Anda di halaman 1dari 3

Apa Arti Seragam Kerja ?

Alasan pemakaian seragam kerja ada beberapa, diantaranya adalah:

1. Pragmatis, sebagai penanda identitas personal. Karena perusahaan sudah susah menghafal orang satu
persatu, maka salah satu cara untuk mengetahuinya dengan seragam.
2. Identitas profesi dan institusi, misalnya para jurnalis yang ditugaskan kantornya untuk sebuah peliputan.
Mereka butuh identitas. Lebih-lebih jika tugasnya di kawasan yang tingkat kegawatannya tinggi. Seragam
dinilai penting untuk membedakan identitas profesi, institusi, dan eksistensi.
3. Memberi kepercayaan pihak lain. Kita bisa langsung lebih mudah percaya terhadap orang yang datang ke
rumah dengan memakai seragam petugas keamanan atau pegawai departemen, misalnya begitu. Saking
mudahnya membangun trust melalui seragam, banyak penipu yang berhasil meloloskan idenya dengan
menggunakan seragam.
4. Identifikasi Tingkatan Pekerjaan di lingkungan tertentu. Misalnya ada perusahaan yang membedakan
seragam kerja untuk staff, supervisor, dan manajer. Ini biasanya ada di perusahaan yang kurang memiliki
kepentingan langsung terhadap pentingnya menunjukkan identitas dan kepercayaan pihak luar.
Efek Psikologis
Terlepas apapun alasannya, di lingkungan perusahaan, pada umumnya ada efek psikologis
tertentu yang dirasakan karyawan dengan aturan penggunaan seragam. Seragam itu bisa
membuat orang lebih pede, tetapi juga bisa sebaliknya. Bisa membuat orang merasa
bangga dengan statusnya, tetapi juga bisa sebaliknya.

Karena itu, sebelum seragam diwajibkan, perlu dipikirkan secara seksama terutama terkait
dengan sejauh mana seragam kerja itu nantinya memberi kontribusi terhadap keutuhan
identitas komunitas tertentu, kepuasan kerja, peningkatan kinerja dan kepentingan
perusahaan terhadap pihak luar yang terkait.

False Groupthink
Terkait denga Efek Psikologis di atas, perusahaan yang sudah terlanjur menerapkan
seragam kerja, lebih-lebih sudah bertahun-tahun lamanya, efek psikologis yang perlu kita
bentengi adalah munculnya false group think. Ketika individu sudah disatukan ke dalam satu
kesatuan/komunitas, lama kelamaan akan melahirkan groupthink model.
Model ini ada yang tepat dan ada yang tidak, bahkan dalam kajian psikologi sosialnya Janis
Irvin dalam tulisannya di Social Psychology, groupthink lebih banyak mengandung resiko
dan perlu diwaspadai. Groupthink lebih condong pada corak pemikiran yang, yang membuat
lumpuh kapasitas rasional suatu kelompok/komunitas, sehingga menjadi tidak efektif dan
tidak produktif. Kelumpuhan tersebut biasanya distimulasi oleh:
1. Ilusi kekebalan sehingga membuat orang berani melanggar aturan orang lain.
2. Ilusi kesalehan sehinga membuat orang merasa semakin punya banyak pembenar (kebenaran-sendiri).
3. Rasionalisasi kolektif sehingga membuat orang maunya mengurang-ngirangi dalam banyak hal.
4. Upaya memberi stigma orang / kelompok lain sebagai pihak yang lemah dan salah.
5. De-individuasi yang membuat orang kurang jelas sikap, opini, dan keputusan personalnya karena kalah oleh
grup/kelompok.
Dengan kata lain jangan sampai seragam kerja memicu munculnya Kepercayaan Semu
(illusion of confidence) maupun rasa superioritas yang tidak realistis (grandiosity) yang bisa
membuat orang arogan, mendiskriminasikan orang lain tanpa alasan, merasa paling sah
berbuat sesuatu yang menganggu orang banyak, misalnya menutup jalan umum,
menyepelekan pihak lain, dan sebagainya.
Grandiosiy lebih condong dikaitkan dengan gangguan kepribadian narsistik, atau hypomanic gangguan
bipolar .Ini mengacu pada rasa superioritas yang tidak realistis, pandangan diir secara berkelanjutan sebagai lebih
baik daripada yang lain yang menyebabkan narsis untuk melihat orang lain dengan jijik atau sebagai inferior. Hal ini
juga mengacu pada rasa keunikan, keyakinan bahwa beberapa orang lain memiliki kesamaan dengan diri sendiri
dan hanya dapat dipahami oleh beberapa orang atau secara khusus.
Untuk itu pemikiran dan kesadaran akan arti hubungan antara seragam kerja dengan
kualitas kinerja, baik pribadi dan komunitas serta kontribusi nyata keberadaan komunitas
tersebut bagi masyarakat, perlu dibangun,a gar hal tersebut diatas bisa diatasi. Oleh
karenanya, bukti positif harus diperlihatkan tidak sebatas tulisan atau simbol di seragam,
tapi lebih pada aksi nyata baik dalam bentuk kualitas pelayanan, transparansi, hingga etika
& integritas. Sehingga, simbol, logo maupun motto akan menjadi pengesahan dan
pengingat bagi pemakainya.
Ekspresi Budaya
Dapat dikatakan disini bahwa tujuan seragam itu untuk mempersatukan berbagai karakter
dan kepribadian individu dalam kelompok pada waktu dan kondisi tertentu. Atau dengan
kata lain, seragam kerja adalah sarana menciptakan budaya kerja yang dianut oleh
organisasi /perusahaan. Semua perusahaan memiliki budaya. Bedanya, ada yang kuat dan
ada yang lemah. Budaya kuat adalah perilaku kelompok yang sudah mencerminkan nilai-
nilai, paradigma berpikir, pelajaran dari pengalaman, atau standar kualitas operasi
organisasi.

Sedangkan budaya lemah adalah budaya yang tidak sinkron sama sekali atau setengah-
setengahnya saja. Nilai-nilai perusahaan hanya dicetak di seragam, kop surat, atau tertulis
di tembok, tapi perilaku operasinya bertentangan. Fungsi seragam di sini hanya
sekedar fashion atau bisa-bisa malah memperkuat lahirnya group think yang negative.
Kultur Organisai
Membangun budaya organisasi itu mudah. Tapi, untuk membangun budaya yang kuat
(sinkron dengan nilai, paradigma, standar, dll), tadaklah mudah. Lebih-lebih jika
cakupannya luas, good willnya lemah, apalagi jika political will-nya tidak jelas.
Jadi, apapun yang bisa kita jadikan sebagai tool untuk membangun budaya yang kuat, perlu
kita pakai, termasuk seragam kerja. Walaupun masih dalam taraf permukaan.
Edgard Schein dalam tulisannya di Organization Leadership and Culture membagi kultur
perusahaan menjadi tiga lapisan.

1.Artifacts
Disini, seragam termasuk Artifact atau lambang dari kultur perusahaan yang belum tentu
merefleksikan kultur perusahaan itu. Artinya, orang yang pakai seragam belum tentu
menjalankan nilai-nilai yang dianut. Meski demikian, kita berharap melihat orang yang
memakai seragam itu sedikit-banyaknya mewakili standar budaya insitusi tersebut. Paling
tidak, asumsi kita sedikit banyak, ada benarnya.

2.Espoused Values
Adalah budaya yang dibentuk dari nilai-nilai, strategi, atau filosofi organisasi, namun
tahapannya masih di hafalan, peraturan, atau baru mulai ditransfer melalui usaha-usaha
yang sadar dan terencana. Misalnya pegawai mini mart yang diharuskan oleh aturan harus
senyum kepada dan menyapa customer untuk menunjukkan budaya keramahan.
3.Basic Assumption and Value
Merupakan level kultur yang paling tinggi, yaitu ketika nilai-nilai, filosofi, strategi, atau
berbagai kode organisasi itu sudah menjadi seperti udara yang kita pakai untuk bernafas.
Orang menjalankan nilai-nilai, keyakinan, dan standar organisasi secara reflek, sudah
membudaya, tak merasa seperti diatur, sudah menjadi Basic Assumption and Value

Kesimpulan
Seragam kerja bisa dipakai sebagai jalan menuju nilai panutan, entah melalui peraturan
atau perumusan standar operasi (SOP) atau melalui makna di balik lambangnya. Jika terus
kita laksanakan secara manusiawi, baik melalui pembinaan, pengarahan, maupun pelatihan,
lama kelamaan akan menjadi Basic Assumption. Tapi juga bisa sebaliknya. Seragam kerja
dapat dijadikan sebagai alat untuk mempertegas budaya organisasi yang sudah melekat
namun belum ter ekspresikan dalam rumusan atau lambangnya.

Banyak perusahaan dalam menganggarkan baju seragam, pemikiran untuk menjadikannya


sebagai saluran memperkuat budaya organisasi menjadi sangat minim atau lemah. Tidak
sedikit justru meributkan budget-nya, kualitas kain atau warnya, padahal, budaya lah
esensinya.

Anda mungkin juga menyukai