Apendisitis adalah peradangan apendiks vermiform yang terjadi umumnya pada kalngan remaja dan dewasa muda. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada semua usia, insiden tertinggi pada usia 20-30 tahun (Joyce M. Black, 2014).
Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab dari nyeri abdomen akut yang paling sering. Apendisitis dapat menyerang semua usia baik laki-laki ataupun perempuan, tetapipaling sering terjadi pada laki-laki usia 10-30 tahun (Mansjoer, 2010).
Menurut WHO (World Health Organization) angka kejadian apendisitis di
Asia dan Afrika pada tahun 2013 sekitar 4,8% dan 2,6% penduduk dari total populasi keseluruhan (World Health Organization, 2013). Dari hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan di Afrika membuktikan bahwa orang-orang Afrika yang mayoritas berkulit hitam yang mengkonsumsi makanan tinggi serat dan diet rendah lemak memliki angka kesakitan yang tergolong rendah akibat peradangan usus buntu jika dibandingkan dengan orang Afrika yang berkulit putih dengan diet rendah serat dan tinggi lemak. Dari hasil penelitian tersebut dapat membuktikan bahwa diet tinggi serat memiliki efek proteksi yang cukup baik untuk kejadian peradangan pada usus buntu atau apendisitis (Sutriyani, 2010).
Sedangkan pada negara-negara ASEAN termasuk Indonesia setiap tahun
10.000 penduduk Indonesia dapat menderita aendisitis, dan pada saat ini angka morbiditas apendisitis di Indonesia mencapai hingga 95/1000 penduduk dan angka ini merupakan angka kejadian tertinggi di antara Negara-negara di Assosiation South East Asia Nation (ASEAN) (Lubis, 2008). Pada setiap tahunnya angka kejadian apendisitis mencapai 321 juta kasus. Dari data yang diperoleh menurut Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008 yaitu jumlah penderita apendisitis di Indonesia mecapai 591.819 orang dan terjadi peningkatan pada tahun 2009 yaitu 596.132 orang. Berdasarkan data tersebut ternyata masih sangat banyak kasus apendisitis yang terjadi di Indonesia. Deparetemen Kesehtan RI mengemukakan bahwa apendisitis merupakan isu prioritas kesehatan di tingkat lokal dan nasional yang mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2008).
Menurut teori Blum faktor resiko terjadinya apendisitis akut dibedakan
menjadi 4 faktor, antara lain faktor biologi, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Untuk faktor biologi contohnya usia, jenis kelamin, ras. Sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi akibat obstruksi atau penyumbatan lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing dan benda asing serta sanitasi lingkungan yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis, selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti perilaku seseorang yang kurang dalam memberikan asupan rendah serat pada tubuhnya, terkadang tidak semua orang memperdulikan kandungan makanan yang ia konsumsi, karena mengkonsumsi makanan rendah serat dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit sehingga menyebabkan obstruksi lumen, dari hal tersebut memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi. Para ahli menduga kejadian apendisitis memliki hubungan dengan gaya hidup seseorang, kebiasaan makan dan pola hidup yang tidak teratur. Dari penelitian epidemiologi mengemukakan bahwa peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Jika terjadi konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon. Semua hal ini akan mempermudah timbulnya apendisitis (Sjamsuhidayat, 2010).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Erniwati (2016) mengemukakan
bahwa peneliti yang dilakukan pada 40 responden (100,0%). Dari 20 responden yang memiliki pola makan kurang serat terdapat 14 responden (70,0%) yang menderita Apendisitis dan sebanyak 6 responden (30,0%) yang tidak menderita Apendisitis. Sedangkan dari 20 responden (100,0%) Pola Makan Berserat yang cukup serat terdapat 6 responden (30,0%) yang menderita Apendisitis dan terdapat 14 responden (70,0%) yang tidak menderita Apendisitis. Hasil penelitian tersebut setelah dilakukan uji statistik memperlihatkan adanya hubungan antara Pola Makan Berserat dengan kejadian Apendisitis.
Dari uraian diatas diketahui bahwa kurangnya asupan makanan berserat
kedalam tubuh dapat menjadi faktor yang cukup berperan dalam kejadian apsendisitis. Selain itu tingkat pengetahuan konsumsi makanan rendah serat pada pasien dengan apendisitis juga cukup mempengaruhi terhadapkejadian apendisitis, karena seseorang dengan pengetahuan yang cukup akan mengurangi faktor resiko agar msalah tersebut tidak dialami oleh dirinya. Maka dari itu peneliti tertarik dalam melakukan penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan mengkonsumsi rendah serat dengan kejadian apendisitis pada pasien apendisitis di RS. X.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu apakah tingkat pengetahuan pasien terhadap pemilihan mengkonsumsi makanan rendah serat berpengaruh dengan kejadian apendisitis? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dibuat dengan tujuan, sebagai berikut: 1.3.1. Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah tingkat pengetahuan pasien terhadap pemilihan mengkonsumsi makanan rendah serat berpengaruh terhadap kejadian apsendisitis. 1.3.2. Tujuan Khusus
1.4. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait, antara lain: