Anda di halaman 1dari 31

1

REFERAT

Glaukoma Akut Sudut Tertutup Primer

Disusun Oleh

Dosen Pembimbing
Dr. Erin Rasianti, Sp.M M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Rumah Sakit Mata Dr. Yap Yogyakarta
Periode 29 Mei 2017 01 Juli 2017
2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih
dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan penulisan referat ini. Penulisan referat yang
berjudul Primary Open Angle Glaucoma ini dibuat dengan tujuan sebagai salah satu syarat
kelulusan dalam kepaniteraan klinik di Rumah Sakit Mata dr Yap Yogyakarta. Pada proses
pembuatannya penulis memakai sumber referensi dari buku dan internet.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing, dr. Erin Arsianti,
Sp.M, M.Sc yang telah membimbing dalam menyelesaikan referat ini. Penulis sadar bahwa
dalam pembuatan referat ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik disertai saran dari pembaca demi perbaikan dimasa yang akan datang.
Penulis berharap agar referat ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan bagi pihak yang memerlukan khususnya bagi Penulis sendiri.

Yogyakarta, 16 Juni 2017

Penulis
3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Glaukoma adalah neuropati optik yang disebabkan oleh tekanan intraokular (TIO) yang
(relatif) tinggi, yang ditandai oleh kelainan lapangan pandang yang khas dan atrofi papil saraf
optik. Pada keadaan ini TIO tidak harus selalu (absolut) tinggi, tetapi TIO relatif tinggi untuk
individu tersebut.
Glaukoma disebut sebagai Pencuri Penglihatan sebab pada sebagian besar kasus
glaukoma, gejala sering tidak dirasakan oleh penderita. Pada tahap awal, kerusakan terjadi
pada tepi lapangan pandang sehingga penderita tidak menyadarinya, penderita akan merasa
terganggu jika kerusakan sudah mengenai lapangan pandang sentral dan pada saat itu
penyakit sudah terlanjur parah. Proses kerusakan saraf optik berjalan secara perlahan sampai
akhirnya terjadi kebutaan total. Akhirnya penderita menjadi benar-benar buta.
Klasifikasi yang paling sering dari glaukoma adalah glaukoma sudut terbuka dan
glaukoma sudur tertutup. Glaukoma menjadi beban penyakit baik bagi negara-negara barat
maupun negara-negara asia timur. Glaukoma sudut terbuka banyak ditemukan di negara-
negara barat, sementara glaukoma sudur tertutup banyak ditemukan di negara-negara asia
timur. Pasien dengan glaukoma dilaporkan memiliki kualitas hidup yang rendah, gangguan
emosi, dan gangguan sosial.
Tekanan intra okular (TIO) yang tinggi merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya
glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup. Terjadinya kebutaan bergantung pada
tekanan intra okular, tingkat keparahan penyakit, usia, onset, dan riwayat keluarga.
Pada studi epidemiologi, membuktikan bahwa pengendalian tekanan intra okular yang
optimal dapat menurunkan risiko kerusakan saraf dan menghambat progressi penyakit.
Berbagai intervensi dilakukan untuk menurunkan tekanan intra okular, mulai dari terapi
konvensional, keratoplasti laser, pembedahan insisi, dan siklodestruktif. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien glaukoma primer sudut terbuka
yang ditangani di Rumah Sakit Mata Dr Yap Yogyakarta, sekaligus jenis intervensi yang
dipakai sebagai penanganan glaukoma primer sudut terbuka.
4

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada referat ini adalah bagaimanakah gambaran karakteristik dan jenis
intervensi pasien glaukoma primer sudut terbuka (GPSTa) di Rumah Sakit Mata dr. Yap
Yogyakarta.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien dan jenis intervensi
glaukoma primer sudut terbuka di Rumah Sakit Mata dr. Yap Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat bagi peneliti
1. Sebagai sarana pembelajaran melakukan penelitian.
2. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan sistematis dalam
mengidentifikasi masalah kesehatan masyarakat.

1.4.2 Manfaat bagi institusi


1. Mewujudukan misi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana untuk
menyelenggarakan pengembagan Tridharma Perguruan Tinggi pada ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran berdasarkan standar pendidikan dokter baik nasional dan
internasional.

2. Mewujudkan misi Rumah Sakit Mata dr Yap Yogyakarta untuk mengembangkan


ilmu kesehatan mata melalui pendidikan, penelitian, dan pelatihan bagi tenaga
kesehatan dan masyarakat.

1.4.3 Manfaat bagi masyarakat


1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai gambaran karakteristik pasien
glaukoma primer dengan sudut terbuka di Rumah Sakit Mata dr Yap Yogyakarta.
2. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap penyakit glaukoma dan akibat dari
penyakit glaukoma.
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Subtipe Glaukoma

Glaukoma adalah suatu kondisi yang bervariasi, dimana yang paling sering ditemui
adalah neuropati optik degeneratif. Neuropati optik yang berhubungan dengan glaukoma
dikarakteristikan dengan pola abnormalitas spesifik dari kompleks nervus optikus dan adanya
gangguan lapang pandang.2
Glaukoma sering sekali dikaitkan dengan peningkatan tekanan intra okular (TIO),
peningkatan TIO tidak dijadikan syarat untuk mendiagnosis glaukoma. Deteksi kerusakan
glaukoma biasanya melalui pencitraan nervus optikus dan menilai gambaran perubahan
struktur.2
Glaukoma dapat diklasifikasikan sebagai sudut terbuka atau sudut tertutup dan sebagai
primer atau sekunder. Baik sudut terbuka dan sudut tertutup dapat terjadi tanpa sebab
(idiopatik) atau sering disebut glaukoma primer. Glakoma sekunder adalah suatu glaukoma
yang disebabkan oleh suatu sebab lain yang dapat diidentifikasi dan menyebabkan kerusakan
nervus optikus. Pseudoeksofoliatif glaukoma adalah penyebab tersering dari glaukoma
sekunder.2

Gambar 1. Klasifikasi dan Subtipe Glaukoma.2


6

Glaukoma primer sudut terbuka merupakan neuropati optik yang bersifat kronik,
progresif, yang ditandai dengan kerusakan saraf optik dan kelainan lapangan pandang yang
khas. Faktor risiko yang paling penting adalah tekanan intraokular (TIO), faktor lain yang
ikut berperan dalam penyakit ini adalah ras, tebal kornea sentral, umur dan adanya riwayat
keluarga yang menderita glaukoma. Terdapat penyakit lain yang berhubungan dengan
glaukoma ini, yaitu mio, diabetes melitus, penyakit kardiovaskulaer, dan oklusi vena retina.2
Glaukoma primer sudut terbuka diklasifikasikan berdasarkan usia, dibagi menjadi
primary congenital glaucoma (sampai dengan usia 3 tahun), juvenile open-angle glaucoma
(3-35 tahun), dan adult onset POAG (>35 tahun). Adult onset POAG adalah bentuk glaukoma
yang paling sering ditemui, bersifat kronik, membahayakan, dan hanya dapat menyebabkan
kebutaan pada tahap lanjut. Glaukoma primer sudut terbuka biasanya tetapi tidak selalu
dihubungkan dengan peningkatan tekanan intra okular yang disebabkan oleh disfungsi
penghasil aqueous humor. Penurunan tekanan intra okular dapat mengurangi kerusakan
nervus optikus dan mencegah terjadinya gangguan penglihatan. Pada kasus tertentu,
peningkatan tekanan intra okular tidak menyebabkan terjadinya kerusakan nervus optikus.
Sedangkan pada kasus lainya kerusakan nervus optikus terjadi tanpa adanya peningkatan
tekanan intra okular.2
Normal-Tension Glaucoma (NTG) adalah suatu bentuk glaukoma primer sudut terbuka,
dimana neuropati optik glaukomatosa terjadi pada pasien dengan tekanan intraokular kurang
dari 21 mmHg. Diagnosis dan tatalaksana pada NTG menjadi suatu tantangan tersendiri. Pada
pemeriksaan opthalmoskopi yang dilakukan pada pasien NTG didapatkan adanya defek lokal
pada persarafan retina dan perdarahan diskus optikus. Patogenesis NTG belum dapat
dijelaskan dan dipercayai disebabkan oleh berbagai faktor sistemik.2

