Anda di halaman 1dari 26

TELAAH JURNAL KEPERAWATAN JIWA

Pengaruh Cognitive Behavioral Therapy (CBT) Terhadap Perubahan Kecemasan,


Mekanisme Koping, Harga Diri Pada Pasien Gangguan Jiwa Dengan Skizofrenia Di RSJD
Surakarta

Oleh:

Amaliyah Husni
G3A016123

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2017

1
DAFTAR PUSTAKA

COVER .................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................ 2

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Tujuan ..................................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Skizofernia .............................................................................................. 6
B. Terapi Perilaku Kognitif (Cognitive Behaviour Therapy) ...................... 17

BAB III TELAAH JURNAL


A. Judul Penelitian ....................................................................................... 23
B. Nama Peneliti .......................................................................................... 23
C. Waktu dan Temapt Penelitian ................................................................. 23
D. Metode Penelitian ................................................................................... 23
E. Analisa data ............................................................................................. 23
F. Hasil Penelitian ....................................................................................... 23
G. Pembahasan ............................................................................................. 24
H. Implikasi Keperawatan ........................................................................... 24
I. Referensi ................................................................................................ 25

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ............................................................................................ 26
B. Saran ...................................................................................................... 26

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gangguan jiwa adalah respons maladaptif terhadap stresor dari lingkungan
internal dan eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang tidak
sesuai dengan norma-norma lokal atau budaya setempat, dan mengganggu fungsi
sosial, pekerjaan dan/ atau fisik (Townsend, 2005). Sedangkan gangguan jiwa
menurut Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder IV (DSM IV) dalam
Maslim (2001) dan Frisch dan Frisch (2006) adalah sindrom psikologi yang terjadi
pada individu dan dihubungkan dengan adanya distres seperti respon negatif terhadap
stimulus perasaan tertekan, disability (ketidakmampuan) seperti gangguan pada satu
atau beberapa fungsi dan meningkatnya resiko untuk mengalami penderitaan,
kematian atau kehilangan kebebasan. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan
bahwa gangguan jiwa adalah perubahan respon menjadi maladaptif dalam pikiran,
perasaan, perilaku yang menyebabkan distres, ketidakmampuan yang berakibat
gangguan fungsi personal, gangguan fungsi sosial, penderitaan serta kematian.
World Health Organization (WHO) menyebutkan masalah utama gangguan
jiwa diseluruh dunia adalah skizofrenia, depresi unipolar, penggunaan alkohol,
gangguan bipolar, gangguan obsesif kompulsif (Stuart & Laraia, 2005). Skizofrenia
merupakan salah satu gangguan jiwa yang paling banyak ditemukan, prevalensi
skizofrenia secara umum di dunia 0,2-2% populasi interpersonal (Moedjiono, 2007).
Menurut data statistik direktorat kesehatan jiwa, pasien gangguan jiwa terbesar adalah
skizofrenia yaitu 70% (Dep Kes, 2003). Kelompok skizofrenia juga menempati 90%
pasien di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia (Jalil, 2006). Tujuh puluh lima persen
penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun (Kompas, 2009).
Dari data di atas dapat disimpulkan skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat dan
ganggguan jiwa banyak ditemukan dengan prevalensi terbesar menurut usia yaitu usia
remaja sampai dewasa muda dan merupakan usia produktif.
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik, pada orang yang
mengalaminya tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk
(Kaplan & Sadock, 1997). Demikian juga skizofrenia merupakan sekelompok reaksi
psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk fungsi berpikir
dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan

3
menunjukkan emosi dan berperilaku yang dapat diterima secara rasional (Stuart &
Laraia, 2005). Sedangkan menurut Moedjiono (2007) skizofrenia adalah yaitu
gangguan pada proses pikir, emosi dan perilaku dengan gejala kemunduran di bidang
sosial, pekerjaan, hubungan pada penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik yang mengalami gangguan proses
pikir, berkomunukasi, emosi dan prilaku dengan mengalami gangguan menilai realita,
pemahaman diri buruk dan kemunduran hubungan interpersonal.
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat menunjukkan perilaku
seperti: ketidakmampuan merawat diri, tidak mau bersosialisasi, merasa diri tidak
berharga, dan/ atau menunjukkan afek yang tidak wajar atau tumpul, sehingga
menyebabkan tidak berfungsi secara sosial dalam kehidupan sehari-hari. Konflik yang
terjadi pada diri skizofrenia dapat dikarenakan mekanisme pertahanan dirinya
maladaptif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan. Kaplan dan
Saddock (2005) menjelaskan bahwa apabila individu tidak mampu menemukan
penyelesaian terhadap situasi yang mengancamnya, maka individu tersebut
mengalami ansietas. Hawari (2008) mengemukakan apabila orang tersebut tidak
mampu beradaptasi terhadap perubahan, maka timbulah keluhan berupa ansietas. Dari
penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa merasa diri tidak berharga, ansietas,
perilaku mekanisme pertahanan dirinya maladaptif merupakan gejala pada
skizofrenia.
Penanganan pasien skizofrenia meliputi tiga aspek, yakni biologi, psikologi, dan
sosial (bio-psiko-sos). Penanganan secara biologi meliputi pemberian obat dan
Electrocardio Therapy (ECT), sedangkan secara psikologis dengan pemberian
psikoterapi. Macam pemberian psikoterapi pada pasien Skizofrenia yaitu terapi individu,
terapi kelompok, terapi lingkungan dan terapi keluarga pada klien yang dirawat di
lingkungan rawat inap maupun lingkungan masyarakat (Vedebeck,2008).
Berbagai model penanganan pasien skizofrenia telah dilakukan oleh para praktisi
dalam rangka membantu pasien keluar dari permasalahannya. Model-model tersebut
bervariasi antar profesi kesehatan seperti perawat, psikiater, psikolog, sosial worker yang
sering bekerja untuk membantu pasien gangguan jiwa. Beberapa model yang diterapkan
antara lain: psikoanalitik model, interpersonal, sosial, eksistensial, suportif dan medikal
model (Stuart dan Laraia, 1998). Terapi kognitif (CT), terapi perilaku (BT), logoterapi,
terapi realita dan psikoedukasi keluarga (Videbeck, 2008), kognitif behavioral therapy
(CBT), edukasi terapi, thought stopping, bibliotherapy dan terapi musik (Boyd & Nihart,

