Nama Kelompok
YOGYAKARTA
2021
Latar Belakang
Lembaga keuangan syariah berkembang pesat, mulai dari bank syariah, asuransi
syariah, pasar modal syariah, reksa dana syariah, pegadaian syariah, diversifikasi keuangan
syariah, leasing syariah, lembaga dana pensiun syariah, lembaga penjaminan syariah,
koperasi syariah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT), dan bahkan beberapa badan hukum
Syariah, seperti hotel, supermarket, MLM Syariah, waralaba Syariah, dll. Pelopor utamanya
adalah BMI (Bank Muamalat Indonesia) yang didukung oleh Majelis Ulama Indonesia pada
waktu itu. Keberhasilan ini tidak terlepas dari kerjasama para pemangku kepentingan yang
ada. Esensi terpenting dari proliferasi lembaga keuangan Islam adalah untuk memastikan
bahwa lembaga-lembaga ini sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Syariah, bukan hanya
atribut mereka, tetapi benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Syariah.
Standar untuk mengukur tingkat kepatuhan bank syariah tidak hanya mengacu pada
peraturan umum yang dirumuskan oleh otoritas yang berwenang, tetapi juga untuk menjaga
dan memelihara kepatuhan dalam arti prinsip-prinsip syariah. lembaga keuangan Pasal 2
Undang-undang Nomor 21 Undang-Undang Lembaga Keuangan mengatur: Lembaga
keuangan syariah melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip-prinsip hukum Syariah,
demokrasi ekonomi dan kehati-hatian. Klausul ini memberikan pemahaman bahwa bank
syariah harus berdasarkan prinsip-prinsip hukum Syariah dalam melakukan kegiatan
keuangan, di mana tingkat kepatuhan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan BI, tetapi
juga pertimbangan DSN-MUI dan DPS. Setiap bank Islam.
1. Definisi
A. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen dan bebas dari
campur tangan pihak lain, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Otoritas Jasa Keuangan. Fungsi pengaturan dan pengawasan tersebut tidaklah
sepenuhnya diberikan kepada OJK. Akan tetapi OJK tetap bekerjasama dengan
BI dan memiliki kewenangannya masing-masing dalam menjalankan fungsi
pengaturan dan pengawasan. Pengaturan dan Pengawasan kelembagaan,
kesehatan, aspek kehati hatian, dan pemeriksa bank merupakan lingkup
microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup
pengaturan dan pengawasan macroprudential merupakan tugas dan wewenang
BI. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan
Penilaian Profil Risiko Penilaian terhadap faktor profil risiko merupakan penilaian terhadap
risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko dalam operasional bank yang
dilakukan terhadap 10 risiko yaitu:
1. Kredit Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi
kewajibannya.
2. Pasar Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar (adverse
movement) dari portofolio yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain
suku bunga dan nilai tukar. 3.
3. Likuiditas Risiko yang antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi
kewajiban yang telah jatuh tempo.
4. Operasional Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan atau
tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau
adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
5. Hukum Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis, antara lain
disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang
mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhi syarat sahnya kontrak
6. Reputasi Risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait
dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank.
7. Stratejik Risiko yang antara lain disebabkan penetapan dan pelaksanaan strategi
dan/ atau pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang reponsifnya
bank terhadap perubahan eksternal.
8. Kepatuhan Risiko yg disebabkan bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan
peraturan perundangundangan dan ketentuan lain yang berlaku, termasuk
pemenuhan prinsip syariah.
9. Imbal hasil Risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan bank kepada
nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari
penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga
bank.
10. Investasi Risiko akibat bank ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai
dalam pembiayaan bagi hasil berbasis profit and loss sharing.
A. Dewan Komisaris.
Peraturan perundang-undangan memberikan tanggung jawab yang jelas dan tegas
terhadap tanggung jawab Dewan Komisaris. Mengingat kedudukan Dewan Komisaris
sebagai organ perseroan, tanggung jawab ini bertujuan untuk menjamin agar Dewan
Komisaris melakukan fungsi pengawasan dengan Itikad baik, kehati-hatian, dan
bertanggung jawab. Kesalahan maupun kelalaian Dewan Komisaris yang menyebabkan
kerugian bagi perseroan harus dipertanggungjawabkan oleh Dewan Komisaris bahkan
sampai pertanggungjawaban pribadi.19 Untuk itu PBI-2009 mengatur tugas dan tanggung
jawab Dewan Komisaris Jumlah anggota dewan Komisaris paling kurang 3 (tiga) orang dan
paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi, terdiri dari Komisaris dan Komisaris
Independen.20 Jumlah Komisaris Independen Paling kurang 50% (lima puluh perseratus)
dari jumlah anggota dewan Komisaris. Semua Anggota dewan Komisaris harus memenuhi
persyaratan telah lulus Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test). Selain itu, Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai
anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada 1 (satu)
lembaga/perusahaan bukan lembaga keuangan dan tidak memiliki hubungan keluarga
dengan anggota dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi.
