendi lututnya. Knee brace yang kami ciptakan membuat
penyandang dapat bergerak bebas pada sendi lutut dan juga dapat dikunci
pergerakannya jika penyandang menginginkannya, selain itu alat ini dapat
mengurangi beban berat badan yang sepenuhnya di sangga oleh sendi lutut.

5.1.2 Definisi
Knee Brace merupakan alat bantu bagi penyandang Arthritis pada sendi lutut.
Alat ini berfungsi untuk membuat penyandang lebih nyaman dengan
mengurangi nyeri sendi yang terjadi pada sendi lutut. Arthritis sendiri banyak
jenisnya, sedangkan alat yang kami buat berfungsi untuk membantu
penyandang Osteo Arthritis dimana ini merupakan penyakit degeneratif
progresif lambat di mana tulang rawan sendi secara perlahan menipis.
46

5.2 Fungsi Produk

5.2.1 Blok Fungsi

5.2.2 Diagram Blok Perancangan Alat


47

5.3 KONSEP DESAIN PRODUK

5.3.1 Pengembangan Konsep Produk


5.3.1.1 Konsep 1

Gambar 5.1 Konsep Knee Brace ke 1 ( Lukman dkk, 2015 ).

5.3.1.2 Konsep 2

Gambar 5.2 Konsep Knee Brace ke 2 ( Lukman dkk, 2015 )


48

5.3.1.3 Konsep 3

Gambar 5.3 Konsep Knee Brace ke 3 ( Lukman dkk, 2015 )

5.3.1.4 Konsep 4

Gambar 5.4 Konsep Knee Brace ke 4 ( Lukman dkk, 2015 )


49

5.3.1.5 Konsep 5

Gambar 5.5 Konsep Knee Brace ke 5 ( Lukman dkk, 2015 )

5.4 Matrik Pengambilan Keputusan

Langkah langkah:
a. Menyusun kriteria untuk membandingkan
b. Memilih konsep-konsep yang dibandingkan
c. Pemberian skor
d. Menjumlahkan skor
50

Tabel 5.1 Matrik Pengambilan untuk 5 Konsep


51

5.5 Bentuk Produk Terpilih

Berdasarkan matrik keputusan, maka konsep yang terpilih adalah konsep ke-5,
dimana memiliki nilai tertinggi dibanding konsep yang lainnya.

Gambar 5.6 Konsep Knee Brace ke 5 ( Lukman dkk, 2015 )

Spesifikasi
Material Batang Penyangga : Carbon
Pengikat : Strap
Pengubung penyangga : Polymer
Pelindung kenyamanan : Spandek
Mekanisme pergerakan sendi : Angle Lock
Hasil pergerakan sendi : Flexible

5.6 Inovasi Produk Knee Brace

Dalam perkembangan nya, knee brace dinilai cukup efektif dalam menangani
cidera pada lutut maupun kelainan pada tulang sejak lahir. Hal ini membuat orang
berlomba lomba untuk berinovasi guna mengembangkan produk ini.
52

5.6.1 C-Brace High-Tech Leg Brace


C- Brace ini di desain untuk membantu para penyandang disabilitas pada kakinya,
yang disebabkan cidera parah, ataupun bawaan sejak lahir. Dengan teknologi
tinggi pada knee brace ini, akan menggunakan sensor pada alat yang jika
merasakan gerakan, alat ini akan dengan sendirinya bergerak sehingga
penggunanya hampir tidak perlu menggunakan tenaga tambahan. Berjalan akan
terasa seperti kaki normal.

Gambar 5.7 High Tech Knee Brace.

Kelebihan knee brace berteknologi tinggi ini bukan hanya terasa secara fisik
namun secara mental, semangat hidup penggunanya semakin naik, dapat
bersenang-senang dengan kaluarga kemana saja, tidak bergantung pada kursi
roda, dan sebagainya.

5.6.2 E-MAG Active Electronically Controlled Knee Joint System


E-MAG adalah inovasi baru yaitu knee brace yang akan aktif dan bergerak secara
normal dan dapat menyeimbangkan gerak gerik tubuh khusus pemiliknya. Ini
sangat efektif karena penggunanya dapat sampai lupa jika ia sedang
menggunakan knee brace dan mental, semangat hidup akan berkembang secara
positif.
53

Gambar 5.8 E-MAG Active Electronically Controlled Knee Joint System

5.6.3 Knee Brace Dalam Negri


Produk knee brace buatan dalam negeri yang ada di pasaran saat ini didominasi
oleh dua perusahaan pembuat alat alat ortotik dan prostetik, yaitu CV Japro
Medika dan PT. Kuspito Prosthetic & Orthotic.

Gambar 5.9 Knee Brace buatan PT. Kuspito Prosthetic & Orthotic
(www.kuspito.org, 2015)
54

Gambar 5.10 Knee Brace buatan CV Japro Medika (www.japromedika.com, 2015)

Selain produk dalam negeri, terdapat juga knee brace yang diproduksi oleh
perusahaan asing seperti DonJoy dari Amerika, dan Mueller dari Jerman. Kedua
produk asing tersebut unggul jauh dari produk dalam negeri, baik dari segi
kenyamanan dan kekuatan. Harga knee brace dari kedua produk luar negeri
tersebut juga lebih mahal dari harga produk buatan dalam negeri.

Gambar 5.11 Knee Brace produksi DonJoy (www.djoglobal.com, 2015)


55

Gambar 5.12 Knee Brace produksi Mueller (www.muellersportsmed.com, 2015)

Tabel 2.1 Perbandingan harga produk Knee Brace


Produsen Harga (dalam rupiah)
PT. Kuspito Prosthetic & Orthotic 3.000.000,00
CV Japro Medika 2.000.000,00
DonJoy 9.000.000,00
Mueller 3.500.000,00

5.7 Kelemahan Knee Brace Dalam Negeri

Produk knee brace dalam negeri masih tertinggal jauh dari produk knee brace buatan
perusahaan asing. Masih banyak kekurangan dari produk buatan dalam negeri,
salah satunya adalah produk knee brace buatan PT. Kuspito Prosthetic & Orthotic
yang memilikikekurangan pada elastisnya.
Kegunaan elastis pada knee brace ini adalah untuk menahan pengnci swiss
lock agar tidak terbuka saat pengguna sedang berdiri. Kekurangannya adalah
elastis ini ada jangka waktu dimana elastis ini harus diganti, karena sudah tidak
lagi elastis dan tidak kuat lagi menahan beban.
56

Elastis

Gambar 5.13 Elastis pada knee brace buatan PT. Kuspito Prosthetic & Orthotic

5.7 Paten paten Knee Brace

Berbagai macam knee brace sudah diproduksi, dan berbagai macam paten
mengenai knee brace juga sudah banyak tercipta. Ada beberapa paten yang menjadi
dasar memulai perancangan ini. Adapun paten yang menjadi dasar itu adalah:

a. Paten US 5,063,916
Penggagas paten ini adalah E. Paul France,Richard L. Ellingson, dan E. Paulos.
Ketiganya mendapatkan hak paten untuk rancangannya pada tanggal 1 Juni 1990.
57

Gambar 5.14 Paten US 5,063,916

Bentuk knee brace dari rancangan paten ini adalah terdapat dua cuff atas
bawah yang terpasang pada knee joint. Pengunci pada rancangan ini menggunakan
engsel pengunci freecentric. Sebagai mekanisme kunci pada rancangan ini, terdapat
pin di bagaian atas engsel pengunci freecentric, guna pin ini adalah untuk
membatasi gerakan rotasi knee brace dan mengunci posisi knee brace saat digunakan.

b. Paten US 7,150,721 B2
Guy M. Houser mendapatkan hak paten untuk rancangannya pada tanggal 29 Juni
2004. Desain knee brace pada rancangan ini berbeda dengan rancangan knee brace
pada umumnya, denga desain berbentuk huruf S. Mekanisme kunci pada
rancangan ini bisa dilihat pada gambar dibawah.
58

Gambar 5.15 Paten US 7,150,721 B2

Gambar 5.16 Bagian bagian system pengunci


59

Gambar 5.17 Mekanisme pengunci

c. Paten US 7,201,728 B2
Paten ini digagas oleh Shane Sterling, beliau mendapatkan hak paten untuk
rancangannya pada tanggal 26 Juni 2003. Rancangan desain ini pada umumnya
sama dengan rancangan knee brace kebanyakan. Namun, yang jadi kelebihan dari
rancangan ini ada pada knee joint-nya, dimana tekanan pada knee joint bisa diatur
sesuai dengan keadaan penggunanya.
60

Gambar 2.10 Paten US 7,201,728 B2

Gambar 2.11 Sistem knee joint


61

Referensi

Lukman, M dkk. (2015). Knee Brace untuk Penyandang Osteo Arthritis. Laporan
Perancangan Produk. Teknik Mesin Universitas Diponegoro
Ottobock. (2016). E-MAG Active Electronically Controlled Knee Joint System.
http://www.ottobockus.com/orthotics/solution-overview/stance-control-
knee-brace-e-mag-active/ (diakses pada 5 April 2017)
62
63

Wearable Exoskeleton Robotic 6


Finger dan Supernumerary Thumb

6.1 Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berkembang dengan pesat
seiring dengan permasalah-permasalahan yang ada. Perkembangan akan menjadi
lebih inovatif dengan adanya penggabungan lebih dari satu bidang keilmuan,
sebagai contohnya biomedical engineering. Biomedical engineering adalah disiplin
ilmu baru yang mencakup bidang ilmu keteknikan (engineering), ilmu komputer
(computer science), dan ilmu kedokteran (medical science). Dalam melakukan
penelitian di bidang biomedical engineering, para peneliti dari berbagai bidang
tersebut melakukan penelitian bersama untuk memecahkan persoalan yang ada
terutama pada bidang kesehatan. Salah satu masalah yang ada di Indonesia
adalah minimnya penelitian tentang wearable robotic yang aktif dan responsif bagi
penyandang disabilitas untuk mendukung aktifitas sehari-hari.
Saat ini di Indonesia, orang-orang masih menggunakan alat bantu manual
khusus tangan yang masih belum menggunakan sistem kontrol otomatis yang
dapat digunakan mengikuti keinginan dari penggunanya. Berbeda dengan
penelitian di luar negeri seperti di Amerika dan China yang sudah
mengembangkan wearable robotic hand yang menggunakan electroencephalograph
(EEG) sensor dan electromyograph (EMG) sensor sebagai data input untuk
menggerakan wearable robotic hand yang dapat mengikuti keinginan dari pengguna.
64

Tapi karena harga alat tersebut cukup mahal, penderita disabilitas tangan di
Indonesia yang berasal dari kalangan kurang mampu tidak membeli alat tersebut,
sehingga penyandang disabilitas tangan pada akhirnya memilih alat bantu yang
manual atau tidak menggunakan alat bantu sama sekali. Disisi lain wearable robotic
hand yang ada di luar negeri kurang sesuai dengan karakterstik tangan dari
penyandang disabilitas tangan di Indonesia. Hal ini dikarenakan dimensi atau
ukuran tangan di luar negeri berbeda dengan penyandang disabilitas di Indonesia.
Untuk itu dibutuhkan adanya penelitian khusus dan pengembangan keilmuan
untuk wearable robotic hand berbentuk exoskeleton untuk penyandang disabilitas
tangan di Indonesia.

6.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


a. Merancang desain Wearable Exoskeleton Robotic Fingers dan Supernumerary
Thumb yang dapat digunakan untuk aktivitas sehari - hari.
b. Menghitung nilai tegangan von Mises pada Wearable Exoskeleton Robotic
Fingers dan Supernumerary Thumb saat dikenai pembebanan dengan simulasi
menggunakan metode elemen hingga dengan variasi geometri dan
ketebalan untuk memilih desain geometri terbaik.
c. Membuat prototipe guna mengetahui bentuk nyata dari desain yang dibuat
dari desain Wearable Exoskeleton Robotic Fingers dan Supernumerary Thumb.

