Referat Koma
Referat Koma
K O M A
PEMBIMBING
dr. Dyah Nuraini, Sp.S
PENYUSUN
Fitri Nur Laeli
030.09.093
NIM : 030.09.093
Pembimbing,
dr Ahmad Fanani, Sp B
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
izin-Nya penyusun dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. referat ini disusun
guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik di RSUD Semarang.
dr. Dyah Nuraini, Sp.S yang telah membimbing penyusun dalam mengerjakan referat ini,
serta kepada seluruh dokter yang telah membimbing penyusun selama di kepaniteraan klinik
Ilmu Bedah di RSUD Semarang. Dan juga ucapan terima kasih kepada teman-teman
seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi dukungan
dan bantuan kepada penyusun.
BAB I PENDAHULUAN 4
1. Anatomi Kulit .. 5
2. Fisiologi Kulit .. 10
3. Definisi Luka Bakar . 12
4. Etiologi . 12
5. Tanda dan Gejala berdasarkan Klasifikasi Luka Bakar 14
6. Patofisiologi .. 15
7. Luas Luka Bakar ... 20
8. Derajat Luka Bakar 22
9. Diagnosa 24
10. Tatalaksana 26
11. Komplikasi 33
12. Prognosis ... 36
PENDAHULUAN
Dalam keadaan normal, rangsangan kesadaran menerima masukan visual dari mata, suara dari
telinga, sentuhan dari kulit dan masukan dari setiap organ sensorik lainnya untuk melengkapi tingkat
kesiagaan yang tepat. Jika sistem rangsangan atau hubungannya dengan bagian otak yang lain tidak
bekerja sebagaimana mestinya, maka sensasi tidak lagi mempengaruhi tingkat rangsangan dan
kesiagaan otak secara tepat. Jika hal ini terjadi, maka akan timbul gangguan kesadaran.
Gangguan kesadaran ini bisa berlangsung singkat atau lama dan bisa bersifat ringan atau sama
sekali tidak memberikan respon.
Istilah-istilah yang masih tetap dipakai di klinik ialah komposmentis, somnolen, stupor atau
spoor, dan koma. Terminology ini bersifat kualitatif. Tetapi penurunan kesadaran ini juga dapat dinilai
secara kuantitatif untuk anak dengan menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale).
Komposmentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca indera (aware
atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari dalam
(arousal atau waspada), atau dalam keadaan awas dan waspada.
Somnolen atau drowsiness atau clouding of cinsiousness, berarti mengantuk, mata tampak
cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan
walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap sekitar menurun.
Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup, dengan rangsang nyeri atau
suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik hanya berupa gerakan mengelak
tehadap rangsang nyeri.
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan rangsang apapun tidak ada
reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi motorik.
BAB II
PEMBAHASAN
1. DEFINISI
Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang menjadi
petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai final common pathway dari gagal
organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan
akibat kematian. Jadi, bila terjadi penurunan kesadaran menjadi pertanda disregulasi dan
disfungsi otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh2. Dalam hal menilai
penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan di klinik yaitu kompos mentis,
somnolen, stupor atau sopor, soporokoma dan koma. Terminologi tersebut bersifat kualitatif.
Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan
menggunakan skala koma Glasgow3.
Tingkat kesadaran didapat dari hasil penjumlahan ketiga basil tes tersebut (Tabel 1).
Kecuali pada keadaan mata tertutup karena bengkak, endotracheal/tracheostomi. Pada
respons motorik yang, dipakai lengan yang baik/tidak parese. Kesadaran terbaik 15 SKG dan
terburuk 3 SKG. Koma disetarafkan dengan 8 SKG. Obtundation (somnolen) 13 SKG.
2. ETIOLOGI
1. Menurut kausa
3. PATOFISIOLOGI
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri termasuk
ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular activating system
(ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima
serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei
dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on
switch, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake). Maka apapun yang dapat
mengganggu interaksi ini, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan
mengakibatkan menurunnya kesadaran.
Karena ARAS terletak sebagian di atas tentorium serebeli dan sebagian lagi di
bawahnya, maka ada tiga mekanisme patofisiologi timbulnya koma :
1. Lesi supratentorial,
2. Lesi subtentorial,
3. Proses metabolik.
Koma supratentorial
1) Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedang batang otak tetap
normal. Ini disebabkan proses metabolik.
2) Lesi struktural supratentorial (hemisfer). Adanya massa yang mengambil tempat di
dalam cranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak,
abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di sekitarnya;
terjadilah :
1. Hemiasi girus singuli,
2. Hemiasi transtentorial sentral,
3. Herniasi unkus.
2.Herniasi transtentorial/sentral
Hemiasi transtentorial atau sentral adalah basil akhir dari proses desak ruang
rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan mereka
menekan diensefalon, mesensefalon, pons dan medula oblongata melalui celah
tentorium.
Koma metabolik
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma disebabkan
kegagalan difus dari metabolisme sel saraf.
1) Ensefalopati metabolik primer.
Penyakitdegenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme sel saraf
dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
2) Ensefalopati metabolik sekunder.
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak, yang
mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit ataupun
keracunan.
Pada koma metabolik ini biasanya ditandai gangguan sistim motorik simetris dan tetap
utuhnya refleks pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethimide atau atropin), juga
utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan barbiturat).
4. PEMERIKSAAN PASIEN KOMA
Tujuan pemeriksaan pasien koma adalah untuk menentukan letak proses patologi, apakah di
hemisfer, batang otak atau dikeduanya, dan penyebabnya.
1. Kejadian terakhir
2. Trauma
3. Riwayat medis pasien
4. Riwayat psikiatrik
5. Obat-obatatan
6. Penyalah gunaan obat-obatan atau alkohol
Pemeriksaan fisik
Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga ditegakkan melalui
pemeriksaan fisik :
a. Tanda vital : hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial dengan
peningkatan TIK atau ensefalopati karena hipertensi.
b. Kulit : tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness ( keracunan
CO), atau kuning
c. Nafas : alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk
d. Kepala : tanda fraktur, hematoma, dan laserasi
e. THT : otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena robeknya
duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah menandakan serangan
f. kejang.
g. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine) :
kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid.
h. Pemeriksaan neurologis : untuk menentukan dalamnya koma dan lokalisasi dari
penyebab koma.
Pemeriksaan saraf
1. Observasi, posisi tidur : alamiah atau posisi tertentu.
Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan rahang
tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan kesadaran berat.
3. Pola pemafasan.
a. Cheyne-Stokes dan central hyperventilation dapat dilihat pada gangguan
metabolik dan lesi struktural di beraneka ragam tempat di otak dan tidak dapat
menunjukkan tingkat anatomi lesi yang menyebabkan koma.
5. Funduskopi.
Papil edema menandakan peninggian tekanan intrakranial. Perdarahan subhyaloid,
biasanya menandakan rupture aneurisma atau malformasi arteriovena.
6. Pupil.
Diperhatikan besar, bentuk dan refleks cahaya direk dan indirek.
a) Midposition (3--5 mm) dan refleks cahaya negatif -- kerusakan mesensefalon
(pusat refleks pupil di mesensefalon).
b) Refleks pupil normal, refleks kornea dan gerakan bola mata tidak ada -- koma
metabolik dan obat-obatan seperti barbiturat.
c) Dilatasi pupil unilateral dan refleks cahaya negatif menandakan penekanan n.I1I
oleh hernia unkus lobus temporalis serebri. Kedua pupil dilatasi dan refleks
cahaya negatif bisa juga oleh anoksi, keracunan atropin dan glutethimide.
d) Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan pons seperti infark
atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga menyebabkan pinpoint pupil dan
refleks cahaya positif. Bila dengan rangsang nyeri pads kuduk pupil berdilatasi,
berarti bagian bawah batang otak masih utuh.
7. Gerakan bola mata.
Khas untuk lesi batang otak.
a. Gerakan bola mata spontan.
1. Pada koma metabolik, kedua mata bergerak spontan dan lambat dari satu
sisi ke sisi lainnya. Ini berarti batang otak masih utuh.
2. Retractory nystagmus-- ciri kerusakan tegmentum mesensefalon.
3. Convergence nystagmus -- ciri kerusakan mesensefalon.
4. Ocular bobbing -- ciri kerusakan caudal pontin.
5. Nystagmoid jerking of a single eye -- ciri kerusakan midpontine-lower
pontine.
