AUTISMME
Disusun Oleh :
TULUNGAGUNG
2020/2021
Askep Anak
LEMBAR PENGESAHAN
Hari :
Tanggal :
Mengetahui,
KATA PENGANTAR
Askep Anak
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun laporan pendahuluan dan asuhan
keperawatan ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam laporan pendahuluan dan asuhan
keperawatan ini kami membahas mengenai Autisme.
Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan ini dibuat dengan berbagai observasi dan
beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama
mengerjakan makalah ini.Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan pendahuluan dan asuhan
keperawatan ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada laporan pendahuluan
dan asuhan keperawatan ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta
kritik yang dapat membangunkami. Kritik dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan selanjutnya.
Akhir kata semoga laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan ini dapat memberikan
manfaat bagi kita sekalian.
Penulis
Askep Anak
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.………………………………………………………………………….
A. Latar Belakang……………………………………………………………………………... .
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………… .
C. Tujuan ……………………………………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………...
A. Pengertian autisme…………………………………………………………………………...
B. Etiologi………………………………………………………………………………………
C. Tanda dan gejala……………………………………………………………………………..
D. Patofisiologi………………………………………………………………………………….
E. Pemeriksaan diagnostic……………………………………………………………………...
F. Penatalaksanaan medis………………………………………………………………………
G. Pengkajian keperawatan……………………………………………………………………..
H. Diagnose keperawatan……………………………………………………………………….
I. Intervensi…………………………………………………………………………………….
J. Evaluasi……………………………………………………………………………………...
ASUHAN KEPERAWATAN……………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN
Askep Anak
A. Latar Belakang
Autisme merupakan salah satu ganguan perkembangan pervasif pada anak-anak yang ditandai
ganguan pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Huzaemah, 2010).
Tahun 2013 Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Indonesia, Melly Budhiman
memperkirakan jumlah anak autis bekisar 112.000 dengan rentang umur lima sampai sembilan belas
tahun. Perkiraan jumlah anak autisme ini didapatkan dari perhitungan prevalensi autis sebesar 1,68 per
1000 anak di bawah umur 15 tahun (Priherdityo, Endro, 2016). Tahun 2015 menurut dr. Widodo
Judarwanto, pediatrician clinical and editor in chief dari klinik autis Jakarta memperkirakan jumlah
penderita autis di Indonesia menjadi kurang lebih 134.000 anak penyandang spektrum autisme.
Perkiraan jumlah penderita autisme di Indonesia dalam dua tahun ini menunjukkan jumlah anak autis
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, sehingga menyita perhatian banyak pihak.
Anak autisme mempunyai masalah dengan pencernaan, seperti kekurangan enzim pencernaan
dan/atau kebocoran lapisan saluran pencernaan. Kekurangan enzim pencernaan sulfotransferase
menyebabkan gangguan pada metabolisme makanan dan zat kimia yang mengandung fenol atau
pewarna dan amin seperti pada apel, jeruk, coklat, asam sitrat, coklat dengan sempurna. Terganggunya
fungsi enzim tersebut juga bisa menyebabkan kebocoran dinding usus sehingga protein tidak sempurna
terabsorbsi seperti gluten dan kasein (Shattock P, 2001).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian autisme?
2. Bagaimana etiologi autisme?
3. Bagaimana tanda dan gejala autisme?
4. Bagaimana patofisiologi autisme?
5. Bagaimana pemeriksaan diagnostic autisme?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis autisme?
7. Apa pengkajian keperawatan autisme?
8. Apa diagnose keperawatan autisme?
9. Apa intervensi autisme?
10. Apa evaluasi autisme?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian autisme
2. Untuk mengetahui etiologi autisme
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala autisme
4. Untuk mengetahui patofisiologi autisme
5. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic autisme
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis autisme
7. Untuk mengetahui pengkajian keperawatan autisme
8. Untuk mengetahui diagnose keperawatan autisme
9. Untuk mengetahui intervensi autisme
10. Untuk mengetahui evaluasi autisme
BAB II
Askep Anak
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang kompleks, biasanya muncul pada anak-
anak terutama usia 1 – 3 tahun akibat adanya kelainan biologis dan neurologis pada otak termasuk
ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan kekebalan tubuh. Ditandai dengan adanya
gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.