6.3 Produk

Produk didefinisikan sebagai keluaran (output) yang didapat dari suatu proses
produksi (transformasi) dan merupakan pertambahan nilai dari bahan baku
(material input) dan merupakan komoditi yang dijual perusahaan kepada
konsumen. Proses transformasi akan menyebabkan perubahan bentuk dan
dimensi fisik dari material input serta sifat- sifat material lainnya sesuai dengan
rancangannya. Proses transformasi ini baru akan berarti positif apabila diikuti
dengan adanya pertambahan nilai (added value) dari output yang dihasilkan baik
berupa pertambahan nilai fungsional maupun ekonomi (Widjojo, 2005).

6.3.1 Siklus Kehidupan Produk


Siklus hidup produk adalah suatu konsep penting yang memberikan pemahaman
tentang dinamika kompetitif suatu produk. Siklus hidup produk (product life cycle)
65

menggambarkan riwayat produk sejak diperkenalkan ke pasar sampai dengan


ditarik dari pasar. Gambar 6.1 menunjukan siklus kehidupan produk. Ada
berbagai pendapat mengenai tahap- tahap yang ada dalam siklus hidup produk
suatu produk. Ada yang menggolongkannya menjadi introduction, growth,
maturity, decline, dan termination. Sementara itu ada pula yang menyatakan bahwa
keseluruhan tahap- tahap siklus hidup produk terdiri dari introduction (pioneering),
rapid growth (market acceptance), slow growth (turbulance), maturity (saturation), dan
decline (obsolescene). Meskipun demikian pada umumnya yang digunakan adalah
penggolongan ke dalam empat tahap, yaitu introduction, growth, maturity, dan
decline (Pahl dan Beitz, 2013).

Gambar 6.1 Siklus kehidupan produk (Pahl dan Beitz, 2013).


66

6.3.2 Originalitas Produk


Setiap produk mengandung originalitasnya sendiri, kandungan originalitas
produk yang satu berbeda dari kandungan originalitas produk lainnya. Dari segi
originalitas produk dibedakan sebagai berikut (Harsokoesoemo, 2004):

a. Produk original
Produk original adalah produk yang dapat dikatakan sama sekali baru yang
merupakan hasil kreatifitas penemunya. Produk original tersebut adalah produk
yang belum pernah ada sebelumnya. Produk original dapat terealisasi karena: (1)
terjadinya penemuan baru hasil daya kreatifitas penemu produk, (2) timbulnya
teknologi baru sebagai hasil kreatifitas seseorang atau sebuah tim, (3) kombinasi
dari prinsip- prinsip kerja atau teknologi yang telah dikenal sebelumnya yang
dikombinasikan secara kreatif sedemikian rupa sehingga menghasilkan produk
baru.

b. Produk hasil inovasi


Produk inovasi adalah produk lama (produk yang sudah ada) yang
mengalami perubahan- perubahan baik perubahan dalam bentuk dan ukurannya
tetapi terutama perubahan dalam fungsinya sebagai hasil dari inovasi perancang,
sehingga menjadi produk baru dengan fungsi baru.

c. Produk varian
Produk varian adalah produk yang hanya berbeda dimensinya dari produk
yang sudah ada. Tidak diperlukan kreatifitas maupun daya inovasi untuk
merancang produk varian. Dalam praktek orang agak sukar membedakan dengan
tegas antara produk varian dan produk hasil inovasi, sebab pada produk varian,
misalnya dapat terjadi seorang perancang masih harus merubah hal- hal lain
diluar dimensi agar produk dapat berfungsi dengan sempurna. Padahal produk
sebagai hasil perubahan diluar perubahan dimensi sebenarnya adalah produk
hasil inovasi, dan bukan produk varian.

Ketiga macam produk tersebut diatas memerlukan tiga buah nama merancang
yaitu:
- Perancangan original atau original design
- Perancangan adaptif atau adaptive design untuk merancang produk- produk
yang inovasi
- Perancangan varian atau varian design
67

6.3.3 Ciri Produk Berhasil


Produk akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, baik perubahan dari
dalam atau masukan dari luar yang merupakan tuntutan kebutuhan konsumen.
Untuk mendesain suatu produk baru, terlebih dahulu harus memahami konsep
dalam pengembangan suatu produk. Dalam pandangan perusahaan yang
berorientasi pada keuntungan (profit oriented enterprise), kesuksesan perancangan
dan pengembangan produk disesuaikan oleh (Ulrich dan Eppinger, 2001):

a. Kualitas produk
Produk harus dapat memuaskan keinginan konsumen, reliable dan robust.
b. Biaya Produk
Produk harus dapat diproduksi dengan biaya yang murah. Biaya produksi yang
dimaksud sudah termasuk biaya produksi, biaya pemasaran, dan peralatan.
c. Waktu pengembangan produk
Waktu yang dibutuhkan pengembang dalam mengembangkan suatu produk yang
menunjukan daya tanggap perusahaan terhadap perubahan teknologi.
d. Biaya pengembangan
Besarnya biaya yang diperlukan untuk mengembangkan produk
e. Kapabilitas perancangan produk
Merupakan kemampuan mengembangkan produk dengan lebih efektif dan
ekonomis dimasa yang akan datang.

6.4 Perancangan dan Pengembangan Produk

Perancangan produk pada dasarnya merupakan sebuah langkah strategis untuk


bisa menghasilkan produk- produk industri yang secara komersial harus mampu
dicapai, guna menghasilkan laju pengembalian modal (rate of investment). Ukuran
sebuah perancangan produk tidak hanya dilihat dari aspek teknis semata,
melainkan harus memenuhi kriteria sukses dalam hal nilai tambah ekonomisnya.
Untuk memberikan jaminan agar sebuah rancangan produk mampu memenuhi
harapan diperlukan analisa dan evaluasi yang didasarkan pada metode
pendekatan tekno- ekonomi. Tiga fungsi yang paling penting bagi proses
pengembangan produk yaitu:

1. Pemasaran
Pemasaran berfungsi menjembatani interaksi antara perusahaan dengan
pelanggan, peranan lainnya adalah memfasilitasi proses identifikasi kebutuhan
68

pelanggan, menetapkan target harga, merancang peluncuran serta promosi


produk.

2. Perancangan
Perancangan berfungsi dalam mendefinisikan bentuk fisik produk agar dapat
memenuhi kebutuhan pelanggan, mencakup design engineering (mekanik,
ergonomi, dan lain- lain)

3. Manufaktur
Proses manufaktur bertanggung jawab untuk merancang dan mengoperasikan
sistem produksi pada proses produksi produk. Pengembangan produk merupakan
keharusan bagi perusahaan untuk dapat mempertahankan kelangsungan
hidupnya karena tidak ada satupun produk yang dapat bertahan selamanya. Hal
yang membuat usaha pengembangan produk cukup menantang adalah:

a. Trade- off
Aspek pengembangan produk adalah mengetahui, memahami, dan
mengendalikan pertentangan (trade- off) dalam rangka memaksimalkan
kesuksesan produk.
b. Dinamika
Merupakan teknologi pengembangan produk baru dari pesaing lingkungan
makro ekonomi yang selalu berubah.
c. Detail
Mencakup pemilihan komponen yang tepat pada suatu produk sehingga
menghemat biaya yang cukup besar atau meningkatkan profit.
d. Tekanan waktu (time pressure)
Kesulitan dapat diatasi dengan mudah jika tersedia waktu yang cukup
dalam proses pengembangan produk harus diambil dengan cepat tanpa
informasi yang kurang lengkap.

Terdapat aktivitas produksi lain selain perancangan dan pengembangan


suatu produk yang akan melibatkan penanganan pengendalian kualitas, mulai
dari pengawasan bahan baku, bahan produksi, sampai barang jadi. Pengendalian
kualitas sebagai pengendalian inspeksi atas karakteristik kualitas produksi yang
akhirnya didapat kualitas produksi yang tinggi. Data- data yang diperoleh dari
tanggapan responden akan mendasari suatu proses perancangan dan
pengembangan suatu produk atau alat, sehingga didapatkan suatu perkiraan
69

tentang sebuah hasil karya yang diinginkan pemakai guna meningkatkan


produktivitas dan efektivitas kerjanya. Yang mana nantinya alat yang kita ciptakan
tersebut memiliki berbagai macam keunggulan dari pada produk yang telah ada
dipasaran dan sesuai dengan apa yang selama ini diharapkan pemakai.
Dapat disimpulkan dibutuhkan kerjasama dari pihak lain dalam
perancangan dan pengembangan produk untuk meningkatkan suatu barang atau
jasa tidak dapat dilakukan sendiri, untuk mengatur dan mengkombinasikan
sehingga diperoleh suatu produk yang diinginkan, seperti halnya mesin, bahan,
manusia, dan lain- lain (Ulrich dan Eppinger, 2001).

6.5 Identifikasi Kebutuhan Pelanggan

Mengumpulkan data mentah dari pelanggan untuk mengahasilkan produk yang


benar-benar diinginkan pelanggan, menciptakan jalur informasi yang berkualitas
dari pelanggan, maka proses pengumpulan data yang dipaparkan di bawah ini
akan mencakup kontak dengan pelanggan dan rnengumpulkan pengalaman dari
lingkungan pengguna produk. Tiga metode yang biasa digunakan adalah (Ulrich
dan Eppinger, 2001):

a. Wawancara: Wawancara biasanya dilakukan pada lingkungan pelanggan dan


berlangsung sekitar 1 sampai 2 jam.
b. Kelompok fokus: Moderator memfasilitasi suatu diskusi kelompok yang
disebut kelompok fokus selama 2 jam. Kelompok ini terdiri dari 8 sampai 12
orang pelanggan. Kelompok ini ditempatkan pada suatu ruangan yang
dilengkapi cermin pada dua sisi yang membantu anggota tim pengembang
mengamati proses yang sedang berlangsung.
c. Observasi produk pada saat digunakan: Mengamati pelanggan menggunakan
produk atau melakukan pekerjaan yang sesuai dengan tujuan produk
tersebut diciptakan, dapat memberikan informasi yang penting mengenai
kebutuhan pelanggan.

6.6 Metode Pencarian Konsep Produk

Selama fase pertama proses perancangan produk berlangsung, yaitu ketika


dirumuskan proyek dan penyusunan spesifikasi teknis produk dan seterusnya,
para anggota tim perancangan yang terlibat sudah dapat memperoleh beberapa
70

ide tentang solusi yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi beberapa konsep
produk dan akhirnya dikembangkan menjadi produk.
Konsep produk yang diperoleh selama fase perancangan pertama tersebut
dapat dikumpulkan dalam suatu daftar konsep produk. Pencarian solusi konsep
produk lebih lanjut dapat dilakukan dengan cara yang lebih baik dan lebih
sistematik. Metode dasar pencarian konsep produk, yang terdiri dari
(Harsokoesoemo, 2004):
a. Metode brainstorming
b. Metode 6 - 3 - 5 (brain writing)
c. Metode analogi
d. Memakai paten
e. Buku-buku referensi dan jurnal teknik
f. Melakukan konsultasi dengan pakar
g. Metode morfologi

Metode morfologi dapat menemukan alternatif konsep produk terbanyak


dibandingkan dengan metode-metode lainnya, untuk keperluan pembahasan
metode morfologi diperlukan pengertian dan definisi fungsi, sistem fungsi dan
struktur fungsi produk, disamping metode morfologi yang banyak digunakan dan
yang menghasilkan banyak alternatif konsep produk, maka ada beberapa metode
lain yang dikelompokkan dalam metode dasar pencarian konsep produk.
Metode lain adalah metode logis, yang antara lain meliputi metode TRIZ
dari Rusia dan metode perancangan aksiomatik yang dikembangkan di MIT,
dalam kelompok metode dasar, maka pencariaan konsep produk adalah: 1)
metode brain-storming, 2) metode brain-writing (metode 6-3-5), 3) metode analogi, 4)
mencari informasi dari penerbitan-penerbitan teknik dan 5) meminta bantuan
konsultan atau pakar untuk mencarikan ide konsep produk.

