Disusun Oleh :
1. MUHAMMAD REZZA ( 8111412013 )
2. SILVIA KUMALASARI ( 8111412028 )
3. DINA VELAYATI ( 8111412052 )
4. DINAR BAHARI W ( 8111412059 )
5. MUHAMMAD SYIHABUDIN ( 8111412172 )
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas mata kuliah Perancangan
Undang-Undang tentang Naskah Akademik tentang Peraturan Daerah tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Tegal.
Naskah Akademik sederhana ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Perancangan Undang-Undang, dalam penulisan naskah akademik ini, kami mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Kepada orang tua kami yang senantiasa mendoakan kami, sehingga kami berhasil
menyelesaikan naskah akademik ini
2. Bapak Saru Arifin, S.H.,LLM selaku dosen pembimbing dan pengampu mata kuliah
Perancangan Undang-Undang yang telah memberikan bimbingan kepada kami.
Serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan naskah
akademik ini sehingga naskah akademik ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Kami meyakini bahwa dalam penulisan naskah akademik ini masih banyak kekurangan
dan kekeliruannya, sehingga setiap tegur sapa dan kritik yang dimaksudkan untuk
menyempurnakan atau memperbaiki tulisan naskah akademik ini disambut baik oleh kami
sebagai penulis. Semoga naskah akademik ini bermanfaat bagi mahasiswa dan pihak yang
berkepentingan. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1 Makalah dalam Seminar Nasional Dies UGM ke-58 Pembangunan Wilayah Berbasis
Lingkungan Di Indonesia di Yogyakarta, tanggal 27 Oktober 2007.
1
internasional untuk memperkuat demokrasi dan negara hukum, serta tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Seperti dikutip dari Laurence C. Smith, Might any of the four global
forces of demography, natural resource presure, globalozation and climate
change screech to a halt between now and 2050 thus ruining all of our best
projections" ( Laurence C. Smith, 2011). Pemerintah daerah dalam hal ini
Eksekutif dan DPRD memegang peranan penting dan startegis dalam
menghasilkan Perda yang pro terhadap lingkungan, tidak tumpang tindih dan
harmoni antar perda maupun dengan peraturan perundang-undangan di
atasnya. 2
3
dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta
makhluk hidup lain.
Ketentuan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menetapkan bahwa
pembangunan berkelanjutan sebagai upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan.
Pengelolaan lingkungan hidup memberikan kemanfaatan ekonomi,
sosial, dan budaya serta perlu dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian,
demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan
terhadap kearifan local dan kearifan lingkungan, sehingga lingkungan hidup
Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas
tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Upaya pengelolaan
lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup adalah
pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak
berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Nomor 32 tahun 2009, disebutkan bahwa untuk mewujudkan kualitas
lingkungan hidup yang lebih baik, diperlukan adanya fungsi pengawasan,
pemantauan dan penyidikan. Pengawasan dan penyidikan merupakan salah
satu komponen penting dalam penegakan hukum baik hukum administrasi,
perdata maupun pidana.
4
Dalam melaksanakan pengawasan dan pemantauan kualitas lingkungan
hidup di daerah, Pemerintah Indonesia memiliki Pejabat Pengawas Lingkungan
Hidup Daerah yang disingkat dengan (PPLHD) seperti yang diamanatkan dalam
Undang- Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32
Tahun 2009 bahwa dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, Walikota, atau
Bupati/Walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang
merupakan pejabat fungsional
Salah satu faktor penyebab terpenting yang perlu diperhatikan dalam
proses terjadinya perusakan lingkungan oleh manusia adalah faktor ekonomi.
Secara lebih khusus lagi adalah segi kerakusan manusia, dimana manusia
melakukan eksploitasi tak terbatas terhadap alam. Alam hanya dilihat sebagai
benda penghasil uang. Dunia sekarang ini berada dalam sistem ekonomi lama,
yaitu kapitalisme yang menjunjung tinggi keuntungan dan mengakibatkan
hilangnya nilai kebersamaan.
Sekarang ini diperlukan adanya perubahan sikap manusia secara
mendasar dalam memperlakukan alam. Perubahan itu adalah perubahan nilai,
dari nilai hubungan manusia dengan alam yang bersifat ekonomis ke nilai
hubungan yang dilandasi oleh sikap menghargaialam sebagai bagian dari
hidup manusia. Jadi berdasar pada nilai yang tidak melulu dan hanya
berorientasi keuntungan manusia. Maka diharapkan ada usaha untuk
menemukan suatu sistem ekonomi baru yang sungguh menghargai yang
lemah, yang nampaknya tak berperan dalam kehidupan di dunia ini.
Begitu baiknya alam ini hingga mampu menciptakan spesies-spesies
yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam alam juga tercipta
simbiosis-simbiosis. Tumbuhan, binatang dari yang paling kecil hingga yang
terbesardan manusia, terjalin dalam jaring-jaring rantai makanan. Masing-
masing punya perannya sendiri dalam melestarikan alam ini. Semuanya
membentuk suatu komunitas yang saling tergantung. Inilah yang perlu
sungguh disadari manusia. Hewan, tumbuhan dan segala sesuatu bagian dari
ekosistem merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia.
5
Merusak dan membunuh mereka tanpa perhitungan berarti menghancurkan
manusia sendiri.
Sumberdaya alam dan lingkungan hidup merupakan sumber penting
bagi kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Sumberdaya alam
menyediakan sesuatu yang diperoleh dari lingkungan fisik untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginan manusia, sedangkan lingkungan merupakan tempat
dalam arti luas bagi manusia dalam melakukan aktivitasnya sehingga
pengelolaan sumberdaya alam harus mengacu pada aspek konservasi dan
pelestarian lingkungan.
Pesatnya pembangunan di berbagai sektor di Kota Tegal, selain
meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga dapat menambah beban pada
lingkungan terutama akibat meningkatnya limbah padat, cair, gas serta
eksploitasi sumberdaya alam telah memberikan dampak pada semakin
berkurangnya daya dukung lahan dan lingkungan. Hasil pemantauan kualitas
lingkungan, memperlihatkan kondisi lingkungan di Kota Tegal menunjukkan
adanya kecenderungan penurunan kualitas lingkungan yang terjadi pada
beberapa wilayah kecamatan. Permasalahan lingkungan yang terjadi bervariasi
tergantung kondisi fisik daerah dan kerawanan terhadap suatu bencana.
Berbagai masalah lingkungan alam yang mengarah pada penurunan kualitas
lingkungan di Kota Tegal, seperti pencemaran (air, udara, dan anah), abrasi,
akresi, dan intrusi, serta longsor dan banjir selalu terkait dengan aspek air,
udara, lahan dan hutan, keanekaragaman hayati, serta pesisir dan laut.
Permasalahan lingkungan hidup sampai saat ini cenderung makin
bertambah seiring dengan kondisi kualitas lingkungan hidup yang semakin
menurun dan memprihatinkan. Kondisi ini ditandai dengan bencana alam
yang sering terjadi seperti banjir, tanah longsor, kekeringan dan kelangkaan
air. Selain itu permasalahan lingkungan hidup yang menonjol dan penting
untuk segera mendapat pemecahan antara lain pencemaran yang meliputi
pencemaran kualitas dan penurunan kuantitas air, pencemaran udara dan
kerusakan lingkungan. Sumber utama pencemaran lingkungan adalah
6
kegiatan industri, rumah tangga, pertanian dan peternakan. Buangan limbah
berupa zat-zat pencemar atau logam-logam berat, sisa pestisida, sampah-
sampah rumah tangga, bahan pengawet menjadi permasalahan lingkungan.
Upaya pengendalian lingkungan hidup yang didasarkan pada daya dukung
dan daya tampung lingkungan harus terus dilakukan. Permasalahan
kerusakan lingkungan akan terus bertambah jika kemiskinan dan
pengangguran belum dapat diatasi. Upaya pemerintah menurunkan jumlah
pengangguran dan kemiskinan sesuai target Rencana Pembangunan Jangka
Menengah 2011-2009, masing-masing 5,1 % dan 8,2 % sulit dicapai. Kondisi
lingkungan hidup (LH) di Kota Tegal saat ini cenderung mengalami penurunan
kualitas. Berbagai tindakan manusia yang tidak ramah lingkungan
menyebabkan kerusakan-kerusakan yang akhirnya menjadi salah satu
ancaman bagi masyarakat. Seperti kerusakan hutan akibat penebangan liar,
pembuangan limbah sembarangan atau penambangan galian C tanpa izin.
Kerusakan lingkungan juga bisa terjadi karena perubahan fungsi lahan
pertanian. Luas lahan sawah teririgasi di Kota Tegal pada tahun 2012 sebesar
49.623,00 Ha dan pada tahun 2013 sebesar 47.613,00 Ha dengan demikian
selama periode 2012-2013 terjadi penurunan luas sawah teririgasi sebesar
1,01 %. Luas lahan sawah tadah hujan di Kota Tegal pada tahun 2012 sebesar
13.643,00 Ha dan pada tahun 2013 sebesar 14.829,00 Ha dengan demikian
selama periode 2012-2013 terjadi penurunan luas lahan pertanian
keseluruhan mengalami penurunan sebesar 0,33 %. Pada periode 2012-2013
luas hutan lindung di Kota Tegal seluas 1.371,30 Ha pada tahun 2012 hingga
2011, dan pada tahun 2013 luasnya bertambah menjadi 3.803,80 Ha. Luas
hutan suaka alam di Kota Tegal periode 2012-2013 relatif tetap yakni sebesar
48,50 Ha. Luas Hutan produksi tetap periode 2012-2011 sebesar 47.582,22 Ha
dan pada tahun 2013 turun menjadi 28.033,82 Ha. Hutan produksi terbatas
mulai terbentuk pada tahun 2013 seluas 17.521,80 Ha. Luas hutan rakyat di
Kota Tegal periode 2012-2013 sebesar 3.520,00 Ha, 3.833,00 Ha, 4.117,00
Ha, 4.117,00 Ha dan 1.482,00 Ha. Banyaknya lahan kritis dan kerusakan
7
hutan dapat memacu peningkatan pemanasan global yang menimbulkan
dampak berubahnya waktu musim hujan, musim kering dan meningkatnya
suhu bumi yang berpotensi menimbulkan dampak negatif kehidupan maupun
lingkungan.3
Pada tahun 2010 tercatat lahan kritis di Kota Tegal seluas 13.884 Ha
dan pada tahun 2013 luasnya mencapai 15.710 Ha dan semakin bertambah
tiap tahunnya. Sementara itu upaya-upaya menangani lahan kritis melalui
reboisasi maupun penghijauan dirasa masih kurang. Pada periode 2012-2013,
luas lahan yang direboisasi di wilayah Kota Tegal sebesar 1.172,35 Ha, 906,20
Ha, 1.274,70 Ha, 1.580,90 Ha dan 1.089,70 Ha. Luas lahan penghijauan pada
tahun 2012-2013 adalah seluas 7.586,50 Ha, 7.709,50 Ha, 9.136,50 Ha,
10.086,50 Ha dan 11.441,50 Ha. Perkembangan jumlah penduduk
memerlukan lahan untuk tempat bermukim dan melakukan aktivitas
kehidupan. Akibatnya terjadi daerah kumuh di perkotaan, lahan terbuka hijau
menjadi bangunan, lahan pertanian ( Tegalan dan sawah) menjadi daerah
industri dan perumahan. Masyarakat menebang pohon di daerah hulu dan
membangun rumah pada lereng kemiringan lebih dari 450 , akibatnya terjadi
bencana longsor pada tebing terjal dan banjir pada hilir sungai. Lemahnya
penegakan hukum lingkungan dan ringannya sanksi bagi pelanggar
mengakibatkan sulitnya usaha pelestarian lingkungan.
Secara geografis Kota Tegal memang rawan bencana alam. Wilayah
tersebut terbagi menjadi dua bagian yang rawan bencana, yakni wilayah
selatan dan utara. Wilayah selatan, rawan terhadap terjadinya bencana tanah
lonsor dan angin lisus. Faktor penyebab terjadinya longsor antara lain
banyaknya penebangan hutan secara liar. Hal itu mengakibatkan kawasan
perbukitan yang ada di sana tidak mampu menyerap air saat turun hujan.
Penduduk yang terus bertambah mengakibatkan tekanan yang besar
bagi lingkungan merupakan permasalahan sumberdaya manusia,pertambahan
penduduk mendorong ekonomi dan industri tumbuh pesat untuk memenuhi
9
Propinsi mempunyai 6 kewenangan terutama menangani lintas
Kabupaten/Kota, sehingga titik berat penanganan pengelolaan lingkungan
hidup ada di Kabupaten/ Kota. Dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri No
045/560 tanggal 24 Mei 2002 tentang pengakuan Kewenangan/Positif List
terdapat 79 Kewenangan dalam bidang lingkungan hidup.
Menyikapi situasi tersebut, sejalan dengan amanat Undang Undang
nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, pemerintah daerah wajib membuat peraturan daearah yang mengatur
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk memastikan
bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana
dan/atau program. Instrumen ini mencoba mengatasi kelemahan yang
diutarakan di atas. Kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan
akan lebih efektif dicegah bila sejak proses formulasi Kebijakan, Rencana dan
Program telah dipertimbangkan masalah lingkungan hidup dan ancaman
terhadap keberlanjutannya sesuai konsep sustainable development. Sejalan
dengan Otonomi Daerah, pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah di
bidang pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan
mengandung maksud untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta masyarakat inilah yang dapat
menjamin dinamisme dalam pengelolaan lingkungan sehingga pengelolaan ini
mampu menjawab tantangan tersebut diatas. Mekanisme peran serta
masyarakat ini perlu termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui
mekanisme demokrasi. Jadi dapat dikatakan bahwa salah satu strategi
pengelolaan lingkungan hidup yang efektif di daerah dalam kerangka otonomi
daerah adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan
dan pelestarian lingkungan.
Keikutsertaan pemerintah dalam kelestarian lingkungan hidup
Berdasarkan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab IV tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup Pasal 8 bahwa:
10
Pemerintah menguasai sumber daya alam dan dipergunakan sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat, beserta pengaturannya ada di
tangan pemerintah
11
hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan
perubahan iklim.
Di segi lain pemerintah juga memiliki beberapa kewajiban dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup peraturan ini dijelaskan dalam pasal 10,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, meningkatkan
kesadaran dan tanggungjawab para pengambil keputusan dalam
pengelolaan lingkungan hidup.
2. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, meningkatkan
kesadaran akan hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup.
3. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam
upaya pengelolaan lingkungan hidup.
4. mengembangkan dan menerapkan kebijakan nasional pengelolaan
lingkungan hidup yang mkenjamin terpeliharanya daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup.
5. memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan
hidup.
6. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan dalam bidang
lingkungan hidup.
7. menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskan kepada
masyarakat.
8. memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di
bidang lingkungan hidup.
Tidak hanya pemerintah pusat saja yang berhak untuk melaksanakan
pengelolaan lingkungan hidup akan tetapi pemerintah daerah juga memiliki
wewenang untuk mengolah sumber daya alam yang dimiliki oleh daerahnya
sendiri.
