Anda di halaman 1dari 14

Ketoasidosis Diabetik Pada Anak

1. Pendahuluan

Ketoasidosis diabetik adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam


jiwa bila tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh
penurunan kadar insulin efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan
sejumlah hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth
hormone. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada anak dengan diabetes mellitus tipe 1 (IDDM).
Mortalitas terutama berhubungan dengan edema serebri yang terjadi sekitar
57% - 87% dari seluruh kematian akibat KAD.1

Peningkatan lipolisis, dengan produksi badan keton (?-hidroksibutirat dan


asetoasetat) akan menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik.
Hiperglikemia dan asidosis akan menghasilkan diuresis osmotik, dehidrasi,
dan kehilangan elektrolit. Secara klinis, ketoasidosis terbagi ke dalam tiga
kriteria, yaitu ringan, sedang, dan berat, yang dibedakan menurut pH
serum.2

Risiko KAD pada IDDM adalah 1 10% per pasien per tahun. Risiko
meningkat pada anak dengan kontrol metabolik yang jelek atau sebelumnya
pernah mengalami episode KAD, anak perempuan peripubertal dan remaja,
anak dengan gangguan psikiatri (termasuk gangguan makan), dan kondisi
keluarga yang sulit (termasuk status sosial ekonomi rendah dan masalah
asuransi kesehatan). Pengobatan dengan insulin yang tidak teratur juga
dapat memicu terjadinya KAD.3

Anak dengan tanda-tanda KAD berat (durasi gejala yang lama, gangguan
sirkulasi, atau penurunan derajat kesadaran) atau adanya peningkatan risiko
edema serebri (termasuk usia < 5 tahun dan onset baru) harus
dipertimbangkan dirawat di unit perawatan intensif anak. Terdapat lima
penanganan prehospital yang penting bagi pasien KAD, yaitu: penyediaan
oksigen dan pemantauan jalan napas, monitoring, pemberian cairan isotonik
intravena dan balance elektrolit, tes glukosa, dan pemeriksaan status mental
(termasuk derajat kesadaran).2,3

Mengingat masih sedikitnya pemahaman mengenai ketoasidosis diabetik


dan prosedur atau konsensus yang terus berkembang dalam
penatalaksanaan ketoasidosis diabetik. Maka, perlu adanya pembahasan
mengenai bagaimana metode tatalaksana terkini dalam menanganai
ketoasidosis diabetik pada anak.

2.1 Pengertian

Ketoasidosis Diabetik Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah kondisi medis


darurat yang dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani secara tepat.
Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh penurunan kadar insulin efektif di
sirkulasi yang terkait dengan peningkatan sejumlah hormon seperti
glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone. Hal ini akan memicu
peningkatan produksi glukosa oleh hepar dan ginjal disertai penurunan
penggunaan glukosa perifer, sehingga mengakibatkan keadaan
hiperglikemia dan hiperosmolar. Peningkatan lipolisis, dengan produksi
badan keton (?-hidroksibutirat dan asetoasetat) akan menyebabkan
ketonemia dan asidosis metabolik. Hiperglikemia dan asidosis akan
menghasilkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Kriteria
biokimia untuk diagnosis KAD mencakup hiperglikemia (gula darah > 11
mMol/L / 200 mg/dL) dengan pH vena < 7,3 dan atau bikarbonat < 15
mMol/L). Keadaan ini juga berkaitan dengan glikosuria, ketonuria, dan
ketonemia.1,2

Ketoasidosis diabetik pada umumnya dikategorisasi berdasarkan derajat


keparahan asidosis, dari ringan (pH < 7,30; bikarbonat , 15 mmol/L),
moderat (pH < 7,20; bikarbonat < 10) dan berat (pH < 7,10; bikarbonat <
5,4).4

2.2 Epidemiologi dan Faktor Risiko

Kejadian ketoasidosis diabetik pada anak meliputi wilayah geografik yang


luas dan bervariasi bergantung onset diabetes dan sebanding dengan
insidensi IDDM di suatu wilayah. Frekuensi di Eropa dan Amerika Utara
adalah 15% - 16%. Di Kanada dan Eropa, angka kejadian KAD yang telah
dihospitalisasi dan jumlah pasien baru dengan IDDM telah diteliti, yaitu
sebanyak 10 dari 100.000 anak.5