6.6.1 Metode Brain Stroming


Pada sub-sub bab ini akan dibahas metode brainstorming saja. Brainstorming
adalah aktivitas yang didasarkan pada dinamika grup yang mula-mula digagas
oleh Osborn. Proses brainstorming dilakukan oleh grup yang secara singkat, dapat
dijelaskan sebagai berikut:

a. Komposisi grup
1. Grup harus mempunyai seorang pemimpin. Grup terdiri dari sedikitnya
lima orang dan maksimum 15 orang.
71

2. Anggota grup jangan dibatasi pada para pakar saja, tetapi juga anggota
yang datang dari berbagai kalangan, termasuk kalangan non-teknis,
untuk menambah dimensi baru ide konsep produk.
3. Grup disusun tanpa hirarki, kecuali pemimpin grup. Semua anggota
grup mempunyai kedudukan yang sama.

b. Pemimpin Grup
1. Pada prinsipnya, pemimpin grup hanya mempunyai kewenangan
organisasi, seperti mengatur komposisi grup, mengundang ke
pertemuan, menentukan lama pertemuan, dan melakukan evaluasi.
2. Pada permulaan pertemuan, pemimpin grup menjelaskan soal yang
dihadapi. Pemimpin grup hatus berusaha agar semua peraturan ditaati.
3. Pemimpin grup berupaya agar pertemuan berlangsung santai dan betas
dan tidak ada satu kritikpun yang dilontarkan atas idea yang diajukan
oleh para anggota grup.

c. Prosedur
1. Semua anggota harus membebaskan diri dari semua prasangka
intelektual, para anggota tidak mencemoohkan ide yang diajukan oleh
anggota lain, tidak boleh mengkritik.
2. Setiap anggota harus mengusulkan ide sebanyak-banyaknya tanpa
kendala.
3. Ide dapat dalam bentuk kata-kata atau sketsa.
4. Ide sebaiknya cukup nyata untuk memungkinkan terbentuknya ide yang
merupakan solusi problem.
5. Kemungkinan apakah ide dapat direalisasikan atau tidak, tidak perlu
dipikirkan terlebih dulu.
6. Lama pertemuan brainstorming sebaiknya tidak melebihi 45 menit. Lebih
baik menyelenggarakan pertemuan pada lain kesempatan daripada
memperlama pertemuan.

d. Evaluasi
Semua ide yang terkumpul pada pertemuan brainstorming dicatat dan dikaji
oleh para pakar untuk memperoleh ide yang mempunyai potensi untuk menjadi
solusi problem. Hasil evaluasi tersebut diurutkan dengan urutan teratas ide yang
paling baik dan layak untuk dikembangkan lebih lanjut.
72

Hasil akhir diputuskan oleh pertemuan dimana semua anggota grup hadir.
Dalam pertemuan ini, masih mungkin muncul ide-ide baru atau dalam pertemuan
ini ide-ide terdahulu dimatangkan (Harsokoesoemo, 2004).

6.6.2 Metode Brain Writing


Salah satu kelemahan metode brainstroming adalah adanya kemungkinan
pertemuan didominasi oleh satu atau beberapa anggota saja. Metode brainwriting
memaksa agar semua anggota tim berpartisipasi dengan kedudukan yang sama.
Pertukaran ide solusi tidak dilakukan secara lisan melainkan secara tertulis. Ide
disampaikan dengan deskripsi kata-kata atau deskripsi sketsa.
Jumlah anggota team yang optimal adalah 6, karena itu nama metode ini
dimulai dengan bilangan 6-3-5. Dalam praktek, jumlah peserta dapat berkisar
antara 3 dan 8. Setiap peserta mengambil secarik kertas, membaginya menjadi 3
kolom, pada masing-masing kolom dituliskan/digambarkan ide solusi dan fungsi
konsep produk yang sedang dibahas. Bilangan 3, yaitu jumlah kolom, termasuk
dalam nama metode ini, 6-3-5.
Setiap peserta diberi waktu 5 menit untuk menuliskan/menggambarkan
ketiga ide solusi dari fungsi konsep produk. Angka 5 termasuk dalam nama
metode ini 6-3-5. Setelah selesai maka kertas yang sudah berisi dengan 3 ide solusi,
diedarkan kepada peserta yang ada disebelah kanannya. Kemudian semua peserta
diberi waktu 5 menit lagi untuk menuliskan/menggambarkan 3 ide solusi lagi
pada kertas yang ada dihadapannya. Peserta sebaiknya mempelajari terlebih
dahulu ide solusi peserta yang ada disebelah kirinya, sebelum dia menambah 3 ide
solusi lagi. Setelah 5 menit kedua ini selesai, kertas diedarkan lagi pada peserta
yang ada disebelah kanannya.
Demikian seterusnya sampai setiap kertas selesai diedarkan pada semua
peserta. Akhirnya peserta dapat berdiskusi untuk mencari ide solusi
terbaik. Selama proses pencarian konsep produk berlangsung, tidak boleh terjadi
komunikasi lisan, kecuali pada akhir proses (Harsokoesoemo, 2004).

6.6.3 Metode Analogi


Dengan mengamati bagaimana binatang, alam atau benda lain dapat
melaksanakan suatu fungsi, maka hal tersebut dapat memicu datangnya ide solusi
pada pengamat yang sedang mencoba mencari solusi fungsi suatu produk/
konsep produk yang sedang dihadapinya, yang sama atau mirip dengan fungsi
yang dilakukan oleh binatang, alam atau benda.
73

Metode analogi dapat menghasilkan ide solusi yang baik ataupun yang
buruk. Mencoba ide solusi untuk terbang dengan meniru burung terbang dengan
mengepakkan sayapnya, ternyata merupakan pencarian ide solusi yang buruk.
Dalam hal ini metode analogi tidak memberikan hasil.
Dalam proses pencarian suatu ide tidak jarang ditemui kasus ide tersebut
bukan ide baru atau ide original, tetapi ide yang sudah ditemukan orang
sebelumnya. Hal tersebut dapat terjadi karena memang belum dibuat daftar dari
semua ide solusi yang dapat memenuhi suatu fungsi dan karena banyak ide dan
konsep produk yang tidak dituliskan atau dicatat terutama sebelum dan pada
awal abad ke-20. Untuk menghindari menciptakan ide yang sudah dibuat orang
sebelumnya, maka selama proses pencarian ide untuk konsep produk, perancang
sebaiknya juga membuka-buka dokumen, seperti dokumen paten dan jurnal-jurnal
profesi (Harsokoesoemo, 2004).

6.6.4 Memakai Paten Sebagai Sumber Ide


Jumlah penemuan yang dipatenkan di Indonesia tidak terlalu banyak,
sehingga daftar paten di Indonesia bukan merupakan sumber ide yang subur. Lain
halnya dengan di Amerika Serikat, dimana tercatat lebih dari lima juta buah paten.
Disana, mencari paten yang dapat dipakai sebagai sumber ide bahkan menjadi
problem tersendiri. Untuk mengatasi hal tersebut haruslah dipakai jasa konsultan
yang pakar dalam mencari paten-paten yang diperlukan (Harsokoesoemo, 2004).

6.6.5 Buku, Jurnal, dan Katalog Sebagai Ide


Buku dan jurnal profesi, termasuk buku dan jurnal lama, merupakan
sumber ide solusi untuk suatu konsep produk. Sekali lagi, keadaan di Indonesia
tidak menunjang hal ini. Perpustakaan- perpustakaan di Indonesia tidak
mempunyai koleksi buku- buku teknik yang cukup Iengkap dan jurnal profesi
yang dapat dipakai sebagai sumber ide solusi untuk konsep produk.
Sumber ide untuk konsep produk yang sangat menolong adalah katalog
yang dikeluarkan oleh pembuat/pabrik atau manufacturer berbagai produk dan
perwakilan manufacturer yang dalam usaha memasarkan produk-produknya akan
terbuka untuk memberi informasi tentang produk-produknya tersebut
(Harsokoesoemo, 2004).

6.6.6 Menyewa Konsultan untuk Mengembangkan Konsep Produk


Dalam hal perancangan produk original di bidang yang tidak dikuasai oleh
seorang perancang pun di perusahaan, maka dapat disewa jasa konsultan yang
74

ahli dalam bidang produk yang sedang dirancang, jika dapat ditemukan konsultan
tersebut. Perusahaan mempunyai pilihan lain untuk merancang sendiri produk
baru tersebut dengan resiko menghabiskan waktu yang agak panjang dan tekanan
berat yang akan dialami para anggota tim perancang. Tetapi akhirnya perusahaan
akan memperoleh keahlian yang sangat berharga, terutama untuk perancangan
produk yang akan datang karena sudah menemukan metode merancang produk
baru (Harsokoesoemo, 2004).

6.6.7 Metode Morfologi


Metode morfologi menggunakan struktur fungsi untuk menemukan
alternatif-alternatif konsep produk. Metode morfologi merupakan metode yang
dapat menemukan banyak alternatif konsep produk, metode yang sistematik dan
menggunakan prosedur yang mudah diikuti. Metode morfologi terdiri dari dua
langkah yaitu: 1) untuk setiap sub-fungsi yang tak teruraikan dan sub- sub- fungsi
dicari solusinya, bahkan diusahakan dicari sebanyak mungkin solusinya. Solusi-
solusi tersebut berupa mekanisme yang dapat melaksanakan sub- fungsi tak
teruraikan dan sub- sub- fungsi- sub- sub- fungsi. 2) untuk menemukan alternatif-
alternatif konsep produk, maka dibentuklah kombinasi- kombinasi solusi, yaitu
setiap kombinasi terdiri dari satu solusi dari setiap sub- fungsi yang tak teruraikan
dan sub- sub- fungsi.
Jumlah kombinasi solusi yang dapat dibentuk merupakan jumlah yang
sangat banyak, mungkin terlalu banyak. Tetapi banyak pula diantara kombinasi
solusi tersebut yang tidak dapat disambung atau dihubungkan. Dapat
ditambahkan disini, bahwa gambar sketsa dapat dibuat pada setiap pembentukan
atau penyusunan kombinasi solusi, suatu hal yang sangat menjelaskan apakah
penyambungan mekanisme dapat dibuat. Metode morfologi banyak digunakan
dalam praktek perancangan. Salah satu aspek yang menarik dari metode
morfologi adalah kemampuannya menyimpan sejarah tentang cara pemenuhan
banyak macam fungsi, yang pasti akan sangat berguna untuk pemecahan solusi
berbagai produk baru pada waktu yang akan datang (Harsokoesoemo, 2004).

6.7 Penyusunan Spesifikasi Teknis dengan Metode Quality


Function Deployment (QFD)

Dalam menyusun spesifikasi teknis suatu produk, dianjurkan untuk


nmenggunakan metode QFD. Di samping untuk menyusun spesifikasi teknis
produk, metode QFD diorganisasikan untuk menghasilkan informasi- informasi
75

yang penting untuk dapat mengerti secara mendalam tentang masalah produk.
Metode QFD dapat digunakan untuk produk maupun sub-produk. Diagram QFD
dapat dilihat pada Gambar 6.2.
Metode QFD dikembangkan di Jepang pada pertengahan tahun 1970 dan
kemudian masuk ke Amerika Serikat pada tahun 1980-an. Kini banyak sekali
perusahaan di Amerika yang menggunakan metode QFD dalam perancangan dan
pengembangan produk. Dari hasi survei ditemukan bahwa mayoritas (83%)
perusahaan menyatakan bahwa metode QFD berhasil rnenambah kepuasan
pengguna dan 76% perusahaan menyatakan bahwa hasil metode QFD
menyebabkan terbentuknya keputusan- keputusan yang rasional (Harsokoesoemo,
2004).

Bagaimana
vs
Bagaimana

Siapa Bagaimana Sekarang

Siapa
vs Sekarang
Apa Apa vs Bagaimana
Apa vs Apa

Berapa Banyak

Gambar 6.2 Rumah kualitas atau diagram QFD (Quality Function Deployment)
(Harsokoesoemo, 2004)

6.8 Antropometri

Istilah antropometri berasal dari anthro yang berarti manusia dan metri yang
berarti ukuran. Antropometri adalah pengetahuan yang menyangkut pengukuran
tubuh manusia khususnya dimensi tubuh. Antropometri secara luas akan
digunakan sebagai pertimbangan- pertimbangan ergonomis dalam proses
perancangan (design) produk maupun sistem kerja yang akan memerlukan
76

interaksi manusia. Manusia pada umumnya berbeda- beda dalam hal bentuk dan
dimensi ukuran tubuhnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran tubuh
manusia, yaitu (Suhadri, 2008):

a. Umur
Ukuran tubuh manusia akan berkembang dari saat lahir sampai sekitar 20 tahun
untuk pria dan 17 tahun untuk wanita. Setelah itu, tidak lagi akan terjadi
pertumbuhan bahkan justru akan cenderung berubah menjadi pertumbuhan
menurun atau penyusutan yang dimulai sekitar umur 40 tahunan.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin pria umumnya memiliki dimensi tubuh yang lebih besar
dibandingkan dengan wanita kecuali dada dan pinggul.
c. Suku bangsa
Setiap suku bangsa ataupun kelompok etnik tertentu akan memiliki karakteristik
fisik yang berbeda satu dengan yang lainnya.
d. Sosio ekonomi
Tingkat sosio ekonomi sangat mempengaruhi dimensi tubuh manusia. Pada
negara- negara maju dengan tingkat sosio ekonomi tinggi, penduduknya
mempunyai dimensi tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan negara- negara
berkembang.
e. Posisi tubuh (posture)
Sikap atau posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh oleh karena itu
posisi tubuh standar harus diterapkan untuk survei pengukuran.

6.9 Data Antropometri

Dimensi tubuh manusia untuk perancangan produk terdiri dari dua jenis, yaitu
struktural dan fungsional. Dimensi tubuh struktural yaitu pengukuran tubuh
manusia dalam keadaan tidak bergerak. Sedangkan dimensi tubuh fungsional
adalah pengukuran tubuh manusia dalam keadaan bergerak. Data antropometri
yang telah diperoleh dapat diaplikasikan dalam hal perancangan, antara lain
(Suhadri, 2008):
a. Perancangan area kerja (work station, interior mobil, dan lain- lain).
b. Perancangan peralatan kerja (mesin, perkakas, perlengkapan, dan
sebagainya).
c. Perancangan produk- produk konsumtif seperti pakaian, kursi dan meja,
dan sejenisnya.
77

d. Perancangan lingkungan fisik.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data antropometri akan


menemukan bentuk, ukuran, dan dimensi yang tepat yang berkaitan dengan
produk yang dirancang dan manusia yang akan mengoperasikan produk tersebut.

6.9.1 Antropometri Struktural


Pengukuran manusia pada saat posisi diam dan linier pada permukaan
tubuh. Ada beberapa metode pengukuran tertentu agar hasilnya representative.
Disebut juga pengukuran dimensi struktur tubuh dimana tubuh diukur dalam
berbagai posisi standar dan tidak bergerak. Dimensi tubuh yang diukur dengan
posisi tetap antara lain meliputi berat badan, tinggi tubuh dalam posisi berdiri
maupun duduk, ukuran kepala, tinggi atau panjang lutut pada saat berdiri atau
duduk, panjang lengan dan sebagainya.

Gambar 6.3 Ukuran manusia yang sering digunakan untuk merancang produk
(Suhadri, 2008).
78

Pada Gambar 6.3 memperlihatkan antropometri struktural. Antropometri


struktural ini diantaranya: tinggi selangkang, tinggi siku, tinggi mata, rentang
bahu, tinggi pertengahan pundak pada posisi duduk, jarak pantat- ibu jari kaki,
dan tinggi mata pada posisi duduk.

Gambar 6.4 Antropometri struktural posisi berdiri dan duduk (Suhadri, 2008).

Gambar 6.4 menggambarkan antropometri struktural untuk dimensi kepala,


wajah, tangan dan kaki. Penerapan data ini untuk merancang teralis untuk
keamanan, jeruji, panel visual dan pencapaian panel, peralatan rekreasi,
pengaturan dan peralatan tempat penyimpanan sepatu di rumah, dan sebagainya.

6.9.2 Antropometri Fungsional


Antropometri fungsional adalah keadaan dan ciri- ciri fisik manusia dalam
keadaan bergerak atau memperhatikan gerakan- gerakan yang mungkin terjadi
saat manusia melakukan kegiatannya. Hasil yang diperoleh merupakan ukuran
tubuh yang nantinya akan berkaitan dengan gerakan- gerakan nyata yang
diperlukan tubuh untuk melaksanakan kegiatan- kegiatan tertentu. Antropometri
dalam posisi tubuh melaksanakan fungsinya yang dinamis akan banyak
diaplikasikan dalam proses perancangan fasilitas ataupun ruang kerja.
79

(a)

(b)
Gambar 6.5 Antropometri fungsional/ dinamis (a) pengukuran dalam keadaan
bergerak, (b) antropometri posisi tubuh dalam melakukan kegiatan (Suhadri,
2008).
80

Gambar 6.6 berikut menggambarkan antropometri fungsional untuk posisi


kerja. Data ini berfungsi untuk merancang ruang mekanik dan utilitas, ruang
latihan fisik, antropometri ruang terapi fisik, dan area sejenis lainnya.

Gambar 6.6 Antropometri fungsional posisi kerja (Suhadri, 2008).

6.10 Perkembangan Wearable Exoskeleton Robotic Hand

Subbab ini mendeskripsikan beberapa pengembangan Wearable Exoskeleton Robotic


Hand yang ada di dunia. Pendeskripsian pengembangan Wearable Exoskeleton
Robotic Hand dilakukan untuk memperoleh informasi sebagai acuan dalam
pembuatan desain dan protipe Wearable Exoskeleton Robotic Hand pada penelitian
ini. Pengembangan Wearable Exoskeleton Robotic Hand mempunyai tujuan yang
berbeda beda, diantaranya dapat diterapkan pada orang penyakit stroke, sebagai
alat bantu gerak penderita disabilitas fungsi tangan, dan alat bantu di bidang
industri.
Wearable exoskeleton robotic hand adalah suatu robot bantu yang dapat
digunakan ke tangan manusia yang dapat bergerak dengan kestablian grasping
81

(stable grasping) dan skill manipulator yang baik dan dapat digunakan untuk
mengambil, memegang dan menaruh objek. Saat ini Wearable Exoskeleton Robotic
Hand yang berkembang untuk rehabilitasi adalah HandSOME, HandEXOS, Wege
dkk., dan Ueki dkk (Heo dkk., 2012) .

Gambar 6.7 (a) HandSOME ,(b) HandEXOS, (c) Wege dkk., (d) Ueki dkk. (Heo dkk.,
2012)

Pada Gambar 6.7 diatas (a) menjelaskan bentuk HandSOME yang dibuat
oleh research engineer di National Rehabilitation Hospital Washington DC pada tahun
2010 dengan mengunakaan design 1 DOF. Force transmission HandSOME
menggunakan linkage (Heo dkk., 2012). Gambar (b) menjelaskan wearable
exoskeleton robotic hand yang bernama HandEXOS dari ARTS Lab Scuola
SuperioreSantAnna Italy pada tahun 2009 yang memiliki 5 active DOF dan force
transmission berupa kabel dan crank slider yang digerakkan dengan motor DC (Heo
dkk., 2012). Gambar (c) menjelaskan Wege dkk. dari Technische Universitt Berlin
pada tahun 2006 menggunakan design 20 DOF digerakkan aktuator motor DC
dengan transmission gears (Heo dkk., 2012). Gambar (d) menjelaskan Ueki dkk. dari
Gifu University Japan pada tahun 2010 dengan menggunakan design 18 DOF. Ueki
dkk. ini menggunakan aktuator motor DC dan menggunakan linkage sebagai force
transmission (Heo dkk., 2012).
82

Sedangkan wearable exoskeleton robotic hand yang berkembang sebagai alat


bantu adalah Hasegawa dkk., In dkk., Shields dkk., dan Dicicco dkk.. Empat contoh
wearable exoskeleton robotic hand yang berkembang sebagai alat bantu seperti pada
gambar berikut ini :

Gambar 6.8 (a) Hasegawa dkk., (b) In dkk., (c) Shields dkk., (d) Dicicco dkk. (Heo
dkk., 2012)

Pada Gambar 6.8 diatas (a) menjelaskan Hasegawa dkk. dari University of
Tsukuba Jepang. Hasegawa dkk. menggunakan design 11 DOF dengan motor DC
sebagai penggeraknya dan EMG sensor sebagai input dari sistem kontrolnya (Heo
dkk., 2012). Gambar (b) menjelaskan In dkk. yang di produksi Seoul National
University desain tangan ini menggunakan 1 DOF dan menggunakan CompactRIO
system (NI cRio-9014) dengan LabVIEW 9.0 software. Untuk sensor input data
menggunakan EMG sensor dan menggunakan kabel yang dihubungkan dengan
sarung tangan sebagai force transmission (Heo dkk., 2012). Gambar (c) menjelaskan
tentang Shields dkk. yang di produksi untuk membantu gerakan tangan astronaut
di luar angkasa dengan desain 3 DOF, menggunakan cable linkage sebagai force
transmission dan memakai force sensors sebagai sensor input dari sistem tersebut
(Heo dkk., 2012). Gambar (d) menjelaskan tentang Dicicco dkk. yang di desain
dengan 2 DOF, menggunakan cable dan linkage. Untuk sensor masukannya
menggunakan EMG (Heo dkk., 2012).
83

Sementara itu di Departemen Teknik Mesin Universitas Dipenogoro, telah


mengembangkan Wearable Robot yaitu Robotic Hand yang berbentuk prostetik yang
dapat dikontrol menggunakan speech control sebagai input dan sistem kontrol
menggunakan artificial neural network (Ismail dkk., 2016). Robotic Hand ini
menggunakan bahan acrylic, linear actuator berupa microservo, dan menggunakan
Arduino Mega sebagai mikrokontroler. Setelah itu ada juga Robotic Hand yang
telah dibuat menggunakan EMG sebagai input dan telah dibuat animasi dari
gerakan tangan tersebut di software 3D SimMechanics (Ismail dkk., 2016). Robotic
Hand ini menggunakan bahan acrylic, linear actuator berupa microservo, dan
digerakkan menggunakan seperti cara kerja sistem tendon pada tangan manusia.

6.11 Teori Dasar Metode Elemen Hingga (MEH)

Metode analisa elemen hingga pertama kali diperkenalkan oleh Turner dkk. Saat
ini, metode dan analisa desain telah banyak menggunakan perhitungan metematis
yang rumit dalam penggunaan sehari-hari. Metode elemen hingga (MEH) banyak
memberikan andil dalam melahirkan penemuan-penemuan bidang riset dan
industri, hal ini dikarenakan dapat berperan sebagai research tool pada pengujian
secara numerik.
Finite element method (FEM), atau metode elemen hingga (MEH) adalah suatu
metode analisa perhitungan yang didasarkan pada gagasan dalam membangun
suatu obyek yang sangat kompleks dengan beberapa bagian (blocks) yang
sederhana, atau dengan membagi objek yang sangat kompleks menjadi kecil dan
pengaturan kepingan-kepingan. Aplikasi dari gagasan ini dapat kita temui dalam
kehidupan sehari-hari yang sama baiknya dalam keteknikan, seperti permainan
bongkar pasang, bangunan, perkiraan area lingkaran dan lain sebagainya, seperti
terlihat pada Gambar 6.9 (Madenci dan Guven, 2006).
84

Gambar 6.9 Aplikasi penggunaan FEM pada masalah teknik (Madenci dan Guven,
2006).
85

6.12 Flow Chart Penelitian

Mulai

Studi Literatur

Studi Lapangan

Identifikasi Kebutuhan Konsumen

Perencanaan dan Penyusunan Spesifikasi Teknis Produk

Perancangan Desain

Pemodelan Menggunakan Software Solidworks 2015

Simulasi Pembebanan Desain Geometri dengan Beban 50 N


Menggunakan Software ANSYS Workbench 15.0

Tegangan von Mises Kurang dari


Tegangan Maksimal Material dan
Safety Factor >1

Pembuatan Prototipe

Selesai

Gambar 6.10 Flow chart penelitian


86

6.13 Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, objek pengamatan dan penelitiannya adalah exoskeleton hand,
yaitu dengan inovasi Wearable Exoskeleton Robotic Fingers dan Supernumerary Thumb
yang kuat, ringan, nyaman, serta sesuai dengan antropometri dari fuad selaku
calon pengguna, serta harganya lebih terjangkau dibandingkan dengan produk
buatan luar negeri dengan menggunakan Software ANSYS dalam analisis
pengujian produknya.

