Dosen Pembimbing :
Praba Diyan Rachmawati, S.Kep.Ns.M.Kep
Kelompok 2:
1. Umi Nafiatul Hasanah (131511133053)
2. Damai Widyandari (131511133054)
3. Nensi Nur Asipah (131511133055)
4. Fifa Nasrul Ummah (131511133056)
5. Bunga Novia Hardiana (131511133057)
6. Elly Ardianti (131511133058)
7. May linda Fitriana (131511133059)
8. Niswatus Sangadah (131511133060)
9. Oktiana Duwi Firani (131511133061)
10. Ririn Arianta (131511133062)
11. Alip Nur Apriliani (131511133063)
12. Lilik Choiriyah (131511133064)
13. Ika Septiana Arum Permata Devy (131511133065)
14. Ni Komang Ayu Santika (131511133066)
15. Prisdamayanti Ayuningsih (131511133067)
16. Heny Oktora Safitri (131511133068)
DAFTAR ISI
Cover....................................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................ii
Kata Pengantar...................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan
1.1.....................................................................................Latar belakang
..........................................................................................................1
1.2................................................................................Rumusan masalah
..........................................................................................................2
1.3..................................................................................................Tujuan
..........................................................................................................2
BAB IV Penutup
4.1 Kesimpulan....................................................................................32
Daftar Pustaka...................................................................................................33
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
haturkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah E-Learning
Keperawatan Neurobehaviour I.
Kami membuat makalah ini bertujuan untuk memberi inovasi pembelajaran tentang
spinal cord injury. Kami membuat makalah ini dengan semaksimal mungkin dan telah
mendapatkan materi dari berbagai sumber sehingga dapat memperlancar pembuatannya.
Kami juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Praba Diyan Rachmawati,
S.Kep.Ns.M.Kep selaku dosen pembimbing dalam mata kuliah Keperawatan Neurobihaviour
I, serta teman-teman yang telah berkonstribusi dalam penyusunan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan lapang dada
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ini sehingga dapat menjadi referensi bagi pembaca khususnya dalam mata kuliah
Keperawatan Neurobehaviour I.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat untuk orang lain dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
PENDAHULUAN
Pada era yang telah maju dan berkembang saat ini sangat mudah dan banyak terjadi
kecelakaan kerja atau bahkan kecelakaan lalu-lintas yang dapat menciderai tulang
belakang manusia. Cidera pada tulang belakang sering disertai dengan lesi atau cidera
pada medulla spinalis (spinal cord injury). Lesi pada spinal cord dapat menyebabkan
gangguan neurologis berupa parese atau plegi, tergantung dari tingkat lesi, yang dapat
menyebabkan seorang kehilangan kemampuan untuk transfer dan ambulasi karena
kelemahan atau bahkan kelumpuhan tungkai atau kaki dan tangannya sekaligus (George
dkk, 2011). Data tahun 2007, jumlah kecelakaan lalu lintas di Indonesia mencapai 37
ribu jiwa meninggal dan lebih dari 2,5 juta mengalami cedera, seperti SCI dan bahkan
cacat permanen. Sedangkan di Amerika Serikat, dari data pusat penelitian The National
Spinal Cord Injury, (2001) menyebutkan, terdapat 10.000 kasus baru setiap tahun.
Penyebabnya hampir serupa seperti di Indonesia yaitu kecelakaan kendaraan bermotor.
SCI merupakan cedera yang terjadi pada myelopathy atau kerusakan sistem serat
mielin, yang menyebabkan sinyal dari dan pada otak tidak berfungsi. Juga bisa
menyebabkan kerusakan pada bagian penting dari saraf, yang berakibat kehilangan
beberapa ruas dari interneuron dan motorneuron. Kemungkinan untuk bertahan dan
sembuh pada kasus SCI, tergantung pada lokasi serta derajat kerusakan akibat trauma,
dan juga kecepatan mendapat perawatan medis setelah trauma. Rehabilitasi sangat
diperlukan segera setelah trauma tertangani, rehabilitasi oleh fisioterap bekerja bersama
pasien untuk mencapai fungsi mobilitas yang maksimal dan mandiri melalui latihan-
latihan pada lingkungan yang berbeda.. Peningkatan kemampuan fungsional terus
berlanjut hingga 6 bulan, bila dalam jangka waktu tersebut tidak ada perubahan maka
kecacatan akan bersifat permanent. Kecacatan yang permanen membutuhkan program
latihan yang lama dan intensif, rehabilitasi dapat memaksimalkan kemampuan fungsional
dan membantu seseorang beradaptasi, mandiri dan mempunyai kehidupan yang produktif
dengan kecacatannya. Perawatan lanjutan sangat diperlukan termasuk ahli nutrisi dan
konseling psikologi.
