PRESEPTOR:
PENYUSUN:
Christopher Rinaldi
130112150522
BANDUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma kepala adalah masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius, sekalipun
dengan adanya sistem pengobatan modern pada abad 21. Kebanyakan pasien dengan trauma
kepala (75-80 %) adalah trauma kepala ringan, sementara sisanya terbagi secara merata antara
sedang dan berat.
Hampir 100% dari orang-orang dengan trauma kepala berat dan sekitar dua per tiga dari
orang-orang dengan trauma kepala sedang akan mengalami disability yang permanen, dan
tidak akan kembali ke keadaan seperti sebelum terjadi trauma.
Banyak mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya trauma kepala, dan penyebab
yang paling sering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (seperti tabrakan, pejalan kaki yang
tertabrak motor, kecelakaan sepeda), jatuh, trauma ketika berolahraga, dan trauma penetrasi.
Pada daerah pinggiran (suburban atau rural), kecelakaan kendaraan bermotor terjadi pada lebih
dari setengah kasus trauma kepala. Sementara untuk daerah dengan populasi lebih dari 100.000
penduduk, jatuh dan luka penetrasi adalah penyebab yang paling umum. Sedangkan rasio
terjadinya trauma kepala antara pria dan wanita adalah 2:1, dan prevalensi terbanyak ditemukan
pada usia < 35 tahun.
Tujuan dari modalitas radioimaging adalah untuk mengidentifikasi luka yang dapat
ditangani untuk mencegah proses patologis sekunder dan menyediakan informasi diagnostik.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1.Modalitas neuroimaging
Modalitas neuroimaging yang dapat digunakan dalam trauma kepala adalah sebagai
berikut:
X-ray tengkorak
Pada umumnya, x-ray tengkorak tidak direkomendasikan pemeriksaan pada trauma
kepala. Trauma kepala tanpa fraktur tetap memiliki risiko untuk adanya proses
patologis intrakranial yang tidak dapat dideteksi oleh x-ray.
CT scan (computed tomography)
CT scan diindikasikan pada pasien dengan trauma kepala sedang dan berat (GCS 12),
untuk pasien trauma kepala ringan dan berumur lebih dari 60 tahun, defisit neurologis
persisten, sakit kepala atau muntah, amnesia, hilang kesadaran lebih dari 5 menit,
fraktur tulang depressed, cedera tusuk, atau diathesis pendarahan atau terapi
antikoagulasi. CT scan merupakan modalitas radioimaging pilihan dikarenakan cepat,
tersedia banyak, dan akurat dalam mendeteksi fraktur tengkorak dan perdarahan
intrakranial. Peralatan bantuan hidup dan monitoring dapat lebih mudah dimasukan ke
dalam CT scanner diabndingkan dengan MRI. CT scan lebih baik digunakan
dibandingkan dengan MRI untuk mendeteksi fraktur tengkorak dan benda asing radio-
opak. Pemeriksaan nonkontras sebaiknya dilakukan terlebih dahulu untuk menghindari
masking dari gejala perdarahan saat dilakukan pemeriksaan kontras intravena. Pada
cedera vaskuler, dapat dilakukan CT angiografi. Meskipun demikian, mayoritas dari
cedera kepala ringan tidak memiliki abnormalitas yang terlihat pada CT scan.
Pemeriksaan dari CT scan selalu dbandingkan antara 3 window, yaitu otak, subdural,
dan tulang.
MRI (magnetic resonance imaging)
MRI diindikasikan pada pasien yang gejala neurologisnya tidak dapat dijelaskan dari
hasil pemeriksaan CT scan. MRI merupakan modalitas radioimaging utama dalam
trauma kepala subakut atau kronis. MRI dan CT scan hampir identik akurasinya untuk
deteksi hematoma epidural dan hematoma subdural, namun MRI lebih sensitif pada
koleksi smear extra-axial, lesi non-perdarahan, cedera batang otak, dan perdarahan
subaraknoid apabila FLAIR (fluid attenuated inversion recovery) digunakan.
SPECT (single photon emission tomography)
Merupakan cabang dari kedokteran nuklir yang dapat menilai aliran darah otak.
Biasanya digunakan secara komplimenter dengan MRI.
1.2.Definisi trauma kepala
Trauma kepala akut umumnya menggunakan CT scan untuk mendeteksi lesi yang dapat
ditangani sebelum lesi tersebut dapat menyebabkan kerusakan neurologis sekunder. Saat
digunakan pada pasien yang tidak sadar dengan trauma kepala berat, junction kranioservikal
sebaiknya juga diperiksa. MRI dapat digunakan apabila pasien mengalami trauma kepala yang
subakut atau kronis atau pada pasien dengan trauma kepala akut yang penemuan neurologisnya
tidak dapat dijelaskan oleh CT scan.
