Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak berlakunya Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa


Keuangan (OJK), kebijakan politik hukum nasional mulai memasuki paradigma baru,
terutama dalam penerapan model pengaturan dan pengawasan terhadap industri
keuangan Indonesia. Keluarnya UU OJK memberikan dampak signifikan terhadap
kelembagaan mana yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dalam
bidang jasa keuangan.

Dalam perihal perbankan syariah menurut pasal 5 OJK yang mengintegrasi


semua pengaturan dan pengawasan bidang jasa keuangan, termasuk dalam lembaga
yang pengaturan dan pengawasannya tunduk oleh OJK. Dalam praktik pengawasan ini
dilakukan secara tidak secara monolith dimana tidak hanya OJK yang mengatur dan
mengawasi bidang perbankan syariah. Dewan pengawas syariah (DPS) juga ikut
mengawasi kegiatan perbankan syariah. Hubungan kemitraan DPS dan OJK sebagai
lembaga pengawas perbankan syariah sangatlah penting utuk masa depan dan
pengembangan perbankan syariah di Indonesia

Pengawasan seperti apakah yang dilakukan masing-masing oleh OJK dan DPS
dalam perihal perbankan syariah di Indonesia. Untuk membahasa hal tersebut penulis
membuat makalah yang berjudul Pengawasan Perbankan Syariah Di Indonesia

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai


berikut:

1.Bagaimanakah sistem pengawasan perbankan syariah yang ada di Indonesia?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sistem Pengawasan Perbankan di Indonesia

Secara pendekatan teoritis terdapat dua model dalam pengawasan sektor


keuangan terutama sektor perbankan. Model pengawasan pertama mengatakan bahwa
pengawasan industri keuangan sebaiknya dilakukan oleh sebuah institusi. Dipihak lain
menyatakan terdapat model pengawasan industri keuangan lebih tepat apabila dilakukan
oleh beberapa lembaga.1 Model pengawasan yang dianut di Inggris menggunakan satu
lembaga yang secara terpadu mengatur seluruh industri keuangan yaitu Financial
Service Authority (FSA). Sedangkan di Amerika Serikat industri keuangan diawasi oleh
beberapa institusi, Security Exchange Commision (SEC) mengawasi perusahaan
sekuritas, sedangkan industri perbankan diawasi oleh The Federal Reserve System (The
Fed), Office of Controller of the Currency (OCC), Federal Deposit Insurance
Corporation (FDIC).

Pengawasan model satu institusi masih belum memiliki contoh sukses yang
signifikan, efektivitas Otoritas Jasa Keuangan masih dipertanyakan di seluruh dunia.
Inggris sebagai negara pionir Otoritas Jasa Keuangan juga mengalami kegagalan dan
justru kembali ke sistem lama. Hal ini dipicu kegagalan The Financial Service and
Markets Act (FSA) mencegah krisis-krisis bank pada tahun 2008 yang dimulai dari
bangkrut nya Northern Rock Bank dan berefek domino menutup bank
lainnya.2Sejumlah pakar ekonomi mengidentifikasi beberapa kesalahan Financial
Services Authority (FSA) di Inggris. Satu, efektivitas komunikasi FSA dengan Bank of
England dan departemen keuangan. Dua, melalaikan tugasnya melakukan pengawasan
bank sistemik. Tiga, FSA dianggap terlalu fokus pada tugas pengawasan kegiatan bisnis

1 Zulkarnain Sitompul Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan, Pilars No.


2/Th.VII/12-18, (Januari, 2004), hal.2.

2 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta:Raih Asa Sukses, 2014),
hal.329.

2
dan melupakan pengawasan individual bank.3Kesalahan yang dilakukan oleh FSA harus
dijadikan pelajaran bagi OJK Indonesia agar tidak melakukan kesalahan yang sama.

Di Indonesia sejak adanya Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan yang berlaku


tanggal 22 November 2011, pengawasan jasa keuangan di indonesia berubah yang pada
awalnya dilakukan oleh beberapa lembaga menjadi pengawasan yang dilakukan oleh
lembaga tunggal, yaitu Otoritas Jasa Keuangan. Model pengawasan satu lembaga ini
diperkuat dalam Pasal 5 Undang-ndang Otortas Jasa keuangan menyatakan, bahwa
Otoritas Jasa Keuangan berfungsi menyelenggarakan sisitem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan.

Khusus untuk perbankan syariah, Dr. Syafii Antonio menyatakan diperlukannya


pengaturan khusus mengenai pengawasan perbankan syariah yang dipisahkan dengan
pengawasan bak konvensional. Dimulai dari krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998, Dr.
Syafii Antonio menilai ada yang "tak beres" dalam sistem yang dianut selama ini. Tak
adanya nilai-nilai ilahiah yang melandasi operasional perbankan dan lembaga keuangan
lain, menjadikan lembaga "penyuntik darah" pembangunan ini sebagai "sarang
perampok berdasi" yang meluluhkan sendi perekonomian bangsa. 4Beliau secara spesifik
menyatakan inilah saatnya para bankir mengimani al-Quran, dan mengamalkan
muamalah syariah dengan filosofi utama kemitraan dan kebersamaan (sharing) dalam
profil dan risiko dapat mewujudkan kegiatan ekonomi yang lebih adil dan transparan.

Meskipun perbankan syariah diwajibkan berdasarkan pada ajaran-ajaran Islam,


kontrol harus tetap dilakukan. Menurut Syafii Antonio, kegiatan bank mempunyai
risiko tinggi karena berurusan dengan uang dalam jumlah yang sangat besar, sehingga
dapat menimbulkan niat orang-orang yang terlibat di dalamnya untuk melakukan
kecurangan. Kalau kekhawatiran itu terjadi tentu dapat mengakibatkan kerugian bagi
bank. Oleh karena itu dalam melaksanakan kontrolnya perlu diciptakan suatu sistem
3 https://ekbis.sindonews.com/read/860030/33/ini-penyebab-ojk-di-inggris-dan-amerika-gagal-
1399104204 Artikel dituis oleh:Disfiyant Glinmourinse, diakses Rabu 19 April 2017.

4 Zainal Abidin, PENGAWASAN PERBANKAN SYARIAH (Studi Pemikiran Muhammad Syafii


Antonio) Dalam Jurnal Maliyah, Vol.1, No.1, Juni 2011, Hal. 85.

3
kontrol yang berlapis-lapis (multilyer audit sistem).5Kontrol berlapis bank syariah ini
dibagi menjadi empat (4) yaitu:

1. Self Control (Pengendalian Diri): Merupakan lapisan pertama dan utama


dari setiap manusia, dalam hal ini karyawan bank syariah. Bank harus lah
memilih sumber daya insani yang tepat dan memiliki kontrol diri yang
meyakini dan mengimani setiap perbuatannya selalu direkam oleh Alah
SWT melalui Malaikat yang akan diminta pertanggung jawabannya.
2. Built in Control: Karyawan Bank Syariah dalam melakukan tugas sehari-
sehari tidak terlepas dari prosedur dan aturan main yang telah ditetapkan
oleh sistem perbankan. Secara tidak disadari oleh setiap karyawan
kegiatan yang dilakukan telah dimasukkan unsur-unsur kontrol yang
menyatu. Seperti adanya dual control, maker checker approval,
limitation, segregation of duties, verification, dan lain sebagainya.6
3. Internal Auditor: Untuk dapat meyakinkan bahwa telah ada pengendalian
diri dan pengendalin menyatu didalam bank sendiri yang memadai, perlu
adanya suatu ukuran dan penilaian dari pihak yang tidak terkait dengan
kegiatan tersebut (independen). Auditor internal yang digunakan di
Indonesia adalah Dewan Pengawas Syariah (DPS), lembaga yang masuk
didalam struktur organisasi perbankan namun memiliki fungsi
independen untuk mengawasi kegiatan bank dalam hal syariah.
4. Eksternal Auditor: Pengaudit eksternal memberikan masukan kepada
manajemen bank mengenai kondisi bank yang bersangkutan. Dari audit
eksternal, dapat diharapkan adanya suatu penilaian yang sangat netral
terhadap objek-objek yang diperiksa. Audit eksternal biasanya dilakukan
oleh BI, akuntan public, maupun pihak lainnya.7 Semenjak keluarnya UU
No 21 Tahun 2011, fungsi pengawasan eksternal BI dialihkan ke OJK.

5 Muhammad Syafii Antonio, Muhammad SAW.: The Super Leader Super Manager,Tazkia
Publishing, hal. 209.

6 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani Press, 2007,
Cet. XI hal. 210.

7Ibid, hal.211.

4
B. Pengawasan Perbankan Syariah OJK dan DPS

Pengawasan perbankan syariah pada dasarnya memiliki dua sistem. Pertama,


pengawasan dari aspek keuangan, kepatuhan pada perbankan secara umum dan prinsip
kehati-hatian bank. Kedua, pengawasan prinsip syariah pada kegiatan operasional
bank.8

Struktur pengawasan perbankan syariah juga terdiri dari dua sistem. Pertama,
sistem pengawasan internal, melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS). Selain itu juga
terdapat unsur lainnya, seperti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan
Komisaris, Dewan Audit, Direktur Kepatuhan dan SKAI-Internal Syariah Review.
Sistem pengawasan internal ini lebih mengatur ke dalam dan dilakukan agar mekanisme
dan sistem kontrol untuk kepentingan manajemen.

Kedua, sistem pengawasan eksternal, yang terdiri dari unsur Bank Indonesia,
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan stakeholder.
Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, sistem
pengawasan eksternal yang sebelumnya ditangani oleh Bank Indonesia secara otomatis
digantikan oleh OJK. Sistem pengawasan eksternal ini pada dasarnya diorientasikan
untuk memenuhi kepentingan nasabah dan publik secara umum.9

1. Dewan Pengawas Syariah (DPS)

Pada umumnya Bank syariah memiliki struktur organisasi yang sama dengan
bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi. Namun, terdapat unsur
yang membedakan antara bank syariah dengan bank konvensional, yakni keharusan

8 Maslihati Nur Hidayati, Dewan Pengawas Syariah dalam Sistem Hukum Perbankan: Studi tentang
Pengawasan Bank Berlandaskan Prinsip-prinsip Islam, dalam Lex Jurnalica, Vol. 6, No. 1, Desember,
2008, Hal. 68.

9 Adrian Sutendi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014, hal 246-
247.

5
adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS).10 DPS adalah suatu badan yang didirikan dan
ditempatkan pada bank syariah, bertugas mengawasi operasional bank syariah dan
produk-produknya agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dalam struktur bank
syariah, DPS ditempatkan sejajar dengan Dewan Komisaris, namun tetap menjadi badan
independen yang berdiri sendir lepas dari ikut campur badan lain.

Lebih lanjut, Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan lembaga di bawah


Dewan Syariah Nasional (DSN). Adapun Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah
lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi
melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan
dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. Salah satu tugas pokok DSN adalah
mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip syariah dalam bentuk
fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan
syariah.11

Dengan demikian peranan DSN dan DPS begitu penting dalam pengawasan perbankan
syariah. DPS memastikan kegiatan operasional, produk dan jasa bank syariah senantiasa
sesuai dengan prinsip syariah. Sementara itu, DSN merupakan lembaga yang terdiri dari
orang-orang yang memiliki keahlian dan kompetensi syariah yang memadai guna
menerbitkan fatwa produk dan jasa bank syariah yang bersifat nasional, sehingga dapat
dijadikan pedoman yang seragam bagi DPS di Indonesia.

Dasar hukum DPS pada perbankan syariah diatur dalam Pasal 109 UU Perseroan
Terbatas dimana perusahaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah selain memiliki dewan komisaris wajib memiliki dewan pengawas syariah. Dan
dalam ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah, diantaranya memuat ketentuan:

10 Anggota DPS terdiri atas para pakar di bidang muamalah yang juga memiliki pengetahuan di bidang
ekonomi perbankan. Lihat Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta:
Gema Insani Press, 2007, Cet. XI, Hal. 30.

11 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama, 2003, Cet. 2, Hal. 68.

