Patofisiologi SDH
Patofisiologi SDH
Patofisiologi
Trauma otak dapat terjadi karena pergerakan pada kepala yang
melampaui batas elastisitas dari struktur intrakranial dan akibat dari trauma
tersebut tergantung dari macam pergerakannya. Ada beberapa macam
pergerakan yang menyebabkan trauma, yaitu (Sjamsuhidajat, 2004):
1. Counter coup terjadi ketika kepala yang bergerak mengenai obyek yang
diam
2. Diffuse axonal injury (white matter injury) ketika kepala bergerak
terhenti tiba-tiba karena suatu pukulan (whiplash injury)
3. Lesi coup ketika kepala diam dikenai obyek bergerak
4. Trauma coup dengan atau tanpa diffuse axonal atau counter coup ketika
kepala bergerak mengenai obyek yang bergerak
Subdural hematoma terjadi oleh karena suatu mekanisme cedera
akselerasi-deselerasi akibat adanya perbedaan relative arah gerakan antara
otak dengan suatu benturan sehingga pada saat mulai gerakan tersebut
(akselerasi), otak tertinggal di belakang gerakan kranium dalam beberapa
waktu singkat. Hal ini menyebabkan otak bergeser terhadap tulang kranium
dan duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya terutama pada
vena-vena penggantungnya (bridging veins) (Sjamsuhidajat, 2004).
Cedera yang terjadi dapat menyebabkan perdarahan dan perdarahan
tersebut dapat membentuk suatu massa yang berkembang membesar, yaitu
hematoma yang dapat menyebabkan pergeseran dan distorsi otak yang
bersamaan dengan peningkatan tekanan intracranial. Peningkatan tekanan
intrakranial ini dapat mengarah terjadinya herniasi otak. Hematoma yang
terjadi pada subdural hematom dapat meluas dan tekanan sistem vena yang
rendah menyebabkan perdarahan subdural hematom menjadi perlahan.
Gejala klinis yang terjadi dapat berbeda tergantung dari tempat lesi yang
merusak lobus-lobus otak (Sjamsuhidajat, 2004).
B. Manifestasi Klinis
Secara umum gejala yang tampak pada subdural hematom dari tingkat yang
ringan hingga berat, yaitu sakit kepala hingga penurunan kesadaran.
Manifestasi klinis yang terjadi pada pasien subdural hematom dipengaruhi
oleh beratnya cedera otak dan kecepatan pertambahan volume perdarahan.
Pada pasien dapat seketika tidak sadar jika lesi mengenai batang otak atau
pasien dapat sadar setelah kejadian karena perdarahan minimal. Pupil
anisokor dan deficit neurologis adalah gejala klinis yang sering ditemukan.
Trauma langsung pada saraf okulomotor pada saat terjadi trauma
menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma (Sjamsuhidajat,
2004).
Selain itu, peningkatan tekanan intracranial dapat menyebabkan
nyeri kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat
kelumpuhan n. III, anisokor pupil dan deficit neurologis lainnya. Pada
hematoma subdural akut dapat menimbulkan gejala neurologis dalam 24
jam sampai 48 jam setelah cedera. Gangguan neurologis progresif terjadi
karena tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen
magnum yang selanjutnya dapat menimbulkan tekanan pada batang otak.
Ini menyebabkan terganggunya pusat pernapasan dan gangguan pada
control denyut nadi dan tekanan darah (Sjamsuhidajat, 2004).
Pada hematoma subdural subakut yang menyebabkan defisit
neurologis dalam 48 jam hingga kurang dari 2 minggu setelah cedera,
memiliki gambaran penurunan kesadaran yang selanjutnya diikuti dengan
perbaikan status neurologis yang perlahan. Namun dalam jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk seiiring pembesaran hematoma. Sementara pada hematoma
subdural kronik dapat menimbulkan gejala beberapa minggu, bulan dan
bahkan tahun setelah cedera pertama. Hal ini terjadi karena perdarahan yang
terjadi secara lambat dalam ruang subdural. Dalam 7 hingga 10 hari setelah
perdarahan, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa yang menyebabkan
meningkatnya tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini menyebabkan perdarahan
lebih lanjut dengan merobek membran sekitar dan meningkatkan tekanan
hematoma (Sjamsuhidajat, 2004).
C. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditanyakan riwayat trauma kepala baik
ditemukan jejas atau tidak di kepala. Jika terdapat riwayat trauma
kepala, dapat pula ditanyakan kesadaran setelah terjadinya trauma dan
diperhatikan lamanya periode sadar. Riwayat muntah dan kejang setelah
terjadinya trauma penting ditanyakan untuk mengetahui proses
intracranial yang berlangsung. Pada penderita yang sadar perlu
ditanyakan ada tidaknya nyeri kepala dan kelemahan anggota gerak
sesisi dan muntah yang tidak dapat ditahan (Christanto, 2015).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang penting dilakukan pada penderita adalah
pemeriksaan neurologik yang menggunakan Skala Koma Glasgow,
pemeriksaan diameter pupil dan tanda-tanda defisit neurologis fokal.
Pemeriksaan Skala Koma Glasgow (GCS) dilakukan untuk menilai
tingkat kesadaran pasien dari kemampuannya membuka mata, respon
verbal dan respon motorik penderita baik dengan atau tanpa stimulasi
verbal atau nyeri. Sementara pemeriksaan diameter pupil dan deficit
neurologi fokal digunakan untuk menilai apakah telah terjadi herniasi
dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal. Penurunan angka
GCS sesuai dengan penurunan dan gangguan fungsi yang terjadi pada
otak secara rostro-kaudal yang dimulai dari korteks, diensefalon hingga
ke batang otak/ mesensefalon (Christanto, 2015).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume dan
potensi cedera kranial lainnya. Pada CT-Scan, pengumpulan cairan
pada subdural awalnya menunjukkan daerah pengumpulan cairan
kresentik yang terletak di perifer. Cairan ini dilihat sebagai area dengan
densitas yang berubah dan biasanya berbatas cekung. Perdarahan yang
baru diperlihatkan sebagai densitas yang meningkat (putih/ hiperdens)
walaupun kemudian berkurang hingga akhirnya menjadi area dengan
densitas yang rendah (hipodens). Efek massa dan pergeseran mid line
dapat mengindikasikan adanya pengumpulan cairan yang signifikan
(Staniic, 2013).
D. Penatalaksanaan
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi outcome pada pasien dengan
subdural hematom antara lain usia, jenis kelamin, status neurologic saat
masuk rumah sakit dan jarak waktu antara trauma dengan evakuasi
perdarahan. Pada penelitian Wilberger dilaporkan bahwa waktu antara
trauma dan operasi adalah faktor yang paling penting di antara semua
variabel. Dilaporkna pula bahwa terdapat penurunan angka kesakitan dan
kematian pada pasien yang dilakukan operasi pada 4 jam pertama dibanding
pasien yang menjalani operasi setelah waktu di atas 4 jam. Tindakan
preoperatif dapat mengulur waktu pembedahan meski dapat meningkatkan
outcome klinis dari pasien. Tindakan tersebut meliputi pemberian dosis
tinggi manitol preoperative, pengaturan ventilasi, regulasi suhu tubuh
preoperative, dan menjaga stabilisasi hemodinamik preoperative. Namun
sebelum tindakan preoperative dilakukan, pasien cedera kepala pada
umumnya dilakukan tindakan seperti (Christanto, 2015):
1. Pemasangan pipa endotrakeal untuk memastikan jalan napas tetap
bebas dan mecegah aspirasi paru.
2. Oksigenasi dan kontrol ventilasi untuk mencegah hipoksia dan
hiperkapnea.
3. Menjaga status hemodinamik tetap stabil dengan menghindari
hipertensi yang berlebih dan mencegah terjadinya hipotensi yang
membahayakan. Cairan infus rumatan digunkana yang bersifat
isoosmoler.
4. Posisi kepala netral dan head up untuk memastikan aliran darah
balik serebral tidak mengalami gangguan.
5. Fenitoin sebagai anti kejang diberikan IV.
6. Propofol dan atrakurium kontinyu dan dexketoprofen IV diberikan
sebagai sedative, analgesic serta memfasilitasi penggunaan
ventilasi mekanik pada pasien.
7. Pemberian manitol dosis 0,5 g/kgBB diberikan sebagai pengedalian
TIK.