B. Dewan Direksi.
Dewan direksi memiliki fungsi utama dalam manajemen, yakni menetapkan tujuan strategik
dan prinsip-prinsip yang akan dijadikan sebagai acuan lembaga keuangan islam. Kewajiban
dan tanggung jawab otoritas pengambilan keputusan untuk masing-masing level
manajemen harus ditentukan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab masing-masing
anggota dewan direksi. Dewan direksi juga memiliki kewajiban untuk menjaga transparansi
dalam menjalankan operasional perusahaan yang mengacu pada standar operasional
Lembaga Keuangan Syariah yang ditentukan oleh Basel Committee on Banking Supervision
(BCBS), Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI),
Islamic Financial Service Board (IFSB), ataupun atas otoritas pengawas
Dalam struktur di atas, Dewan Pengawas Syariah menempati posisi penting dalam Bank
Umum Syariah, sejajar dengan Dewan Komisaris,dan dalam menjalankan tugasnya
berdasarkan Pasal 47 ayat 4 Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009 tentang
Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah, wajib menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan DPS secara semesteran kepada
Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode semester dimaksud berakhir.
DPS pada bank dengan cakupan nasional tidak mengawas hingga level kantor cabang dan
kantor unit suatu bank, tapi hanya berada di kantor pusat bank. Sementara struktur
pengawasan yang efektif hendaknya DPS ada hingga level unit usaha terendah dari suatu
bank.
Dalam struktur di atas DPS yang berkedudukan di kantor pusat bank tidak saja langsung
memberikan laporan kepada Bank Indonesia, tetapi seharusnya juga kepada DSN-MUI.
Laporan kepada DSN-MUI dianggap penting, sebab DSN-MUI sebagai lembaga yang oleh
Pasal 32 ayat 2 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diberi kewenangan
memberi rekomendasi pembentukan DPS di suatu bank, seharusnya berhak pula untuk
mengetahui apakah individu yang telah direkomendasikan itu dapat menjalankan amanat
sebagaimana seharusnya, sehingga DSN-MUI dapat menarik rekomendasinya jika ternyata
tidak sesuai dengan harapan, dan merekomendasikan Rapat Umum Pemegang Saham
untuk memberhentikan yang bersangkutan dari jabatan DPS jika dinilai tidak dapat
menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Dalam struktur ini, DSN-MUI dapat berperan
langsung mengorganisir dan memantau pengawasan yang dilakukan oleh DPS.
Selanjutnya, DPS pada level cabang, unit atau level di bawahnya lagi jika ada, wajib
menyampaikan laporan secara berjenjang. DPS pada level unit suatu bank menyampaikan
laporan kepada DPS level cabang, dan DPS pada level cabang menyampaikan laporan
pada DPS kantor pusat bank bersangkutan. Barulah DPS pada kantor pusat bank
menyusun riasalah laporan untuk diserahkan kepada Bank Indonesia dan DSN-MUI, dengan
laporan model ini diharapkan pengawasan akan lebih efektif. DPS tidak lagi bisa mengawas
sesukanya sebab DSN-MUI turut serta mengorganisir dan memantau langsung proses
pengawasan, dan merekomendasikan untuk memberhentikan DPS jika tidak amanah.
Mekanisme pengawasan dengan struktur ini tidak saja diberlakukan untuk kegiatan usaha
perbankan namun juga semua jenis kegiatan usaha bisnis syariah non bank, seperti
asuransi, gadai, dan sebagainya.
KESIMPULAN
Lembaga keuangan syariah diawasi oleh Bank Sentral, Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
Dewan Pengawas Syariah (DPS). Standar untuk mengukur tingkat kepatuhan bank syariah
tidak hanya mengacu pada peraturan umum yang dirumuskan oleh otoritas yang
berwenang, tetapi juga untuk menjaga dan memelihara kepatuhan dalam arti prinsip-prinsip
syariah. lembaga keuangan Pasal 2 Undang-undang Nomor 21 Undang-Undang Lembaga
Keuangan mengatur: Lembaga keuangan syariah melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip-prinsip hukum Syariah, demokrasi ekonomi dan kehati-hatian. Klausul ini
memberikan pemahaman bahwa bank syariah harus berdasarkan prinsip-prinsip hukum
Syariah dalam melakukan kegiatan keuangan, di mana tingkat kepatuhan tidak hanya
didasarkan pada pertimbangan BI, tetapi juga pertimbangan DSN-MUI dan DPS.
Daftar Pustaka
https://adoc.pub/pengawasan-bank-syariah.html
https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/LiterasiPerguruanTinggi/book/book8/reader.html
https://media.neliti.com/media/publications/154905-ID-problematika-dewan-pengawas-
syariah-dan.pdf