Pada umumnya penderita autisme mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan
mereka. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial baik pandangan mata,
sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya
Autisme adalah gangguan perkembangan otak yang memengaruhi kemampuan penderita dalam
berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Di samping itu, autisme juga menyebabkan
gangguan perilaku dan membatasi minat penderitanya.
Autisme sekarang disebut sebagai gangguan spektrum autisme atau autism spectrum disorder
(ASD). Hal ini karena gejala dan tingkat keparahannya bervariasi pada tiap penderita. Gangguan yang
termasuk dalam ASD adalah sindrom Asperger, gangguan perkembangan pervasif (PPD-NOS),
gangguan autistik, dan childhood disintegrative disorder.
B. Etiologi
Hingga kini belum ditemukan suatu etiologi spesifik terhadap autism spectrum disorder (ASD),
disebut juga sebagai gangguan spektrum autisme. Namun, studi menemukan adanya hubungan faktor
genetik dan neurobiologis berupa 15 gen yang berkaitan dengan ASD.
Peran faktor genetik sebagai penyebab ASD didukung oleh adanya bukti bahwa ASD bersifat
herediter pada 80% kasus meskipun tidak dapat dipastikan secara tegas apakah pola turunannya bersifat
autosomal dominan atau resesif. Pada sekitar 10-15% kasus, ASD berkaitan dengan sejumlah sindrom
yang melibatkan satu gen seperti sindrom Phelan-McDermid, sindrom Rett, sindrom X rapuh, dan
sklerosis tuberosa.
Pada mayoritas kasus ASD, perubahan genetik biasanya bersifat poligenik dan melibatkan
polimorfisme nukleotida tunggal (single nucleotide polymorphism/SNP). Selain itu, pola perubahan
genetik yang mungkin didapati pada kasus ASD meliputi mutasi fungsional monogenik, varian jumlah
salinan (misalnya, mikrodelesi atau mikroduplikasi) yang melibatkan lebih dari satu gen. [30] Titik-
titik pada kromosom yang terlibat dalam kejadian ASD antara lain delesi SHANK3, 1q21, 3q29,
7q11.23, 15q12, 15q13, 16p11, 17q12, dan Xq. [31]
Faktor Risiko
Sejumlah faktor risiko prenatal, perinatal, dan neonatal dianggap berkaitan dengan autism spectrum
disorder dan perlu dikaji saat mengevaluasi pasien yang dicurigai dengan ASD. Faktor risiko tersebut
antara lain :
Riwayat prematuritas
Kejadian hipoksia perinatal
Infeksi maternal prenatal maupun perinatal (toxoplasma, rubella, cytomegalovirus, dan infeksi
lainnya / TORCH)
Hipertensi dalam kehamilan
Defisiensi vitamin D maternal
Paparan logam berat (misalnya merkuri dan timbal)
Askep Anak
Paparan valproat pada masa kehamilan
Obesitas maternal
Memiliki riwayat berat lahir sangat rendah (<1500 gram)
Riwayat penggunaan antidepresan golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor)
seperti fluoxetine sebelum maupun selama kehamilan telah diteliti pada beberapa studi namun
hubungan kausalitas dengan ASD masih belum dapat dipastikan.
Gejala dan tingkat keparahan autisme dapat berbeda pada tiap penderitanya. Pada penderita autisme
dengan gejala yang ringan, aktivitas sehari-hari masih dapat dilakukan dengan normal. Tetapi bila
gejala tergolong parah, penderita akan sangat membutuhkan bantuan dalam menjalani kehidupan
sehari-hari.
