Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS STATUS GIZI PADA PASIEN

APPENDICITIS SAAT USIA REMAJA


Fauziah Febriyanti
Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta,
Indonesia
fauziahfebriynti099d@gmail.com

Abstract. Appendicitis is one of most common disease among children and


teenagers. The obstruction of appendix lumen can cause inflamation and
bcome the main cause of appendicitis. Another thing that cause appendicitis is
constipation. Constipation is usually caused by low food intake that have
dietary fiber such as vegetables and fruits. Nutrition intake have a important
role in causing and preventing appendicitis. The most common way to cure
appendicitis is by operative procedure. This operative procedure is done by
removing the appendix that have a severe inflamation. Another way to cure
appendicitis is by giving antibiotics but it only can function optimally if the
inflamation is not severe. Preventing appendicitis is important and one of
many way that can prevent appendicitis is by controlling the food intake and
nutrition intake for the body.

Keywords: appendicitis,teenangers, nutrition, food intake, dietary fiber

1. PENDAHULUAN
Appendicitis atau disebut juga penyakit radang usus buntu adalah salah satu penyakit
gastrointestinal yang umum terjadi. Appendicitis adalah peradangan pada apendiks atau
usus buntu. Apendiks merupakan organ berbentuk tabung buntu dalam sistem pencernaan
manusia, dan berpangkal pada sekum (bagian dari usus besar). Dulunya, peran apendiks
pada manusia belum diketahui, tetapi sekarang telah ditemukan bahwa apendiks memiliki
peran dalam tubuh manusia yaitu sebagai organ imunologik. Pada apendiks terdapat
kelenjar limfoid yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh manusia.

Apendisitis merupakan suatu penyakit pada sistem pencernaan manusia yang


disebabkan oleh infeksi bakteria.Terdapat berbagai penyebab terjadinya apendisitis.
Namun, sumbatan pada apendiks diindikasi sebagai penyebab utama terjadinya
apendisitis. Faktor-faktor lain yang menyebabkan sumbatan pada apendiks juga
menyebabkan terjadinya apendisitis, seperti hyperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks,
dan cacing askaris. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah
erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica.
Ketika terdapat sumbatan di apendiks, akan menyebabkan peradangan di bagian
tersebut dan menyebabkan terjadinya radang usus buntu atau appendicitis. Jika
penyumbatan di apendiks terus berlanjut, jaringan apendiks yang mengalami peradangan
menjadi terinfeksi oleh bakteri dan lama-kelamaan mulai mati karena kekurangan suplai
darah untuk nutrisi sehingga dapat berujung pada pecahnya apendiks (apendiks berlubang
atau pecah).
Penyakit asma juga diindikasi menjadi salah satu faktor risiko penyakit apendisitis.
Berdasarkan penelitian, seseorang dengan penyakit asma yang aktif memiliki faktor risiko
yang lebih tinggi untuk terkena apendisitis daripada seseorang dengan penyakit asma
yang tidak aktif atau seseorang tanpa penyakit asma. Seseorang yang terkena paparan
asap rokok dalam kurun waktu tiga bulan juga dapat mengalami peningkatan faktor resiko
terkena appendisitis.
Ada berbagai faktor risiko yang mempengaruhi kejadian apendisiti. Faktor risiko yang
pertama adalah jenis kelamin. Laki-laki memiliki fakror risiko yang lebih tinggi untuk
terkena oenayakit apendisitis daripada permepuan di usia produktif. Hal ini dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah beban kerja dan kegiatan yang
berbeda yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Laki-laki cenderung sering bekerja
di luar ruangan dan menghabiskan waktu di luar rumah sehingga hal ini membutuhkan
lebih banyak tenaga dan juga beban stres kerja yang mereka tanggung juga berpengaruh
terhadap kesehatan.
Faktor risiko yang lain adalah pola makan. Apendisitis adalah suatu penyakit di sitem
pencernaan manusia sehingga terdapat kaitan antara apendisitis dan pola makan terutama
pada kandungan nutrisi pada asupan makanan seseorang. Berdasarkan penelitian, orang
dengan pola makan yang tidak baik dmemiliki faktor risiko yang lebih tinggi untuk
terkena apendisitis daripada orang yang memiliki pola makan yang baik. Kandungan
nutrisi pada asupan makanan juga berpengaruh. Orang yang lebih sering makan makanan
yang kurang serat memiliki faktor risiko terkena apendisitis. Hal ini disebbkan karena
asupan makanan yang kurang mengandung serat dapat mengakibatkan konstipasi pada
sistem pencernaan manusia dan dan pada akhirnya berpeluang untuk menyebabkan
sumbatan pada apendiks sehingga dapat menyebabkan peradangan pada bagian tersebut.
Gejala yang biasa dialami oleh orang yang terkena apendisitis adalah adanya nyeri di
bagian abdomen atau perut seperti keram yang merupakan akibat dari penyumbatan
apendiks. Awalnya, rasa nyeri ini terasa samar-samar dan lokasinya sulit ditentukan
secara pasti. Namun, lama-kelamaan rasa nyeri tersebut akan menjadi semakin tajam dan
letaknya semakin jelas. Selain itu, keluhan tersebut juga dapat disertai dengan adanya
mual atau muntah tetapi pada beberapa kasus tidak terdapat mual atau muntah.
Pasien dengan apendisitis yang akut diawasi secara klinis dengan menggunakan
berbagai variabel di laboratorium dan juga dilakukan ultrasound pada bagian abdomen
atau perut. Apendisitis akut dibagi menjadi dua, yaitu: complicated dan uncomplicated.
Pasien dengan complicated apendisitis menjalani prosedur bedah. Sedangkan, pada pasien
uncomplicated apendisitis diberikan penanganan pertama yang bersifat konservatif yaitu
berupa pemberian antibiotik. Jika dalam 24 sampai 48 jam ke depan kondisi pasien
semakin memburuk dan penanganan konservatif tersebut gagal, selanjutnya pasien akan
menjalani prosedur bedah, yaitu apendektomi untuk mengangkat apendiks yang sudah
meradang dan keadaannya cukup parah. Apabila tidak segera ditangani, apendisitis dapat
menyebabkan rasa sakit yang lebih parah dan dapat berujung pada kematian.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan RI, kejadian appendisitis
di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang dengan persentase 3.36% dan
meningkat pada tahun 2010 menjadi 621.435 orang dengan persentase 3.53%. Pada tahun
2009 dan 2010, apendisitis merupakan penyakit tidak menular tertinggi kedua di
Indonesia pada rawat inap di rumah sakit.