Berdasarkan pasal 12 di jelaskan bahwa :
12
1. untuk mewujudkan keselarasan dan keterpaduan pelaksanaan
kebijakan nasional tentang lingkungan hidup pemerintah melimpahkan
wewenang tertentu kepada perangkat di wilayah.
2. mengikut sertakan peran pemerintah daerah untuk membantu
pemerintah pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di
daerah.
13
masalah lingkungan hidup dan ancaman terhadap keberlanjutannya sesuai
konsep sustainable development. Selain itu, untuk memberikan kepastian
hukum dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan di Daerah serta untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 63 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu adanya sebuah
landasan yang kuat mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam suatu Peraturan Daerah Kota Tegal.
14
keseluruhan sehingga pengaturannya harus secara tegas dan jelas untuk
menghindari permasalahan dalam implementasi pelaksanaannya.
Permasalahan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Kota
Tegal dewasa ini menunjukkan adanya penurunan kualitas lingkungan hidup.
Pemanfaatan lingkungan hidup pada saat ini telah melebihi
kemampuan/beban yang seharusnya boleh diekploitasi, yang secara langsung
ataupun tidak langsung akan mengakibatkan penurunan lingkungan hidup.
Berdasarkan uraian diatas maka diperlukan pengaturan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih mudah dilaksanakan dan
memberikan arahan dengan keterlibatan serta masyarakat secara
berkelanjutan.
Adapun identifikasi dari penyusunan naskah akademis ini adalah :
1. Permasalahan apa yang dihadapi Kota Tegal dalam pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup, serta bagaimana permasalahan tersebut
dapat diatasi ?
2. Mengapa perlu Raperda tentang pengelolaan dan perlindungan
lingkungan hidup sebagai dasar pemecahan masalah tersebut ?
3. Apa yang menjadi dasar pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis
dan yuridis pembentukan Raperda tentang pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup ?
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan dan arah pengaturan dari Raperda tentang pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup ?
15
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu rancangan undang-undang, rancangan peraturan daerah
provinsi, rancangan peraturan daerah kota atau kabupaten sebagai solusi
terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Sesuai dengan
definisi tersebut naskah akademik bertujuan untuk melakukan penelitian atau
pengkajian terhadap suatu masalah yang solusi atas permasalahan tersebut
perlu dibentuk peraturan perundang-undangan. Dengan demikian naskah
akademik berguna sebagai alasan, pedoman, dan arahan dalam membentuk
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan UU No 32 Tahun 2009 Pasal 3, Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidu pdan kelestarian
ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan
hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi
masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. mengantisipasi isu lingkungan global.
16
kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan maka perlu melaksanakan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dengan meningkatkan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup, yang serasi, selaras dan
seimbang untuk mewujudkan ruang wilayah daerah yang memenuhi
kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan, efisien
dalam alokasi investasi, bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam
penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan
masyarakat.
Naskah Akademik ini bertujuan untuk memberikan kajian dan kerangka
filosofis, sosiologis, dan yuridis tentang perlunya Peraturan Daerah tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Tegal. Gambaran yang
tertulis diharapkan dapat menjadi panduan bagi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kota Tegal untuk mengkaji materi Rancangan Peraturan Daerah
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Tegal.
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di
atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Tegal, serta cara-cara mengatasi
permasalahan tersebut.
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
dibentuk Raperda tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan
dalam pengelolaan lingkungan hidup di Kota Tegal.
3. Merumuskan pertimbangan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
pembentukan Raperda tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Kota Tegal.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan pembentukan
17
Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik Peraturan
Daerah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Tegal
adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
4 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Jakarta, Edisi I, hlm. 93-94
18
dilakukan dengan cara menelaah peraturan perundang-undangan (regeling)
dan peraturan kebijakan (beleidsregel) yang bersangkut paut.5
20
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
22
Beberapa sarjana mengusulkan perlunya membangun etika ekologis dan
perlindungan hak-hak hewan sebagai dasar bagi hukum dan kebijakan
lingkungan hidup. Aldo Leopold mengusulkan perlunya konsep etika
tanah (land etic), yaitu aturan perilaku untuk melindungi komunitas
yang tidak saja terdiri atas manusia, tetapi juga mencakup tanah, air,
tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sebuah kebijakan dianggap baik
apabila tidak mengancam integritas, stabilitas, dan keindahan
komunitas. Dengan demikian Leopold menginginkan adanya perlakuan
yang sama terhadap semua makhluk sebagai bagian dari komunitas etik.
3. Teori Paternalisme
Teori Paternalisme mengandung arti bahwa negara memainkan peran
sebagai bapak atau orang tua dalam membimbing perilaku anak-
anaknya. Secara kiasa negara dipandang sebagai bapak atau orang tua,
sedangkan warga negara dipandang sebagai anak-anak. Dan seseorang
melakukan sesuatu berdasarkan kesukaan, tanpa perduli hal tersebut
bersifat negatif atau positif. Secara analogis persoalan perilaku merokok
dan perilaku pengendara mobil dapat diterapkan kedalam konteks
hukum lingkungan. Jika setiap orang diberi kebebasan untuk berbuat
menurut apa yang dikehendakinya (preferences), maka lingkungan hidup
akan terancam.
Perilaku individual manusia sering kali dilatarbelakangi oleh berbagai
motif subjektif yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan kehidupan
bersama dalam masyarakat atau negara. Dengan demikian diperlukan
berbagai peraturan perundang-undangan lingkungan yang dimaksudkan
untuk mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak saja merugikan
dirinya, tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan, serta
mengubah atau mengarahkan kesukaan warga demi kebaikan
masyarakat secara keseluruhan. Agar pendekatan paternalisme tidak
melanggar kebebasan dan hak individual, pengaturan hukum atau
kebijakan yang dibangun atas dasar teori paternalisme diperlukan
23
keterbukaan institusi-institusi pemerintah dan individu-individu
memiliki akses dalam proses politik yang menghasilkan kebijakan
paternalisme negara.
7 Otto Soemarwoto, dalam bukunya Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, 2010, hlm.4.
8
Supriadi. Ibid, hlm.4
24
yang sama itu. Misalnya, air sungai dapat digunakan sekaligus untuk
melakukan proses produksi dalam pabrik, mengangkut limbah, pelayanan
sungai, produksi ikan, dan keperluan rumah tangga.
Menurut Pasal 1 butir (1) Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan hidup
adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
9 Ibid, hlm.53-54
25
b) Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
c) Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
d) Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup, Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen
pengendalian;
e) Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
f) Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan
global;
g) Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h) Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
i) Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang lebih efektif dan responsif;
j) Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik
pegawai negeri sipil lingkungan hidup. Melalui Undang-Undang ini juga,
Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah
daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mensyaratkan bahwa yang
dimaksud perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam undang-
undang meliputi:
27
Tahun 2009 disebutkan bahwa, AMDAL adalah kajian mengenai dampak
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan.
d) Hal baru yang penting terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No.
32 Tahun 2009, antara lain: Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki
sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL; Komisi penilai AMDAL
Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki lisensi AMDAL; Amdal
dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan;
Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, Walikota, Walikota.
Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijabarkan pula bahwa
penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan
fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan /
atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan
pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan
berkelanjutan. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan
bahwa penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang
dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana,
dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan
pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan
berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memperkenalkan
ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti,
pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum
pidana, dan pengaturan memperhatikan azas ultimum remedium yang
mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir
setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.
Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana
formil tertentu, yaitu penindakan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah,
emisi, dan gangguan.
28
Dalam pelaksanaan penegakkan hukum yang terdapat dalam Undang-
Undang ini meliputi prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam
setiap proses perumusan dan penerapan instrumen penanggulangan dan
penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi,
partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Melalui Peraturan Perundangan ini
juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah
daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di
daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penegakan hukum
pidana dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 yakni tindak pidana
pencegahan pencemaran.10
10 Pasal 1 angka (14) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan
hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan.
29
entity kawasan/wilayah tersebut, yang dapat dides-kripsikan secara detil
sebagai berikut11 :
11 I Wayan Suweda, Penataan Ruang Perkotaan Yang Berkelanjutan, Berdaya Saing Dan
Berotonomi, Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 15, No. 2, Juli 2011, Fakultas Teknik Universitas
Udayana, Denpasar, hlm.117
30
Kota berkelanjutan adalah suatu daerah perkotaan yang mampu
berkompetisi secara sukses dalam pertarungan ekonomi global dan mampu
pula mempertahankan vitalitas budaya serta keserasian lingkungan. Lima
prinsip dasar kota berkelanjutan: Environment (Ecology), Economy
(Employment), Equity, Engagement dan Energy. Suatu kota telah memenuhi
kriteria pembangunan berkelanjutan dapat diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri
sebagai berikut12:
Bidang Lingkungan:
12 Ibid, hlm.119-120
31
- peningkatan pelaksanaan pengawasan dan pengendalian, penegakan
hukum, peningkatan kelembagaan serta sarana dan prasarana
pengawasan.
- peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya kelautan dan
perikanan.
- peningkatan adaptasi dan mitigasi terhadap dampak perubahan iklim.
- pengembangan peralatan pemantauan kualitas air.
- pelaksanaan Program Langit Biru, pro-gram Proper, Program Kali Bersih
(Prokasih), Pengelolaan Limbah Do-mestik dan Usaha Skala Kecil,
Pengelolaan Sampah Terpadu, Pengelolaan B3 dan Limbah, penegakan
hukum pidana dan perdata serta administrasi lingkungan.
- telah disusunnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memuat
substansi antara lain (1) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, (2) Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), (3)
Penegasan Pengaturan B3, (4) Pe-nguatan AMDAL dan UKL-UPL, (5) Izin
Lingkungan, (6) Instrumen Eko-nomi Lingkungan, (7) Ekoregion, (8)
Penguatan Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal dalam Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan, (9) Legislasi Hijau, (10) nggaran berbasis
Lingku-ngan, (11) Penguatan Pejabat Penga-was Lingkungan Hidup
(PPLH), (12) Penguatan Audit Lingkungan, dan (13) Penguatan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Bidang Sosial:
- Penanggulangan kemiskinan.
- Pemberdayaan masyarakat sipil.
- Pelaksanaan musrenbang tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota,
provinsi dan nasional.
- Meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia.
32
Bidang Ekonomi:
- Pengendalian inflasi.
- Konsolidasi fiskal.
- Stimulus fiskal, dan
- Memperkuat ketahanan sektor keuangan domestik.
D. Otonomi Daerah
Otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintah Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dengan kewenangan
antara Pemerintah dan pemerintah daerah , termaksud di dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Bahwa kualitas lingkungan hidup yang
semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia
dan mahluk hidup lainnya sehingga perlu di lakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.13 Di dalam Pasal 18 UndangUndang Dasar
1945 diatur tentang Pemerintahan Daerah14, yaitu pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya di tetapkan dengan UndangUndang, dengan memandang
dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara
dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Indonesia
akan di bagi dalam daerah provinsi dan provinsi akan di bagi lagi menjadi
daerah yang lebih kecil . daerah ini bersifat otonom atau bersifat administratif
yang kesemuanya menurut aturan yang di tetapkan dengan Undang-Undang.15
13
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan
Hidup.
14 undang-undang Dasar 1945 pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah
15 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, cetakan ke-1,
2004, hlm 41
33
dam pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta penimbangan
keuangan pusat dan daerah.16
35
Potensi masyarakat untuk mengembangkan kelembagaan keswadayaan
ternyata telah meningkat akibat kemajuan sosial ekonomi masyarakat. Pada
masa depan perlu dikembangkan lebih lanjut potensi keswadayaan
masyarakat, terutama keterlibatan masyarakat pada berbagai kegiatan yang
dapat meningkatkan ketahanan sosial, dan kepedulian mayarakat luas dalam
memecahkan masalah kemasyarakatan termasuk didalamnya masalah
lingkungan, seperti lingkungan tempat tinggal mereka, apakah itu di kawasan
hutan, bantaran sungai, kawasan konservasi, dan lain sebagainya. Poin yang
perlu ditumbuhkan dalam pemberdayaan masyarakat adalah timbulnya
kesadaran bahwa, mereka paham akan haknya atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta sanggup menjalankan kewajiban dan tanggung jawab
untuk tercapainya kualitas lingkungan hidup yang dituntutnya. Kemudian,
berdaya yaitu mampu melakukan tuntutan mendapatkan lingkungan yang
baik dan sehat. Selanjutnya, mandiri dalam kemampuan berkehendak
menjalankan inisiatif lokal untuk menghadapi masalah lingkungan di
sekitarnya. Secara aktif tidak saja memperjuangkan aspirasi dan tuntutan
kebutuhan lingkungan yang baik dan sehat secara terus menerus, tetapi juga
melakukan inisiatif lokal. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan
tidak dapat dianggap sebagai hanya sebagai masyarakat sebagai pemakai yang
pasif saja tetapi masyarakat dapat berdiri dan membuat terobosan baru dalam
pengelolaan lingkungannya.
a. tanggungjawab Daerah;
36
1. Daerah menjamin pemanfaatan sumberdaya alam akan memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup
masyarakat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan;
2. Daerah menjamin hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat; dan
3. Daerah mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumberdaya
alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.
38
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip
partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
39
Kerusakan lingkungan juga bisa terjadi karena perubahan fungsi lahan
pertanian. Luas lahan sawah teririgasi di Kota Tegal pada tahun 2010 sebesar
49.623,00 Ha dan pada tahun 2013 sebesar 47.613,00 Ha dengan demikian
selama periode 2012 2013 terjadi penurunan luas sawah teririgasi sebesar
1,01 %. Luas lahan sawah tadah hujan di Kota Tegal pada tahun 2012 sebesar
13.643,00 Ha dan pada tahun 2013 sebesar 14.829,00 Ha dengan demikian
selama periode 2012 2013 terjadi penurunan luas lahan pertanian
keseluruhan mengalami penurunan sebesar 0,33 %.17
Pada periode 2012 2013 luas hutan lindung di Kota Tegal seluas
1.371,30 Ha pada tahun 2012 hingga 2013, dan pada tahun 2013 luasnya
bertambah menjadi 3.803,80 Ha. Luas hutan suaka alam di Kota Tegal
periode 2012 2013 relatif tetap yakni sebesar 48,50 Ha. Luas Hutan
prodeuksi tetap periode 2012 2013 sebesar 47.582,22 Ha dan pada tahun
2013 turun menjadi 28.033,82 Ha. Hutan produksi terbatas mulai terbentuk
pada tahun 2013 seluas 17.521,80 Ha. Luas hutan rakyat di Kota Tegal
periode 2012 2013 sebesar 3.520,00 Ha, 3.833,00 Ha, 4.117,00 Ha, 4.117,00
Ha dan 1.482,00 Ha.