Onset KAD pada IDDM lebih sering terjadi pada anak yang lebih muda
(berusia < 4 tahun), memiliki orang tua dengan IDDM, atau mereka yang
berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah. Pemberian dosis
tinggi obat-obatan seperti glukokortikoid, antipsikotik atipik, diazoksida, dan
sejumlah immunosuppresan dilaporkan mampu menimbulkan KAD pada
individu yang sebelumnya tidak mengalami IDDM.6

Risiko KAD pada IDDM adalah 1 10% per pasien per tahun. Risiko
meningkat pada anak dengan kontrol metabolik yang jelek atau sebelumnya
pernah mengalami episode KAD, anak perempuan peripubertal dan remaja,
anak dengan gangguan psikiatri (termasuk gangguan makan), dan kondisi
keluarga yang sulit (termasuk status sosial ekonomi rendah dan masalah
asuransi kesehatan). Pengobatan dengan insulin yang tidak teratur juga
dapat memicu terjadinya KAD.3

Anak yang mendapat terapi insulin secara teratur dan terkontrol jarang
mengalami episode KAD. Sekitar 75% episode KAD berkaitan dengan
kelalaian pemberian insulin atau pemberian yang salah. Angka mortalitas
KAD di sejumlah negara relatif konstan, yaitu 0,15% di Amerika Serikat,
0,18% di Kanada, 0,31% di Inggris. Di tempat dengan fasilitas medik yang
kurang memadai, risiko kematian KAD relatif tinggi, dan sebagian penderita
mungkin meninggal sebelum mendapatkan terapi.2

Edema serebri terjadi pada 57% - 87% dari seluruh kematian akibat KAD.
Insidensi edema serebri relatif konstan pada sejumlah negara yang diteliti:
Amerika Serikat 0,87%, Kanada 0,46%, Inggris 0,68%. Dari penderita yang
bertahan, sekitar 10-26% mengalami morbiditas yang signifikan. Meski
demikian, sejumlah individu ternyata tidak mengalami peningkatan
morbiditas dan mortalitas bermakna setelah kejadian KAD dan edema
serebri.1

Selain edema serebri, penyebab peningkatan angka morbiditas dan


mortalitas pada KAD mencakup hipoglikemia, hipokalemia, hiperkalemia,
komplikasi susunan saraf pusat, hematom, trombosis, sepsis, infeksi,
pneumonia aspirasi, edem pulmonar, RDS, dan emfisema. Beberapa sekuele
lanjut yang berkaitan dengan edema serebri dan komplikasi SSP mencakup
insufisiensi hipotalamopituitary, defisiensi growth hormone, dan defisiensi
thyroid-stimulating hormone.2

2.3 Patofisiologi

Interaksi berbagai faktor penyebab defisiensi insulin merupakan kejadian


awal sebagai lanjutan dari kegagalan sel-? secara progresif. Keadaan
tersebut dapat berupa penurunan kadar atau penurunan efektivitas kerja
insulin akibat stres fisiologik seperti sepsis dan peningkatan kadar hormon
yang kerjanya berlawanan dengan insulin. Secara bersamaan, perubahan
keseimbangan hormonal tersebut akan meningkatkan produksi glukosa, baik
dari glikogenolisis maupun glukoneogenesis, sementara penggunaan glukosa
menurun. Secara langsung, keadaan ini akan menyebabkan hiperglikemia
(kadar glukosa > 11 mmol/L atau > 200 mg/dL), diuresis osmotik, kehilangan
elektrolit, dehidrasi, penurunan laju filtrasi glomerulus, dan
hiperosmolaritas.7

Secara bersamaan, lipolisis akan meningkatkan kadar asam lemak bebas,


oksidasi akan turut memfasilitasi glukoneogenesis dan membentuk asam
asetoasetat dan hidroksibutirat (keton) secara berlebihan, sehingga
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik (pH < 7,3). Keadaan ini juga
diperparah oleh semakin meningkatnya asidosis laktat akibat perfusi
jaringan yang buruk. Dehidrasi yang berlangsung progresif, hiperosmolar,
asidosis, dan gangguan elektrolit akan semakin memperberat ketidak-
seimbangan hormonal dan menyebabkan keadaan ini berlanjut membentuk
semacam siklus. Akibatnya, dekompensasi metabolik akan berjalan progresif.
Manifestasi klinis berupa poliuria, polidipsia, dehidrasi, respirasi yang
panjang dan dalam, akan menurunkan nilai pCO2 dan buffer asidosis,
menyebabkan keadaan berlanjut menjadi koma. Derajat keparahan KAD
lebih terkait dengan derajat asidosis yang terjadi: ringan (pH 7,2 7,3),
moderat (pH 7,1 7,2), dan berat (pH < 7,1).7