Gejala yang muncul adalah terkait dengan cara penderita berkomunikasi dan berinteraksi. Sekitar
80-90% penderita, mulai menampakkan gejala pada usia 2 tahun. Pada kasus yang jarang, gejala
autisme nampak pada usia di bawah 1 tahun atau baru muncul setelah penderita beranjak dewasa.
Berikut adalah beberapa gejala yang biasanya muncul pada penderita autisme:
Sensitif terhadap cahaya, sentuhan, atau suara, tapi tidak merespons terhadap rasa sakit.
Rutin menjalani aktivitas tertentu, dan marah jika ada perubahan.
Memiliki kelainan pada sikap tubuh atau pola gerakan, misalnya selalu berjalan dengan
berjinjit.
Melakukan gerakan repetitif, misalnya mengibaskan tangan atau mengayunkan tubuh ke depan
dan belakang.
Hanya memilih makanan tertentu, misalnya makanan dengan tekstur tertentu.
Selain berbagai gejala di atas, penderita autisme juga sering mengalami gejala yang terkait dengan
kondisi lain, misalnya ADHD, epilepsi, sindrom Tourette, gangguan obsesif kompulsif (OCD),
dyspraxia, gangguan kecemasan, gangguan bipolar, dan depresi.
D. Patofisiologi
Askep Anak
Patofisiologi autism spectrum disorder (ASD), di Indonesia dikenal sebagai gangguan spektrum
autistik, sangat dipengaruhi oleh faktor genetik yang terlibat dalam berbagai proses mulai dari
neurogenesis hingga maturasi sinaps dan perkembangan dendritik.
Mekanisme pengaruh faktor genetik terhadap kejadian autism spectrum disorder masih belum diketahui
dengan pasti walaupun kedua hal tersebut telah lama dipelajari dan diketahui saling berkaitan. Anak-
anak dengan saudara kandung yang mengalami autisme memiliki risiko autisme yang lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi umum. Kendati ASD memiliki spektrum fenotip penyakit yang luas,
pasien ASD dengan karakteristik genetik yang homogen biasanya memiliki fenotip yang lebih mirip.
Selain itu, terdapat sejumlah mutasi genetik baru yang menyebabkan kelainan alel pada individu
dengan ASD atau orang tuanya yang mempengaruhi neuroanatomi dan karakteristik perilaku.
Mutasi gen tersebut diduga mempengaruhi fungsi sinaps melalui berbagai cara. Hal ini mencakup
gangguan pada penggabungan asam amino menjadi protein dan perubahan struktur protein
transmembran yang penting bagi sinaptogenesis serta kelainan genetik pada transduksi sinyal yang
terlibat dalam pembentukan sinaps.
Faktor genetik turut diduga berperan pada kecenderungan ASD untuk lebih sering terjadi pada anak
laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini mungkin berkaitan dengan sejumlah mekanisme epigenetik
seperti pengaruh gen Y, inaktivasi gen X, serta keberadaan gen alel dari orang tua asal. Interaksi antara
perbedaan jenis kelamin terhadap faktor hormonal dan faktor lingkungan seperti pola makan, stres, dan
infeksi berpotensi menginisiasi perjalanan penyakit ASD sejak usia dini.
Telah banyak bukti yang mendukung adanya peran gangguan neurogenesis dan migrasi neuron pada
autism spectrum disorder. Pada pasien ASD, ukuran serebrum mungkin saja normal saat lahir namun
seiring perjalanan waktu terjadi pertumbuhan abnormal neuron yang dilanjutkan dengan periode
penurunan pertumbuhan dibandingkan individu normal. Peningkatan jumlah neuron terutama di
korteks prefrontal mengisyaratkan bahwa neurogenesis berlebihan mungkin berperan terhadap
peningkatan ukuran serebrum dan makrosefali pada ASD. Hipertensi dalam kehamilan juga dapat
meningkatkan resiko terjadinya ASD pada anak. Kurangnya suplai oksigen ke fetus semasa kehamilan
dapat mengakibatkan gangguan pada perkembangan neuron.
