Anda di halaman 1dari 17

Hubungan Olahraga dengan Peningkatan Imun

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Kesehatan Olahraga
yang dibina Bapak Dr. Sugiharto, M.S.

oleh
BENEDICTUS KRISTIAWAN 140621606508
GOZY ENDRA V 14062160
FEBRY DHARMA P 14062160

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
JURUSAN ILMU KEOLAHRAGAAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem kekebalan tubuh yang sehat merupakan kekebalan yang dapat
membedakan antara bagian tubuh dari sistem itu sendiri dan benda asing yang
masuk ke dalam tubuh. Secara garis besar, sistem imun menurut sel tubuh dibagi
menjadi sistem imun humoral dan sistem imun seluler. Sistem imun humoral
terdiri atas antibodi dan cairan yang disekresikan organ tubuh tubuh (saliva, air
mata, serum, keringat, asam lambung, pepsin, dan lain-lain). Sedangkan sistem
imun dalam bentuk seluler berupa makrofag, limfosit, dan neutrofil yang berada
di dalam sel.
Berbagai penelitian menemukan bahwa olahraga moderat secara teratur
akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Studi awal menemukan bahwa orang
yang teratur berolahraga lebih jarang terserang flu. Oleh karena itu, olahraga
moderat dikaitkan dengan respon sistem kekebalan tubuh positif serta
meningkatkan produksi makrofag atau sel-sel yang menyerang bakteri. Bukti
menunjukkan bahwa terjadi perubahan fisiologis dalam sistem kekebalan tubuh
sebagai respon saat berolahraga. Selama melakukan olahraga moderat, sel
kekebalan beredar ke seluruh tubuh lebih cepat sehingga lebih mampu membunuh
bakteri dan virus. Setelah olahraga berakhir, sistem kekebalan tubuh umumnya
kembali normal dalam beberapa jam, tetapi olahraga yang teratur tampaknya
membuat perubahan ini bertahan semakin lama.
Berbeda dengan olahraga moderat, olahraga ringan tidak terlalu
berpengaruh terhadap sistem imun dalam tubuh. Sedangkan olahraga berat atau
dengan intensitas tinggi malah menyebabkan tertekannya sistem kekebalan tubuh,
dan dapat membahayakan atlet atau olahragawan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud olahraga?.
2. Apakah yang dimaksud imun serta bagaimana mekanismenya?
3. Apa hubungan dari olahraga dengan peningkatan imun?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan olahraga.
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan imun serta mekanismenya.
3. Mengetahui hubungan dari olahraga dengan peningkatan imun.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Olahraga
adalah aktivitas gerak manusia menurut teknik tertentu dalam
pelaksanaannya ada unsur bermain, ada rasa senang, dilakukan waktu luang,
aktivitas dipilih (sukarela), kepuasan dalam proses, Jika tidak dilaksanakan ada
sanksi dan nilai positif. Definisi Olahraga Secara umum, Olahraga adalah suatu
bentuk aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur yang melibatkan gerakan
tubuh berulang-ulang dan ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani.
Olahraga menurut para ahli ialah sebagai berikut :
1.Cholik Mutohir
Olahraga adalah sistematik yang berupa suatu kegiatan atau usaha yang
dapat mendorong mengembangkan dan membina potensi-potensi jasmaniah dan
rohhaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk
permainan, perlombaan/pertandingan dan pestasi puncak dalam pembentukan
manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan pancasila.
2.Jaya Wardana (2010:1)
Olahraga merupakan kemampuan dasar yang dimiliki manusia yang bisa
dikembangkan dan dilatih untuk kepentingan kesehatan bagi dirinya.
3.UNESCO
setiap aktivitas tubuh berupa permainan yang berisikan perjuangan
melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri kita sendiri