6.14 Identifikasi Pengguna Wearable Exoskeleton Robotic Fingers


dan Supernumerary Thumb

Identifikasi pengguna Wearable Exoskeleton Robotic Fingers dan Supernumerary


Thumb merupakan langkah awal dalam penelitian, yang bertujuan untuk
menentukan siapa yang menjadi responden guna keperluan pengambilan data
melalui diskusi dengan pengguna dan para ahli. Dan itu dari awal kita sudah
menentukan bahwa yang akan menjadi responden dalam penelitian ini adalah
pemakai Wearable Exoskeleton Robotic Fingers dan Supernumerary Thumb.

6.15 Mendesain Konsep Alat

Memberikan uraian yang tepat mengenai bagaimana alat tersebut bekerja dan
merupakan bentuk yang didasari pada terjemahan dari kebutuhan pengguna
melalui diskusi dengan pengguna dan para ahli, antara lain:
a. Tingkat ergonomi
Memberikan uraian mengenai kenyamanan dari produk tersebut yang
menyebabkan kepuasan dalam penggunaan.
b. Tingkat ekonomis
Memberikan uraian mengenai biaya ekonomi dengan membandingkan biaya yang
dimiliki dari produk yang sudah ada.
c. Respon pasar
Melakukan pendesaian konsep dengan didasari pada kemungkinan respon pasar,
apakah akan memakai atau tidak.
87

6.16 Perancangan atau Desain

Melakukan perancangan atau desain dengan mempertimbangkan segi ergonomis


yang diketahui dari pengolahan data antropometri dan menentukan bagian-
bagian yang perlu ditambah atau diganti, serta dengan melihat syarat- syarat
perancangan produk yang baik.

6.17 Pengujian Kekuatan Wearable Exoskeleton Robotic Fingers


dan Supernumerary Thumb Bawah

Dari perancangan atau desain yang telah dilakukan selanjutnya untuk menguji
kekuatan dari desain yang telah dibuat dilakukan simulasi dengan kondisi batas-
kondisi batas tertentu.

6.18 Pembuatan Prototipe

Pembuatan prototipe dilakukan setelah didapat hasil simulasi terbaik dari


beberapa konsep desain yang telah dibuat agar dapat mengetahui bentuk nyata
dari produk yang dibuat dan ketepatan dalam pemilihan proses produksi.

6.19 Batasan Perancangan Produk

Batasan perancangan yang digunakan sebagai persyaratan pengguna ditetapkan


sebagai berikut:
a. Wearable Exoskeleton Robotic Fingers dan Supernumerary Thumb didesain
untuk pengguna dengan usia 16 tahun ke atas.
b. Aman dengan beban maksimal 5 Kg.
c. Ringan dengan berat 1- 2 kg.
d. Material yang digunakan adalah PLA.
e. Dimensi disesuaikan dengan tangan pengguna, dalam kasus ini adalah
saudara Fuad.

6.20 Pernyataan Misi

Dalam menciptakan suatu produk, perancang harus mampu mengetahui


keinginan dari konsumen atau pelanggan. Hal ini dilakukan agar nantinya produk
88

yang dibuat sesuai dengan yang dibutuhkan oleh konsumen. Sebelum membuat
rancangan produk perancang harus mengetahui tentang produk itu sendiri,
segmen pasar yang akan dituju, dan pihak- pihak yang terkait. Untuk diskripsi
pernyataan misinya dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1 Pernyataan misi.


1. Deskripsi produk Wearable Exoskeleton Robotic Fingers dan Supernumerary Thumb

2. Segmen pasar Penderita kelumpuhan pada bagian tangan


3. Asumsi- asumsi a. Material dari komposit PLA

b. Praktis digunakan

4. Pihak terkait a. Pengguna produk

b. Perancang

c. Tenaga ahli

6.21 Perancangan Produk Kaki Tiruan Bawah Lutut untuk Berlari

6.21.1 Ide Produk


Berawal dari kerja sama antara CBIOM3S dengan salah satu dokter spesialis
orthopedi yang bekerja di rumah sakit dokter Kariadi semarang, kami
dipertemukan dengan seorang pasien yang bernama fuad yang berasal dari daerah
batang. Fuad dahulu bekerja sebagai salah satu teknisi dari PLN, namun karena
ketidak sengajaan, terjadi insiden yang menyebabkan fuad kehilangan bagian
bawah siku pada tangan kirinya serta mederita kelumpuhan pada tangan kanan
akibat tendon yang terbakar. Karena insiden tersebut, fuad harus menjalani
kehidupan dengan kedua tangan yang sudah tidak lagi sempurna. Fuad kesulitan
dalam melakukan kegiatan sehari hari, baik seperti menggenggam, memegang
kunci, membawa barang, dan beberapa kegiatan lainnya. Dari hal tersebut, kami
mencoba untuk mengembalikan fungsi dari tangan fuad yang lumpuh agar bisa
digunakan lagi seperti sedia kala, sehingga tercetus sebuah ide untuk membuat
sebuah eksoskeleton yang berguna untuk menggerakan tangan dari fuad. Namun
dari pemerikasaan yang berlanjut, diketahui bahwa kelumpuhan tangan dari fuad
tidak seperti kelumpuhan yang dialami oleh orang kebanyakan. Terdapat luka
89

bakar pada bagian jempolnya yang menyebabkan kulit pada sela bagian jempol
menempel satu sama lain. Hal ini berdampak pada bagian jempol fuad menjadi
tidak bisa digerakan untuk gerakan abductive ataupun deductive. Tentu keberadaan
jempol cukup berpengaruh dalam kegiatan menggengam atau yang lainnya,
karena jempol berfungsi untuk menjepit benda sehingga benda dapat digenggam
sempurna. Dari masalah tersebut, dibuatlah sebuah keputusan untuk membuat
sebuah supernumerary yang berfungsi untuk menggantikan peran dari jempol milik
fuad yang sudah tidak dapat lagi digunakan.

6.21.2 Definisi
Merancang dan membuat prototipe Wearable Exoskeleton Robotic Fingers dan
Supernumerary Thumb yang dapat memenuhi kebutuhan untuk beraktivitas sehari
hari serta mudah baik dalam penggunaan maupun perawatan.

6.21.3 Kriteria Perancangan


Dalam perancangan dan pembuatan prototipe kaki tiruan bawah lutut
untuk berlari, kriteria perancangan yang harus dipenuhi ada dua macam, yaitu
kriteria must dan want. Adapun kriteria- kriteria tersebut adalah:
a. Kriteria must adalah:
1. Kuat, mampu menahan berat benda hingga 5 Kg.
2. Aman digunakan dengan bobot maksimal hingga 80 kg.
3. Ringan dengan berat kaki tiruan 1-2 kg.
4. Fleksibel.
5. Nyaman saat digunakan.
b. Kriteria want adalah:
1. Harga terjangkau.
2. Mudah perawatannya.
3. Tahan lama.
4. Mudah dalam pemasangan dan penggunaannya.

6.21.4 Fungsi
Pada Wearable Exoskeleton Robotic Fingers dan Supernumerary Thumb yang
dirancang, pengendalian motor akan berdasarkan pada kontraksi oto yang terletak
pada lengan. Untuk menangkap sinyal dari kontraksi otot lengan, dipasang sebuah
myo sensor, lalu dari sensor EMG akan diproses ke Arduino nano dan nantinya
akan diteruskan menuju motor yang akan mendorong link yang telah terhubung
dengan socket jari sehingga mampu menggerakkan jari tersebut.
90

6.21.5 Pemilihan Desain Geometri


Pengujian yang dilakukan adalah pengujian pembebanan statis
menggunakan Software Anys Workbench 15.0 dengan sifat mekanis material PLA
Berdasarkan dari kriteria perancangan yang telah disebutkan sebelumnya dimana
kaki tiruan ini harus mampu menahan beban hingga 5 Kg, maka:
1. Asumsi berat beban maksimum 5 kg
2. Gaya (F)= beban statis = m x g = 5 kg x 9,81 m/s2 = 50 N.
3. Gaya di distribusikan merata ke seluruh bagian jari.

6.22 Dokumentasi

Dokumentasi berisi dokumen untuk pembuatan prototipe dan hasil pembuatan


prototipe produk setelah proses pemberian bentuk.

Gambar 6.10 Proses pembuatan prototipe.


91

Gambar 6.11 Prototipe kaki tiruan yang telah dibuat.

Gambar 6.12 Prototipe kaki tiruan saat dipasang pada pasien.


92
93

Alat Terapi Robotik Berbasis 7


Flex Sensor

7.1 Pendahuluan

Tangan adalah salah satu bagian tubuh yang krusial bagi manusia dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari. Namun, hand injuries atau kecelakaan pada
tangan adalah hal yang paling sering terjadi. Akibat dari kecelakaan ini adalah
berkurangnya kemampuan motorik tangan sehingga dibutuhkan terapi untuk
memulihkan fungsi motorik tangan pada seseorang. Selain kecelakaan, cacat pada
tangan dapat disebabkan oleh penyakit tertentu, salah satunya adalah penyakit
stroke.
Stroke menduduki urutan kedua penyebab utama kematian setelah penyakit
jantung (World Health Organization, 2012). Data perbandingan penyakit stroke
dengan penyakit yang lain dapat dilihat lebih rinci pada Gambar 7.1. Berdasarkan
data WHO pada tahun 2012 terdapat 6,7 juta orang di seluruh dunia menderita
stroke.
94

Gambar 7.1 Penyakit Penyebab Kematian Tahun 2012 (WHO, 2012)

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI tahun 2013


menunjukkan telah terjadi peningkatan prevalensi stroke di Indonesia dari 8,3 per
mil (tahun 2007) menjadi 12,1 per mil (tahun 2013). Prevalensi penyakit Stroke
tertinggi di Sulawesi Utara yaitu 10,8 per mil, Yogyakarta 10,3 per mi), Bangka
Belitung 9,7 per mil dan DKI Jakarta 9,7 per mil (Kesehatan 2013). Penderita stroke
yang semakin meningkat di Indonesia membuat dokter spesialis rehabilitasi medik
dan tenaga terapis yang melakukan terapi konvesional untuk pemulihan pasien
paska stroke membutuhkan metode alternatif lain.
Alat terapi robotik merupakan alat yang dibutuhkan dalam bidang
rehabilitasi medis pada pasien yang menderita kelumpuhan pada tangan akibat
stroke ringan. Alat terapi robotik diharapkan dapat menjadi alat terapi
pendamping dari metode terapi konvensional yang bertujuan untuk dapat
mempercepat pemulihan pasien dengan prinsip re-edukasi dan motor learning.
Alat terapi robotik yang akan dikembangkan dalam penelitian ini akan
digunakan untuk penderita paska stroke dimana salah satu tangan penderita
masih berfungsi secara normal. Sistem kontrol pada alat terapi robotik
menggunakan program Arduino IDE serta Arduino mikrokontroler. Pada
95

pengembangan alat terapi robotik ini menggunakan flex sensor atau sensor tekuk.
Arduino mikrokontroler berfungsi untuk menghubungkan flex sensor dengan
motor linear. Mekanisme kerja umum dari alat ini adalah melatih gerak motorik
salah satu tangan yang mengalami kelumpuhan dengan bantuan terapi dari
tangan yang sehat. Alat terapi robotik ini bisa digunakan secara mandiri dirumah
pasien atau dengan bantuan dari keluarga pasien. Harapannya adalah agar pasien
bisa menggunakannya sesering mungkin dengan suasana yang nyaman.

