DOSEN PENGAMPU:
I.G.N. Jemmy Anton Prasetia, S. Farm., M.Si.,Apt.
OLEH :
GOLONGAN 2/KELOMPOK 5
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
BAB I
PREFORMULASI
1.1 Tujuan
1. Mampu melakukan tahap pereformulasi sediaan suppositoria parasetamol
2. Mengetahui formula standar sediaan supositoria parasetamol
3. Mengetahui tahapan-tahapan dalam pembuatan sediaan parasetamol
4. Dapat membuat sediaan non steril supositoria parasetamol skala
laboratorium sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan
1.2.2 Farmakokinetika
Parasetamol siap diabsorpsi dari saluran gastrointestinal dengan konsentrasi
puncak plasma mencapai sekitar 10-60 menit dengan dosis per oral. Parasetamol
didistribusikan ke hampir semua jaringan tubuh, melewati plasenta, dan mengalir
melalui air susu. Ikatan protein plasma dapat diabaikan pada konsentrasi
terapeutik normal, namun dapat meningkat dengan peningkatan
konsentrasi.Waktu paruh eliminasi dari parasetamol bervariasi antara 1 hingga 3
jam.Parasetamol dimetabolisme dalam hati dan diekskresi melalui urin sebagai
1
glukoronide dan sulfat konjugasi. Kurang dari 5% diekskresi sebagai parasetamol.
Eliminasi terjadi kira-kira 1-4 jam (Reynolds, 1989).
Bioavailabilitas parasetamol berkisar pada rentang 7090%. Waktu paruh
plasma parasetamol pada dewasa adalah sekitar 13 jam. Sedangkan pada
neonatus, waktu paruh parasetamol sekitar 5 jam. Volume distribusi parasetamol
adalah 1 L/kg dengan klirens sekitar 5 mL/menit/kg. Jumlah parasetamol yang
membentuk ikatan dengan protein plasma antara 8-40 %.
Suatu metabolit terhidroksilasi (N-acetyl-p-benzoquinoneimine), selalu
diproduksi dengan jumlah yang sedikit oleh isoenzim sitokrom P450 (terutama
CYP2E1 dan CYP3A4) didalam hati dan ginjal. Metabolit ini selalu
terdetoksifikasi dengan konjugasi dengan glutasion, tetapi dapat terjadi akumulasi
diikuti dengan overdosis parasetamol dan menyebabkan kerusakan jaringan
(Sweetman, 2002).
Parasetamol yang diberikan per rektal memiliki kecepatan absorpsi yang lebih
lambat dibandingkan bila diberikan secara per oral.Parasetamol didistribusikan ke
hampir sebagian besar jaringan tubuh. Parasetamol dapat menembus plasenta dan
terekskresi dalam air susu. Parasetamol dimetabolisme terutama di liver dan
diekskresikan melalui urin terutama sebagai konjugat glukoronid dan
sulfatnya.Kurang dari 5% diekskresikan dalam bentuk tidak berubah (Reynolds,
1989).
2
1.2.4 Kontra Indikasi
Hipersensitifitas terhadap paracetamol dan komponen formulasi lainnya.
Penderita dengan gangguan fungsi hati yang berat, gangguan fungsi ginjal,
diabetes mellitus dan penderita dengan riwayat hipersensitivitas pada parasetamol
(Lacyet al.,2004).
1.2.6 Peringatan
Jika terjadi sensitivitas, pemakaian obat harus dihentikan.Tidak dianjurkan
untuk batuk berdahak dan keadaan-keadaan dimana terjadi gangguan pernafasan,
misalnya asma bronkial.Hati-hati penggunaan obat ini pada penderita gangguan
fungsi ginjal.Bila setelah 5 hari nyeri tidak menghilang, atau demam tidak
menurun setelah 2 hari, segera hubungi unit pelayanan kesehatan.Penggunaan
obat ini pada penderita yang mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan resiko
kerusakan hati (Tjay dan Rahardja,2007).
