Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Ginjal termasuk salah satu organ tubuh manusia yang vital. Organ ini berperan
penting dalam metabolisme tubuh seperti fungsi ekskresi, keseimbangan air dan elektrolit,
serta endokrin. Fungsi ginjal secara keseluruhan didasarkan oleh fungsi nefron dan gangguan
fungsi ginjal disebabkan oleh menurunnya kerja nefron. 8,14
7
Setiap nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Fungsi dasar nefron adalah
membersihkan atau menjernihkan plasma darah dan substansi yang tidak diperlukan tubuh
sewaktu darah melalui ginjal. Substansi yang paling penting untuk dibersihkan adalah hasil
akhir metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat dan lain-lain. Selain itu ion-ion natrium,
kalium, klorida dan hidrogen yang cenderung untuk berakumulasi dalam tubuh secara
berlebihan. 8
Untuk mendeteksi kelainan tubulus pada nefron perlu dilakukan pemeriksaan
biomarker. Menurut International Program on Chemical Safety yang dipimpin Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), berkoordinasi dengan PBB dan Organisasi Buruh Internasional
(ILO), telah menetapkan biomarker sebagai substansi, struktur, atau proses apapun yang
dapat diukur dalam tubuh atau produk-produknya, serta mempengaruhi atau memprediksi
insiden dari outcome atau penyakit. 5
Karakteristik biomarker penyakit ginjal yang ideal adalah noninvasif, sangat sensitif
dan spesifik, meningkat secara cepat dan reliabel sebagai respon terhadap penyakit ginjal,
berkorelasi dengan sejumlah cedera ginjal, menyediakan stratifikasi risiko dan informasi
prognostik. 4 Biomarker yang timbul lebih awal dapat membantu pemilihan penanganan awal,
evaluasi efektivitas terapi, dan membantu pemilihan obat. 5
Beberapa biomarker yang dapat mendeteksi kelainan pada tubulus ginjal antara lain :
Kidney Injury Molecule-1 (KIM-1), Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin (NGAL),
Interleukin-18 (IL-18), Cystatin C, N-Asetil--Glucosaminidase (NAG), 2-mikroglobulin, -
1 mikroglobulin, Retinol Binding Protein (RBP), Netrin-1, Insulin-like Growth Factor-
Binding Protein 7 (IGFBP7), Tissue Inhibitor of Metalloproteinases-2 (TIMP-2), Sodium/
Hydrogen Exchanger Isoform (NHE3), Fetuin A, dan Clusterin. Dalam tinjauan pustaka ini
akan dibahas mengenai fungsi dan metode pemeriksaan biomarker tersebut.

1
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat diangkat
beberapa rumusan masalah yaitu :
1. Biomarker apa saja yang dapat digunakan untuk mendeteksi kelainan tubulus
ginjal ?
2. Bagaimana metode pemeriksaan biomarker yang digunakan untuk mendeteksi
kelainan tubulus ginjal ?

1.3. Tujuan
Berdasarkan analisis rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan tinjauan
pustaka ini adalah :
1. Untuk mengetahui biomarker apa saja yang dapat digunakan untuk mendeteksi
kelainan tubulus ginjal.
2. Untuk mengetahui metode pemeriksaan biomarker yang digunakan untuk
mendeteksi kelainan tubulus ginjal.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Ginjal


Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada dinding abdomen di
kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3. Ginjal kanan terletak
lebih rendah dari yang kiri karena besarnya lobus hepar. Ginjal dibungkus oleh tiga lapis
jaringan. Jaringan yang terdalam adalah kapsula renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah
adiposa, dan jaringan terluar adalah fascia renal. Ketiga lapis jaringan ini berfungsi sebagai
pelindung dari trauma dan memfiksasi ginjal. 7
Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat terang dan
medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. 7

Gambar2.1.AnatomiGinjal.9

Korteks ginjal mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron
terdiri dari glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa
triangular disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian apeks yang
menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil ekskresi yang
kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal. 7

3
Gambar 2.2. Ginjal dan Nefron. 10

2.2. Fisiologi Ginjal


Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat
vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah menyaring/ membersihkan darah. Aliran
darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi
cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke tubulus. Cairan filtrat ini diproses
dalam tubulus sehingga akhirnya keluar dari kedua ginjal menjadi urine sebanyak 1-2
liter/hari. Selain itu, fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi
cairan ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini
dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus. 8

Fungsi ginjal adalah :

4
1. Fungsi Ekskresi
Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah ekskresi
air.
+
Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H dan
membentuk kembali HCO3.

Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang normal.


Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein terutama urea, asam
urat dan kreatinin. 8
2. Fungsi Non Ekskresi

Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah.

Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam stimulasi produk sel
darah merah oleh sumsum tulang.

Memetabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

Degradasi insulin.

Menghasilkan prostaglandin. 8

Fungsi dasar nefron adalah membersihkan atau menjernihkan plasma darah dan
substansi yang tidak diperlukan tubuh sewaktu darah melalui ginjal. Substansi yang paling
penting untuk dibersihkan adalah hasil akhir metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat
dan lain-lain. Selain itu ion-ion natrium, kalium, klorida dan hidrogen yang cenderung untuk
berakumulasi dalam tubuh secara berlebihan. 8

5
Gambar 2.3. Nefron. 11

Mekanisme kerja utama nefron dalam membersihkan substansi yang tidak diperlukan
dalam tubuh adalah :
1. Nefron menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus yang akan
menghasilkan cairan filtrasi.
2. Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak diperlukan tidak
akan direabsorpsi sedangkan substansi yang diperlukan direabsorpsi kembali ke
dalam plasma dan kapiler peritubulus. 8
Substansi-substansi yang tidak diperlukan tubuh akan disekresi dan plasma langsung
melewati sel-sel epitel yang melapisi tubulus ke dalam cairan tubulus. Jadi urine yang
akhirnya terbentuk terdiri dari bagian utama berupa substansi-substansi yang difiltrasi dan
juga sebagian kecil substansi-substansi yang disekresi. Nefron berfungsi sebagai regulator air
dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian
mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh, molekul dan sisa cairan
lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme
pertukaran lawan arus dan kotranspor, hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut
urine. 8
Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula

6
(badan malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus). Setiap korpuskula
mengandung gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang berada dalam kapsula
bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri afferent. Dinding kapiler dari
glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring melalui
dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan kapsula bowman karena adanya
tekanan dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke
dalan tubulus ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri
efferent.Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula bowman
terdapat tiga lapisan :
1. Kapiler selapis sel endotelium pada glomerulus
2. Lapisan kaya protein sebagai membran dasar
3. Selapis sel epitel melapisi dinding kapsula Bowman (podosit). 8
Dengan bantuan tekanan, cairan dalam darah didorong keluar dari glomerulus,
melewati ketiga lapisan tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam kapsula Bowman dalam
bentuk filtrat glomerular. Filtrat plasma darah tidak mengandung sel darah ataupun molekul
protein yang besar. Protein dalam bentuk molekul kecil dapat ditemukan dalam filtrat ini.
Darah manusia melewati ginjal sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2 liter per menit,
menghasilkan 125 cc filtrat glomerular per menitnya. Laju penyaringan glomerular ini
digunakan untuk tes diagnosa fungsi ginjal. 8
Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang mengalirkan
filtrat glomerular dari kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi proksimal. Bagian
selanjutnya adalah lengkung Henle yang bermuara pada tubulus konvulasi distal. Lengkung
Henle diberi nama berdasar penemunya yaitu Friedrich Gustav Jakob Henle di awal tahun
1860-an. Lengkung Henle menjaga gradien osmotik dalam pertukaran lawan arus yang
digunakan untuk filtrasi. Sel yang melapisi tubulus memiliki banyak mitokondria yang
menghasilkan ATP dan memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali
glukosa, asam amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat
masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis. Cairan mengalir
dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang terdiri dari :