7.2 Tinjauan Pustaka

Stroke (cerebrovascular desease) adalah kondisi yang terjadi ketika suplai darah ke
otak terputus akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah, sehingga
terjadi kematian sel-sel pada sebagian area di otak (Ockenfeld et al., 2013). Stroke
mengganggu kemampuan otak untuk mengirim pesan ke saraf pada otot. Stroke
terdiri dari 2 jenis yaitu stroke hemoragik dan stroke iskemik. Stroke hemoragik
merupakan hasil dari pecahnya pembuluh-pembuluh darah di otak atau pecahnya
aneurisma. Hal ini bisa disebabkan karena hipertensi. Stroke iskemik adalah stroke
yang terjadi karena pendarahan spontan. Pendarahan terjadi pada permukaan otak
atau biasanya disebut intracerebral hemorraghe, sehingga suplai darah tidak sampai
ke otak. Karena suplai darah tidak sampai ke otak, hal ini akan menyebabkan otak
kekurangan oksigen dan serangan stroke iskemik terjadi. Penderita stroke iskemik
mendapat sindrom iskemik berupa kelumpuhan pada tangan baik sebelah kiri
ataupun sebelah kanan karena stroke iskemik menyerang serebri posterior. Oleh
sebab itu penderita stroke membutuhkan program terapi sesegera mungkin agar
stroke tidak sampai akut atau menyebabkan kelumpuhan total (Sidhartha et al.,
2015).
Dalam penelitian Silivas (2016) menyatakan bahwa terapi untuk penderita
kelumpuhan tangan di Indonesia masih bersifat konvensional. Terapi
konvensional ini membutuhkan bantuan tenaga klinis dan terapis yang ada di
Rumah Sakit atau di klinik. Kelemahan utama dari terapi konvensional adalah
tidak konsistennya metode terapi yang diberikan oleh tenaga klinis dan terapis
karena faktor kelelahan, semakin banyak pasien yang diterapi dalam satu hari
menyebabkan kelelahan pada tenaga klinis dan terapis. Kelemahan yang lain yang
dapat dicermati adalah tidak adanya ukuran kuantitatif tentang perkembangan
tahap pemulihan dari pasien yang diterapi. Ukuran perkembangan hanya
berdasarkan observasi dan bukan dari suatu pengukuran yang bersifat kuantitatif.
96

Tujuan dari rehabilitasi pada pasien paska stroke salah satunya adalah
memaksimalkan kemandirian fungsional. Tangan memegang peranan fungsional
yang penting dalam aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan, minum,
mandi, berpakaian dan lain sebagainya. Rehabilitasi tangan yang saat ini
dilakukan berupa latihan gerakan pada tangan yang berfungsi untuk meredukasi
otot dan juga terapi okupasi. Latihan-latihan gerakan yang bisa dilakukan
dirumah atau dibantu tenaga klinis dan terapis pada dasarnya adalah gerakan
fungsi tangan, gerakan yang diberikan antara lain gerakan menekuk kebelakang
pada pergelangan tangan, menekuk kedepan pada sendi antara punggung tangan,
menekuk dan meluruskan sendi pada jari-jari. Contoh latihan terapi konvensional
dapat dilihat pada Gambar 7.2.

Gambar 7.2 Latihan jari-jari tangan pada terapi okupasi konvensional (Silivas,
2016)

Terapi okupasi merupakan latihan yang menggunakan alat bantu


permainan atau peralatan sehari-hari yang didampingi oleh tenaga klinis dan
terapis. Beberapa contoh alat yang digunakan adalah tictactoe board yang berfungsi
melatih kekuatan otot jari-jari. Latihan tictatoe board dapat dilihat pada Gambar 7.3
(a). Terapi konvensional lain yaitu dengan menggunakan jepit jemuran yang
tujuannya untuk melatih kekuatan pinch yang diperlihatkan pada Gambar 7.3 (b).
97

(a) Tictactoe board (b) Jepit jemuran


Gambar 7.3 Terapi okupasi konvensional di RSUP Dr. Kariadi Semarang (Silivas,
2016)

Latihan yang secara rutin dilakukan serta dibantu dengan latihan mandiri
dirumah dapat meningkatkan kemampuan fungsional tangan pasien stroke.
Namun keterbatasan tenaga klinis dan terapis masih menjadi kendala. Terapi
robotik diharapkan dapat meningkatkan repetisi latihan sehingga dapat
mempercepat kesembuhan fungsional pasien lebih cepat.
Terapi robotika atau biasa dikenal dengan rehabilitation robotic adalah bidang
penelitian yang melakukan penerapan perangkat robot untuk rehabilitasi atau
terapi. Terapi robotik dapat dikategorikan dalam bidang teknik biomedis
(biomedical engineering) dan bagian dari interaksi manusia-robot. Dalam bidang ini,
dokter, terapis, dan engineer, berkolaborasi untuk membantu terapi pasien. Tujuan
yang ingin dicapai dari terapi robotik ini adalah meningkatkan efek terapi dan
membantu mempercepat pemulihan pasien.
Rehabilitation robotic berfokus kepada proses desain dan pembuatan mesin
atau alat bantu kesehatan yang akan digunakan untuk membantu pemulihan
penderita kelumpuhan, pada umumnya adalah kelumpuhan tangan. Bidang ini
mengaplikasikan ilmu engineering atau keteknikan untuk mencapai tujuannya.
Aspek engineering yang digunakan adalah dengan mengaplikasikan bidang ilmu
robotika.
Keuntungan terapi robotik jika dibandingkan dengan terapi konvensional,
terletak pada peningkatan repetisi latihan, seiring dengan meningkatnya motivasi
serta kesempatan dalam kemandirian latihan, sehingga memungkinkan
tercapainya paradigma terapi berupa intensifitas, keteraturan dan pengulangan
(repetitif) sesuai prinsip motor learning sehingga diharapkan kesembuhan pasien
98

lebih cepat tercapai dan dapat kembali menjalankan fungsinya sebagai seorang
manusia yang mandiri dalam aktivitas sehari- hari (Silivas, 2016).

7.3 Pengaturan Sensor Penggerak Eksoskeleton

Langkah-langkah penelitian yang dilakukan Silivas (2016) dijelaskan pada


diagram alir penelitian pada Gambar 7.4. Penelitian terbagi menjadi 2 bagian, yaitu
desain eksoskeleton dan pemrograman flex sensor sebagai input menggunakan
pemrograman bahasa C untuk mengontrol eksoskeleton yang digerakan oleh servo
linear. Tugas akhir ini berfokus pada pembuatan sistem kontrol untuk
menggerakkan eksoskeleton. Langkah awal yang dilakukan adalah pembuatan
wiring diagram dan assembly flex sensor pada sarung tangan, kemudian dilakukan
kalibrasi nilai flex sensor, dimana nilai hasil kalibrasi akan digunakan sebagai nilai
yang akan dimasukkan ke mikrokontroler untuk menggerakan servo linear.
Setelah itu dilakukan penyatuan antara eksokeleton dan sarung tangan. Pada bab
ini dijelaskan mengenai pengaturan sistem sensor mulai dari pembuatan wiring
diagram, pemasangan sensor pada sarung tangan, kalibrasi nilai ADC sensor, serta
software yang digunakan untuk pemrograman dan pengolahan data.
99

Mulai

Studi Literatur dan Survey

Sketsa desain eksoskeleton Pembuatan Wiring Diagram

Desain dengan Solidworks Assembly flex sensor dengan sarung tangan

Manufaktur prototipe 3D Print Kalibrasi nilai ADC flex sensor

Membuat pemrograman dengan nilai ADC


Assembly part 3D dengan servo
flex sebagai input untuk menggerakan
linear
servo linear

Pengintegrasian gerakan sarung tangan


dan prototipe eksoskeleton

Hasil pengujian dan kesimpulan

Selesai

Gambar 7.4 Diagram alir penelitian (Silivas, 2016)


100

7.3.1 Pembuatan Wiring Diagram


Dalam pembuatan sistem kontrol pada alat terapi robotik, salah satu hal
yang diperlukan adalah komponen elektronika yang terdiri dari sensor, aktuator
serta komponen tambahan seperti resistor. Susunan komponen elektronika ini
berperan penting dalam integrasi hardware dan software karena pembuatan sistem
kontrol juga bergantung pada letak komponen yang digunakan. Wiring diagram
adalah representasi visual sederhana dari koneksi dan tata letak dari sistem
kelistrikan atau sirkuit. Wiring diagram menunjukkan bagaimana komponen dan
kabel dihubungkan untuk membangun suatu sistem. Dalam tugas akhir ini, untuk
membantu proses pembuatan wiring diagram digunakan software Fritzing. Software
ini juga dapat menampilkan skema untuk print circuit board dan membantu proses
pencetakan PCB (Silivas, 2016).

Gambar 7.5 Wiring diagram alat terapi robotik (Silivas, 2016)


101

Tabel. 7.1 Konfigurasi pin input dan output (Silivas, 2016)


Analog Input Pin Digital Output Pin Keterangan
A0 D2 Ibu Jari
A1 D4 Telunjuk
A2 D6 Jari tengah
A3 D8 Jari manis
A4 D10 Kelingking

Konfigurasi diatas digunakan dalam pembuatan pemrograman


mikrokontroler. Dengan adanya wiring diagram ini dapat membantu proses
pemrograman agar terhindar dari eror. Hasil dari wiring diagram ini adalah PCB
yang terlihat seperti pada Gambar 7.6. PCB berfungsi sebagai penyangga
komponen secara mekanis. Dengan menggunakan PCB, komponen akan lebih
aman dalam pemasangannya dibandingkan dengan menggunakan breadboard,
selain itu memperkecil penggunaan dimensi ruang serta kesalahan dalam
menghubungkan komponen.

Gambar 7.6 PCB alat terapi robotika (Silivas, 2016)

7.3.2 Pemasangan Sensor pada Sarung Tangan


Proses yang selanjutnya adalah merangkai flex sensor yang akan digunakan
untuk menggerakkan alat terapi robotik. Flex sensor tersebut diletakkan pada
sarung tangan dengan tujuan menyelaraskan besar lekukan sensor dengan
102

gerakan alat terapi yang dibuat. Flex sensor sangat sensitif terhadap besarnya
lekukan yang diberikan, maka dari itu perihal peletakan flex sensor yang benar
akan memberikan hasil pengukuran yang bagus. Besarnya sudut lekukan flex
sensor dijelaskan pada Gambar 7.7 dimana flex sensor dapat ditekuk sampai
dengan 180 derajat.

Gambar 7.7 Sudut lekukan flex sensor (https://www.sparkfun.com 2014)

Setiap lekukan flex sensor mempunyai nilai resistensi yang berbeda.


Semakin besar sudut lekukan flex sensor akan semakin besar pula resistensinya.
Maka dari itu, ujung dari flex sensor yang diletakkan pada sarung tangan harus
dalam kondisi tidak bebas bergerak. Ujung flex sensor dilekatkan dengan sarung
tangan menggunakan lem dan kemudian bagian lainnya dijahit pada sarung
tangan agar tidak bergerak seperti pada Gambar 7.8.
103

Gambar 7.8 Sarung tangan dengan flex sensor (Silivas, 2016)

7.3.3 Kalibrasi Flex Sensor


Kalibrasi flex sensor dilakukan dengan membaca nilai ADC yang dihasilkan
pada saat sensor dalam keadaan normal dan pada saat ditekuk. Tujuan dari
kalibrasi ini adalah untuk menyelaraskan gerak flex sensor dan servo linear yang
menggerakan eksoskeleton.
Mikrokontroler yang digunakan yaitu Arduino Mega karena mempunyai
kemampuan siklus pembacaan sistem yang lebih banyak dan lebih stabil. Kaki-
kaki flex sensor ada dua bagian, positif dan negatif. Kaki-kaki flex sensor
dihubungkan pada board PCB yang dihubungkan oleh kabel jumper. Power yang
digunakan berasal dari baterai.
Bagian flex sensor yang positif dihubungkan dengan channel 5V pada
arduino sedangkan yang negatif dihubungkan dengan resistor. Resistor juga
mempunyai dua kaki yang diletakkan pada board PCB, kaki yang satu
dihubungkan dengan flex sensor dan yang satunya dihubungkan pada channel A0
atau sinyal analog seperti terlihat pada Gambar 7.9.
104

Gambar 7.9 Pemasangan perangkat sensor dan mikrokontroler (Silivas,


2016)

Arduino memiliki pin analog yang terhubung dengan converter yang dikenal
dengan istilah analog-to-digital converter (disingkat ADC atau A/D). Converter ini
mengubah nilai analog berbentuk sinyal voltase ke dalam bentuk digital supaya
nilai analog ini dapat digunakan dengan lebih mudah dan aplikatif. Pada Arduino,
converter ini memiliki resolusi 10 bit, artinya nilai hasil konversi berkisar dari 0
hingga 1023. Pada tegangan 5 volt (maksimum), Arduino akan membaca nilai
sebesar 1023, dan saat tegangan 0 volt (minimum), nilai yang dibaca adalah 0.
Setelah flex sensor dapat beradaptasi dengan mendapatkan nilai maksimum dan
minimum, nilai tersebut dipetakan menjadi nilai sebesar 0-180.
Perubahan resistansi dapat diukur melalui pemrograman Arduino (analog
pin reading) dengan meletakkan resistor sebesar 22Kohm, yang berfungsi sebagai
pembagi tegangan yang membagi tegangan 5 volt antara flex sensor dan resistor.
Dengan meletakkan resistor 22Kohm, kita akan mendapatkan persamaan yang
berkaitan dengan resistansi (sebagian akibat flex) dari flex sensor terhadap
pembacaan tegangan yang melaluinya. Resistansi ini akan didapatkan dengan
menggunakan pembagi tegangan dengan persamaan 7.1 :
nilai terbaca
Vout 5volt
1023 (7.1)
Keterangan :
Vout = Tegangan output flex
105

Nilai Vout didapatkan dari nilai yang tertera pada serial monitor Arduino
yang menunjukan nilai tegangan dari port analog input. Karena Arduino
menggunakan analog input 10 bit maka untuk mencari nilai Vout menggunakan
persamaan 7.2 :
R2
Vout Vin
R1 R2 (7.2)
Keterangan :
Vin = Tegangan input dari Arduino (volt)
R1 = Hambatan Resistor 22k (kOhm)
R2 = Hambatan Flex sensor (kohm)

7.3.4 Pemrograman Mikrokontroler


Pemrograman mikrokontroler dimulai dengan membaca nilai analog yang
dihasilkan oleh lekukan flex sensor. Nilai tersebut kemudian dikonversikan ke
nilai digital dengan resolusi 10 bit (0-1023) dan dipetakan menjadi nilai dengan
range 0-180 lalu dikirim untuk mengatur posisi stroke aktuator. Flowchart
pemrograman terdapat pada Gambar 7.10.
106

Gambar 7.10 Flowchart pemrograman mikrokontroler (Silivas, 2016)

7.3.5 Servo Linear


Firgelli L12-R adalah salah satu jenis servo mikro linear yang memiliki
rangkaian control electronic dan internal gear yang mengendalikan pergerakannya
sehingga memiliki torsi yang cukup besar serta pengaplikasian yang serupa
dengan servo dc biasa. Berikut ini spesifikasi dari Firgelli L12-R dijelaskan pada
Tabel 7.2.
107

Tabel 7.2 Spesifikasi Firgelli L12-R (Actuonix n.d.)


Gearing option 50:1 100:1 210:1
Peak Power Point 12N @ 11mm/s 23N @ 6mm/s 45N @ 2.5mm/s
Peak Efficiency Point 6N @ 16mm/s 12N @ 8mm/s 18N @ 4mm/s
Max Speed (no load) 23mm/s 12mm/s 5mm/s
Max Force (lifted) 12N 23N 45N
Back Drive Force (static) 20N 40N 80N
Stroke option 30 mm 50 mm 100 mm
Mass 34 g 40 g 56 g
Repeatability (-I,-R,-
0.2 mm 0.3 mm 0.5 mm
P&LAC)
Max Side Load (extended) 40N 30N 15N
Closed Length (hole to hole) 82mm 102mm 152mm
Potentiometer (-I, -R, -P) 3k50% 6k50% 11k50%
Voltage Option 6 VDC 12 VDC
Max Input Voltage 7.5V 13.5V
Stall Current 550mA 220mA
Standby Current (-I/-R) 7.2mA 3.3mA

Firgelli L12-R hanya memiliki 3 kabel, masing-masing kabel terdiri dari


positif (vcc), negatif (ground) dan kontrol (signal). Kabel berwarna putih untuk
kontrol (signal), warna merah untuk vcc, dan warna hitam untuk ground. Bentuk
dari konfigurasi pin pada Firgelli L12-R dapat dilihat pada Gambar 7.11.

Gambar 7.11 Konfigurasi pin pada Firgelli L12-R (Actuonix n.d.)

Firgelli L12-R dapat dikendalikan dengan memberikan sinyal modulasi


lebar pulsa (Pulse Width Modulation atau PWM) melalui kabel kontrol. Lebar
108

pulsa sinyal kontrol yang diberikan akan menentukan posisi sudut putaran dari
poros servo. Nilai PWM sebesar 1,0 ms memerintahkan servo untuk menarik
stroke aktuator, dan pulsa sinyal sebesar 2,0 ms untuk memanjangkan stroke
aktuator.

7.3.6 Software Alat Terapi Robotik


Bantuan pemrogaman berupa software dalam proses pembuatan desain
kontrol sangatlah penting. Dengan adanya software, desain sistem atau plant dapat
disimulasikan terlebih dahulu tanpa harus membuang banyak waktu dan biaya
untuk melakukan proses eksperimental guna memperoleh desain dengan
parameter terbaik. Pada penelitian ini, proses pembuatan sistem kontrol dilakukan
menggunakan software Arduino IDE dan Microsoft Visual Studio. Penjelasan
secara garis besar penggunaan software tersebut terhadap kaitannya dalam
pembuatan desain kontroler dibahas pada sub-sub bab dibawah ini (Silivas, 2016).

A. Arduino IDE
Arduino Integrated Development atau Arduino Software (IDE) adalah software
yang memiliki teks editor untuk menuliskan kode atau coding , bagian penampil
pesan, serta toolbar untuk menu dan fungsi-fungsi umum. Software ini
menghubungkan Arduino (hardware) untuk mengunggah program dan
berkomunikasi dengan hardware. Program yang dibuat menggunakan Arduino
IDE disebut sketsa. Sketsa-sketsa ini ditulis pada teks editor dan disimpan file
ekstensi dengan format .ino. Arduino IDE memiliki serial monitor yang berfungsi
menampilkan data yang dikirim dari board Arduino. Untuk mengirim data ke
board, kita hanya perlu menekan tombol send setelah memilih baud rate yang sesuai
dengan serial begin pada sketsa (http://www.arduino.cc). Tampilan software
Arduino IDE ditunjukan pada gambar 7.12.
109

Gambar 7.12 Tampilan Software Arduino IDE (Silivas, 2016)

Bagian pojok kanan bawah menampilkan konfigurasi board dan serial port.
Menu toolbar memiliki tombol-tombol yang dapat membantu dalam pembuatan,
penyimpanan, dan verifikasi program. Bagian penampil pesan akan memberikan
informasi ketika kita menyimpan dan mengekspor file serta memberi
pemberitahuan apabila terdapat eror pada program yang kita buat. Berikut ini
tombol yang terdapat pada toolbar Arduino IDE (Silivas, 2016).

Tabel 7.3 Tombol pada toolbar beserta fungsi


Verify
Memeriksa kode apakah terdapat error atau tidak sebelum mengunggah.

Upload
Mengunggah kode pada mikrokontroler.
New
Membuat sketsa baru.
110

Open
Membuka sketsa-sketsa yang telah tersimpan.
Save
Menyimpan sketsa yang telah dibuat dengan format .ino
SerialMonitor
Menampilkan serial monitor

Bahasa pemrograman arduino yang memiliki kemiripan syntax dengan


bahasa pemrograman C. Bahasa pemrograman Arduino memiliki fungsi serta
variable yang memiliki arti masing-masing. Function (fungsi) adalah blok
pemrograman yang mempunyai nama dan mempunyai statement yang akan
dieksekusi ketika function di panggil. Struktur fungsi dasar dari bahasa
pemrograman arduino terdiri dari dua bagian yaitu:
1. Digital I/O(input/output)
Papan Arduino pada umumnya memiliki sekitar 54 pin yang dapat
digunakan sebagai input atau output dengan fungsi pinMode() , digitalWrite() ,
dan digitalRead(). Contoh dari pemrogramannya adalah :
pinMode (pin, OUTPUT); // mengatur pin sebagai output
digitalWrite(pin, HIGH); // pin sebagai source voltage
Value = digitalRead(pin); // membaca nilai dari pin

2. Void Setup ( )
Void setup() hanya di panggil satu kali ketika program pertama kali di
jalankan dan digunakan untuk pendefinisian mode pin atau memulai komunikasi
serial. Fungsi setup() harus di ikut sertakan dalam program walaupun tidak ada
statement yang di jalankan. Contoh pemakaian fungsi void setup() :
void setup()
{
pinMode(13,OUTPUT); // menjadikan pin 13 sebagai output
}

3. Void Loop ( )
Void loop() digunakan untuk mengeksekusi bagian program yang akan
dijalankan berulang-ulang. Semua kode program yang ada di void loop akan
dibaca setelah void setup dan akan dibaca terus menerus oleh Arduino. Contoh
pemakaian fungsi void loop() adalah :
111

void loop()
{
digitalWrite(13, HIGH); // memberikan 5v kepada pin 13
delay(1000); // pause selama 1 detik
digitalWrite(13, LOW); // memberikan 0v kepada pin 13
delay(1000); /// pause selama 1 detik
}

4. Serial Begin (rate)


Statement ini di gunakan untuk mengaktifkan komunikasi serial dan
mengset baudrate. Contoh :
void setup()
{
Serial.begin(9600);//membuka serial port dan mengatur kecepatan
transfer data sebesar 9600 bps
}

5. Serial prinln (data)


Mengirimkan data ke serial port.
Serial.println(100); // mengirimkan 100 data

Variabel adalah kode program yang digunakan untuk menyimpan suatu


nilai pada sebuah nama. Berikut ini variabel yang biasanya digunakan dalam
pemrograman :
1. int (integer)
Variabel yang sering digunakan dan menyimpan data sebesar 2 bytes (16
bits).
2. long (long)
Biasa digunakan jika nilai datanya lebih besar dari integer dan
menggunakan 4 bytes (32 bits).
3. boolean (boolean)
Variabel yang hanya menyimpan nilai TRUE dan FALSE saja dan hanya
menggunakan 1 bit.
4. float (float)
Digunakan untuk floating point pada nilai desimal. Memory yang digunakan
4 bytes (32 bits).
112

5. char (character)
Menyimpan character berdasarkan ASCII kode (contoh: 'A'=65).
Menggunakan 1 byte (8 bits).