3
1.3 Tinjauan Fisikokimia Zat Aktif dan Bahan Tambahan
1.3.1 Bahan Aktif
a. Parasetamol
4
- Peningkatan suhu dapat mempercepat degradasi
obat
- Hidrolisis dapat terjadi pada keadaan asam ataupun
basa
- Hidrolisis minimum terjadi pada rentang pH antar
5-7
(Depkes RI, 1979)
1.3.2 Bahan Tambahan
a. Polietilen Glikol 400 (PEG400)/ Macrogolum 400/ Makrogol 400
Rumus molekul : H(O-CH2-CH2)nOH ; harga n antara 8,2 dan 9,1
Pemerian : cairan kental jernih, tidak berwarna atau praktis
tidak berwarna; bau khas lemah; agak
higroskopik.
Kelarutan : larut dalam air, dalam etanol,dalam aseton, dalam
glikol lain, dan dalam hidrokarbon aromatik;
praktis tidak larut dalam eter dan dalam
hidrokarbon alifatik.
Berat molekul : 380 sampai 420
Bobot jenis : 1,110 sampai 1,140
Suhu beku : antara 4 dan 8
Kekentalan : 6,8 cS sampai 8,0 cS pada suhu 99 dinyatakan
sebagai kekentalan kinematik.
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat
Penguunaan : zat tambahan (basis)
(Depkes RI, 1979)
.
b. Poloetilen Glikol 4000 (PEG 4000)/ Macrogalum 4000/ Makrogol 4000
Rumus molekul : H(O-CH2-CH2)nOH ; harga n antara 68 dan 84
Pemerian : serbuk licin putih atau potongan putih kuning
gading; praktis tidak berbau; tidak berasa.
5
Kelarutan
Berat molekul
Titik leleh
Kekentalan : mudah larut dalam air, dalam etanol (95%) P dan
dalam kloroform P; praktis tidak larut dalam eter
Penyimpanan P.
6
dewasa, bentuknya kira-kira seperti pensil.Suppositoria untuk vagina yang juga
disebut pessarium biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai
dengan kompendik resmi beratnya 5 gram, apabila basisnya oleum
cacao.Suppositoria untuk saluran urin yang juga disebut bougie bentuknya
ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan ke dalam saluran urin pria atau
wanita.Suppositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang
140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan lainnya.Apabila
basisnya dari oleum cacao maka beratnya 4 gram.Suppositoria untuk saluran urin
wanita panjang dan beratnya dari ukuran untuk pria, panjang 70 mm dan
beratnya 2 gram dan basisnya oleum cacao (Ansel, 2008).
1.4.2 Dosis
Tabel 1.1 Dosis Suppositoria Parasetamol
Umur Dosis
1-5 tahun 125-250 mg tiap 4-6 jam
6-12 tahun 250 mg tiap 4 jam
6-12 tahun 250-500 mg tiap 4-6 jam
> 12 tahun 0,5-1 gram tiap 4-6 jam
7
BAB II
FORMULASI
2.1 Permasalahan
Adapun permasalahn dari pembuatan sediaan suppositoria dengan zat aktif
parasetamol dan basis PEG yaitu:
1. Parasetamol berbentuk serbuk hablur (Depkes RI, 1995) sehingga akan
mempengaruhi homogenitasnya dalam sediaan
2. Basis PEG menunjukkan duration of action (mulai memberi efek) lebih
lama jika dibandingkan dengan basis lemak coklat (Anief, 2010).
3. PEG 400 berbentuk cair memiliki titik lebur yang rendah (Roweet al.,
2009)
4. PEG 400 berbentuk cair sedangkan PEG 4000 berbentuk padat (Depkes
RI, 1979) sehingga terdapat perlakuan tertentu dalam pemcampuran dua
fase padat dan cair.
5. Suppositoria dengan basis PEG dapat menyebabkan rangsangan pada
membrane mukosa setelah dipakai (Ansel, 2008).
6. Pada saat penimbangan, kemungkinan terjadi kehilangan bobot bahan dan
kemungkinan terjadi penciutan suppositoria pada cetakan saat proses
pencetakan.