2.2 Gejala Klinis


Glaukoma sudut terbuka primer seringkali terjadi secara tiba-tiba dan biasanya
asimtomatik hingga pada akhirnya menyebabkan kehilangan lapangan pandang yang jelas.
Oleh karena itu, pemeriksaan oftalmologi sebaiknya dilakukan setelah usia pertengahan.
Keluhan yang biasanya dialami oleh pasien yaitu sakit kepala ringan dan terasa nyeri pada
mata. Kadang-kadang pasien juga dapat menyadari adanya defek pada lapang pandangnya,
kesulitan berakomodasi dalam membaca dan bekerja yang menggunakan penglihatan jarak
dekat karena adanya tekanan yang konstan terhadap muskulus siliaris dan suplai sarafnya.
Sehingga pasien terutama yang berusia tua sering mengganti kacamata presbiopinya. Pasien
7

juga mengalami delayed dark adaptation, disabilitas yang semakin mengganggu pada tahap
penyakit yang lebih berat.3
Glaukoma terus progresif tanpa memberikan gejala yang jelas sampai pada akhirnya
diketahui ketika sudah dalam tahap penyakit yang berat dengan berbagai derajat kerusakan
saraf. Ketika mulai muncul gejala, gejala penyakit yang akan muncul berupa vision loss
dengan konkomitan penurunan kualitas hidup dan kemampuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari, seperti mengendarai kendaraan. Intervensi awal sangat esensial untuk
menurunkan progresivitas penyakit.4
Perubahan pada saraf optikus dan lapisan serabut saraf retina terjadi saat sudah terjadi
kematian pada sel ganglion retina dan serabut saraf optikus. Perubahan ini merupakan aspek
yang sangat penting dalam diagnosis glaukoma dan dapat diidentifikasi selama pemeriksaan
oftalmoskopi untuk melihat saraf optikus. Pentingnya melakukan pemeriksaan oftalmologi
yang benar perlu dilakukan sebagai deteksi dini glaukoma yang baik. Kerusakan pada sel
ganglion retina menyebabkan gangguan lapang pandang yang progresif, dan biasanya dimulai
pada daerah midperifer dan meluas secara sentripetal hingga tersisa hanya bagian kecil pada
sentral atau perifer.4

2.2 Patofisiologi Glaukoma Primer Sudut Terbuka

Humor aqueous mengisi bilik mata depan atau kamera okuli anterior (KOA) dan bilik
mata belakang atau kamera okuli posterior (KOP). Humor aqueous diproduksi oleh prosessus
siliaris dan kemudian dicurahkan ke KOP. KOP dibatasi oleh permukaan belakang iris,
korpus siliaris, badan kaca, dan lensa. Dari KOP, humor aqueous dialirkan menuju ke KOA
melalui pupil. KOA dibatasi oleh permukaan depan iris, kapsul lensa, dan kornea. Pada tepi
KOA terdapat sudut iridokorneal (sudut antara iris dan kornea), dan pada apeksnya terdapat
kanalis schlemm. KOA dihubungkan dengan kanalis schelmm melalui anyaman trabekulum.
Dari KOA, humor aqueous dibuang melalui trabekulum menuju kanalis schelmm, kemudian
ke sistem vena episklera untuk kembali ke jantung. Fungsi humor aqueous adalah
memberikan nutrisi ke organ avaskular, yaitu kornea dan lensa, serta mempertahankan bentuk
bola mata.5
Gangguan dinamika humor aqueous akan mengakibatkan perubahan TIO. Pada
glaukoma, aliran humor aqueous tidak lancar sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
produksi dan pembuangan. Volume humor aqueous sangat menentukan besarnya TIO,
apabila produksinya berlebih atau pembuangannya terhambat maka TIO akan meningkat.
8

Sesuai dengan hukum Pascal, tekanan yang tinggi dalam ruang tertutup akan diteruskan ke
segala arah dengan besar tekanan yang sama, termasuk ke belakang. Saraf optik yang berada
di belakang merupakan struktur yang paling lemah akan terdesak dan lambat laun akan
mengalami atrofi.5
Dapat juga terjadi hambatan pada aliran humor aqueous, pada pupil, misalnya blokade
(hambatan) pupil karena seklusio pupil, sehingga terjadi blokade aliran dari KOP ke KOA,
atau iris perifer terdesak ke arah sudut iridokorneal sehingga anyaman trabekulum tertutup
yang mengakibatkan aliran humor aqueous terhenti. Midriasis juga dapat menyebakan sudut
iridokorneal tertutup karena iris terkumpul di sudut iridokorneal dan menutup anyaman
trabekulum. Keadaaan tersebut dapat terjadi setelah pemberian sulfas atropin yang
menyebakan midriasis. Pada orang tua yang menderita katarak imatur/ insipien dimana lensa
mengalami intumesensi, KOA dipersempit kedepan sehingga iris terdorong ke depan dan
menutup anyaman trabekulum sehingga terjadi glaukoma sudut tertutup.5
Pembuangan humor aqueous terdiri dari 2 aliran yaitu aliran trabekular yang
mengalirkan 80-89% dari seluruh cairan humor aqueous dan aliran uveosklera yang
mengalirkan 5-15% humor aqueous. Hambatan aliran humor aqueous dapat terjadi pada tiga
tempat, yaitu sebelum masuk anyaman trabekulum, pada anyaman trabekulum, dan setelah
anyaman trabekulum (kanalis schelmm, saluran kolektor, dan vena episklera).5
Papil saraf optik yang normal mempunyai gambaran nisbah cup disc (C/D) sebesar 0,2-
0,5. Nisbah C/D adalah perbandingan antara diameter cupping/lekukan dan diameter diskus
papil saraf optik. Pada kerusakan papil saraf optik akibat glaukoma dengan ratio CD 0,6
berarti sudah terjadi pengurangan serabut saraf optik yang membentuk bingkai saraf optik.
Kerusakan serabut saraf tersebut akan mengakibatkan gangguan lapangan pandang sesuai
dengan daerah inervasi saraf tersebut pada retina. Pada fase awal, terjadi kerusakan lapangan
pandangan pada daerah Bjerrum. Yang biasanya tidak disadari oleh penderita karena tidak
mempengaruhi pandangan sentral. Pada fase akhir akan terjadi lapangan pandangan yang
sangat sempit (pinhole vision) yang akhirnya akan menghilang dan terjadi kebutaan total
(absolut stage).5

2.3 Epidemiologi Glaukoma Primer Sudut Terbuka

Penelitian epidemiologi yang dilakukan pada 2013, ditemukan bahwa hampir 64,3 juta
orang (usia 40-80 tahun) menderita glaukoma, dan angka ini diharapkan meningkat sampai
dengan 76,0 juta pada tahun 2020 dan 111,8 juta pada tahun 2040. Pada penelitian meta-
9

analisis lainya diperkirakan penderita glaukoma primer sudut terbuka pada tahun 2015 adalah
57,5 juta dan akan meningkat sampai dengan 65,5 juta pada tahun 2020. Sebagian besar
adalah keturunan asia (47%) dan seperempat nya (24%) adalah keturunan eropa.6
Risiko subtipe glaukoma diketahui bervariasi berdasarkan ras dan negara. Pada
penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Eye Disease Prevalence Research Group
menunjukan hasil; Keturunan Afrika Amerika di Amerika Serikat memiliki prevalensi
glaukoma primer sudut terbuka yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaukasia. Pada meta-
analisis lainya yang diikuti oleh 81 penelitian, dari 37 negara, 216.214 peserta, dan 5266
kasus GPSTa menunjukan bahwa populasi keturunan Afrika memiliki prevalensi tertinggi
dengan 5,2% pada usia 60 tahun, dan 12,2% pada usia 80 tahun. Diikuti dengan keturunan
Hispanik 2,31% dan kaukasia 1,99%. Sementara keturunan Asia memiliki prevalensi
terendah 1,48%. Laki-laki memiliki risiko glaukoma primer sudut terbuka yang lebih besar
daripada perempuan.6

2.4 Faktor Risiko Glaukoma Primer Sudut Terbuka

2.4.1 Umum

Usia

Usia adalah faktor risiko yang besar untuk terjadinya suatu glaukoma. Prevalensi
glaukoma 4-10 kali lebih besar ditemukan pada pasien dengan usia tua (>40 tahun). Pada
penelitan kolaboratif glaukoma, insiden penurunan lapang pandang yang disebabkan oleh
glaukoma meningkat berdasarkan faktor usia, dengan persentase 0,7% pada pasien dengan
usia <40 tahun dan 4,8% pada pasien dengan usia 60 tahun. Pada kaukasia kerusakan
nervus optikus biasanya tidak ditemukan pada pasien sebelum usia 50 tahun, tetapi pada
keturunan Afrika dapat terjadi mulai dari usia 40 tahun.7