6
1. Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS;
2. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat
Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia;
3. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar
sesuai dengan Prinsip Syariah;
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Jumlah anggota DPS di Bank Syariah sekurang-kurangnya dua orang dan
sebanyak-banyaknya lima orang. Sedangkan di BPRS berjumlah sekurang-kurangnya
satu orang dan sebanyak-banyaknya 3 orang. Anggota DPS hanya bisa merangkap
jabatan sebagai anggota DPS sebanyak-banyaknya pada dua (2) bank laindan dua (2)
lembaga keuangan syariah bukan bank. Kedudukan anggota DPS digolongkan sebagai
pihak terafiliasi.12
Pasal 21 PBI No. 6/24/PBI/2004, mengatur mengenai syarat untuk menjadi anggota
DPS, yaitu harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
A. Integritas: Memiliki akhlah dan moral yang baik; memiliki komiymen untuk
mematuhi peraturan perndang-undangan yang berlaku; memiliki komitmen yang
tinggi terhadap pengembangan operasional bank yang sehat; dan tidak termasuk
dalam daftar tidak lulus sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh bank Indonesia.
B. Kompetensi: yaitu memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah
muamalah dan pegetahuan di pidang perbankan dan/atau keuangan secara
umum.
C. Reputasi keuangan: Tidak pernah kredit macet; tidak pernah dinyatakan pailit.

Secara umum, peran DPS dalam perbankan syariah, antara lain:13

12 Wirdyaningsih, et al., Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarta:Kencana, 2005,


hal.83.

13 Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010, hal. 53.

7
- Membuat persetujuan garis panduan operasional produk perbankan syariah tersebut
sesuai dengan ketentuan yang telah disusun oleh Dewan Syariah Nasional (DSN);

- Membuat pernyataan secara berkala pada setiap tahun (annual report) tentang bank
syariah yang berada dalam pengawasannya telah berjalan sesuai dengan ketentuan
syariah;

- Membuat laporan tentang perkembangan dan aplikasi sistem keuangan syariah di


lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah yang berada dalam
pengawasannya, sekurang-kurangnnya enam bulan sekali; Meneliti dan membuat
rekomendasi jika ada inovasi produk-produk baru dari bank yang diawasinya.
Dewan inilah yang melakukan pengkajian awal sebelum produk yang baru dari bank
syariah tersebut diusulkan, diteliti kembali dan difatwakan oleh DSN;

- Membantu sosialisasi perbankan syariah kepada masyarakat;


- Memberikan masukan (input) bagi pengembangan dan kemajuan institusi
kewangan syariah.
Berdasarkan uraian di atas, DPS memegang peranan penting dalam pengawasan
perbankan syariah secara internal. DPS dapat memberikan teguran jika ada perbankan
syariah tertentu yang menyimpang dari prinsip-prinsip syariah. Apabila lembaga yang
bersangkutan tidak mengindahkan teguran yang diterbitkan, DPS dapat mengajukan
rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas untuk memberikan sanksi hukum
2. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Pengertian OJK dalam pasal 1 angka 1 UU no 21 Tahun 2011 menyatakan
bahwa OJK adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang OJK tersebut.14 Jelas dalam
penegertian OJK tersebut salah satu kewenangan OJK adalah melakukan pengawasan
dalam bidang jasa keuangan yang salah satunya adalah melakukan pengawasan
terhadapa perbankan syariah.

14 Indonesia (1), UU Tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU NO 21 Tahun 2011, LN 111 Tahun
2011, TLN 5353, ps. 1 angka 1.

8
Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan memeprkuat posisi
OJK sebagai satu satunya lembaga yang melakukan pengaturan dan pengawasan dalam
bidang jasa keuangan , dengan jelas menerapkan model pengaturan dan pengawasan
secara terintegrasi (integration approach), yang berarti akan meninggalkan model
pengawasan secara institusional yang dilakukan sebelumnya oleh Bank Indonesia dan
institusi keuangan lainnya di Indonesia. Dengan diberlakukannya Undang-Undang
Otoritas Jasa Keuangan ini, seluruh fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap sektor
keuangan yang kini masih tersebar di Bank Indonesia dan Bapepam-LK akan menyatu
ke dalam Otoritas Jasa Keuangan.15

OJK melakukan Pengaturan dan Pengawasan Bank diarahkan untuk


mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia agar tercipta sistem perbankan yang sehat
secara menyeluruh maupun individual dan mampu memelihara kepentingan masyarakat
dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Pengawasan yang dilakukan OJK diatur dalam pasal 7(a) UU NO.21 tahun 2011 yang
menyatakan OJK melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kesehatan bank dan
aspek kehati-hatian bank.

OJK memiliki 2 cara untuk menjalankan kewenangan untuk mengawasi (right


control) yaitu: a. Pengawasan bank secara langsung (on-sitesupervision) terdiri dari
pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus dengan tujuan untuk mendapatkan
gambaran keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank
terhadap peraturan yang berlaku, serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-
praktik tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank; b. Pengawasan tidak
langsung (off-site supervision) yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti
laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan dan informasi
lainnya.

Dalam menjalankan tugas pengawasan bank, saat ini OJK melakukan sistem
pengawasan dengan mengguakan 2 pendekatan:16

15 Hasbi Hasan, Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Lembaga


Perbankan Syariah, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 9 No. 3, Oktober 2012, hlm. 373-374.

9
1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based
Supervision/CBS) yaitu pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuan-
ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank di masa lalu
dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan
dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian.
Pengawasan terhadap pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pengawasan bank berdasarkan
risiko;
2. Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision/RBS) yaitu
pengawasan bank yang menggunakan strategi dan metodologi
berdasarkan risiko yang memungkinkan pengawas bank dapat mendeteksi
risiko yang signifikan secara dini dan mengambil tindakan pengawasan
yang sesuai dan tepat waktu
JENIS-JENIS RESIKO BANK
Resiko Kredit Resiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty
memenuhi kewajibannya.
Resiko Pasar Resiko yang timbul karena adanya pergerakan variable pasar
(adverse movement) dari portofolio yang dimili oleh bank yang
dapat merugikan bank. Variable pasar antara lain suku bunga dan
nilai tikar.
Resiko Likuiditas Resiko yang antara lain disebabkan bank tidak mampu
memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo.
Resiko Operasional Resiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan
atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia,
kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang
memperngaruhi operasional bank.
Resiko Hukum Resiko ysng disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis.
Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan
hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang
mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya
syarat sah kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.

16 Otoritas Jasa Keuangan, Booklet Perbankan Indonesia, Edisi 3 Maret


2016, hal. 26.

10
Resiko Reputasi Resiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif
yang terkait dengankegiatan usaha bank atau presepsi negatif
terhadap bank.
Resiko Strategi Resiko yang antara lain disebabkan penetapan dan pelaksanaan
strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis
yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap
perubahan eksternal.
Resiko Kepatuhan Resiko yang disebabkan bank tidak mematuhi atau tidak
melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
yang berlaku.
Tabel 1: Resiko Perbankan17

Pengawasan yang dilakukan OJK berbeda dari pengawasan yang dilakukan oleh DPS,
jika DPS mengawasi secara internal perbankan agar kegiatan dan management bank yang
diawasi senantiasa mengikuti prinsip syariah. Pengawasan OJK mengedepankan
pengawasan terhadap kepatuhan terhadap peraturan per undang-undangan dan
manajemen resiko dari bank yang diawasi. Pengawasan yang dilakukan OJK tidak
berbeda antara bank konvensional maupun bank syariah, karena melakukan pengawasan
terhadap kesehatan dan likuiditas bank.

C, Kemitraan OJK Dengan DPS

Hubungan kemitraan merupakan hubungan kerja sama secara formal antar


individu, kelompok, organisasi atau lembaga untuk mencapai suatu tugas atau tujuan
tertentu. Dalam hal ini, DPS menjadi pengawas internal, sedangkan OJK menjadi
pengawas eksternal terhadap perbankan syariah. Koordinasi serta harmonisasi dalam
melakukan supervisi terhadap perbankan syariah, baik secara internal oleh DPS maupun
secara eksternal oleh OJK menjadi tanggung jawab yang diemban baik DPS maupun
OJK.

Melalui hubungan kemitraan yang intensif antara DPS dan OJK, diharapkan
dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengawasan perbankan syariah. Hal
tersebut berguna untuk menjaga sistem perbankan syariah yang selalu berlandaskan

17 Ibid., hal 27-28.

11
pada prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian serta selalu serta selalu transparan dan
akuntabel.

Laporan DPS akan kegiatan suatu bank adalah merupakan acuan dari OJK
dalam melakukan off-site supervision, laporan DPS tersebut merupakan dasar untuk
menentukan apakah bank yang diawasi DPS sudah mematuhi (compliance) dengan
peraturan perbankan syariah. Jika DPS memberikan laporan terjadinya pelanggaran
terhadap kepatuhan prinsip syariah, DPS akan memberikan laporan tersebut ke OJK
sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan tindakan (imposing action).