7. Pada saat pencetakan suppositoria mudah melekat pada cetakan (Anief,
2010)
8
3. PEG 400 dikombinasikan dengan PEG 4000 memiliki bentuk padat yang
memiliki titik lebur lebih tinggi untuk meningkatkan titik leburnya.
4. PEG 4000 dilebur pada suhu 500C-580C(Rowe,et al.,2009) terlebih
dahulu, kemudian ditambahkan PEG 400 yang memiliki titik lebur lebih
rendah.
5. Suppositoria dengan basis PEG harus mengandung sedikitnya 20% air
untuk mencegah rangsangan membran mukosa (Ansel, 2008). Pada etiket
sediaan suppositoria harus diberi petunjuk basahi dengan air sebelum
digunakan, meskipun dapat disimpan tanpa pendinginan, suppositoria ini
harus dikemas dalam wadah tertutup rapat (Depkes RI, 1995).
6. Ditambahkan jumlah suppositoria yang akan dibuat sebanyak 2 buah
suppositoria.
7. Cetakan suppositoria dilapisi terlebih dahulu dengan paraffin cair (Anief,
2010)
b. Formula Standar 2
R/ Parasetamol 250 mg
PEG 1500 75%
PEG 4000 25%
Lemak coklat q.s.
Suppocire q.s.
Tween 40 0,5%
Span 80 2%
(Margaret et al., 2012).
9
c. Formula Standar 3
R/ Parasetamol 100 mg
PEG 4000 0,659
Tween 80 0,011
PEG 400 0,22
(Niraj et al., 2013).
d. Formula Standar 4
R/ Parasetamol 500 mg
PEG 4000 70%
PEG 400 30%
(Mufrod dkk., 1989)
10
BAB III
PRODUKSI
3.1.2 Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam pembutan suppositoria
parasetamol adalah sebagai berikut:
a. Parasetamol
b. PEG 4000
c. PEG 400
11
Ditanya:
Jawab
Penimbangan 1
N Bahan Jumlah Fungsi batch
(14 supp) (mg)
o1. Parasetam 250 Zat aktif 3.500
ol mg
2. PEG 4000 70 % Basis 15.925
3. PEG 400 30 % Basis 6.825
12
3.3. Cara Kerja
3.3.1 Prosedur Kerja Pembuatan Suppositoria 1 Batch
13
3.3.2 Prosedur Kerja Evaluasi
a. Uji Organoleptis
14
BAB IV
PENGEMASAN
4.1. Kemasan Primer
Pembungkus Aluminium foil
4.2. Kemasan Sekunder
15
4.3. Etiket
4.4. Brosur
16
BAB V
HASIL PENGAMATAN
5.1 Penimbangan
Tabel 5.1 Penimbangan
Persentase Jumlah total Penimbangan Tanda
No Nama Bahan Fungsi
(%) (g) (g) tangan
17
(x xrata rata)2 = 0,000054
( x xrata-rata )
Standar deviasi = n-1
, 5
=
= 0,0051
tandar deviasi 51
RSD = obot rata-rata suppositoria
1 = , 51
1 =,1
c. % Penyimpangan
Bobot
xrata-rata %
Suppositoria suppositoria Selisih bobot
(gram) Penyimpangan
(gram)
1 2,346 2,351 0,005 0,21%
2 2,353 2,351 0,002 0,08%
3 2,356 2,351 0,005 0,21%
Suppositoria Fisik
I Internal : bagian dalam tidak terdapat rongga
18
II Internal : terdapat sedikit rongga pada bagian ekor
suppositoria
III Internal : bagian dalam tidak terdapat rongga
19
BAB VI
PEMBAHASAN
20
Sediaan supositoria dibuat sebanyak 1 batch, diaman setiap batch berisi 3
buah suppositoria. Sediaan suppositoria parasetamol ini ditujukan untuk pasien
dengan umur 1-5 tahun dengan dosis 250 mg tiap 6 jam, dan umur 6-12 tahun
dengan dosis 250 mg tiap 4 jam.
Pada formulasi supositoria terdapat dua macam basis yang umum
digunakan dalam formulasi supositoria, yaitu basis berlemak/berminyak dan basis
yang larut dalam air. Pada laboratorium tersedia basis berupa oleum cacao (basis
berminyak) dan polietilen glikol (basis yang larut dalam air). Adapun formula
yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut::
R/ Parasetamol 250 mg
PEG 4000 70%
PEG 400 30%
21
karena titik leburnya yang tinggi, serta kepadatannya pun memungkinkan untuk
dimasukkan pada waktu pemakaian secara perlahan-lahan tanpa akan meleleh
pada jari tangan dibandingakn dengan basis oleum cacao yang akan meleleh pada
suhu tubuh. Selain memiliki kelebihan, PEG juga memiliki beberapa kelemahan
yaitu, karena kemampuannya yang bukan meleleh pada suhu tubuh melainkan
melarut pada cairan rektum sehingga dibutuhkan waktu yang lama untuk
absorpsinya didalam cairan rektum karena dibutuhkan waktu untuk PEG melarut
sempurna terlebih dahulu sebelum melepaskan zat aktif. Suppositoria dengan
basis PEG juga akan menimbulakn rasa menyengat pada rektum setelah
pemakaian karena PEG menarik cairan di dalam rektum sehingga sebelum
pemakaian suppositoria harus dicelupkan kedalam air terlebih dahulu.
Suppositoria polietilenglikol tidak melebur tidak melebur pada suhu tubuh, akan
tetapi melarut secara perlahan-lahan dalam cairan tubuh. Oleh sebab itu, dalam
mendesain formulasi suppositoria dengan polietilenglikol bisa saja massa
suppositoria mempunyai titik lebur yang lebih tinggi dari suhu badan. Sifat ini
akan memungkinkan pelepasan obat dari suppositoria secara lebih lambat dari
suppositoria yang diinsertasi (Agoes, 2012).
Adapun permasalah yang terdapat dalam formulasi ini, yaitu: (1)
Parasetamol berbentuk serbuk hablur sehingga akan mempengaruhi
homogenitasnya dalam sediaan, dalam hal ini sebelum ditambahkan parasetamol
digerus hingga halus terlebih dahulu; (2) Basis PEG menunjukkan duration of
action (mulai memberi efek) lebih lama jika dibandingkan dengan basis lemak
coklat sehinnga Basis PEG harus benar-benar larut sehingga zat aktif dapat
diabsorpsi .Pada etiket sediaan sediaan suppositoria harus diberi petunjuk basahi
dengan air sebelum digunakan; (3) PEG 400 berbentuk cair memiliki titik lebur
yang rendah maka PEG 400 dikombinasikan dengan PEG 4000 memiliki bentuk
padat yang memiliki titik lebur lebih tinggi untuk meningkatkan titik leburnya;
(4) PEG 400 berbentuk cair sedangkan PEG 4000 berbentuk padat sehingga
terdapat perlakuan tertentu dalam pemcampuran dua fase padat dan cair yaitu
dengan cara PEG 4000 dilebur pada suhu 50C-58C terlebih dahulu, kemudian
ditambahkan PEG 400 yang memiliki titik lebur lebih rendah; (5) Suppositoria
22
dengan basis PEG dapat menyebabkan rangsangan pada membran mukosa setelah
dipakai maka pada etiket sediaan suppositoria harus diberi petunjuk basahi
dengan air sebelum digunakan; (6) Pada saat penimbangan, kemungkinan terjadi
kehilangan bobot bahan dan kemungkinan terjadi penciutan suppositoria pada
cetakan saat proses pencetakan sehingga perlu ditambahkan jumlah suppositoria
yang akan dibuat sebanyak 2 buah suppositoria; (7) Pada saat pencetakan
suppositoria mudah melekat pada cetakan sehinnga cetakan suppositoria dilapisi
terlebih daulu dengan paraffin cair.
Pada praktikum kali ini metode yang digunakan untuk membuat
suppositoria adalah metode cetak tuang. Metode ini sering digunakan pada
pembuatan suppositoria baik skala kecil maupun skala industri. Cetakan yang
digunakan biasanya dipisah dalam sekat-sekat, umumnya dapat dibuka secara
membujur. Pada waktu leburan dituangkan cetakan ditutup dan dapat dibuka lagi
saat akan mengeluarkan suppositoria yang telah dingin (Ansel, 2008).
Dari formula yang telah ditentukan, dibuat 14 suupositoria. Pembuatan
sediaan suppositoria diawali dengan menentukan massa PEG yang volumenya
setara dengan 1 gram parasetamol yang biasanya disebut dengan bilangan
pengganti. Bilangan pengganti adalah bilangan yang menyatakan jumlah basis
yang digantikan oleh zat aktif, dikarenakan perbedaan berat jenis antara basis dan
zat aktif. Bilangan pengganti dari parasetamol untuk PEG yang digunakan disini
adalah 1,5. Bilangan pengganti ini berfungsi dalam mengatasi masalah apabila
PEG yang akan menyusut pada saat dicetak. Dalam menentukan bilangan
pengganti sebaiknya dilakukan kalibrasi cetakan terlebih dahulu, karena cetakan
yang tersedia secara komersial dapat menghasilkan individual atau dalam jumlah
besar dengan berbagai bentuk dan ukuran. Setiap cetakan mampu menampung
volume material dalam tertentu pada setiap bukaannya. Bahan aktif suatu obat
juga dapat mengganggu bobot jenis basis suppositoria sehingga berat dari
suppositoria yang dihasilkan berbeda pula (Agoes, 2012). Namun pada tahap ini
kami tidak melakukan kalibrasi cetakan suppositoria. Pada tahap pertama
pembuatan suppositoria, basis PEG 4000 dilebur dalam cawan porselen diatas
penangas air pada suhu 50C-58C karena basis PEG 4000 memiliki titik lebur
23
berkisar antara 50C-58C (Rowe
24
Hal ini bertujuan untuk mencegah pendinginan tiba-tiba yang dapat membuat
suppositoria menjadi rapuh (Anief, 2010).
Dari hasil leburan suppositoria hanya diperoleh sebanyak 9 suppositoria
dalam cetakan dari formula yang ditentukan yaitu sebanyak 14 suppositoria. Hal
ini mungkin disebabkan karena tidak dilakukannya kalibrasi cetakan sebelum
pembuatan suppositoria dan kesalahan dalam perhitungan bilangan pengganti.
Diamana kalibrasi ditujukan untuk mengetahui bobot dari suppositoria yang
terbentuk dari cetakan. Hal tersebut dilakukan untuk menyesuaikan jumlah bahan-
bahan dengan cetakan yang tidak diketahui volumenya.
Selanjutnya suppositoria yang telah membeku dikeluarkan dari cetakan
dan dibungkus dengan aluminium foil. Pengemasan dengan aluminium foil
diusahakan sesuai dengan bentuk suppositoria karena bila selama penyimpanan
suppositoria sedikit meleleh maka bentuknya akan menyesuaikan dengan bentuk
wadahnya. Suppositoria disimpan dalam tempat dingin, kering dan terlindung dari
cahaya (Lachman et al, 2008).
Pada akhir praktikum dilakukan evaluasi secara fisik yang meliputi uji
keseragaman bobot, uji organoleptik, uji kerapatan dan uji kisaran leleh
suppositoria. Pada uji keseragaman bobot, diperoleh hasil bahwa bobot rata-rata
supositoria yang dihasilkan adalah (2,351 + 0,051) gram. Standar deviasi yang
kecil ini mencerminkan bahwa variasi bobot supositoria tidak terlalu besar. Dalam
British Pharmacopeia (1980) dinyatakan bahwa tidak boleh lebih dari 2
suppositoria yang memiliki penyimpangan bobot lebih dari 5% dan tidak ada satu
pun suppositoria yang memiliki penyimpangan bobot lebih dari 10%. Oleh karena
itu, suppositoria yang dibuat pada praktikum ini telah memenuhi syarat
keseragaman bobot yaitu pada masing-masing suppositoria yang dilakukan uji
hanya memiliki penyimpangan sebesar 0,21%, 0,08%, dan 0,21%.