Meskipun dapat terjadi penurunan kadar kalium, adanya hiperkalemia


biasanya didapatkan pada pasien dengan KAD yang mendapat resusitasi
cairan. Hiperkalemia serum terjadi akibat pergeseran distribusi ion kalium
dari intrasel ke ekstrasel karena adanya asidosis akibat defisiensi insulin dan
penurunan sekresi tubular renal. Terjadinya penurunan kadar fosfat dan
magnesium serum juga akibat pergeseran ion. Hiponatremia terjadi akibat
efek dilusi akibat osmolaritas serum yang tinggi. Kadar natrium dapat diukur
dengan menambahkan kadar natrium sebanyak 1,6 mEq/L untuk setiap
kenaikan kadar glukosa 100 mg/dL. Peningkatan osmolaritas serum akibat
hiperglikemia juga akan menyebabkan peningkatan osmolaritas intraselular
di otak. Koreksi hiperglikemia serum yang dilakukan secara cepat dapat
memperlebar gradien osmolaritas serum dan intraserebral. Cairan bebas
kemudian akan memasuki jaringan otak dan menyebabkan edema serebri
beserta peningkatan risiko herniasi. Oleh sebab itu, resusitasi cairan dan
koreksi hiperkalemia harus dilakukan secara bertahap dengan monitoring
ketat.3
Edema serebri pada Ketoasidosis Diabetik

Edema serebri paling sering terjadi pada 4 12 jam setelah terapi diberikan,
namun dapat pula terjadi sebelum terapi dilakukan, dan pada beberapa
kasus dapat terjadi kapan pun selama terapi diberikan (tidak terikat waktu).
Gejala dan tanda edema serebri cukup bervariasi dan meliputi keluhan nyeri
kepala, penurunan bertahap atau memburuknya derajat kesadaran, nadi
yang melambat, dan tekanan darah yang meningkat.2,4

Pada penelitian in vitro pada hewan coba dan manusia, terjadinya edema
serebri dipicu oleh penyebab lain (misalnya trauma dan stroke) menunjukkan
bahwa mekanisme etiopatologik edema serebri pada KAD cukup kompleks.
Sejumlah mekanisme telah dianalisis, termasuk peranan iskemia/hipoksia
serebral dan peningkatan berbagai mediator inflamasi, yang akan
meningkatkan aliran darah ke otak serta mengganggu transpor ion dan air
melalui membran sel. Adanya osmolit organik intraselular (mioinositol dan
taurin) dan ketidakseimbangan osmotik selular juga merupakan faktor yang
penting. Pada pemeriksaan imaging anak dengan KAD menggunakan
ultrasonografi, CT Scan, dan MRI, menunjukkan berbagai derajat edema
serebri yang terjadi meskipun tidak terdapat tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial yang signifikan.2

2.4 Diagnosis

Kriteria biokimia untuk diagnosis KAD mencakup hiperglikemia (gula darah >
11 mmol/L / 200 mg/dL) dengan pH vena < 7,3 dan atau bikarbonat < 15
mmol/L). Keadaan ini juga berkaitan dengan glikosuria, ketonuria, dan
ketonemia.2 Beberapa pemeriksaan laboratoris dapat diindikasikan pada
pasien KAD, yaitu:1,5

Gula darah
- Analisis gula darah diperlukan untuk monitoring perubahan kadar gula
darah selama terapi dilakukan, sekurang-kurangnya satu kali setiap
pemberian terapi.
- Pemeriksaan dilakukan setidaknya setiap jam apabila kadar glukosa turun
secara progresif atau bila diberikan infus insulin.

Gas darah
- Pada umumnya, sampel diambil dari darah arteri, namun pengambilan
darah dari vena dan kapiler pada anak dapat dilakukan untuk monitoring
asidosis karena lebih mudah dalam pengambilan dan lebih sedikit
menimbulkan trauma pada anak.
- Derajat keparahan ketoasidosis diabetik didefinisikan sebagai berikut:
Ringan (pH < 7,30; bikarbonat, 15 mmol/L), moderat (pH < 7,20; bikarbonat
< 10 mmol/L) dan berat (pH < 7,10; bikarbonat < 5,4 mmol/L).