2.2 Imun
Kata imun berasal dari bahasa Latin immunitas yang berarti
pembebasan (kekebalan) yang diberikan kepada para senator Romawi selama
masa jabatan mereka terhadap kewajiban sebagai warganegara biasa dan terhadap
dakwaan. Dalam sejarah, istilah ini kemudian berkembang sehingga
pengertiannya berubah menjadi perlindungan terhadap penyakit, dan lebih
spesifik lagi, terhadap penyakit menular. Sistem imun adalah sistem pertahanan
yang ada pada tubuh manusia yang berfungsi untuk menjaga manusia dari benda-
benda yang asing bagi tubuh manusia. Pada sistem imun ada istilah yang disebut
Imunitas. Imunitas sendiri adalah ketahanan tubuh kita atau resistensi tubuh kita
terhadap suatu penyakit. Jadi sistem imun pada tubuh kita mempunyai imunitas
terhadap berbagai macam penyakit yang dapat membahayakan tubuh kita.
Menurut Guyton dan Hall (1996:435) tubuh manusia mempunyai
kemampuan untuk melawan segala macam organisme atau toksin yang cenderung
merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan itu disebut kekebalan atau
imunitas. Sebagian besar imunitas disebabkan oleh suatu imun khusus yang
membentuk antibodi dan limfosit yang diaktifkan yang akan menyerang dan
menghancurkan toksin tertentu, kekebalan ini disebut kekebalan buatan/
kekebalan yang didapat/ sistem imun spesifik (acquired adaptive immunity) Ada
suatu jenis imunitas tambahan yang disebabkan oleh proses umum dan bukan
disebabkan dari proses untuk melawan organisme penyebab penyakit spesifik.
Kekebalan ini disebut kekebalan bawaan/ sistem imun nonspesifik (innate
immunity).
Sistem imun buatan ini mempunyai kemampuan untuk mengenal benda
yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul segera
dikenal sehingga terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel imun
tersebut berpapasan kembali dengan sel asing yang sama, maka benda asing yang
terakhir ini akan dikenal lebih cepat kemudian akan dihancurkan (Baratawidjaya,
1991: 30).
Respon imun menurut pendapat modern menjalankan tiga fungsi utama
yaitu pertahanan (defense), homeostatis dan pengawasan (survaillance) (Bellanti,
1985: 15). Kondisi stress berhubungan erat dengan respon imun. Pada saat stress,
terjadi respon imun yang lebih bertujuan untuk mengembalikan keadaan individu
pada keadaan homeostatis (Locke, 1982 dalam Miller dan Norin, 1989).

2.2.1 Komponen Sel Kekebalan Tubuh


Sel-sel darah yang terlibat dalam respon imun diturunkan dari pluripoten
hematopoitik stem cell (Sigal dan Ron, 1994 dalam Damayanti, 1999: 8). Stem
cell tersebut kemudian berdeferensiasi menjadi dua jalur yang berlainan, yaitu:
mieloid dan limfoid. Mieloid terdiri dari granulosit polimorfonuklear (basofil/
mass cell, netrofil, eosinofil), monosit/ makrofag dan megakariosit/ platelet,
sedangkan limfoid terdiri dari limfosit T, limfosit B, dan sel NK (Norin, 1989:
15). Limfosit, netrofil, eosinofil, basofil dan monosit merupakan unit yang aktif
pada sistem imunitas, sehingga diberi nama sel imunokompeten. Sel-sel
imunokompeten tersebut dapat digunakan sebagai indikator kualitas ketahanan/
kekebalan tubuh. Indikator kekebalan tubuh yang innate akan diwakili oleh
basofil, eosinofil , netrofil, dan monosit, sedangkan indikator kekebalan tubuh
yang adaptive diwakili oleh limfosit (Kuby, 1992; Roitt dkk,1996). Kebanyakan
dari sel-sel ini di dalam aliran darah bersifat non fungsional dan bilamana secara
khusus diangkut menuju ke jaringan yang mengalami peradangan (Ganong,
1999:331).
2.2.2 Mekanisme Imun
Sistem imun merupakan sistem koordinasi respons biologik yang
bertujuan melindungi integritas dan identitas individu serta mencegah invasi
organisme dan zat yang berbahaya di lingkungan yang dapat merusak dirinya.
Sistem imun membentuk beberapa lapisan pertahanan tubuh.
Lapisan pertahanan tubuh terdiri dari:
Komponen
Lapisan Pertahanan Respon Imun
Pertahanan
Innate Immunity
Kulit Non-Spesifik
Lapisan Pertama Membran Mukosa Non-Spesifik
Bakteri alami apatogen Non-Spesifik
Sel Fagosit Non-Spesifik
Inflamasi Non-Spesifik
Lapisan Kedua
Protein Antimikroba Non-Spesifik
Sel Natural Killer (NK) Non-Spesifik
Acquired Immunity
Kekebalan Humoral
Spesifik
(Limfosit B)
Lapisan Ketiga
Kekebalan diperantarai
Spesifik
sel (Limfosit T)
Ada beberapa mekanisme pertahanan tubuh dalam mengatasi agen yang
berbahaya di lingkungannya yaitu:
1. Pertahanan fisik dan kimiawi: kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat
melalui kelenjar keringat dan sebasea, sekresi lendir, pergerakan silia, sekresi
airmata, air liur, urin, asam lambung serta lisosim dalam airmata.
2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat
mencegah invasi mikroorganisme seperti laktobasilus pada epitel organ.
3. Innate immunity
4. Imunitas spesifik yang didapat.
Pada imunitas innate makrofag dan neutrofil memegang peranan
penting sebagai pertahanan pertama dalam melawan mikroorganisme patogen.
Kedua sel tersebut langsung bisa bekerja dan tidak mengenal spesifikasi.
Makrofag akan memfagosit semua macam bakteri jika sel tersebut dapat
mengenalinya demikian juga neutrofil akan mengadakan serangan secara
langsung tanpa membedakan mikroorganisme yang masuk. Namun demikian,
dalam hal tertentu kedua sel imunokompten ini tidak berhasil mengeliminasi
patogen yang masuk bahkan tidak dapat mengenali patogen tersebut. Imunitas
innate merupakan langkah awal untuk memulai terjadinya imunitas adaptif.
Adanya imunitas innate memberikan keuntungan yang besar bagi tubuh karena
pada tahap awal datangnya infeksi sesungguhnya tubuh belum siap dengan sistem
pertahanan imunitas adaptif. Imunitas adaptif pada umumnya bekerja 4-7 hari
setelah terjadinya infeksi.
Pada saat imunitas adaptif mulai dipersiapkan maka imunitas innate
merupakan satu-satunya sistim pertahanan yang bertanggungjawab untuk
mengontrol perkembangan patogen yang masuk. Satu keuntungan yang sangat
besar dari imunitas adaptif adalah adanya perkembangan sel-sel memori. Sel-sel
ini merupakan klon spesifik yang dipelihara tetap hidup dalam waktu relatif lama.
Jika dalam periode tertentu tubuh terpapar lagi oleh antigen yang sama, maka sel-
sel memori akan merespon dengan cepat dengan membentuk sel-sel plama atau
efektor untuk mengatasi patogen yang masuk. Hampir semua agen penginfeksi
akan menimbulkan terjadinya inflamasi yang diawali oleh aktifnya imunitas
innate . Mikroorganisme seperti bakteri yang berhasil menembus jaringan epitel
segera bertemu dengan molekul pertahanan dan juga sel-sel yang berperan pada
imunitas innate.

Makrofag sebagai sel fagosit mengenali bakteri dengan reseptor yang ada
pada permukaan sel. Reseptor tersebut mengenal konstituen yang ada pada
permukaan sel bakteri. Molekul yang berada pada permukaan sel bakteri berikatan
dengan reseptor yang ada pada makrofag dan merangsang makrofag untuk
memfagosit bakteri tersebut. Makrofag yang teraktifkan mampu mensekresi
sitokin. Sitokin merupakan protein yang disekresi suatu sel dan memiliki efek
mengubah tingkah laku sel lain yang mempunyai reseptor untuk sitokin tersebut.
Makrofag yang teraktifkan juga mensekresi protein yang dikenal dengan nama
kemokin. Kemokin mempunyai kemampuan merekrut sel-sel lain yang memiliki
reseptor kemokin, seperti neutrofil dan monosit dari sirkulasi darah. Sitokin dan
kemokin yang dihasilkan makrofag sebagai respon terhadap molekul yang
terdapat pada bakteri akan mengawali proses inflamasi.