Pada tahun 2010 tercatat lahan kritis di Kota Tegal seluas 13.884 Ha
dan pada tahun 2013 luasnya mencapai 15.710 Ha. Sementara itu upaya-
upaya menangani lahan kritis melalui reboisasi maupun penghijauan dirasa
masih kurang. Pada periode 2012 2013, luas lahan yang direboisasi di
wilayah Kota Tegal sebesar 1.172,35 Ha, 906,20 Ha, 1.274,70 Ha, 1.580,90 Ha
dan 1.089,70 Ha. Luas lahan penghijauan pada tahun 2012 2013 adalah
Luas pantai di Kota Tegal yang mencapai 1.770 hektare atau 7,24% dari
luas pantai utara Pulau Jawa, terdapat sekira 628 hektare yang terkena
abrasi. Wilayah yang paling parah tingkat abrasinya adalah Desa Kaliwlingi
dan Randusanga Kulon Kecamatan Tegal dan sebagian wilayah Desa Sawojajar
Kecamatan Wanasari. Untuk mengendalikan abrasi, pada tahun 2004
pemerintah Kota Tegal melakukan 2.090.000 batang pohon bakau di 14 desa
di sepanjang pantai Tegal, tetapi keberhasilan yang dicapai baru 65%,
sedangkan sisanya 35% habis diterjang ombak. Pada tahun 2012 ini dilakukan
penanaman kembali 1,7 juta pohon bakau di atas 375 hektar lahan.
Kendati pesisir pantai utara wilayah Kota Tegal terus dihantam abrasi
(penggerusan pantai oleh air laut-red), namun di sisi yang lain di beberapa
kawasan muncul "tanah timbul" akibat penumpukan sedimentasi. Munculnya
tanah timbul sering menjadi sumber konflik dan sengketa warga masyarakat
pesisir. Untuk itu, diperlukan adanya kebijakan pengaturan soal tanah timbul
baik melalui pertaruran daerah (perda) maupun bentuk kebijakan yang lain.
Menurut Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kota Tegal, Drs H. Asmuni, M.Si.,
penanganan persoalan abrasi dan tanah timbul sama peliknya di wilayah
pesisir pantai Kota Tegal. Bencana banjir dan tanah longsor merupakan jenis
41
bencana yang sering terjadi di Kota Tegal. Hampir setiap tahun kabupaten
yang terkenal dengan slogan Berhias itu, selalu mengalami musibah tersebut.
Tak heran, kerugian yang ditimbulkannya mencapai miliaran rupiah. Data dari
Kantor Kesbang dan Linmas Kota Tegal, dalam kurun waktu 1,5 bulan
(Januari hingga pertengahan Februari 2012) telah terjadi 12 kali bencana
alam. Bencana tersebut antara lain terdiri atas empat kali banjir dan angin
lisus, serta dua kali tanah longsor dan kebakaran. Total kerugian yang
ditimbulkan Rp 1,6 miliar. Secara geografis Tegal memang rawan bencana
alam. Wilayah tersebut terbagi menjadi dua bagian yang rawan bencana, yakni
wilayah selatan dan utara. Wilayah selatan, rawan terhadap terjadinya
bencana tanah lonsor dan angin lisus. Faktor penyebab terjadinya longsor
antara lain banyaknya penebangan hutan secara liar. Hal itu mengakibatkan
kawasan perbukitan yang ada di sana tidak mampu menyerap air saat turun
hujan.
42
Persoalan limbah padat maupun cair perusahaan yang dibuang ke
sungai belum memenuhi baku mutu merupakan persoalan lingkungan yang
semakin krusial. Kebutuhan air bersih untuk domestik diperkirakan terus
meningkat, dapat diperoleh dari mata air, air sumur, air sungai, maupun
PDAM. Sungai sebagai penyedia kebutuhan akan bahan baku air bersih bagi
masyarakat, pertanian, dan industri, mengalami penurunan kualitas air
karena limbah industri maupun domestik. Kurangnya pasokan air bersih
memaksa masyarakat menggunakan air tanah. Pemakaian air tanah
berlebihan dan tidak terkontrol akan menyebabkan terjadi penurunan muka
air tanah dan berkurangnya persediaan air tanah, sebagai pensuplai air pada
musim kemarau. Permasalahan sumberdaya buatan terjadi sebagai akibat
meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan berkurangnya ruang terbuka
hijau sehingga mengakibatkan terjadi pencemaran udara terutama pada
lingkungan perkotaan. Di samping itu, tingginya pencemaran perairan (sungai)
karena limbah cair maupun padat yang dibuang ke perairan berasal dari
kegiatan industri, rumah tangga, rumah sakit, peternakan, perikanan dan
pertanian. Untuk mengendalikan pencemaran dilakukan pengujian emisi mobil
penumpang, mobil bus, dan mobil barang sebanyak 4305 buah terbagi atas
1429 di pos Kluwut dan 2876 di pos Bumiayu pada tahun 2013. Jumlah
kendaraan yang diuji pada tahun 2013 sebanyak 4462 buah terbagi atas 1416
di pos Kluwut dan 3046 di pos Bumiayu.
44
B. Ruang Lingkup
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi :
a. perencanaan;
b. pemanfaatan;
c. pengendalian;
d. pemeliharaan;
e. pengawasan;
f. penaatan hukum.
C. Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
1) Perencanaan
2) Pemanfaatan
3) Pegendalian
4) Pencegahan
5) Penanggulangan
6) Pemulihan
7) Pemeliharaan
8) Pengawasan
9) Pembinaan.
D. penataan Hukum
Kepala daerah memberikan sanksi administratif, yang terdiri dari:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
E. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk
mencapai kesepakatan mengenai:
G. Laboratorium Lingkungan
Pengujian parameter kualitas lingkungan untuk mendukung pengelolaan
lingkungan hidup bagi penyedia dan pengguna jasa, dilakukan oleh
laboratorium lingkungan.
berikut :
46
J. Ketentuan Peralihan
Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, seluruh pelaksanaan yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang telah
ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini
18Suparto Wijoyo, 2003, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Airlangga Press, Surabaya, hal 1
19Kusnadi Hardjosoemantri, 2002 Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press,
hal.4
47
secara ekologis ia merupakan bagian dari lingkungan hidup itu sendiri.
Manusia sebagai makhluk sosial yang dilengkapi dengan komponen akal dan
nafsu, akan selalu berusaha untuk melakukan intervensi terhadap lingkungan
hidup melalui berbagai tindakan rekayasa demi memenuhi kebutuhan
hidupnya.
48
para ahli hukum memiliki arti yang sangat strategis, karena pengelolaan
lingkungan hidup tidak mungkin tanpa pengaturan hukum.20
20 Siti Sundari Rangkut, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,
Airlangga University Press, hal 1
49
BAB III
50
1. Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 28 H ayat (1)
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan
Pasal ini memberikan kewajiban negara untuk melindungi, mengormati dan
memenuhinya untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
peruntukkan tempat tinggal, penyediaan lingkungan hdup ang baik, dan
pelayanan kesehtan kepada setiap warga Negara.
51
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
dan kesatuan ekonomi nasional.
52
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dalam bab IX tugas dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah dalam
pasal 63 ayat (3) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
pemerintah kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang untuk :
53
p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat
kabupaten/kota.
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pelestarian Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya
Dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pelestarian
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa urusan
pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
diserahkan sebagian kepada pemerintah daerah berdasarkan prinsip
desentralisasi dan tugas pembantuan.
54
BAB IV
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan nilai-nilai moral atau etika dari bangsa
Indonesia. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik,
merupakan pandangan dan cita hukum bangsa Indonesia berakar pada
Pancasila yang dijunjung tinggi, didalamnya terkandung nilai kebenaran,
keadilan dan kesusilaan serta berbagai nilai lainnya yang dianggap baik
dalam menata kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
55
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas maka landasan filosofis dari
peraturan daerah tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yaitu lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa
kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-Nya
yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar dapat
tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa
Indonesia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan
peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
2. Landasan Sosiologis
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara merupakan kesatuan yang
bulat dan utuh yang rnernberikan keyakinan kepada rakyat dan bangsa
Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai jika didasarkan atas
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, baik dalarn hubungan manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun manusia, dengan manusia, manusia
dengan alam, dan manusia sebagai pribadi, dalam rangka mencapai
kemajuan lahir dan kebahagiaan batin. Antara manusia, masyarakat, dan
lingkungan hidup terdapat hubungan timbal balik, yang selalu harus dibina
dan dikembangkan agar dapat tetap dalam keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan yang dinamis. Oleh karenanya, pembangunan sebagai upaya
sadar dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir
maupun untuk mencapai kepuasan batin, harus dilakukan secara selaras,
serasi, dan seimbang dengan fungsi pelestarian lingkungan hidup dan
lingkungan sosial.
58
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan subsistem, yang berarti juga
meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri. Pembinaan dan
pengembangan subsistem yang satu akan mempengaruhi subsistem yang lain
dan pada akhirnya akan mempengaruhi ketahanan ekosistem secara
keseluruhan. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan hidup menuntut
dikembangkannya suatu sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utama.
Untuk itu, diperlukan suatu kebijakan nasional dan kebijakan daerah
mengenai pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat
asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
3. Landasan Yuridis
Berdasarkan hukum, lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang tempat
negara Republik Indonesia melaksanakan kedaulatan dan hak berdaulatnya.
59
Dalam hal ini lingkungan hidup Indonesia tidak lain adalah wilayah, yang
menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim
tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alam dan kedudukan
dengan peranan strategis yang tinggi nilainya sebagai tempat rakyat dan
bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidu pan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara dalam segala aspeknya. Dengan demikian, wawasan dalam
menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup Indonesia adalah Wawasan
Nusantara.
1) Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2043);
60
3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);
4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pelestarian Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);
5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);
7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 5587),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik lndonesia
61
Tahun 2015 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 5657);
9) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan;
10) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
11) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau kecil;
12) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah;
13) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059);
14) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5025).
15) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
16) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
17) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3294);
62
18) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3441);
19) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3804);
20) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun B3) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853);
21) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3853);
22) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga
Penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar
Pengadilan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3982);
23) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian
Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 267, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4068);
24) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4153);
63
25) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4161);
26) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4737);
27) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4833);
28) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2012
Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5285);
29) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung;
30) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 148 Tahun 2004
tentang Pedoman Pembentukan Kelembagaan Lingkungan Hidup
Daerah;
31) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 27 Tahun 2009
tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis;
32) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 2009
tentang Tata Laksana Perizinan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun Serta Pengawasan Pemulihan Akibat
Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Oleh
Pemerintah Daerah;
64
33) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 2011
tentang Pedoman Materi Muatan rancangan Peraturan Daerah di
Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
34) Peraturan Daerah Kota Tegal Nomor 4 Tahun 2012 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Tegal Tahun 2011-2031.
65
BAB V
A. KETENTUAN UMUM
66
Berdasarkan hal tersebut diatas maka dalam rancangan Peraturan
Daerah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, substansi
ketentuan umum antara lain meliputi :
37.Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola
lingkungan hidup secara lestari.
38.Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan
tanah.
71
39.Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air,
sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara.
41.Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk
dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu.
42.Kriteria mutu air adalah tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air.
43.Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
44.Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadarunsur pencemar
dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari
suatu usaha dan atau kegiatan.
72
48.Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL
dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai
prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan;
49.Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi
teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan;
51.Kriteria Baku Kerusakan Laut adalah ukuran batas perubahan sifat fisik
dan/atau hayati lingkungan laut yang dapat ditenggang;
52.Status mutu laut adalah tingkatan mutu laut pada lokasi dan waktu
tertentu yang dinilai berdasarkan baku mutu air laut dan/atau kriteria
baku kerusakan laut;
53.Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,
zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut;
54.Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dalam
suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya kedalam udara
ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai
unsur pencemar;
55.Gas Rumah Kaca selanjutnya disebut GRK adalah gas yang terkandung
dalam atmosfer baik alami maupun antropogenik, yangmenyerap dan
memancarkan kembali radiasi inframerah;
56.Emisi Gas Rumah Kaca adalah lepasnya GRK ke atmosfer pada suatu
area tertentu dalam jangka waktu tertentu;
73
57.Kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat
dasar tanah yang melampaui kriteria baku kerusakan tanah;
74
perusakan lingkungan hidup yang dilakukan baik oleh masyarakat umum,
kegiatan usaha baik badan usaha swasta maupun badan usaha milik
pemerintah. Sedangkan norma perilaku merupakan aturan yang berisi
perintah, larangan, dispensasi dan izin terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Sistematika muatan materi Peraturan Daerah
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup oleh pemerintah
kota Tegal adalah sebagai berikut :
PERENCANAAN
PEMANFAATAN
PENCEGAHAN
a. Pencegahan
1) Baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan
Untuk menentukan terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan
hidup ditetapkan Baku mutu lingkungan dan kriteria baku kerusakan.
Baku mutu lingkungan hidup meliputi baku mutu ambien, baku mutu
emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan; dan baku
mutu efluen. Kriteria baku kerusakan antara lain meliputi kerusakan tanah
akibat kegiatan biomassa, kerusakan terumbu karang.
2) Amdal dan UKL/UPL
Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki
dokumen Amdal untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan.
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan tidak menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki dokumen UKL
dan UPL untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
3) Perizinan
Pejabat yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan wajib memperhatikan rencana tata ruang, pendapat masyarakat,
76
dan pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang
berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut.
Pejabat orang berwenang menerbitkan izin wajib mengumumkan setiap
permohonan dan keputusan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang diduga berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
Pejabat yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan atau
kegiatan wajib menolak permohonan izin apabila permohonan izin tidak
dilengkapi dengan dokumen AMDAL atau UKL dan UPL.
Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib mencantumkan
persyaratan dalam RKL dan RPL atau UKL dan UPL.
Usaha dan atau kegiatan dapat dibatalkan izinnya apabila persyaratan yang
diajukan dalam permohonan izin terbukti mengandung cacat hukum,
kekeliruan, penyalahgunaan, ketidak benaran, atau pemalsuan data,
dokumen, dan/atau informasi.
4) Instrumen Ekonomi
Pemerintah mendorong pelaku usaha agar melestarikan lingkungan dengan
instrumen ekonomi.
Instrumen ekonomi meliputi insentif ekonomi, ekolabel, produksi bersih,
izin yang dapat diperjual belikan, sistem jaminan dan pengembalian,
perbankan hijau, pasar modal hijau, sistem manajemen lingkungan,
dan/atau syarat keberhasilan.
b. Penanggulangan
Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilakukan antara
lain melalui pemberian informasi dan peringatan pencemaran dan/atau
kerusakan, pelokalisiran pencemaran atau kerusakan, dan/atau penghentian
sumber pencemaran atau kerusakan. Dalam hal terjadi pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan, Pemerintah sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya masing-
masing sesegera mungkin melakukan penanggulangan;
77
c. Pemulihan
Tindakan pemulihan dilakukan apabila terjadi pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup. Tindakan pemulihan meliputi pembersihan
lingkungan (clean up), remediasi, dan/atau rehabilitasi.
PEMELIHARAAN
78
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan
limbah bahan berbahaya dan beracun wajib melakukan pengelolaan limbah
bahan berbahaya dan beracun yang dihasilkannya.
A. Hak
1. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai
bagian dari hak asasi manusia.