Tubulus penghubung

Tubulus kolektivus kortikal

Tubulus kolektivus medularis. 8
Tempat lengkung Henle bersinggungan dengan arteri aferen disebut aparatus

7
juxtaglomerular, mengandung macula densa dan sel juxtaglomerular. Sel juxtaglomerular
adalah tempat terjadinya sintesis dan sekresi renin, cairan menjadi makin kental di sepanjang
tubulus dan saluran untuk membentuk urine, yang kemudian dibawa ke kandung kemih
melewati ureter. 8

2.3. Biomarker Kelainan Tubulus Ginjal


Menurut National Institutes of Health Biomarkers Definitions Working Group tahun
1998, biomarker adalah karakteristik yang diukur secara objektif dan dievaluasi sebagai
indikator proses biologis normal, proses patogenik, atau respon farmakologis untuk intervensi
terapeutik. Menurut International Program on Chemical Safety yang dipimpin Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), berkoordinasi dengan PBB dan Organisasi Buruh Internasional
(ILO), telah menetapkan biomarker sebagai substansi, struktur, atau proses apapun yang
dapat diukur dalam tubuh atau produk-produknya, serta mempengaruhi atau memprediksi
insiden dari outcome atau penyakit. Karakteristik biomarker yang ideal adalah noninvasif,
sangat sensitif dan spesifik, meningkat secara cepat dan reliabel sebagai respon terhadap
penyakit ginjal, berkorelasi dengan sejumlah cedera ginjal, menyediakan stratifikasi risiko
dan informasi prognostik. Tempatnya spesifik, dapat diaplikasikan untuk semua populasi
yang berbeda, mampu mengidentifikasi (semua kemungkinan) mekanisme cedera (prerenal,
intrarenal, postrenal), sangat stabil di setiap saat dan temperatur serta pH yang berbeda, tidak
4
berinteraksi dengan obat. Berikut ini adalah beberapa biomarker yang dapat mendeteksi
kelainan pada tubulus ginjal.

2.3.1. Kidney Injury Molecule-1 (KIM-1)


Penelitian mengenai kegunaan KIM-1 sebagai penanda Nekrosis Tubular
Akut (NTA) pertama kali dipublikasikan pada tahun 2002. Penelitian ini dilakukan
oleh Han et al dan didapatkan peningkatan bermakna KIM-1 di spesimen biopsi
ginjal pasien NTA serta peningkatan bermakna kadar ektodomain KIM-1 di urine
pasien, bahkan sebelum silinder ditemukan di urine. Han et al juga mengukur KIM-
1 urine pasien NTA dibandingkan dengan pasien AKI dengan penyebab selain
iskemia dan nefrotoksik, dan dijumpai kadar KIM-1 urine pada NTA ternyata lebih
tinggi daripada pasien dengan cedera ginjal dengan penyebab lain. 3

KIM-1 adalah glikoprotein membran sel tipe 1 (90 kDa) yang berisi 6-sistein
2
menyerupai imunoglobulin. mRNA KIM-1 meningkat lebih tinggi daripada gen

8
lainnya setelah terjadi disfungsi ginjal. Ekspresi gen tersebut meningkat dalam 24-48
jam setelah kejadian iskemik pada tikus. Gen KIM-1 dan ekspresi proteinnya tidak
terdeteksi di ginjal normal. Fungsi KIM-1 pada ginjal adalah untuk membuat sel
epitel mengenali dan memfagosit sel-sel yang mati di ginjal akibat iskemia dan
menyebabkan obstruksi lumen yang menyebabkan terjadinya AKI. Epitel yang
mengalami apoptosis akan mengekspresikan phosphatidylserine (PS), yang akan
dikenali oleh sel-sel hidup dengan KIM- 1 sebagai reseptor fagosit untuk PS, dan
akan difagosit. Dengan demikian, sel epitel dengan KIM-1 berfungsi sebagai fagosit
semi-profesional. KIM-1 sangat spesifik dan sensitif dalam mengidentifikasi zat-zat
beracun dalam tubulus proksimal. Pada spesimen biopsi ginjal yang didapat dari 6
pasien dengan tubular akut terjadi peningkatan KIM-1 urine dalam 12 jam setelah
disfungsi ginjal, yang mendahului pembentukan silinder. 1

Metode Pemeriksaan KIM-1

Persiapan dan Pengumpulan Spesimen

Spesimen pemeriksaan KIM-1 adalah urine. Urine disentrifugasi 450 g selama 5


menit dan supernatannya segera diperiksa. Bila pemeriksaan ditunda, maka

spesimen dapat disimpan selama 5 hari pada suhu 2-80 C, atau dapat disimpan

hingga 1 bulan pada suhu -200 C, dan hingga 2 bulan pada suhu -800 C. Sebaiknya
spesimen tidak dibekucairkan berulang. Spesimen yang dibekucairkan berulang
hingga 3 kali akan menurunkan kadar KIM-1 hingga 1%. Sebelum dilakukan
analisis, spesimen yang disimpan dibiarkan pada suhu ruangan selama 30 menit. 3

Pemeriksaan KIM-1 yang saat ini digunakan adalah dengan metode enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA) dan imunokromatografi (lateral-flow assay).
Metode ELISA ini merupakan uji kuantitatif, lebih ekonomis, mudah dilakukan, dan
tidak berbahaya bagi lingkungan dibandingkan radioimmunoassay (RIA).
Sedangkan metode lateral-flow assay merupakan uji kualitatif, lebih cepat,
memerlukan waktu sekitar 15 menit untuk analisis, dan spesimen yang dibutuhkan
lebih sedikit (+ 200 L). Kekurangan uji kualitatif ini adalah pembacaan hasilnya
tergantung pada mata yang tidak terkalibrasi (uncalibrated human eye). 3

9
Prinsip Pemeriksaan Berdasarkan ELISA Sandwich

Pada plat mikrotiter dilapisi dengan antibodi anti-human KIM-1 kambing.