B. MATLAB
MATLAB (Matrix Laboratory) adalah sebuah lingkungan komputasi
numerikal dan bahasa pemrograman komputer generasi keempat. Dikembangkan
oleh The MathWorks, MATLAB memungkinkan manipulasi matriks, pem-plot-an
fungsi dan data, implementasi algoritma, pembuatan antarmuka pengguna, dan
peng-antarmuka-an dengan program dalam bahasa lainnya. MATLAB juga
bersifat extensible, dalam arti bahwa seorang pengguna dapat menulis fungsi baru
untuk menambahkan pada library, ketika fungsi-fungsi built-in yang tersedia tidak
dapat melakukan tugas tertentu. Kemampuan pemrograman yang dibutuhkan
tidak terlalu sulit bila kita telah memiliki pengalaman dalam pemrograman bahasa
lain seperti C, PASCAL, atau FORTRAN (http://www.mathworks.com).
Secara umum lingkungan kerja Matlab terdiri dari tiga bagian yang penting
yaitu:

1.
Command Windows
Windows ini muncul pertama kali ketika kita menjalankan program Matlab
seperti terlihat pada Gambar 7.13. Command windows digunakan untuk
menjalankan perintah-perintah, memanggil tool seperti editor, fasilitas help, model
simulink, dan lain-lain. Pada command windows terdapat 2 bagian yaitu :
- Workspace: Menampilkan semua variable yang pernah dibuat meliputi nama
variable, ukuran, jumlah byte dan class.
- Command History : Menampilkan perintah-perintah yang telah diketikkan
pada command Window.
113

Gambar 7.13 Tampilan Command Windows

2. Editor Windows
Windows ini merupakan tool yang berfungsi sebagai editor script (listing
perintah-perintah yang harus dilakukan oleh Matlab). Berikut ini tampilan dari
editor windows.

Gambar 7.14 Tampilan Editor

3. Figure Windows
Windows ini merupakan hasil visualisasi dari script. Ini memberikan
kemudahan bagi programmer untuk mengedit windows ini sekaligus memberikan
program khusus untuk itu, sehingga selain berfungsi sebagai visualisasi output
yang berupa grafik juga sekaligus menjadi media input yang interaktif. Gambar
7.15 menunjukan figure windows pada MATLAB.
114

Gambar 7.15 Tampilan Figure Windows

7.4 Hasil dan Pembahasan

7.4.1 Interface Hardware dan Software


Interfacing atau dalam istilah bahasa Indonesia disebut dengan antarmuka
merupakan suatu istilah yang seringkali digunakan untuk menghubungkan dari
satu alat atau software dengan alat atau software lainnya yang mana dapat
digunakan untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Dalam penelitian ini,
hardware yang dikembangkan adalah eksoskeleton tangan berbasis flex sensor,
dimana flex sensor diletakkan pada sarung tangan yang akan dikenakan pada
tangan yang sehat sedangkan eksoskeleton dikenakan pada tangan yang
mengalami kelumpuhan. Penyatu antara kedua perangkat ini adalah
mikrokontroler yaitu Arduino Mega 2560.
115

Gambar 7.16 Interface antara hardware dengan hardware, software dengan


hardware, dan hardware dengan user (Silivas, 2016)

Interface antara hardware dengan hardware terjadi antara papan


mikrokontroler dengan eksoskeleton dan sarung tangan. Interface antara hardware
dengan software terjadi antara mikrokontroler dengan software Arduino IDE,
dimana pemrograman dibuat dan diupload ke dalam mikrokontroler. Interface
antara hardware dengan user terjadi antara eksoskeleton, sarung tangan dan pasien.
Eksoskeleton dan sarung tangan flex diintegrasikan oleh mikrokontroler, dimana
gerakan sarung tangan yang memiliki flex sensor mengendalikan gerakan
eksoskeleton.

7.4.2 Pengujian Flex Sensor


Pengujian flex sensor dilakukan dengan mengamati nilai resistansi yang
dihasilkan ketika terdapat kelengkungan pada sensor itu sendiri. Pengujian
dilakukan pada 5 buah sensor dengan beberapa sudut lengkungan. Hasil
pengujian flex sensor ditunjukkan oleh Tabel 7.4. Hasil pengukuran ini merupakan
hasil yang ditampilkan pada serial monitor pada Arduino IDE.
116

Tabel 7.4 Hasil Pengujian Flex Sensor (Silivas, 2016)


Hambatan Flex Sensor
Posisi flex Sudut Nilai
Vout (volt) (kOhm)
sensor Flex(derajat) Terbaca
Perhitungan Pengukuran
0 460 2.48 26.91 26.93
Ibu Jari 45 339 1.65 44.40 44.59
90 250 1.21 68.55 68.39
0 506 2.47 22.36 22.30
Telunjuk 45 371 1.81 38.53 38.50
90 271 1.32 61.00 60.74
0 496 2.42 23.27 23.19
Jari Tengah 45 352 1.72 41.70 41.76
90 233 1.14 74.11 74.18
0 490 2.39 23.84 23.93
Jari Manis 45 348 1.7 42.45 42.49
90 254 1.24 66.35 66.26
0 505 2.47 22.36 22.39
Kelingking 45 356 1.74 40.97 41.04
90 237 1.16 72.45 72.17

Berdasarkan pengujian flex sensor yang telah dilakukan, dibuat grafik


hubungan resistansi dengan sudut dan grafik hubungan resistansi dengan
tegangan output pada Gambar 7.17 dan 7.18.

100
Sudut flex (derajat)

80
60
40 Ibu Jari
20 Telunjuk
0
22.39 41.04 72.17
Resistansi (kOhm)

Gambar 7.17 Grafik resistansi vs sudut flex sensor ibu jari dan telunjuk (Silivas,
2016)
117

3
Tegangan output (volt)

2.5
2
1.5
Ibu Jari
1
Telunjuk
0.5
0
22.39 41.04 72.17
Resistansi (kOhm)

Gambar 7.18 Grafik resistansi vs tegangan output ibu jari dan telunjuk (Silivas,
2016)

Gambar 7.17 menunjukkan bahwa nilai resistansi yang didapat berbanding


lurus dengan sudut kelengkungan. Semakin besar sudut lekukan flex sensor akan
semakin besar pula resistensinya. Sedangkan nilai tegangan berbanding terbalik
dengan resistansi dimana semakin besar resistansi, semakin kecil nilai tegangan
yang keluar dari flex sensor seperti ditunjukan Gambar 7.18. Nilai pada saat
perhitungan dan pengukuran berbeda hal ini dikarenakan pada saat tegangan
masuk ke Arduino tegangan tersebut tidak murni dari flex sensor dan juga nilai
Vin tidak selalu tepat 5V.

7.4.3 Prototipe Eksoskeleton


Komponen yang dikenakan oleh tangan pasien yang lumpuh atau layu
berupa sebuah eksoskeleton yang digerakan oleh aktuator linear pada setiap jari
dengan sinyal input berasal dari sarung tangan yang di-assembly dengan flex
sensor. Eksoskeleton yang didesain memiliki total 9 derajat kebebasan; 2 derajat
kebebasan untuk 4 jari dan 1 derajat kebebasan untuk ibu jari.
118

Gambar 7.19 Eksoskeleton tampak asimetri (Silivas, 2016)

Gambar 7.20 Eksoskeleton tampak atas (Silivas, 2016)


119

Gambar 7.21 Simulasi Gerakan Menggenggam (Silivas, 2016)

Komponen eksoskeleton yang menggerakan jari tangan didukung oleh 2


sambungan dan 1 sambungan untuk ibu jari. Gambar 7.22 menunjukan
sambungan-sambungan jari eksoskeleton. Panjang sambungan 4 jari eksoskeleton
memiliki panjang yang sama.

Gambar 7.22 Sambungan jari eksoskeleton (Silivas, 2016)

Untuk 4 jari, panjang sambungan pertama adalah 102 mm dan sambungan


kedua 49.50 mm. Untuk ibu jari, panjang sambungan adalah 50 mm.
120

7.4.4 Analisa Gerakan Jari Tangan


Dalam menganalisa pergerakan dinamik pada jari tangan, dibutuhkan
percepatan untuk melakukan simulasi pada MATLAB. Simulasi yang dilakukan
tidak memperhatikan gaya-gaya eksternal pada jari tangan.
Gambar 7.23 memperlihatkan letak jari eksoskeleton apabila dikenakan
pada tangan. Sambungan pertama sejajar dengan MCP dan PIP jari, sedangkan
sambungan kedua sejajar dengan DIP.

DIP PI MC
Gambar 7.23 Letak Jari Eksoskeleton pada Jari Tangan (Silivas, 2016)

Berdasarkan Gambar 7.23 dibuatlah sebuah gambar kinematika untuk jari


tangan yang mengenakan eksoskeleton. Pemodelan kinematika jari tangan terlihat
pada Gambar 7.22.

Gambar 7.24 Kinematika jari tangan saat fleksi (Silivas, 2016)


121

Pemodelan kinematika jari tangan pada Gambar 7.24 menghasilkan


persamaan sebagai berikut.
x1 l1 cos 1
y1 l1 sin 1 (7.3)

x 2 x1 l 2 cos 2
y 2 y1 l 2 sin 2 (7.4)
Dimana :
l1 = panjang middle phalange (cm)
l2 = panjang proximal phalange (cm)
m1 = berat middle phalange (kg)
m2 = berat middle dan distal phalange (kg)
1= sudut MCP
2 = sudut PIP

Turunan dari persamaan (7.3) dan (7.4) akan menghasilkan persamaan


kecepatan dan percepatan yaitu :
x 1 l11 sin 1
y l cos
1 1 1 1 (7.5)
x 2 x 1 l 22 sin 2
y y l cos
2 1 2 2 2 (7.6)

Untuk mencari persamaan diferensial gerak sebuah benda persamaan


Lagrangian yang digunakan adalah:
Fi m i x i (7.7)
122

Gambar 7.25 (a) DBB massa 1, (b) DBB massa 2

Untuk Gambar 7.25 (a) diperoleh persamaan :

F m l
1 1 1


m1 g cos1 T2 cos 1 2 90 m1l11 (7.8)

Untuk Gambar 7.25(b) diperoleh persamaan :


T2 m2 cos 2 90

m2 g sin 2 90 m1l11 m2 l 22 (7.9)

Dengan mensubstitusikan persamaan (7.8) dan (7.9) persamaan percepatan


massa 1 menjadi :


m1 g cos 1 m 2 cos 2 90 cos 1 2 90 m1l11
g
1 cos 1
l1
1 m2
l1 m1
cos 2 90 cos 90
1 2

123

Dan untuk percepatan massa 2 pada Gambar 4.8(b) adalah :



m2 g sin 2 90 m1 g cos 1 T2 cos 1 2 90 m l
1 2 2 2


m2l22 m1 g cos1 m2 cos 2 90 cos 1 2 90 m2 g sin 2 90
m1 g
cos 1 cos 2 90 cos 1 2 90 sin 2 90
1 g
2
m2 l 2 l2 l2

Penyelesaian persamaan di atas memerlukan bantuan dari MATLAB untuk


mensimulasikan gerakan jari tangan dan menghasilkan grafik kecepatan dan
percepatan pada Gambar 4.13 dan 4.14. Besar parameter yang digunakan
diasumsikan sebagai berikut :
m1 = m2 = 0.001 (kg)
l1 = 0.03 m
l2 = 0.02 m
Dengan menggunakan parameter di atas, dilakukan simulasi dengan
software MATLAB dan memodelkan jari tangan seperti pendulum seperti pada
Gambar 7.26 dan 7.27.

Gambar 7.26 Posisi awal (Silivas, 2016)


124

Gambar 7.27 Posisi akhir (Silivas, 2016)

Gambar 7. 28 Kecepatan vs waktu (Silivas, 2016)

Gambar 7.29 Percepatan vs waktu (Silivas, 2016)


125

REFERENSI

Silivas, Agnes. 2016. Laporan Tugas Akhir: Pengembangan Alat Terapi Robotik
Berbasis Flex Sensor untuk Pasien Paska Stroke. Teknik Mesin Universitas
Diponegoro: Semarang
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
World Health Organization (WHO). 2012. The 10 Leading Causes of Death.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/index.html
[Accessed August 3, 2016].
Sidhartha, J.M. et al., 2015. Risk factors for medical complications of acute hemorrhagic
stroke. Journal of Acute Disease, 4(3), pp.222225.
Ockenfeld, C. et al., 2013. Fine finger motor skill training with exoskeleton robotic hand
in chronic stroke: Stroke rehabilitation. 2013 IEEE 13th International Conference on
Rehabilitation Robotics (ICORR), pp.14.
https://www.sparkfun.com, 2014. Flex Sensor SparkFun Electronics. Available at:
https://www.sparkfun.com/products/10264 [Accessed August 30, 2016].

Anda mungkin juga menyukai