Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Apendisitis adalah peradangan apendiks vermiform yang terjadi umumnya
pada kalngan remaja dan dewasa muda. Akan tetapi tidak menutup
kemungkinan terjadi pada semua usia, insiden tertinggi pada usia 20-30
tahun (Joyce M. Black, 2014).

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis dan


merupakan penyebab dari nyeri abdomen akut yang paling sering.
Apendisitis dapat menyerang semua usia baik laki-laki ataupun
perempuan, tetapipaling sering terjadi pada laki-laki usia 10-30 tahun
(Mansjoer, 2010).

Menurut WHO (World Health Organization) angka kejadian apendisitis di


Asia dan Afrika pada tahun 2013 sekitar 4,8% dan 2,6% penduduk dari
total populasi keseluruhan (World Health Organization, 2013). Dari hasil
penelitian epidemiologi yang dilakukan di Afrika membuktikan bahwa
orang-orang Afrika yang mayoritas berkulit hitam yang mengkonsumsi
makanan tinggi serat dan diet rendah lemak memliki angka kesakitan yang
tergolong rendah akibat peradangan usus buntu jika dibandingkan dengan
orang Afrika yang berkulit putih dengan diet rendah serat dan tinggi
lemak. Dari hasil penelitian tersebut dapat membuktikan bahwa diet tinggi
serat memiliki efek proteksi yang cukup baik untuk kejadian peradangan
pada usus buntu atau apendisitis (Sutriyani, 2010).

Sedangkan pada negara-negara ASEAN termasuk Indonesia setiap tahun


10.000 penduduk Indonesia dapat menderita aendisitis, dan pada saat ini
angka morbiditas apendisitis di Indonesia mencapai hingga 95/1000
penduduk dan angka ini merupakan angka kejadian tertinggi di antara
Negara-negara di Assosiation South East Asia Nation (ASEAN) (Lubis,
2008). Pada setiap tahunnya angka kejadian apendisitis mencapai 321 juta
kasus. Dari data yang diperoleh menurut Departemen Kesehatan RI pada
tahun 2008 yaitu jumlah penderita apendisitis di Indonesia mecapai
591.819 orang dan terjadi peningkatan pada tahun 2009 yaitu 596.132
orang. Berdasarkan data tersebut ternyata masih sangat banyak kasus
apendisitis yang terjadi di Indonesia. Deparetemen Kesehtan RI
mengemukakan bahwa apendisitis merupakan isu prioritas kesehatan di
tingkat lokal dan nasional yang mempunyai dampak besar pada kesehatan
masyarakat (Depkes RI, 2008).

Menurut teori Blum faktor resiko terjadinya apendisitis akut dibedakan


menjadi 4 faktor, antara lain faktor biologi, faktor lingkungan, faktor
pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Untuk faktor biologi contohnya
usia, jenis kelamin, ras. Sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi akibat
obstruksi atau penyumbatan lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit,
cacing dan benda asing serta sanitasi lingkungan yang kurang baik. Faktor
pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis, selain itu faktor
resiko lain adalah faktor perilaku seperti perilaku seseorang yang kurang
dalam memberikan asupan rendah serat pada tubuhnya, terkadang tidak
semua orang memperdulikan kandungan makanan yang ia konsumsi,
karena mengkonsumsi makanan rendah serat dapat mempengaruhi
defekasi dan fekalit sehingga menyebabkan obstruksi lumen, dari hal
tersebut memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi. Para ahli menduga
kejadian apendisitis memliki hubungan dengan gaya hidup seseorang,
kebiasaan makan dan pola hidup yang tidak teratur. Dari penelitian
epidemiologi mengemukakan bahwa peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Jika
terjadi konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon. Semua hal ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis (Sjamsuhidayat, 2010).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Erniwati (2016) mengemukakan


bahwa peneliti yang dilakukan pada 40 responden (100,0%). Dari 20
responden yang memiliki pola makan kurang serat terdapat 14 responden
(70,0%) yang menderita Apendisitis dan sebanyak 6 responden (30,0%)
yang tidak menderita Apendisitis. Sedangkan dari 20 responden (100,0%)
Pola Makan Berserat yang cukup serat terdapat 6 responden (30,0%) yang
menderita Apendisitis dan terdapat 14 responden (70,0%) yang tidak
menderita Apendisitis. Hasil penelitian tersebut setelah dilakukan uji
statistik memperlihatkan adanya hubungan antara Pola Makan Berserat
dengan kejadian Apendisitis.

Dari uraian diatas diketahui bahwa kurangnya asupan makanan berserat


kedalam tubuh dapat menjadi faktor yang cukup berperan dalam kejadian
apsendisitis. Selain itu tingkat pengetahuan konsumsi makanan rendah
serat pada pasien dengan apendisitis juga cukup mempengaruhi
terhadapkejadian apendisitis, karena seseorang dengan pengetahuan yang
cukup akan mengurangi faktor resiko agar msalah tersebut tidak dialami
oleh dirinya. Maka dari itu peneliti tertarik dalam melakukan penelitian
tentang hubungan tingkat pengetahuan mengkonsumsi rendah serat dengan
kejadian apendisitis pada pasien apendisitis di RS. X.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan
masalah pada penelitian ini yaitu apakah tingkat pengetahuan pasien
terhadap pemilihan mengkonsumsi makanan rendah serat berpengaruh
dengan kejadian apendisitis?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dibuat dengan tujuan, sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah
tingkat pengetahuan pasien terhadap pemilihan mengkonsumsi
makanan rendah serat berpengaruh terhadap kejadian apsendisitis.
1.3.2. Tujuan Khusus

1.4. Manfaat Penelitian


Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak yang terkait, antara lain:

Anda mungkin juga menyukai