Jika standar atau spesimen yang ditambahkan ke well mengandung human KIM-1,
maka akan berikatan dengan antibodi KIM-1 dan diinkubasi. Kemudian
ditambahkan anti-human KIM-1 kambing berlapis biotinil (biotinylated goat anti-
human KIM-1) dan diinkubasi. Material yang tidak berikatan dicuci, diikuti dengan
penambahan konjugat streptavidin-Horseradish Peroksidase (HRP) untuk
memfiksasi antibodi biotinil, dan diinkubasi dilindungi dari cahaya. Enzim yang
tidak terikat dicuci. Antibodi-enzim konjugat yang terfiksasi diukur dengan cara
mengukur aktivitas horseradish peroksidase terhadap larutan substrat tetrametil-
benzidin (TMB). Bila pada well terdapat KIM-1, maka akan terjadi perubahan
warna. Reaksi enzimatik dihentikan dengan penambahan H SO dan perubahan
warna diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm.
Peningkatan absorban berbanding lurus dengan jumlah KIM-1 yang terfiksasi. Kadar
KIM-1 pada spesimen diketahui dengan cara membandingkannya dengan kurva
standar. Berdasarkan uji untuk KIM-1 yang dilakukan oleh Chaturvedi et al.
didapatkan rentang normal adalah 60-837 pg/mL. 3

Prinsip Pemeriksaan Berdasarkan Imunokromatografi

Pada pemeriksaan imunokromatografi, urine diteteskan ke kertas strip yang


mengandung emas dilapis antibodi anti KIM-1. Bila pada urine terdapat KIM-1,
maka terjadi ikatan KIM-1 dengan antibodi anti KIM-1. Antibodi ini akan
membentuk kompleks perantara dengan KIM-1 dari spesimen, kemudian kompleks
ini akan bergerak melalui zona deteksi akibat daya kapilaritas. Pada posisi test line
akan terbentuk kompleks sandwich dengan antibodi kedua. Kompleks sandwich ini
akan terlihat sebagai garis merah. Spesimen yang tidak mengandung KIM-1 tidak
akan membentuk kompleks sandwich sehingga garis merah tidak akan terlihat pada
posisi test line. Pada posisi control line terdapat antibodi berlabel emas berlebih dan
akan membentuk garis merah. Adanya garis merah di control line memastikan tes
tersebut valid. Semakin gelap garis yang terbentuk menunjukkan semakin banyak
molekul KIM-1 pada spesimen dan semakin buruk cedera yang dialami. Menurut
Bonventre et al, KIM-1 dapat dideteksi di urine 3-6 jam setelah trauma, sehingga
dapat digunakan sebagai alat untuk memantau penyakit ginjal. 3

10
2.3.2. Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin (NGAL)
NGAL pada manusia awalnya diidentifikasi sebagai protein dengan berat
1
molekul 25 kDa yang terikat secara kovalen dengan neutrofil-gelatinase. NGAL
5
merupakan protein yang termasuk dalam kelompok lipocalin. Meskipun NGAL
dihasilkan hanya dalam jumlah yang sedikit di beberapa jaringan tubuh manusia,
namun NGAL dapat diinduksi secara signifikan pada kerusakan sel epitel, termasuk
1
ginjal. NGAL berasal dari epitel tubulus proksimal. Namun penelitian berikutnya
menunjukkan bahwa lengkung Henle dan duktus pengumpul merupakan tempat
utama sintesis NGAL di ginjal. Protein NGAL yang ditemukan di tubulus proksimal
setelah cedera iskemik berasal dari filtrasi glomerulus dari NGAL yang bersirkulasi
yang disintesis oleh organ lain seperti hati. 5
Analisis proteomik membuktikan bahwa NGAL adalah salah satu protein
yang banyak diproduksi oleh ginjal yang mengalami AKI iskemik dan nefrotoksik
pada hewan coba. Sebuah studi cross-sectional menunjukkan bahwa pasien AKI
(dengan kenaikan kadar kreatinin serum dua kali lipat) mengalami peningkatan
NGAL secara signifikan dalam urine dan serum. Kadar NGAL dalam urine dan
serum berkorelasi dengan kadar kreatinin serum dan peningkatan tersebut
mendahului peningkatan kadar kreatinin serum. Biopsi ginjal pada pasien AKI
menunjukkan akumulasi NGAL secara imunoreaktif di korteks tubulus, yang
menunjukkan NGAL sebagai indeks yang sensitif untuk menegakkan AKI. 1
Beberapa penelitian menunjukkan NGAL sebagai biomarker diagnostik awal
AKI, seperti penelitian pada anak-anak yang telah menjalani operasi jantung elektif,
yang kemudian menderita AKI ; dimana kadar NGAL serum dan urine meningkat 10
kali lipat. NGAL juga digunakan sebagai biomarker pada transplantasi ginjal. Ada
korelasi antara intensitas pewarnaan NGAL dan fungsi graft yang tertunda. NGAL
juga merupakan biomarker prediktif pada nefrotoksisitas setelah paparan bahan
kontras. Karena sifatnya yang sangat prediktif, NGAL juga digunakan dalam
penelitian intervensi seperti penggunaan etil hydroxyl pada albumin atau gelatin
pada usia lanjut untuk mempertahankan fungsi ginjal, untuk menilai apakah
konsentrasi NGAL dalam urine akan menurun. 1
NGAL plasma difiltrasi di glomerulus, dan mengalami reabsorpsi oleh
tubulus proksimal ; sehingga ekskresi NGAL dalam urine hanya terjadi ketika ada
kerusakan tubulus proksimal yang mengganggu reabsorpsi NGAL atau
meningkatkan sintesis NGAL. Penelitian ekspresi genetik pada AKI menunjukkan

11
peningkatan yang signifikan pada mRNA NGAL (hingga 1000 kali lipat) di loop of
Henle bagian ascending dan tubulus kolektivus. Oleh karena itu, sintesis protein
NGAL di nefron bagian distal dan sekresinya ke dalam urine tampaknya
berkontribusi terbesar terhadap munculnya NGAL dalam urine. Sekarang, telah
diketahui bahwa AKI juga menyebabkan peningkatan yang signifikan terhadap
ekspresi mRNA NGAL di organ-organ tertentu, terutama hati dan paru-paru, dan
protein NGAL yang mengalami ekspresi berlebihan dan dilepaskan ke dalam
sirkulasi yang dapat menjadi pool sistemik. Selanjutnya, penurunan GFR akibat AKI
akan menurunkan clearance NGAL, yang menyebabkan akumulasi NGAL di
sirkulasi sistemik, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. 1
Pengukuran NGAL plasma dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
penyakit ginjal kronis, hipertensi kronis, infeksi sistemik, kondisi peradangan, dan
keganasan. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, kadar NGAL berkorelasi
dengan derajat keparahan kerusakan ginjal. Ini mungkin menjadi kelemahan dalam
pengukuran kadar NGAL. 1

Metode Pemeriksaan NGAL


Berbagai macam metode pengukuran NGAL telah dipublikasikan. Pada
penelitian awal, perhitungan NGAL urine dan serum menggunakan teknik western
blot. Analisis tersebut menunjukkan bahwa berbagai macam bentuk NGAL dapat
dideteksi berdasarkan berat molekulnya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
bentuk monomer NGAL merupakan bentuk utama yang disekresikan oleh sel epitel
ginjal dan ditemukan pada urine pasien dengan AKI, sementara bentuk dimerik
secara predominan berasal dari neutrofil dan terdapat dalam urine pasien infeksi
traktus urinarius. Penelitian selanjutnya menggunakan immunoblotting atau
research ELISA-based techniques dengan menggunakan antibodi NGAL monoklonal
yang tersedia secara komersial. 5
A standardized point-of-care Triage NGAL Device (Biosite Incorporated, San
Diego, CA, USA) telah dibuat untuk pengukuran plasma NGAL (pNGAL).
Pengukuran tersebut berkorelasi baik dengan teknik ELISA pada penelitian awal
terhadap 40 sampel plasma dan 12 kalibrasi. Pada nilai cut off 150 ng/mL untuk
konsentrasi pNGAL dalam 2 jam, the area under curve (AUC) untuk memprediksi
AKI ditemukan sebesar 0,96 dengan sensitivitas 0,84 dan spesifisitas 0.94.

12
Pengujian tersebut hanya membutuhkan jumlah plasma dalam mikroliter dan hasil
kuantitatif didapatkan dalam waktu 15 menit. 5
Pada penelitian awal terhadap 136 sampel urine dan 6 kalibrasi standar,
konsentrasi urine NGAL (uNGAL) dengan ARCHITECT analyzer berkorelasi baik
dengan ELISA. Aplikasi klinis kemudian divalidasikan pada penelitian terhadap 196
pasien yang menjalani cardiopulmonary bypass (CPB). Diagnosis AKI
menggunakan konsentrasi serum kreatinin tertunda hingga 2-3 hari, sedangkan
konsentrasi uNGAL meningkat 15 kali lipat dalam waktu 2 jam dan 25 kali lipat
pada 4 dan 6 jam setelah CPB. Pada nilai cut off 100 g/L untuk konsentrasi uNGAL
2 jam, AUC untuk memprediksi AKI sebesar 0,95 dengan sensitivitas 0,82 dan
spesifisitas 0,9. Pengujian tersebut hanya membutuhkan urine sebanyak 150 IL dan
hasil kuantitatif didapatkan dalam waktu 35 menit. 5

2.3.3. Interleukin-18 (IL-18)


IL-18 pertama kali dideskripsikan tahun 1989 sebagai IFN-gamainducing
factor di sirkulasi tikus yang diinjeksi endotoksin. IL-18 menyebabkan nekrosis
tubular akut iskemik pada tikus. Dengan teknik kloning molekuler, IFN-gama
inducing factor pada tahun 1995 namanya diubah menjadi IL-18. 4

IL-18 diproduksi oleh berbagai tipe sel, misalnya : sel-sel Kupffer, fibroblas,
kondrosit, makrofag, keratinosit, dan osteoblas. IL-18 secara fisiologis diproduksi di
berbagai regio otak, seperti : korteks serebral, hipokampus, hipotalamus. Beberapa
isoform reseptornya juga telah teridentifikasi. IL-18 menentukan sinyal aktivasi pada
neuron dan glia, meningkatkan baik pembebasan (release) glutamat sinaptik dan
ekspresi reseptor AMPA postsynaptic. 4

IL-18 juga diproduksi oleh tubulus proksimal, tepatnya di epitel tubulus


ginjal, dan makrofag interstitial. IL-18 berperan aktif di sejumlah penyakit ginjal,
seperti : cedera reperfusi-iskemi, rejeksi transplantasi, dan infeksi saluran kemih.
Kadar IL-18 secara fisiologis sangat rendah, namun dapat meningkat beberapa kali
lipat pada pasien dengan cedera ginjal. Peningkatan kadar IL-18 urine terjadi akibat
cedera di tubulus pasien dengan sepsis. 4

Pengamatan pra-klinis menunjukkan bahwa IL-18 dalam urine memiliki


potensi sebagai biomarker AKI pada manusia. IL-18 adalah sitokin pro-inflamasi

13
yang meningkat dalam proses inflamasi endogen dan berperan penting dalam
patofisiologi sepsis. Kadar IL-18 meningkat secara signifikan pada pasien AKI
dibandingkan dengan azotemia prerenal, infeksi saluran kemih, insufisiensi ginjal
kronis, dan sindrom nefrotik. Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa kadar
IL-18 meningkat dalam 24-48 jam sebelum AKI berdasarkan kriteria RIFLE. IL-18
dalam urine berkorelasi dengan derajat keparahan AKI dan itu merupakan prediktor
untuk AKI dan kematian pada kelompok heterogen dari anak-anak dengan penyakit
kritis. Kadar IL-18 dalam urine meningkat 2 hari lebih awal, yang mendahului
peningkatan kadar kreatinin pada pasien non-sepsis. Kadar IL-18 dalam urine
memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90% dalam mendiagnosis AKI.
Marker ini dapat dikembangkan lebih lanjut karena cepat, handal, dan terjangkau.
Dibandingkan dengan marker lainnya, IL-18 memiliki kelebihan dapat diukur secara
cepat dengan metode ELISA. 1

Metode Pemeriksaan IL-18

Sampel serum IL-18 diperoleh dari darah melalui punksi vena dan dibekukan di
suhu ruang. Serum dikumpulkan setelah sentrifugasi, dibekukan segera pada suhu 20
C hingga proses analisis. Kadar serum IL-18 ditentukan melalui metode ELISA
sandwich fase solid. ELISA IL-18 menggunakan suatu double-antibody sandwich
enzyme-linked immunosorbent assay, untuk menentukan kadar IL-18 di sampel.
Sampel serum standar ditambahkan ke sumur (wells), yang telah dilakukan pre-
coated dengan antibodi monoklonal IL-18 manusia. Setelah inkubasi, antibodi IL-18
dilabel dengan biotin dan dikombinasikan dengan Streptavidin-HRP, ditambahkan
untuk membentuk kompleks imun dan diinkubasi. Material tak terikat dicuci, lalu
solusi kromogen ditambahkan untuk konversi solusi tak berwarna ke solusi berwarna
biru, intensitasnya proporsional dengan jumlah IL-18 di sampel. Selama efek asidik
menghentikan solusi, warna berubah menjadi kuning. Produk reaksi berwarna,
diukur menggunakan suatu pembaca ELISA otomatis (Rayto, RT-1904C Chemistry
Analyzer, Atlanta GA, USA). Hasilnya diekspresikan dalam pg/ mL. 4

2.3.4. Cystatin C
Cystatin C ditemukan pertama kali pada tahun 1961 oleh Jorgen Clausen
dalam cairan serebrospinal manusia dinamakan trace (- CSF/cerebrospinal fluid),
Butler dan Flynn pada tahun yang sama menemukannya pada urine. Tahun 1981

14
Barrett memperkenalkan penamaan cystatin yang termasuk kedalam kelompok
inhibitor protease sistein. Cystatin C secara formal diidentifikasi tahun 1984.
Cystatin C diduga sebagai penanda baru LFG pada tahun 1979, ketika didapatkan
kadar plasma Cystatin C meningkat 13 kali lebih tinggi pada pasien hemodialisis
dibandingkan orang sehat. Cystatin C dilaporkan pertama kali sebagai penanda LFG
pada tahun 1985 oleh Simonsen et al, yang mendapatkan bahwa kadar Cystatin C
serum berkorelasi negatif kuat dengan LFG. 6

