Anda di halaman 1dari 6

Bahasa Hukum: Pelaksana

Tugas, Pelaksana Harian, dan


Penjabat
Normatifnya, Plt dan Plh tidak perlu dilantik dan diambil sumpahnya.
Pengangkatannya pun cukup dengan Surat Perintah.
MUHAMMAD YASIN
Dibaca: 74213 Tanggapan: 0
Ilustrasi acara pelantikan pejabat. Foto: www.setkab.go.id
BERITA TERKAIT
Polemik Pergantian Kapolri
Presiden Umumkan Pelaksana Tugas Kapolri
Andhi Nirwanto Pegang Pelaksana Harian Jaksa Agung
Dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, kita sering mendengar
singkatan Plt dan Plh. Plt singkatan dari Pelaksana Tugas; Plh singkatan dari
Pelaksana Harian. Selain itu, ada pula istilah Penjabat (Pj) yang dikenal dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam praktik pun istilah ini sering
dipakai jika ada kekosongan sementara di jabatan tertentu seperti
Ketua KPK atau Kapolri, atau pada jabatan struktural lainnya.

Setidaknya ada dua hal yang perlu diperjelas dari istilah-istilah di atas. Pertama, apa
pengertian atau maksud Pelaksana Tugas, Pelaksana Harian, dan Penjabat.
Kedua, jika dilekatkan dengan jabatan seseorang apakah istilah-istilah itu memiliki
konsekuensi hukum.

Salah satu cara memberikan penjelasan atas hal pertama adalah melihat istilah dan
definisi frasa tadi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Istilah Plt dan
Plh antara lain disebut dalam Pasal 34 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (UUAP). Rumusannya: Apabila Pejabat Pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan menjalankan tugasnya, maka
Atasan Pejabat yang bersangkutan dapat menunjuk Pejabat Pemerintahan yang
memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana harian atau pelaksana
tugas.

Masalahnya, UUAP tak memberikan penjelasan apa yang dimaksud pelaksana


harian dan pelaksana tugas. Selain itu, sebelum UUAP lahir konsep Plh dan Plt
sudah dikenal dan dipraktikkan. Tetapi kita bisa melacak ketentuannya lebih jauh
dari Pasal 14 UUAP yang mengatur tentang mandat. Ada dua kategori pejabat yang
memperoleh mandat, yaitu ditugaskan oleh Badan dan/atau Pemerintahan di
atasnya, atau merupakan pelaksanaan tugas rutin. Tugas rutin adalah pelaksanaan
tugas jabatan atas nama pemberi mandat yang bersifat pelaksanaan tugas jabatan
dan tugas sehari-hari.

Nah, Pejabat yang melaksanakan tugas rutin tersebut terdiri dari Pelaksana Harian
yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara;
dan Pelaksana Tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif
yang berhalangan tetap. Coba pilah masuk kategori berhalangan yang mana
keadaan pejabat definitif berikut: cuti lebaran, menunaikan ibadah haji, kunjungan ke
daerah, mengikuti sekolah pimpinan, atau dirawat di rumah sakit.

Kalau merujuk pada Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara No. K.26-3/V.5-
10/99 tertanggal 18 Januari 2002, semua kategori tadi menjadi dasar untuk
mengangkat Pelaksana Harian. Disebutkan dalam SK Kepala BKN ini, jika ada
pejabat yang tidak dapat melaksanakan tugas sekurang-kurangnya 7 hari kerja,
maka untuk tetap menjamin kelancaran pelaksanaan tugas, Atasan Pejabat segera
menunjuk Pelaksana Harian. Ketentuannya dirinci dalam SK tentang Penunjukan
Pejabat Pelaksana Harian itu.

Konsep Pelaksana Tugas selama ini merujuk pada SK Kepala BKN No. K.26-
20/V.24.25/99 tertanggal 10 Desember 2001 tentang Tata Cara Pengangkatan
Pegawai Negeri Sipil Sebagai Pelaksana Tugas. Konteksnya adalah jika tidak ada
pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat untuk diangkat dalam jabatan struktural.