Suku Bangsa

Suku bangsa adalah faktor risiko besar lainya untuk terjadinya glaukoma primer sudut
terbuka. Onset glaukoma pada keturunan Afrika terjadi 1 dekade lebih awal dibandingkan
ras lainya. Selain itu pada pasien keturunan Afrika seringkali tidak berespon dengan
pemakaian terapi konvensional dan lebih sering mengalami kebutaan. Prevalensi normal
tension glaucoma (NTG) ditemukan tinggi pada ras Asia, hal ini dapat dikarenakan tingkat
akurasi tonometri yang dipakai.7
10

Riwayat Keluarga

Glaukoma disebabkan oleh berbagai faktor, dimana salah satunya adalah riwayat
keluarga. Sekitar 13-25% pasien dengan glaukoma memiliki riwayat keluarga penderita
glaukoma. Risiko terjadinya glaukoma meningkat 3 6 kali lipat lebih besar pada populasi
dengan keluarga dekat yang menderita glaukoma. Risiko glaukoma lebih besar pada
hubungan antar saudara kandung, dibandingkan dengan hubungan anak orang tua.
Hubungan keluarga yang memiliki tekanan intra okular tinggi atau peningkatan cup-to-disc
(C/D) ratio, dapat meningkatkan kemungkinan glaukoma.7

2.4.2 Okular

Tekanan Intra Okular

Tekanan intra okular memiliki hubungan langsung terhadap prevalensi dan risiko jangka
panjang glaukoma. Risiko pasien dengan tekanan intra okular lebih dari 21 mmHg
terjadinya glaukoma meningkat sampai dengan 16 kali lipat dibandingkan pasien dengan
tekanan intra okular kurang dari 16 mmHg. Sementara itu pasien dengan tekanan intra
okular lebih dari 20 mmHg memiliki risiko 6,7% untuk terjadi defek lapang pandang,
sedangkan pada pasien dengan tekanan intra okular kurang dari 20 mmHg memiliki risiko
1,5% untuk terjadinya glaukoma. Tekanan intra okular yang tinggi dapat meningkatkan
risiko kerusakan nervus optikus pada normal tension glaucoma (NTG). Penurunan tekanan
intra okular dapat menurunkan risiko terjadinya kerusakan nervus optikus.7
Pada hasil penelitian jangka panjang, secara konsisten menyatakan pasien dengan
tekanan intra okular tinggi (>21 mmHg) tidak berkembang menjadi glaukoma, sementara
banyak pasien dengan glaukoma memiliki tekanan intra okular dalam batas normal. Pada
penelitian yang dilakukan The Barbados Eye Study menunjukan bahwa peningkatan
tekanan intra okular sebanyak 1 mmHg dapat meningkatkan risiko glaukoma 12%. Insiden
glaukoma meningkat dari 1,8% pada pasien dengan tekanan intra okular 17 mmHg menjadi
22,3% pada pasien dengan tekanan intra okular >25 mmHg.7

Ketebalan Kornea

Pada penelitian Ocular Hypertension Treatement Study (OHTS) menunjukan hubungan


antara ketebalan kornea dengan terjadinya glaukoma sudut terbuka. Kornea yang tipis
meningkatkan risiko terjadinya glaukoma dengan hazard ratio (HR) 1,71 untuk setiap
11

perubahan 40 m ketebalan kornea. Keturunan Afrika memiliki ketebalan kornea yang lebih
tipis, yang mempengaruhi pengukuran tonomeri. Penelitian OHTS menunjukan individu
dengan hipertensi okular memiliki peningkatan risiko terjadinya glaukoma sudut terbuka
sebanyak 1% tiap tahun, pasien dengan peningkatan central cornea thickness (CCT)
memiliki risiko yang lebih tinggi.7

Penurunan Lapang Pandang

Pemeriksaan nervus optikus secara klinis bermanfaat sebagai sarana untuk menilai faktor
risiko, deteksi, dan melihat perkembangan penyakit glaukoma. Hal-hal yang dinilai dari
pemeriksaan nervus optikus meliputi ukuran cup disc (C/D) Ratio dan ketebalan serta
perubahan pada gambaran neuroretinal.7

2.4.3 Nonokular

Diabetes Mellitus

Hubungan diabetes mellitus sebagai penyebab terjadinya peningkatan tekanan intra


okular dan GPSTa merupakan kontroversial. Beberapa penelitian menunjukan prevalensi
hipertensi okular dan GPSTa yang tinggi pada pasien denga diabetes. Sementara pada
beberapa penelitian menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara diabetes
mellitus dengan hipertensi okular ataupun GPSTa.7

2.4.4 Hipertensi Okular

Kriteria untuk hipertensi okular adalah tekanan intra okular 20 mmHg. Hipertensi
okular banyak ditemukan pada pasien dengan usia yang lebih tua (<5% di usia <40 tahun dan
>20% di usia > 70 tahun). Prevalensi hipertensi okular lebih tinggi ditemukan pada keturunan
Afrika dibandingkan kaukasia.7

2.5 Anamnesis

Keluhan pasien yang berhubungan dengan glaukoma biasanya terkait dengan penurunan
lapang pandang, mata merah, nyeri pada kedua bola mata, dan adanya sinar disekitar lampu.
Beberapa hal terkait yang perlu ditanyakan adalah onset, durasi, lokasi, dan tingkat keparahan
pasien. Riwayat keluarga dengan glaukoma menjadi penting untuk ditanyakan. Selain itu
perlu ditanyakan pemakaian obat-obatan yang dapat mencetuskan glaukoma dan obat-obatan
yang telah dikonsumsi untuk mengurangi gejala glaukoma. Penyakit-penyakit terkait yang
12

perlu ditanyakan adalah riwayat diabetes, hipertensi atau hipotensi, gangguan jantung,
migraine.1

2.6 Pemeriksaan Fisik

Deteksi dini terhadap glaukoma disarankan untuk dilakukan pada pemeriksaan mata
menyeluruh. Deteksi dini terhadap glaukoma bermanfaat untuk mencegah terjadinya
penurunan lapang pandang hingga kebutaan. Berikut ini adalah pemeriksaan dan peralatan
yang dapat dipakai untuk memeriksa adanya glaukoma.

Tabel 1. Penilaian terhadap Glaukoma dan Peralatan yang Dibutuhkan.1

Penilaian Klinis Peralatan Utama Peralatan Pilihan


Visus Membaca jauh dengan diagram Diagram berjarak 3-4 m dengan
berjarak, dengan 5 huruf standar, dan kontras yang baik dilakukan pinhole

Refraksi Lensa dan bingkai Trial, retinoskopi, atau Phoropter atau autorefraktor
silinder Jackson cross

Pupil Lampu senter


Segmen Anterior Slit lamp biomikroskop, keratometer Pakimeter kornea
TIO Tonometer applanasi Goldmann, Tonopen, pneumotonometer
tonometer pneumatic non-kontak,

tonomoeter Schiotz
Sudut Slit lamp, gonioskopi, goniolenses Optical coherence tomography
Zeiss/Posner segmen anterior
Nervus Optikus Opthalmoskopi langsung, slit lamp Foto fundus, analisis gambaran
biomikrokopi dengan lensa 78 atau nervus optikus (confocal scanning
laser, optical coherence romography,
90D polarimetri.