Korteks prefrontal bukan satu-satunya regio di otak yang terpengaruh akibat gangguan neurogenesis
pada ASD. Displasia serebrum dapat menjangkiti berbagai area di otak yang mengisyaratkan adanya
disregulasi neurogenesis dan maturasi atau migrasi neuronal. Secara khusus, disregulasi neurogenesis
ini biasanya melibatkan peningkatan populasi neuron proyeksi kortikal tanpa disertai gangguan
bermakna pada sel glia.Hal ini juga dibuktikan oleh penelitian lain yang menemukan bahwa pada
substansia alba di serebrum individu dengan ASD tidak terdapat peningkatan bermakna walaupun telah
terjadi makrosefali.
Kaitan klinis antara makrosefali pada ASD dengan fenotip penyakit ASD masih belum diketahui
dengan pasti. Beberapa penelitian menemukan bahwa makrosefali dapat berkaitan dengan peningkatan
fungsi kognitif pada individu dengan ASD dibandingkan kelompok kontrol. Namun, pengaruh
peningkatan lingkar kepala pada pasien dengan ASD terhadap kemampuan khusus pada populasi ini
masih belum dapat dipastikan dengan tegas.
Beragam penelitian juga menemukan bahwa defek migrasi neuron juga terjadi pada pasien dengan
ASD. Defek tersebut meliputi perubahan densitas neuron, ukuran soma, kolom sel yang ireguler, serta
gangguan lokalisasi neuron. Pada level molekuler, gangguan migrasi neuron ini diketahui berkaitan
dengan sejumlah gen yang mengatur produksi reelin (glikoprotein regulator pada migrasi neuron),
mutasi pada gen Auts2, dan CNTNAP2.
Askep Anak
Perubahan Pola Pertumbuhan Neurit dan Taju Dendritik pada Gangguan Spektrum Autisme
Perubahan pola pertumbuhan neurit dan taju dendritik dalam perjalanan penyakit autism spectrum
disorder telah banyak dipelajari. Peran neuron sebagai suatu sel yang menjalankan fungsi spesifik tak
dapat dilepaskan dari integritas fungsi soma yang mengandung nukleus, prosesus aksonal yang
menyalurkan informasi, dan kompleks punjung dendritik yang menerima informasi dari akson dari
neuron di sekitarnya. Gangguan konektivitas neuron merupakan salah satu defek utama yang
ditemukan pada pasien dengan ASD dan dapat dipengaruhi oleh perubahan pada perkembangan
dendritik, morfologi taju dendritik, dan fungsi sinaps.
Gangguan perkembangan dendritik, khususnya arborisasi dendrit yang berlebihan dan berkurangnya
pemendekan dendrit, diduga berperan pada kejadian makrosefali. Pada perjalanan penyakit ASD tahap
neurogenesis, peningkatan neuron intrauterin mungkin berkaitan dengan peningkatan potensi
makrosefali. Namun, pada mayoritas pasien dengan ASD, volume otak saat usia bayi umumnya masih
normal yang menandakan bahwa terdapat mekanisme lain yang berperan terhadap kejadian
makrosefali. Pertumbuhan volume otak pasca kelahiran, sebagaimana terjadi pada ASD, diduga lebih
disebabkan oleh pertumbuhan dendritik aberans seiring dengan peningkatan arborisasi dendritik dan
penambahan hubungan sinaptik yang baru di otak. Hal ini dapat berlangsung hingga seseorang berusia
5 tahun.