4
1998), terapi asertif, time outs, dan token economy (Stuart & Laraia, 2005), terapi Milieu
(Townsend, 2005). Dari beberapa jabaran tindakan diatas disimpulkan bahwa kognitif
behavioral therapy (CBT) merupakan salah satu tindakan keperawatan untuk pasien
skizofrenia. Kognitif behavior terapi membantu pasien diberbagai masalah kesulitan yang
dialami seseorang dalam berbagai sisi kehidupan. Berbagai masalah gangguan jiwa juga
sering memanfaatkan kognitif behavioral terapi baik digunakan secara tunggal maupun
dikombinasikan dengan dengan psikofarmaka mapun terapi lain. Kognitif behavioral
therapy (CBT) membantu individu untuk berkembang dengan meningkatkan ketrampilan
dalam mekanisme koping menurunkan kecemasan dan meningkatkan hargadiri (Wheeler,
2008). Penanganan pasien dengan menggunakan psikofarmakologi membantu mengontrol
gejala psikotik akan tetapi tidak membantu meningkatkan kemampuan koping pasien yng
bersangkutan.

B. TUJUAN
Dalam jurnal ini peneliti mengungkapkan dengan jelas dari tujuan penelitian yaitu
untuk mengetahui pengaruh CBT terhadap perubahan mekanisme koping, kecemasan,
harga diri pada pasien Skizoprenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. SCHIZOFRENIA
1. Pengertian
Schizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan
perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi,
hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah.( Stuart Gail W. 2006).
Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental
berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan oleh
kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri. Skizofrenia Tipe I
ditandai dengan menonjolnya gejala-gejala positif seperti halusinasi, delusi, dan
asosiasi longgar, sedangkan pada Skizofrenia Tipe II ditemukan gejala-gejala
negative seperti penarikan diri, apati, dan penurunan kemampuan dalam melakukan
aktivitas dasar sehari-hari.
2. Etiologi
Maramis (2005) mengemukan tetang penyebab schizofrenia antara lain :
1) Keturunan
Dapat dipastikan bahwa ada faktor keturunan yang juga menentukan timbulnya
schizofhrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga
keluarga penderita schizophrenia dan terutama anakanak kembar satu telur.
Angka kesakitan dari saudara tiri Ialah 0,91,8 %; bagi saudara kandung 715%;
bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita schizophrenia 716%; bila
kedua orang tua menderita schizofrenia 4068 %; bagi kembar dua telur
(heterozigot) 215%; bagi kembar satu telur (monozigot) 6186%.
2) Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya Schizofrenia pada
waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium.,
tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
3) Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita Schizofrenia tampak pucat, tidak sehat,
ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun
serta pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat asam menurun.
Hipotesa ini masih dalam pembuktian dengan pemberian obat halusinogenik,

6
seperti meskalin dan asam lisergik diethylamide (LSD-25). Obatobat ini dapat
menimbulkan gejalagejala yang mirip denga scizofrenia, tetapi reversible.
Mungkin schizofrenia disebabkan oleh suatu inborn error of metabolism
4) Susunan Saraf Pusat
Penyebab Skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP yaitu pada diensefalon atau
kortek otak, tetapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh
perubahan postmortem atau merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan.
5) Teori Adolf Meyer :
Schizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit badaniah sebab hingga sekarang
tidak dapat ditemukan kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas pada
SSP tetapi Meyer mengakui bahwa suatu konstitusi yang inferior atau penyakit
badaniah dapat mempengaruhi timbulnya schizofrenia. Menurut Meyer
skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah. Oleh karena itu timbul suatu
disorganisasi kepribadian dan lamakelamaan orang itu menjauhkan diri dari
kenyataan (otisme).
6) Teori Sigmund Freud
Schizofrenia terdapat (1) kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab
psikogenik ataupun somatik (2) superego dikesampingkan sehingga tidak
bertenaga lagi dan Id yamg berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme
dan (3) kehilangaan kapasitas untuk pemindahan (transference) sehingga terapi
psikoanalitik tidak mungkin.
7) Eugen Bleuler
Penggunaan istilah Schizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit ini yaitu
jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses
berfikir, perasaan dan perbuatan. Bleuler membagi gejala Schizofrenia menjadi 2
kelompok yaitu gejala primer (gaangguan proses pikiran, gangguan emosi,
gangguan kemauan dan otisme) gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala
katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain).
Kemudian muncul teori yang menganggap schizofrenia sebagai suatu sindroma
yang dapat disebabkan oleh bermacam-macaam sebab antara lain keturunan,
pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badaniah seperti lues
otak, arterosklerosis otak dan penyakit lain yang belum diketahui.
Akhirnya timbul pendapat bahwa schizofrenia itu suati gangguan psikosomatik,
gejalagejala pada badan hanya sekunder karena gangguan dasar yang

7
psikogenik, atau merupakan manifestasi somatik dari gangguan psikogenik.
Tetapi pada scizofrenia justru kesukaran ialah untuk menentukan mana yang
primer dan mana yang sekunder, mana yang merupakan penyebab dan mana
yang hanya akibatnya saja. Jadi kita dapat melihat bahwa hingga sekarang belum
diketahui dasar penyebab schizofrenia, sehingga pernah pada suatu kenperensi
dunia khusus tentang schizofrenia, dikatakan sebenarnya bsangat memalukan,
bahwa kita hingga sekarang belum mengetahui sebab musabab suatu penyakit
yang terdapat sejak dulu kala dan yang tersebar begitu luas serta khas bagi umat
manusia.
Sebagai ringkasan: hingga sekarang kita belum mengetahui dasar sebab musabab
schizofrenia. Dapat dikatakan bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh.
Faktor yang mempercepat, yang menjadikan manifestasi atau faktor pencetus
(presipitating factors) seperti penyakit badaniah atau stress psikologis, biasanya
tidak menyebabkan Schizofrenia, walaupun pengaruhnyaa terhadap suatu
penyakit Schizofrenia yang sudah ada tidak dapat disangkal.

3. Klasifikasi Schizofrenia
Adapun klasifikasi schizofrenia berdasarkan gejala utamanya antara lain :
1) Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa
kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir
sukar ditemukan, waham dan halusinasi jarang didapat, jenis ini timbulnya
perlahan-lahan sekali.

2) Skizofrenia Hebefrenia
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa
remaja atau antaraa 15-25 tahun. Gejala yang mencolok ialah gangguan
proses berfikir, gangguan kemauaan dan adaanya depersenalisasi atau
double personality. Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme
atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat, waham dan halusinaasi
banyak sekali.

8
3) Skizofrenia Katatonia
Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering
didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik
atau stupor katatonik.

4) Skizofrenia Paranoid
Gejala yang mencolok ialah waham primer, disertai dengan waham-
waham sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang teliti ternyata
adanya gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi dan kemauan.

Jenis schizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30 tahun. Permulaannya


mulai subakut, tetapi bias juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit
sering dapat digolongkan schizoid. Mereka mudah tersinggung, suka
menyendiri, agak congkak dan kurang percaya pada orang lain.

5) Episode Skizofrenia akut


Gejala Skizofrenia timbul mendadak sekali dan pasien seperti dalam
keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini
timbul perasaan seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri berubah,
semuanya seakan-akan mempunyai suatu arti yang khusus baginya.
Prognosisnya baik, dalam waktu beberapa minggu atau biasanya kurang
dari 6 bulan penderita sudah baik. Kadangkadang bila kesadaran yang
berkabut tadi hilang, maka timbul gejalagejala salah satu jenis
schizofrenia yang khas.

6) Skizofrenia Residual
Keadaan Skizofrenia dengan gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas
adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali
serangan Skizofrenia

7) Skizofrenia Skizo Afektif


Disamping gejala Schizofrenia terdapat menonjol secara bersamaaan juga
gejala-gejala depresi (skizo depresif) atau gejala mania (psiko-manik).
Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa defek, tetapi mungkin
juga timbul serangan lagi.

9
4. Kriteria Diagnostik
Menurut Pedoman Diagnostik PPDGJ III (2001) untuk gangguan skizhofrenia
harus ada sedikitnya suatu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejalagejala itu kurang tajam atau kurang jelas :
1) Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. Thaought
1. thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda ; atau
2. thought insertion or withdrawal = isi yang asing dan luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
3. thought broadcastin = isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya;
b. Delusion
1. delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
2. delusion of passivitiy = waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya =
secara jelas merujuk kepergerakan tubuh/anggota gerak atau ke
pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus)
3. delusional perception = pengalaman indrawi yang tidak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersif atmistik
atau mukjizat;
c. Halusinasi auditorik:
1. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
2. Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau
3. Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian
tubuh.

10
Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
mahluk asing dan dunia lain)
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a) halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
b) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme.
c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor.
d) Gejala-gejala negative, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan
oleh depresi oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam
mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed
attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Menurut Hawari (2001) secara klinis untuk mengatakan apakah seseorang itu
menderita scizofrenia atau tidak maka diperlukan criteria diagnostik segabai
berikut
a) Paling sedikit terdapat 1 dari 6 kriteria dibawah ini selama suatu fase
penyakit:

11
1) Delusi atau waham yang aneh (isinya jelas tak masuk akal), dan tidak
berdasarkan kenyataan. Sebagai contoh misalnya:
2) Waham dikendalikan oleh suatu kekuatan luar (delusions of being
controlled).
3) Waham penyiaran pikiran (thaougt broadcasting).
4) Waham penyisipan pikiran (thought insertion).
5) Waham penyedotan pikiran (thought withdrawal).
6) Delusi atau waham somatic (fisik), kebesaran, keagamaan, nihilistik
atau waham lainnya yang bukan waham kejar atau cemburu.
7) Delusi atau waham kejar atau cemburu (delusions of persecution or
jealousy) dan waham tuduhan (delusions of suspicion) yang disertai
halusinasi dalam bentuk apapun (halusinasi pendengaran, penglihatan,
penciuman, pengecapan, dan perabaan).
8) Halusinasi pendengaran yang dapat berupa suara yang selalu member
komentar tentang tingkah laku atau pikirannya, atau dua atau lebih
suara yang saling bercakapcakapan (dialog).
9) Halusinasi pendengaran yang terjadi beberapa kali yang berisi lebih
satu atau dua kata dan tidak ada hubungannya dengan kesedihan
(depresi) atau kegembiraan (euforia).
10) Inkoherensi, yaitu kelonggaran asosiasi (hubungan) pikiran yang jelas,
jalan pikiran yang tidak masuk akal, isi pikiran atau pembicaraan yang
kacau, atau kemiskinan pembicaraan yang disertai oleh paling sedikit
atau dari yang disebut dibawah ini :
a. Afek (alam perasaan) yang tumpul mendatar atau tidak serasi
(inappropriate).
b. Berbagai waham atau halusinasi.
c. Katatonia (kekakuan) atau tingkah laku lain yang sangat kacau
(disorganized)
11) Deteriorasi (kekambuhan/ kemerosotan) dari taraf fungsi penyesuaian
(adaptasi) dalam bidang pekerjaan, hubungan social dan perawatan
dirinya
12) Jangka waktu : gejala penyakit itu berlangsung secara terus menerus
selama paling sedikit 6 bulan dalam suatu periode di dalam kehidupan
seseorang, disertai dengan terdapatnya beberapa gejala penyakit pada

12
saat periksa sekarang. Masa bulan itu harus mencakup fase aktif
dimana dapat gejala pada kriteri (1), dengan atau tanpa fase prodromal
(gejala awal) atau residual (gejala sisa).
5. Gejala Gejala Schizofrenia
Perjalanan penyakit schizophrenia terbagi menjadi tiga fase, yaitu:
1) Fase prodromal = fase dimana gejala non spesifik muncul sebelum gejala
psikotik menjadi jelas. Lamanya bisa beberapa minggu, bulan bahkan
tahunan. Gejalanya berupa hendaya pekerjaan, fungsi social, perawatan
diri, penurunan kemampuan dalam melakukan aktivitas dasar sehari-hari,
dan penggunaan waktu luang.
2) Fase aktif = fase dimana gejala psikotik menjadi jelas seperti perilaku
katatonik, halusinasi, delusi, disertai gangguan afek.
3) Fase residual = fase yang gejalanya mirip seperti fase prodromal tetapi
gejala psikotiknya tidak begitu jelas.
Maramis (2005) menjelaskan gelajagejala schizofrenia dibagi menjadi 2
kelompok yaitu :
1) Gejalagejala primer
- Gangguan proses pikir (bentuk, langkah dan isi pikiran). Pada
schizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran. Yang
terganggu terutama ialah asosiasi. Kadangkadang satu ide belum
selesai diutarakan, sudah timbul ide lain. Atau terdapat pemindahan
maksud, umpanya maksudnya tani tetapi dikatakan sawah.
- Gangguan afek dan emosi: Gangguan ini pada schizofrenia dapat
berupa :
a. Kadang kala afek dan emosi (emotional blunting), misalnya
penderita menjadi acuh tak acuh terdapat halhal yang penting
untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarganya dan masa
depannya. Perasaan halus sudah hilang.
b. Parathimi: apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan
gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah.
- Gangguan kemauan: Banyak penderita denga schizofrenia mempunyai
kelemahan kemauan. Mereka tidak dapat mengambil keputusan, tidak
dapat bertindak dalam suatu keadaan. Mereka selalu memberikan suatu
alasan, meskipun alas an itu tidak jelas atau tepat.

13
- Gejala psikomotor: juga dinamakan gejalagejala katatonik atau
gangguan perbuatan. Kelompok gejala ini oleh Bleuler dimasukkan ke
dalam kelompok gejala schizofrenia yang sekunder sebab didapat juga
penyakit lain.
2) Gejala gejala sekunder
- Waham: Pada schizofrenia waham sering tidak logis sama sekali
sangat bizar. Tetapi penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia
wahamnya merupakan fakta dan tidk dapat dirubah oleh siapapun.
Sebaliknya ia tidak mengubah sikapnya yang bertentangan.
- Halusinasi: Pada schizofrenia, halusinasi timbul tanpa kesadaran dan
hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada
keadaan lain.
Gejala gejala schizofrenia menurut Hawari (2001) dibagi dua yaitu :
1) Termasuk gejala positif adalah
a) Delusi atau waham yaitu keyakinan yang tidak rasional ( tidak masuk
akal ). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya
itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya.
b) Kekacauan alam pikiran, yang dapat dilihat dari isi pembicaraan.
Misalnya bicara kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
c) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar mandir, agresif, bicara
dengan semangat dan gembira berlebihan.
d) Merasa dirinya orang besar, merasa serba mampu, serba hebat dan
sejenisnya.
e) Menyimpan rasa permusuhan
2) Termasuk gejala negatif
a) Alam perasaannya yang ( affect ), tumpul dan mendatar.
Gambaran alam perasaan ini terlihat dari wajahnya yang tidak
menunjukkan ekspresi
b) Menarik diri atau mengasingkan diri ( withdraw ), tak mau bergaul
atau kontak dengan orang lain,suka melamun ( day dreaming )
c) Pasif dan apatis, menarik diri diri dari pergaulan sosial
d) Kesulitan dalam berpikir abstrak

14
e) Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak ( avolition ) dan tidak ada
inisiatif, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton,
serta tak ingin apa-apa dan serba malas ( kehilangan nafsu )
f) Pola pikir streotip
6. Penatalaksanaan Schizofhrenia
1. Psikofarmaka
Kemajuan di bidang Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) akhirakhir ini
mengalami kemajuan pesat, baik dibidang organobiologik maupun di
bidang obatobatannya. Dari sudut oranobiologik sudah diketahui bahwa
pada schizofrenia terdapat gangguan pada fungsi transmisi sinyal
pengantar saraf (neurotransmitter) selsel susunan saraf pusat (otak) yaitu
pelepasan zat dopamine dan serotonin yang mengakibatkan gangguan pada
alam pikir, alam perasaan dan perilaku
Dewasa ini banyak jenis obat psikofarmaka yang digunakan untuk
mengobati penderita schizofrenia. Hingga sekarang belum ditemukan obat
yang ideal, masing-masing jenis obat fsikofarmaka ada kelebihan dan
kekurangannya selain juga ada efek sampingnya. Misalnya ada jenis
psikofarmaka yang lebih berkhasiat menghilangkan gejala negative
schizofrenia daripada gejala positif atau sebaliknya, ada juga yang lebih
cepat menimbulkan efek samping dan lain sebagainya.
Adapun obat psikofarmaka yang ideal yaitu yang memenuhi syarat-syarat
antara lain sebagai berikut :
- Dosis rendah dengan efektivitas terapi dalam waktu yang relative
singkat.
- Tidak ada efek samping, kalaupun ada relative kecil.
- Dapat menghilangkan dalam waktu relatife singkat baik gejala positif
maupun negative schizofrenia.
- Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat).
- Tidak menyebabkan kantuk.
- Memperbaiki pola tidur.
- Tidak menyebabkan habituasi, adiksi dan dependensi.
- Tidak menyebabkan lemas otot.
- Dan, kalau mungkin pemakaiannya dosis tunggal, (single doses)

15
Jenis obat psikofarmaka yang dapat diperoleh dari dokter dibagi menjadi
dua golongan diantaranya : golongan generasi pertama (typical) dan
golongan generasi kedua (atypical)
1. Obat golongan generasi pertama
a) Chlorpromazine HCl
b) Trifluoperazine HCL
c) Thioridazine HCl
d) Haloperidol
2. Golongan generasi kedua
a) Risperidone
b) Clozapine
c) Quetiapine
d) Olanzapine
e) Zotetine
f) Aripiprazole
2. Psikoterapi
a) Suportif
Jenis Terdapat banyak macam psikoterapi tergantung dari kebutuhan
dan latar belakang penderita sebelum sakit (Pramorbid), sebagai
contohnya : Psikoterapi psikoterapi ini dimaksudkan untuk
memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar penderita tidak
merasa putus asa.
b) Psikoterapi Re-edukatif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang
yang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu dan
juga dengan pendidikan ini dimaksudkan emngubah pola pendidikan
lama dengan yang baru sehingga penderita lebih adaptif terhadap dunia
luar.
c) Psikoterapi Re-konstruktif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki kembali (re-
konstruksi) kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi
kepribadian utuh seperti semula sebelum sakit.

16
d) Psikoterapi Kognitif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi
kognitif (daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita
mampu membedakan nialai-nilai moral etika, mana yang baik dan
buruk, mana yang boleh dan tidak, mana yang halal dan haram dan lain
sebagainya (discriminative judgment).
e) Psikoterapi Psiko-dinamik
Jenis pskikoterapi ini dimaksudkan untuk menganalisa dan
menguraikan proses dinamika kejiwaan yang menjelaskan seseorang
jatuh sakit dan upaya untuk mencari jalan keluarnya.
f) Psikoterapi Prilaku
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan gangguan prilaku
yang terganggu (maladaptif) menjadi prilaku yang adaptif (mampu
menyesuaikan diri). Kemampuan adaptasi penderita perlu dipulihkan
agar penderita mampu berfungsi kembali secara wajar.
g) Psikoterapi keluarga
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan hubungan
penderita dengan keluarganya.
3. Terapi Psikososial
Gangguan jiwa schizofrenia adalah terganggunya fungsi social penderita
atau hendaya (impairment). Hendaya ini terjadi dalam berbagai bidang
fungsi rutin kehidupan sehari-hari. Dengan terapi psikosoial dimaksudkan
penderita agar mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial
sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung dari
orang lain sehingga tidak jadi beban gai masyarakat dan keluarga.(Hawari,
2001)
Salah satu bagian dari terapi psikososial adalah terapi okupasi dimana
dalam terapi okupasi ini terdapat bermacam-macam jenis kegiatan yang
diberikan salah satunya adalah mengajarkan pasien untuk melakukan
kegiatan sehari-hari. Sehingga dapat meningkatkan kemampuan pasien
dalam melakukan kegiatan dasar sehari-hari secara mandiri