Infeksi bakteri memicu terjadinya inflamasi

Makrofag yang bertemu dengan antigen pada suatu jaringan akan


melepaskan sitokin yang menyebabkan permeabilitas pembuluh darah meningkat.
Keadaan ini memungkinkan cairan dan protein menembus dan masuk dalam
jaringan. Makrofag juga memproduksi kemokin yang dapat menarik neutrofil
bermigrasi ke arah infeksi.
Daya lekat ( stickiness ) sel endotel pembuluh darah juga berubah
sehingga sel yang melekat pada sel endotel dapat melekat kuat dan menembus
keluar dari darah menuju jaringan. Yang mula-mula melakukan penembusan
pembuluh darah adalah neutrofil dan diikuti oleh monosit. Akumulasi sel dan
cairan pada sisi luka menyebabkan warna kemerahan, bengkak, panas, dan sakit,
yang secara keseluruhan disebut inflamasi. Neutrofil dan makrofag merupakan sel
inflamator paling penting. Limfosit yang teraktivasi pada respon imun dapat
menyumbangkan kejadian inflamasi.
Inflamasi dan fagositosis juga dipacu oleh aktivitas komplemen yang
bekerja pada permukaan sel bakteri. Komplemen merupakan protein dalam
plasma yang mengaktifkan reaksi proteolisis pada permukaan mikrobia tetapi
tidak pada sel host. Komplemen bekerja dengan menempel pada permukaan
dinding sel mikrobia dengan fragmen yang dikenali oleh reseptor makrofag yang
selanjutnya difagosit oleh makrofag. Dalam proses ini makrofag juga
mensekresikan peptida yang menyumbangkan terjadinya inflamasi. Inflamasi
secara umum dapat digambarkan sebagai peradangan dengan ciri-ciri timbulnya
panas, rasa sakit, timbul warna merah, dan swelling.
Kondisi demikian ini merupakan akibat kerja sitokin dan faktor inflamasi
lain pada pembuluh darah di suatu tempat. Terjadinya delatasi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah selama inflamasi akan meningkatkan aliran darah
pada daerah yang mengalami infeksi. Adanya permeabilitas yang tinggi
memungkinkan cairan dari darah akan menembus keluar pembuluh darah menuju
jaringan, dan menyebabkan panas, merah, dan swelling . Sitokin dan komplemen
juga memberi sumbangan penting pada perubahan fisiologi dari sel endotel. Sel
endotel mempunyai daya ikat yang tinggi atas pengaruh dua molekul tersebut di
atas. Daya ikat tersebut memungkinkan sel-sel leukosit yang sedang bersirkulasi
untuk melekat pada sel-sel endotel pada dinding pembuluh darah.
Setelah pelekatan tersebut sel-sel leukosit dengan mudah menembus di
antara sel-sel endotel menuju daerah infeksi dengan dipandu oleh gradien
kemokin. Pindahnya leukosit dari pembuluh darah menuju jaringan menimbulkan
rasa sakit. Neutrofil merupakan sel terpenting di awal terjadinya inflamasi.
Neutrofil adalah sel yang paling cepat menuju daerah inflamasi. Sebagaimana
makrofag, neutrofil memiliki reseptor di permukaan sel yang secara umum
mampu mengenal molekul pada permukaan sel bakteri dan komplemen. Neutrofil
merupakan sel penting yang mampu menelan dan menghancurkan
mikroorganisma penginfeksi.