Di sisi lain, perubahan pada taju dendritik juga diketahui berpengaruh terhadap kejadian ASD. Pada
individu dengan ASD, analisis postmortem menunjukkan adanya peningkatan densitas taju dendritik
dibandingkan individu normal. Berbagai gen seperti MECP2, FMR1, PTEN, dan CYFIP1 sangat
penting perannya dalam pertumbuhan dendritik dan formasi taju dendritik serta maturasi sinaps
sehingga dianggap sebagai gen-gen yang berisiko tinggi terhadap autisme apabila mengalami mutasi.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Sampai saat ini, diagnosis penderita autism spectrum disorder (ASD), atau disebut sebagai
gangguan spektrum autism, masih mengandalkan evaluasi klinis. Belum ada pemeriksaan laboratorium
yang menunjang diagnosis ASD.
Anamnesis
Pada prinsipnya, anamnesis sangat mengandalkan informasi dari orang tua penderita ASD, terutama
mencakup kemampuan bicara atau bahasa, interaksi sosial, dan kemampuan bermain. Namun
demikian, informasi mengenai adanya penyakit penyerta (termasuk kelainan genetik), riwayat tumbuh
kembang, riwayat saat kehamilan hingga persalinan, serta riwayat keluhan serupa dalam keluarga juga
perlu digali untuk mencari faktor risiko yang berhubungan dengan ASD.
Anak dengan ASD biasanya mulai bergejala ketika berusia 18-24 bulan, yakni usia ketika anak
dihadapkan pada situasi sosial yang menguji keterbatasan mereka dalam menunjukkan pola komunikasi
sosial yang wajar. Bentuk kekhawatiran orang tua pada tahap usia ini amat bervariasi dan bergantung
pada usia anak ketika mereka menyadari adanya ketidakwajaran. Anak-anak biasanya dibawa ke dokter
umum atau spesialis anak dengan masalah keterlambatan atau regresi perkembangan dan bicara,
maupun perilaku dan pola permainan yang tak sesuai dengan usianya.
Askep Anak
Pada usia lebih lanjut, anak-anak biasanya memiliki masalah akademik, kecanggungan sosial dan
gangguan perilaku yang cukup serius serta mengganggu hubungan dalam keluarga. Anak-anak yang
baru dicurigai mengalami ASD pada usia lebih dewasa biasanya telah menunjukkan indikator gejala
sejak usia 2 tahun namun cenderung dianggap sebagai bagian dari pola perkembangan normal. Hal ini
mungkin berhubungan dengan anggapan orang tua atau pengasuh anak bahwa kemandirian yang tinggi,
kemampuan memahami gerak mekanik, dan ketajaman pengamatan pada usia dini tersebut merupakan
indikator pertumbuhan normal tanpa terlalu memperhatikan apakah pencapaian motorik tersebut turut
diimbangi dengan pola perilaku dan kemampuan sosial yang sesuai usianya. Oleh sebab itu, pada anak
yang berusia lebih dari 2 tahun, pertanyaan anamnesis perlu diarahkan secara retrospektif terhadap
pencapaian perkembangan motorik, bahasa, kemampuan sosial dan perilaku ketika ia berusia 18-24
bulan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada anak dengan lain pemeriksaan antropometri dan evaluasi tumbuh
kembang. Selain itu, perlu dilakukan evaluasi pada kemampuan bicara atau bahasa, interaksi sosial, dan
kemampuan bermain.
Gangguan interaksi sosial merupakan salah satu tanda ASD yang muncul paling dini namun sering
terlewatkan. Karakteristik gangguan komunikasi sosial yang sangat berkaitan dengan ASD antara lain
ketidakmampuan anak dalam menunjukkan minat, membagi perhatian, dan mengikuti pandangan mata
lawan bicaranya. Ketika namanya dipanggil, anak sangat mungkin tidak berespons dan sering
disalahartikan sebagai suatu bentuk gangguan pendengaran. Ekspresi wajah yang terbatas, khususnya
tersenyum dan gestur tertentu yang jarang ditunjukkan seperti mengangguk, menggeleng, melambaikan
tangan, tepuk tangan, juga patut dicurigai sebagai bentuk keterbatasan interaksi sosial pada ASD.
