Anda di halaman 1dari 14

TANTANGAN DAN PELUANG USAHA PENGEMBANGAN

SISTEM ENERGI TERBARUKAN di INDONESIA *)

Chayun Budiono **)

Intisari

Berbagai pemanfaatan dan penerapan sistem energi terbarukan (renewable


energy) untuk berbagai keperluan dan ukuran telah banyak dilaksanakan,
khususnya didaerah pedesaan. Paper ini membahas situasi pasar energi
terbarukan didalam negeri, peluang dan hambatan pemasaran, serta kebijakan
pendukung yang diharapkan dapat dibangun oleh pemerintah.

1. PENDAHULUAN

Pemanfaatan energi terbarukan sudah mulai banyak di ketahui dan di manfaatkan


untuk berbagai keperluan, kususnya di tempat-tempat terpencil dimana
ketersedian sumber-sumber energi komersial (pada umumnya bahan bakar
minyak BBM) masih langka dan mahal.

Indonesia, di satu pihak merupakan negara kepulauan sehingga transportasi


energi komersial akan tetap menjadi kendala bagi penyediaan energi yang murah
di tempat-tempat terpencil tersebut diatas. Dilain pihak, Indonesia memiliki potensi
sumber energi terbarukan yang cukup besar. Dimasa mendatang, potensi
pengembangan sumber energi terbarukan mempunyai peluang besar dan bersifat
strategis mengingat sumber energi terbarukan merupakan sumber energi bersih,
ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Tulisan ini akan mencoba :

- Memberikan gambaran mengenai potensi sistem teknologi energi terbarukan


secara umum
- Merangkum pengalaman dibidang penerapan energi terbarukan untuk
berbagai keperluan jasa energi di Indonesia
- Melihat prospek dan kemungkinan penyebarannya
- Menyampaikan kendala yang merupakan tantangan untuk diatasi.
- Menyarankan adanya kebijakan yang integratif dan adil dalam rangka
penguatan kemampuan pengembangan sistem teknologi energi terbarukan di
dalam negeri.

*
) Disajikan pada, Jakarta, 2 Oktober 2003.
**
) PT Chazaro Gerbang Internasional, Jl. Sapta Taruna Raya 16, Jakarta 12310.
2. POTENSI DAN KARAKTERISTIK UMUM SUMBER ENERGI TERBARUKAN

Sistem Teknologi Energi Terbarukan (STET) didalam tulisan ini dimaksudkan


sebagai suatu sistem penyedia jasa energi yang memanfaatkan sumber energi
terbarukan.

hidro

Dari data hasil survai potensi tenaga air yang dilakukan PLN pada tahun 1982,
diseluruh Indonesia terdapat potensi untuk pengembangan PLTA dan PLTM
sebesar +/- 75.000 MW. Diantara potensi tersebut, terdapat potensi tenaga air
untuk skala mikrohidro. Menurut Rencana Induk Pengembangan Energi Baru dan
Terbarukan (RIPEBAT) potensi energi mikrohidro (PLTMH) tersebut diperkirakan
458,75 MW.

angin

Secara umum Indonesia masuk kategori negara tanpa angin, mengingat bahwa
kecepatan angin minimum rata-rata yang secara ekonomis dapat dikembangkan
sebagai penyedia jasa energi adalah 4m/dt. Kendatipun demikian ada beberapa
wilayah dimana sumber energi angin kemungkinan besar layak dikembangkan.
Wilayah tersebut antara lain Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat
(NTB), Sulawesi Selatan dan Tenggara, Pantai Utara dan Selatan Jawa dan
Karimun Jawa.

Skala pemanfaatan energi angin pada umumnya dikelompokkan dalam skala


kecil, menengah dan besar sebagai berikut:

Kecepatan Daya
Kapasitas
Kelas Angin Spesifik
(kW)
(m/det) (W/m2)
Skala Kecil s/d 10 2.5 - 4.0 < 75
Skala Menengah 10 100 4.0 - 5.0 75 - 150
Skala Besar > 100 > 5.0 > 150

surya

Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia


menunjukan bahwa radiasi surya di Indonesia dapat diklasifikasikan berturut-turut
untuk kawasan barat dan timur Indonesia dengan distribusi penyinaran :

Kawasan barat Indonesia (KBI) = 4.5 kWh/m2.hari, variasi bulanan sekitar 10%
Kawasan timur Indonesia (KTI) = 5.1 kWh/m2.hari, variasi bulanan sekitar 9%
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rata-rata Indonesia = 4.8 kWh/m2.hari, variasi bulanan sekitar 9%

___________________________________________________________________________________
Konvensi Kelistrikan Indonesia 2003 Page 2 of 14
Hal ini mengisyaratkan bahwa:
- radiasi surya tersedia hampir merata sepanjang tahun,
- kawasan timur Indonesia memiliki penyinaran yang lebih baik.

Energi surya dapat dimanfaatkan untuk penyediaan jasa energi melalui 2 (dua)
macam teknologi yaitu energi surya termal dan surya fotovoltaik.

biomassa

Sebagai sumber energi, limbah biomasa tersedia cukup melimpah dan


berkelanjutan, terutama pada daerah industri pertanian, perkebunan, dan
kehutanan.

Potensi teknis dari berbagai jenis limbah tersebut adalah sebagai berikut:

Potensi
Kalor
Sumber/jenis limbah Produksi
(juta
GJ/tahun)
Peremajaan kebun karet 31,0 juta 496,0
ton/tahun
Sisa logging 1,15 juta 11,0
ton/tahun
Limbah industri 1,1 juta 10,6
penggergajian kayu ton/tahun
Tandan kosong kelapa 3,5 juta 15,4
sawit ton/tahun
Sabut sisa buah sawit 3,7 juta 35,3
ton/tahun
Cangkang buah sawit 1,3 juta 17,2
ton/tahun
Bagas tebu 6,5 juta 78,0
ton/tahun
Sekam padi 14,3 juta 179,0
ton/tahun
Tempurung kelapa 1,1 juta 18,7
ton/tahun
Sabut kelapa 2,0 juta 24,0
ton/tahun
Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Dengan pemutakhiran teknologi budidaya tanaman, dimungkinkan


pengembangan hutan energi untuk pengadaan biomasa sesuai dengan
kebutuhan dalam jumlah yang banyak dan berkelanjutan.

panas bumi

___________________________________________________________________________________
Konvensi Kelistrikan Indonesia 2003 Page 3 of 14
Berdasarkan survei menunjukkan bahwa terdapat 70 lokasi panas bumi
bertemperatur tinggi dengan kapasitas total mencapai 19.658 MW. Sebagian
besar dari lokasi tersebut belum dilakukan eksploitasi secara intensif.

energi laut

Luas lautan melingkupi 2/3 wilayah Indonesia, atau sekitar 4 juta km2, dan garis
pantai sepanjang 80,791 km sehingga laut atau samudera secara kualitatif kan
menyimpn potensi sumber energi terbarukan (ET) yang cukup besar. Secara
kuantitatif kandungan ET dari samudera yang dapat dikelola secara ekonomis
masih memerlukan kajian lebih lanjut. Energi yang berasal dari samudera dapat
diperoleh dari 3 bentuk sumber utama, yaitu : gelombang, pasang-surut, dan
perbedaan suhu antara permukaan dan bagian dalam air laut.

3. PENERAPAN STET DI INDONESIA

surya termal

Sebagian besar dan secara komersial, pemanfaatan energi surya termal banyak
digunakan untuk penyediaan air panas rumah tangga, khususnya rumahtangga
perkotaan. Jumlah pemanas air tenaga surya (PATS) diperkirakan berjumlah
150.000 unit dengan total luasan kolektor sebesar 400,000 m2.

Secara non-komersial dan tradisional, energi surya termal banyak digunakan


untuk keperluan pengeringan berbagai komoditas pertanian, perikanan,
perkebunan, industri kecil, dan keperluan rumah tangga. Secara komersial, energi
surya mempunyai potensi ekonomi untuk penyediaan panas proses suhu rendah
(s/d 90 oC) menggunakan sistem energi surya termik (SEST) bagi keperluan
pengolahan pasca panen komoditas tersebut dengan lebih efektif dan efisien.
Pengalaman menunjukkan bahwa penerapan SEST untuk pengeringan dapat
memberikan berbagai nilai tambah yang tinggi1 berupa: peningkatan dan jaminan
kualitas produk, mengurangi rugi-rugi (losses) material selama produksi (a.l. rusak
dan hilang), dan waktu pengolahan yang lebih singkat.