6. Seesaw nystagmus-- ciri lesi di regio ventrikel III dan bukan di batang otak.
Gejala tersebut dapat menunjukkan lokasi lesi structural penyebab koma.
b) Gerakan-gerakan refleks.
Ditimbulkan dengan rangsang nyeri (penekanan supraorbita).
1. Gerakan dekortikasi -- fleksi dan aduksi lengan dan ekstensi tungkai. Bisa
simetris, bisa tidak. Ini artinya lesi hemisfer difus atau persis di batas
dengan mesensefalon. (nilai 3 pada respons motorik SKG).
2. Gerakan deserebrasi -- ekstensi, aduksi dan rotasi interns lengan dan
ekstensi tungkai. (nilai 2 pada respons motorik SKG).
11. Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu lateralisasi
defisit sensoris.
12. Refleks :
a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi defisit motoris
yang disebabkan lesi struktural
b. Refleks plantar : respon bilateral Babinskis menunjukkan coma akibat
struktural atau metabolik.
Pemeriksaan Laboratorium
darah, elektrolit, amonia serum, nitrogen urea darah (BUN), osmolalitas, kalsium, masa
pembekuan, kandungan keton serum, alkohol, obat-obatan dan analisa gas darah arteri.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien dengan koma
karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang harus segera dilakukan dalam
membantu penegakkan diagnosis, yaitu antara lain :
1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita curigai
terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone window pada
kejadian trauma kepala
2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis tidak dapat
ditegakkan melalui CT atau MRI kepala.
3. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang,
keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan melalui
pemeriksaan CT dan LP.
6. KEADAAN-KEADAAN PSEUDOCOMA
1. Psychogenic unresponsiveness.
Pasien kelihatannya tidak ada reaksi, tapi pads pemeriksaan saraf tidak dijumpai
kelainan.
2. The locked-in syndrome.
Lesi di basis pons akibat infark batang otak yang memutus jaras kortikobulbar dan
kortikospinal, tapi jaras yang mengatur kedip mata dan gerakan bola mata vertikal, juga
ARAS tetap utuh. Pasien sanggup berkomunikasi dengan kedipan mata(awake dan
alert).
Hemiasi :
- Hemiparesis dan papil edema.
- Bertahap hilangnya fungsi n.I1I atau ada ciri-ciri kerusakan batang otak.
Keadaan pseudokoma harus kita curigai bila semua pemeriksaan diagnostik telah kita
lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis penyebab dari koma tersebut.
Diantaranya yaitu :
1. Koma psikogenik
2. Locked in syndrome : kerusakan pons bilateral
3. Mutism akinetik : kerusakan pada frontal dan thalamus
7. TATA LAKSANA
Prinsip pengobatan kesadaran dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat, pengobatan
dilakukan bersamaan dalam saat pemeriksaan. Pengobatan meliputi dua komponen utama
yaitu umum dan khusus.
II.6.1 Umum
Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit ekstensi
bila tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan tekanan intrakranial
yang meningkat.
Posisi trendelenburg baik sekali untuk mengeluarkan cairan trakeobronkhial,
pastikan jalan nafas lapang, keluarkan gigi palsu jika ada, lakukan suction di
daerah nasofaring jika diduga ada cairan.
Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infus sesuai
dengan kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.
Pasang monitoring jantung jika tersedia bersamaan dengan melakukan
elektrokardiogram (EKG).
Pasang nasogastric tube, keluarkan isi cairan lambung untuk mencegah
aspirasi, lakukan bilas lambung jika diduga ada intoksikasi. Berikan tiamin
100 mg iv, berikan destrosan 100 mg/kgbb. Jika dicurigai adanya overdosis
opium/ morfin, berikan nalokson 0,01 mg/kgbb setiap 5-10 menit sampai
kesadaran pulih (maksimal 2 mg).
II.6.2 Khusus
- Pada herniasi
Pasang ventilator lakukan hiperventilasi dengan target PCO2: 25- 30
mmHg.
Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/ kgbb atau 100 gr iv. Selama 10-
20 menit kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 gr/kgbb atau 25 gr setiap 6 jam.
Edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan deksametason 10
mg iv lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam.
Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang operabel seperti
epidural hematom, konsul bedah saraf untuk operasi dekompresi.
- Pengobatan khusus tanpa herniasi
Ulang pemeriksaan neurologi yang lebih teliti.
Jika pada CT scan tak ditemukan kelainan, lanjutkan dengan pemeriksaan
pungsi lumbal (LP). Jika LP positif adanya infeksi berikan antibiotik yang
sesuai. Jika LP positif adanya perdarahan terapi sesuai dengan pengobatan
perdarahan subarakhnoid.
1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying lesions /
SOL ) dapat menyelamatkan nyawa pasien.
2. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan pertamanya :
a. Elevasi kepala
b. Intubasi dan hiperventilasi
c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 2 mg iv )
d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv
e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor atau
abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.
3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan acyclovir
10 mg/kg iv tiap 8 jam
4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan ceftriaxon
2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur
Terapi Umum
Dalam menangani pasien dalam keadaan stupor dan koma untuk pertama kali ada beberapa
pertanyaan dalam benak kita sebagai pertimbangan yaitu :
Pasien stupor dan koma beresiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, yang disebabkan
karena hilangnya refleks batuk dan muntah, hipoksia, yang terjadi karena hilangnya
kemampuan bernafas. Pemasangan endotracheal tube (ETT) dengan intubasi
merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga jalan nafas baik dan oksigenasi
yang adekuat.
Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda gangguan respirasi
lebih baik kita memanggil dokter Anestesi untuk melakukan intubasi. Pada pasien
stupor dengan pernafasan yang normal dapat kita berikan 100 % oksigen dengan
face mask sampai hipoksemia tidak kita temukan.
3. Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh toksin ?
Lakukan deskripsi pasien dengan cepat mengenai riwayat penyakit sekarang dan
dahulu baik medis maupun neurologis.
Orang tua, kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang terakhir kali
kontak dan mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita suruh tunggu untuk
menanyakan keadaan pasien sebelum kejadian.
Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah memberikan terapi
emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, antara lain :
5. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining toksikologi, tes
fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar ammonia.
6. Lakukan pemasangan folley catheter
7. Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan rontgen thoraks.
8. Berikan terapi emergensi. Hal ini dapat diberikan dilapangan atau bila etiologi
dari penyebab koma tidak jelas. Diantaranya :
8. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien tidak sadar meliputi gangguan
pernapasan, pneumonia, dekubitus dan aspirasi. Gagal pernafasan dapat terjadi dengan cepat
setelah pasien tidak sadar. Penumonia umumnya terlihat pada pasien yang menggunakan
ventilator atau mereka yang tidak dapat untuk mempertahankan bersihan jalan napas.
Dekubitus, pasien tidak sadar tidak mampu untuk bergerak atau membalikkan tubuh, hal ini
menyebabkan dalam tetap pada posisi yang terbatas. Keadaan ini akan mengalami infeksi
dan merupakan sumber sepsis. Aspirasi isi lambung atau makanan dapat terjadi, yang
persisten memiliki prognosis yang buruk, prognosis lebih baik dapat terjadi pada kelompok
anak-anak dan remaja. Koma metabolik memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan koma traumatik. Segala pendapat mengenai prognosis pada orang dewasa, sebaiknya
hanya berupa perkiraan, dana keputusana medis seharusnya disesuaikan dengan faktor-
faktor seperti usia, penyakit sistemik yang ada, dan kondisi medik secara keseluruhan.
Informasi prognosis dari banyak pasien dengan luka di kepala, dapat dilakukan dengan GCS.
Secara empiris, pengukuran ini dapat memprediksi trauma otak. Hilangnya gelombang
kortikol pada potensi terjadi somata sensori merpakana infikator prognosis koma yang
buruk.
BAB III
KESIMPULAN
Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang
menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai final common pathway dari
gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak
dengan akibat kematian. Penurunan kesadaran dapat ditentukan secara kualitatif dan
kuantitatif. Penurunan kesadaran disebabkan oleh kelainan metabolik dan struktural yang
mempengaruhi korteks dan ARAS. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan fisik neurologis dan pemeriksaan penunjang. Adapun
tatalaksana pada pasien dengan penurunan kesadaran terdiri atas tatalaksana umum dan
khusus.