Anak-anak dengan ASD biasanya jarang menunjukkan ketertarikan terhadap lingkungan di sekitarnya
maupun berbagi kebahagiaan dengan orang tuanya, misalnya tidak pernah menunjuk mainan yang ia
sukai atau tidak pernah menunjuk hal baru yang menarik di dekatnya).
Gangguan berbahasa yang berkaitan dengan ASD cukup luas dan perlu dibedakan dari bentuk
gangguan bahasa spesifik. Anak dengan ASD biasanya tidak mampu menunjukkan kompensasi
keterbatasan berbahasa seperti menggunakan gerak tubuh atau mimik untuk menyampaikan
keinginannya. Bentuk bahasa verbal yang diungkapkan anak dengan ASD biasanya berupa jargon yang
tak berarti, neologisme, ekolalia, prosody, dan keterbatasan dalam memulai percakapan. Segala
keterbatasan tersebut menyebabkan anak dengan ASD tidak mampu berinteraksi dua arah dengan
leluasa.
Aktivitas yang dilakukan individu dengan ASD biasanya bersifat repetitif dan terbatas. Perilaku
motorik yang repetitif tersebut dapat bermanifestasi sebagai ayunan tangan yang tak bertujuan, jentikan
jari, benturan kepala kepada suatu benda padat, dan gerakan memutar tubuh. Perilaku repetitif juga
dapat ditunjukkan sebagai minat yang terbatas pada mainan jenis tertentu dan menyusun mainan dalam
pola tertentu secara berulang-ulang. Hal ini juga dapat disertai ekolalia susulan, yakni duplikasi bahasa
verbal dari lingkungan sekitar (misalnya, orang dewasa lain maupun suara dari radio atau televisi) yang
kemudian diucapkan terus-menerus tak lama setelah sumber suara asli muncul. Selain itu, individu
dengan ASD biasanya sangat persisten dengan pola lingkungan atau aktivitas yang sama dan apabila
Askep Anak
hal tersebut diubah akan menimbulkan rasa tidak nyaman atau bahkan distres serius yang
bermanifestasi sebagai temper tantrum.
Pada 20-30% kasus ASD, pasien dapat berada dalam fase regresi atau stasis. Hal ini ditandai oleh
penurunan kemampuan perkembangan yang sebelumnya telah dicapai dan biasanya mempengaruhi
kemampuan berbahasa pada usia 18-24 bulan. Kemampuan motorik biasanya tidak terpengaruh namun
orang tua dapat melaporkan adanya perubahan pola makan dan tidur, munculnya perilaku repetitif, dan
penurunan kemampuan interaksi sosial. Adanya pola regresi kemampuan sosial pada anak berusia di
bawah 3 tahun sangat berkaitan dengan diagnosis ASD walaupun penyebabnya belum diketahui.
Apabila regresi autistik terjadi pada anak berusia di atas 3 tahun atau disertai regresi fungsi motorik,
evaluasi lanjutan perlu dilakukan untuk menguji apakah terdapat kemungkinan suatu penyakit
neurodegeneratif seperti sindrom Rett atau Landau Kleffner yang juga berkaitan dengan ASD.
Skrining terhadap autism spectrum disorder dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen skrining
seperti Modified-Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT) yang diadaptasi ke dalam bahasa
Indonesia. M-CHAT merupakan instrumen skrining yang valid dalam mengenali tanda dan gejala
autisme pada anak berusia 18-24 bulan.
