Terorisme Di Indonesia
Terorisme Di Indonesia
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual
terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York,
Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai
September Kelabu, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan
melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan
menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri,
sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat
komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke
menara kembar Twin Towers World Trade Center dan gedung Pentagon.1
1
http://www.wikipedia.org/terorisme.htm tanggal Akses 13 Oktober 2010 Pukul 20.09 WIB
1
Al-Qaeda sering disebut-sebut sebagai actor di balik tragedi kemanusian
yang spektakuler tersebut. Bangsa Indonesia yang sedang dilanda krisis
multidimensional juga tak luput dari target aksi terorisme.
Dari uraian yang telah dibahas diatas penulis tertarik untuk menjabarkan
secara lebih detail lagi tentang terorisme, khususnya terorisme di Indonesia
2
BAB I, Pendahuluan terdiri dari: Latar Belakang, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Sistematika Penulisan.
Daftar Pustaka
3
BAB II
TERORISME DI INDONESIA
I. Pengertian Terorisme
Kata terorisme berasal dari bahasa latin yakni Terrere (gemetaran) dan
Deterrere (takut). Menurut kamus ilmiah Populer (2006 : 467) terorisme
adalah hal tindakan pengacau dalam masyarakat untuk mencapai tujuan
(bidang politik); penggunaan kekerasan dan ancaman secara sistematis dan
terencana untuk menimbulkan rasa takut dan menggangu system-sistem
wewenang yang ada2.
2
Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap. (Jakarta: Gitamedia Press. 2006) cet 1. h. 467
3
http://www.wikipedia.org/definisi_terorisme.htm tanggal Akses 13 Oktober 2010 Pukul 20.09 WIB
4
ibid
4
dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah
menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh
suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran.
Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk
murni dari Terorisme dengan mengacu pada sejarah Terorisme modern.
Meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun
fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant Wardlaw
dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis
muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua
abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis
tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.5
5
http://www.wikipedia.org/sejarah_terorisme.htm Tanggal Akses 13 Oktober 2010 Pukul 20.09 wib
5
Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan.
Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun 60an dan terkenal dengan
istilah Terorisme Media, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk
tujuan publisitas. Bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga sumber, yaitu:
1. Kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan
tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM.
2. Pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama,
radikalis setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya
kota.
3. Kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu
lintas.
6
1. Ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.
2. Keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara
internasional secepat mungkin.
3. Tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap Terorisme yang sudah
dilakukan.
4. Serangan Terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya
sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.
b. Perjuangan Agama
Contoh kelompok-kelompok yang melandaskan diri pada perjuangan
agama tertentu adalah kelompok-kelompok islam radikal yang
berkembang di seluruh dunia terutama yang memiliki penduduk
mayoritas beragama islam.
Tujuan tersebut biasanya muncul disebabkan oleh ketidak puasan
kelompok-kelompok tersebut terhadap kebijakan pemerintah.
c. Ketidakadilan
Munculnya aksi terorisme dalam suatu Negara itu terkait dengan
kebijakan pemerintah nasional yang tidak adil dalam kondisi realistis
7
tatanan masyarakat yang pluralistic yang berlangsung lama dan tidak
adak harapan adanya perubahan
2. Teror mental
Terror mental dilakukan dengan tujuan untuk mencipatakan rasa
takut dan gelisah dengan menggunakan alat-alat yang tidak
berkenaan langsung dengan jasmani manusia, tetapi dengan tekanan
psikologi sehingga menimbulkan tekanan bathin yang luar biasa
sampai-sampai sasaran terror menjadi putus asa, gila hingga bunuh
diri
V. Terorisme di Indonesia
Terorisme di Indonesia merupakan terorisme di Indonesia yang dilakukan
oleh kelompok militan Jemaah Islamiyah yang berhubungan dengan al-
8
Qaeda ataupun kelompok militan yang menggunakan ideologi serupa
dengan mereka. Sejak tahun 2002, beberapa "target negara Barat" telah
diserang. Korban yang jatuh adalah turis Barat dan juga penduduk
Indonesia. Terorisme di Indonesia dimulai tahun 2000 dengan terjadinya
Bom Bursa Efek Jakarta, diikuti dengan empat serangan besar lainnya, dan
yang paling mematikan adalah Bom Bali 2002
Berikut adalah beberapa kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesia
dan instansi Indonesia di luar negeri:
a. Tahun 1981
Garuda Indonesia Penerbangan 206, 28 Maret 1981. Sebuah penerbangan
maskapai Garuda Indonesia dari Palembang ke Medan pada
Penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla berangkat dari Jakarta pada
pukul 8 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan
perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat
tersebut dibajak oleh 5 orang teroris yang menyamar sebagai
penumpang. Mereka bersenjata senapan mesin dan granat, dan mengaku
sebagai anggota Komando Jihad; 1 kru pesawat tewas; 1 tentara
komando tewas; 3 teroris tewas.
b. Tahun 1985
Bom Candi Borobudur 1985, 21 Januari 1985. Peristiwa terorisme ini
adalah peristiwa terorisme bermotif "jihad" kedua yang menimpa
Indonesia.
c. Tahun 2000
Bom Kedubes Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah
mobil yang diparkir di depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng,
Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka,
termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday.
9
Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di
kompleks Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak ada
korban jiwa.
Bom Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan mengguncang
lantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta. 10 orang tewas, 90 orang
lainnya luka-luka. 104 mobil rusak berat, 57 rusak ringan.
Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom
pada malam Natal di beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa
16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak.
d. Tahun 2001
Bom Gereja Santa Anna dan HKBP, 22 Juli 2001. di Kawasan
Kalimalang, Jakarta Timur, 5 orang tewas.
Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. Bom meledak di
kawasan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. 6 orang cedera.
Bom restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001. Ledakan bom
mengakibatkan kaca, langit-langit, dan neon sign KFC pecah. Tidak ada
korban jiwa. Sebuah bom lainnya yang dipasang di kantor MLC Life
cabang Makassar tidak meledak.
Bom sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001. Bom rakitan meledak
di halaman Australian International School (AIS), Pejaten, Jakarta.
e. Tahun 2002
Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di depan
rumah makan ayam Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang
lainnya luka-luka. Di Palu, Sulawesi Tengah, terjadi empat ledakan
bom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban
yang mayoritas warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya
luka-luka. Saat bersamaan, di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan
juga meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa.
10
Bom restoran McDonald's, Makassar, 5 Desember 2002. Bom rakitan
yang dibungkus wadah pelat baja meledak di restoran McDonald's
Makassar. 3 orang tewas dan 11 luka-luka.
f. Tahun 2003
Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom rakitan
meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak ada
korban jiwa.
Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak dii
area publik di terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-Hatta,
Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang dan
ringan.
Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian Hotel
JW Marriott. Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang lainnya
mengalami luka-luka.
g. Tahun 2004
Bom Palopo, 10 Januari 2004. Menewaskan empat orang. (BBC)
Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar terjadi di
depan Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya
luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di
sekitarnya seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI.
(Lihat pula: Bom Kedubes Indonesia, Paris 2004)
Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada 12
Desember 2004.
h. Tahun 2005
Dua Bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005
Bom Tentena, 28 Mei 2005. 22 orang tewas.
11
Bom Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005. Bom meledak di halaman
rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia
Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali. Sekurang-
kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan
yang terjadi di R.AJA's Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai
Kuta dan di Nyoman Caf Jimbaran.
Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah pasar di
Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan 8 orang dan melukai
sedikitnya 45 orang.
i. Tahun 2009
Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott
dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul
07.50 WIB.
j. Tahun 2010
Penembakan warga sipil di Aceh Januari 2010
Perampokan bank CIMB Niaga September 20106
6
http://ww.wikipedia.org/terorisme_di_indonesia.htm Tanggal Akses 13 Oktober 2010 Pukul 20.19 Wib
12
Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun
2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang
dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus.
Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana
yang bersifat khusus, dapat tercipta karena:
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam
masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan
pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan
sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di
masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu
perundang-undangan Hukum Pidana.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap
perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu
masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah
ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan
suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan
proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah
ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
13
Pidana (KUHAP) [[(lex specialis derogat lex generalis)]]. Keberlakuan lex specialis
derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum,
dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-
Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang
khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas
pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-
Undang khusus tersebut.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam
kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai
wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan
pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap
keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan
dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus
dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan
khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan
tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan
pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama
14
peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut
tidak mengatur lain.
15
dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-
Undang Khusus tersebut.
16
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian
Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat
dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen,
apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat
2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti
Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui
suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu
mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk
melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan
suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau
pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama
dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak
setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian
hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti
Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat
dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya
hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti
Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan
wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan
kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah
melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut
sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh
aparat, dalam hal ini penyidik.
17
pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu
pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap
telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga
terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah
memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan
penindakan terhadap perbuatan teror.
Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme
harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga
pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi
Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus
ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi
yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan
Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan
sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting
juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan
kekuasaan.7
7
http://www.wikipedia.org//Terorisme_di_Indonesia.htm Tanggal Akses 13 Oktober 2010 Pukul 20.09 WIB
18
VI. Upaya Menanggulangi dan Memberantas Terorisme
Kita semua pasti sepakat bahwa usaha-usaha memerangi terorisme dalam
bentuk apapun tidak boleh dilakukan dengan cara kekerasan. Upaya
memerangi terorisme harus berangkat dari penyelesaian terhadap akar atau
sumber masalah, karena jika tidak diketahui dan dihilangkan dulu factor
penyebabnya maka sulit ditemukan langkah-langkahh atau strategi yang
tepat untuk memberantasnya.
19
BAB III
KESIMPULAN
Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah
puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi
tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan
intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung,
sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang
yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar
masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror
tidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik.
Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup
mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan
solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda
dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum
teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka
ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk
menyuarakan pesan perjuangannya
20
DAFTAR PUSTAKA
Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap. (Jakarta: Gitamedia Press.
2006)
Zulfidah, Abdullah. Terorisme dan Konspirasi Anti Islam. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar. 2002
www.wikipedia.org
21