PP No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan
Struktural antara lain menyebutkan agar dapat diangkat dalam jabatan struktural
serendah-rendahnya menduduki pangkat satu tingkat di bawah jenjang pangkat
yang ditentukan. Jika tak ada di lingkungan instansi tersebut, maka boleh diangkat
diangkat seorang Pelaksana Tugas demi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas
organisasi. Syarat-syarat dan mekanismenya diatur dalam SK Kepala BKN tadi.

Selain Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas, perundang-undangan Indonesia


mengenal lema Penjabat. Secara leksikal, Penjabat adalah pemegang jabatan
orang lain untuk sementara (lihat misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi IV,
cetakan ke-19 September 2015, halaman 554). Dari sini tampak bahwa maksudnya
senada dengan Plh atau Plt. Lema Penjabat bisa dibaca dalam konsepsi UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah direvisi kedua melalui UU No.
9 Tahun 2015 (UU Pemda).

Pasal 86 ayat (2) UU Pemda menyebutkan Apabila gubernur diberhentikan


sementara dan tidak ada wakil gubernur, Presiden menetapkan Penjabat gubernur
atas usul Menteri. Lema Penjabat bisa juga ditemukan pada ayat 3, 5, dan 6 pasal
yang sama, serta Pasal 88 ayat (1) UU Pemda. Apakah orang yang memangku
jabatan untuk sementara waktu selalu disebut Penjabat? Undang-Undang Pemda
tak memberikan penjelasan lebih detil.

Pembatasan
Hal kedua, jika seseorang sudah diangkat menjadi Plt, Plh, atau Penjabat, maka ia
mendapatkan hak-hak dan berkewajiban menjalankan tugas sesuai tupoksi pejabat
definitif. Masalahnya, apakah semua tugas dan wewenang pejabat definitif bisa
dijalankan oleh seorang Plt, Plh, atau Penjabat?

Pasal 34 ayat (2) UUAP menegaskan Plh atau Plt melaksanakan tugas serta
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan rutin yang menjadi
wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal ini sebenarnya tak memberikan pembatasan yang jelas.
Beruntunglah, BKN telah memberikan penjelasan mengenai pembatasan itu melalui
Surat Kepala BKN No. K.26.30/V.20.3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian
dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian. Beleid tertanggal 5 Februari 2016
ini sengaja dikeluarkan untuk memperjelas maksud UUAP.

Salah satu klausula yang sangat penting dikemukakan adalah pembatasan


wewenang. Disebutkan begini: Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan
dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status
hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.

Apa yang dimaksud dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis
itu? Jawabannya bisa dilihat pada Penjelasan Pasal 14 ayat (7) UUAP, yaitu
Keputusan dan/atau Tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan
perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah. Sedangkan maksud
perubahan status hukum kepegawaian adalah melakukan pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian pegawai.

BKN kemudian membuat poin-poin pembatasan bagi Plt atau Plh. Pertama, tidak
berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang
berdampak pada perubahan status hukum pada aspek kepegawaian. Kedua, tidak
berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam aspek kepegawaian
yang meliputi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai.

Ketiga, kewenangan Plh atau Plt adalah (i) menetapkan sasaran kerja pegawai dan
penilaian prestasi kerja; (ii) menetapkan kenaikan gaji berkala; (iii) menetapkan cuti
selain cuti di luar tanggungan negara; (iv) menetapkan surat penugasan pegawai; (v)
menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar instansi; dan
(vi) memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan
tinggi/administrasi, dan izin tidak masuk kerja.

Poin lain yang penting dari SK Kepala BKN terbaru itu adalah tentang pelantikan.
Ditegaskan bahwa Plh atau Plt yang ditetapkan tidak perlu dilantik atau diambil
sumpahnya. Pengangkatannya pun cukup dengan Surat Perintah dari Pejabat
Pemerintah yang memberikan mandat.

Peraturan teknis dan praktik


Setelah UUAP lahir, bukan hanya BKN yang mengatur bagaimana Plh atau Plt
diangkat. Kementerian Keuangan juga telah mengaturnya lewat Peraturan Menteri
Keuangan No. 98/PMK.01/2015 tentang Tata Cara Penunjukan atau Pengangkatan
Pelaksana Tugas dan Penunjukan Pelaksana Harian di Lingkungan Kementerian
Keuangan (PMK 98).

PMK 98 memberikan definisi Plt sebagai: (a) pegawai yang ditunjuk untuk
menduduki jabatan struktural di lingkungan Kementerian Keuangan apabila pejabat
definitifnya berhalangan tetap; atau (b) Pegawai yang memiliki kompetensi untuk
menduduki jabatan struktural di lingkungan Kementerian Keuangan, namun belum
memenuhi persyaratan administrasi sesuai ketentuan yang berlaku, dan diangkat
untuk melaksanakan tugas pada suatu jabatan struktural. Lalu, Plh adalah pegawai
yang ditunjuk untuk menduduki jabatan struktural di lingkungan Kementerian
Keuangan apabila pejabat definitifnya berhalangan sementara.

PMK 98 juga memuat beberapa pembatasan wewenang. Di sini, Plt atau Plh malah
tak boleh menetapkan keputusan yang mengikat di bidang kepegawaian seperti
pembuatan penilaian prestasi kerja pegawai, dan penjatuhan hukuman disiplin.

Beberapa bulan sebelum UUAP lahir, Kementerian Hukum dan HAM juga punya
panduan mengenai Plh dan Plt sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum
dan HAM No. 1 Tahun 2014. Dalam beleid ini disebutkan Plh adalah pegawai yang
ditunjuk untuk melaksanakan tugas pejabat struktural yang berhalangan sementara.
Sebaliknya, Plt adalah pegawai yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi
jabatan struktural yang lowong.

Mengenai pembatasan wewenang, Peraturan Menteri Hukum dan HAM itu


menegaskan Plh atau Plt memiliki kewenangan yang sama dengan Pejabat
structural yang berhalangan sementara atau jabatan structural yang lowong, kecuali
untuk lima hal. Kelima hal itu adalah mengambil kebijakan yang bersifat substansial
yang bersampak kepada anggaran; menetapkan keputusan yang bersifat
substansial; menjatuhkan hukuman disiplin; memberikan penilaian kinerja terhadap
pegawai; dan mengambil kebijakan yang mengikat lainnya.

Dalam praktik, keputusan Plt memutasi pegawai sudah sering digugat ke


pengadilan. Misalnya, pernah terjadi di Gresik Jawa Timur dan Pinrang Sulawesi
Selatan. Salah satu yang bisa dirujuk adalah putusan PTUN Surabaya No.
58/G/2009/PTUN.SBY. Majelis hakim dalam putusan ini (Singgih Wahyudi,
Indaryadi, Suzana) memuat pertimbangan tentang wewenang seorang Plt Kepala
Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Lumajang. Majelis menyatakan: Oleh karena
objek sengketa diterbitkan oleh pejabat yang tidak berwenang (yakni seorang Plt
red) maka keputusan tersebut menurut hukum dianggap tidak pernah ada.

PERATURAN TERKAIT
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-23/PJ/2017 Tahun 2017
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2017
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2017
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2017
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 08 Tahun 2017
KLINIK TERKAIT
Kegiatan Usaha Minyak Bumi di Sumur Tua
Bisakah Dilakukan Penyitaan Terhadap Barang Milik BUMD?
Hukumnya Jika Menulis Kata-kata Kasar di Medsos yang Ditujukan . .
Hal-hal yang Perlu Disiapkan Jika Ingin Membuka Usaha Jasa . .
Arti Sumpah Decisoir, Suppletoir, dan Aestimatoire

TANGGAPAN
Belum ada tanggapan
Kirim Tanggapan
NAMA

EMAIL
JUDUL

TANGGAPAN
Privacy &
Terms

Kirim

Disclaimer Comment
Seluruh judul dan isi tanggapan adalah tanggung jawab masing-masing penulis
tanggapan. Redaksi hukumonline berhak untuk menayangkan atau tidak
menayangkan tanggapan dengan mempertimbangkan kepatutan serta norma-
norma yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai