Anda di halaman 1dari 12

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Pityriasis alba merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa latin,
yang berarti sisik atau skuama (pityriasis) dan putih (alba). 9,10 Pityriasis alba
pertama kali dijelaskan oleh Fox, diberi nama oleh OFarrell, dan hubungannya
dengan dermatitis atopik pertama kali dicetuskan oleh Watkins. 11 Pityriasis alba
merupakan suatu penyakit yang tidak menular dengan ciri yang paling mencolok
berupa hipopigmentasi.1

2.2. Epidemiologi
Pityriasis alba merupakan penyakit yang umum terjadi, pada populasi
umum diperkirakan prevalensinya sebesar 1%, namun pada pasien yang memiliki
riwayat atopi prevalensinya sebesar 32%.11 Terdapat laporan kejadian sebesar
lebih dari 5% pada anak-anak di Amerika Serikat, namun epidemiologinya belum
pernah dijelaskan secara pasti. Pityriasis alba tidak memiliki kecenderungan
timbul pada ras tertentu, walaupun penyakit ini memang terlihat lebih jelas pada
penderita berkulit gelap karena nampak kontras.1,5,6,7,9
Penyakit ini tidak memiliki predileksi jenis kelamin tertentu, walaupun
pernah tercatat penderita laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan.
Pityriasis alba lebih sering dijumpai pada penderita berusia kurang dari 20 tahun,
terutama pada anak dan remaja yang usianya berkisar antara 3-16 tahun.1,9,10
Berdasarkan penelitian mengenai pervalensi penyakit kulit terhadap anak-
anak sekolah dasar di Baghdad, ditemukan bahwa persentase penyakit kulit yang
tidak menular sebesar 33,7% yang di antaranya termasuk pityriasis alba.12
Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Ibu dan Anak di Basrah menunjukkan
persentase pityriasis alba sebesar 11,2 % dari seluruh pasien dengan penyakit
kulit, dan merupakan penyakit kulit terbanyak untuk rentang usia 6-14 tahun. 13
Sedangkan penelitian yang dilakukan di daerah Karachi, Pakistan, menunjukkan
persentase kecil (6,1%) dari pityriasis alba dibandingkan penyakit kulit lainnya
pada pasien di Rumah Sakit Pendidikan Hamdard. 14 Pada penelitian terhadap

1
imigran Amerika Latin di Spanyol, pityriasis alba merupakan penyakit kulit
dengan gejala klinis terbesar (3,3%) dari kelompok eczema (18,2%) yang lebih
banyak mengenai pasien kulit hitam (24%) dibandingkan kulit putih (13,5%) dan
kulit coklat Indian Amerika (19,7%).15

2.3. Etiologi dan Patogenesis


Etiologi dan patogenesis pityriasis alba masih belum jelas.3 Tidak ada agen
definitif yang dapat dijelaskan untuk penyakit ini.4,9 Tidak terdapat data mengenai
peran faktor genetik dan riwayat keluarga yang berhubungan dengan penyakit ini. 4
Hipopigmentasi yang terjadi diakibatkan oleh berkurangnya aktivitas melanosit
dan berkurangnya jumlah serta ukuran melanosom. 1,10 Penyakit ini pada umumnya
digolongkan sebagai manifestasi dari dermatitis atopik ringan, namun individu
yang atopik belum tentu menderita pityriasis alba.1 Dari penelitian terhadap anak-
anak di Thailand mengenai kriteria diagnosis dermatitis atopik, sebanyak 28,7%
dari kelompok penderita dermatitis atopik dan 15,5% dari kelompok kontrol
menunjukkan gejala pityriasis alba.8 Sementara pada penelitian terhadap penderita
pityriasis alba di India, latar belakang atopi terdeteksi dalam 85,5% kasus.6
Penyakit ini juga dapat digolongkan sebagai kelainan kulit yang timbul
setelah inflamasi, diduga karena inflamasi dapat menyebabkan gangguan sel
pigmen. Bakteri Propionibacterium acnes yang hidup dalam folikel rambut,
dianggap mampu memproduksi faktor depigmentasi secara teoritis. Pada anak-
anak dengan jerawat komedo atau popular, Propionibacterium acnes
memproduksi sejumlah faktor virulen bioaktif yang merupakan agen inflamasi
dan imunomodulatornya. Sejumlah enzim ekstraseluler dan metabolit secara
langsung dapat merusak jaringan host, termasuk melanosit.3,10
Beberapa sumber menggolongkannya sebagai kelainan pigmentasi kulit.3,5
Hipopigmentasi diduga secara sekunder dapat disebabkan oleh pityriacitrin, suatu
substansi yang diproduksi oleh ragi Malassezia, yang berperan sebagai tabir surya
alami.9 Hipoigmentasi juga dapat dijelaskan sebagai kerusakan terhadap melanosit
dan inhibisi dari tyrosinase by decarboxylic acid, azelic acid (inhibitor kompetitif
dari tyrosinase), dan atau metabolit yang diturunkan tryptophanyang diproduksi
oleh ragi normal Malassezia furfur,yang merupakan bagia dari permukaan kulit
normal. Jadi, beberapa pasien dengan pityriasis alba mengalami sensitivitas

2
terhadap jamur ini. Berbeda dengan tinea versicolor, organisme ini tidak
berkembang dalam jumlah banyak pada pityriasis alba. Jamur patogen juga tidak
terlibat dalam kondisi ini.10
Pajanan matahari yang berlebihan dan tanpa proteksi diduga menyebabkan
penyakit ini jelas terlihat, meskipun penelitian fotobiologik untuk
membuktikannya belum dilakukan. Fakta bahwa radiasi ultraviolet dapat memicu
kekeringan kulit mungkin dapat menjelaskan hubungan dengan penyakit ini.4
Melanosit diduga menjadi lebih sensitif pada pasien dengan penyakit ini.10
Berdasarkan musim, hpopigmentasi pityriasis alba lebih jelas terlihat saat musim
panas karena proses tanning pada kulit sekitarnya yang normal membuatnya
menjadi kontras. Sedangkan pada musim dingin, kulit menjadi kering dan skuama
jelas terlihat.1,3,5,6 Pada penelitian anak-anak di Turki yang menderita pityriasis
alba, sebagian besar (45,9%) mengalami eksaserbasi saat musim dingin. 4
Sedangkan pada penelitian anak-anak di India, ptyriasis alba banyak terjadi pada
musim panas dan gugur.16
Kebiasaan hidup bersih berkorelasi kuat terhadap perkembangan pityriasis
alba. Peningkatan frekuensi mandi dan penggunaan air panas untuk mandi
dihubungkan dengan xeroderma atau kekeringan kulit yang diduga memicu
timbulnya penyakit ini.3,4 Selain itu, seringnya mandi dapat mempengaruhi
hilangnya daya tahan epidermis dan substansi pelindung lainnya dari permukaan
kulit.10 Hal lain yang dapat mencetuskan pityriasis alba adalah gigitan serangga,
iritasi mekanis dari scrubbing, atau bentuk lain dari eczematous dermatitis.7
Status nutrisi juga dihubungkan dengan timbulnya penyakit ini. Dugaan
defisiensi multivitamin terdapat pada penelitian anak-anak cacat di Mesir, dimana
pityriasis alba, juga bersama xerosis, angular stomatitis dan follicular
hyperkeratosis (keratosis pilaris) ditemukan dalam jumlah yang tinggi, Hal ini
mungkin disebabkan kelalaian para staf dalam pemberian makanan ataupun
menunjukkan status sosial ekonomi pasien yang dibawah rata-rata.17 Anemia juga
dilaporkan pada lebih dari 16% pasien, namun relevansinya belum diketahui.

3
2.4. Manifestasi Klinis
Lesi individual berbentuk makula atau patch yang bulat, oval, ataupun
irregular, yang berwarna merah, pink, atau warna kulit, dan ditutupi lapisan sisik
tipis. Batasnya dapat tegas, tidak tegas, maupun meninggi. 1,2,3,4 Pada awalnya,
eritema dapat mencolok dan mungkin terdapat krusta serous minimal.
Selanjutnya, eritema reda sempurna, dan pada stadium dimana lesi umumnya
terlihat oleh dokter, lesi hanya menunjukkan hipopigmentasi dan adanya sisik
tipis. Hal ini yang pada umumnya mendorong pasien untuk berobat.
Hipopigmentasi lebih jelas terlihat pada kulit berwarna gelap, terutama setelah
berjemur.1