Cystatin C adalah suatu protein berat molekul rendah (13kDa) yang diproduksi
terus menerus oleh semua sel berinti dan difiltrasi bebas oleh glomerulus, kemudian
direabsorpsi dan dikatabolisme hampir lengkap (99%) oleh sel tubulus proksimal.
Pada kerusakan tubulus proksimal maka Cystatin C tidak reabsorpsi sehingga
diekskresikan melalui urine, maka peningkatan kadar Cystatin C urine menjadi
penanda kerusakan tubulus. Pada keadaan normal, kadar Cystatin C urine sangat
rendah yakni 0,03 - 0,3 mg/L. 2,6

Penelitian Mijuskovic et al. 2007, yang membandingkan antara kadar Cystatin


C urine pada pasien disfungsi glomerulus dan tubulus dengan kontrol, didapatkan
perbedaan bermakna antara keduanya, pada pasien disfungsi glomerulus didapatkan
kadar Cystatin C 0,0-0,48 mg/L, sedangkan pada disfungsi tubulus 0,25-18 mg/L.
Penelitian yang sama oleh Conti et al. 2006, juga mendapatkan bahwa kadar
Cystatin C urine pada pasien penyakit tubulus lebih tinggi secara bermakna dengan
penyakit glomerulus, juga didapatkan rerata kadar Cystatin C yang stabil tanpa
variasi sirkadian. Dengan tiadanya variasi sirkadian, maka dapat digunakan urine
sewaktu untuk kasus akut (emergensi) yang memerlukan penilaian GFR segera. 6

Metode Pemeriksaan Cystatin C

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan kuantitatif secara sandwich enzyme


immunoassay. Antibodi monoklonal spesifik untuk Cystatin C sebelumnya dilapisi
ke microplate. Standar dan sampel dipipet ke dalam well jika terdapat Cystatin C
maka akan diikat oleh antibodi. Setelah pencucian substansi yang tidak berikatan,
sebuah enzim pengikat antibodi monoklonal spesifik/ enzyme-linked monoclonal
antibody spesific untuk Cystatin C ditambahkan ke dalam well. Kemudian dilakukan
lagi pencucian untuk membuang reagen antibodi-enzim yang tidak berikatan, lalu

15
larutan substrat ditambahkan ke dalam well dan warna yang terbentuk secara
proporsional menunjukkan jumlah Cystatin C yang berikatan pada tahap awal.
Pembentukan warna dihentikan dan intensitas warna diperiksa. 6

2.3.5. N-Asetil--Glucosaminidase (NAG)


2
NAG adalah enzim lisosomal (>130 kDa) di tubulus proksimal.
Peningkatan kadar N-Asetil--Glucosaminidase (NAG) adalah indikator diagnostik
kunci pada beberapa penyakit tubulus dan bisa mengidentifikasi pasien yang
memiliki risiko tinggi untuk terjadinya penurunan GFR bila dibandingkan dengan
penyakit ginjal lainnya. Peningkatan NAG telah dilaporkan akibat paparan obat
nefrotoksik, tertundanya fungsi allograft ginjal, penyakit glomerular kronis,
nefropati diabetik, dan juga sensitif untuk mendeteksi AKI pada pasien dewasa yang
sakit kritis, yang mungkin mendahului peningkatan kadar kreatinin serum pada 12
jam sampai 4 hari. Semakin tinggi konsentrasi NAG pada urine pasien yang
didiagnosis dengan AKI, maka semakin tinggi probabilitas pasien untuk mengalami
dialisis atau insiden kematian. Keuntungan menggunakan NAG pada AKI adalah
sensitivitasnya. Gangguan pada perbatasan epitel dari sel tubulus proksimal
menyebabkan NAG akan dilepaskan ke dalam urine dan jumlah enzim tersebut
dapat secara langsung berkorelasi dengan gangguan tubulus. Secara kuantitatif,
dapat diperiksa dengan metode pemeriksaan enzimatik menggunakan
spektrofotometer untuk menguji spesimen dengan kolorimetri. Peningkatan NAG
juga dapat ditemukan pada beberapa kondisi tanpa gejala klinis AKI, seperti pada
rheumatoid arthritis, akibat penggunaan analgesik, obat anti inflamasi non steroid
(NSAID), Disease Modifying Anti Rheumatoid Drugs (DMARDs), amiloidosis
sekunder, dan vaskulitis. Peningkatan NAG juga dapat ditemukan pada intoleransi
glukosa, yang mungkin disebabkan akibat efek samping dari protein plasma yang
difiltrasi melalui kapiler glomerulus di sel tubulus dan hipertiroidisme. 1

2.3.6. 2-mikroglobulin
2-mikroglobulin (2-M) adalah protein dengan berat molekul 11,8 kDa,
yang merupakan rantai ringan major histocompatibility class (MHC) I,
diekspresikan pada permukaan sel yang berinti. 2-M dipisahkan dari rantai berat

16
lewat pengaturan seluler dan masuk ke dalam sirkulasi sebagai monomer. 2-M
difiltrasi oleh glomerulus dan hampir seluruhnya telah mengalami reabsorpsi dan
katabolisme oleh sel tubulus proksimal, dimana proses tersebut mungkin akan
terganggu pada AKI (Acute Kidney Injury). 1
Peningkatan ekskresi 2-M dalam urine telah dilaporkan sebagai tanda-tanda
awal dari disfungsi tubular akibat berbagai macam penyebab, termasuk adanya
paparan zat nefrotoksik, operasi jantung, dan transplantasi ginjal, yang muncul 4-5
hari sebelum kadar kreatinin serum meningkat. Namun, kerugian dari 2-M sebagai
biomarker adalah ketidakstabilan dalam urine dan cepat didegradasi pada suhu
kamar dan urine dengan pH <6.0. Metode pemeriksaannya dengan ELISA atau
nefelometer. 1

2.3.7. -1 mikroglobulin
-1 mikroglobulin (1M) adalah protein yang disintesis di hati, dimana
setengah dari protein yang beredar berikatan dengan kompleks IgA. Bentuk
bebasnya difiltrasi oleh glomerulus dan mengalami reabsorpsi oleh sel tubulus
proksimal. Tidak seperti 2-M, bentuk 1M lebih stabil dalam urine dengan berbagai
macam pH sehingga lebih dipilih sebagai biomarker. 1M juga merupakan
biomarker yang sensitif untuk disfungsi tubulus proksimal, bahkan untuk tahap awal
disfungsi, dimana tidak tampak kerusakan histologisnya. Metode pemeriksaannya
dengan ELISA. 1