80
2. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses
informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
B. Kewajiban
C. Larangan
81
1) melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup;
a. sosialisasi;
82
b. pendidikan dan pelatihan; dan
C. KETENTUAN PERALIHAN
83
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari apa yang disajikan dalam naskah akademik ini dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Landasan Filosofis:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 28 H
ayat (1) menyebutkan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Negara bertanggungjawab melindungi segenap bangsa Indonesia
melalui penyelenggaraan kebutuhan dasar berupa penyediaan lingkungan
hidup yang baik yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup
sejalan dengan semangat demikrasi, ekonomi, otonomi daerah, dan
keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Landasan filosofis dari peraturan daerah tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yaitu lingkungan hidup Indonesia yang
84
dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa
Indonesia merupakan karunia dan rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan
dikembangkan kemampuannya agar dapat tetap menjadi sumber dan
penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa Indonesia serta makhluk hidup
lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
Secara ekologis makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya berada
dalam hubungan saling ketergantungan dan saling keterkaitan antara satu
dengan yang lainnya. Oleh karena itu semua organisme dan makhluk
hidup serta benda-benda abiotis lainnya harus memperoleh martabat yang
sama. Cara pandang ini mengandung makna bahwa dalam pengelolaan
lingkungan hidup dituntut adanya penghormatan, pemenuhan, dan
perlindungan yang sama terhadap hak yang sama untuk hidup dan
berkembang yang tidak hanya berlaku bagi semua makhluk hayati tetapi
juga bagi yang non hayati. Hak semua bentuk kehidupan untuk hidup
adalah sebuah hak universal yang tidak bisa diabaikan. Manusia
sebagai salah satu spesies dalam ekosistem harus mengakui bahwa
kelangsungan hidupnya dan spesies lainnya tergantung dari
kepatuhannya pada prinsip-prinsip ekologis.
2. Landasan Sosiologis
Lingkungan hidup merupakan hal yang sangat berdampingan dengan
kehidupan manusia. Memiliki peranan yang sangat vital dalam berbagai
kegiatan social yang dilakukan oleh manusia, mulai dari ia lahir sampai
menghasilkan keturunan. Maka Lingkungan hidup yang baik merupakan
hal terpenting demi kelangsungan hidup manusia, karena apabila kondisi
lingkungan buruk, kehidupan manusia saat ini maupun dimasa mendatang
dapat berjalan buruk pula. Berdasarkan pemaparan diatas, maka jelas
merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk menjaga
lingkungan hidup disekitarnya.
85
3. Landasan Yuridis
Dalam sebuah Negara hukum pada asasnya setiap tindakan pemerintah
harus dilakukan berdasrkan kewenangan yang diberikan oleh hukum.
Suatu tindakan pemerintahan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan
adalah berakibat batal demi hukum. Dalam melaksanakan salah satu
fungsi pemerintahan, yaitu membentuk peraturan daerah tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup , pemerintah kota Tegal
menggunakan dasar-dasar kewenangan .
Luasnya lingkup muatan materi yang akan diatur dalam peraturan ini yang
meliputi ketentuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai
dengan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan pengeloaan
lingkungan hidup. Peraturan daerah ini bertujuan untuk melakukan kebijakan
dalam perlindungan dan pengelolaan menjamin kelestarian fungsi lingkungan
hidup dalam pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan maka perlu melaksanakan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, dengan meningkatkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup, yang serasi, selaras dan seimbang untuk mewujudkan
ruang wilayah daerah yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan
senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam alokasi investasi, bersinergi
dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk
tercapainya kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan peraturan perundang-
undangan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah
mengamanahkan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk segera
melakukan kebijakn berupa pembentukkan peraturan daerah yang mengatur
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di tiap-tiap daerah.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pemerintah kota Tegal segera
menetapkan Peraturan Daerah yang mengatur tentang penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kota Tegal.
86
6.2 Saran
Agar pelaksanaan penyusunan Peraturan Daerah tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat dilaksanakan secara baik,
disarankan menyusun suatu peraturan daerah tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup kota Tegal, hal ini dimaksudkan untuk
mengatur pengelolaan lingkungan hidup secara khusus di kota Tegal yang
mana pengaturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada saat
ini mengacu kepada UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan hidup, memberikan kewenangan kepada tiap-tiap
daerah untuk mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di
daerahnya masing-masing.
87
DAFTAR PUSTAKA
88
Siti Sundari Rangkut. 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan
Lingkungan Nasional. Airlangga University Press.
89
LAMPIRAN
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KOTA TEGAL
NOMOR . TAHUN .
TENTANG
WALIKOTA TEGAL,
90
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu menetapkan
peraturan daerah tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
Mengingat :
1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (3)
dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3274);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pelestarian
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3419);
5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3888);
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4377);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
91
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
lndonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik lndonesia Nomor 5587), sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik lndonesia Tahun 2015 Nomor 24,
Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor
5657);
9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang Perikanan;
10. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725);
11. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil;
92
12. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah;
13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059);
14. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas
dan angkutan jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5025).
15. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
16. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3294);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang
Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3441);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (Lembaran
93
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 15,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3804);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun B3)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan atas peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang
Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Hidup di Luar Pengadilan ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 113, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3982);
23. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang
Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
267, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4068);
24. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4153);
94
25. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4161);
26. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 4737);
27. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
28. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun
2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285);
29. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung;
30. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 148
Tahun 2004 tentang Pedoman Pembentukan Kelembagaan
Lingkungan Hidup Daerah;
31. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 27
Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis;
32. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30
Tahun 2009 tentang Tata Laksana Perizinan dan
Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun Serta Pengawasan Pemulihan Akibat Pencemaran
95
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Oleh Pemerintah
Daerah;
33. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 15
Tahun 2011 tentang Pedoman Materi Muatan rancangan
Peraturan Daerah di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
34. Peraturan Daerah Kota Tegal Nomor 4 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tegal Tahun 2011-
2031.
Dengan Persetujuan Bersama
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Definisi
Pasal I
96
7. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Kota Tegal yang
selanjutnya disebut BPMPT Kota Tegal adalah Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang menyelenggarakan UrusanPemerintahan di bidang
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu.
8. Orang adalah orang perseorangan dan/atau kelompok orang
dan/atau badan hukum.
9. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam
strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup
serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan.
10. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semuabenda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
11. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan
kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup.
12. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri
iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia
dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan
lingkungan hidup.
13. Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan dan pengawasan.
14. Hukum Lingkungan adalah serangkaian norma yang mengatur
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan
makhlukhidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
15. Penaatan Hukum Lingkungan adalah upaya untuk mendorong
masyarakat, pelaku usaha/kegiatan, Pemerintah Daerah untuk
mentaati peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
16. Penegakan Hukum Lingkungan adalah upaya untuk mencapai
ketaatan terhadap hukum lingkungan, melalui pengawasan dan
penerapan sanksi.
17. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan
ekonomi untuk mendorong Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau
setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
18. Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup adalah rangkaian upaya untuk
memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup.
97
19. Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui
bakumutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
20. Perusakan Lingkungan Hidup adalah tindakan orang yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat
fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga
melampauikriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
21. Kerusakan Lingkungan Hidup adalah perubahan langsung dan/atau
tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.
22. Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang selanjutnya disebut KLHS
adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh,
danpartisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau
program.
23. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup
lain dan keseimbangan antar keduanya.
24. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan
hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang
masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
25. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya
disebut Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
26. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut UKL-UPL adalah
pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan
yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup, yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usahadan/atau kegiatan.
27. Surat Pernyataan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan hidup
adalah Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut SPPL, adalah
pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan untukmelakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau
kegiatannya di luar usahadan/atau kegiatan yang wajib amdal atau
UKL-UPL.
28. Baku Mutu Lingkungan Hidup adalah ukuran batas ataukadar
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada
98
dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
suatu sumberdaya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
29. Perubahan Iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung
atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan
perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga
berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada
kurunwaktu yang dapat dibandingkan.
30. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disebut B3 adalah
zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi,
dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan
hidup manusia dan makhluk hidup lain.
31. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
32. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disebut
Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang
mengandung B3.
33. Pengelolaan Limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup
pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan limbah B3.
34. Organisasi Lingkungan Hidup adalah kelompok orang yang
terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan
dankegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup.
35. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang
memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya
perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
36. Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan diantara dua pihak
atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah
berdampak pada lingkungan hidup.
37. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola
lingkungan hidup secara lestari.
38. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan
tanah.
39. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air,
sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara.
40. Pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan,
penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air untuk
menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air.
41. Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk
dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu.
42. Kriteria mutu air adalah tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air.
99
43. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
44. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadarunsur
pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke
dalam sumber air dari suatu usaha dan atau kegiatan.
45. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkanya
makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup olehj kegiatan manusia sehingga melampaui baku
mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
46. Laboratorium lingkungan adalah laboratorium yang mempunyai
sertifikat akreditasi laboratorium pengujian parameter kualitas
lingkungan dan mempunyai identitas registrasi.
47. Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan
troposfir yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia,
makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.
48. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-
UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan;
49. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh
instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan;
50. Kerusakan laut adalah perubahan fisik dan/atau hayati laut yang
melewati kriteria baku kerusakan laut;
51. Kriteria Baku Kerusakan Laut adalah ukuran batas perubahan sifat
fisik dan/atau hayati lingkungan laut yang dapat ditenggang;
52. Status mutu laut adalah tingkatan mutu laut pada lokasi dan waktu
tertentu yang dinilai berdasarkan baku mutu air laut dan/atau
kriteria baku kerusakan laut;
53. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,
zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut;
54. Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan
dalam suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya
kedalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai
potensi sebagai unsur pencemar;
55. Gas Rumah Kaca selanjutnya disebut GRK adalah gas yang
terkandung dalam atmosfer baik alami maupun antropogenik,
yangmenyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah;
56. Emisi Gas Rumah Kaca adalah lepasnya GRK ke atmosfer pada suatu
area tertentu dalam jangka waktu tertentu;
57. Kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat
dasar tanah yang melampaui kriteria baku kerusakan tanah;
100
58. Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji,
buah, daun, ranting, batang,dan akar, termasuk tanaman yang
dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan, dan hutan tanaman;
59. Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya
tanah untuk menghasilkan biomassa;
60. Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada
suatu sumber air, untuk menerima masukan beban pencemaran
tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar;
61. Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk aktivitas yang dapat
menimbulkan perubahan terhadap rona lingkungan hidup serta
menyebabkan dampak terhadap lingkungan hidup;
62. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan adalah orang yang
bertanggung jawab atas suatu usaha dan/atau kegiatan yang
dilaksanakan;
63. Pengumpulan limbah B3 skala Kota adalah kegiatan mengumpulkan
limbah B3 dari penghasil limbah B3 yang sumbernya berada dalam 1
(satu) Kota Tegal.
Bagian Kedua
Asas
Pasal 2
Bagian Ketiga
Tujuan
101
Pasal 3
Bagian Kempat
Kedudukan
Pasal 4
Bagian Kelima
Ruang Lingkup
Pasal 5
BAB II
TUGAS DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 6
(1) Tugas dan wewenang Pemerintah Daerah dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan secara komprehensif, terpadu,
konsisten melalui kebijakan:
a. menetapkan kebijakan lingkungan hidup tingkat Kota ;
(3) Ketentuan lebih lanjut dalam penetapan kegiatan dan rencana program
sebagai pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Walikota.
BAB III
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Kesatu
Perencanaan
Paragraf 1
Umum
Pasal 7
Paragraf 2
Inventarisasi Lingkungan Hidup
Pasal 8
(1) Pemerintah Daerah wajib melakukan inventarisasi lingkungan hidup
sebagai dasar untuk:
a. penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
daerah;
b. penetapan status lingkungan hidup berdasarkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup; dan
c. memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya alam.
(2) Ruang lingkup inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. potensi dan ketersediaan sumber daya alam;
b. jenis sumber daya alam yang dimanfaatkan;
105
c. bentuk penguasaan sumber daya alam;
d. pengetahuan pengelolaan sumber daya alam;
e. bentuk kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup; dan
f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
Paragraf 3
Penyusunan dan Penetapan RPPLH
Pasal 9
(1) Pemerintah Daerah wajib menyusun perencanaan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(2) RPPLH Kota disusun berdasarkan:
a. RPPLH Provinsi;
b. inventarisasi lingkungan hidup.
(3) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
dengan memperhatikan:
a. keanekaragaman karakter dan fungsi ekologis;
b. sebaran penduduk;
c. sebaran potensi sumberdaya alam;
d. kearifan lokal; dan
e. perubahan iklim.
(4) RPPLH paling kurang memuat rencana tentang:
a. kerangka hukum pengelolaan lingkungan hidup;
b. nilai ekonomi sumberdaya alam;
c. pemanfaatan lahan kaitannya dengan tata ruang dan kualitas
lingkungan hidup;
d. pengelolaan sumberdaya air permukaan;
e. pengelolaan sumberdaya air tanah dan hidrogeologi;
f. pengelolaan sumberdaya hutan, perkebunan dan pertanian;
g. pengelolaan keanekaragaman hayati;
h. pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir;
i. pengelolaan sumberdaya pertambangan mineral, serta minyak dan gas;
j. rumusan strategi pengelolaan kualitas air;
k. rumusan strategi pengelolaan kualitas udara;
l. rumusan strategi pengelolaan sampah;
m. rumusan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim;
n. analisis pertumbuhan penduduk dan perubahan kehidupan sosial yang
berdampak terhadap lingkungan hidup;
106
o. rumusan strategi kemampuan laboratorium dalam menunjang program
pemantauan lingkungan; dan
p. pengembangan sistem informasi lingkungan.
Pasal 10
(1) RPPLH ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
(2) RPPLH dapat ditinjau kembali paling lambat 5 (lima)tahun 1 (satu) kali.
Bagian Kedua
Pemanfaatan
Pasal 11
(1) Pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan berdasarkan RPPLH.
(3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup Kota dan ekoregion
tingkat Kota ditetapkan oleh Walikota,dengan terlebih dahulu
berkoordinasi kepada Gubernur.
Bagian Ketiga
Pengendalian
Paragraf 1
Umum
Pasal 12
(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
107
(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. pencegahan;
b. penanggulangan; dan
c. pemulihan.
Paragraf 2
Pengendalian Pencemaran Air
Pasal 13
(1) Pengendalian pencemaran air meliputi pengaturan tentang pencegahan,
penanggulangan serta pemulihan.
(2) Dalam rangka pengendalian pencemaran air, Walikota berwenang untuk:
a. melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar;
b. menetapkan daya tampung beban pencemaran;
c. menetapkan kelas air pada sumber air skala Kota ;
d. menetapkan persyaratan air limbah untuk aplikasi pada tanah;
e. menetapkan persyaratan pembuangan air limbah ke airatau sumber air;
f. memantau kualitas dan kuantitas air pada sumber air; dan
g. memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air.
Pasal 14
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang air
limbah ke air atau sumber air wajib melakukan pengolahan sampai
memenuhi baku mutu air limbah;
(2) Tata cara dan persyaratan untuk pembuangan air limbah ditetapkan
dengan Peraturan Walikota.