Fundus Opthalmoskopi langsung slit lamp Lensa 12 dan 30D, lensa 60 dan 90D
biomikrokop dengan lensa 78D

Lapang Pandang Perimetri manual atau otomatis Teknologi double frekuensi, perimetri
otomatis dengan gelombang pendek

Pemeriksaan visus harus dilakukan tanpa alat bantu dan dilakukan koreksi jarak jauh
dan jarak dekat. Adanya gangguan pada pandangan sentral merupakan gejala glaukoma tahap
lanjut. Pemeriksaan refraksi dilakukan untuk melihat adanya gangguan refraksi. Gangguan
13

refraksi merupakan faktor risiko terjadinya glaukoma sudut terbuka (miopi) atau glaukoma
sudut tertutup (hiperopia). Pemeriksaan pupil dilakukan dengan melihat reaktivitias dan defek
afferen pupil. Defek aferen pupil menandakan adanya glaukoma asimetrik sedang atau
lanjut.1
Pada pemeriksaan kelopak mata/ sklera/ konjungtiva, penemuan tanda-tanda peradangan
seperti kemerahan, nyeri, dan peningkatan tekanan intra okular dapat disebabkan oleh
glaukoma sudut tertutup akut atau kronik, glaukoma karena alergi, atau penyakit lainya.1
Adanya edema pada kornea dapat ditemukan pada peningkatan tekanan intra okular akut
dan kronik. Ketebalan kornea diukur sebagai sarana pembantu penilaian tekanan intra okular.
Pada kornea yang tebal sering terjadi perkiraan tekanan intra okular yang berlebihan.
Sementara pada kornea yang tipis biasanya terjadi perkiraan tekanan intra okular yang
kurang.1
Tekanan intra okular diperiksa sebelum dilakukanya pemeriksaan gonioskopi dan
dilatasi. Pencatatan waktu tekanan intra okular sebaiknya dilakukan untuk menilai variasi
diurnal. Pemeriksaan segmen anterior dilakukan pada keadaan mata sebelum dan sesudah
dilakukan dilatasi. Beberapa hal yang perlu dinilai adalah kedalaman segmen anterior,
pseudoekfoliasi, dispersi pigmen, inflamasi, dan neovaskularisasi, serta penyebab terjadinya
glaukoma.1
Pemeriksaan sudut dilakukan untuk melihat adanya konrak iris dengan trabecular
meshwork pada ruang gelap. Pemeriksaan gonioskopi dilakukan untuk menentukan sudut
glaukoma. Pemeriksaan iris dilakukan dengan menilai mobilitas dan iregularitas, adanya
sinekia anterior dan posterior, adanya pseudoeksofoliasi pada tepi pupil. Pada lensa dinilai
adanya katarak, ukuran, sinekia posterior, materi pseudoeksoliasi, dan adanya gambaran
peradangan.1
Evaluasi terhadap nervus optikus melihat adanya tanda-tanda glaukoma. Tingkat
kerusakan nervus optikus menjadi pedoman untuk menentukan tujuan awal penatalaksanaan.1
Kerusakan nervus optikus tahap awal ditunjukan dengan cup disc (C/D) ratio 0,5, defek
fokal pada serabut saraf, cupping vertical, penipisan diskus, diskus asimetris, ekskavasi
fokal, perdarahan diskus, dan gangguan ISNT rule.

Kerusakan nervus optikus tahap pertengahan hingga lanjut ditunjukan dengan rasio C/D
0,7, defek difus pada serabut saraf, penipisan diskus, ekskavasi nervus optikus, adanya
gambaran cekungan optik, dan perdarahan diskus.
14

2.7 Pemeriksaan Penunjang Glaukoma Primer Sudut Terbuka

Pemeriksaan tekanan intra okular dengan tonometri sebaiknya dilakukan sebelum dilatasi
pupil dan pemeriksaan gonioskopi. Pengukuran secara berkala pada tiap mata (tonometri
serial) dapat digunakan untuk menilai variabilitas diurnal. Hal yang perlu diperhatikan adalah
perbedaan tekanan antara kedua bola mata dan perubahan tekanan intra okular berkala.
Tekanan intra okular biasanya meningkat pada saat tidur (posisi supine), dan terus meningkat
pada malam hari. Tekanan intra okular tertinggi biasanya ditemukan pada pukul 5:30
sebelum bangun pagi.7
Pakimetri digunakan untuk menilai ketebalan kornea sentral (CCT). Pemeriksa
melakukan pemeriksaan pada kedua bola mata, masing-masing tiga kali kemudian diambil
rata-rata nya. Pada pengukuran tekanan intra okular dengan tonometri applanasi Goldmann
(GAT) diasumsikan ketebalan kornea sentral normal (520 m). Pada penelitian sebelumnya
diindikasikan ketebalan kornea mempengaruhi pengukuruan tekanan intra okular khususnya
non-kontak pneumatik tonometri dibandingkan dengan GAT. Pasien glaukoma dengan
ketebalan kornea sentral yang tipis memiliki lapang pandang yang lebih buruk dibandingkan
dengan ketebalan kornea sentral yang tebal.7
Gonioskopi dilakukan untuk menilai sudut bilik depan, membedakan glaukoma sudut
terbuka dan glauoma sudut tertutup.7

2.8 Penatalaksanaan Glaukoma Sudut Terbuka

Diagnosis glaukoma primer sudut terbuka membutuhkan intervensi baik konvensional


maupun aggresif untuk mencegah terjadinya kebutaan dan menjaga kualitas hidup pasien.
Pada saat diagnosis glaukoma sudut terbuka ditegakan, edukasi pasien dapat diawali dengan
perjalanan penyakit, manfaat penurunan tekanan intra okular, dan pemilihan terapi.1

Tabel 2. Pedoman Pentalaksanaan Glaukoma Sudut Terbuka.1

Tahap Keparahan Penilaian Saran Penurunan Saran Penatalaksanaan


Glaukoma TIO
Awal Kerusakan nervus
optikus Turunkan TIO Konvensional atau
penurunan lapang laser trabekuloplasti
25%
pandang
15

Pertengahan/ Kerusakan nervus Turunkan TIO Konvensional atau


Lanjutan optikus 25%-50% laser trabekuloplasti atau

penurunan lapang Trabekulotomi Mitomycin


pandang C atau tube implan atau
cyclophotocoagulation
Akhir Kebutaan nyeri Turunkan TIO Konvensional atau
25%-50% cyclophotocoagulation atau
cryotheraphy dan
(jika nyeri)
rehabilitasi

Penurunan tekanan intra okular merupakan modalitas utama untuk terapi glaukoma. Pada
beberapa penelitian randomized controlled trials menunjukan baik terapi konvensional,
maupun laser, dan pembedahan menurunkan risiko terjadinya kebutaan. Pada penelitian tahun
2015 oleh Garway-Heath et al menunjukan pemberian latanaprost selama 2 tahun bermanfaat
untuk menurunkan risiko kebutaan dengan penurunan tekanan intra okular pada pasien
dengan glaukoma tahap ringan dan pertengahan dibandingkan dengan plasebo.8

2.8.1 Terapi Konvensional


Saat ini terdapat 5 kelas pengobatan yang tersedia untuk menurunkan tekanan intra
okular. Efikasi, mekanisme aksi, dan efek samping tiap-tiap kelas akan dibahas melalui
diskusi singkat, untuk menentukan terapi yang terbaik berdasarkan variasi pasien dan
penyakitnya.8
Analog Prostagladin

Analog prostagladin (PGAs) atau hypotensive lipids, merupakan salah satu pilihan terapi
awal glaukoma. Analog dari prostaglandin ialah latanoprost, bimatopros, travoprost dan
unoprostone. Obat ini berkerja menaikkan aliran keluar uveosklera. Cara kerja latanoprost
dengan merelaksasikan m.siliaris dan mengganggu metabolisme pada matriks ekstraseluler
otot siliaris. Obat ini sangat baik digunakan pada POAG dan hipertensi okuli, tetapi tidak
boleh jika terdapat tanda infeksi. Efek samping yang pernah dilaporkan seperti pigmentasi
iris, udem macula kistoid, hiperemis konjungtiva ringan, erosi kornea, pemanjangan dan
penebalan bulu mata, penglihatan kabur, rasa panas dan gatal pada mata. Dosis yang
tersedia dalam konsentrasi 0,005% tetes mata diberikan satu kali malam hari dan tersedia
juga kombinasi latanoprost dengan timolol maleat.8
Travoprost mempunyai cara kerja sama dengan latanoprost. Obat ini tersedia dengan
konsentrasi 0,004% tetes mata diberikan satu kali sehari malam hari. Unoprostone secara
16

garis besar memiliki cara kerja yang serupa pula dengan latanoprost. Obat ini tersedia dalam
bentuk unoprostone isopropylate 0,15% tetes mata satu tetes dua kali sehari. Bimatoprost
0,03% sekali sehari malam hari.8