17
B. TERAPI PERILAKU KOGNITIF (COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY)
1. Pengertian
Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan
konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini
dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang.
Pedekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi perilaku
yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau
pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari
CBT yaitu munculnya restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem
kepercayaan untuk membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik.
Matson & Ollendick mengungkapkan definisi cognitive-behavior therapy
yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara spesifik menggunakan
kognisi sebagai bagian utama konseling. Fokus konseling yaitu persepsi, kepercayaan
dan pikiran. Para ahli yang tergabung dalam National Association of Cognitive-
Behavioral Therapists (NACBT), mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-
behavior therapy yaitu suatu pendekatan psikoterapi yang menekankan peran yang
penting berpikir bagaimana kita merasakan dan apa yang kita lakukan. (NACBT,
2007)
Teori Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003) pada dasarnya meyakini
pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon (SKR),
yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia,
di mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana
manusia berpikir, merasa dan bertindak. Sementara dengan adanya keyakinan bahwa
manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional, di
mana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku
yang menyimpang, maka CBT diarahkan pada modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan
bertindak dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya,
bertindak, dan memutuskan kembali. Dengan mengubah status pikiran dan
perasaannya, konseli diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif
menjadi positif. Berdasarkan paparan definisi mengenai CBT, maka CBT adalah
pendekatan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan
kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik
maupun psikis. CBT merupakan konseling yang dilakukan untuk meningkatkan dan

18
merawat kesehatan mental. Konseling ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi
berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa,
pengambil keputusan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Sedangkan,
pendekatan pada aspek behavior diarahkan untuk membangun hubungan yang baik
antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Tujuan dari
CBT yaitu mengajak individu untuk belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran
dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat
keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya dengan CBT diharapkan dapat
membantu konseling dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan bertindak.
2. Tujuan Konseling CBT
Tujuan dari konseling Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003) yaitu mengajak konseli
untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang
bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Konselor
diharapkan mampu menolong konseli untuk mencari keyakinan yang sifatnya
dogmatis dalam diri konseli dan secara kuat mencoba menguranginya.
Dalam proses konseling, beberapa ahli CBT (NACBT, 2007; Oemarjoedi, 2003)
berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting dalamkonseling. Oleh
sebab itu CBT dalam pelaksanaan konseling lebih menekankan kepada masa kini dari
pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu. CBT tetap
menghargai masa lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan mencoba membuat
konseli menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan pada pola pikir
masa kini untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, CBT
lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif
negatif menjadi status kognitif positif
3. Fokus Konseling
CBT merupakan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi
atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya
baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat ke masa depan dibanding masa
lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain mengubah cara berpikir, kepercayaan,
sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi konseli belajar mengenali dan
mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek behavioral dalam CBT
yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan
kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran
dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir lebih jelas.

19
4. Prinsip Prinsip Cognitive-Behavior Therapy (CBT)
Walaupun konseling harus disesuaikan dengan karakteristik atau
permasalahan konseling, tentunya konselor harus memahami prinsip-prinsip yang
mendasari CBT. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip ini diharapkan dapat
mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi dalam merencanakan
proses konseling dari setiap sesi, serta penerapan teknik-teknik CBT. Berikut adalah
prinsip-prinsip dasar dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan oleh Beck
(2011):
a. Prinsip nomor 1: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada
formulasi yang terus berkembang dari permasalahan konseli dan
konseptualisasi kognitif konseli. Formulasi konseling terus diperbaiki seiring
dengan perkembangan evaluasi dari setiap sesi konseling. Pada momen yang
strategis, konselor mengkoordinasikan penemuan-penemuan konseptualisasi
kognitif konseli yang menyimpang dan meluruskannya sehingga dapat membantu
konseli dalam penyesuaian antara berfikir, merasa dan bertindak.
b. Prinsip nomor 2: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman
yang sama antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang
dihadapi konseli. Melalui situasi konseling yang penuh dengan
kehangatan, empati, peduli, dan orisinilitas respon terhadap permasalahan konseli
akan membuat pemahaman yang sama terhadap permasalahan yang dihadapi
konseli. Kondisi tersebut akan menunjukan sebuah keberhasilan dari konseling.
c. Prinsip nomor 3: Cognitive-Behavior Therapy memerlukan kolaborasi dan
partisipasi aktif. Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling
maka keputusan konseling merupakan keputusan yang disepakati dengan konseli.
Konseli akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi konseling, karena konseli
mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap sesi konseling.
d. Prinsip nomor 4: Cognitive-Behavior Therapy berorientasi pada tujuan dan
berfokus pada permasalahan. Setiap sesi konseling selalu dilakukan
evaluasi untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini
diharapkan adanya respon konseli terhadap pikiran-pikiran yang mengganggu
tujuannya, dengan kata lain tetap berfokus pada permasalahan konseli.Prinsip
nomor 5: Cognitive-Behavior Therapy berfokus pada kejadiansaat ini.
Konseling dimulai dari menganalisis permasalahan konseli pada saat ini dan di
sini (here and now). Perhatian konseling beralih pada dua keadaan.

20
Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber kekuatan dalam melakukan
kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada proses berfikir yang
menyimpang dan keyakinan konseli dimasa lalunya yang berpotensi merubah
kepercayaan dan tingkahlaku ke arah yang lebih baik.
e. Prinsip nomor 6: Cognitive-Behavior Therapy merupakan
edukasi, bertujuan mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya
sendiri, dan menekankan pada pencegahan. Sesi pertama CBT mengarahkan
konseli untuk mempelajari sifat dan permasalahan yang dihadapinya termasuk
proses konseling cognitive-behavior serta model kognitifnya karena CBT
meyakini bahwa pikiran mempengaruhi emosi dan perilaku. Konselor membantu
menetapkan tujuan konseli, mengidentifikasi dan mengevaluasi proses berfikir
serta keyakinan konseli. Kemudian merencanakan rancangan pelatihan untuk
perubahan tingkah lakunya.
f. Prinsip nomor 7: Cognitive-Behavior Therapy berlangsung pada waktu yang
terbatas. Pada kasus-kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan antara 6
sampai 14 sesi. Agar proses konseling tidak membutuhkan waktu yang
panjang, diharapkan secara kontinyu konselor dapat membantu dan melatih
konseli untuk melakukan self-help.
g. Prinsip nomor 8: Sesi Cognitive-Behavior Therapy yang terstruktur.Struktur
ini terdiri dari tiga bagian konseling. Bagian awal, menganalisis perasaan dan
emosi konseli, menganalisis kejadian yang terjadi dalam satu minggu kebelakang,
kemudian menetapkan agenda untuk setiap sesi konseling. Bagian tengah,
meninjau pelaksanaan tugas rumah (homework asigment),
membahas permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang telah berlangsung,
serta merancang pekerjaan rumah baru yang akan dilakukan. Bagian akhir,
melakukan umpan balik terhadap perkembangan dari setiap sesi konseling. Sesi
konseling yang terstruktur ini membuat proses konseling lebih dipahami oleh
konseli dan meningkatkan kemungkinan mereka mampu melakukan self-help di
akhir sesi konseling.
h. Prinsip nomor 9: Cognitive-Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran disfungsional
dan keyakinan mereka. Setiap hari konseli memiliki kesempatan dalam pikiran-
pikiran otomatisnya yang akan mempengaruhi suasana hati, emosi dan tingkah
laku mereka. Konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi pikirannya serta

21
menyesuaikan dengan kondisi realita serta perspektif adaptif yang
mengarahkan konseli untuk merasa lebih baik secara emosional, tingkahlaku dan
mengurangi kondisi psikologis negatif. Konselor juga menciptakan pengalaman
baru yang disebut dengan eksperimen perilaku. Konseli dilatih untuk menciptakan
pengalaman barunya dengan cara menguji pemikiran mereka (misalnya: jika saya
melihat gambar labalaba, maka akan saya merasa sangat cemas, namun saya pasti
bisa menghilangkan perasaan cemas tersebut dan dapat melaluinya dengan baik).
Dengan cara ini, konselor terlibat dalam eksperimen kolaboratif. Konselor dan
konseli bersama-sama menguji pemikiran konseli untuk mengembangkan respon
yang lebih bermanfaat dan akurat.
i. Prinsip nomor 10: Cognitive-Behavior Therapy menggunakan
berbagai teknik untuk merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku.
Pertanyaanpertanyaan yang berbentuk sokratik memudahkan konselor dalam
melakukan konseling cognitive-behavior. Pertanyaan dalam bentuk sokratik
merupakan inti atau kunci dari proses evaluasi konseling. Dalam proses konseling,
CBT tidak mempermasalahkan konselor menggunakan teknik-teknik dalam
konseling lain seperti kenik Gestalt, Psikodinamik, Psikoanalisis, selama teknik
tersebut membantu proses konseling yang lebih saingkat dan memudahkan
konelor dalam membantu konseli. Jenis teknik yang dipilih akan dipengaruhi oleh
konseptualisasi konselor tehadap konseli, masalah yang sedang ditangani, dan
tujuan konselor dalam sesi konseling tersebut.

22
BAB III
TELAAH JURNAL

A. JUDUL PENELITIAN
Pengaruh Cognitive Behavioral Therapy (CBT) Terhadap Perubahan Kecemasan,
Mekanisme Koping, Harga Diri Pada Pasien Gangguan Jiwa Dengan Skizofrenia Di
RSJD Surakarta
B. NAMA PENELITI
Endang Caturini S, Siti Handayani
C. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada di RSJD Surakarta
D. METODE PENELITIAN
1. Desain penelitian : Quasi Experiment Pre-Post Test With Control Group / Non
Randomized Control Group Pretest Postest Design
2. Cara pengambilan sampel : Convinience sampling
1) Kriteria Inklusi: tidak dijelaskan dalam jurnal
2) Kriteria Eksklusi: tidak dijelaskan dalam jurnal
3. Sampel : 32 kelompok kontrol dan 32 kelompok intervensi
4. Jalannya penelitian : Peneliti melakukan pengukuran sebelum perlakuan dan
sesudah perlakuan dengan kuesioner. Peneliti membagi menjadi dua kelompok
yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi adalah
kelompok yang mendapat perlakuan yaitu kognitif behavior terapi sedangkan
kelompok kontrol adalah kelompok pembanding yang tidak mendapatkan
perlakuan terapi kognitif behavior di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.
E. ANALISIS DATA
Paired t-tes., independent t-test regresi linier ganda.
F. HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian membuktikan adanya perbedaan yang bermakna kecemasan,
mekanisme koping dan harga diri rendah sebelum dan sesudah pemberian CBT (p
value < 0,05), hal ini membuktikan adanya perubahan yang bermakna pada pasien
yang mendapatkan CBT dibandingkan yang tidak mendapatkan. CBT bila
dilaksanakan secara konsisten oleh pasien, berpeluang untuk menurunkan kecemasan
sebesar 10,0% dan diperkirakan mampu menurunkan nilai kecemasan sebesar -4.938
poin dan berpeluang untuk menurunkan mekanisme koping sebesar 8.50% dan