Pasal 15
(1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan sarana dan prasarana instalasi
pengolahan air limbah terpadu untuk kegiatan domestik.
(2) Pemerintah Daerah dapat mengoperasikan sarana dan prasarana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan industri.
Paragraf 3
Pengendalian Pencemaran Udara
Pasal 16
(1) Pengendalian pencemaran udara meliputi:
a. pengendalian pencemaran udara ambien;
b. pengendalian pencemaran emisi; dan
c. pengendalian tingkat gangguan lain pada media udara.
(2) Pengendalian pencemaran udara ambien, emisi dan gangguan lain tersebut
dilakukan melalui kegiatan:
a. pencegahan pencemaran udara;
b. penanggulangan pencemaran udara; dan
c. pemulihan mutu udara.
Pasal 17
Dalam rangka pengendalian pencemaran udara, Walikota berwenang untuk:
a. melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar;
b. melakukan pemantauan kualitas udara ambien, kualitas udara dalam
ruangan, emisi sumber bergerak, emisi sumber tidak bergerak dan
tingkat gangguan lain skala Kota ;
c. melakukan pengujian emisi gas buang dan kebisingan kendaraan
bermotor lama secara berkala;
d. melakukan koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara
skala Kota ;
109
e. melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggungjawab usaha
dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinyapencemaran
udara dari sumber bergerak dan tidak bergerak skala Kota .
Pasal 18
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatanyang mengeluarkan
emisi dan/atau gangguan ke udara ambien, wajib:
a. menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi dan baku tingkat
gangguan yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan yang
dilakukannya;
b. melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara
yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;
c. memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam
rangka upaya pengendalian pencemaran udara dalam lingkup usaha
dan/atau kegiatannya.
Pasal 19
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatanyang mengeluarkan
emisi dari sumber tidak bergerak, wajib:
a. membuat cerobong emisi yang dilengkapi dengan fasilitas pengendali
pencemaran udara, sarana pendukung dan alat pengaman;
b. memasang alat ukur pemantauan yang meliputi kadar dan laju alir
volume untuk setiap cerobong emisi;
c. menyampaikan laporan hasil pemantauan setiap 3 (tiga) bulan kepada
Walikota;
d. melaporkan kepada Walikota apabila ada kejadian tidaknormal dan/atau
dalam keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi
terlampaui.
Pasal 20
(1) Setiap orang yang menyebabkan terjadinya pencemaranudara, wajib
melakukan upaya penanggulangan dan pemulihan, termasuk dalam
keadaan darurat.
(2) Pedoman teknis upaya penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara
ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
(3) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan hidup dilarang membuang mutu emisi melampaui
ketentuan yang telah ditetapkan baginya dalam izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan.
Paragraf 4
Pengendalian Pencemaran Limbah B3
Pasal 21
(1) Pengelolaan limbah B3 ditujukan untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yangdiakibatkan oleh
110
limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah
tercemar.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatanyang menghasilkan
limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara
langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengolahan terlebih
dahulu.
(3) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan
limbah B3 yang dihasilkannya.
(4) Dalam hal penghasil limbah B3 tidak mampu melakukansendiri
pengelolaan limbah B3, maka pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain
yang berizin.
(5) Setiap kegiatan penyimpanan sementara limbah B3 wajib mendapat izin
dari Walikota.
(6) Setiap kegiatan pengumpulan limbah B3 skala Kota kecuali minyak
pelumas/oli bekas, wajib mendapat izin dari Walikota.
(7) Walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus
dipenuhi oleh setiap kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan
ayat (6).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan serta kegiatan pengelolaan
limbah B3 skala Kota akan diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 22
Dalam rangka pengendalian pencemaran limbah B3, Walikota wajib:
a. melakukan pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbahB3;
b. melakukan pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran
limbah B3;
c. melakukan pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat;
d. melakukan pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah
B3;
Pasal 23
Dalam rangka pengendalian pencemaran limbah B3, Walikota berwenang
untuk:
a. memberi izin penyimpanan sementara limbah B3 di industri atau usaha
suatu kegiatan;
b. memberi izin pengumpulan limbah B3 skala Kota ,kecuali minyak
pelumas/oli bekas;
c. memberi izin lokasi pengolahan limbah B3;
d. memberikan rekomendasi dan pertimbangan teknis pengelolaan limbah
B3 di wilayah Kota Tegal.
111
Paragraf 5
Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan pesisir dan laut
Pasal 24
(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan pesisir dan laut bertujuan
untuk mencegah atau mengurangi turunnya mutu pesisir dan laut
dan/atau rusaknya sumberdaya pesisir dan laut.
(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan pesisir dan laut didasarkan
pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan pesisir dan laut serta
status mutu laut sesuai dengan ketentuanperaturan perundangan-
undangan.
Pasal 25
Dalam rangka pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan pesisir dan laut,
Walikota berwenang untuk:
a. melakukan pengaturan terhadap pencegahan pencemarandan perusakan
pesisir dan laut skala Kota ;
b. melakukan Pengaturan terhadap pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan pesisir dan laut skala Kota ;
c. menetapkan lokasi untuk pengelolaan kawasan konservasi;
d. melakukan pengawasan penaatan instrumen pengendalian pencemaran
dan/atau kerusakan pesisir dan laut skala Kota ;
e. melakukan pemantauan kualitas lingkungan pesisir dan laut skala Kota
;
f. melakukan pengaturan terhadap monitoring kualitas lingkungan pesisir
dan laut skala Kota ;
g. melakukan penegakan hukum terhadap peraturan pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan pesisir dan laut yangdikeluarkan oleh
Kota atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.
Pasal 26
(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan
pencemaran dan/atau perusakan laut;
(2) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib
melakukan pemulihan mutu laut;
(3) Biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan laut serta
pemulihan mutu laut dibebankan kepada penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan.
Paragraf 6
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Akibat Kebakaran
Hutan dan/atau Lahan
Pasal 27
Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan tanah akibat kebakaran hutan
dan/atau lahan bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan tanah akibat
kebakaran hutan dan/atau lahan.
112
Paragraf 7
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Akibat
Kegiatan Pertambangan
Pasal 28
(1) Pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan
pertambangan dilakukan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang
ditetapkan oleh Walikota.
(2) Walikota dapat menetapkan kriteria kerusakan lingkungan dan baku mutu
limbah akibat kegiatan pertambangan.
(3) Walikota melakukan pemantauan terhadap pencemaran dan kerusakan
lingkungan akibat kegiatan pertambangan.
Paragraf 8
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Untuk Kegiatan
Produksi Biomassa
Pasal 29
Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan tanah untuk produksi
biomassa bertujuan mencegah terjadinya kerusakan tanah yang dapat
mengganggu kegiatan produksi biomassa.
Pasal 30
(1) Dalam rangka pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan tanah untuk
kegiatan produksi biomassa, Walikota berwenang untuk :
a. Penetapan kriteria baku kerusakan lahan dan/atau tanah;
b. Penetapan kondisi dan status kerusakan lahan dan/atau tanah;
c. Pelaksanaan pengawasan usaha dan/atau kegiatan yangmengakibatkan
kerusakan tanah sehingga dapat mengganggu kegiatan produksi
biomassa.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan kerusakan dan
pemulihan tanah berdasarkan perundangan-undangan.
Paragraf 9
Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Bencana
Alam
Pasal 31
Penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat bencana
bertujuan untuk mengembalikan kelestarian fungsi lingkungan pasca bencana
alam.
Paragraf 10
Pencegahan
Pasal 32
Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup,
113
terdiri atas:
a. KLHS;
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. Amdal;
f. UKL-UPL dan SPPL;
g. perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup; dan
l. audit lingkungan hidup.
Pasal 33
(1) Walikota wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau
program.
(2) KLHS wajib dilaksanakan dalam penyusunan dan evaluasi :
a. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota , Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) Kota dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD); dan
b. Kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbulkan
dampak dan/atau risiko lingkungan hidup sesuai dengan daya dukung
dan daya tampung lingkungan.
(3) Penyelenggaraan KLHS untuk RTRW Kota , RPJP Kota , RPJMD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Pasal 34
(1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan
masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada
KLHS.
(2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksudpada ayat (1)
ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup.
(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan tata ruang wilayah mengacu
kepada perundangan-undangan.
Pasal 35
(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup, diukur dari baku
mutu lingkungan hidup.
(2) Baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
114
a. baku mutu air;
b. baku mutu air limbah;
c. baku mutu air laut;
d. baku mutu udara ambien;
e. baku mutu emisi;
f. baku mutu gangguan; dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(3) Setiap orang dilarang untuk membuang limbah ke media lingkungan
hidup, kecuali:
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
b. mendapat izin Walikota sesuai dengan kewenangannya, berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.
Pasal 36
(1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
(2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku
kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim.
(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem, meliputi:
a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan;
d. kriteria baku kerusakan mangrove;
e. kriteria baku kerusakan padang lamun;
f. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
g. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada
parameter, meliputi :
a. kenaikan temperatur;
b. kenaikan muka air laut;
c. badai; dan/atau
d. kekeringan.
Pasal 37
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup, wajib memiliki Amdal.
(2) Amdal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun oleh Pemrakarsa
pada tahap perencanaan suatu usaha dan/atau kegiatan.
(3) Dokumen Amdal disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat,
berdasarkan prinsip pemberian informasiyang transparan dan lengkap serta
diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), meliputi :
115
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalamproses Amdal.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib
dilengkapi dengan Amdal berikut tatacara penyusunannya, berpedoman
pada ketentuan perundang-undangan.
Pasal 38
(1) Walikota membentuk Komisi Penilai Amdal Kota .
(2) Pemerintah Daerah berwenang melaksanakan penilaian Amdal bagi jenis
usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap
lingkungan hidup di daerah, sesuai dengan ketentuanperundang-
undangan.
(3) Dalam hal lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan tidak sesuai dengan
rencana tata ruang, dokumen Amdal tidak dapat dinilai dan wajib
dikembalikan kepada pemrakarsa.
(4) Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menilai
dokumen Amdal untuk usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
(5) Komisi Penilai Amdal menyampaikan hasil penilaian akhir dokumen Andal
dan RKL-RPL yang dituangkan dalam rekomendasihasil penilaian Amdal
kepada Walikota.
(6) Berdasarkan rekomendasi Komisi Penilai Amdal, Walikota menetapkan
keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup.
(7) Keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(6), digunakan sebagai dasar untuk:
a. memperoleh izin lingkungan; dan
b. melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
Pasal 39
(1) Pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan berkewajiban menyampaikan
pelaporan pelaksanaan RKL-RPL kepada Walikota setiap 6 (enam) bulan.
(2) Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakanpengawasan
terhadap implementasi RKL-RPL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang
wajib dilengkapi Amdal di Daerah.
Pasal 40
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib
Amdal, wajib memiliki UKL-UPL atau SPPL.
(2) Walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi
dengan UKL-UPL atau SPPL sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan.
(3) Pemeriksaan UKL-UPL dan penerbitan rekomendasi UKL-UPL dilakukan
oleh BPLH.
(4) Pemeriksaan SPPL dan pemberian persetujuan SPPL dilakukan oleh BPLH.
116
(5) Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakanpengawasan
terhadap pelaksanaan UKL-UPL dan SPPL di Daerah.
(6) Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (3), digunakan
sebagai dasar untuk:
a. memperoleh izin lingkungan; dan
b. melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
(7) Persetujuan SPPL sebagaimana dimaksud pada ayat (4), digunakan sebagai
dasar untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
Pasal 41
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL
wajib memiliki izin lingkungan, sesuai ketentuan perundang-undangan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh
Walikota sesuai kewenangan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan
hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha
dan/atau kegiatan.
(4) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat:
a. persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam keputusan kelayakan
lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL;
b. persyaratan dan kewajiban yang ditetapkan oleh Walikota; dan
c. jangka waktu izin lingkungan.
(5) Jangka waktu izin usaha sama dengan jangka waktu izin lingkungan.
(6) Walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin
lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapidengan Amdal atau
UKL-UPL.
(7) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat
hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau
pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam
keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau
rekomendasi UKL-UPL; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.
(8) Dalam hal izin lingkungan dicabut, maka izin usaha dan/atau kegiatan
dibatalkan.
(9) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan,
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengajukan
permohonan perubahan izin lingkungan.
(10) Tata cara pencabutan dan pembatalan izin lingkunganserta permohonan
perubahan izin lingkungan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
117
Pasal 42
(1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah Daerah
mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup,
meliputi:
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
b. pendanaan lingkungan hidup.
(2) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
b. penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto
yang mencakup penyusutan sumberdaya alam dan kerusakan
lingkungan hidup;
c. internalisasi biaya lingkungan hidup.
(3) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, meliputi:
a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;
b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan
lingkungan hidup; dan
c. dana amanah/bantuan untuk konservasi.
Pasal 43
Setiap penyusunan ketentuan perundang-undangan di Daerah wajib
memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 11
Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 44
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tegal wajib
mengalokasikan anggaran yang memadaiuntuk membiayai:
a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup; dan
c. pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnyatelah mengalami
pencemaran dan/atau kerusakan.
Paragraf 12
Analisis Risiko Lingkungan Hidup
Pasal 45
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan
kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib
melakukan analisis risiko lingkungan hidup.
(2) Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
118
a. pengkajian risiko;
b. pengelolaan risiko; dan/atau
c. komunikasi risiko.
Paragraf 13
Audit Lingkungan Hidup
Pasal 46
(1) Pemerintah Daerah mendorong penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan
untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan
kinerja lingkungan hidup.
(2) Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu yang
berisiko tinggi dilakukan secara berkala.
(3) Ketentuan mengenai audit lingkungan hidup mengacu kepada peraturan
perundangan-undangan.
Paragraf 14
Penanggulangan
Pasal 47
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup, wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
(2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup kepada masyarakat;
b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup; dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Paragraf 15
Pemulihan
Pasal 48
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan tahapan:
a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;
b. remediasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
119
(3) Pemegang izin lingkungan wajib menyediakan dana penjaminan untuk
pemulihan fungsi lingkungan hidup yang disimpan di Bank Pemerintah
Daerah yang ditunjuk oleh Walikota.
(4) Walikota dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan
fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan.
(5) Dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup diatur oleh
Walikota.
Bagian Keempat
Pemeliharaan
Pasal 49
(1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya:
a. konservasi sumberdaya alam;
b. pencadangan sumberdaya alam; dan/atau
c. pelestarian fungsi atmosfer.
(2) Konservasi sumberdaya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi kegiatan:
a. perlindungan sumberdaya alam;
b. pengawetan sumberdaya alam; dan
c. pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam.
(3) Pencadangan sumberdaya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka
waktu tertentu.
(4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
meliputi :
a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim;
b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan
c. upaya perlindungan terhadap hujan asam.
(5) Upaya yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
dilaksanakan dengan cara melakukan penanaman pohon menahun.
