Setidaknya ada dua hal yang perlu diperjelas dari istilah-istilah di atas. Pertama, apa
pengertian atau maksud Pelaksana Tugas, Pelaksana Harian, dan Penjabat.
Kedua, jika dilekatkan dengan jabatan seseorang apakah istilah-istilah itu memiliki
konsekuensi hukum.
Salah satu cara memberikan penjelasan atas hal pertama adalah melihat istilah dan
definisi frasa tadi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Istilah Plt dan
Plh antara lain disebut dalam Pasal 34 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (UUAP). Rumusannya: Apabila Pejabat Pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan menjalankan tugasnya, maka
Atasan Pejabat yang bersangkutan dapat menunjuk Pejabat Pemerintahan yang
memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana harian atau pelaksana
tugas.
Nah, Pejabat yang melaksanakan tugas rutin tersebut terdiri dari Pelaksana Harian
yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara;
dan Pelaksana Tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif
yang berhalangan tetap. Coba pilah masuk kategori berhalangan yang mana
keadaan pejabat definitif berikut: cuti lebaran, menunaikan ibadah haji, kunjungan ke
daerah, mengikuti sekolah pimpinan, atau dirawat di rumah sakit.
Kalau merujuk pada Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara No. K.26-3/V.5-
10/99 tertanggal 18 Januari 2002, semua kategori tadi menjadi dasar untuk
mengangkat Pelaksana Harian. Disebutkan dalam SK Kepala BKN ini, jika ada
pejabat yang tidak dapat melaksanakan tugas sekurang-kurangnya 7 hari kerja,
maka untuk tetap menjamin kelancaran pelaksanaan tugas, Atasan Pejabat segera
menunjuk Pelaksana Harian. Ketentuannya dirinci dalam SK tentang Penunjukan
Pejabat Pelaksana Harian itu.
Konsep Pelaksana Tugas selama ini merujuk pada SK Kepala BKN No. K.26-
20/V.24.25/99 tertanggal 10 Desember 2001 tentang Tata Cara Pengangkatan
Pegawai Negeri Sipil Sebagai Pelaksana Tugas. Konteksnya adalah jika tidak ada
pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat untuk diangkat dalam jabatan struktural.
PP No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan
Struktural antara lain menyebutkan agar dapat diangkat dalam jabatan struktural
serendah-rendahnya menduduki pangkat satu tingkat di bawah jenjang pangkat
yang ditentukan. Jika tak ada di lingkungan instansi tersebut, maka boleh diangkat
diangkat seorang Pelaksana Tugas demi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas
organisasi. Syarat-syarat dan mekanismenya diatur dalam SK Kepala BKN tadi.
Pembatasan
Hal kedua, jika seseorang sudah diangkat menjadi Plt, Plh, atau Penjabat, maka ia
mendapatkan hak-hak dan berkewajiban menjalankan tugas sesuai tupoksi pejabat
definitif. Masalahnya, apakah semua tugas dan wewenang pejabat definitif bisa
dijalankan oleh seorang Plt, Plh, atau Penjabat?
Pasal 34 ayat (2) UUAP menegaskan Plh atau Plt melaksanakan tugas serta
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan rutin yang menjadi
wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal ini sebenarnya tak memberikan pembatasan yang jelas.
Beruntunglah, BKN telah memberikan penjelasan mengenai pembatasan itu melalui
Surat Kepala BKN No. K.26.30/V.20.3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian
dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian. Beleid tertanggal 5 Februari 2016
ini sengaja dikeluarkan untuk memperjelas maksud UUAP.
Apa yang dimaksud dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis
itu? Jawabannya bisa dilihat pada Penjelasan Pasal 14 ayat (7) UUAP, yaitu
Keputusan dan/atau Tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan
perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah. Sedangkan maksud
perubahan status hukum kepegawaian adalah melakukan pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian pegawai.
BKN kemudian membuat poin-poin pembatasan bagi Plt atau Plh. Pertama, tidak
berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang
berdampak pada perubahan status hukum pada aspek kepegawaian. Kedua, tidak
berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam aspek kepegawaian
yang meliputi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai.
Ketiga, kewenangan Plh atau Plt adalah (i) menetapkan sasaran kerja pegawai dan
penilaian prestasi kerja; (ii) menetapkan kenaikan gaji berkala; (iii) menetapkan cuti
selain cuti di luar tanggungan negara; (iv) menetapkan surat penugasan pegawai; (v)
menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar instansi; dan
(vi) memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan
tinggi/administrasi, dan izin tidak masuk kerja.
Poin lain yang penting dari SK Kepala BKN terbaru itu adalah tentang pelantikan.
Ditegaskan bahwa Plh atau Plt yang ditetapkan tidak perlu dilantik atau diambil
sumpahnya. Pengangkatannya pun cukup dengan Surat Perintah dari Pejabat
Pemerintah yang memberikan mandat.
PMK 98 memberikan definisi Plt sebagai: (a) pegawai yang ditunjuk untuk
menduduki jabatan struktural di lingkungan Kementerian Keuangan apabila pejabat
definitifnya berhalangan tetap; atau (b) Pegawai yang memiliki kompetensi untuk
menduduki jabatan struktural di lingkungan Kementerian Keuangan, namun belum
memenuhi persyaratan administrasi sesuai ketentuan yang berlaku, dan diangkat
untuk melaksanakan tugas pada suatu jabatan struktural. Lalu, Plh adalah pegawai
yang ditunjuk untuk menduduki jabatan struktural di lingkungan Kementerian
Keuangan apabila pejabat definitifnya berhalangan sementara.
PMK 98 juga memuat beberapa pembatasan wewenang. Di sini, Plt atau Plh malah
tak boleh menetapkan keputusan yang mengikat di bidang kepegawaian seperti
pembuatan penilaian prestasi kerja pegawai, dan penjatuhan hukuman disiplin.
Beberapa bulan sebelum UUAP lahir, Kementerian Hukum dan HAM juga punya
panduan mengenai Plh dan Plt sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum
dan HAM No. 1 Tahun 2014. Dalam beleid ini disebutkan Plh adalah pegawai yang
ditunjuk untuk melaksanakan tugas pejabat struktural yang berhalangan sementara.
Sebaliknya, Plt adalah pegawai yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi
jabatan struktural yang lowong.
PERATURAN TERKAIT
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-23/PJ/2017 Tahun 2017
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2017
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2017
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2017
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 08 Tahun 2017
KLINIK TERKAIT
Kegiatan Usaha Minyak Bumi di Sumur Tua
Bisakah Dilakukan Penyitaan Terhadap Barang Milik BUMD?
Hukumnya Jika Menulis Kata-kata Kasar di Medsos yang Ditujukan . .
Hal-hal yang Perlu Disiapkan Jika Ingin Membuka Usaha Jasa . .
Arti Sumpah Decisoir, Suppletoir, dan Aestimatoire
TANGGAPAN
Belum ada tanggapan
Kirim Tanggapan
NAMA
EMAIL
JUDUL
TANGGAPAN
Privacy &
Terms
Kirim
Disclaimer Comment
Seluruh judul dan isi tanggapan adalah tanggung jawab masing-masing penulis
tanggapan. Redaksi hukumonline berhak untuk menayangkan atau tidak
menayangkan tanggapan dengan mempertimbangkan kepatutan serta norma-
norma yang berlaku.