Anda di halaman 1dari 3

http://jalanrasulullah.blogspot.co.id/2011/02/nu-dan-muhammadiyah-mana-yang-benar.

html

NU dan Muhammadiyah mana yang benar???

Muhammadiyah dan NU adalah organisasi, bukan masalah fiqh. Hanya dalam konteks Indonesia,
Muhammadiyah dan NU adalah mewakili 2 golongan besar umat Islam secara fiqh juga. Muhammadiyah
mewakili kelompok "modernis" (begitu ilmuwan menyebut), yang sebenarnya ada beberapa organisasi yang
memiliki pandangan mirip seperti Persis (Persatuan Islam), Al-Irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU
(Nahdhatul Ulama) mewakili kelompok "tradisional", selain Nahdhatul Wathan, Jami'atul Washliyah, Perti, dll.

Kedua organisasi memiliki berbagai perbedaan pandangan. Dalam masyarakat perbedaan paling nyata adalah
dalam berbagai masalah furu' (cabang). Misalnya Muhamadiyah melarang (bahkan membid'ahkan) bacaan
Qunut di waktu Shubuh, sedang NU mensunahkan, bahkan masuk dalam ab'ad yang kalau tidak dilakukan
harus melakukan sujud syahwi, dan berbagai masalah lain. (kunjungi masalah khilafiah)
Alhamdulillah, perbedaan pandangan ini sudah tidak menjadikan pertentangan lagi, karena kedewasaan dan
toleransi yang besar dari keduanya.

Pandangan antara keduanya memang berasal dari "madrasah" (school of thought) berbeda, yang
sesungguhnya sudah terjadi sangat lama. Muhammadiyah (lahir 1914, didirikan oleh KH Ahmad Dahlan)
adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad
Abduh, Rasyid Rida (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf (yang literalis) seperti Ibn Taymiah,
Muhammad bin Abdul Wahab. Wacana pemikiran modern misalnya membuka pintu ijtihad, kembali kepada
Quran dan Sunah, tidak boleh taqlid, menghidupkan kembali pemikiran Islam. Sedang wacana salaf adalah
bebaskan takhayul, bid'ah dan khurafat (TBC). Tetapi dalam perkembangan yang dominan --terutama di grass
rootnya-- adalah wacana salaf. Sehingga Muhammadiyah sangat bersemangat dengan tema TBC. Yang
menjadi masalah, banyak dari kategori TBC tersebut justru diamalkan di kalangan NU, bahkan dianggap
sebagai sunah. Karena sifatnya yang dinamis, praktis dan rasional, Muhammadiyah banyak diikuti oleh
kalangan terdidik dan masyarakat kota.

Di sisi lain NU (Nahdhatul Ulama, didirikan antara lain oleh KH Hasyim Asy'ari, 1926), lahir untuk
menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. Sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah memang
memicu kelahiran NU. Berbeda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU sangat nampak di kalangan pedesaan.

Sebenarnya KH A Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Katib
Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi'i di Makkah. Ketika bergaung pemikiran Abduh dan muridnya
Rasyid Ridha di Mesir, KH A Dahlan sangat tertarik dan mengembangkannya di Indonesia. Sedang KH Hasyim
Asy'ari justru kritis terhadap pemikiran mereka...

Berikut secara ringkas perbedaan pandangan di antara keduanya:

Masalah NU Muhammadiyah

Aqidah Mengikuti paham


Mengikuti paham
(Keduanya masih dalam salaf/Wahabi* (Ibn
Asy'ariah/Maturidiah
bingkai Ahlu Sunah) Taymiah, Muhammad bin
Abdul Wahab, Ibn Qayyim)

Langsung kepada Al-Quran


Keharusan mengikuti salah
dan Sunah, dan tarjih
Fiqh satu madzhab (terutama
(memilih pendapat yang
Syafi'i)
terkuat)

Menolak tasauf dan tariqah


Menerima tasauf, dan (tetapi banyak yang
Tasauf/tarikat tariqah yang mu'tabar apresitif secara individual
(diakui) dan selektif, misal HAMKA
dengan tasauf modern-nya)

Ibn Taymiah, Muhammad


Pemikir klasik : Asy'ari, Al- bin Abdul Wahab, Ibn
Pemikiran yang dominan
Ghazali, Nawawi, dll Qayyim, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha

* Istilah Wahabi diberikan oleh kelompok lain, mereka sendiri lebih menyukai disebut muwahidin (orang yang
mengesakan)

Bedanya Apa???
Memperbincangkan tentang ranah perbedaan antara kedua organisasi sosial keagaan, yakni NU dan
Muhammadiyah, bukan untuk menambah problem yang timbul sebagai akibat perbedaan itu, melainkan justru
sebaliknya, agar semakin mendekatkannya. Sebab ternyata dengan perbedaan itu, selain ada
untungnya, dalam hal-hal tertentu, ternyata merugikan kedua belah pihak dan bahkan semuanya.

Salah satu contoh kecil kerugian itu adalah misalnya mengganggu silaturrahmi. Orang NU tidak
begitu mudah diterima bekerja di lembaga Muhammadiyah, dan sebaliknya. Orang Muhammadiyah tidak
mudah diterima di sebuah departemen, jika pimpinan departemen itu orang NU, dan juga sebaliknya.
Padahal mencari tenaga professional kadang sangat sulit, namun masih dipersulit lagi oleh
adanya perbedaan kultur atau organisasi keagamaan itu.

Jika hal demikian itu benar-benar terjadi, maka organisasi sosial keagamaan tidak terlalu menguntungkan.
Ukuran kualitas seseorang menjadi bertambah dengan variabel yang tidak mudah dipenuhi. Misalnya, disebut
berkualitas jika berasal dari paham keagamaan yang sama. Dengan begitu maka, organisasi sosial
keagamaan justru menjadi sebab terjadinya keputusan rasional tidak dijalankan. Akhirnya keadaannya
menjadi aneh, mencari calon tukang potong rambut saja bisa dilakukan secara obyektif, -----> mencari yang
ahli; sementara, mencari calon rektor misalnya, harus memilih yang sealiran. Padahal yang terpilih akhirnya
belum tentu kualitasnya lebih baik.

Contoh seperti itu, ternyata di mana-mana terjadi dan cukup banyak jumlahnya. Sebagai akibatnya,
organisasi tidak berhasil dijalankan secara obyektif, rasional , dan terbuka, sebagaimana tuntutan organisasi
modern. Organisasi menjadi tidak dinamis atau apalagi maju. Selain itu, pelayanan masyarakat menjadi tidak
maksimal. Dampak negative itu akan dialami oleh masing-masing anggota organisasi yang bersangkutan,
menjadi serba terbatas.

Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah jika diperhatikan secara saksama, sebenarnya hanya berada
pada ranah ritual saja. Lagi pula, aspek ritual itu juga tidak berada pada wilayah yang mendasar. Orang
menyebutnya hanya pada aspek yang sifatnya cabang atau furu. Perbedaan itu hanya di seputar bagaimana
ritual itu dijalankan. Misalnya, jamah NU ketika shalat subuh melengkapi dengan qunut, sedangkan
Muhammadiyah tidak.
Selain itu, NU ketika shalat jumt, adzannya dua kali, sedangkan Muhammadiyah hanya sekali saja.
NU setelah shalat fardhu berdzikir bersama, sedangkan Muhajmmadiyah tidak. NU membiasakan membaca
puji-pujian menjelang shalat berjamah, sedangkan Muhammdiyah tidak. Untuk menentuikan awal puasa atau
mengakhirnya, Muhammadiyah lewat pendekatan hisab, sedangkan NU menggunakan rukyat. Hasilnya
kadang sama, tetapi sekali-kali berbeda.

Persoalan ritual dalam Islam, sebenarnya adalah merupakan bagian kecil dari keseluruhan ajaran yang
dibawa oleh Nabi Muhammad, atau dalam al Qurn itu sendiri. Dalam hal yang lebih luas, Islam mengajak
umatnya menjalani kehidupan ini secara sempurna, mengembangkan semua aspek dalam dirinya. Islam
mengajarkan bagaimana menggunakan akal pikirannya secara benar. Islam juga mengajarkan agar jiwa dan
raganya menjadi sehat. Islam mengajarkan bagaimana agar ucapan, pikiran, hati, dan anggota badannya
selalu dijaga agar bersih dan bahkan suci. Dalam Islam diajarkan tentang tazkiyatun nafs. Sedangkan
kegiatan ritual, sekalipun sungguh amat penting, namun hanyalah merupakan bagian kecil dari ajaran Islam.

Apa saja yang terkait dengan ritual mestinya bukan diperdebatkan, melainkan seharusnya segera dijalankan.
Berdedat soal ritual tidak akan membawa hasil, dalam arti diketemukan mana yang paling duluan diterima dan
yang ditolak oleh Tuhan. Tidak akan ada seorang pun yang tahu bahwa ritualnya diterima atau ditolak.
Penerimaan dan atau penolakan kegiatan ritual adalah hak prerogative Tuhan sendiri. Seseorang mungkin
menang dalam berdebat, maka sebenarnya belum tentu benar-benar menang di hadapan Allah. Bisa saja
yang terjadi justru sebaliknya, bahwa mereka yang kalah, karena ritualnya dilakukan secara lebih khusuk dan
ikhlas justru diterima. Sebaliknya, pihak yang menang hanya akan mendapatkan kemenangannya di hadapan
orang.

Ajaran Islam sedemikian luas, yaitu mengajarkan agar para umatnya kaya ilmu pengetahuan, menjadi manusia
unggul dalam arti bertauhid, berhasil bisa dipercaya, dan selalu menjaga kesucian dalam semua aspek
kehidupannya. Selain itu, Islam mengajarkan tentang tatanan sosial yang adil dan juga agar menjalankan
semua pekerjaan atau amalnya secara professional atau beramal saleh. Dalam al Qurn disebutkan bahwa
siapa yang beriman dan beramal saleh akan selamat hidupnya, baik di dunia maupun di akherat.

Sebenarnya boleh saja di mana-mana terjadi perbedaan atau bahkan berdebat. Tetapi
hendaknya perdebatan itu dalam soal yang terkait dengan ilmu pengetahuan, membangun keadilan dan
mencari cara yang tepat dalam beramal saleh. Sebab berbeda dalam ilmu pengetahuan dan lainnya itu akan
melahirkan rakhmat. Artinya dengan perbedaan dan perdebatan itu justru pengetahuan dan pengalaman
seseorang akan semakin bertambah. Akan tetapi, perbedaan dalam ritual secara
berkepanjangan, yang didapat sebaliknya, yaitu umat akan terpecah dan bercerai berai sebagaimana yang
tampak selama ini.

Perbedaan dalam beritual sebenarnya sudah terjadi sejak zaman nabi. Banyak kisah tentang itu,
misalnya menyangkut tentang pelaksanaan shalat dan bahkan juga haji. Setiap ada perbedaan di antara
para sahabat segera dikonsultasikan langsung kepada Nabi. Maka, jika ada pengaduan seperti itu, selalu
saja Nabi membenarkan semuanya. Artinya semua yang telah dilakukan oleh sahabat dalam menjalankan
ritual dibolehkan dan atau dibenarkan. Oleh karena itu, maka dengan perbedaan ritual itu sebenarnya tidak
perlu masing-masing mengklaim, bahwa diri atau kelompoknya yang paling benar.

Dalam soal ritual, asalkan masih berada pada frame atau kerangka pokoknya, semua dibolehkan. Sedangkan
menyangkut cara yang detail-detail tidak perlu harus diperdebatkan. Kalaupun harus ada yang dipersoalkan
adalah menyangkut kekhusukannya. Sebab Nabi dalam suatu riwayat, pernah menyuruh salah seorang
untuk mengulangi shalatnya, karena dinilai kurang khusu. Ternyata, bukan terkait dengan persoalan yang
sering diperdebatkan selama ini. Akhirnya, jika hal seperti itu dipahami dan dihayati
bersama, maka kewajiban agar supaya umat Islam selalu menjaga persatuan akan berhasil
dijalankan. Wallahu alam.

Anda mungkin juga menyukai