(6) Konservasi, pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi
atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima
Pengawasan
Paragraf 1
Pemerintah Daerah
Pasal 50
(1) Walikota melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungandan pengelolaan lingkungan
hidup, meliputi:
a. pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin
lingkungan;
120
b. pengawasan terhadap pengendalian pencemaran air;
c. pengawasan terhadap penaatan penanggungjawab usaha dan/atau
kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran udara;
d. pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan limbah B3;
e. pengawasan terhadap pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran
limbah B3;
f. pengawasan terhadap pelaksanaan sistem tanggap darurat limbah B3;
g. pengawasan terhadap penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah
B3;
h. pengawasan terhadap pelaksanaan Amdal dan UKL-UPL;
i. pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan.
(2) Walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan
pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Dalam pengawasannya, pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berhak melakukan
inspeksi mendadak terhadap suatu kegiatanyang diduga mencemari
lingkungan, meliputi:
a. melakukan pemantauan;
b. meminta keterangan;
c. membuat salinan dan dokumen; dan/atau membuat catatan yang
diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa peralatan;
i. memeriksa instalasi dan/ atau alat transportasi; dan/atau
j. menghentikan pelanggaran tertentu.
(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan
(3), Walikota dapat menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang
merupakan pejabat fungsional.
(5) Walikota wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggungjawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan.
Pasal 51
BPLH berkewajiban :
a. menyusun dan menetapkan kebijakan pengawasan terhadap pelaku
usaha dan/atau kegiatan;
b. melakukan pemantauan, evaluasi hasil pengawasan lingkungan hidup;
c. menindaklanjuti hasil pengawasan lingkungan hidup; dan
d. mengkoordinasikan pengawasan yang dilakukan dengan satuan kerja
perangkat daerah.
121
Paragraf 2
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah
Pasal 52
(1) Walikota menetapkan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah sebagai
pejabat fungsional di lingkungan BPLH.
(2) PNS yang akan diangkat menjadi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Daerah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. telah lulus diklat dasar-dasar pengawasan lingkungan hidup;
b. memenuhi persyaratan lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam melakukan pengawasan, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Daerah berwenang melakukan tindakan-tindakan tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungandan pengelolaan
lingkungan hidup.
(4) Pelaksanaan pengawasan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pemantauan kelengkapan izin lingkungan dan ketaatan terhadap
ketentuan yang dipersyaratkan dalam izin lingkungan;
b. pelaksanaan tindakan-tindakan pengawasan sesuai dengan kewenangan
pejabat pengawas lingkungan hidup;
c. pelaporan hasil pengawasan kepada Kepala Badan; dan
d. kegiatan-kegiatan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 53
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup berwenang:
a. melakukan pemantauan;
b. meminta keterangan;
c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang
diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa peralatan;
i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau
j. menghentikan pelanggaran tertentu.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat
melakukan koordinasi dengan PPNS.
(4) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi
pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.
122
Paragraf 3
Pengawasan Masyarakat
Pasal 54
(1) Masyarakat berhak melakukan pengawasan sosial, berupa pemantauan
terhadap dampak lingkungan hidup akibat pelaksanaanusaha dan/atau
kegiatan.
(2) Hasil pengawasan sosial masyarakat dapat disampaikan kepada Pemerintah
Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) BPLH wajib membentuk pos pengaduan dan tata cara penanganan
pengaduan masyarakat.
(4) Pos pengaduan dan tata cara penanganan pengaduan diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Pasal 55
Kepala BPLH menugaskan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan/atau
pejabat yang ditunjuk untuk memverifikasi kebenaran informasi pelanggaran
izin lingkungan yang berasal dari masyarakat baik langsung maupun tidak
langsung melalui pos pengaduan.
Bagian Keenam
Penaatan Hukum
Paragraf 1
Sanksi Administratif
Pasal 56
(1) Walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang berada di wilayah Kota Tegal, jika dalam
pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat(1) berasal dari hasil
kerja pengawasan lingkungan hidup dan/atau informasi masyarakat.
Pasal 57
(1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56,
Walikota memberikan sanksi administratif, yang terdiri dari:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
(2) Dalam hal pemberian sanksi administratif berupa teguran tertulis dan
paksaan pemerintah dilaksanakan oleh instansi yang membidangi
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksudpada ayat (1), tidak
membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung
jawab pemulihan dan pidana.
123
Pasal 58
(1) Penerapan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin
lingkungan dilakukan apabila penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan
tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
(2) Bentuk-bentuk paksaan pemerintah diberikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungandan pengelolaan
lingkungan hidup.
(3) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai dendaatas setiap
keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.
(4) Besaran denda keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Walikota berdasarkan
usulan Kepala BPLH.
(5) Penerapan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin
lingkungan dilakukan apabila penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan
tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
Pasal 59
(1) Apabila sanksi administratif yang diberikan berupa pembekuan izin
lingkungan, Walikota wajib menerbitkan keputusan penghentian sementara
usaha dan/atau kegiatan.
(2) Apabila sanksi administratif yang diberikan berupa pencabutan izin
lingkungan, Walikota wajib menerbitkan keputusan pencabutan izin usaha
dan/atau kegiatan.
Paragraf 2
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Pasal 60
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan
untuk mencapai kesepakatan mengenai:
a. bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran
dan/atau perusakan; dan/atau
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup.
(2) Dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat digunakan jasa
mediator dan/atau arbiter untuk membantu sengketa lingkungan hidup.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak
pidana lingkungan hidup.
(4) Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
124
Pasal 61
(1) BPLH melakukan koordinasi dan fasilitasi penyelesaian sengketa
lingkungan hidup yang terkait dengan izin lingkungan dan persyaratan
lingkungan hidup.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa menjalin
komunikasi dengan pihak-pihak yang bersengketa.
(3) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam bentuk
mediasi.
Pasal 62
(1) Kepala BPLH bertindak sebagai mediator, dalam hal para pihak
memutuskan untuk menempuh penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
(2) Apabila hasil mediasi tidak dapat diterima, salah satu atau kedua belah
pihak yang bersengketa dapat menempuh cara penyelesaian sengketa
lingkungan hidup lainnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Paragraf 3
Penegakan Hukum Lingkungan di Dalam Pengadilan
Pasal 63
(1) Pemerintah Daerah memiliki hak mengajukan gugatan ganti rugi dan
tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yangmengakibatkan
kerugian lingkungan hidup.
(2) Hak mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Walikota.
Pasal 64
(1) Pertimbangan untuk menggunakan hak gugat PemerintahDaerah
didasarkan pada hasil verifikasi lapangan oleh pejabat pengawas
lingkungan hidup dan/atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Hak gugat Pemerintah Daerah hanya digunakan apabilahasil verifikasi
lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menunjukkan telah terjadi
perusakan lingkungan hidup.
(3) Dalam hal hak gugat Pemerintah Daerah digunakan, Walikota dapat
menunjuk kuasa hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Biaya yang timbul dalam penggunaan hak gugat Pemerintah Daerah,
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 65
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk
kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat
apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
125
(2) Gugatan perwakilan kelompok dapat diajukan apabila terdapat kesamaan
fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil
kelompok dan anggota kelompoknya.
(3) Hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 66
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggungjawab perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan
gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan
tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi,kecuali biaya atau
pengeluaran riil.
(3) Organisasi lingkungan hidup yang dapat mengajukan gugatan harus
memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum;
b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut
didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya
paling singkat 2 (dua) tahun.
Paragraf 4
Larangan
Pasal 67
Setiap orang dan/atau pelaku usaha dilarang :
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup;
b. melakukan pembuangan air limbah ke lingkungan melampaui baku mutu
air limbah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
c. melakukan pembuangan sampah atau limbah padat non B3 pada sumber-
sumber air, dan tempat-tempat lain yang tidak diperuntukkan sebagai
tempat pembuangan sampah;
d. melakukan reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah bahan berbahaya dan
beracun tanpa memiliki izin sesuai dengan peraaturan perundang-
undangan yang berlaku;
e. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup membuang
limbah gas atau emisi ke lingkungan melampaui baku mutu yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan;
f. melakukan penangkapan ikan dan/atau biota lainnya di lingkungan
perairan dengan menggunakan racun, strom listrik dan bahan peledak;
g. mendirikan bangunan, melakukan usaha dan/atau kegiatan di tempat yang
ditetapkan sebagai hutan kota, jalur hijau kota, taman kota, resapan air,
dan daerah sempadan sungai;
126
h. melakukan penebangan, perusakan dan/atau yang menyebabkan rusak
atau matinya tanaman pada tempat-tempat yang ditetapkan sebagai hutan
kota, jalur hijau kota, taman kota, resapan air, dan daerah sempadan
sungai;
i. membuang limbah ke media lingkungan hidup tanpa memenuhi baku mutu
lingkungan hidup;
j. melakukan usaha dan/atau kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan
hidup, tanpa memiliki dan/atau melaksanakan:
1. Amdal atau UKL-UPL atau SPPL;
2. izin lingkungan;
3. penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
dan
4. pemulihan fungsi lingkungan hidup;
k. melakukan pengujian parameter kualitas lingkungan, tanpa memiliki
sertifikat akreditasi sebagai laboratorium pengujian dan identitas registrasi.
Paragraf 5
Penegakan Hukum Terpadu
Pasal 68
(1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana
lingkungan hidup, dibentuk Tim Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu
yang keanggotaannya terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, Kejaksaan
Negeri Tegal, Kepolisian Resort Tegal.
(2) Pembentukan Tim Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan KeputusanBersama Walikota
Tegal, Kepala Kejaksaan Negeri Tegal, Kepala Kepolisian Resort Tegal.
Paragraf 6
Penyidikan
Pasal 69
(1) Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia (Penyidik Polri),
Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang lingkungan hidup, diberi wewenang
khusus sebagai penyidik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan
melakukan pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
d. melakukan penyitaan benda dan/atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
127
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari
Penyidik Polri bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut
bukan merupakan tindak pidana, dan selanjutnya melalui Penyidik
Polri memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka
atau keluarganya;
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan; dan
(3) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Polri.
Paragraf 7
Ketentuan Pidana
Pasal 70
Perbuatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup diancam pidana, sebagaimana diatur dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
LABORATORIUM LINGKUNGAN
Pasal 71
(1) Pengujian parameter kualitas lingkungan untuk mendukung pengelolaan
lingkungan hidup bagi penyedia dan pengguna jasa, dilakukan oleh
laboratorium lingkungan.
(2) Untuk memperoleh pengakuan sebagai laboratorium lingkungan,
laboratorium wajib memiliki :
a. sertifikat akreditasi sebagai laboratorium pengujian dengan lingkup
parameter kualtias lingkungan yang diterbitkan oleh lembaga akreditasi
yang berwenang; dan
b. identitas registrasi yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup.
(3) Walikota dapat menunjuk laboratorium lingkungan untuk pengelolaan
lingkungan hidup di wilayahnya.
(4) BPLH melakukan pembinaan kepada laboratorium lingkungan yang berada
di wilayahnya.
(5) Dalam hal laboratorium lingkungan melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkunganhidup, Walikota
dapat mencabut penunjukan dan melaporkannya ke Kementerian
Lingkungan Hidup.
128
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Dunia Usaha
Pasal 72
Peran serta dunia usaha dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah sebagai
berikut :
a. memberikan kontribusi terhadap pengelolaan lingkungan hidup di
Daerah;
b. bermitra usaha dengan Pemerintah dan/atau masyarakat setempat
dalam pengelolaan lingkungan hidup di Daerah;
c. meningkatkan nilai ekonomis wilayah yang berfungsi ekologis; dan
d. menerapkan tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan.
Bagian Kedua
Masyarakat
Pasal 73
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkunganhidup adalah sebagai
berikut :
a. memberikan kontribusi terhadap pengelolaan lingkungan hidup di
daerah;
b. menjadi pelaku dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerah;
c. menjaga, memelihara dan melestarikan lingkungan hidup; dan
d. melaksanakan pemantauan dan pengawasan sosial dalam rangka
peningkatan kualitas lingkungan hidup;
e. memberikan saran, informasi, laporan dan pengaduan dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
BAB VI
SISTEM INFORMASI LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 74
(1) Dalam rangka publikasi sistem informasi lingkungan hidup, Badan
Pengelolaan Lingkungan Hidup melakukan pengembangan sistem informasi
lingkungan hidup.
(2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan
terkoordinasi serta wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
(3) Sistem informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terdiri dari :
a. status lingkungan hidup;
b. peta rawan lingkungan hidup; dan
c. informasi lingkungan hidup lain, meliputi :
1) izin lingkungan;
2) laporan dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup;
3) peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup pada
tingkat nasional, provinsi dan Kota ; dan
129
4) kebijakan lingkungan hidup Pemerintah Daerah.
Pasal 75
(1) Untuk mengembangkan Sistem Informasi Lingkungan Hidup skala Kota ,
BPLH berkoordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terkait.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa permintaan data
dan informasi lingkungan hidup.
(3) BPLH wajib melakukan pemutahiran data dan informasi lingkungan hidup
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 76
Pembiayaan yang diperlukan untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Tegal
serta sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perunda-
undangan yang berlaku.
BAB VIII
PEMBINAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 77
Kegiatan pembinaan meliputi:
a. sosialisasi;
b. pendidikan dan pelatihan; dan
c. pendidikan lingkungan hidup.
Bagian Kedua
Sosialisasi
Pasal 78
Sosialisasi informasi lingkungan hidup dilaksanakan melalui kegiatan:
a. publikasi sistem informasi;
b. penyuluhan; dan
c. konsultasi.
Bagian Ketiga
Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 79
(1) Pendidikan dan pelatihan lingkungan hidup diselenggarakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, yang meliputi :
a. pendidikan dan pelatihan teknis; dan
b. pendidikan dan pelatihan fungsional.
(2) Pendidikan lingkungan hidup dilaksanakan melalui jalur pendidikan
formal dan non formal.
130
(3) pengelolaan lingkungan hidup ditetapkan sebagai muatan lokal pada
pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar danmenengah di Daerah.
(4) Pemerintah daerah menyusun dan mengembangkan materi ajar tambahan
dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan lingkungan hidup, yang wajib
diberikan pada setiap jenis pendidikan dan pelatihan lingkungan hidup,
meliputi:
a. permasalahan lingkungan hidup di daerah;
b. pokok-pokok hukum lingkungan; dan
c. kearifan lokal di daerah.
(5) Kearifan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, diidentifikasi
dari praktik perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah.
Bagian Keempat
Pendidikan Lingkungan Hidup
Pasal 80
(1) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses
informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(2) Pendidikan lingkungan hidup dilaksanakan melalui jalur pendidikan
formal, nonformal dan jalur informal.