M-CHAT merupakan instrumen skrining dua tahap untuk menilai risiko ASD. Hasil skrining positif
atau kekhawatiran orang tua tentang kemungkinan adanya ASD pada anak mengisyaratkan bahwa
pasien mungkin memerlukan rujukan untuk evaluasi formal lanjutan
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan pada saat mengevaluasi pasien yang dicurigai dengan
autism spectrum disorder terdiri atas berbagai penyakit perkembangan saraf dan gangguan mental-
perilaku. Diagnosis banding penyakit perkembangan saraf dapat berupa gangguan bahasa spesifik,
keterbatasan intelektual dan keterlambatan perkembangan umum. Sementara itu, diagnosis banding
yang tergolong dalam gangguan mental-perilaku memiliki karakteristik keterbatasan interaksi sosial
dan kekakuan perilaku yang mirip dengan ASD seperti yang dapat ditemukan pada gangguan
pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, gangguan menentang oposisional, gangguan perilaku, dan
gangguan kelekatan.
F. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada autisme harus secara terpadu, meliputi semua disiplin ilmu yang terkait:
tenaga medis (psikiater, dokter anak, neurolog, dokter rehabilitasi medik) dan non medis (tenaga
pendidik, psikolog, ahli terapi bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial). Tujuan terapi pada autis adalah
untuk mengurangi masalah perilaku dan meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya
terutama dalam penguasaan bahasa. Dengan deteksi sedini mungkin dan dilakukan manajemen
multidisiplin yang sesuai yang tepat waktu, diharapkan dapat tercapai hasil yang optimal dari
perkembangan anak dengan autisme.
Askep Anak
Manajemen multidisiplin dapat dibagi menjadi dua yaitu non medikamentosa dan medika
mentosa.
1. Non medikamentosa
a. Terapi edukasi
b. Terapi perilaku
c. Terapi wicara
d. Terapi okupasi/fisik
e. Sensori integrasi
f. AIT (Auditory Integration Training
g. Intervensi keluarga
2. Medikamentosa
a. Neuroleptik
Neuroleptik tipikal potensi rendah-Thioridazin-dapat menurunkan agresifitas dan
agitasi.
Neuroleptik tipikal potensi tinggi-Haloperidol-dapat menurunkan agresifitas,
hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotipik.
Neuroleptik atipikal-Risperidon-akan tampak perbaikan dalam hubungan sosial, atensi
dan absesif.
b. Agonis reseptor alfa adrenergik
Klonidin, dilaporkan dapat menurunkan agresifitas, impulsifitas dan hiperaktifitas.
Beta adrenergik blocker
Propanolol dipakai dalam mengatasi agresifitas terutama yang disertai dengan agitasi
dan anxietas.
c. Neuroleptik (Risperidon) dan SSRI dapat dipakai untuk mengatasi perilaku stereotipik
seperti melukai diri sendiri, resisten terhadap perubahan hal-hal rutin dan ritual obsesif
dengan anxietas tinggi.
d. Methylphenidat (Ritalin, Concerta) dapat meningkatkan atensi dan mengurangi
destruksibilitas.
e. Dyphenhidramine (Benadryl) dan neuroleptik (Tioridazin) dapat mengatasi keluhan
insomania.
f. Semua gangguan metabolisme yang ada diperbaiki dengan obat- obatan maupun pengaturan
diet.
G. Pengkajian Keperawatan
I. IDENTITAS
II. RIWAYAT KESEHATAN KLIEN
III. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI
IV. DATA PSIKOSOSIAL
V. KONSEP DIRI
VI. DATA SPIRITUAL
VII. PEMERIKSAAN FISIK
H. Diagnose Keperawatan
1. Gangguan Komunikasi Verbal b.d Keterlambatan Dalam Berbahasa d.d Tidak Mampu
Menggunakan Ekspresi Tubuh
2. Gangguan Interaksi Sosial b.d Perubahan Neurologis (partus lama) d.d Kurang Responsif
Pada Orang Lain
I. Intervensi
Askep Anak
1. Gangguan Komunikasi Verbal b.d Keterlambatan Dalam Berbahasa d.d Tidak Mampu
Menggunakan Ekspresi Tubuh.