Dilakukan juga uji organoleptis seperti bau, warna dan visualnya, hasil
yang didapat adalah tidak berbau karena basis PEG merupakan basis yang tidak
berbau. Suppositoria yang dihasilkan memiliki warna putih bening. Selain itu
secara visual bentuknya adalah torpedo untuk mempermudah dalam
pemakaiannya, dan permukaanya halus dan rata. Sehinnga dapat dismpulkan
25
Suppositoria yang diperoleh dari segi visual memiliki hais yang baik. Kemudian
dilakukan uji kerapatan dari suppositoria, dimana hasilnya adalah 2 sediaan yang
dibuat tidak terdapat rongga pada bagian dalam sediaan yang dibuat namun pada 1
sediaan terdapat sedikit rongga pada bagian ekor suppositoria. Rongga pada
bagian dalam suppositoria dapat mempengaruhi keseragaman bobotnya yang
berpengaruh terhadap keseragaman dosisnya, sehingga akan mempengaruhi efek
farmakologinya. Pembentukan rongga ini dapat disebabkan oleh adanya udara
yang terjebak didalam sediaan karena pada proses penuangan leburan basis ke
cetakan dilakukan terhenti-henti pada satu lubang.
Uji waktu leleh dilakukan menggunakan media air yang bersuhu 370C
yang mewakili suhu tubuh manusia. Pada menit ke-11 seluruh suppositoria mulai
melarut dan melarut sempurna pada menit ke-25. Menurut pustaka basis PEG
memiliki waktu larut yang lama di dalam tubuh, waktu berkisar dar 13-18 menit
(Lachman et al., 2008). ). Perbedaan ini terjadi disebabkan karena basis yang
digunakan merupakan kombinasi basis PEG 4000 dan PEG 400 dimana dengan
perbandingan (70;30) dimana konsentarasi basis padatan lebih besar sehingga
memiliki waktu larut yang lebih lama. Alat untuk menguji kisaran leleh juga
hanya menggunakan penangas air dan thermometer, sehingga faktor
ketidaktepatan suhu dapat mempengaruhi waktu leleh dari suppositoria.
26
BAB VII
KESIMPULAN
7.1 Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang
umumnya diberikan melalui rektal, vaginal, atau uretra.Umumnya meleleh,
melunak, atau melarut pada suhu tubuh
7.2 Formula sediaan suppositoria parasetamol yang digunakan adalah
R/ Parasetamol 250 mg
PEG 4000 70%
PEG 400 30%
7.3 Prinsip dari pembuatan suppositoria adalah dengan peleburan, pencampuran,
pencetakan dan pendinginan. Peleburan dilakukan dengan meleburkan bahan
yang memiliki titik lebur tinggi ke titik lebur rendah ataupun sebaliknya.
Kemudian dicampurkan dengan zat aktif, dan dicetak ketika masih dalam
keadaan panas. Suppo yang telah dicetak, didinginkan untuk mendapatkan
massa suppo yang padat.
7.4 Sediaan suppositoria parasetamol yang berhasil dibuat untuk skala
laboratorium adalah sebanyak 1 batch yang berisi 3 buah suppositoria.
Evaluasi sediaan suppositoria pada praktikum ini meliputi uji keseragaman
bobot, uji organolpetis, uji kerapatan dan uji kisaran leleh.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
Niraj, S. Pandey, H. M., Varshney, M.M. Gupta. 2013 Effect of Adjuvants on the
Release Pattern of Suppositories Containing Paracetamol. Research
Journalof Chemical and Enviromental Sciences Volume Issue 1; 19-25
Reynolds, J.E.F. 1989. Martindale The Extra Pharmacopoeia, Twenty-ninth
edition. London: Pharmaceutical Press.
Rowe, C. R., P. J. Sheskey, M.E. Quinn. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients 6th Edition. Amerika: Pharmaceutical Press.
Sweetman, Sean C. 2002. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-Third
Edition. London: Pharmaceutical Press.
Syamsuni.2007. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC
Tjay, T. H. dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya.Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
29
LAMPIRAN GAMBAR
30
Gambar 5. Dalam menit ke-25
suppositoria mulai akan
31