(3) Untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman terhadap kondisi
lingkungan hidup dalam rangka mengembangkan cipta, rasa, karsa dan
karya untuk memelihara, memperbaiki dan meningkatkan kualitas
lingkungan hidup sekolah dan lingkungan sekitar, pengelolaan lingkungan
hidup ditetapkan sebagai muatan lokal pada pendidikan formal pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah di daerah.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 81
Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, seluruh pelaksanaan yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang telah
ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
Pasal 82
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka :
a. kegiatan pengelolaan lingkungan hidup di daerah yang telah
dilaksanakan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini dapat terus
dilaksanakan sepanjang tidak mengganggu fungsi lingkungan hidup;
b. kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang telah ada dan berdampak
pada penurunan fungsi konservasi, harus melakukan rekayasa teknik
dan/atau rekayasa vegetatif untuk memulihkan fungsilingkungan hidup;
c. perizinan berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang telah
diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini, tetap berlaku
sampai dengan habis masa berlakunya perizinan tersebut.
131
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 83
Peraturan pelaksanaan yang diperintahkan Peraturan Daerah ini, ditetapkan
paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
Pasal 84
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang
mengenai teknis pelaksanaannya, ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
Pasal 85
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Tegal.
Ditetapkan di Tegal
pada tanggal .
WALIKOTA TEGAL,
ttd
SITI MASITHA SOEPARNO
Diundangkan di Tegal
pada tanggal .................
SEKRETARIS DAERAH
KOTA TEGAL,
ttd
132
PENJELASAN
ATAS
NOMOR TAHUN .
TENTANG
I. UMUM
1. Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah dan telah diatur
pemanfaatan dan pengelolaannya dalam pasal 33 ayat (3), Undang-
Undang Dasar 1945: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat. Sumber daya alam tersebut menjdi modal
dasar bagi pembangunan bangsa untuk mensejahterakan
masyarakat, tak hanya bagi generasi sekarang tetapi juga generasi
secara berkelanjutan. Lingkungan Hidup Indonesia yang
dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa
Indonesia merupakan karunia dan rahmatNya yang wajib dilindungi,
dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar dapat tetap
menjadi sumber dan penunjang bagi rakyat dan bangsa Indonesia
serta mahluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan
kualitas hidup itu sendiri.
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945
menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat
merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga
negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh
pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi
sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk
hidup lain.
3. Negara Indonesia termasuk negara yang tingkat perkembangan
kehidupan manusia dan kebutuhan sangat tinggi, sehingga
membawa akses pada persoalan lingkungan yang sudah merupakan
suatu konsekuensi yang tidak dapat dihindari, karena pembangunan
yang ditujukan guna mencapai yang sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyat, masih mengandalkan eksploitasi terhadap sumber daya alam
sebagai tumpuan utama.
133
4. Saat ini persoalan lingkungan hidup di Kota Tegal tidak bisa di
hindari, dengan berbagai tingkat kebutuhan terutama kebutuhan
akan eksploitasi sumber daya alam (hutan, lahan dan sumber daya
mineral) cukup besar, menyebabkan penurunan kualitas dan fungsi,
bahkan kerusakan sumber daya alam.
5. Bumi Kota Tegal memiliki sumber daya yang cukup besar, namun
pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup harus benar-benar
memerlukan perhatian pada seluruh pelaku pembangunan, sumber
daya alam yang melimpah tersebut perlu dilindungi dan dikelola
dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan yang terpadu dan
terintegrasi antara laut, darat dan udara.
6. Perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam yang baik akan
memberikan dampak positif bagi kesejahteraan manusia, namun
sebaliknya bila perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam
tidak baik akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia dan
mahluk lainnya. Oleh karena itu akar permasalahan yang paling
utama adalah bagaimana melindungi dan mengelola sumber daya
alam tersebut agar seimbang antara menghasilkan manfaat yang
sebesar-besarnya dengan tidak mengorbankan kelestarian sumber
daya alam.
7. Oleh karena itu lingkungan hidup di Kota Tegal harus dilindungi dan
dikelola dengan baik dan bijak, maka makna kehadiran Peraturan
Daerah Kota Tegal dapat dipahami sebagai upaya untuk menekan,
atau menghindari resiko pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
Pasal 1
Istilah-istilah dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah
timbulnya salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan
melaksanakan pasal-pasal dalam Peraturan Daerah ini.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas tanggungjawab Daerah adalah :
a. Daerah menjamin pemanfaatan sumberdaya alam akan
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
dan mutu hidup masyarakat, baik generasi masa kini maupun
generasi masa depan;
b. Daerah menjamin hak masyarakat atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat; dan
134
c. Daerah mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan
sumberdaya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan
adalah bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung
jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya
dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya
dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas keserasian dan keseimbangan
adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus
memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi,
sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan
dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan
berbagai komponen terkait.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas manfaat adalah bahwa segala
usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan
disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan
hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat
manusia selaras dengan lingkungannya.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas kehati-hatian adalah bahwa
ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau
kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda
langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman
terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.
Huruf h
Yang dimaksud dengan asas ekoregion adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem,
kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan
lokal.
Huruf i
Yang dimaksud dengan asas keanekaragaman hayati adalah
135
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidupharus
memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan
keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam
hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan sumber
daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati di
sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Huruf j
Yang dimaksud dengan asas pencemar membayar adalah
bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau
kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan
lingkungan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan asas partisipatif adalah bahwa setiap
anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan
lingkungan hidup, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Huruf l
Yang dimaksud dengan asas kearifan lokal adalah bahwa
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidupharus
memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat.
Huruf m
Yang dimaksud dengan asas tata kelola pemerintahanyang
baik adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi,
akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
Pasal 3
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Huruf g
Cukup Jelas
Huruf h
136
Cukup Jelas
Huruf i
Cukup Jelas
Pasal 4
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Pasal 5
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Pasal 6
Kewenangan Pemerintah Daerah ini merupakan kewenangan yang
diberikan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, serta peraturan perundang-undangan teknis di
bidang lingkungan hidup.
Pasal 7
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
137
Huruf c
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan kearifan lokal termasuk hak ulayat yang
diakui masyarakat.
Huruf e
Cukup Jelas
Ayat (4)
138
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Huruf g
Cukup Jelas
Huruf h
Cukup Jelas
Huruf i
Cukup Jelas
Huruf j
Cukup Jelas
Huruf k
Cukup Jelas
Huruf l
Cukup Jelas
Huruf m
Cukup Jelas
Huruf n
Cukup Jelas
Huruf o
Cukup Jelas
Huruf p
Cukup Jelas
Ayat (5)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
139
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Pencemaran lingkungan akibat pertambangan timbul
sebagai akibat dari penggunaan zat kimia dalam proses
pertambangan, kerusakan yang terjadi sebagai akibat dari
tidak dilakukannya reklamasi atau tidak diterapkannya
140
tata cara/aturan penambangan yang baik dan benar.
Huruf g
Cukup Jelas
Huruf h
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 13
Ayat (1) :
Yang dimaksud dengan pengendalian pencemaran air adalah
upaya pencegahan, penanggulangan pencemaran dan
pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai
dengan baku mutu air.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Huruf g
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
141
Pasal 14
Ayat (1) :
Yang dimaksud dengan sumber air adalah wadah air yang
terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk
dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau,
situ, waduk, dan muara.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan udara ambien adalah udara bebas
di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang
dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia,
makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan emisi adalah zat, energi dan/atau
komponen lain yang dihasilkan dalam suatu kegiatan yang
masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien
yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi
sebagai unsur pencemar
Huruf c
Yang dimaksud dengan tingkat gangguan lain adalah
komponen lain yang meliputi unsur getaran, kebisingan,
dan kebauan.
Ayat (2) :
Kegiatan pengendalian pencemaran udara ambien, emisi dan
gangguan lain dilakukan melalui :
a. pengembangan mekanisme pembangunan bersih;
b. pengembangan dan penerapan teknologi ramah lingkungan;
c. pengembangan dan penerapan produksi bersih;
d. pengembangan energi alternatif;
e. penerapan insentif bagi kegiatan yang berhasil melaksanakan
reduksi emisi;
f. mendorong penghapusan bahan bakar yang mengandung bahan
timbal;
g. pengembangan ruang terbuka hijau;
142
h. pengembangan mitigasi pencemaran udara;
i. pengelolaan sistem transportasi perkotaan terpadu; dan
j. pengikutsertaan aspek pengelolaan kualitas udara dalam
perencanaan tata ruang
Pasal 17
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Pasal 18
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Pasal 19
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1):
143
Yang dimaksud dengan pengelolaan limbah B3 adalah
pengelolaan seluruh jenis limbah B3 berdasarkan
karakteristiknya yang bersifat mudah meledak, mudahterbakar,
bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, danbersifat
korosi. Limbah medis yang salah satunya bersifat infeksius
termasuk kategori limbah B3 dengan kode limbah D227, berasal
dari kegiatan pelayanan kesehatan dan terdiri dari limbah
infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi,
limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah
kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam
berat yang tinggi.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4) :
Kegiatan pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan
yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan,
pemanfaatan, pengangkutan, dan pengolahan limbah B3
termasuk penimbunan hasil pengolahan. Dalam hal penghasil
limbah B3 tidak mampu melakukan sendiri pengelolaanlimbah
B3, maka pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain yang
telah mendapatkan izin dari instansi yang berwenang. Dengan
demikian, maka mata rantai siklus perjalanan limbahB3 sejak
dihasilkan oleh penghasil limbah B3 sampai penimbunan akhir
oleh pengolah limbah B3 dapat diawasi. Perjalanan limbah B3
dikendalikan dengan sistem manifes berupa dokumen limbah
B3. Dengan sistem manifes dapat diketahui berapa jumlah B3
yang dihasilkan dan berapa yang telah dimasukkan kedalam
proses pengolahan dan penimbunan tahap akhir yang telah
memiliki persyaratan lingkungan.
Ayat (5) :
Pengaturan limbah medis harus dibedakan dengan limbah B3
pada umumnya karena karakteristiknya yang sangat spesifik,
terutama untuk pengaturan tata cara penyimpanan dan
pengumpulan sesuai dengan kewenangan yang diberikan
kepada Pemerintah Daerah.
Ayat (6) :
Persyaratan lingkungan hidup didasarkan atas hasil verifikasi
administrasi dan teknis terkait kegiatan di lapangan dan
mengacu kepada tata laksana teknis aturan perundangan.
Ayat (7)
Cukup Jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
144
Pasal 22
Kewajiban dalam rangka pengendalian pencemaran limbah B3 ini
didasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, serta peraturanperundang-
undangan teknis di bidang lingkungan hidup.
Pasal 23
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan rekomendasi
dan
pertimbangan teknis pengelolaan limbah B3 melalui instansi teknis
yang membidangi pengelolaan limbah B3 kepada instansi pemberi
izin.
Hal ini dilakukan agar pengelolaan Limbah B3 di wilayah Kota
Tegal dapat terukur secara kualitatif dan kuantitatif sehingga
dapat dilakukan upaya pengendalian terhadap kemungkinan
dampak yang ditimbulkannya
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 25
Kewenangan dalam rangka pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan pesisir dan laut ini didasarkan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, serta peraturan perundang-undangan teknis di
bidang lingkungan hidup.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
145
Cukup Jelas
Pasal 27
Cukup Jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1) :
Kewenangan dalam rangka pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan tanah untuk kegiatan produksi biomassa ini
didasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, serta
peraturan perundang-undangan teknis di bidang lingkungan
hidup.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan dampak dan/atau risiko
lingkungan hidup meliputi :
146
1. perubahan iklim;
2. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan
keanekaragaman hayati;
3. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir,
longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan;
4. penurunan mutu dan kelimpahan sumberdaya alam;
5. peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;
6. peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya
keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan
7. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan
manusia.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a :
Yang dimaksud dengan baku mutu air adalah ukuran
batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
Huruf b :
Yang dimaksud dengan baku mutu air limbah adalah
ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk
dimasukkan ke media air.
Huruf c :
Yang dimaksud dengan baku mutu air laut adalah
ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,atau
komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.
Huruf d :
Yang dimaksud dengan baku mutu udara ambien adalah
ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen
147
yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.
Huruf e :
Yang dimaksud dengan baku mutu emisi adalah ukuran
batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk
dimasukkan ke media udara.
Huruf f :
Yang dimaksud dengan baku mutu gangguan adalah
ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan,
dan kebauan.
Huruf g :
Cukup jelas.
Ayat (3) :
Huruf a :
Cukup Jelas
Huruf b :
Cukup Jelas
Pasal 36
Ayat (1) :
Cukup Jelas
Ayat (2) :
Cukup Jelas
Ayat (3) :
Huruf a :
Yang dimaksud dengan produksi biomassa adalah
bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya tanah untuk
menghasilkan biomassa.
Yang dimaksud dengan kriteria baku kerusakan tanah
untuk produksi biomassa adalah ukuran batas
perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang
berkaitan dengan kegiatan produksi biomassa.
Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa
mencakup lahan pertanian atau lahan budidaya dan
hutan.
Huruf b :
Yang dimaksud dengan kriteria baku kerusakan terumbu
karang adalah ukuran batas perubahan fisik dan/atau
hayati terumbu karang yang dapat ditenggang.
Huruf c :
Yang dimaksud dengan kerusakan lingkungan hidup
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan
adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup
berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan
148
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau
lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau
kegiatan.
Huruf d :
Cukup jelas
Huruf e :
Cukup jelas
Huruf f :
Cukup jelas
Huruf g :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Huruf d :
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1) :
Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria :
a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana
usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena
dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Pelibatan masyarakat dilaksanakan dalam proses pengumuman
dan konsultasi publik dalam rangka menjaring saran dan
tanggapan.
Ayat (4) :
Cukup jelas
Ayat (5) :
Cukup jelas
149
Pasal 38
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Ayat (5) :
Yang dimaksud dengan analisis dampak lingkungan hidup
(Amdal) adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang
dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan.
Ayat (6) :
Cukup jelas
Ayat (7) :
Huruf a :
Syarat untuk memperoleh izin lingkungan adalah adanya
dokumen AMDAL yang telah disertai dengan Surat Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup atau/ formulir UKL-UPL yang telah
disertai dengan Surat Rekomendasi UKL-UPL.
Huruf b :
Cukup Jelas
Pasal 39
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1) :
Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang
wajib dilengkapi dengan Amdal, terdiri atas :
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumberdaya alam, baik yang terbarukan maupun
yang tidak terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta
pemborosan dan kemerosotan sumberdaya alam dalam
pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengauhi
lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial
dan budaya;
150
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi
pelestarian kawasan konservasi sumberdaya alam dan/atau
perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi
pertahanan negara; dan
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi
besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Ayat (5) :
Cukup jelas
Ayat (6) :
Huruf a :
Syarat untuk memperoleh izin lingkungan adalah adanya
dokumen AMDAL atau/ UKL-UPL yang telah mendapatkan
persetujuan dari instansi yang berwenang.
Huruf b :
Cukup Jelas
Ayat (7) :
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Termasuk dalam pengertian izin usaha dan/atau kegiatan, yaitu
izin operasi dan izin konstruksi.
Ayat (4) :
Huruf a :
Cukup Jelas
Huruf b :
Cukup Jelas
Huruf c :
Cukup Jelas
Ayat (5) :
Ketentuan ini merupakan upaya harmonisasi antara masa
berlakunya izin usaha yang disesuaikan dengan masa berlaku
151
izin lingkungan, karena izin lingkungan merupakan persyaratan
mutlak untuk memperoleh izin usaha.