Gambar 2.1 Pityriasis alba pada wajah.7

Biasanya terdapat beberapa patch dengan diameter berkisar antara 0.5-2


cm, tapi dapat juga berukuran lebih besar, khususnya pada trunkus. Pada anak-
anak, lesi khususnya terdapat pada wajah, dan paling banyak berada di sekitar
mulut, dagu, dan pipi. Pada 20% anak yang terkena, lokasi yang terlibat juga pada
leher, lengan, dan bahu.1
Penyakit ini dapat asimtomatik ataupun menimbulkan keluhan kosmetik. 9
Perjalanan penyakit sangat beragam. Sebagian besar kasus muncul untuk beberapa
bulan, dan beberapa masih menunjukkan hipopigmentasi selama setahun atau
lebih setelah sisik menghilang. Lesi dapat timbul kembali dalam selang waktu

4
tertentu. Durasi rata-rata untuk lokasi umum di muka pada anak-anak adalah
setahun atau lebih.1
Pityriasis Alba yang luas (extensive PA), lebih sering terlihat pada orang
dewasa, dengan ciri-ciri klasik yang sama, terdistribusi lebih luas yang seringkali
melibatkan ekstremitas bawah dalam pola yang simetris. Ketiadaan fase inflamasi
yang mendahului dan ketiadaan spongiosis membedakan dari bentuk yang klasik.
Terdapat hipotesis tumpang tindih dari bentuk khusus ini dengan hipomelanosia
makular yang progresif, yang terutama terjadi pada wanita dewasa muda, dengan
patch tanpa sisik, hipopigmentasi, terjadi berulang, melibatkan punggung,
khususnya setelah musim panas.3
Pityriasis Alba yang terpigmentasi dianggap sebagai varian dari pityriasis
alba yang klasik dengan infeksi dermatofit superfisial yang hampir selalu
mengenai wajah. Secara klinis dicirikan oleh hiperpigmentasi kebiru-biruan yang
dikelilingi oleh daerah hipopigmentasi bersisik. Area yang terpigmentasi
menunjukkan deposit melanin dalam dermis. Sepertiga dari pasien secara
bersamaan mengalami pityriasis alba klasik.3

2.5. Pemeriksaan Penunjang


Bila ditemukan gambaran klinis yang sesuai, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang menggunakan lampu Wood, yang menunjukkan gambaran
hipopigmentasi.3 Pemeriksaan histologi dari penelitian biopsi menunjukkan ciri-
ciri hiperkeratosis (33.33%), parakeratosis (40%), akantosis (53.33%), spongiosis
(80%), dan infiltrat perivaskuler (100%). Bagaimanapun, penemuan ini tidak
cukup spesifik untuk menegakkan diagnosis. Ditemukan pula atropi glandula
sebasea pada hampir separuh kasus dalam satu penelitian.1,9
Hasil pemeriksaan struktur ultra menemukan bahwa selain pengurangan
pigmen pada lesi kulit, tidak terdapat terdapat perbedaan pada melanosit antara
kulit yang memiliki lesi dan normal pada pasien yang sama, walaupun penemuan
ini masih diperdebatkan. Perubahan degeneratif berupa menurunnya jumlah
melanosit dan berkurangnya jumlah dan ukuran melanosom keratinosit juga
ditemukan melalui mikroskop cahaya dan elektron pada lesi. Secara keseluruhan
kelainan ini dianggap diakibatkan oleh penurunan melanin.1,5,9

5
2.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Berdasarkan anamnesis, harus ditanyakan usia timbulnya penyakit, untuk
menyingkirkan penyakit kongenital. Setelah itu ditanyakan faktor resiko yang
dapat menimbulkan pityriasis alba, seperti riwayat atopi, riwayat pajanan sinar
matahari, riwayat inflamasi sebelumnya, hingga kebiasaan mandi untuk
menunjang diagnosis.
Dari gambaran klinis, sisik yang tipis dan distribusi lesi biasanya
mengarahkan diagnosis. Diagnosis banding meliputi bentuk hipopigmentasi
terlokalisir, khususnya kondisi kulit yang setelah mengalami inflamasi. 3 Pityriasis
versicolor juga berbatas tegas dan biasanya bersisik. Pemeriksaan potassium
hydroxide (KOH) dari kerokan skuama harus didapatkan jika timbul keraguan.
Pada vitiligo, bercaknya lebih putih, dengan batas yang lebih jelas dan selalu tidak
disertai sisik.7
Bila pada pemeriksaan lampu Wood ditemukan hipopigmentasi, diagnosis
menjadi semakin sempit. Untuk mempermudah penegakan diagnosis, algoritma di
bawah ini dapat digunakan sebagai pedoman:

6
Gambar 2.2 Algoritma Penegakan Diagnosis3

Hipopigmentasi yang jelas terkadang salah didiagnosis dengan vitiligo. Pada


vitiligo, bercaknya lebih putih, dengan batas yang lebih jelas dan selalu tidak
disertai sisik.7 Pada anak yang lebih besar dan dewasa, lesi pada trunkus,
sepanjang fase eritematosa, mungkin salah didiagnosis dengan psoriasis tetapi
distribusi dan sisik yang relatif ringan dapat menyingkirkan diagnosis ini. Mycosis
fungoides, walaupun relatif jarang, dapat menirukan lesi pityriasis alba. Kondisi
ini sulit dibedakan secara histologis, sehingga tindak lanjut dan biopsi ulangan
kadang diperlukan.1 Lupus erythematosus biasanya atipikal, polanya asimetris,
dan memiliki titer ANA positif. Leukoderma akibat agen kimia maupun fisik harus

7
disingkirkan dari riwayat pajanan sebelumnya. Leprosy dapat disingkirkan dengan
riwayat kontak dengan penderita TB, hasil pemeriksaan BTA, dan lesi yang
bersifat anestesi.18 Sarcoidosis dan Scleroderma dapat disingkirkan dengan
ketiadaan penyakit sistemik yang menyerang organ lain yang dapat diketahui
melalui pemeriksaan penunjang.18,19

2.7. Tatalaksana
Hindari hal-hal yang menjadi faktor resiko seperti pajanan matahari dan
mandi berlebihan dan menggunakan air panas, serta cukupi kebutuhan nutrisi. Jika
faktor pencetusnya adalah eczema ringan, terapi dengan kortikosteroid lemah
seperti hidrokortison 0.5% atau 1%, atau krim yang mengandung calcineurin
inhibitor seperti tacrolimus dan pimecrolimus, juga sering diresepkan. Sisik dapat
dikurangi dengan krim emollient lunak, dan untuk lesi kronik pada trunkus pasta
tar ringan mungkin berguna. Bagaimanapun, abnormalitas pigmentasi
membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengalami perbaikan. Syndets
(synthetic balanced detergents) dapat digunakan untuk mencuci muka karena
kurang bersifat iritatif dibandingkan sabun alkali. Pelembab dapat digunakan dua
kali sehari, dan setelah mencuci wajah. Tanning tidak membantu, malah semakin
menonjolkan perbedaan bila terlalu sering dilakukan.1,7

2.8. Prognosis
Pityriasis alba merupakan penyakit yang sembuh sendiri dan tidak
menimbulkan mortalitas. Pada umumnya penyakit ini menghilang menjelang usia
pubertas.9

BAB III

8
KESIMPULAN

Pityriasis alba merupakan penyakit kulit yang tidak menular, ditandai dengan
makula atau patch dengan hipopigmentasi dan sisik tipis. Penyakit ini lebih
banyak mengenai anak dan remaja, tanpa kecenderungan terhadap ras dan jenis
kelamin tertentu. Etiologi dan patogenesisnya belum jelas, diduga berkaitan
dengan riwayat atopi, paska inflamasi kulit, pajanan sinar matahari, kebiasaan
mandi, maupun nutrisi. Proses hipopigmentasi diduga terkait dengan gangguan
pada sel pigmen kulit.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis faktor resiko,
pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Distribusi lesi, pemeriksaan lampu Wood, dan riwayat inflamasi sebelumnya
merupakan hal yang penting dalam mempersempit diagnosis banding.
Pityriasis alba merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan
sendirinya, bahkan tanpa intervensi. Pemberian emollient dinilai efektif untuk
tatalaksana bila tidak disertai inflamasi. Tidak pernah dilaporkan adanya
mortalitas akibat penyakit ini.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Holden CA and Jones BJ. Eczema, Lichenification, Prurigo and


Erythroderma. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors.
Rooks Textbook of Dermatology. 7th ed. Massachusetts: Blackwell; 2004.
p. 701-738.

2. James WD, Berger TG, Elston DM. Atopic Dermatitis Eczema and
Noninfectious Immunodeficiency Disorders. In: Andrews Disease of The
Skin Clinical Dermatology. 9th ed. New York: WB Saunders Company;
2000. p.72.

3. Lapeere H, et.al. Hypomelanoses and Hypermelanoses. In: Wolff K,


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York:
McGraw-Hill Companies, Inc; 2008, vol: 1. p. 623-626

4. Balci DD, Sangun O, Duran N, Peker E. Etiopathogenic Factors and


Clinical Findings of Pityriasis Alba.Turkiye Klinikleri J Dermatol [serial
online] 2009 (11 Agustus 2010); 19 (1): 5-8. Diakses dari
http://tipbilimleri.turkiyeklinikleri.com/abstract_53406.html

5. Ortonne JP. Vitiligo and Other Disorders of Hypopigmentation. In:


Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd. Chapter 65
(e-book version). New York: Mosby Elsevier; 2008.

6. Vinod S, Singh G, Dash K, Grover S. Clinico epidemiological study of


pityriasis alba. Indian J Dermatol Venereol Leprol [serial online] 2002 [13
Agustus 2010]; 68: 338-340.
Diakses dari http://www.ijdvl.com/text.asp?2002/68/6/338/11182

7. Wellew R, Hunter J, Savin J, Dahl M, editors. Racially Pigmented Skin.


In: Clinical Dermatology. 4th ed. Massachusetts: Blackwell; 2003. p.207.

8. Wisuthsarewong W, Viravan S. Diagnostic Criteria for Atopic Dermatitis


in Thai Children. J Med Assoc Thai [serial online] 2004 (11 Agustus
2010); 87 (12): 1496-500. Diakses dari
http://www.mat.or.th/journal/files/Vol87_No12_1496.pdf

9. Rashid RM, Miller AC, Silverberg MA. Pityriasis Alba. [serial online]
Diakses dari emedicine.medscape.com/article/762656-print.htm (11
Agustus 2010)
10. J Burkhart CG dan Burkhart CN. Pityriasis Alba: A condition with
Possibly Multiple Etiologies. The open dermatology Journal [serial
online] 2009 (12 Agustus 2010); 3: 7-8. Diakses dari
http://www.benthamopen.org/pages/content.php?TODJ/2009/00000003/
00000001/TODJ. PDF

11. Fritsch PO, Reider N. Other Eczematous Eruptions. In: Bolognia JL,
Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd. Chapter 14 (e-book
version). New York: Mosby Elsevier; 2008. p.203

12. Khalifa KA, Al-Hadithi TS, AL-Lami FH, Al-Diwan JK. Prevalence of
Skin Disorders among Primary School Children in Baghdad
Governorate, Iraq. Eastern Mediterranean Health Journal [serial online]
2010 (12 Agustus 2010); 16 (2): 209-213. Diakses dari
http://www.emro.who.int/Publications/EMHJ/1602/article14.htm

13. Al-Rubiay KK. Pediatric Dermatology: A Study of Pattern of Skin


Diseases among Children Attending Basrah Maternity and Children
hospital. The Medical Journal of Basrah University [serial online] 2005
(11 Agustus 2010); 23, (1): 27-30. Diakses dari basrah
http://www.basmedcol.com/6-kadhum.pdf

14. Javed M, Jairamani C. Pediatric Dermatology: An Audit at Hamdard


University Hospital Karachi. Journal of Pakistan Association of
Dermatologists [serial online] 2006 (13 Agustus 2010); 16: 93-96.
Diakses dari http://www.jpad.org.pk/april%20-%20june
%20%202006/6%20pediatric%20dermatoogy.pdf

15. Romero IB, Rincon JMR, Paya JS, Costa AL, Crespo MP, Salvador JFS.
Dermatoses in Latin American Immigrants Seen in A Tertiary Hospital.
Eur J Dermatol [serial online] 2009 (12 Agustus 2010); 19 (2): 157-62.
Diakses dari http://www.john-libbey-eurotext.fr/e-docs/00/04/46/E6/
vers_alt/VersionPDF.pdf

16. Patel JK, Vvas AP, Berman B, Vierra M. Incidence of Chilhood


Dermatosis in India. SKINmed [serial online] 2010 (12 Agustus 2010); 8:
136-142. Diakses dari

17. Fathy H, El-Mongy S, Baker NI, Abdel-Azim Z, El-Gilany A. Prevalence


of Skin Disease Among Students with Disabilities in Mansoura, Egypt.
Eastern Mediterranean Health Journal [serial online] 2004 (13 Agustus
2010); 10 (3): 416-424. Diakses dari
http://www.emro.who.int/publications/emhj/1003/Prevalence_Skin.htm
18. Anonim. Scleroderma. Diakses dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Scleroderma (13 Agustus 2010)

19. Anonim. Sarcoidosis. Diakses dari


http://en.wikipedia.org/wiki/Sarcoidosis (13 Agustus 2010)

Anda mungkin juga menyukai