Beta Blockers

Beta blockers (beta bloker) topikal telah dipakai secara topikal sebagai monoterapi
glaukoma sejak 1978. Beta bloker mengurangi produksi aqueous melalui blokade
adrenoreseptro- pada epitel silia. Beta bloker bekerja secara efektif pada saat siang hari
dan kurang efektif pada malam hari, hal ini dikarenakan penurunan produksi aqueous pada
malam hari. Faktor lain yang menyebabkan keterbatasan jangka panjang pemakaian beta
bloker adalah efek samping takifilaksis yang tinggi, mencapai 50% dalam 2 tahun.8
Timolol adalah beta bloker nonselective yang biasa dipakai dalam terapi glaukoma dan
dapat menurunkan tekanan intra okular 20-35%. Timolol tersedia dalam konsentrasi 0,25%
dan 0,5% dan dipakai sehari atau dua hari sekali, dan dipakai sehari sekali pada sediaan gel.
Carteolol adalah beta bloker yang unik, dengan aktivitas kerja berhubungan dengan
simpatomimetik memproduksi respon balik agonis-. Aktivitas ini baik untuk melindungi
efek samping pemakaian beta bloker, seperti penurunan denyut jantung dan tekanan darah.
Betaxolol adalah antagonis-1 kardioselektif yang dapat menurunkan insiden efek samping
pulmonal. Efektivitas glaukoma dalam menurunkan tekanan intra okular lebih kecil (18-
26%) dibandingkan dengan nonselective beta bloker.8
Efek samping lokal dari pemakaian beta bloker adalah hiperemia konjugtiva, rasa
menyengat, keratitis superfisialis punctata, dan sindroma mata kering. Perhatian khusus
harus diberikan pada pengguna beta bloker pada pasien penyakit jantung, asma, dan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Efek samping sistemik yang dapat terjadi pada
pasien-pasien ini seperti bradikardi, aritmia, blok jantung, congestive heart failure (CHF),
bronkospasme, gejala hipoglikemik, diabetes, depresi, kecemasan, impotensi, dan miastenia
gravis.8

Inhibitor Karbonik Anhidrase

Inhibitor karbonik anhidrase (CAIs) merupakan golongan selektif yang menginhibisi


isoenzim II karbonik anhidrase di epitel siliar, yang menyebabkan penurunan produksi
aqueous. Inhibitor karbonik anhidrase sistemik, baik acetazolamide maupun methazolamid
17

secara efektif menurunkan tekanan intra okular. Efek samping dari pemakaian inhibitor
karbonik anhidrase dapat menyebabkan terjadinya parestesia pada ekstrimitas, mual,
muntah, dan lemas. Gejala efek samping yang lebih berat seperti batu ginjal, gangguan
elektrolit yang dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolik, hipokalemia, dan
hiponatremia. Pemakaian inhibitor karbonik anhidrase jarang sekali dihubungkan dengan
depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya trombositopenia, agranulositosis, dan
anemia aplastik. Inhibitor karbonik anhidrase seharusnya dihindari pada pasien dengan
disfungsi ginjal dan pasien dengan alergi sulfa, oleh karena inhibitor karbonik anhidrase
merupakan sulfonamide.8
Dorzolamide dan brinzolamide merupakan inhibitor karbonik anhidrase topikal.
Dorzolamide dipakai tiga kali sehari dan menyebabkan penurunan tekanan intra okular 18-
22%. Efikasi ini hampir sama dengan betaxolol, namun lebih rendah jika dibandingkan
dengan timolol. Dorzolamide dan brinzolamide memiliki efikasi yang sama.8
Inhibitor karbonik anhidrase topikal memiliki efek samping yang relatif lebih ringan
seperti rasa pahit, rasa menyegat pada mata, rasa terbakar, gatal-gatal, dan sensasi corpus
alienum, dan secara signifikan menghindari efek samping pemakaian CAIs sistemik. Pasien
alergi sulfa merupakan kontraindikasi absolut dari pemakaian sulfa topikal maupun
sistemik.8

Agonis Adrenergik

Agonis adrenergic tersedia dalam bentuk nonselective yang bekerja pada reseptor
adrenergik- dan , dan selective yang bekerja pada reseptor adrenergik-.8
Golongan nonselective seperti epinefrin dan dipivefrin, bekerja dengan cara
meningkatkan laju keluar aqueous dari trabecular meshwork dan laju uveoskleral.
Pemakaian golongan ini dapat menurunkan tekanan intra okular 15-25%, namun saat ini
tidak terlalu banyak dipakai oleh karena efek samping seperti sakit kepala, palpitasi,
tekanan darah tinggi, dan kecemasan, kemudian dilatasi pupil, hiperemia konjungtiva, dan
adrenokrom deposit pada konjungtiva.8
Golongan selective agonis adrenergik- seperti apraclonidine dan brimonidine
menurunkan tekanan intra okular dengan meningkatkan laju pengeluaran dan menurunkan
produksi aqueous. Apraclonidine telah terbukti menurunkan tekanan intra okular sebanyak
20-27%, tetapi dapat mengakibatkan terjadinya blepharkonjungtivitis alergi. Apraclonidine
18

biasanya dipakai dalam jangka pendek sebagai profilaksis terhadap peningkatan tekanan
intra okular spikes setelah operasi laser pada segmen anterior.8
Brimonidine tersedia dalam konsentrasi 0,2%, 0,15%, dan 0,1% dan dipakai 23 kali
sehari. Efikasi brimodine 0,2% untuk menurunkan tekanan intra okular secara cepat
sebanding dengan timolol (penurunan TIO, dua jam setelah dosis pagi; 5,96-7,6 vs 6,0-6,6
mmHg), namun efikasi brimonidine kurang baik untuk pemeliharaan tekanan intra okular
jangka panjang (penurunan TIO 12 jam setelah dosis sore; 3,7-5.0 vs 5,9-6,6). Keuntungan
lain pemakaian brimonidine mekanisme neuroprotektif, dengan menurunkan kerusakan sel
ganglion retina. Brimonidine dapat menimbulkan efek samping seperti mulut kering,
kelelahan, sakit kepala, dan blepharokonjungtivitis alergi. Efek samping yang berbahaya
adalah depresi pernapasan pada anak-anak, oleh karena kemampuan brimonidine untuk
menembus sawar darah otak. Hal ini menyebabkan brimonidine dikontraindikasikan absolut
pada anak usia <2tahun dan kontraindikasi relatif pada anak usia <6 tahun. Brimonidine
diformulasikan dengan kompleks oxycholoro untuk menurunkan angka kejadian alergi.8

Kolinergik

Golongan kolinergik atau parasimpatomimetik bekerja melalui inhibisi asetilkolinesterase.


Golongan kolinergik bekerja dengan meningkatkan jalur keluar aqueous melalui trabecular
meshwork. Pilocarpine adalah agonis direk dan tersedia dalam berbagai konsentrasi 0,5-8%.
Pilocarpine dipakai empat kali sehari, hal ini disebabkan oleh waktu kerja yang pendek.
Pemakaian pilocarpine menurunkan tekanan intra okular antara 20-30%.8
Efek samping pemakaian pilokarpin adalah penurunan visus yang disebabkan oleh
konstriksi pupil dan spasme akomodatif, nyeri pada alis, dan pada kasus jarang lepasnya
retina. Efek samping sistemik yang ditunjukan seperti hipersalivasi, diare, keringat
berlebihan, muntah, dan takikardi. Golongan kolinergik mulai ditinggalkan oleh karena efek
samping dan dosing.8

2.8.2 Terapi Kombinasi


Pada beberapa kasus glaukoma, terapi dengan beberapa obat diperlukan untuk
mencapai penurunan tekanan intra okular yang tepat. Beberapa kombinasi obat yang tersedia
adalah Cosopt (dorzolamide 2%-timolol 0,5%), Combigan (brimonidine 0,2%timolol 0,5%),
dan Simbrinza (brinzolamide 1%-brimonidine 0,2%).8
Kombinasi dorzolamide-timolol dua kali sehari, menunjukan efikasi yang sama dengan
pemakaian dorzolamide tiga kali sehari dan timolol dua kali sehari [Penurunan TIO 5,1
19

mmHg (20,5%) dan 4,9 mmHg (20,0%), dengan pemakaian kombinasi secara terpisah].
Kombinasi brimonidine-timolol memiliki efikasi yang sebanding dengan pemakaian
brimonidine dan timolol secara terpisah, dengan penurunan TIO 4,4-5,3 mmHg dalam
periode 12 minggu. Kombinasi brinzolamide-brimonidine yang dipakai tiga kali sehari
menunjukan efikasi yang lebih baik dibandingkan dengan pemakaian monoterapi
brinzolamide atau brimonidine.8
Terapi kombinasi memberikan keuntungan seperti peningkatan efikasi, kepatuhan
pasien, tolerabilitas, dengan harga yang lebih terjangkau.8