Aktivitas neutrofil ini segera diikuti oleh berubahnya monosit menjadi
makrofag, sehingga makrofag dan neutrofil disebut sel inflamator. Selanjutnya
peristiwa inflamasi ini juga menimbulkan reaksi limfosit. Limfosit T akan bekerja
setelah mengenal antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sedangkan limfosit B
mempunyai kemampuan secara langsung untuk merespon antigen dengan
mensekresikan antibodi. Sebagian klon limfosit B ada yang memiliki kemampuan
untuk menelan bakteri dan berlaku sebagai APC.
Limfosit B semakin aktif jika memperoleh sitokin yang tepat yang
disekresikan oleh limfosit T. Imunitas innate memberi kontribusi penting bagi
terjadinya imunitas adaptif. Inflamasi meyebabkan meningkatnya aliran cairan
lymph yang mengandung antigen dan sel yang membawa antigen masuk jaringan
limfoid. Makrofag yang telah memfagosit bakteri mempunyai kemampuan
mengaktifkan sel-sel limfosit. Namun demikian, sel yang secara khusus didesain
untuk mempresentasikan antigen kepada sel T adalah sel dendritik, dan inilah
awal dari terjadinya respon imunitas adaptif.
Aktivasi APC Menginduksi Imunitas Adaptif .
Induksi imunitas adaptif dimulai ketika patogen dicerna oleh sel
dendritik immature pada jaringan yang terinfeksi. Sel fagosit ini tersebar pada
berbagai macam jaringan dan mengalami pembaharuan pada kecepatan yang
sangat rendah. Sel dendritik sebagaimana makrofag berasal dari prekursor dalam
sumsum tulang, dan bermigrasi dari sumsum tulang menuju jaringan periperal
tempat berhentinya, pada tempat yang baru ini sel dendritik berperan untuk
menjaga lingkungannya dari serangan patogen. Sel dendritik yang telah
memperoleh antigen akan segera memasuki pembuluh limfa dam masuk lymph
node. Pada lymph node sel dendritik akan mengenalkan antigen yang dibawa
kepada sel T naive.
Sel dendritik immature mempunyai reseptor pada permukaan sel
yang mengenali sifat umum patogen, misalnya dinding sel bakteri yang berupa
proteoglikan. Sebagaimana yang terjadi pada makrofag dan neutrofil, bakteri yang
berikatan dengan reseptor sel dendritik akan ditelan oleh sel tersebut dan
didegradasi intraselluler. Sel dendritik immature secara terus menerus mengambil
material ekstraselluler, termasuk virus dan bakteri yang ada pada lingkungan itu
dengan mekanisme makropinositosis yang tidak tergantung reseptornya. Fungsi
utama sel dendritik sebenarnya bukan untuk menghancurkan patogen tetapi untuk
membawa antigen dari patogen itu pada organ limfoid periferal dan
mempresentasikan antigen itu pada sel limfosit T. Ketika sel dendritik menelan
patogen pada jaringan yang terinfeksi, sel dendritik teraktivasi dan bergerak
menuju lymph node yang terdekat. Karena aktivasi itu sel dendritik mengalami
pemasakan menjadi sel APC yang sangat efektif dan berubah sifat menjadi sel
yang mampu mengaktifkan sel limfosit spesifik yang berada pada lymph node. Sel
dendritik yang teraktivasi mensekresi sitokin yang berpengaruh terhadap imunitas
innate maupun adaptif.

Sel dendritik menginiasiasi imunitas adaptif.

Sel dendritik belum masak yang terletak pada daerah luka akan
menangkap patogen dengan reseptor yang memediasi fagositosis, sedangkan
antigennya akan ditangkap dengan makropinositosis. Sel dendritik ini terstimuli
dan bermigrasi ke lymph node terdekat melalui pembuluh limfatik. Pada LN sel
dendritik telah masak sempurna dan kehilangan kemampuan sebagai sel fagosit.
Pada LN, sel dendritik tertemu dan mengaktifkan sel T yang masuk LN melalui
pembuluh darah khusus yang disebut high endothelial venule (HEV). Sel endotel
yang menyusun HEV sangat spesifik berbentuk kuboid.

Limfosit Yang Teraktivasi Dapat Memediasi Respon Imunitas Adaptif

Sistem pertahanan imunitas innate efektif untuk melawan berbagai


macam patogen. Namun demikian sistem ini kerjanya juga terbatas karena
mengandalkan reseptor yang terbentuk selama proses perkembangannnya,
sedangkan mikroorganisme dapat berubah melebihi kecepatan host menyelaraskan
sistem imun yang ada. Hal ini menjelaskan mengapa sistem imunitas innate hanya
dapat mengenali mikroorganisme yang membawa molekul yang umumnya sama
untuk semua jenis patogen yang secara evolusi kemampuan tersebut telah
terpelihara. Imunitas innate akan bekerja dengan cepat terhadap agen apapun yang
masuk, termasuk mikroorganisme yang mempunyai kecepatan berevolusi sangat
tinggi selama reseptor nonspesifik dapat mengenalinya.
Sistem imunitas innate dapat mengenali struktur molekul yang berada
pada patogen yang umumnya tidak dimiliki host. Telah diketahui bahwa bakteri
patogen dapat terus melakukan perubahan struktur kapsul sehingga terhindar dari
pengenalan sel-sel fagosit. Virus membawa berbagai macam molekul yang secara
umum berbeda dengan bakteri dan jarang dapat dikenali langsung oleh makrofag.
Namun demikian virus dan bakteri berkapsul dapat diambil oleh sel dendritik
dengan proses makropinositosis yang tidak tergantung pada reseptor, sehingga
molekul yang menunjukkan sifat sebagai penginfeksi bisa diketahui, dan sel
dendritik teraktivasi akan mempresentasikan antigen pada limfosit. Mekanisme
pengenalan pada sistem imunitas adaptif yang dilakukan oleh sel limfosit telah
berevolusi untuk mengatasi keterbatasan imunitas innate. Adanya evolusi itu
memungkinkan terjadinya pengenalan terhadap diversitas antigen yang tak
terbatas, sehingga setiap antigen dapat menjadi target bagi limfosit yang spesifik.
Setiap sel limfosit yang masuk pada sirkulasi darah hanya memiliki satu
macam reseptor yang spesifik untuk satu macam antigen. Sifat spesifik limfosit ini
terbentuk selama proses perkembangan limfosit mulai pada sumsum tulang dan
timus untuk membentuk varian gen yang menyandi molekul reseptor limfosit.
Karena setiap sel limfosit mempunyai reseptor yang spesifikasinya berbeda satu
dengan yang lain, maka setiap individu mempunyai berjuta-juta klon sel limfosit,
lymphocyte receptor repertoire. Clonal selection theory, sebenarnya telah
berkembang sejak tahun 1950. Pada saat itu Macfarlane Burnet beranggapan
bahwa di dalam setiap individu telah tersedia sel-sel yang mempunyai potensi
menghasilkan antibodi yang berbeda-beda. Jika sel tersebut mengikat antigen
yang sesuai akan teraktivasi dan membelah menjadi progeni yang identik, yang
disebut klon. Sel yang teraktivasi itu sekarang dapat mensekresi antibodi yang
sama, dan mempunyai spesifikasi yang sama pula dengan reseptor yang pertama
kali terstimuli.
2.3 Pengruh Olahraga Terhadap Imun
Lekosit dan Latihan
Sirkulasi dari jumlah lekosit mungkin meningkat terus menerus setelah
sesi latihan, dan mungkin tetap meningkat untuk periode yang lama (sampai 24
jam) setelah beberapa tipe latihan. Secara umum, besarnya lekositosis nampak
berhubungan langsung dengan intensitas latihan dan durasi, dan berbanding
terbalik dengan tingkat kebugaran; durasi latihan mungkin faktor yang sangat
penting. Peningkatan jumlah lekosit lebih utama pada peningkatan netrofil dan
lebih luas lagi jumlah limfosit walaupun jumlah monosit juga meningkat
(Mackinon, 1992: 50).
Atlet yang terlatih baik menunjukkan jumlah lekosit istirahat rendah,
sebagai contoh, Green dkk, melaporkan bahwa 4 dari 20 pelari mempunyai
jumlah lekosit rendah (4,3 x 103 per L : normalnya adalah berkisar 4-11 x 103
per L ). Demikian pula dengan jumlah lekosit kurang dari 5 x 103 per L telah
dilaporkan pada 5 dari 9 pelari jarak jauh (Moorthy dan Zimmerman, 1978: 274).
Peningkatan jumlah lekosit mengikuti macam-macam latihan, lama
durasi dari beberapa detik sampai beberapa jam (marathon dan berbaris).
Besarnya peningkatan bervariasi dan ditentukan oleh kombinasi intensitas latihan
dan durasi. Sebagai contoh, peningkatan sampai dua kali setelah lebih dari satu
jam latihan, 2-3 kali jam latihan dan 4 kali setelah lebih dari 2 jam latihan
(McCarthy dan Dale, 1988: 340).
Granulosit dan Latihan
Jumlah granulosit meningkat secara menyolok setelah latihan berat atau
latihan panjang tetapi mungkin tidak berubah setelah latihan ringan atau latihan
dengan intensitas rendah. Peningkatan yang besar setelah latihan panjang, sebagi
contoh jumlah granulosit tidak berubah setelah berjalan naik pada 50% VO2 max,
meningkat lebih dari 300% setelah maraton, terus meningkat 26% setelah 10
menit memanjat tangga (Moorthy dan Zimmerman, 1978: 276). Jumlah granulosit
mungkin tetap meningkat untuk beberapa jam setelah latihan lama yang intensif
(Nieman, Berg dkk. 1989: 320).
Sebaliknya jumlah lekosit dan netrofil secara berangsur-angsur menurun
ke tingkat dasar setelah latihan. Jumlah limfosit mungkin menurun di bawah
tingkat istirahat sebelum kembali normal setelah latihan daya tahan, contohnya
pada pelari maraton telah menurun 20% 1,5 jam setelah 3 jam berlari dibanding
pada tingkat preexercise. Jumlah limfosir kembali normal 6 jam, walaupun jumlah
lekosit dan granulosit tetap tinggi pada waktu ini (Nieman, Berg dkk. 1989: 320).
Sirkulasi jumlah lekosit meningkat secara nyata selama latihan dan
besarnya meningkat berhubungan dengan intensitas dan durasi latihan.
Peningkatan jumlah lekosit terutama pada jumlah granulosit. Latihan juga
meningkatkan sirkulasi jumlah limfosit dan menyebabkan perubahan pada
proporsi yang relatif pada sel T, sel B dan sel NK serta pada subset sel T (CD4
dan CD8). Setelah latihan jumlah lekosit total dan granulosit tetap meningkat
selama beberapa jam, sedangkan jumlah limfosit menurun di bawah garis dasar
sebelumkembali ke nilai preexercise. Perubahan angka pada jumlah lekosit dan
limfosit selama latihan tidak lama dan kembali normal dalam 24 jam.Perubahan
ini hanya menggambarkan redistribusi keberadaan sel antar perbedaan bagian
limfosit dan tidak mengidentifikasikan sintesa dari sel baru (Mackinon,1996).
Penelitian Gabriel dkk. (1992) pada 11 atlet sehat menunjukkan ada
peningkatan eosinofil pada15 menit estela latihan maksimal (60 detik) dengan
sepeda ergometer, tetapi menurun di bawah nilai pre exercise 2 jam setelah
latihan. Surkina dan Kozlovskoya (1980: 10) menyatakan ada penurunan jumlah
eosinofil selama latihan intensif. Sedangkan Christensen RD dan Hill HR (1987)
membuktikan ada peningkatan yang besar pada jumlah eosinofil (meningkat
139% ) pada post exercise pada anggota tim atletik SMU yang berlari naik tangga
dengan langkah cepat selama 10 menit.

Latihan Fisik dan Kekebalan Tubuh


Latihan fisik yang benar, teratur, berbeban individual dan menyenangkan
dapat memperbaiki dan menghambat penurunan fungsi organ tubuh, menyehatkan
tubuh serta meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi (Kumae,
1987: 65). Pemberian rangsang fisik yang berulang pada sistem tubuh akan
menyebabkan proses adaptasi yang dapat mencerminkan peningkatan kemampuan
fungsional tetapi jika besarnya rangsang tidak cukup untuk proses pembebanan,
maka tubuh tidak akan terjadi proses adaptasi.
Sebaliknya jika rangsang terlalu besar yang tidak dapt ditoleransi oleh
tubuh akan menyebabkan jejas dan mengganggu keadaan homeostasis pada sistem
tubuh (Setyawan,1995: 96)
Sehubungan dengan pengaruh latihan terhadap konsentrasi darah putih
sebagai parameter deteksi peningkatan sistem imn dalam tubuh, Nieman (1994)
menyatakan bahwa latihan fisik tingkat sedang merangsang sistem imn, tetapi
latihan fisik yang intensif dapat menyebabkan penurunan sistem imn. Tetapi
masih belum jelas aspekaspek latihan manakah yang paling merusak sistem imn
dan lebih rawan/ rentan terhadap infeksi. Jadi respon imun pada tubuh sebagai
akibat dari latihan belum diketahui dengan jelas. Latihan yang digunakan oleh
Nieman dalah latihan treadmill selama 45 menit dengan intensitas tinggi (80%
VO2 max) dan intensitas sedang (50% VO2 max).
Beberapa hasil penelitian belum ada kesepakatan mengenai beban dan
bentuk latihan fisik yang meningkatkan atau menurunkan ketahanan tubuh. Secara
umum penelitian menunjukkan bahwa latihan fisik dengan intensitas tinggi
menimbulka kerusakan respon ketahanan tubuh, sedangkan pada beban latihan
fisik sedang belum ada kesepakatan kesamaan hasil penelitian (Mackinon, 1992:
53). Ketahanan tubuh dengan beban yang sama pada program latihan fisik masih
memberikan gambaran respon yang berbeda (Frisina, 1993) .
Riset membuktikan bahwa perubahan-perubahan positif akan terjadi di
dalam sistem kekebalan tubuh selama berolahraga secara moderat atau sedang-
sedang saja. Selsel sistem kekebalan tubuh akan bersirkulasi dengan lebih cepat di
dalam tubuh, dan kemungkinan juga ada dorongan sementara di dalam produksi
macrophage, yakni sel-sel yang menyerang bakteri. Perubahan ini mungkin akan
berakhir hanya beberapa jam setelah berolahraga, namun ada keuntungan
kumulatif bagi yang berolahraga secara moderat dan teratur. Seseorang yang
berolahraga secara teratur lebih sedikit kemungkinan untuk jatuh sakit
dibandingkan yang samasekali tidak berolahraga. Namun, berolahraga yang
berlebihan, atau terlalu sering, malah bisa mengurangi kekebalan tubuh.
(http://analisadaily.com/index.php?option=com).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan melakukan latihan fisik/ olahraga serta istirahat dan tidur yang
cukup. Latihan fisik ringan sekalipun, seperti aerobik selama 30 menit, mampu
mengaktifkan kerja sel darah putih, yang merupakan komponen utama kekebalan
tubuh pada sirkulasi darah. Idealnya melakukan latihan aerobik selama 30 menit,
lima kali seminggu. Sehubungan dengan pengaruh latihan terhadap konsentrasi
darah putih sebagai parameter deteksi peningkatan sistem imn dalam tubuh.
Tetapi, jangan melakukan olahraga berlebihan, karena justru akan mengakibatkan
tertekannya kekebalan tubuh. latihan fisik dengan intensitas tinggi menimbulka
kerusakan respon ketahanan tubuh, sedangkan pada beban latihan fisik sedang
belum ada kesepakatan kesamaan hasil penelitian
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaya KG. 1991. Imunologi Dasar. Edisi kedua: Jakarta, FK UI

Ernets, Jawetz. 1996. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 20. Penerbit Buku


Kedokteran EGC. Jakarta

Frisina JP, Gauderi S, Cable T, Keast, Palmer TN. 1993. Effect of Acute Exercise
on Lymphocite Sub Set and Metabolic Activity. Int. J. Sport Med., 15(1).

Hari Yuliarto. Latihan Fisik dan Kekebalan Tubuh .


http://staffnew.uny.ac.id/upload/132107019/penelitian/Olahraga+dan+Kekebalan+
Tubuh.pdf

http://kidungkawan.blogspot.co.id/2013/10/pengertian-fungsi-dan-mekanisme-
sistem.html

Anda mungkin juga menyukai