2 Rumusan Masalah
1 Apa definisi dari spinal cord injury ?
2 Bagaimana gejala dan penyebab dari spinal cord injury ?
3 Bagaimana mekanisme penyakit spinal cord injury ?
4 Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien yang menderita spinal cord injury ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Setelah perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu memahami asuhan
keperawatan dengan masalah spinal cord injury.
TINJAUAN PUSTAKA
Spinal Cord Injury atau cedera medulla spinalis adalah cedera pada tulang belakang
yang dapat menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologik. Gejala-gejala dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis sampai terjadinya
inkontinensia, dan sangat bergantung pada lokasi medula spinalis yang mengalami cedera.
Chairuddin Rasjad (1998) menegaskan bahwa semua cedera tulang belakang harus dianggap
suatu cedera yang hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi ke rumah
sakit, penderita harus diperlakukan dengan hati-hati. Cedera pada tulang belakang dapat
mengenai jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen dan diskus; tulang belakang
dan sum-sum tulang belakang (Muttaqin, 2010). Diskus merupakan jaringan penghubung
berupa tulang rawan yang menghubungkan antara tulang-tulang belakang. Dengan kata lain
diskus merupakan cakram (tulang rawan) yang berada di celah-celah tulang belakang atau
punggung. Dampak yang terjadi jika trauma pada tulang belakang terjadi pada diskus adalah
adanya hernia diskus lumbalis. Hernia diskus lumbalis merupakan keadaan rusaknya bagian
luar dari cakram diskus (tulang rawan) yang berfungsi sebagai penghubung tulang belakang.
Spinal cord injury merupakan suatu kondisi medis yang kompleks, dimana terjadi
trauma yang menyebabkan kerusakan pada spinal cord dehingga dapat mengakibatkan
menurun atau menghilangnya fungsi motorik maupun sensorik pada penderitanya. Spinal
cord injury memiliki risiko mortalitas yang cukup tinggi. Kemungkinan untuk bertahan dan
sembuh pada kasus spinal cord injury, sangat bergantung pada lokasi serta derajat kerusakan
akibat trauma dan juga kesepatan mendapat perawatan medis setelah trauma (WHO, 2013).
Cedera medulla spinalis menyebabkan paraplegia dan tetraplegia spastik dapat terjadi
secara tiba-tiba atau akut yang disebabkan oleh dislokasi atau fraktur tulang belakang akibat
trauma atau lesi vaskuler. Kelainan berdasarkan gejala dan tanda klinis untuk kasus-kasus
trauma medulla spinalis sering digunakan American Spinal Injury Association (ASIA) scale,
berdasarkan tipe dan lokasi lesi atau trauma (Medula Unila, 2013)
Cedera medulla spinalis merupakan masalah kesehatan utama dengan perkiraan 10.000
kecelakaan baru yang terjadi setiap tahun. Setengah dari angka cedera ini merupakan akibat
kecelakaan kendaraan bermotor, terjadi akibat terjatuh, berolahraga dan kecelakaan industrial
serta luka akibat tembakan peluru. Dua pertiga dari jumlah korban berusia 30 tahun atau
kurang. Vertebra yang seringkali terkena dalam cedera medulla spinalis adalah servikal ke-5,
ke-6 dan ke-7, torakal ke-12 dan lubar ke-1. Kerusakan pada medulla spinalis berkisar dari
konkusi transien (sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi
medulla (baik dalam bentuk tunggal atau dalam bentuk kombinasi) hingga transeksi komplet
medulla (paralisis dibawah tingkat cedera).