Kalium
- Pada pemeriksaan awal, kadar kalium dapat normal atau meningkat,
meskipun kadar kalium total mengalami penurunan. Hal ini terjadi akibat
adanya kebocoran kalium intraselular. Insulin akan memfasilitasi kalium
kembali ke intraselular, dan kadar kalium mungkin menurun secara cepat
selama terapi diberikan.
- Pemeriksaan secara berkala setiap 1-2 jam dilakukan bersamaan dengan
monitoring EKG, terutama pada jam-jam pertama terapi.

Natrium
- Kadar natrium pada umumnya menurun akibat efek dilusi hiperglikemia
- Kadar natrium yang sebenarnya dapat dikalkulasi dengan menambahkan
1,6 mEq/L natrium untuk setiap kenaikan 100 mg/dL glukosa (1 mmol/L
natrium untuk setiap 3 mmol/L glukosa).
- Kadar natrium umumnya meningkat selama terapi
- Apabila kadar natrium tidak meningkat selama terapi, kemungkinan
berhubungan dengan peningkatan risiko edema serebri.

Ureum dan Kreatinin: Peningkatan kadar kreatinin seringkali dipengaruhi


oleh senyawa keton, sehingga memberikan kenaikan palsu. Kadar ureum
mungkin dapat memberikan ukuran dehidrasi yang terjadi pada KAD.

Kadar keton: Pengukuran kadar keton kapiler digunakan sebagai tolok ukur
ketoasidosis, dimana nilainya akan selalu meningkat pada KAD (> 2 mmol/L).
Terdapat dua pengukuran yang dilakukan untuk menilai perbaikan KAD, yaitu
nilai pH >7,3 dan kadar keton kapiler < 1 mmol/L.

Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c): Peningkatan HbA1c menentukan


diagnosis diabetes, terutama pada pasien yang tidak mendapat penanganan
sesuai standar. Pemeriksaan darah rutin: Peningkatan kadar leukosit sering
ditemukan, meskipun tidak terdapat infeksi.

Urinalisis: Pemeriksaan urin dilakukan untuk menilai kadar glukosa dan


badan keton per 24 jam, terutama bila pemeriksaan kadar keton kapiler tidak
dilakukan.

Insulin: Pemeriksaan ini khusus dilakukan pada anak dengan KAD rekuren,
dimana rendahnya kadar insulin dapat terkonfirmasi. Perlu diperhatikan
adanya senyawa analog insulin yang dapat memberikan nilai palsu dalam
hasil pemeriksaan.

Osmolaritas serum: Osmolaritas serum umumnya meningkat.

Pada pemeriksaan imaging (radiologis) dapat dilakukan terhadap pasien


KAD, yaitu:5
CT scan kepala dilakukan bila terjadi koma atau keadaan yang menuju ke
arah koma, selain sebagai ukuran dalam menangani edema serebri.
Pemeriksaan radiografi thoraks dilakukan apabila terdapat indikasi klinis.

Pemeriksaan lainnya yang juga perlu dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:5
EKG cukup berguna untuk menentukan status kalium. Perubahan karakter
EKG akan terjadi apabila status kalium terlalu ekstrem.
Perubahan karakter hipokalemia yang terepresentasi pada EKG, yaitu:
- Interval QT memanjang
- Depresi segmen ST
- Gelombang T mendatar atau difasik
- Gelombang U
- Interval PR memanjang
- Blok SA

Hiperkalemia dapat terjadi akibat overkoreksi kehilangan kalium, dengan


perubahan EKG sebagai berikut:
- Kompleks QRS melebar
- Gelombang T tinggi
- Interval PR memanjang
- Gelombang P hilang
- Kompleks QRS difasik
- Asistole

Penilaian rutin derajat kesadaran:


- Menentukan derajat kesadaran per jam sampai dengan 12 jam, terutama
pada anak yang masih muda dan mengalami diabetes untuk pertama kali.
Penilaian menggunakan GCS direkomendasikan untuk penentuan derajat
kesadaran.
- Skor maksimum normal GCS adalah 15. Skor 12 atau kurang menunjukkan
gangguan kesadaran yang bermakna. Skor yang terus menurun
menunjukkan edema serebri yang semakin berat.

Beberapa prosedur yang dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:3


Dilakukan pemasangan kateterisasi intravena yang besar untuk keperluan
cairan, infus insulin, drip, dan lain-lain.
Kateterisasi arteri dilakukan pada kondisi: status mental yang buruk,
adanya tanda syok berat, dan adanya tanda asidosis berat.

2.5 Tatalaksana

Anak dengan ketosis dan hiperglikemia tanpa disertai gejala muntah dan
dehidrasi berat dapat diterapi di rumah atau pusat layanan kesehatan
terdekat. Namun, untuk mendapatkan perawatan yang baik, perlu dilakukan
reevaluasi berkala dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh dokter ahli.
Dokter anak yang telah mendapat pelatihan penanganan KAD harus terlibat
langsung. Anak juga dapat dimonitoring dan diterapi sesuai standar baku,
serta dilakukan berbagai pemeriksaan laboratoris secara berkala untuk
mengevaluasi sejumlah parameter biokimia.8 Anak dengan tanda-tanda KAD
berat (durasi gejala yang lama, gangguan sirkulasi, atau penurunan derajat
kesadaran) atau adanya peningkatan risiko edema serebri (termasuk usia <
5 tahun dan onset baru) harus dipertimbangkan dirawat di unit perawatan
intensif anak. Terdapat lima penanganan prehospital yang penting bagi
pasien KAD, yaitu: penyediaan oksigen dan pemantauan jalan napas,
monitoring, pemberian cairan isotonik intravena, tes glukosa, dan
pemeriksaan status mental.8 Penanganan pasien anak dengan KAD, antara
lain:3
Prinsip utama penanganan KAD sesuai dengan resusitasi emergensi dasar,
yaitu airway, breathing, dan circulation.
Sebagai tambahan, pasien dengan KAD harus diberikan diet nothing by
mouth, suplementasi oksigen, dan apabila terjadi kemungkinan infeksi,
diberikan antibiotik. Tujuan utama terapi pada satu jam pertama resusitasi
cairan dan pemeriksaan laboratorium adalah:
- Cairan: pemberian NaCl isotonis bolus, 20 mL/Kg sampai dengan 1 jam atau
kurang.
- Glukosa : Tidak diberikan, kecuali bila penurunan glukosa serum mencapai
250 300 mg/dL selama rehidrasi.
Tujuan berikutnya dilakukan pada jam-jam selanjutnya setelah
hiperglikemia, asidosis dan ketosis teratasi, yaitu monitoring, pemeriksaan
laboratorium ulang, stabilisasi glukosa darah pada level 150 - 250 mg/dL.

Monitoring
Perlu dilakukan observasi dan pencatatan per jam mengenai keadaan pasien,
mencakup medikasi oral dan intravena, cairan, hasil laboratorium, selama
periode penanganan. Monitoring yang dilakukan harus mencakup:2
Pengukuran nadi, respirasi, dan tekanan darah per jam.
Pengukuran input dan output cairan setiap jam (atau lebih sering). Apabila
terdapat gangguan derajat kesadaran, maka pemasangan kateterisasi urine
perlu dilakukan.
Pada KAD berat, monitoring EKG akan membantu menggambarkan profil
hiperkalemia atau hipokalemia melalui ekspresi gelombang T.
Glukosa darah kapiler harus dimonitor per jam (dapat dibandingkan
dengan glukosa darah vena, mengingat metode kapiler dapat menjadi
inakurat pada kasus asidosis atau perfusi perifer yang buruk)
Tes laboratorium: elektrolit, ureum, hematokrit, glukosa darah, dan gas
darah harus diulangi setiap 2 4 jam. Pada kasus berat, pemeriksaan
elektrolit dilakukan per jam. Peningkatan leukosit menunjukkan adanya
stress fisiologik dan bukan merupakan tanda infeksi.
Observasi status neurologik dilakukan per jam atau lebih sering, untuk
menentukan adanya tanda dan gejala edema serebri: Nyeri kepala, detak
jantung melambat, muntah berulang, peningkatan tekanan darah,
penurunan saturasi oksigen, perubahan status neurologik (gelisah, iritable,
mengantuk, atau lemah). Pemeriksaan spesifik neurologik dapat ditemukan
kelumpuhan saraf kranialis atau penurunan respons pupil.