Belakangan ini muncul wacana untuk mengintegrasikan DPS masuk ke dalam


OJK, hal ini perlu dicermati lebih lanjut. Wacana untuk memasukan DPS ke dalam OJK
berasal dari asumsi bahwa dasar hukum pengawasan DPS ada dalam Pasal 32 ayat (3)
Undang-Undang Perbankan Syariah yang menyebutkan kewenangan DPS dalam
pengawasan perbankan syariah adalah memberikan nasihat dan saran kepada direksi dan
mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Setelah keluarnya OJK
seharusnya fungsi pengawasan jasa keuangan sepenuhnya dipegang oleh OJK, atau
dilakukan oleh DPS dibawah naunggan OJK.

DPS juga dianggap masih belum maksimal dalam melaksanakan tugas


pengawasan perbankan syariah. Belum maksimalnya DPS diakibatkan tidak masuknya
DPS dalam lembaga kenegaraan sehingga tidak adanya check and balance atas kinerja
DPS. Jika benar akan terintegrasi DPS kedalam OJK maka akan banyak penggantian
peraturan terutama mengenai kelembagaan OJK berada dimana DPS di dalam struktur
lembaga OJK dan mengenai kewenangan pengawasan DPS yang bisa berkurang jika
terintegrasi dengan OJK.

Lebih tepat disoroti dan menjadi perhatian adalah tentang upaya untuk
mengoptimalkan peran DPS agar pengawasan terhadap industri perbankan syariah lebih
maksimal. Kesiapan OJK untuk menanungi DPS juga harus digaris bawahi, berhubung
tanggung jawab OJK yang sudah sangat banyak jika menjadi pengawas Bank Syariah
secara internal maupun eksternal, dikhawatirkan tidak akan focus dalam melakukan
tugas nya di dibidang lain.

12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengawasan perbankan syariah yang dilakukan secara internal oleh DPS dan
eksternal melalui OJK merupakan bagian dari sistem pengawasan berlapis perbankan
syariah yang menurut Dr Syafii Antonio dibutuhkan untuk memastikan perbankan di
Indonesia terutama perbankan syariah menaati tidak hanya peraturan perundang-
undangan yang berlaku tentang perbankan syariah di Indonesia, namun juga mentaati
prisip syariah dalam melakukan kegiatan perbankan.

DPS melakukan pengawasan internal agar berjalannya bank syariah sesuai


prinsip syariah, OJK melakukan pengawasan agar kinerja bank sehat dan berhati-hati
dalam berbisnis agar selalu mentaati peraturan yang ada. 2 pengawasan yang dilakukan
lembaga ini memiliki dampak signifikan untuk mengembangkan perbanka syariah.
Kerja sama antar lembaga ini harus terjalin secara harmonis agar tercapainya
optimalisasi pengawasan sehingga tidak muncul nya kerugian yang dialami nasabah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Antonio, Muhammad Syafii , Muhammad SAW.: The Super Leader Super
Manager, Tazkia Publishing.
Antonio, Muhammad Syafii , Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Gema
Insani Press, 2007.
Ifham Sholihin, Ahmad, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Sutendi, Adrian, Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta: Raih Asa Sukses,
2014.
Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Wirdyaningsih, et al., Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarta:Kencana,
2005.
Jurnal
Abidin, Zainal , PENGAWASAN PERBANKAN SYARIAH (Studi Pemikiran
Muhammad Syafii Antonio) Dalam Jurnal Maliyah, Vol.1, No.1, Juni 2011.
Hasan, Hasbi , Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap
Lembaga Perbankan Syariah, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 9 No. 3, Oktober 2012.
Hidayati, Maslihati Nur, Dewan Pengawas Syariah dalam Sistem Hukum
Perbankan: Studi tentang Pengawasan Bank Berlandaskan Prinsip-prinsip Islam, dalam
Lex Jurnalica, Vol. 6, No. 1, Desember, 2008.
Sitompul, Zulkarnain Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan, Pilars
No. 2/Th.VII/12-18, Januari, 2004.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, UU NO 21 Tahun 2011,
LN 111 Tahun 2011, TLN 5353.

14
Internet
https://ekbis.sindonews.com/read/860030/33/ini-penyebab-ojk-di-inggris-dan-amerika-
gagal-1399104204 Artikel dituis oleh:Disfiyant Glinmourinse diakses Rabu 19 April
2017.

15

Anda mungkin juga menyukai