2.8.3 Non Medikamentosa


1. Trabekuloplasti Laser
Trabekuloplasti umumnya dipakai jika terapi konvensional tidak berhasil mencapai target
tekanan intra okular. Terdapat dua jenis trabekuloplasti laser argon (ALT) dan trabekuloplasti
selektif (SLT).9
Trabekuloplasti laser argon memakai 50-100 sinar laser untuk melukai 1/3 bagian anterior
trabecular meshwork dan menimbulkan terjadinya respon jaringan. Sinar laser lainya yang
dapat digunakan adalah krypton, Nd:YAG, dan laser dioda. Tingkat keberhasilan ALT adalah
75% pada pasien yang belum pernah melakukan tindakan operasi.9
Trabekuloplasti selektif memakai laser QS-Nd:YAG, dengan target sel berpigmen pada
trabecular meshwork tanpa menyebabkan kerusakan koagulatif pada struktur meshwork dan
sel yang tidak berpigmen. Beberapa penelitian menunjukan ALT dan SLT memiliki efikasi
yang sama dalam menurunkan tekanan intra okular.9
Trabekuloplasti laser meningkatkan laju keluar aqueous melalui formasi microscars yang
menyebabkan retraksi lamella trabekula dan pembukaan meshwork. Komplikasi yang
mungkin terjadi setelah dilakukan trabekuloplasti laser adalah peningkatan tekanan intra
okular dalam beberapa jam setelah prosedur dan inflamasi yang dapat menyebabkan
terjadinya formasi sinekia anterior perifer. Peningkatan tekanan intra okular dapat diturunkan
dengan obat anti glaukoma seperti apraclonidine.9
Pada penelitian jangka panjang, menunjukan 30-50% pasien memerlukan tindakan operasi
5 tahun setelah diterapi dengan ALT. Terapi ALT berulang dapat menimbulkan spikes
tekanan intra okular. Baik efikasi ALT maupun SLT akan menurun dengan berjalanya waktu,
hanya 50% pasien yang mencapai target terapi setelah 5 tahun terapi dengan trabekuloplasti
laser.9
20

2. Trabekulektomi

Pembedahan filtrasi yang paling umum dilakukan adalah trabekulektomi, pada


pembedahan ini operator membuat jalur baru dengan melubangi sklera, sehingga terjadi
peningkatan laju keluar aqueous ke bagian luar mata. Dengan berjalanya waktu, angka
keberhasilan trabekulektomi meningkat dari 31% menjadi 88%. Pada pasien dengan riwayat
operasi katarak dengan insisi konjungtiva, terjadi penurunan angka keberhasilan
trabekulektomi. Penggunaan antifibrotik seperti mitomycin-C dan 5fluorourasil dapat
digunakan intraoperatif dan postoperatif untuk mengurangi bekas luka pada subkonjugtiva
yang diakibatkan oleh trabekulektomi.9
3. Pembedahan Kombinasi

Pasien dengan glaukoma primer sudut terbuka yang memiliki katarak memiliki beberapa
pilihan pembedahan untuk dipertimbangkan. Pada pasien dengan tekanan intra okular yang
terkontrol dengan satu atau dua medikasi, operasi katarak dapat bermanfaat untuk
menurunkan tekanan intra okular. Pada pasien dengan tekanan intra okular yang tidak
terkontrol dengan beberapa medikasi atau setelah trabekuloplasti, pembedahan glaukoma
sebaiknya dilakukan diawal. Operasi k atarak dapat dilakukan setelah tekanan intra okular
terkontrol.9
Operasi katarak dengan implantasi intraocular lens (IOL) dapat menurunkan tekanan
intra okular dengan rata-rata 2 mmHg. Pembedahan glaukoma dan operasi katarak yang
dilakukan secara bersamaan umunya memiliki efikasi yang lebih rendah dalam hal
penurunan tekanan intra okular, dibandingkan dengan pembedahan glaukoma saja.
Keuntungan dari dilakukanya pembedahan glaukoma dan operasi katarak secara bersamaan
adalah risiko terjadinya perlindungan terhadap komplikasi operasi katarak yaitu peningkatan
tekanan intra okular.9

4. Pembedahan Siklodestruktif

Pembedahan siklodestruktif bertujuan untuk menurunkan produksi aqueous. Beberapa


cara untuk menurunkan fungsi badan silier dengan: siklokrioterapi, laser Nd:YAG non-
kontak dan transskleral, dan siklofotokoagulasi laser endodioda non-kontak dan transkleral.
Prosedur siklodestruktif telah dipakai sebagai tatalaksana refractory glaucoma dan memiliki
angka keberhasilan 34-94%.9
Efek samping dari prosedur ini adalah penurunan visus, dan pada kasus yang jarang
sympahtetic opthalmia. Kerugian lain dari prosedur ini adalah inflmasi postoperatif, nyeri,
21

hipotoni, edema makula kistoid, spike tekanan intra okular, dan perlunya terapi berulang
setiap minggu atau bulan. Jika dibandingkan dengan siklokrioterapi, siklofotokoagulasi
dengan laser menimbulkan nyeri dan inflamasi yang lebih ringan. Efikasi penggunaan
siklofotokoagulasi ditemukan cukup baik, dengan penurunan tekanan intra okular 34-57%.9

2.8.6 Edukasi Pasien


Tatalaksana glaukoma yang baik memerlukan kepatuhan pasien dalam pemakaian obat.
Pasien umumnya tidak nyaman dengan pemakaian obat seumur hidup, yang memakan biaya
dan pemakaian medikasi berulang setiap harinya. Pada tahap awal glaukoma bersifat
asimptomatik, dan pasien tidak merasakan perbedaan yang signifikan antara pemakaian dan
tidak memakai obat. 1
Sekitar sampai dengan pasien glaukoma tidak memakai obat secara tepat.
Beberapa penelitian menunjukan 50% pasien yang kurang taat dengan pengobatanya
mengalami progressi GPSTa, sementara 90% pasien yang taat dengan pengobatanya berada
dalam keadaan GPSTa yang stabil. Edukasi pada pasien tentang penyakit glaukoma,
keuntungan dan risiko tatalaksana sangat penting untuk memaksimalkan kepatuhan pasien. 1

2.8.7 Prognosis dan Tindak Lanjut


Setelah dilakukan tatalaksana awal, perlu dilakukan pemeriksaan tindak lanjut untuk
memonitor stabilitas tekanan intra okular, nervus optikus, lapang pandang, kepatuhan pasien,
dan adanya efek samping penggunaan obat. Penindak lanjutan diharapkan dapat memastikan
diagnosis yang telah ditegakan.1
Frekuensi evaluasi tindak lanjut didasari oleh stabilitas dan tingkat keparahan pasien.
Jika tekanan intra okular tinggi, maka keadaan glaukoma menjadi lebih berat. Setiap pasien
yang terdiagnosis glaukoma harus diperiksa setidaknya 6 bulan sekali. Pemeriksaan fundus
dengan dilatasi dan perimetri harus dilakukan setidaknya 1 tahun sekali.1
Tabel 3. Rekomendasi Frekuensi Pemeriksaan Tindak Lanjut.1

Status Pasien Frekuensi


Hipertensi okuli dan tahap ringan stabil 3-6 bulan
Tahap pertengahan stabil 2-4 bulan
Tahap lanjutan stabil 1-3 bulan
Baru saja stabil 1-3 bulan
Tidak stabil 1-2 minggu
22

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Adapun desain penelitian ini adalah deskriptif cross sectional. Desain cross
sectional adalah, dimana penelitian dapat dilakukan tanpa mengikuti perjalanan
penyakit, tetapi dilakukan pengamatan sesaat atau dalam suatu periode tertentu.
Pengamatan dilakukan seolah-olah merupakan suatu penampang melintang oleh
karena itu disebut penelitian cross sectional atau transversal. Penelitian cross
sectional disebut juga studi prevalensi dengan tujuan mengadakan deskripsi subjek
studi seperti penelitian deskriptif murni yang dilakukan pada penelitian ini.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian mulai dilakukan pada tanggal 2 Juni 2017 sampai dengan tanggal
23 Juni 2017di Rumah Sakit Mata Dr Yap, Yogyakarta.