23
diperkirakan mampu menurunkan nilai mekanisme koping sebesar -4.969 poin dan
juga berpeluang untuk meningkatkan harga diri sebesar 31.3% dan diperkirakan
mampu meningkatkan nilai harga diri sebesar 5.906 poin.
G. PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa CBT dapat meningkatkan harga diri pada
kelompok intervensi lebih tinggi secara bermakna (p value 0,000), skor ini naik
sebesar 8.25 sedangkan pada kelompok kontrol turun sebesar 2.34. Demikian juga
diilihat dari hasil selisih rata-rata peningkatan mekanisme koping menunjukan
terdapat perbedaan secara statistik signifikan (p < 0,05) antara pasien pada kelompok
intervensi (mean 8.25) lebih tinggi dari pada kelompok kontrol (mean 2.34). Pada
hasil penelitian memperlihatkan bahwa variabel perancu tidak merancukan estimasi
efek dari intervensi CBT sehingga estimasi efek intervensi CBT yang digunakan
adalah hasil perhitungan model I. Adjusted R sebesar 31.3% pada model I
menunjukkan intervensi CBT mampu meningkatkan harga diri pasien sebesar 31.3%.
Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian Bradshaw (1998) bahwa CBT
berpengaruh yang signifikan terhadap pengurangan pada simtomatologi,
rehospitalisations dan peningkatan fungsi psikososial dan pencapaian tujuan
pengobatan. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Hyun, Chung, Lee (2003),
dimana effect of cognitive behavioral group therapy menurunkan skor depresi secara
signifikan(z= -2.325, p= .02), self effisasy meningkat(z=-2.098, p=.03, dan tidak
terdapat perubahan yang signifikan pada harga diri pasien dengan hasil(z=-
1.19,p=.23). Asumsi peneliti dengan CBT, pasien melakukan latihan dengan
pendekatan tatap muka di 5 sesi atau 5 pertemuan dapat mendengar penjelasan dan
melihat peragaan bagaimana langkah-langkahnya, bagaimana mengubah pikiran-
pikiran yang negatif, perasaan-perasaan yang negatif ke pikiran dan perasaan yang
positif atau rasional sehingga dapat mengubah perilaku yang negatif ke perilaku yang
positif. Pasien merasa dihargai ketika mendapatkan penghargaan saat dapat
berperilaku yang sesuai. Hal inilah dapat meningkatkan hargadiri pasien. Pengalaman
nyata yang diperoleh bisa langsung dirasakan pasien, sehingga dapat memicu
kemampuan pasien dalam mengembangkan kemampuan dan meningkatkan hargadiri.
H. IMPLIKASI KEPERAWATAN
Terapi kognitif perilaku ini dapat di implementasikan di RSJD Amino
Gondohutomo Semarang, khususnya di Bangsal untuk mengubah pemikiran
seseorang yang akan mempengaruhi perilaku orang tersebut. Kemudian terapi ini

24
bertujuan untuk membantu pasien agar dapat mengendalikan masalah yang
dialaminya. Misalnya pada pasien yang mengalami gangguan perubahan kecemasan
yang mengakibatkan perubahan pola tidur, sehingga kualitas tidur pun berkurang.
Misalnya dengan terapi relaksasi dan distraksi yang dapat dilakukan oleh pasien,
sehingga kecemasan pun berkurang.
Sehingga terapi kognitif perilaku tidak hanya merupakan satu jenis terapi saja,
melainkan merupakan terapi yang dapat dimodifikasi sesuai dengan masalah yang
ada.
I. REFERENSI
Chaplin, J.P. (2000). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Corey, Gerald. (2005). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT.
Refika Aditama.
NACBT. (2007). Cognitive-Behavioral Therapy. [Online]. Tersedia:
http://www.nacbt.org/whatiscbt.htm
Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003). Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi.
Jakarta: Kreativ Media

25
BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dari bab III dapat ditarik kesimpulan bahwa CBT dapat
menurunkan kecemasan, mekanisme koping, dan dapat meningkatkan harga diri pasien.
B. SARAN
1) Profesi Keperawatan
Saran pada penelitian ini adalah pihak pendidikan tinggi keperawatan hendaknya
menggunakan evidence based dari hasil penelitian CBT ini dan menjadikan sebagai
salah satu terapi dalam praktek keperawatan serta sebagai bahan pembelajaran dalam
pendidikan keperawatan
2) Pihak Rumah Sakit
Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan informasi dan
bahan pertimbangan dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa (skizofrenia) dengan penerapan CBT.

26

Anda mungkin juga menyukai