Cedera trauma kepala dapat dibagi menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Lesi primer
disebabkan secara langsung oleh trauma kepala, seperti pendarahan epidural, subdural,
subaraknoid, dan intraventrikular serta diffuse axonal injury (DAI), kontusio serebri,
hematoma intraserebral, cedera gray matter subkortikal, dan cedera langsung dari vaskularisasi
serebral. Lesi sekunder disebabkan oleh adanya hipoksia atau efek masa seperti pembengkakan
serebral, herniasi serebral, hidrosefalus, iskemia atau infark, kebocoran cairan serebrospinal,
formasi kista leptomeningeal, dan ensefalomalasia. Lesi sekunder umumnnya dapat dicegah.
CT scan menunjukan lesi hiperdense berbatas tegas berbentuk bikonveks mengikuti konkavitas
tengkorak yang tidak melewati sutura kranial di mana bagian periosteum dari dura terpasang
dengan erat.
Umumnya berasal dari vena dan umumnya disebabkan oleh pelebaran atau robekan dari vena
korteks yang berada di bagian subdural. Dekselerasi dan akselerasi kepala pada trauma dapat
mengakibatkan hematoma subdural. CT scan menunjukan lesi hiperdense berbatas tegas
dengan tepi ireguler berbentuk bulan sabit. Hematoma subdural juga dapat terlihat sejalan
dengna fax dan tentorium serebri. Karena struktur-struktur tersebut merupakan jaringan dural,
hematoma tidak berkumpul pada struktur-struktur tersebut.
Umumnya tidak berkaitan dengan kontusio yang ada. Dapat disebabkan oleh trauma tembus.
Adanya kerusakan pada pembuluh darah otak sehingga menyebabkan darah keluar dari
pembuluh darah ke jaringan otak. CT scan menunjukan lesi hiperdense berbatas tegas dengan
tepi ireguler. Dapat disertai juga dengan bayangan hipodense.
Pada CT scan, umumnya tampak perdarahan petekial pada gray/white matter jungsi serebri
atau korpus kalosum. Daerah berbatas tidak tegas dengan atenuasi yang menurun dapat terlihat
pada lesi nonhemorrhagik.
Merupakan cedera otak fokal yang melibatkan gray matter korteks. Umumnya memiliki
prognosis yang lebih baik dari DAI.
Umumnya terjadi pada daerah bertulang (bony protuberances) yang melibatkan os temporalis
di atas os petrosa atau posterior dari greater sphenoid wing dan lobus frontalis di atas cribriform
plate, planum sphenoidale, dan lesser sphenoid wing. Dapat terjadi secara bilateral dan
multipel, dapat terjadi sekitar batas dari fraktur tengkorak depressed. Penampakan kontusio
serebri dengan CT scan bervariasi sesuai dengan usianya. Pertamanya tampak lesi hipodense
(edema) yang tercampur dengan perdarahan. Setelah 24-48 jam, terjadi transformasi
hemorrhagik atau coalescence dari hemorrhagi petekial menjadi hematoma bulat.
Merupakan lesi sekunder yang sering terjadi, umumnya disebabkan oleh peningkatan kadar
cairan jaringan (edema) sekunder dari hipoksia yang menyebabkan efek massa generalisata
dengan hilangnya (effacement) dari sulci dan basal cisterna, kompresi ventrikel, dan kehilangan
diferensiasi white/gray matter. Serebelum dan batang otak umumnya tidak dipengaruhi dan
terlihat hiperdense relatif terhadap hemisfer otak. Terkadang pembuluh darah di falx dan
serebrum tampak hiperdense.
II. Hidrosefalus
Hidrosefalus didefinisikan sebagai ekspansi dari sistem ventrikular yang disebabkan oleh
peningkatan volume cairan serebrospinal di dalamnya.
Hidrosefalus obstruktif disebabkan oleh obstruksi dari aliran cairan serebrospinal seperti
stenosis kongenital dari aqueduct serebral atau obstruksi sekudner dari tumor.
2. Herniasi uncal aspek medial dari lobus temporalis bergerak ke arah medial melewati
margin bebas dari tentorium
3. Herniasi transtentorial otak akan berherniasi ke atas atau ke bawah melewati incisura
tentorial
4. Herniasi tonsillar tonsil serebelar bergerak ke bawah melalui foramen magnum
KESIMPULAN