Cairan dan Natrium


Osmolalitas cairan yang tinggi di dalam kompartemen ekstraselular akan
menyebabkan pergeseran gradien cairan dari intrasel ke ekstrasel. Beberapa
penelitian terhadap pasien dengan IDDM yang mendapat terapi insulin
menunjukkan defisit cairan sebanyak kurang lebih 5L bersamaan dengan
kehilangan 20% garam natrium dan kalium. Pada saat yang sama, cairan
ekstraselular mengalami penyusutan. Keadaan syok dengan kegagalan
hemodinamik jarang terjadi pada KAD. Pengukuran kadar natrium serum
bukan merupakan ukuran derajat penyusutan cairan ekstrasel terkait efek
dilusi cairan. Osmolalitas efektif (2[Na+ K+] + glukosa) pada saat yang sama
berkisar antara 300 350 mOsm/L. Peningkatan ureum nitrogen serum dan
hematokrit mungkin dapat memprediksi derajat penyusutan cairan
ekstraselular.2,3
Onset dehidrasi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus,
yang menyebabkan penurunan regulasi kadar glukosa dan keton yang tinggi
di dalam darah. Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa pemberian
cairan intravena saja akan menyebabkan penurunan kadar glukosa darah
dalam jumlah yang relatif besar akibat peningkatan laju filtrasi glomerulus.
Tujuan pemberian cairan dan natrium pada KAD, antara lain:6
Mengembalikan volume sirkulasi efektif.
Mengganti kehilangan natrium dan cairan intrasel maupun ekstrasel.
Mengembalikan laju filtrasi glomerulus dengan meningkatkan clearance
glukosa dan keton dari dalam darah.
Menghindari edema serebri.

Pada penelitian terhadap hewan dan manusia, terlihat bahwa ada


kemungkinan terjadi peningkatan tekanan intrakranial selama pemberian
cairan intravena. Pada hewan coba yang dibuat ke dalam kondisi KAD,
tampak bahwa pemberian cairan hipotonik, bila dibandingkan cairan
hipertonik, berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Pada
pemberian cairan isotonik atau yang mendekati isotonik dapat segera
mengatasi asidosis, bila diberikan sesuai standar. Namun, penggunaan
cairan isotonis 0,9% dalam jumlah besar juga memiliki risiko lain, yaitu
asidosis metabolik hiperkloremik.2

Belum terdapat data yang mendukung penggunaan koloid dibandingkan


kristaloid dalam tatalaksana KAD. Juga belum terdapat data mengenai
pemberian cairan yang lebih encer dari larutan NaCl 0,45%. Penggunaan
cairan ini, yang mengandung sejumlah besar cairan dan elektrolit, dapat
menyebabkan perubahan osmolaritas dengan cepat dan memicu
perpindahan cairan ke dalam kompartemen intraselular.2

Insulin Meskipun rehidrasi saja sudah cukup bermanfaat dalam menurunkan


konsentrasi glukosa darah, pemberian insulin juga tidak kalah penting dalam
normalisasi kadar glukosa darah dan mencegah proses lipolisis dan
ketogenesis. Meskipun diberikan dengan dosis dan cara yang berbeda
(subkutan, intramuskular, intravena), telah banyak bukti yang menunjukkan
pemberian insulin intravena dosis rendah merupakan standar terapi efektif.
Penelitian fisiologis menunjukkan bahwa insulin pada dosis 0,1 unit/Kg/jam,
yang akan mencapai kadar insulin plasma 100 200 unit/mL dalam 60
menit, cukup efektif. Kadar ini cukup potensial karena mampu mengimbangi
kemungkinan resistensi insulin dan yang paling penting menghambat
proses lipolisis dan ketogenesis, menekan produksi glukosa, dan
menstimulasi peningkatan ambilan glukosa di perifer. Pemulihan asidemia
bervariasi bergantung normalisasi kadar glukosa darah.2,3 Adapun pedoman
pemberian insulin pada anak dengan KAD, antara lain:5
Insulin tidak diberikan sampai hipokalemia terkoreksi.
Insulin diberikan 0,1 U/Kg secra bolus intravena, dilanjutkan dengan
pemberian 0,1 U/Kg/jam intravena secara konstan melalui jalur infus.
Untuk memberikan drip insulin, penambahan setiap unit regular insulin
setara dengan Kg berat badan pasien untuk setiap 100 mL salin. Pengaturan
kecepatan infus adalah 10 mL/jam, sehingga didapatkan dosis 0,1 U/Kg/jam.
Untuk menghindari keadaan hipoglikemia, dapat ditambahkan glukosa
secara intravena apabila glukosa plasma menurun hingga 250 300 mg/dL.