Meskipun belum banyak dikembangkan, pemanfaatan energi surya termal untuk


proses disalinasi pada daerah atau pemukiman dekat pantai kemungkinan besar
akan berkembang mengingat mulai munculnya banyak kesulitan air dikawasan-
kawasan tersebut.

sistem energi surya fotovoltaik

Energi surya juga mempunyai potensi ekonomi untuk penyediaan listrik melalui
penerapan sistem energi surya fotovoltaik (SESF) untuk kebutuhan listrik skala
kecil pada kawasan-kawasan terpencil dan/atau pulau-pulau kecil yang tersebar

1
Kammaruddin Abdullah (IPB), Sri Mulato (Puslit Kopi dan Kakao,Jember), Sumarsono (LSDE-BPPT) ,
dsb.
___________________________________________________________________________________
Konvensi Kelistrikan Indonesia 2003 Page 4 of 14
antara lain dikawasan: Riau Kepulauan, Sangihe Talaud, Nusatenggara Timur,
Maluku, Maluku Utara, dan Pedalaman di Irian Jaya.

Pasar utama untuk SESF sampai dengan saat ini masih didominasi oleh proyek-
proyek pemerintah. Pelaksanaan proyek-proyek tersebut terbagi kepada
beberapa institusi, antara lain: Departemen teknis, Pemerintah Daerah dan
Lembaga Penelitian (a.l. Litbang Departemen, BPPT, LIPI, RISTEK dan
Perguruan Tinggi).

Aplikasi SESF di perdesaan Indonesia pada umumnya digunakan untuk:

penyediaan listrik perdesaan melalui sistem mini-grid atau solar home system
(SHS)
jasa energi untuk sarana sosial
- sarana (pompa/penjernihan) air bersih
- rumah peribadatan
- sarana kesehatan perdesaan atau PUSKESMAS

jasa energi untuk fasilitas umum


- telepon umum perdesaan
- rambu-rambu lalu lintas dan alat bantu navigasi
- televisi umum
- penerangan jalan dan lain-2
pemasok energi bagi kegiatan produktif, misal : irigasi, cold storage, sarana
pengolahan produk pertanian, usaha nelayan, dsb.

biomassa

Teknologi pemanfaatan biomassa sebagai energi sudah banyak dikenal dan cost-
effective serta proven. Untuk pembangkitan listrik berskala antara 20 - 100 kW
dapat digunakan teknologi gasifikasi dan genset gas atau diesel (dengan operasi
dual fuel), kapasitas antara 500 1000 kW dapat digunakan pembangkit
kogenerasi atau dikenal pula sebagai combined heat and power CHP dengan
mesin uap siklus Rankine, dan skala menengah antara 1 - 10 MW dapat
digunakan teknik pembangkitan kogenerasi dengan turbin uap.

Kedua teknologi tersebut belakangan sudah menjadi sitem pembangkit yang


dikenal luas dan telah diterapkan (meskipun tidak dilakukan secara optimal) pada
pabrik gula, minyak sawit (CPO/KPO), pabrik plywood dan sebagian industri
berbasis pertanian lainnya. Kebanyakan (60%) teknologi kogenerasi yang banyak
digunakan pada industri tersebut menggunakan ketel biomassa yang sudah tua,
kurang efisien dan umumnya bekerja pada tekanan rendah (sampai dengan 20
bar). Sehingga banyak pabrik gula yang masih memerlukan tambahan energi dari
luar (BBM maupun listrik)

Menggunakan teknologi kogenerasi yang efisien, sebagai contoh, pabrik gula


dengan kapasitas giling 3000 TCD (ton cane per-day) mampu membangkitkan
___________________________________________________________________________________
Konvensi Kelistrikan Indonesia 2003 Page 5 of 14
listrik 9 MWe (Industri gula di Thailand bahkan mampu membangkitkan listrik 12
MWe). Dengan pengelolaan proses yang efisien, pabrik gula hanya memerlukan
listrik sebesar 3 MWe. Jadi, pabrik gula tersebut mampu menjual listrik surplusnya
ke jaringan paling kurang sebanyak 6 MWe.

Sementara itu pabrik pengolahan CPO dengan kapasitas 40 ton-TBS (tandan


buah segar) akan dapat membangkitkan listrik sekitar 5 MWe. Dikurangi
kebutuhan listrik untuk proses sekitar 1 MWe, maka pabrik tersebut akan mampu
menjual surplus listriknya sebesar 4 MWe.

Apabila pabrik gula dan pabrik CPO yang ada dapat ditingkatkan kinerjanya serta
memanfaatkan teknologi kogenerasi yang lebih efisien, maka dari kedua sektor ini
akan mampu memberikan tambahan pasokan listrik ke jaringan sebesar 700 MW.

Untuk industri kecil berbasis biomassa, seperti: penggergajian kayu dan


penggilingan padi, yang dikelola masyarakat teknologi yang mungkin diterapkan
adalah sistem gasifikasi dengan kapasitas pembangkitan sekitar 100 kW. Namun
demikian teknologi ini belum sepenuhnya komersial meskipun secara teknis
teknologi ini sudah dibuktikan layak.

Tabel berikut menyampaikan gambaran umum aplikasi dari berbagai teknologi


berbasis biomassa.

Ukuran Industri Kapasitas CHP Karakteristik Spesifik

Penggergajian 1,000 3,000 m3/th 40 100 kWe 0.6 m limbah kayu/m


kayu produk gergajian
130 kWh/ m3 kayu
gergajian
Industri 40,000 120,000 1.5 3 MWe 0.8 m limbah kayu/m
Plywood m/th plywood
200 kWh/ m3 plywood
Pabrik Gula 1,000 4,000 TCD 3 10 MWe 0.3 t bagasse/t tebu
100 kWh/t tebu
Penggilingan < 0.7 t/jam 30 70 kWe 280 kg sekam/ t padi
padi > 0.7 t/jam 100 300 kWe 120 kWh/t padi
Pabrik CPO 20 60 t TBS/h 2 - 6 MWe 0.2 t Tandan Kosong / t
TBS
0.2 t fiber/t TBS
70 kg cangkang/t TBS
160 kWh/t TBS
Sumber: ZREU, CGI 2000
___________________________________________________________________________________
Konvensi Kelistrikan Indonesia 2003 Page 6 of 14
mikrohidro

Pembangkit energi mikrohidro pada awalnya pengembangannya digunakan untuk


berbagai keperluan, seperti: penggilingan padi, pengolahan kopi, penggergajian
kayu, pompa air, dan pembangkit listrik). Sampai saat ini belum dapat ditemukan
semacam catatan sejarah yang menunjukkan kapan pembangkit mikrohidro
persisnya diperkenalkan di Indonesia. Tetapi ada ditemukan pembangkit
mikrohidro tipe Pelton kapasitas 50 kW yang dibangun pada tahun 1892 yang
saat ini masih beroperasi dan digunakan pada pabrik pengolahan teh Patuah
Watee, Jawa Barat.

Sebagai pembangkit, DJLPE membagi penerapan pembangkit listrik mikrohidro


(PLTMH) di Indonesia menjadi dua kategori, yaitu: on-grid and off-grid. Saat
ini, paling tidak terdapat 258 unit PLTMH dari kedua kategori dengan kapacitas
total 64,000 kW.

On-grid

Jumlah total dan kapasitas terpasang dari PLTMH pada kategori ini adalah
berturut-turut 80 unit and 59,278 kW. Jadi, kapasitas rata-rata PLTMH pada
kategori ini adalah sekitar 740 kW/unit. PLTMH pada kategori ini sebagian besar
dimiliki dan dioperasikan oleh PLN.

Tabel berikut ini merangkum status mikrohidro yang terpasang pada kategori on-
grid.

Kapasitas Total
Status Jumlah Unit
(kW)
44 42,028
Beroperasi
(55.0%) (70,9%)
18 8,990
Rusak
(22.5%) (15,2%)
Proses 3 1,050
Rehabilitasi (3.8%) (1,8%)
Tidak ada 15 7,210
informasi (18.7%) (12,1%)
80 59,278
Total
(100%) (100%)
Sumber: Diolah dari berbagai Sumber

Off-grid

___________________________________________________________________________________
Konvensi Kelistrikan Indonesia 2003 Page 7 of 14
Jumlah dan kapasitas terpasang dari PLTMH pada kategori off-grid berturut-
turut adalah 178 unit dan 5,000 kW. Daya terpasang rata-rata dari PLTMH ini
adalah sekitar 28 kW/unit.

Tabel berikut ini merangkum status mikrohidro yang terpasang pada kategori on-
grid.

Kapasitas Total
Status Jumlah Unit
(kW)
111 3,296
Beroperasi
(62.4%) (65.9%)
28 1,142
Rusak
(15.7%) (22.8%)
Tidak ada 39 568
informasi (21.9%) (11.3%)
5,006
Total 178 (100%)
(100%)
Sumber: Diolah dari berbagai Sumber

berbagai pengalaman

Disamping banyak contoh yang berhasil, ada pula diantara penerapan STET
(khususnya yang dioperasikan dan digunakan untuk kepentingan umum semisal
penyediaan listrik perdesaan) yang menghadapi kegagalan. Faktor kegagalan
terbesar justru terletak pada aspek non-teknis, sebagai berikut:

- Kurangnya partisipasi masyarakat didalam merumuskan kebutuhan jasa


energi, perencanaan, operasional dan pengelolaan (termasuk kesepakatan
penentuan tarif, tata-cara pembayaran dan pengelolaan dana);
- Dibeberapa tempat, kontribusi bulanan masyarakat seringkali dilakukan
secara sederhana, misal: jumlah titik lampu, kapasitas sekring pembatas,
atau jenis beban tersambung. Cara ini kadang-kadang menimbulkan
semacam konflik sosial atau rasa ketidakadilan dan dalam banyak hal tidak
mendidik masyarakat berperilaku hemat. Penentuan iuran bulanan
berdasarkan meter (kWh meter) jarang digunakan, tetapi pada tempat yang
telah menerapkan terbukti lebih handal dan memudahkan pengelolaan.
- Kurangnya pelatihan dan pembinaan bagi operator lokal untuk mengelola
dan merawat instalasi STET;
- Kurangnya kemampuan manajerial pengelola atau tidak tepatnya pemilihan
lembaga pengelola yang mampu menghimpun iuran, mengelola, dan
melakukan kontrol terhadap dana masyarakat tersebut.

Kegagalan yang bersifat teknis pada umumnya disebabkan:

___________________________________________________________________________________
Konvensi Kelistrikan Indonesia 2003 Page 8 of 14
- Disain sistem yang kurang sempurna dikarenakan antara lain: kurangnya
data yang diperlukan atau data yang ada kurang handal untuk digunakan
digunakan menyusun studi kelayakan,
- Kurangnya sumberdaya (waktu dan tenaga ahli) yang dialokasikan oleh
pemberi tugas atau lembaga yang mendanai untuk keperluan survei
lapangan dan sudi yang komprehensif,

___________________________________________________________________________________
Konvensi Kelistrikan Indonesia 2003 Page 9 of 14
- Penyelesaian pekerjaan yang kurang rapi dan kualitas teknis yang rendah
(misal: penggunaan komponen atau material yang kurang handal dan/atau
kurang efisien);
- Banyak kerugian daya listrik pada jaringan (untuk sistem ter-desentralisasi
dan grid-interconnected) karena kesalahan disain (misal: penggunaan
diameter dan jenis kabel yang tidak sesuai dengan jarak dan daya listrik
yang akan disalurkan).

Karenanya, untuk hal-hal yang bersifat teknis, beberapa kegiatan penelitian dan
pengembangan harus ditingkatkan terutama yang meliputi:
- Pengembangan disain sistem yang handal dan user friendly,
- Kinerja dan kehandalan sistem dan komponen, termasuk ketahanannya
terhadap lingkungan dan kondisi setempat,
- Kebutuhan-kebutuhan operasional dan pemeliharaan sistem,
- Analisa dan optimasi ekonomi STET.

4. PELUANG DAN KENDALA

Kemampuan STET bersaing bebas didalam pasar energi adalah merupakan


syarat utama bagi keberhasilan pengmbangan STET dimasa mendatang.
Berbagai studi telah mengidentifikasikan bahwa tingkat ekonomi dari berbagai
STET bervariasi dari sistem yang telah bersaing penuh dengan sistem
konvensional yang bersubsidi sampai dengan sistem yang masih lebih mahal dari
sistem konvensional tanpa subsidi.

Tingkat komersialisasi STET dapat diklasifikasikan menjadi :

* Komersial : Teknologi yang telah terbukti layak secara teknis (well


developed) dan ekonomi untuk segmen pasar dan lokasi tertentu. Untuk jenis
teknologi ini diperlukan berbagai dukungan untuk penetrasi pasar berupa
dukungan finansial dan promosi.

Jenis aplikasi yang telah masuk kategori ini antara lain: pembangkit listrik
mokrohidro, cogeneration biomassa untuk aplikasi pada pabrik gula,
pemanfatan teknologi surya termal untuk pemanas air pada rumahtangga
perkotaan, sistem energi surya fotovoltaik untuk aplikasi kecil (a.l. produk
konsumen pada umumnya, stasiun pancar ulang kecil, rambu laut, lampu
suar, dan rambu kereta api).

** Komersial dengan insentif: Teknologi yang telah siap jual untuk segmen
pasar dan lokasi tertentu tetapi memerlukan kebijakan insentif (leveling the
playing field) untuk dapat bersaing dengan teknologi konvensional bersubsidi.
Dorongan yang diperlukan bagi pengembangan STET pada kategori ini
meliputi: penyempurnaan akhir teknologi (refinements), standard dan produksi
massal, dan/atau peningkatan skala ekonominya.

___________________________________________________________________________________
Konvensi Kelistrikan Indonesia 2003 Page 10 of 14
Contoh STET didalam kategori ini, antara lain: cogeneration biomassa
(khususnya aplikasi pada pabrik kelapa sawit), gasifikasi kayu untuk
penggergajian kayu rakyat, pemanfaatan teknologi surya termal untuk
pengolahan komoditas penting (a.l. coklat, kopi, vanili, dan kokon sutera), dan
pemanfaatan sistem energi surya fotovoltaik untuk aplikasi strategis (a.l. SHS,
PLTS Sistem Hibrida, sistem pompa air bersih, dan pendingin vaksin bagi
PUSKESMAS terpencil).

peluang

Sebagaimana telah disinggung pada pendahuluan tulisan ini, kondisi Indonesia


dapat dikatakan sangat menguntungkan bagi penerapan STET. Untuk desa-desa
di luar pulau jawa terutama yang terletak di pulau-pulau kecil dapat dikatakan
akan sulit mendapatkan sambungan listrik, mengingat biaya pembangkitannya
akan menjadi mahal untuk unit-unit yang kecil.

Disamping itu, untuk unit-unit yang kecil pada umumnya menggunakan genset
disel yang ditempat-tempat terpencil diluar pulau Jawa masih sulit diperoleh dan
mahal. Ditambah lagi apabila masih harus mendistribusikan listriknya dimana
antara rumah yang satu dengan yang lainnya berjauhan seperti pada
kenyataannya di luar pulau Jawa, yang menyebabkan investasinya naik dan
kerugian energi yang hilang pada jaringan distribusi. Hal itu semua akan berakibat
pada mahalnya biaya listrik yang diproduksi dan didistribusikan.

Mengambil data per Desember 2002, rumah tangga di Indonesia berjumlah


sekitar 37.000.000. Dari sejumlah rumah tangga tersebut baru sekitar 52% yang
menikmati sambungan listrik. Diperkirakan jumlah rumah tangga perkotaan yang
telah terlistriki mencapai rasio 90%. Dengan mengambil data bahwa jumlah
rumah tangga perkotaan berkisar 40% dari total rumah tangga, maka rasio
kelistrikan rumah tangga perdesaan baru mencapai sekitar 25%.

kendala

Peluang bagi pemanfaatan STET seperti diuraikan dimuka masih banyak


menghadapi berbagai hambatan dan/atau kendala baik yang bersifat teknis,
ekonomis, sosial maupun institusional, sehingga didalam penerapannya
adakalanya merupakan perjalanan yang panjang.

Terdapat beberapa faktor utama penghambat pemanfaatan dan penerimaan


STET, baik di negara maju maupun di negara berkembang, antara lain:

- Kebijakan pemerintah yng kurang adil terhadap pemanfaatan STET


(sementara BBM dan listrik konvensional disubsidi), serta kebijakan yang
mengarah kepada promosi STET, seperti; kebijakan insentif, dimana di dalam
kebijakan tersebut termasuk kebijakan fiskal (umpama depletion premium),
kemudian bagi pengusaha/industri untuk mengembangkan STET seperti
pengurangan pajak import untuk jenis barang model/komponen sistem

___________________________________________________________________________________
Konvensi Kelistrikan Indonesia 2003 Page 11 of 14
pembangkit energi dari STET, pemberian prioritas dalam anggaran
pembangunan yang bersifat multi years.

- Tingginya biaya investasi awal STET, sementara sebagian besar


konsumennya berada didaerah perdesaan dengan daya beli yang rendah.
Sehingga, komersialisasi STET di Indonesia tidak begitu mulus tanpa
dukungan yang adil dari pemerintah.

- Kemauan pemerintah dan lembaga pendanaan dalam negeri untuk


membiayai pemanfaatan STET, dan ketersediaan kredit lunak berjangka
panjang, pengaruh globalisasi terhadap pertumbuhan ekonomi makro dan
mikro, seperti biaya pembangkit energi dari STET baik untuk listrik atau
termal.

- Kesadaran sosial, yaitu kesadaran masyarakat umum sebagai stakeholder,


terhadap kelangkaan bahan bakar fosil, pemanasan global, serta potensi dan
keuntungan pemanfaatan STET ditinjau dari segi lingkungan, ketersediaan di
tingkat grassroots dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan. Tidak
kalah pentingnya adalah kesadaran penentu kebijakan anggota legislatif dan
eksekutif baik di pusat maupun di daerah terhadap keuntungan sehingga
pemasyarakatan STET dapat berjalan mulus.

- Terbatasnya data dan prasarana pendukung, antara lain: kurangnya data


mengenai jenis, besar, dan profil kebutuhan jasa energi di perdesaan,
kemampuan teknis masyarakat setempat, jaringan listrik, dan sistem
kelembagaan yang mendukung.

- Teknologi, yang berkenaan dengan kemampuan sumberdaya manusia dalam


menciptakan dan mengoperasikan teknologi STET dengan semaksimal
mungkin memanfaatkan masukan (seperti: material, jasa/SDM dan
pendanaan) yang bersumber dari dalam negeri. Hal ini akan mempengaruhi
kemampuan industri dalam negeri untuk meningkatkan komponen lokal yang
pada akhirnya akan mengurangi biaya produksi sampai mencapai tingkat
harga yang dapat bersaing pada era globalisasi dan perdagangan bebas.

pembukaan lapangan kerja, kasus sistem energi surya fotovoltaik (SESF)

Kapasitas pasar (market size) SESF didalam negeri rata-rata akan berkisar antara
8 10 MWp/tahun. Prospek pasar tersebut terbagi kedalam beberapa segmen
sebagai berikut:

- Listrik perdesaan 59 %
- Produk konsumen dan komersial29 %
- Penyediaan air bersih 9%
- Fasilitas kesehatan 2%
- Sektor perhubungan 1%

___________________________________________________________________________________
Konvensi Kelistrikan Indonesia 2003 Page 12 of 14
Setiap penjualan 1 MWp SESF per-tahun akan menyerap sekitar 5.000 6.000
tenaga kerja, baik tenaga kerja yang terkait langsung dengan produksi SESF
berikut komponen utamanya atau angkatan kerja ikutan yang terbangun dari
meningkatnya produksi komponen pendukung (misal: pabrik gelas, industri
elektronik, plastik, bengkel mekanik, pabrik alumunium, kabel listrik, dan
perusahaan kargo). Jadi, apabila potensi pasar tersebut dapat dicapai maka
pemanfatan SESF akan membuka peluang kerja sebanyak 40.000 60.000
orang. Apabila setiap angkatan kerja memikul beban 5 jiwa, maka penerapan
SESF sekurang-kurangnya akan membantu kesejahteraan 200.000 jiwa (diluar
kesejahteraan masyarakat yang dilayani SESF). Disamping itu setiap penjualan
10 MWp SESF per-tahun akan membuka lapangan kerja baru sekitar 1500
2000 orang/tahun sebagai tenaga operator dan teknisi untuk pelayanan purna
jual, atau akan meningkatkan keamanan sosial bagi 6.000 8.000 jiwa per-tahun.

5. KEBIJAKAN PENDUKUNG

Tingginya biasa investasi harus secara sungguh-sungguh harus dapat ditekan


melalui penyempurnaan kinerja teknis STET dan proses produksi yang lebih
efisien. Kinerja teknis mengandung dua aspek, yaitu: kehandalan sistem yang
memadai dan efisiensi konversi energi yang tinggi. Proses produksi sementara itu
memerlukan standardisasi, penyederhanaan fabrikasi, dan skala ekonomi.
Dengan demikian, suatu kebijakan yang mendorong upaya penelitian dan
pengembangan, serta penciptaan iklim kerjasama yang sinergi antara industri dan
lembaga penelitian sangat diperlukan. Karenanya, dorongan bagi lembaga
penelitian dan/atau perguruan tinggi melakukan kegiatan penelitian dan
pengembangan berbasis pasar dengan sasaran pengembangan produk lokal
yang handal, efisien, dan bersaing, menjadi sangat penting dan mempunyai sifat
yang strategis.

Produksi massal pada dasarnya juga akan sangat menentukan turunnya biaya
produksi dan akan memberikan dampak positif bagi penetrasi pasar. Perjalanan
menuju kearah tersebut kiranya diperlukan suatu kebijakan berupa inisiatif
transformasi pasar (market transformation initiatives) yang telah terbukti
memberikan keberhasilan bagi pengembangan STET diluar negeri. Keberhasilan
ini antara lain yang membuat pemerintah Jerman menerbitkan Undang-undang
Energi Terbarukan yang memberikan iklim sedemikian rupa sehingga pasar STET
(a.l. angin, solartermik, fotovoltaik, biomassa, dan mikrohidro) menjadi terbentuk.
Pasar tersebut juga berkembang karena lembaga-lembaga keuangan dan
perbankan pada akhirnya juga terlibat didalam pendanaan baik untuk fabrikasi,
pengembangan jaringan pemasaran, maupun penerapan STET. Disamping itu
insentif yang dapat mendorong swasta untuk melakukan upaya fabrikasi dan
memasarkan STET serta pemberian kemudahan, misalnya : berupa kebijakan
pajak, impor bahan baku, dan impor komponen, kiranya sangat diperlukan.

Pengembangan proyek percontohan yang bersifat semi komersial dan berskala


nasional perlu dijadikan perhatian. Karena, berdasarkan fakta-fakta yang ada,
hanya melalui kajian yang nyata saja masyarakat (khususnya para pengambil
keputusan dan lembaga keuangan) dapat diyakinkan. Berdasarkan keberhasilan
___________________________________________________________________________________
Konvensi Kelistrikan Indonesia 2003 Page 13 of 14
proyek-proyek percontohan kiranya dapat dirancang suatu skema diseminasi,
pendanaan, dan subsidi yang mungkin dibutuhkan.

Hal yang penting didalam pengembangan proyek percontohan adalah penyertaan


partisipasi masyarakat seluas-luasnya sejak penelusuran kebutuhan dan
perumusan kegiatan, perencanaan sistem, pendanaan, pembangunan,
pengelolaan sistem, dan kelembagaan.

Upaya pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi


(DJLPE), dalam rangka mensosialisasikan program Peduli Energi Hijau
diharapkan dapat membantu upaya diseminasi informasi dan lebih
memasyarakatkan STET.

6. KESIMPULAN

Sebagaimana diuraikan STET dapat dirancang untuk berbagai keperluan jasa


energi, berbagai disain dan berbagai kapasitas. Dengan tingkat harga sistem saat
ini, STET sacara ekonomi dapat diterapkan untuk menjangkau tempat-tempat
terpencil dimana BBM atau sumber energi lainnya sulit didapat dan mahal.

Peluang pasar STET didalam negeri dapat dikatakan cukup besar dan
penerapannya akan memberikan peluang bagi pembukaan lapangan kerja yang
cukup besar dan memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat yang
terkait dengan fabrikasi STET dan serta masyarakat yang menikmati pelayanan
energi dari STET.

Dilihat dari kapasitas sistem maka STET pada umumnya dapat bersaing dengan
sistem pembangkit konvensional pada skala kapasitas yang kecil. Untuk
pemakaian skala yang lebih besar akan lebih bersifat site-specific dan
memerlukan analisa kelayakan yang lebih mendalam. Peranan disain sistem
didalam perencanaan suatu STET sangat penting didalam upaya untuk
mendapatkan suatu STET yang layak secara teknis dan ekonomi.

Kebijakan-kebijakan pendukung baik dari pemerintah maupun para pengambil


keputusan (seperti program Peduli Energi Hijau), yang dapat memberikan iklim
usaha yang kondusif bagi pengembangan STET dan kemampuannya melakukan
penetrasi kedalam pasar energi di dalam negeri, perlu mendapatkan perhatian
dan dukungan.

___________________________________________________________________________________
Konvensi Kelistrikan Indonesia 2003 Page 14 of 14

Anda mungkin juga menyukai