Penyebab terjadinya spinal cord injury yaitu cedera akibat kendaraan bermotor, tindak
kekerasan, jatuh, dan cedera olahraga (Smeltzer, 2008). Menurut data statistik dari The
National Spinal Cord Injury Statistical Center Brimingham, Alabama (2008), akibat
kecelakaan kendaraan bermotor 42%, kekerasan 15,3%, olahraga 7,4% dan penyebab lainnya
8,1%. Gangguan lain yang dapat menyebabkan spinal cord injury seperti spondiliosis
servikal dengan myelopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera
progresif terhadap medula spinalis dan akar. Spinal cord injury mempunyai penyebab lain
yaitu karena non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan mendapati sebuah penyakit,
infeksi atau tumor kemudian mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis yang bukan
disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Spinal cord injury juga dapat disebabkan oleh kelainan
lain pada vertebra seperti arthropathi spinal, keganasan yang mengakibatkan fraktur
patologik, infeksi, osteoporosis, kelainan kongenital, dan ganguan vascular.
Spinal Cord Injury disebabkan oleh trauma langsung yang mengenai tulang belakang
dimana trauma tersebut melampaui batas kemampuan tulang belakang dalam melindungi
saraf-saraf di dalamnya. Spinal cord injury terjadi akibat patah tulang belakang yang
terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi,
hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang. Di daerah torakal tidak banyak terjadi
cedera karena terlindung dengan struktur toraks.
Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan kerusakan
permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah
trauma, tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan
sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.
1. Trauma, misalnya kecelakaan lalu lntas, terjatuh, kegiatan olahraga, luka tusuk atau luka
tembak.
2. Non-trauma, seperti spondilitis servikal dengan myelopati, myelitis, osteoporosis, tumor.
Menurut Arif Muttaqin (2005) penyebab dari spinal cord injury sebagai berikut.
2. Olahraga
7. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan
penyakit tulang atau melemahnya tulang
9. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis slompai, yang seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan
mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar mielitis akibat proses
inflamasi infeksi maupun non infeksi. Osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur
kompresi pada vertebra, singmelia, tumor infiltrasi maupun kompresi, dan penyakit
vascular.
11. Infeksi
12. Osteoporosis
Osteoporosis adalah kondisi saat kualitas kepadatan tulang menurun. Kondisi ini
membuat tulang menjadi keropos dan rentan retak. Besar kemungkinan pada usia lanjut
mengalami osteoporosis sehingga juga rentan untuk cedera medulla spinalis.
13. Mengkonsumsi obat-obatan dan alkohol saat mengendarai mobil atau sepeda motor.
Obat-obatan terutama yang berpengaruh pada tingkat kesadaran. Misalnya: morfin,
narkotika, ctm atau chlorpheniramini (ganja, kokain, dan lain-lain).
Faktor-faktor yang mempengaruhi spinal cord injury adalah usia, jenis kelamin (salah
satu penyebabnya yaitu osteoporosis, perempuan lebih besar kemungkinan terkena
osteoporosis karena menopause berdasarkan aktivitas hormon estrogen), dan status nutrisi
(berhubungan dengan osteoporosis).
Menurut penyebabnya, spinal cord injury atau spinal cord injury dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Spinal cord injury cederatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan. Sesuai dengan
American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal
Cord Injury Medicine, spinal cord injury cederatik mencakup fraktur, dislokasi dan
kontusio dari kolum vertebra.
2. Spinal cord injury non cederatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi
atau tumor yang mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis. Faktor penyebab dari
spinal cord injury mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit
infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik &
metabolik serta gangguan kongenital & perkembangan.
Paraplegia adalah gangguan fungsi sensorik dan motorik di segmen thorakal, lumbal, dan
sakrum. Sedangkan quadriplegia adalah kehilangan fungsi sensorik dan motorik di segmen
servikal medulla spinalis (Kirshblum & Benevento, 2009). Quadriplegia melibatkan empat
anggota tubuh yang terkena kelainan (kelemahan pada keempat ekstremitas). Orang yang
mengalami quadriplegia juga mempunyai hambatan kemampuan berfikir (kognitif).
Quadriplegia hampir mirip dengan paraplegia tetapi pada paraplegia tidak memengaruhi
fungsi kerja lengan atau tangan. Quadriplegia menyebabkan organ gerak pada tubuh hilang,
baik itu motorik maupun sensorik. Akibat dari cedera kepala bergantung pada tingkat cedera
pada medulla dan tipe cedera.
Tingkat neurologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan motorik bagian
bawah yang normal. Tingkat neurologik bagian bawah mengalami paralisis sensorik dan
motorik otak, kehilangan control kandung kemih dan usus besar (biasanya terjadi retensi urin
dan distensi kandung kemih, penurunan keringat dan tonus vasomotor, serta penurunan
tekanan darah diawali dengan retensi vaskuler perifer. Proses pengeluaran keringat diatur
oleh hipotalamus (otak). Hipotalamus dapat menghasilkan enzim bradikinin yang bekerja
mempengaruhi kegiatan kelenjar keringat. Jika hipotalamus mendapat rangsangan,
rangsangan tersebut diteruskan oleh saraf simpatetik ke kelenjar keringat. Selanjutnya
kelenjar keringat akan menyerap air garam dan sedikit urea dari kapiler darah dan kemudian
mengirimnya ke permukaan kulit dalam bentuk keringat. Rangsangan area preoptik di bagian
anterior hipotalamus baik secara listrik maupun panas yang berlebihan akan menyebabkan
berkeringat. Impuls dari area yang menyebabkan berkeringat ini dihantarkan melalui jaras
saraf otonom ke medulla spinalis dan kemudian melalui jaras saraf simpatis mengalir ke kulit
di seluruh tubuh. Dari sini dapat disimpulkan apabila terjadi spinal cord injury maka proses
pengeluaran keringat akan terganggu dan terjadi penurunan keringat,
Pusat vasomotor terletak pada substansi retikular pada medulla dan bagian terendah
ketiga pada pons. Pusat ini mengirimkan impuls parasimpatis melalui nervus vagus ke
jantung dan mengirimkan impuls simpatis melaui spinal cord dan saraf simpatis perifer yang
selanjutnya akan menuju ke pembuluh darah arteri, arteriola, dan vena. Dalam kondisi
normal, area vasokonstriktor pada pusat vasomotor mengirimkan sinyal pada seluruh serat
syaraf simpatis ke seluruh tubuh, menyebabkan seluruh sinyal tersebar secara kontinu pada
syaraf simpatis dengan kecepatan 1,5-2 impuls per detik. Impuls inilah yang mengatur status
kontraksi pada pembuluh darah, yang dikenal sebagai tonus vasomotor (vasomotor tone).
Intinya, Karena proses pengiriman impuls yang mengatur status kontraksi pada pembuluh
darah (Tonus Vasomotor) melalui spinal cord dan apabila spinal cord mengalami cidera maka
proses tersebut juga akan terganggu hingga berdampak pada penurunan.
Manifestasi klinis sesuai radiks yang mengalami gangguan bisa dilihat pada tabel di
bawah ini:
S2-S5: kontrol
usus/kandung
kemih
Menurut Brunner dan Suddarth (2001) manifestasi klinis dari spinal cord injury yaitu:
1. Nyeri akut pada belakang leher yang menyebar sepanjang saraf yang terkena.
2. Paraplegia
3. Paralisis sensorik motorik total
4. Kehilangan kontrol kandung kemih.
5. Penurunan fungsi pernapasan
6. Terjadi retensi urine, dan distensi kandung kemih
7. Kehilangan kesadaran
Gejala bervariasi tergantung pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang menyebabkan
kelemahan dan hilangnya rasa pada lokasi cidera dan di bawahnya. Seberapa berat gejala
yang ditimbulkan tergantung pada apakah seluruh corda spinalis cidera berat, (complete) atau
hanya terluka sebagian (incomplete). Berikut adalah gejala yang timbul sesuai dengan lokasi
cidera: (Bhimji, 2014):
Ketika cedera tulang belakang terjadi pada daerah leher, gejala dapat mempengaruhi
lengan, kaki, dan bagian tengah tubuh. Cedera pada tulang belakang bagian leher
(cervical) akan mempengaruhi lengan, kaki, dan bagian tengah dada karena saraf-saraf
cervical bertanggung jawab untuk mempersarafi otot-otot pada bagian tubuh tersebut.
C1-C4 akan mempersarafi bagian leher, klavikula; C5 akan mempersarafi bagian lengan,
tangan, dada, abdomen, dan ekstremitas bawah; C6 akan mempersarafi bagian lengan dan
tangan; C7 akan mempersarafi bagian lengan dan tangan; C8 akan mempersarafi bagian
dada bagian bawah dan tangan. Jika terdapat cedera pada bagian cervical maka akan
mempengaruhi tugasnya untuk mengantarkan impuls ke otak. Hal ini akan menyebabkan
terjadi gangguan pada fungsi motorik maupun sensorik pada bagian tubuh yang
dipersarafinya tersebut. Gejala-gejala dapat terjadi pada satu atau kedua sisi tubuh. Gejala
juga dapat mencakup kesulitan bernapas dari kelumpuhan otot-otot pernapasan, jika
cedera yang terjadi setinggi/diatas leher.