2.3.8. Retinol Binding Protein (RBP)


Retinol Binding Protein (RBP) adalah protein dengan berat molekul 21 kDa,
disintesis oleh hati dan juga memiliki peran penting dalam mengangkut vitamin A
dari hati ke jaringan. RBP difiltrasi secara bebas oleh glomerulus, dan mengalami
reabsorpsi di tubulus proksimal. Peningkatan RBP merupakan tanda diagnostik awal
untuk nefrotoksisitas yang disebabkan oleh cisplatin, timbal, merkuri, kadmium, dan
siklosporin. Kadar RBP dalam serum menurun pada pasien dengan defisiensi
vitamin A sehingga pada tes urine mungkin menunjukkan hasil negatif palsu.
Pemeriksaannya menggunakan analisis enzimatik non-invasif, yang sensitif dan
spesifik, dan merupakan salah satu indikator awal terjadinya disfungsi tubulus.
Dibandingkan dengan protein berat molekul rendah lainnya, RBP memiliki
kelebihan antara lain produksinya relatif konstan dan tidak ada kondisi klinis

17
abnormal yang dilaporkan terkait dengan peningkatan produksi dan kadar RBP yang
abnormal dalam urine. Selain itu, RBP stabil dalam pH urine. Ekskresi RBP dalam
urine meningkat pada anak-anak dengan refluks nefropati. Pada pasien diabetes,
meskipun tidak ada albuminuria, RBP dan ekskresi NAG dalam urine dapat
ditemukan. Metode pemeriksaannya dengan ELISA atau nefelometer. 1

2.3.9. Netrin-1
Netrin-1 dapat digunakan sebagai biomarker AKI. Netrin-1 adalah protein
menyerupai laminin dengan berat molekul 50-75 kD, sebelumnya dikenal sebagai
faktor chemotropic dan kelangsungan hidup sel pada tahap perkembangan sistem
saraf dan mungkin memiliki peran dalam neovaskularisasi, adhesi sel dan
tumorigenesis. Menurut Ramesh et al., Netrin-1 diekskresikan dalam urine dalam
waktu 1 jam setelah terjadi kerusakan fungsional dan akan meningkat 30-40 kali
lipat dalam 3 jam dan mencapai puncaknya dalam 6 jam. Penelitian ini
menggunakan hewan coba tikus, termasuk iskemia-reperfusi dan efek toksik dari
cisplatin, endotoksin, dan asam folat (dalam dosis tinggi). Semuanya ini terbukti
menginduksi ekskresi Netrin-1. Pengamatan tersebut jelas menunjukkan Netrin-1
sebagai biomarker universal untuk kerusakan akibat hipoksia dan kelainan toksik
pada ginjal, sehingga mungkin dapat digunakan untuk berbagai jenis AKI, termasuk
kasus-kasus dengan penyebab AKI yang tidak diketahui. 1
Pentingnya ekskresi Netrin-1 yang diinduksi oleh adanya disfungsi pada
ginjal membuat Netrin-1 memiliki nilai lebih bila dibandingkan dengan marker
lainnya, termasuk NGAL, IL-8, KIM-1, NAG, dan Fetuin A. Kadar Netrin-1 dalam
urine akan kembali ke kisaran normal selama reperfusi, yang menunjukkan bahwa
Netrin-1 juga bisa digunakan sebagai penanda prognostik untuk pemulihan ginjal. 1
Netrin-1 memiliki kecenderungan cepat diekskresikan menyusul terjadinya
disfungsi ginjal. Mekanisme yang tepat membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Reeves et al menunjukkan bahwa disfungsi ginjal akan menyebabkan peningkatan
Netrin-1 pada sel epitel tubulus, tetapi tidak menginduksi mRNA Netrin-1. Oleh
karena itu, peningkatan ekskresi Netrin-1 dalam urine tampaknya kemungkinan
besar akibat induksi sintesis protein dan pelepasan protein pra-sintesis. Netrin-1
memfasilitasi proliferasi sel dan regenerasi sel setelah disfungsi, dan dapat
digunakan sebagai marker untuk pemulihan sel. Metode pemeriksaannya dengan
ELISA. 1

18
2.3.10. Insulin-like Growth Factor-Binding Protein 7 (IGFBP7)
Insulin-like Growth Factor-Binding Protein 7 (IGFBP7), juga dikenal
sebagai Mac25, Tumor Adhesion Factor (TAF), Prostacyclin Stimulating Factor
(PSF), dan IGFBP-rP1 termasuk dalam keluarga IGFBP. IGFBP7 terutama disekresi
oleh tubulus proksimal dan telah dihipotesiskan memiliki peran biologis yang
signifikan dalam proliferasi, apoptosis, dan penuaan sel. IGFBP7 terlibat dalam
penghentian siklus sel G1. Untuk jangka waktu yang pendek, penghentian sel siklus
mungkin bersifat protektif, mencegah sel memasuki siklus sel selama periode cedera
saat itu. Namun, ketika penghentian siklus sel tersebut berkepanjangan, maka sel
dapat mengalami fibrosis. 12,13
Kashani et al. melaporkan bahwa kenaikan IGFBP7 dapat memprediksi
AKI derajat sedang sampai berat dalam waktu 12 jam setelah pengumpulan
spesimen. 12

Metode Pemeriksaan IGFBP7


Uji NephroCheck adalah tes diagnostik in-vitro yang telah disetujui
oleh FDA, yang secara kuantitatif mengukur kadar IGFBP7 dan TIMP-2 dalam urine
manusia pada alat analyser Astute 140 Meter. Uji ini menggunakan kartrid sekali
pakai yang terdiri dari sandwich immunoassay untuk IGFBP7 dan TIMP-2 pada strip
uji membran yang dilapisi plastik. Astute 140 Meter mengubah sinyal fluoresens
dari masing-masing imunoasai (IGFBP7 dan TIMP-2) yang terdapat dalam kartrid
Uji NephroCheck menjadi hasil numerik yang disebut Skor AKIRisk . Skor
AKIRisk untuk [IGFBP7][TIMP-2] dihitung menggunakan rumus : kadar
biomarker (IGFBP7 dan TIMP-2 (dalam (ng/ml)2), dibagi dengan 1000. Hasil tes
([IGFBP7][TIMP-2]) ditampilkan tanpa Unit. Batas kosong, batas deteksi, batas
kuantisasi dan kisaran yang dilaporkan untuk [IGFBP7][TIMP-2] adalah 0.0002,
0.002, 0.002, dan 0,04-10,0. 12
Spesimen beku dicairkan pada suhu kamar (18-25C) selama waktu tidak
lebih dari 20 menit. Setelah spesimen dicairkan, lalu dibalik sebanyak 1-2 kali untuk
memastikan pencampuran telah homogen dan segera diuji. Spesimen dimasukkan ke
dalam kartrid NephroCheck Test dalam waktu satu jam setelah menempatkan
spesimen ke dalam bak air. Alikuot 100 L dari buffer yang disertakan dalam Kit uji
ditambahkan ke konjugat fluoresens berlabel yang diikuti dengan penambahan 100

19
l aliquot dari spesimen urine yang dicairkan. Larutan dicampur dengan lembut.
Campuran (100 l) kemudian dimasukkan ke kartrid uji NephroCheck . Kartrid uji
dimasukkan ke dalam Astute 140 Meter, yang akan mengeluarkan hasil dalam 20
menit. Skor [IGFBP7] [TIMP-2] ditampilkan di layar Astute140 Meter setelah
prosedur uji NephroCheck selesai. Interval referensi untuk [IGFBP7][TIMP-2]
pada spesimen urine adalah 0.042.22. 12

2.3.11. Tissue Inhibitor of Metalloproteinases-2 (TIMP-2)


Tissue Inhibitor of Metalloproteinases-2 (TIMP-2) adalah anggota keluarga
matriks metaloproteinase yang berperan dalam pertumbuhan jaringan dan
remodeling. TIMP-2 disekresi oleh tubulus distal dan terlibat dalam penghentian
siklus sel G1. Untuk jangka waktu yang pendek, penghentian sel siklus mungkin
bersifat protektif, mencegah sel memasuki siklus sel selama periode cedera saat itu.
Namun, ketika penghentian siklus sel tersebut berkepanjangan, maka sel dapat
mengalami fibrosis. Penelitian tentang AKI memperlihatkan peran penghentian
siklus sel yang berkepanjangan pada masa transisi dari AKI menjadi CKD. 12,13
Kashani et al. melaporkan bahwa kenaikan IGFBP7 dapat memprediksi AKI
derajat sedang sampai berat dalam waktu 12 jam setelah pengumpulan spesimen. 12

Metode Pemeriksaan TIMP-2

Uji NephroCheck adalah tes diagnostik in-vitro yang telah disetujui


oleh FDA, yang secara kuantitatif mengukur kadar IGFBP7 dan TIMP-2 dalam urine
manusia pada alat analyser Astute 140 Meter. Uji ini menggunakan kartrid sekali
pakai yang terdiri dari sandwich immunoassay untuk IGFBP7 dan TIMP-2 pada strip
uji membran yang dilapisi plastik. Astute 140 Meter mengubah sinyal fluoresens
dari masing-masing immunoasai (IGFBP7 dan TIMP-2) yang terdapat dalam kartrid
Uji NephroCheck menjadi hasil numerik yang disebut Skor AKIRisk . Skor
AKIRisk untuk [IGFBP7][TIMP-2] dihitung menggunakan rumus : kadar
biomarker (IGFBP7 dan TIMP-2 (dalam (ng/ml)2), dibagi dengan 1000. Hasil tes
([IGFBP7][TIMP-2]) ditampilkan tanpa Unit. Batas kosong, batas deteksi, batas
kuantisasi dan kisaran yang dilaporkan untuk [IGFBP7][TIMP-2] adalah 0.0002,
0.002, 0.002, dan 0,04-10,0. 12

20
Spesimen beku dicairkan pada suhu kamar (18-25C) selama waktu tidak
lebih dari 20 menit. Setelah spesimen dicairkan, lalu dibalik sebanyak 1-2 kali untuk
memastikan pencampuran telah homogen dan segera diuji. Spesimen dimasukkan ke
dalam kartrid NephroCheck Test dalam waktu satu jam setelah menempatkan
spesimen ke dalam bak air. Alikuot 100 L dari buffer yang disertakan dalam Kit uji
ditambahkan ke konjugat fluoresens berlabel yang diikuti dengan penambahan 100
l aliquot dari spesimen urine yang dicairkan. Larutan dicampur dengan lembut.
Campuran (100 l) kemudian dimasukkan ke kartrid uji NephroCheck . Kartrid uji
dimasukkan ke dalam Astute 140 Meter, yang akan mengeluarkan hasil dalam 20
menit. Skor [IGFBP7] [TIMP-2] ditampilkan di layar Astute140 Meter setelah
prosedur uji NephroCheck selesai. Interval referensi untuk [IGFBP7][TIMP-2]
pada spesimen urine adalah 0.042.22. 12

2.3.12. Sodium/ Hydrogen Exchanger Isoform (NHE3)


Sodium/ Hydrogen Exchanger Isoform (NHE3) adalah transporter Natrium
yang paling banyak terdapat di tubulus ginjal, yang memiliki peran penting dalam
reabsorpsi 60-70% natrium bikarbonat di tubulus proksimal ginjal tikus. NHE3
terletak di membran apikal dan kompartemen vesikular intra-seluler sel tubulus
proksimal. Ekskresi NH3 dalam urine merupakan marker yang berguna untuk
membedakan kelompok kontrol, pasien dengan azotemia pra renal, dan penyakit
glomerulus akut, atau nekrosis tubulus akut. Namun, dilaporkan bahwa jika
penanganan spesimen dan pengolahannya tidak optimal, NH3 dapat terdegradasi dan
terjadi penurunan kadar NH3. Metode pemeriksaannya dengan immunoblotting. 1

2.3.13. Fetuin A
Fetuin A adalah protein fase akut yang disintesis di hati dan disekresikan ke
dalam sirkulasi, yang memiliki peran penting dalam resorpsi tulang, regulasi
aktivitas insulin, faktor pertumbuhan hepatosit dan respon inflamasi. Kadar Fetuin A
dalam urine meningkat pada pasien AKI yang dirawat di ICU dibandingkan dengan
pasien yang tidak mengalami AKI dan relawan yang sehat. Meskipun fungsi
Fetuin A pada AKI belum jelas, namun mungkin memiliki peran penting dalam
apoptosis sel tubulus. Metode pemeriksaannya dengan immunoblotting. 1

2.3.14. Clusterin

21
Clusterin adalah glikoprotein yang pertama kali diisolasi dari testis domba
dan dinamakan Clusterin karena kemampuannya untuk menghasilkan sekelompok
sel Sertoli. Clusterin diproduksi di ginjal dan urine dari tikus, anjing, dan primata
setelah timbul berbagai gejala pra-klinis AKI, obstruksi ureter unilateral, atau
nefrektomi subtotal. Clusterin, seperti halnya KIM-1, dihasilkan oleh sel tubulus
yang rusak dan juga pada penyakit ginjal polikistik dan kanker ginjal. Bentuk utama
dari Clusterin manusia (nCLU) adalah pro-apoptosis dan bentuk sekretoriknya
(sCLU), yang meningkat sebagai akibat respon terhadap stres molekul, memiliki
karakteristik anti-apoptosis dan pro-survival. Beberapa penemuan obat dengan target
ekspresi sCLU mungkin menjadi terapi yang menjanjikan untuk kanker, terutama
kanker dengan over-ekspresi sCLU seperti kanker ginjal, prostat, usus besar,
payudara dan paru-paru. Metode pemeriksaanya dengan ELISA. Namun, sampai
sekarang, tidak ada penelitian klinis yang menunjukkan Clusterin dapat digunakan
sebagai indikator prognostik atau alat diagnostik awal dari AKI pada manusia. 1

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

22
Fungsi ginjal secara keseluruhan didasarkan oleh fungsi nefron dan gangguan fungsi
ginjal disebabkan oleh menurunnya kerja nefron. Untuk mendeteksi kelainan tubulus pada
nefron perlu dilakukan pemeriksaan biomarker.
Beberapa biomarker yang dapat mendeteksi kelainan pada tubulus ginjal antara lain :
Kidney Injury Molecule-1 (KIM-1), Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin (NGAL),
Interleukin-18 (IL-18), Cystatin C, N-Asetil--Glucosaminidase (NAG), 2-mikroglobulin, -
1 mikroglobulin, Retinol Binding Protein (RBP), Netrin-1, Insulin-like Growth Factor-
Binding Protein 7 (IGFBP7), Tissue Inhibitor of Metalloproteinases-2 (TIMP-2), Sodium/
Hydrogen Exchanger Isoform (NHE3), Fetuin A, dan Clusterin.
Diharapkan nantinya biomarker tersebut dapat mendeteksi kelainan tubulus pada
nefron lebih awal sehingga dapat membantu pemilihan penanganan awal, evaluasi efektivitas
terapi, dan membantu pemilihan obat

DAFTAR PUSTAKA

1. Adiyanti SS, Loho T. Acute Kidney Injury (AKI) Biomarker. Acta Medica
IndonesianaTheIndonesianJournalofInternalMedicine2012;44(3):246

23
255.