Ayat (6) :
Amdal atau UKL-UPL merupakan syarat mutlak dalam izin
lingkungan, sehingga permohonan izin lingkungan yang tidak
dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL, wajib ditolak.
Ayat (7) :
Huruf a :
Cukup Jelas
Huruf b :
Komisi adalah Komisi Penilai Amdal Kota Tegal
Huruf c :
Cukup Jelas
Selain ketentuan pembatalan izin lingkungan yang diatur dalam
ayat ini, izin lingkungan dapat dibatalkan melalui putusan
pengadilan tata usaha negara.
Ayat (8) :
Ketentuan ini menegaskan ketentuan ayat (4), dimana masa berlaku
izin lingkungan identik dengan masa berlaku izin usaha.
Ayat (9) :
Perubahan dapat terjadi karena peralihan kepemilikan,perubahan
teknologi, penambahan atau pengurangan kapasitas produksi atau
berpindahnya lokasi
usaha dan/atau kegiatan.
Ayat (10) :
Ketentuan ini merupakan aktualisasi dari komitmen Pemerintah
Daerah untuk melakukan reformasi di bidang perizinan melalui
peningkatan peran Badan Pelayanan Perijinan Terpadu.
Pasal 42
Ayat (1) :
Huruf a :
Yang dimaksud dengan instrumen ekonomi dalam perencanaan
pembangunan adalah upaya internalisasi aspek lingkungan hidup
ke dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan dan
kegiatan ekonomi.
Huruf b :
Yang dimaksud dengan pendanaan lingkungan hidup adalah suatu
sistem dan mekanisme penghimpunan dan pengelolaan dana yang
digunakan bagi pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Pendanaan lingkungan berasal dari berbagai
sumber,
misalnya pungutan, hibah, dan lainnya.
Ayat (2) :
Huruf a :
152
Yang dimaksud dengan neraca sumber daya alam adalah
gambaran mengenai cadangan sumberdaya alam dan
perubahannya, baik dalam satuan fisik maupun dalam nilai
moneter.
Huruf b :
Yang dimaksud dengan produk domestik bruto adalah nilai
semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada
periode tertentu.
Yang dimaksud dengan produk domestik regional bruto adalah
nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu daerah
pada periode tertentu.
Huruf c :
Yang dimaksud dengan internalisasi biaya lingkungan hidup
adalah memasukkan biaya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup dalam
perhitungan biaya produksi atau biaya suatu usaha dan/atau
kegiatan.
Ayat (3) :
Huruf a :
Yang dimaksud dengan dana jaminan pemulihan lingkungan
hidup adalah dana yang disiapkan oleh pelaku usaha dan/atau
kegiatan untuk pemulihan
kualitas lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya.
Huruf b :
Yang dimaksud dengan dana penanggulangan adalah dana yang
digunakan untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup
yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan.
Huruf c :
Yang dimaksud dengan dana amanah/bantuan adalah dana yang
berasal dari sumber hibah dan donasi untuk kepentingan konservasi
lingkungan hidup.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Huruf a :
Cukup Jelas
Huruf b :
Cukup Jelas
Huruf c :
Pembiayaan untuk pemulihan kondisi lingkungan yang kualitasnya
telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan yang diakibatkan
153
oleh bencana atau keadaan force majeure, dapat dilakukan oleh
Pemerintah Daerah, sesuai dengan kemampuan keuangan Daerah.
Pasal 45
Ayat (1) :
Yang dimaksud dengan analisis risiko lingkungan adalah prosedur
yang antara lain digunakan untuk mengkaji pelepasan dan
peredaran produk rekayasa genetik dan pembersihan (clean up)
limbah B3.
Ayat (2) :
Huruf a :
Dalam ketentuan ini pengkajian risiko meliputi seluruh proses
mulai dari identifikasi bahaya, penaksiran besarnya
konsekuensi atau akibat, dan
penaksiran kemungkinan munculnya dampak yang tidak
diinginkan, baik terhadap keamanan dan kesehatan manusia
maupun lingkungan hidup.
Huruf b
Dalam ketentuan ini pengelolaan risiko meliputi evaluasi risiko
atau seleksi risiko yang memerlukan pengelolaan, identifikasi
pilihan pengelolaan risiko,
pemilihan tindakan untuk pengelolaan, dan
pengimplementasian tindakan yang dipilih.
Huruf c :
Yang dimaksud dengan komunikasi risiko adalah proses
interaktif dari pertukaran informasi dan pendapat di antara
individu, kelompok, dan institusi
yang berkenaan dengan risiko.
Pasal 46
Ayat (1) :
Audit lingkungan hidup merupakan kewenangan Pemerintah, namun
demikian dalam kerangka pengelolaan lingkungan hidup dan
penaatan Hukum Lingkungan, Pemerintah Daerah mendorong
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit
lingkungan hidup.
Ayat (2) :
Cukup Jelas
Ayat (3) :
Cukup Jelas
Pasal 47
Ayat (1) :
Ketentuan ini merupakan aktualisasi dari asas pencemar membayar
(polluter pays principle).
Ayat (2) :
154
Huruf a :
Cukup Jelas
Huruf b :
Cukup Jelas
Huruf c :
Cukup Jelas
Huruf d :
Cukup Jelas
Pasal 48
Ayat (1) :
Ketentuan ini merupakan aktualisasi dari asas pencemar membayar
(polluter pays principle).
Ayat (2) :
Huruf a :
Cukup Jelas
Huruf b :
Yang dimaksud dengan remediasi adalah upaya pemulihan
pencemaran lingkungan hidup untuk memperbaiki mutu
lingkungan hidup.
Huruf c :
Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah upaya pemulihan
untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan manfaat lingkungan
hidup termasuk upaya pencegahan kerusakan lahan,
memberikan perlindungan, dan memperbaiki ekosistem.
Huruf d :
Yang dimaksud dengan restorasi adalah upaya pemulihan
untuk menjadikan lingkungan hidup atau bagian-bagiannya
berfungsi kembali sebagaimana semula.
Huruf e :
Cukup Jelas
Ayat (3) :
Cukup Jelas
Ayat (4) :
Cukup Jelas
Ayat (5) :
Cukup Jelas
Pasal 49
Ayat (1) :
Yang dimaksud dengan pemeliharaan lingkungan hidup
adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau
kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan
manusia.
Huruf a :
155
Konservasi sumberdaya alam meliputi, antara lain, konservasi
sumberdaya air, ekosistem hutan, ekosistem pesisir dan laut,
energi, ekosistem lahan gambut, dan ekosistem karst.
Huruf b :
Pencadangan sumberdaya alam meliputi sumber daya alam yang
dapat dikelola dalam jangka panjang dan waktu tertentu sesuai
dengan kebutuhan.
Untuk melaksanakan pencadangan sumberdaya alam,
Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Pemerintah
Kabupaten/Kota dan perseorangan dapat membangun :
1. taman keanekaragaman hayati di luar kawasan hutan;
2. ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit 30% dari luasan
pulau/kepulauan; dan/atau
3. menanam dan memelihara pohon di luar kawasan hutan,
khususnya tanaman langka.
Huruf c :
Cukup jelas.
Ayat (2) :
Huruf a :
Cukup jelas.
Huruf b :
Yang dimaksud dengan pengawetan sumberdaya alam adalah
upaya untuk menjaga keutuhan dan keaslian sumberdaya alam
beserta ekosistemnya.
Huruf c :
Cukup jelas.
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Huruf a :
Yang dimaksud dengan mitigasi perubahan iklim adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya menurunkan
tingkat emisi gas rumah kaca sebagai bentuk upaya
penanggulangan dampak perubahan iklim. Yang dimaksud
dengan adaptasi perubahan iklim adalah upaya yang
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam
menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk
keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga potensi
kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang
ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan
konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi.
Huruf b :
Cukup jelas.
Huruf c :
Cukup jelas.
156
Ayat (5) :
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1) :
Huruf a :
Cukup jelas.
Huruf b :
Cukup jelas.
Huruf c :
Cukup jelas.
Huruf d :
Cukup jelas.
Huruf e :
Cukup jelas.
Huruf f :
Cukup jelas.
Huruf g :
Cukup jelas.
Huruf h :
Cukup jelas.
Huruf i :
Cukup jelas.
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Huruf a :
Cukup jelas.
Huruf b :
Cukup jelas.
Huruf c :
Cukup jelas.
Huruf d :
Cukup jelas.
Huruf e :
Cukup jelas.
Huruf f :
Cukup jelas.
Huruf g :
Cukup jelas.
Huruf h :
Cukup jelas.
Huruf i :
157
Cukup jelas.
Huruf j :
Cukup jelas.
Ayat (4) :
Cukup jelas
Ayat (5) :
Cukup jelas
Pasal 51
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Huruf d :
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Huruf a :
Cukup jelas.
Huruf b :
Cukup jelas.
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Huruf a :
Cukup jelas.
Huruf b :
Cukup jelas.
Huruf c :
Cukup jelas.
Huruf d :
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1) :
Huruf a :
Cukup jelas.
Huruf b :
Cukup jelas.
Huruf c :
158
Cukup jelas.
Huruf d :
Cukup jelas.
Huruf e :
Cukup jelas.
Huruf f :
Cukup jelas.
Huruf g :
Cukup jelas.
Huruf h :
Cukup jelas.
Huruf i :
Cukup jelas.
Huruf j :
Cukup jelas.
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Huruf d :
Cukup jelas.
Huruf e :
Cukup jelas.
Huruf f :
Cukup jelas.
Huruf g :
Cukup jelas.
Huruf h :
Cukup jelas.
Huruf i :
Cukup jelas.
Huruf j :
Cukup jelas.
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Unit dan/atau tata cara pengelolaan keberatan, saran dan
159
pengaduan masyarakat dibentuk oleh Badan sebagai bentuk
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas pengelolaan
lingkungan hidup.
Ayat (4) :
Cukup jelas
Pasal 55
Pos Pengaduan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup di
bentuk berdasarkan Keputusan Gubernur dan ditempatkan pada Badan.
Pasal 56
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1) :
Huruf a :
Cukup jelas.
Huruf b :
Cukup jelas.
Huruf c :
Cukup jelas.
Huruf d :
Cukup jelas.
Ayat (2) :
Sanksi administratif dapat diterapkan bersamaan dengan kegiatan
pemulihan dan penerapan sanksi pidana.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 59
160
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1) :
Huruf a :
Cukup jelas.
Huruf b :
Cukup jelas.
Huruf c :
Cukup jelas.
Huruf d :
Cukup jelas.
Ayat (2) :
Mediator dan/atau arbiter yang ditunjuk oleh kedua belah pihak
dalam penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
Ayat (3) :
Tindak pidana lingkungan hidup tidak dapat diselesaikan
melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Ayat (4) :
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Yang dimaksud dengan cara penyelesaian sengketa lingkungan
hidup lainnya adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan
Pasal 63
Ayat (1) :
Yang dimaksud dengan kerugian lingkungan hidup adalah kerugian
yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang bukan merupakan hak milik privat. Tindakan tertentu
merupakan tindakan pencegahan dan penanggulangan pencemaran
161
dan/atau kerusakan serta pemulihan fungsi lingkungan hidup guna
menjamin tidak akan terjadi atau terulangnya dampak negatif
terhadap lingkungan hidup.
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Pasal 65
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya organisasi lingkungan
hidup yang mengambil keuntungan untuk kepentingan di luar
pelestarian fungsi lingkungan hidup dari ganti rugi yang
diperolehnya.
Ayat (3) :
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya gugatan dari
organisasi lingkungan hidup yang tidak jelas statusnya
Pasal 67
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Huruf d :
Cukup jelas
162
Huruf e :
Cukup jelas
Huruf f :
Cukup jelas
Huruf g :
Cukup jelas
Huruf h :
Cukup jelas
Huruf i :
Cukup jelas
Huruf j :
Cukup jelas
Huruf k :
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1) :
Tim Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu merupakan tim yang
dibentuk untuk melaksanakan penegakan Hukum Lingkungan
dengan melibatkan aparatur penegak hukum di Daerah.
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 69
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Huruf a :
Cukup jelas.
Huruf b :
Cukup jelas.
Huruf c :
Cukup jelas.
Huruf d :
Cukup jelas.
Huruf e :
Cukup jelas.
Huruf f :
Cukup jelas.
Huruf g :
Cukup jelas.
Huruf h :
Cukup jelas.
Huruf i :
163
Cukup jelas.
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1) :
Yang dimaksud dengan laboratorium lingkungan adalah
laboratorium yang mempunyai sertifikat akreditasi laboratorium
pengujian parameter kualitas lingkungan dan mempunyai identitas
registrasi.
Yang dimaksud dengan ruang lingkup pengujian laboratorium
lingkungan adalah untuk kegiatan pemantauan kualitas lingkungan,
pemeriksaan status penaatan terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang pengelolaan lingkunganhidup, penyidikan kasus
lingkungan serta kajian dan evaluasi baku
mutu lingkungan. Hal ini untuk menjamin akuntabilitas jasa
pengujian parameter kualitas lingkungan serta kepastian hukum
bagi penyedia dan pengguna jasa.
Ayat (2) :
Laboratorium lingkungan merupakan laboratorium yangmempunyai
kemampuan dan kewenangan melaksanakan pengujian parameter
kualitas lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
yaitu laboratorium yang telah memiliki sertifikasi akreditasi dari
lembaga akreditasi yang berwenang serta telah memiliki identitas
registrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Ayat (5) :
Pembinaan laboratorium yang dilakukan terkait dengan upaya
peningkatan kapasitas laboratorium di Daerah agar dapat memenuhi
persyaratan sebagai laboratorium lingkungan.
Pasal 72
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Huruf d :
164
Cukup jelas
Pasal 73
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Huruf d :
Cukup jelas
Huruf e :
Cukup jelas
Pasal 74
Ayat (1) :
Sistem Informasi Lingkungan Hidup memuat antara lain, keragaman
karakter ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumberdaya
alam, dan kearifan lokal.
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 75
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Pasal 78
Huruf a :
165
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Pasal 79
Ayat (1) :
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Ayat (5) :
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Yang dimaksud dengan pendidikan formal adalah jalur pendidikan
yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
tinggi. Pendidikan formal diselenggarakan dengan berstatus negeri
atau swasta.
Yang dimaksud dengan pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang, dengan hasil pendidikan dapat
dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah
melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan.
Yang dimaksud dengan pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan
166
formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai
standar nasional pendidikan.
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Pasal 83
Hal ini dimaksudkan agar tidak terdapat rentang waktu yang cukup
panjang antara berlakunya Peraturan Daerah dengan petunjuk
pelaksanaannya, yang bisa berakibat pada tidak efektifnya Peraturan
Daerah
Pasal 84
Kedudukan Peraturan Walikota merupakan mandatory dari Peraturan
Daerah.
Pasal 85
Cukup jelas
167