Cedera pada lumbar vertebra pertama dan di bawahnya tidak menyebabkan cedera tulang
belakang dan dapat menyebabkan sindrom cauda equina yang trejadi cedera pada akar saraf
di daerah ini. Sindrom cauda equina adalah pemadatan atau penyempitan yang simultan dari
radik saraf lumbo sakral multipel dibawah konus medullaris, sehingga menghasilkan
gangguan neuromuskular dan gejala-gejala urogenital. Cedera pada lumbar vertebrata akan
menyebabkan penekanan saraf cauda equine sehingga menyebabkan terjadinya sindrom
cauda equine. Jenis cedera tulang belakang yang seperti ini merupakan keadaan darurat
medis dan membutuhkan operasi segera.
Tanda dan gejala umum dari spinal cord injury sebagai berikut (Bhimji, 2014).
Tujuan penatalaksanaan pada pasien dengan spinal cord injury adalah mencegah cedera
medulla spinalis lebih lanjut dan mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Hal
penting yang harus dilakukan yaitu resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi
dan kestabilan kardiovaskular.
Di dalam penatalaksanaan spinal cord injury ada dua hal yang sangat penting yaitu:
1. Instabilitas dari Kolumna Vertebralis (spinal instability)
Instabilitas kolumna vertebralis (spinal instability) adalah hilangnya hubungan normal
antara struktur-struktur anatomi dari kolumna vertebralis sehingga terjadi perubahan dari
fungsi alaminya. Kolumna vertebralis tidak lagi mampu menahan beban normal.
Deformitas yang permanen dari kolumna vertebralis dapat menyebabkan rasa nyeri;
keadaan ini juga merupakan ancaman untuk terjadinya kerusakan jaringan saraf yang
berat (catastrophic neurologic injury). Instabilitas dapat terjadi karena fraktur dari korpus
vertebralis, lamina dan atau pedikel. Kerusakan dari jaringan lunak juga dapat
menyebabkan dislokasi dari komponen-komponen anatomi yang pada akhirnya
menyebabkan instabilitas. Fraktur dan dislokasi dapat terjadi secara bersamaan.
2. Kerusakan jaringan saraf baik yang terancam maupun yang sudah terjadi (actual and
potential neurologic injury).
2) Tindakan respiratori
a. Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 pada arterial yang tinggi.
b. Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindrai fleksi atau ekstensi
leher bila diperlukan intubasi endotrakeal.
c. Pertimbangkan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus).
3) Reduksi dan traksi skeletal
a. Cedera medulla spinalis membutuhkan imobilisasi, reduksi dislokasi, dan stabilisasi
kolumna vertebra, sebagai pencegahan dari kerusakan yang semakin parah dari
medulla spinalis. Penatalaksanaan pasien trauma medulla spinalis harus dilakukan
dalam posisi netral (tanpa melakukan fleksi, ekstensi dan rotasi pada tulang belakang)
(1) Pasien hanya boleh dibalik atau dimiringkan dengan cara log-rolling. Harus
dilakukan imobilisasi sebaik-baiknya dengan cara in-line immobilization,
memasang stiff cervical collar dan bantal pasir di kiri kanan kepala
(2) Transportasi pasien dilakukan dalam posisi netral
(3) Pasien juga harus tirah baring dengan posisi netral di permukaan yang datar.
b. Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi
skeletal dengan skull tongs. Gantung pemberat dengan bebas sehingga tidak
mengganggu traksi. Jika perlu pasangkan kolar servikal yang keras (hard collar neck)
untuk untuk menghindari cedera lebih lanjut dan untuk stabilisasi tulang servikal.
c. Beri dukungan hemodinamik pada klien dan lakukan perawatan luka dengan teknik
yang steril jika terdapat suatu luka.
4) Intervensi bedah (laminektomi)
Tujuan pembedahan untuk pasien spinal cord injury adalah dekompresi medulla
spinalis dan stabilisasi kolumna vertebra. Indikasi dilakukan pembedahan laminektomi
yaitu:
a. Deformitas tidak dapat dikurangi dengan traksi
b. Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal
c. Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal
d. Status neurologis mengalami penyimpangan untuk mengurangi fraktur spinal atau
dislokasi atau dekompres medulla.
d) Kondisi serius pasien (shock, kehilangan darah akut, kardiovaskular, gagal pernafasan,
sepsis, dan lain-lain.)
g) Intrakranial hipertensi
ASUHAN KEPERAWATAN
b Pemeriksaan B1-B6
a) B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf (klien
mengalami kelumpuhan otot-otot pernapasan) dan perubahan karena adanya
kerusakan jalur desending akibat trauma pada tulang belakang sehingga
mengalami terputus jaringan saraf di medula spinalis.
b) B2 (Blood)
Didapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien cedera
tulang belakang sedang dan berat. Tekanan darah menurun, nadi bradikardi,
berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, serta bradikardi
ekstremitas dingin atau pucat.
c) B3 (Brain)
Pengkajian tingkat kesadaran, fungsi serebral, dan saraf kranial. Pengkajian fungsi
serebral sendiri adalah untuk mengetahui status mental observasi penampilan,
tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik klien. Untuk keadaan fungsi
serebral dan saraf kranial klien dengan spinal cord injury tidak pasti tergantung
cidera yang dialami klien. Namun, apabila klien sampai mengalami disfungsi
saraf kranial maka cidera yang dialami dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi
karena fungsi dari saraf kranial sendiri adalah mengatur segala fungsi organ-organ
yang berada di daerah kepala mulai dari kesadaran, fungsi berkomunikasi, fungsi
mengunyah, hingga fungsi menelan.
d) B4 (Blader)
Pengkajian keadaan kandung kemih. Kontrol refleks yang utama berasal dari
segmen sakral. Pusat urinaris pada spinal cord injury adalah pada conus
medullaris. Selama fase spinal shock, blader urinary menjadi flaccid. Semua tonus
otot dan refleks pada blader hilang. Lesi di atas conus medullaris akan
menimbulkan refleks neurogenic blader berupa adanya spastisitas, kesulitan
menahan buang air kecil, hipertrofi otot destrusor, dan refluks urethral. Lesi pada
conus medullaris menyebabkan tidak adanya refleks blader, akibat dari flaccid
dan menurunnya tonus otot perineal dan sphincter urethra.
e) B5 (Bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang karena adanya mual dan asupan nutrisi yang
berkurng.
f) B6 (Bone)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi
saraf yang terkena trauma.
c Pemeriksaan Penunjang
Menurut Batticaca (2008), pemeriksaan penunjang Spinal Cord Injury meliputi:
1. Sinar x spinal: Untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
2. CT scan: Untuk menentukan tempat luka/jejas.
3. MRI: Untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal.
4. Foto rongent thorak: Untuk mengetahui keadaan paru. Dua belas vertebra torakalis
atau ruas tulang punggung membentuk bagian belakang thoraks dan dada, jika
mengalami cidera maka mengakibatkan gangguan sistem pernapasan misalnya sesak
dan masalah pernapasan lainnya.
5. AGD: Untuk menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi. AGD
(Analisa Gas Darah) adalah salah satu tindakan pemeriksaan laboratorium yang
ditujukan ketika dibutuhkan informasi yang beruhubungan dengan keseimbangan
asam basa pada pasien. hal ini berhubungan untuk mengetahui keseimbangan asam
basa tubuh yang dikontrol melalui tiga mekanisme yaitu sistem buffer, sistem
respiratori dan sistem renal (Wilson, 1999).
3.1.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon individu,
keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan yang aktual dan potensial, atau
proses kehidupan (NANDA International, 2015).
Diagnosa keperawatan yang biasanya terjadi pada Cord Spinal Injury :
1. Domain 4: Aktivitas/ Istirahat, Kelas 4: Respon Kardiovaskuler/pulmonal
Ketidakefektifan pola nafas b.d cedera medulla spinalis (00032).
2. Domain 11: Keamanan/ Perlindungan, Kelas 2 : Cidera Fisik
Kerusakan integritas kulit b.d gangguan sensasi (akibat spinal cord injury )
(00046).
3. Domain 11: Keamanan/ Perlindungan, Kelas 2: Cidera Fisik
Risiko dekubitus (00249).
4. Domain 4: Aktivitas/ Istirahat, Kelas 2: Aktivitas/ Olahraga
Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular (00085).
2) Dx : Kerusakan integritas kulit b.d gangguan sensasi (akibat spinal cord injury)
Tujuan : Kerusakan integritas kulit dapat teratasi.
Kriteria Hasil : Tidak ada luka/lesi pada kulit, integritas kulit yang baik bisa
dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi).
Intervensi keperawatan:
a. Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan adanya kemerahan, kehangatan
ekstrim, edema, atau drainase.
b. Lakukan langkah-langkah untuk mencegah kerusakan lebih lanjut,(misalnya,
melapisi kasur, menjadwalkan reposisi)
c. Posisikan sesuai body alignment yang tepat.
d. Tempatkan matras atau kasur terapeutik dengan cara yang tepat.
e. Ajarkan anggota keluarga atau pemberi asuhan mengenai tanda-tanda
kerusakan kulit dengan tepat.
f. Monitor kulit dan selaput lendir terhadap area perubahan warna, memar, dan
pecah.
Diagnosa
No Intervensi Implementasi
Keperawatan
1. Hambatan 1. Kaji komitmen pasien 1. Mengkaji komitmen
mobilitas fisik b.d untuk belajar dan pasien untuk belajar
gangguan mengunakan postur dan mengunakan postur
neuromuskular (tubuh) yang benar. (tubuh) yang benar.
2. Edukasi pasien tentang 2. Melakukan edukasi ke
pentingnya postur pasien tentang
(tubuh) yang benar pentingnya postur
untuk mencegah (tubuh) yang benar
kelelahan, ketegangan untuk mencegah
atau injury. kelelahan, ketegangan
3. Instruksikan pasien
atau injury.
untuk menggerakkan 3. Menginstruksikan
kaki terlebih dahulu pasien untuk
kemudian badan ketika menggerakkan kaki
memulai berjalan dari terlebih dahulu
posisi berdiri. kemudian badan ketika
4. Pertimbangkan
memulai berjalan dari
kemampuan klien
posisi berdiri.
dalam berpartisipasi 4. Mempertimbangkan
melalui aktivitas kemampuan klien
spesifik. dalam berpartisipasi
5. Berkolaborasi dengan
melalui aktivitas
ahli terapis fisik,
spesifik.
okupasi dan terapis 5. Melakukan kolaborasi
rekreasional dalam dengan ahli terapis
perencanaan dan fisik, okupasi dan
pemantauan program terapis rekreasional
aktivitas jika memang dalam perencanaan dan
diperlukan. pemantauan program
aktivitas jika memang
diperlukan.
2. Ketidakefektifan 1. Posisikan pasien untuk 1. Memposisikan pasien
pola nafas b.d memaksimalkan untuk memaksimalkan
cedera medulla ventilasi. ventilasi.
2. Identifikasi kebutuhan 2. Mengidentifikasi
spinalis
aktual/potensial pasien kebutuhan
untuk memasukkan alat aktual/potensial pasien
membuka jalan nafas. untuk memasukkan alat
3. Resepkan atau
membuka jalan nafas.
rekomendasikan obat 3. Berkolaborasi dalam
yang sesuai meresepkan atau
berdasarkan rekomendasikan obat
kewenangan untuk yang sesuai
meresepkan. berdasarkan
4. Motivasi pasien untuk
kewenangan untuk
untuk bernafas pelan,
meresepkan.
dalam, berputar, dan 4. Memotivasi pasien
batuk. untuk untuk bernafas
5. Monitor kecepatan,
pelan, dalam, berputar,
irama, kedalaman,dan
dan batuk.
kesulitan bernafas. 5. Memonitor kecepatan,
6. Monitor saturasi
irama, kedalaman,dan
oksigen pada pasien
kesulitan bernafas.
yang tersedasi (seperti 6. Memonitor saturasi
SaO2,SvO2, SpO2) oksigen pada pasien
sesuai dengan protokol yang tersedasi (seperti
yang ada. SaO2,SvO2, SpO2)
sesuai dengan protokol
yang ada.
3 Kerusakan 1. Periksa kulit dan 1. Memeriksa kulit dan
integritas kulit b.d selaput lendir terkait selaput lendir terkait
gangguan sensasi dengan adanya dengan adanya
( akibat spinal cord kemerahan, kehangatan kemerahan,
injury) ekstrim, edema, atau kehangatan ekstrim,
drainase. edema, atau drainase.