3.3 Subjek Penelitian


Subjek penelitian yang digunakan adalah data sekunder dari rekam medis
pasien di Rumah Sakit Mata Dr Yap, Yogyakarta yang didiagnosis glaukoma primer
sudut terbuka periode Juni sd September 2016

Kriteria Inklusi :
1. Pasien yang telah didiagnosis sebagai penderita glaukoma primer sudut terbuka.

Kriteria Eksklusi :
1. Pasien yang tidak mendapatkan terapi glaukoma primer sudut terbuka.
2. Pasien yang tidak di diagnosis sebagai penderita glaukoma primer sudut terbuka.
3. Pasien dengan data tidak lengkap.
3.4 Sampling

Sampling yang dipakai adalah Convenient sampling. Convenient sampling


adalah teknik penentuan sampel bila semua data yang diberikan dijadikan sampel
penelitian, dalam hal ini terdapat 30 sampel.
3.5 Analisis Data
23

Semua data yang telah terkumpul, dicatat, dikelompokkan dan diolah


kemudian hasilnya akan ditampilkan dalam bentuk analisa sesuai dengan tujuan
penelitian. Dan di lakukan secara kuantitatif deskriptif.

3.6 Alat dan cara pengambilan data

3.6.1 Alat penelitian

Data rekam medis pasien yang terdiagnosis sebagai glaukoma primer sudut
terbuka periode Juni sd September 2016.

3.6.2 Cara pengambilan data

Pertama-tama meminta ijin kepada petugas rekam medik untuk melihat data
rekam medik pasien. Kemudian setelah menemukan data rekam medik pasien
dilakukan pencatatan data pasien terkait.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

3.7.1 Pengolahan data

Proses pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan


beberapa tahap sebagai berikut :

3.7.1.1 Editing

Pada tahap ini data yang telah dikumpulkan berupa data pasien dilihat apakah
sudah terisi semua, memeriksa jenis kelamin, umur, nomor rekam medik, TIO
(Tekanan Intra Okular), CD ratio, visus, riwayat penyakit, dan terapi yang sudah
dijalani pasien. Editing ini bertujuan untuk melengkapi data yang belum lengkap.

3.7.1.2 Coding

Pada tahap coding ini melakukan pengkodean data dengan dengan kode
tertentu sehingga lebih mudah dan sederhana.

3.7.1.3 Entry Data

Pada tahap entry ini memasukan data penelitian pada program komputer
untuk pengolahan data dengan menggunakan komputer.
24

3.7.1.4 Tabulating

Pada tahap ini data di kelompokkan ke dalam table tertentu menurut sifat yang
dimiliki sesuai dengan tujuan dari penelitian ini.
25

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Sampel

Penelitian ini didapatkan data 30 orang pasien baru, yang didiagnosis glaukoma
primer sudut terbuka. Pada penelitian ini karakteristik sampel yang dinilai adalah usia, jenis
kelamin, riwayat diabetes mellitus, dan riwayat hipertensi. Kisaran umur penderita antara 12
sampai 85 tahun, dengan rata-rata 54.3 tahun. Berdasarkan usianya sampel terbagi menjadi 2
kelompok < 40 tahun dan 40 tahun, dengan jumlahnya secara berturut-turut 8(26.7%) dan
22 (73.3%). Pada Penelitian ini jumlah perempuan lebih banyak dari laki- laki, dengan jumlah
perempuan 17(56.7%) dan jumlah laki- laki 13(43.3%). Sebanyak 6(20%) orang memiliki
riwayat diabetes melitus dan 12 (40%) orang memiliki hipertensi.

Parameter Frekuensi n (%)


Usia
< 40 8 (26.7)
40 22 (73.3)
Jenis Kelamin
Laki-Laki 13 (43.3)
Perempuan 17 (56.7)
Riwayat Diabetes Melitus
Positif 6 (20.0)
Negatif 24 (80.0)
Riwayat Hipertensi
Positif 12 (40.0)
Negatif 18 (60.0)
Total 30 (100.0)

4.2 Gambaran TIO Pasien GPSTa di RS Mata Dr. Yap

Pada Pengukuran TIO pasien sebelum tindakan terdapat sebanyak 35 mata (58.3%)
dari 60 mata menunjukan tekanan intra okular 21 mmHg, sementara itu 24 mata (40%) dari
60 mata menunjukan tekanan intra ocular <21 mmHg. Sebanyak 1 orang (1.6 %) menunjukan
tekanan intra okular error.
26

Pada Pengukuran TIO pasien sebelum tindakan terdapat sebanyak 20 mata (33.3%)
dari 60 mata menunjukan tekanan intra okular 21 mmHg, sementara itu 39 mata (65%) dari
60 mata menunjukan tekanan intra ocular <21 mmHg. Sebanyak 1 orang (1.6 %) menunjukan
tekanan intra ocular error.

TIO sebelum tindakan (mmHg) Mata Kanan n (%) Mata Kiri n (%)

< 21 12 (40.0) 12 (40.0)

21 18 (60.0) 17 (56.7)

Error 0 (0.0) 1 (3.3)

Total 30 (100.0) 30 (100.0)

TIO setelah terapi menunjukan adanya pengurangan dalam jumlah mata kanan dan atau kiri
yang memiliki TIO 21 mmHg sebanyak 18 mata (60 %) kanan dan kiri 17 mata ( 56 %).
Menjadi 12 mata kanan (40%) dan 8 mata kiri (26 %). Pengurangan tekanan mata setelah
terapi pada mata kanan sebesar 33.3 % sementara mata kiri 46.4 % dari jumlah. Hal
inimenunjukan penurunan rata- rata TIO setelah terapi mencapai 39.7 %, Hal ini menandakan
adanya sebagian besar pasien yang belum mencapai TIO normal setelah terapi.

TIO sesudah tindakan (mmHg) Mata Kanan n (%) Mata Kiri n (%)

< 21 18 (60.0) 21 (70.0)

21 12 (40.0) 8 (26.7)

Error 0 (0.0) 1 (3.3)

Total 30 (100.0) 30 (100.0)

4.3 Gambaran Cup Disk (C/D) Ratio Pasien GPSTa di RS Mata Dr. Yap

Diagnosis dan tahap glaukoma primer sudut terbuka ditegakan melalui penilaian cup
disc ratio. Pasien dengan rasio C/D <0,5 dianggap bukan glaukoma, pada pasien dengan rasio
C/D 0,5-0,7 dianggap sebagai glaukoma tahap awal, sementara pasien dengan rasio C/D >0,7
dianggap sebagai glaukoma tahap pertengahan atau lanjut. Pada penelitian ini didapatkan
sebanyak 8 mata (13,3%) memiliki cup disk ratio <0,5. Sebanyak 36 mata (72%) memiliki
rasio C/D 0,5-0,7 dan sebanyak 16 mata (26.6%) memiliki C/D 0,7.

RATIO C/D Mata Kanan n (%) Mata Kiri n (%)


27

<0.5 5(16.7) 3(10)


0.5-0.7 16(53.3) 20(66.7)
0.7 9(30) 7(23.3)
Total 30(100) 30(100)

4.4 Gambaran Penegakan Diagnosis Mata dengan GPSTa di RS Mata Dr. Yap

Sebanyak 50 mata didiagnosis sebagai glaukoma primer sudut terbuka, dengan jumlah
diagnosis mata kanan glaukoma primer sudut terbuka 6 pasien (12%), mata kiri glaukoma
primer sudut terbuka 4 pasien (8%), dan diagnosis mata kanan dan kiri glaukoma primer
sudut terbuka 40 pasien (80,0%).