2. de Geus HRH, Betjes MG and Bakker J. Biomarkers for the Prediction of Acute
Kidney Injury: a Narrative Review on Current Status and Future Challenges. Clin
Kidney J 2012 ; (5) : 102108.

3. Rinawati W, Aulia D. Kidney Injury Molecule-1 (KIM-1) sebagai Penanda Baru


Nekrosis Tubular Akut. Maj Kedokt Indon 2011; 61 (2) : 81-85.

4. Anurogo D, Ikrar T. Interleukin 18, Biomarker Cedera Ginjal Akut. Semijurnal


Farmasi & Kedokteran Ehical Digest 2016 ; (147) : 68-72.

5. Dania, Surijadi TH, Suhadi FXB. NGAL (Neutrophil Gelatinase-Associated


Lipocalin) Biomarker Baru Untuk Mendiagnosis Acute Kidney Injury Lebih Dini.
Medicinus 2011 ; 3 : 19-26.

6. Yaswir R, Maiyesi A. Pemeriksaan Laboratorium Cystatin C Untuk Uji Fungsi Ginjal.


Jurnal Kesehatan Andalas 2012 ; 1 (1) : 10-15.

7. Tortora GJ, Derrickson B. 2011. Principles of Anatomy and Physiology Maintanance


and Continuity of the Human Body 13 th Edition. Amerika Serikat : John Wiley &
Sons, Inc.

8. Guyton A.C. and J.E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta:
EGC.

9. A.D.A.M. Images. Kidney Anatomy. Available from URL :


http://www.adamimages.com.

10. Boundless. The Functional Unit of the Kidney, the Nephron, Removes Waste from the
Body. Available from URL : https://www.boundless.com/
biology/textbooks/boundless-biology-textbook/osmotic-regulation-and-the-excretory-
system-41/human-osmoregulatory-and-excretory-systems-229/nephron-the-
functional-unit-of-the-kidney-1009-17186/

11. Encyclopdia Britannica. Nephron. Available from URL :


https://www.britannica.com/science/nephron.

12. Chindarkar NS, Chawla LS, Straseski JA, Jortani SA, Uettwiller-Geiger D, Orr RR,
Kellum JA, Fitzgerald RL. Reference Intervals of Urinary Acute Kidney Injury (AKI)
markers [IGFBP7][TIMP2] in Apparently Healthy Subjects and Chronic Comorbid
Subjects without AKI. Clinica Chimica Acta (2016) 452 : 3237.

13. Emlet DR, Pastor-Soler N, Marciszyn A, Wen X, Gomez H, Humphries WH, IV,
Morrisroe S, Volpe JK, Kellum JA. Insulin-like Growth Factor Binding Protein 7 and

24
Tissue Inhibitor of Metalloproteinases-2: Differential Expression and Secretion in
Human Kidney Tubule Cells. Am J Physiol Renal Physiol 2017 (312) : F284F296.

14. Verdiansah. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. CDK-237 2016 ; 43 (2) : 148-154

25
BiomarkerurinAKI,terbagimenjadilima:(1)enzimtubulerurin,contohnya:
glutathioneStransferase,gamaglutamyltransferase,Nacetylbdglucosaminidase,
(2)proteinurindenganberatmolekulrendah,misalnya:cystatinCurin,(3)marker
inflamasiurin,seperti:IL1,6,8,dan18,matrixmetalloproteinase2,(4)respon
tubulerproksimal,berupa:NGAL(neutrophilgelatinaseassociatedlipocalin),KIM1
(kidneyinjurymolecule),cystatinC,LFABP(livertypefattyacidbindingprotein),
(5)proteindicellcyclearrest,contohnya:IGFBP7(insulinlikegrowthfactorbinding
protein7),TIMP2(tissueinhibitorofmetalloproteinases2).

Tabel 1. Perbandingan beberapa biomarker AKI pada pasien AKI dan


relawan yang sehat. 1

Biomarker AUC-ROC Cut-Off Sensitivitas Spesifisitas

Cystatin C 0,85 37 45% 92%

IL-18 0,83 2,74 68% 95%

KIM-1 0,95 1,73 80% 90%

NAG 0,85 0,015 80% 65%

NGAL 0,89 82,7 80% 96%

Tabel 2. Perbandingan beberapa biomarker AKI pada pasien AKI dan pasien
tanpa AKI. 1

Biomarker AUC-ROC Cut-Off Sensitivitas Spesifisitas

Cystatin C 0,90 0,11 78% 94%

IL-18 0,85 2,30 69% 92%

KIM-1 0,95 0,70 90% 96%

NAG 0,85 0,007 99% 100%

NGAL 0,89 83 80% 98%

Tabel 3. Perbandingan Biomarker dan Metode Pengukurannya. 1

Biomarker Deskripsi Fungsi Ginjal Metode


Pengukuran

26
NAG Enzim lisosom tubulus proksimal, Tubulus Kolorimetri
lebih stabil daripada enzim urine
lainnya
2-microglobulin Rantai ringan MHC-I di semua sel Tubulus ELISA,
nephelometer
bernukleus.
Tidak stabil pada urine dengan
pH <6
RBP Disintesis di hati, berperan dalam Tubulus ELISA,
nephelometer
transport vitamin A, stabil pada
pH urine yang asam
Cystatin C Inhibitor protease cystein Filtrasi ELISA
Glomerulus
KIM-1 Glikoprotein membran tipe I, Tubulus ELISA,
spesifisitas dan sensitivitasnya Luminex based
sangat tinggi assay

Clusterin Diekspresikan sel epitel tubulus, Tubulus ELISA


sensitivitas tinggi, belum ada uji
klinis
NGAL Pada awalnya dideteksi di Tubulus ELISA,
neutrophil-gelatinase, juga Luminex based
dihasilkan oleh sel epitel yang assay
mengalami inflamasi
NHE3 Transporter Natrium terbanyak di Tubulus Immunoblotting
tubulus, proses pemeriksaan
sampel belum optimal
Exosomal Fetuin A Protein fase akut yang disintesis Tubulus Immunoblotting
di hati, proses pemeriksaan
sampel belum optimal

27

Anda mungkin juga menyukai