2. Lakukan langkah- 2. Melakukan
langkah untuk pencegahan
mencegah kerusakan kerusakan lebih
lebih lanjut,(misalnya, lanjut,(misalnya,
melapisi kasur, melapisi kasur,
menjadwalkan reposisi) menjadwalkan
3. Posisikan sesuai Body
reposisi)
Alignment yang tepat. 3. Memposisikan sesuai
4. Tempatkan matras atau
Body Alignment yang
kasur terapeutik dengan
tepat.
cara yang tepat. 4. Menempatkan matras
5. Ajarkan anggota
atau kasur terapeutik
keluarga/ pemberi
dengan cara yang
asuhan mengenai
tepat.
tanda-tanda kerusakan 5. Mengajarkan anggota
kulit dengan tepat. keluarga/ pemberi
6. Monitor kulit dan
asuhan mengenai
selaput lendir terhadap
tanda-tanda kerusakan
area perubahan warna,
kulit dengan tepat.
memar, dan pecah. 6. Melakukan monitor
kulit dan selaput
lendir terhadap area
perubahan warna,
memar, dan pecah.
a. S (Subjektif): data subjektif yang diambil dari keluhan klien, kecuali pada klien
yang afasia.
b. O (Objektif): data objektif yang diperoleh dari hasil observasi perawat, misalnya
tanda-tanda akibat penyimpanan fungsi fisik, tindakan keperawatan, atau akibat
pengobatan.
f. E (Evaluasi): penilaian tindakan yang diberikan pada klien dan analisis respons klien
terhadap intervensi yang berfokus pada kriteria evaluasi tidak tercapai, harus dicari
alternatif intervensi yang memungkinkan kriteria tujuan tercapai.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Spinal cord injury merupakan suatu kondisi medis yang kompleks, dimana terjadi trauma
yang menyebabkan kerusakan pada spinal cord dehingga dapat mengakibatkan menurun atau
menghilangnya fungsi motorik maupun sensorik pada penderitanya. Spinal cord injury
memiliki risiko mortalitas yang cukup tinggi. Kemungkinan untuk bertahan dan sembuh pada
kasus spinal cord injury, sangat bergantung pada lokasi serta derajat kerusakan akibat trauma
dan juga kesepatan mendapat perawatan medis setelah trauma. Gejala yang ditimbulkan dari
spinal cord injury yaitu Nyeri akut pada belakang leher yang menyebar sepanjang saraf yang
terkena, paraplegia, paralisis sensorik motorik total, kehilangan kontrol kandung kemih,
penurunan fungsi pernapasan. Penatalaksanaan pada pasien dengan spinal cord injury adalah
mencegah cedera medulla spinalis lebih lanjut dan mengobservasi gejala perkembangan
defisit neurologis. Hal penting yang harus dilakukan yaitu resusitasi sesuai kebutuhan dan
pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskular.
Daftar Pustaka
Asyiyah, Umi. 2009. Pengalaman Klien Cedera Medulla Spinalis yang Menjalani Intermittent
Self Catheterization dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUP Fatmawati
Jakarta. lib.ui.ac.id/file?file=digital/125521-TESIS0610%20Umi%20N09p...Literatur.pdf.
Diakses pada Tanggal 19 Oktober 2016.
Ayu Purbaningtyas, Yunita. 2015. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Cerebral Palsy
Spastik Quadriplegi Tipe Ekstensi di Yayasan Sayab Ibu
Yogyakarta. eprints.ums.ac.id/39655/1/HALAMAN%20DEPAN.pdf. Diakses pada
Tanggal 19 Oktober 2016.
B.Batticaca, Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Bhimji, S. 2014. Spinal cord trauma. U.S. National Library of Medicine U.S. Department of
Health and Human Services National Institutes of Health. A.D.A.M., Inc.
Bilotta, Kimberly A. J. 2011. Kapita Selekta Penyakit dengan Implikasi Keperawatan. Jakarta:
EGC.
Bulechek, Gloria M. et al. 2013. Nursing Interventions Classificasion (NIC). 6th Edition.
Singapore: Elsevier.
Freidberg SR, Magge SN.2012. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan
J, Allam GJ, Baker RA. Nettera Neurologi. 2nd edition. Elsevier, Saunders.