Diagnosis Frekuensi n (%)


Oculo Dextra Glaukoma Primer Sudut Terbuka 6(20)
Oculo Sinistra Glaukoma Primer Sudut Terbuka 4(13,3)
Oculo Dextra Sinistra Glaukoma Primer Sudut
Terbuka 20(66,7)
TOTAL 30 (100)

4.5 Gambaran Jenis Intervensi Pasien GPSTa di RS Mata Dr. Yap

Jenis intervensi yang paling banyak diberikan pada pasien adalah terapi kombinasi
konvensional, dengan jumlah 10 orang (33.3%), sementara jumlah pemberian monoterapi
konvensional adalah 6 orang (20%). Intervensi pembedahan insisi dengan trabekulektomi
dilakukan pada 14 (46.7%) pasien

Jenis Intervensi Frekuensi n (%)


Monoterapi Konvensional 6(20)
Terapi Kombinasi Konvensional 10(33,3)
Terapi Konvensional dan Trabekulektomi 14(46,7)
TOTAL 30 (100)

4.6 Pembahasan

Pada penelitian yang dilakukan di RS Mata Dr Yap Yogyakarta didapatkan 30 data


pasien, 50 mata dengan diagnosis glaukoma primer sudut terbuka. Persentase pasien yang
didiagnosis glaukoma dengan usia 40 tahun adalah (73.3%), nilai ini relatif sama dengan
penelitian yang dilakukan di RSCM tahun 2011 dengan persentase 80%. Usia merupakan
faktor risiko terjadinya glaukoma, dengan prevalensi 4 10 kali lebih besar ditemukan pada
pasien dengan orang tua (>40 tahun).5,6

Persentase pasien glaukoma dengan jenis kelamin perempuan adalah 56.7%.


Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan di RSCM tahun 2011, dimana
kebanyakan pasien yang menderita glaukoma berjenis kelamin perempuan dengan persentase
52,1%. Beberapa penelitian menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis
28

kelamin dan prevalensi glaukoma. Faktor riwayat keluarga dengan glaukoma sebenarnya
lebih penting untuk dinilai, namun pada data rekam medis tidak dapatkan data mengenai
riwayat keluarga dengan glaukoma.5,6

Mata kanan pasien yang terdiagnosis glaukoma primer sudut terbuka mata kanan
dengan tekanan intra okular mata kanan 21 mmHg adalah sebanyak 5 mata (83.3%) dari 6
mata, sementara itu mata pasien dengan tekanan intra okular <21 mmHg adalah sebanyak 1
mata (16.6%) dari 6 mata, dan terdapat tekanan intra okular error sebanyak 0 mata (0%) dari
6 mata. Pada penelitian ini, menunjukkan bahwa banyak pasien yang didiagnosis dengan
glaukoma primer sudut terbuka mata kanan, memiliki tekanan intra ocular 21 mmHg. Hal
ini dapat disebabkan karena pasien telah tepat terdiagnosis .

Crosstab

Count

WD

Glaukoma OD Glaukoma ODS Total

TIO OD Sebelum TIO<21 1 7 8

TIO >=21 5 13 18

Total 6 20 26

Mata kiri pasien yang terdiagnosis glaukoma primer sudut terbuka mata kiri dengan
tekanan intra okular mata kanan 21 mmHg adalah sebanyak 4 mata (100%) dari 4 mata,
sementara itu mata pasien dengan tekanan intra okular <21 mmHg adalah sebanyak 0 mata
(0%) dari 4 mata, dan terdapat tekanan intra okular error sebanyak 0 mata (0%) dari 4 mata.
Pada penelitian ini, menunjukkan bahwa banyak pasien yang didiagnosis dengan glaukoma
primer sudut terbuka mata kiri, memiliki tekanan intra ocular 21 mmHg. Hal ini dapat
disebabkan karena pasien telah tepat terdiagnosis .

Crosstab

Count

WD

Glaukoma OS Glaukoma ODS Total

TIO OS Sebelum TIO<21 0 6 6

TIO >=21 4 13 17

TIO Error 0 1 1

Total 4 20 24

Mata kiri dan kanan pasien yang terdiagnosis glaukoma primer sudut terbuka mata
kiri dan kanan dengan tekanan intra okular mata kanan 21 mmHg adalah sebanyak 13 mata
kanan (65%) dari 20 mata, dan mata kiri sebanyak 13 mata (65 %) dari 20 mata sementara itu
mata kanan pasien dengan tekanan intra okular <21 mmHg adalah sebanyak 7 mata (35%)
29

dari 20, dan pada mata kiri pterdapat 6 mata (30 %) mata, dan terdapat tekanan intra okular
error ditemukan pada mata kiri sebanyak 1 mata (5%) dari 20 mata. Pada penelitian ini,
menunjukkan bahwa banyak pasien yang didiagnosis dengan glaukoma primer sudut terbuka
mata kanan dan kiri, memiliki tekanan intra ocular 21 mmHg. Hal ini dapat disebabkan
karena pasien telah tepat terdiagnosis .

Dari hasil penelitian ini, didapatkan 3 diagnosis pasien yang tidak sesuai dengan cup
disk ratio. Responden 6 didiagnosis dengan mata kanan dan kiri glaukoma primer sudut
terbuka, sementara rasio C/D mata kanan adalah 0,4 dan mata kiri adalah 0.9. Setelah
dilakukan analisis data lebih lanjut, diagnosis responden 6 adalah mata kanan glaukoma
primer sudut terbuka dengan mata kanan memiliki riwayat pengobatan sebelumnya.
Responden 16 didiagnosis dengan mata kanan dan kiri glaukoma primer sudut terbuka,
sementara rasio C/D kedua bola mata adalah 0,5. Setelah penelusuran lebih lanjut dari rekam
medis didapatkan riwayat pengobatan sebelumnya, dimana pasien telah memakai latanoprost.
Pada pasien ini penegakan diagnosis yang lebih tepat adalah suspek mata kanan dan kiri
glaukoma primer sudut terbuka. Responden 24 didiagnosis dengan mata kanan glaucoma
primer sudut terbuka sementara ratio C/D mata kanan 0.9 dan mata kiri 0.7. Setelah
dilakukan analisis data lebih lanjut, diagnosis responden no 24 adalah mata kanan glaucoma
absolut dan mata kiri glaucoma primer sudut terbuka.2
30

BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Usia dan riwayat keluarga glaukoma merupakan faktor risiko penyakit glaukoma.
Deteksi glaukoma dini merupakan sarana untuk melakukan pencegahan terhadap komplikasi
glaukoma. Penurunan tekanan intra okular merupakan salah satu cara pencegahan terhadap
glaukoma yang dapat dilakukan dengan terapi konvensional, terapi kombinasi, trabekuloplasti
laser, pembedahan insisi, dan pembedahan siklodestruktif.

5.2 Saran

Saran pada penelitian Gambaran Karakteristik Pasien Glaukoma Primer Sudut Terbuka di RS
Mata Dr Yap:

Melakukan edukasi pada masyarakat mengenai pentingnya deteksi dini terhadap glaukoma
dan risiko komplikasi glaukoma.

Memberikan edukasi pada pasien yang didiagnosis glaukoma primer sudut terbuka
mengenai keuntungan dan efek samping pemakaian obat secara teratur yang telah dianjurkan
oleh dokter.

Melakukan edukasi pada petugas medis mengenai pencatatan data riwayat keluarga pasien
dengan glaukoma.

Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran karakteristik pasien glaukoma


primer sudut terbuka di RS Mata Dr Yap.

Membuat status Pasien dalam bentuk data digital.


31

DAFTAR PUSTAKA

1. International Council of Ophthalmology. (2016). ICO guidelines for glaucoma eye


care.

2. Harasymowycz P, Birt C, Gooi P, Heckler L, Hutnik C, Jinapriya, et al. Medical


management of glaucoma in the 21st century from a Canadian perspective. Journal of
Opthalmology. 2016.

3. Khawaja A. Primary open-angle glaucoma. Diakses dari:


http://eyewiki.aao.org/Primary_Open-Angle_Glaucoma#Risk_Factors Diakses pada
tanggal 14 Juni 2017.

4. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. Ed ke-4. New Delhi: New Age


International (P) Ltd., Publishers; 2007. p.214-21.

5. Weinreb R, Aung T, Medeiros F. The pathophysiology and treatment of glaucoma.


JAMA. 2014; 311(18): 1901-11.

6. Riordan-Eva P & Whitcher JP. Vaughan & asbury oftalmologi umum. Ed ke-17.
Jakarta: EGC; 2009. h. 212-29.

7. American Optometric Association. (2011). Optometric Clinical Practice Guideline


Care of the Patient with Open Angle Glaucoma.

8. Cheema A, Chang R, Shrivastava, Singh K. Updated on the medical treatment of


primary open-angle glaucoma. Asia Pac J Opthalmol. 2016; 5: 51-8.

9. American Academy of Ophtalmology. (2015). Glaucoma preferred practice pattern


development process and participants.

Anda mungkin juga menyukai