Kriteria hasil :
Kemampuan bicara meningkat
Kemampuan mendengar meningkat
Kesesuaian ekspresi wajah/tubuh meningkat
Kontak mata meningkat
Intervensi
Observasi
Terapeutik
Edukasi
2. Gangguan Interaksi Sosial b.d Perubahan Neurologis (partus lama) d.d Kurang Responsif Pada
Orang Lain
Kriteria hasil :
Perasaan nyaman dengan situasi social meningkat
Perasaan mudah menerima meningkat
Responsif pada orang lain meningkat
Perasaan tertarik pada orang lain meningkat
Intervensi
Observasi
Askep Anak
Identifikasi focus pelatihan keterampilan social
Terapeutik
Edukasi
J. Evaluasi
Dari diagnosa keperawatan yang ditegakkan sesuai dengan apa yang di temukan dalam melakukan
studi kasus dan melakukan asuhan keperawatan kurang lebih sudah mencapai perkembangan yang
lebih baik dan optimal, maka dari itu dalam melakukan asuhan keperawatan untuk mencapai hasil yang
maksimal memerlukan adanya keja sama antara perawat, dokter, dan tim kesehatn lainnya.
Askep Anak
322738
Tulungagung 66224
Alamat E-mail : stikeshahta@yaoo.co.id
Ruangan : WK III-B
I. Identitas Klien
Nama / Jenis kelamin : An. A
Alamat : Tulungagung
Agama : Islam
1.3. Akibat timbulnya keluhan : Bicara berulang-ulang dan takut dengan orang
Askep Anak
lain, sulit menggunakan ekspresi non verbal, perilaku menstimulasi diri, pola tidur yang
tidak teratur dan tantrum yang sering. Keluhan tersebut dialami ± sudah 2 bulan.
6. Riwayat seksual :-
7. Riwayat keluarga :
9. Fungsi dan hubungan keluarga : Hubungan keluarga baik, px adalah anak pertama
11. Persepsi keluarga terhadap anak : Keluarga belum mengetahui penyakit anaknya
Askep Anak
III. Pemeriksaan Fisik
Anak dan neonatus
BB : 13 kg
TB : 80 cm
LL :-
- Pernafasan: 18x/mnt
11. Paru – paru : Perkusi sonor, auskultasi tidak ada suara tambahan
2. Eliminasi :
Dirumah px bermain
Di RS px bedrest
V. Pemeriksaan Penunjang :
* Sebelum sakit : -
* Selama sakit : -
Askep Anak
Mahasiswa
(…………………………)
NIM.
ANALISA DATA
Umur : 3 Tahun
Askep Anak
NO KELOMPOK DATA PENYEBAB MASALAH KEPERAWATAN
Partus lama
Gangguan Komunikasi
Verbal
Ds : ayah px mengatakan Partus lama
anak kurang merespon orang
lain dan takut dengan orang- G3 nutrisi dan oksigenasi
orang
Abnormalitas
Do : pertumbuhan sel saraf
- Kurang responsive
terhadap orang lain Peningkatan neurokimia
secara abnormal
2. - Tidak minat melakukan Gangguan Interaksi Sosial
kontak fisik Pertumbuhan tanpa
bimbingan
- Kontak mata kurang
Umur : 3 Tahun
Umur : 3 Tahun
Observasi
Identifikasi penyebab
kurangnya keterampilan
social
Terapeutik
Motivasi untuk berlatih
keterampilan social
Anjurkan mengevaluasi
pencapaian setiap interaksi
Askep Anak
TINDAKAN KEPERAWATAN CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Pasien : An. A Umur : 3 Tahun No. Register : 11234544 Kasus : Autisme
Askep Anak
px)
14.25 Memberikan dukungan psikologis
Edukasi
Askep Anak
pencapaian setiap interaksi
Mengedukasi keluarga untuk dukungan
ketrampilan social
Melatih keterampilan social secara
bertahap
Askep Anak