Berdasarkan penelitian, risiko terkena apendisitis dalam hidup seseorang adalah 7%


sampai 8% dengan puncak kejadian pada saat usia remaja. Menurut WHO, remaja adalah
seseorang yang berada pada tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Batasan
usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Sedangkan, menurut Menteri
Kesehatan RI tahun 2010, batas usia remaja adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum
kawin. Usia remaja dapat dikatakan telah memasuki usia produktif. Menurut Badan Pusat
Statistik, rentang usia produktif adalah antara 15 sampai 64 tahun, sedangkan usia tidak
produktif adalah di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat 1, yang
dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Jadi batasan usia anak menurut undang-undang yang
berlaku di Indonesia adalah anak sejak di dalam kandungan (sebelum dilahirkan) hingga
berusia 18 tahun kurang 1 hari. Berdasarkan hal tersebut, remaja masih dapat digolongkan
dalam kategori anak.
2. METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
mengambil informasi bersumber dari review literatur atau jurnal-jurnal ilmiah yang
berkaitan dengan topik terkait dan disertai dengan adanya wawancara kepada pasien yang
terkait dengan topik yang dibahas.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Salah satu faktor risiko apendisitis adalah pola makan. Apendisitis adalah salah satu
penyakit di sitem pencernaan pada manusia sehingga terdapat kaitan antara penyakit
apendisitis dan asupan gizi serta pola makan seseorang. Asupan gizi juga berkaitan erat
dengan status gizi seseorang. Berdasarkan bahan ajar gizi yang dirilis oleh Kementrian
Kesehatan, status gizi pada seseorang dipengaruhi oleh nutrisi dari asupan gizi seseorang
dan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh untuk keperluan tubuh, seperti metabolisme,
menghasilkan energi, dan lain sebagainya.
Pola makan yang baik dan teratur dengan asupan gizi yang mencukupi nutrisi yang
dibutuhkan oleh tubuh akan menghasilkan status gizi yang baik dan seimbang. Dan begitu
pula sebaliknya. Jika pola makan seseorang tidak teratur dan asupan gizi tidak mencukupi
nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh, akan menghasilkan status gizi yang tidak seimbang
dan pada akhirnya dapat meningkatkan faktor risiko terkena suatu penyakit.
Kebutuhan asupan gizi setiap individu dapat berbeda-beda. Ada berbagai faktor yang
mempengaruhi, yaitu usia, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, dan tinggi badan. Asupan
gizi yang baik haruslah yang bisa mencukupi kebutuhan gizi seseorang. Tubuh
membutuhkan asupan gizi yang seimbang dalam asupan makanan sehari-hari. Asupan
gizi yang seimbang antara lain mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan
mineral dalam jumlah yang seimbang. Salah satu asupan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh
adalah makanan berserat. Makanan berserat dapat dengan mudah ditemukan, seperti
sayur-sayuran dan juga buah-buahan. Makanan yang banyak mengandung serat dapat
mencegah adanya konstipasi di sistem pencernaan manusia. Telah disebutkan bahwa,
konstipasi adalah salah satu penyebab timbuknya penyakit apendisitis. Oleh karena itu,
memakan makanan yang mengandung banyak serat dapat memperkecil peluang
seseorang untuk terkena apendisitis.
Untuk mengetahui status gizi pada pasien apendisitis lebih lanjut, dilakukan
wawancara dengan pasien yang pernah mengalami apendisitis pada usia remaja untuk
mengetahui status gizi pasien tersebut. Responden memiliki Indeks Massa Tubuh atau
IMT yang normal. Status gizi yang dimaksud meliputi pola makan dan asupan gizi yang
masuk ke dalam tubuh.
Ditemukan informasi bahwa responden meliliki pola makan yang tidak teratur 3 kali
sehari dan juga tidak rutin berolahraga. Sebelum terkena apendisitis, asupan gizi yang
masuk ke tubuh responden tersebut tidak memiliki asupan gizi yang seimbang dan
responden cenderung memiliki kebiasaan memakan makanan cepat saji yang tidak
mengandung banyak serat dan juga memakan makanan yang pedas.
Salah satu responden menjalani prosedur operasi pengangkatan apendiks yaitu
apendektomi dengan laparoskopi. Sebelum menjalani operasi tersebut, responden diminta
oleh dokter untuk berpuasa atau tidak makan apapun selama sekitar beberapa jam
sebelum operasi. Setelah menjalani prosedur operasi pengangkatan apendiks, responden
dianjurkan untuk makan makanan yang memiliki tekstur yang halus dan mudah untuk
ditelan dan terdapat larangan makanan, yaitu makanan yang pedas dan makanan yang
memiliki tekstur padat.
Salah satu responden yang lain menjalani prosedur penyembuhan non-operatif berupa
pemberian antibiotik. Hal tersebut dilakukan karena apendisitis yang diderita oleh
responden tersebut belum mengalami sepsis atau komplikasi akibat infeksi sehingga
masih dapat dilakukan penyembuhan melalui pemberian antibiotik.
4. SIMPULAN
Setelah dilakukan wawancara dengan pasien yang pernah mengalami apendisitis dan
mengumpulkan informasi dari berbagai jurnal dan literatur ilmiah yang berkaitan dengan
topik yang dibahas dapat disimpulkan bahwa status gizi pasien yang pernah mengalami
apendisitis pada usia remaja cenderung tidak seimbang dengan asupan gizi yang masuk
ke dalam tubuh tidak memiliki kandungan zat gizi yang cukup bagi tubuh serta kurangnya
asupan makanan yang tinggi serat.
5. SARAN
Berdasarkan data yang ada, apendisitis adalah salah satu penyakit sistme pencernaan
yang umum terjadi pada usia anak-anak dan usia remaja. Hal tersebut dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti status gizi yang tidak baik dan tidak seimbang antara asupan
gizi yang masuk ke dalam tubuh dan zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk mememenuhi
kebutuhannya. Untuk memperkecil peluang terkena apendisitis disarankan untuk selalu
menjaga pola makan dan asupan gizi dari makanan yang dimakan serta memperhatikan
banyaknya waktu yang diperlukan tubuh untuk beristirahat.
6. DAFTAR PUSTAKA

Jurnal
Arifuddin, Adhar, Lusia Salmawati, Andi Prasetyo.(2017). Faktor Risiko Kejadian
Apendisitis Di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Palu: Jurnal
Kesehatan Masyarakat Vol. 8:26-33.

Engin, Omer, Mehmet Yildirim, Savas Yakan, Gulnihal Ay Coskun.(2011). Can fruit
seeds and undigested plant residuals cause acute appendicitis. Izmir-Turki: Asian
Pacific Journal of Tropical Biomedicine; 1(2):99-101.

Hall, Nigel J, Simon Eaton, Olivier Abbo, Alexis P Arnaud, Marianne Beaudin, Mary
Brindle, Andreana Bütter, et al.(2017). Appendectomy versus non-operative
treatment for acute uncomplicated appendicitis in children: study protocol for a
multicentre, open-label, non-inferiority, randomised controlled trial. BMJ Paediatrics
Open 2017;1:e000028.

Atikasari, Hanum, Susetyowati, Akhmad Makhmudi.(2015). Hubungan Kebiasaan


Makan dan Status Gizi Terhadap Kejadian Apendisitis pada Anak di Yogyakarta.
Yogyakarta: Sari Pediatri;17(2):95-100.

M. Earth Hasassri, Eric R. Jackson, Husam Ghawi, Eell Ryoo, Chung-Il Wi, Mark G.
Bartlett, Gerald W. Volcheck, et al.(2017). Asthma and risk of appendicitis in
children: a population-based case-control study. Minnesota: Acad Pediatr;
17(2):205–211.

Caruso, Anna Maria, Alessandro Pane, Roberto Garau, Pietro Atzori, Marcello Podda,
Alessandra Cassuccio, dan Luidi Mascia.(2017). Acute Appendicitis in Children: Not
Only Surgical Treatment. Journal of Pediatric Surgery; 53(3):442-448.

Buku

Par’i, Holil M., Sugeng Wiyono, Titus Priyo Harjatmo.(2017). Penilaian Status Gizi.
Indonesia: Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Badan Pengembangan
dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

Artikel

Eko, Albert. (2018). Radang Usus Buntu.


Diambil dari :
http://www.yankes.kemkes.go.id/read-radang-usus-buntu-5018.html

Anda mungkin juga menyukai