Anda di halaman 1dari 2

Pengenalan Metode Brunnstrom Pada Penderita Hemiplegi

Metode pendekatan ini dikembangkan oleh Signe Brunnstrom, seorang fisioterapis di sekitar tahun
1970-an, khusus untuk penderita hemiplegia.

Pendekatan ini dikembangkan berdasarkan premis bahwa:

Pada manusia normal, perkembangan motorik diawali oleh kontrol spinal dan batang otak berupa
gerakan reflek yang kemudian berkembang menjadi gerakan yang disadari dan bertujuan yang
dikontrol oleh otak. Oleh karena gerakan reflek ini menjadi sesuatu yang “normal” pula apabila ada
kelainan atau gangguan pada pengontrol yang lebih tinggi (otak), misalnya akibat stroke dengan
hemipleginya.

Sehingga refleks ini dapat dan seharusnya digunakan untuk merangsang timbulnya gerakan yang
hilang, seperti tahap perkembangan normal. Proprioceptive dan Exteroceptive juga digunakan dalam
pendekatan ini untuk menimbulkan gerakan bertujuan ataupun hanya perubahan tonus otot.

· Rangsangan sensoris berupa tapping dan stroking

· Memberikan tahanan pada kedua sisi untuk meningkatkan geraka.

Metode brunnstrom disusun setelah melalui pengamatan yang mendalam mengenai proses
penyembuhan tersebut. Berjalan menurut tahap-tahap tertentu : yang masing-masing tahap
mempunyai tanda-tanda tertentu pula.

Adapun tahap-tahap penyembuhan itu adalah :

1. Flasid, penderita tidak dapat menggerakkan anggota badannya yang lumpuh.

2. Spastisitas mulai timbul, penderita mulai dapat menggerakkan sebagian anggota yang lumpuh
baik secara volunter, maupun terjadi gerakkan oleh timbulnya reaksi asosiasi.

3. Spastisitas mulai semakin nyata, penderita dapat menggerakkan anggota tubuhnya hanya
dalam posisi sinergis massal. Reaksi asosiasi yang terjadi juga lebih besar dan dalam pola yang sama
dengan sinergisnya.

4. Spastisitas mulai menurun, penderita mulai dapat menggerakkan anggota tubuhnya di luar pola
sinergis. Ada 3 gerakkan kombinasi yang menjadi ciri tahap 4 yaitu : meletakkan tangan di belakang
tubuh, mengangkat lengan lurus ke depan, dan dapat melakukan gerakan pronasi-supinasi pada
posisi siku fleksi 90.

5. Spastisitas minimal, penderita dapat melakukan gerakkan kombinasi yang lebih kompleks di
luar sinergis. Gerakkan-gerakkan yang dipilih untuk mewakili tahap ini adalah: mengangkat lengan
disamping tubuh (horizontal abduksi), mengangkat lengan lurus ke atas (fleksi bahu > 90 dengan siku
lurus).
6. Penderita sudah dapat melakukan kombinasi gerakan dengan koordinasi yang cukup baik: yang
jika dilihat sepintas tampak normal sepintas sudah hilang (Agus Sudjono, 2006)

Secara garis besar prosedur pengobatan adalah sebagai berikut:

1. Pada fase-fase awal penyembuhan (fase 1-3) tujuan pengobatan adalah untuk:

a. Membangkitkan sinergis, baik di lengan maupun tungkai dengan cara menggunakan Reaksi
Asosiasi.

Latihan menguasai gerakan sinergis tersebut secara volunter. Fisioterapi membimbing, mengarahkan
dan memberikan tahapan terhadap gerakan sinergis tersebut. Sehingga akhirnya penderita mampu
melakukan gerakan massal/sinergis tadi dengan baik.

b. Fase selanjutnya, yaitu fase 4 dan 5, tujuan terapi adalah untuk mendapatkan gerakkan
volunter di luar pola sinergi. Langkah-langkah untuk memecah belah gerakan sinergis dilakukan
secara bertahap.

Latihan pada gerakan tahap penyembuhan 6 biasanya tidak memerlukan latihan khusus. Disini
latihan ditujukan untuk memperbaiki koordinasi gerakan yang lebih halus dan presisi atau ketepatan
gerakan, terutama fungsi prehension tangan : misalnya menulis.

Anda mungkin juga menyukai