Kalium
Pada orang dewasa dengan KAD, terjadi penurunan kalium hingga 3 6
mmol/Kg. Namun, pada anak, data yang ada masih sedikit. Sebagian besar
kehilangan kalium dari intrasel adalah hipertonisitas, defisiensi insulin, dan
buffering ion hidrogen di dalam sel. Kadar kalium serum pada awal kejadian
dapat normal, meningkat, atau menurun. Hipokalemia yang terjadi berkaitan
dengan perjalanan penyakit yang lama, sedangkan hiperkalemia terjadi
akibat penurunan fungsi renal. Pemberian insulin dan koreksi asidosis akan
memfasilitasi kalium masuk ke intrasel sehingga kadar dalam serum
menurun.3,8

Adapun pedoman pemberian cairan dan kalium pada anak dengan KAD,
antara lain:3,7
Berikan larutan NaCl isotonik atau 0,45% dengan suplementasi kalium.
Penambahan kalium berupa kalium klorida, kalium fosfat, atau kalium
asetat.
Apabila kadar kalium serum berada pada nilai rendah yang
membahayakan, dipertimbangkan pemberian kalium oral (atau melalui NGT)
dalam formulasi cair. Apabila koreksi hipokalemia lebih cepat daripada
pemberian intravena, kecepatan pemberian harus dikurangi.
Apabila kadar kalium serum < 3,5, tambahkan 40 mEq/L kedalam cairan
intravena.
Apabila kadar kalium serum 3,5 5,0, tambahkan 30 mEq/L
Apabila kadar kalium serum 5,0 5,5, tambahkan 20 mEq/L
Apabila kadar kalium serum lebih besar dari 5,5, maka tidak perlu
dilakukan penambahan preparat kalium ke dalam cairan intravena.
Apabila kadar kalium serum tidak diketahui, evaluasi gambaran EKG untuk
menilai profil hiperkalemia pada EKG.
Fosfat
Penurunan kadar fosfat intrasel terjadi akibat diuresis osmotik. Pada dewasa,
penurunan berkisar antara 0,5 2,5 mmol/Kg, sedangkan pada anak belum
ada data yang lengkap. Penurunan kadar fosfat plasma setelah terapi
dimulai akan semakin memburuk dengan pemberian insulin, karena
sejumlah besar fosfat akan masuk ke kompartemen intraselular. Kadar fosfat
plasma yang rendah berhubungan dengan gangguan metabolik dalam skala
yang luas, yaitu penurunan kadar eritrosit 2,3-difosfogliserat dan
pengaruhnya terhadap oksigenasi jaringan. Penurunan kadar fosfat plasma
akan terjadi sampai beberapa hari setelah KAD mengalami resolusi. Namun,
beberapa penelitian prospektif menunjukkan tidak adanya keuntungan klinis
yang bermakna pada terapi penggantian fosfat. Meski demikian, dalam
upaya menghindari keadaan hipokalemia berat, kalium fosfat dapat
diberikan secara aman yang dikombinasikan dengan kalium klorida atau
asetat untuk menghindari hiperkloremia.2

Asidosis
Asidosis yang berat dapat diatasi dengan pemberian cairan dan insulin.
Pemberian insulin akan menghentikan sintesis asam keton dan
memungkinkan asam keton dimetabolisme. Metabolisme keto-anion akan
menghasilkan bikarbonat (HCO3-) dan akan mengoreksi asidemia secara
spontan. Selain itu, penanganan hipovolemia akan memperbaiki perfusi
jaringan dan fungsi renal yang menurun, sehingga akan meningkatkan
ekskresi asam organik dan mencegah asidosis laktat.2

Pada KAD, terjadi peningkatan anion gap. Anion utama dalam hal ini
adalah ?-hidroksibutirat dan asetoasetat.
Anion gap = [Na+] [Cl-] + [HCO3-]
Nilai Normal: 12 2 mmol/L

Indikasi pemberian bikarbonat pada KAD masih belum jelas. Beberapa


penelitian menelaah pemberian natrium bikarbonat kepada sejumlah anak
dan dewasa, namun tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.2

Sebaliknya, terdapat beberapa alasan untuk tidak menggunakan bikarbonat.


Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa terapi bikarbonat dapat
menyebabkan asidosis SSP paradoksikal dan koreksi asidosis yang terlalu
cepat dengan bikarbonat akan menghasilkan keadaan hipokalemia dan
meningkatkan penimbunan natrium sehingga terjadi hipertonisitas serum.
Selain itu, terapi alkali dapat meningkatkan produksi badan keton oleh
hepar, sehingga memperlambat pemulihan keadaan ketosis.2,6

Namun, pada pasien tertentu dan pada keadaan tertentu, pemberian terapi
alkali justru memberikan keuntungan, misalnya pada keadaan asidemia
sangat berat (pH < 6,9) yang disertai dengan penurunan kontraktilitas
jantung dan vasodilatasi perifer, maka pemberian terapi alkali ditujukan
untuk menangani gangguan perfusi dan hiperkalemia yang mengancam
jiwa.6

Edema Serebri
Terapi edema serebri harus dilakukan sesegera mungkin setelah gejala dan
tanda muncul. Kecepatan pemberian cairan harus dibatasi dan diturunkan.
Meskipun manitol menunjukkan efek yang menguntungkan pada banyak
kasus, namun sering kali justru menimbulkan efek merusak bila pemberian
tidak tepat. Pemberian manitol harus dilakukan sesuai keadaan dan setiap
keterlambatan pemberian akan mengurangi efektivitas. Manitol intravena
diberikan 0,25 1,0 g/Kg selama 20 menit pada pasien dengan tanda edema
serebri sebelum terjadi kegagalan respirasi. Pemberian ulang dilakukan
setelah 2 jam apabila tidak terdapat respons positif setelah pemberian awal.
Saline hipertonik (3%), sebanyak 5 10 mL/Kg selama 30 menit dapat
digunakan sebagai pengganti manitol. Intubasi dan ventilasi mungkin perlu
dilakukan sesuai kondisi. Seringkali, hiperventilasi yang ekstrem terkait
dengan edema serebri yang terkait dengan KAD.2,3,7

2.6 Pencegahan

Sebelum Diagnosis
Diagnosis awal mencakup skrining genetik dan imunologi terhadap anak
dengan risiko tinggi KAD terkait onset diabetes mellitus. Kesadaran tinggi
terhadap individu dengan riwayat keluarga dengan IDDM juga akan
membantu menurunkan risiko KAD. Berbagai strategi, seperti publikasi
kesehatan oleh dokter dan sekolah pada anak-anak akan menurunkan
komplikasi KAD dari 78% hingga hampir 0%. Peningkatan kesadaran dan
pemahaman masyarakat mengenai tanda dan gejala diabetes harus
dilakukan agar diagnosis dini menjadi lebih mudah dan misdiagnosis dapat
dicegah.2,3

Sesudah Diagnosis
Pada pasien dengan terapi insulin kontinu, episode KAD dapat diturunkan
dengan edukasi algoritmik mengenai diabetes mellitus. Setiap gejala yang
merujuk pada episode KAD harus segera ditangani. Pada kasus rekurensi
KAD yang multiple, selain dengan pemberian insulin berkala, juga diberikan
edukasi yang baik, evaluasi psikososial, dan status kesehatan fisik ke pusat
pelayanan kesehatan.2

DAFTAR PUSTAKA
1. Syahputra, Muhammad. Diabetik Ketoacidosis. Bagian Biokimia Fakultas
kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan: 2003.hal 1-14
2. Dunger DB, Sperling MA, Acerini CL, et al. European Society for Paediatric
Endocrinology / Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society Consensus
Statement on Diabetic Ketoacidosis in Children and Adolescents. Pediatrics
2004;113:133-40.
3. Young GM. Pediatrics Diabetic Ketoacidosis. eMedicine Specialties, 2008.
(Diakses dari website www.eMedicine.com, pada tanggal 28 Juni 2009).
4. Felner EI, White PC. Improving management of diabetic ketoacidosis in
children. Pediatrics 2001;108:735-40.
5. Lamb WH. Diabetic Ketoacidosis. eMedicine Specialties, 2008. (Diakses
dari website www.eMedicine.com, pada tanggal 28 Juni 2009).
6. Sperling MA. Diabetes Mellitus in Children dalam Nelson Textbook of
Pediatrics, edisi ke-16. editor: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. WB
Saunders Company, 2000.hal 1770-1777
7. Wolfsdore J, Glaser N, Sperling MA. Diabetic ketoacidosis in infant,
children, and adolescent: A consensus statement from American Diabetes
Association. Diabetes Care 2006;29(5):1050-9.
8. Harris GD, Fiordalisi I. Physiologic management of diabetic ketoacidemia: A
5-year prospective pediatric experience in 231 episodes. Arch Pediatr
Adolesc Med 1994;148:1046-52.

Anda mungkin juga menyukai