Anda di halaman 1dari 33

PENIADAAN JASA BANK KONVENSIONAL; PENGHAPUSAN DANA NON

HALAL BERDASARKAN MAQAHSID SYARIAH


(Studi Pada Badan Amil Zakat Makassar)
RESKIANA
90400114142/AKUNTANSI.D
reskyana.12@mail.com

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara dengan jumlah penduduk Islam yang sangat besar
harusnya sangat berpotensi dalam jumlah pengumpulan dana zakat, tetapi realisasi
yang terjadi tidak demikian, masih terdapat ketimpangan yang sangat besar antara
potensi dan realisasi (Huda dan Sawarjuwono, 2013). Amelia (2012) menyatakan
bahwa tumbuhnya lembaga-lembaga zakat merupakan cermin timbulnya kesadaran
akan perlunya lembaga yang mampu mengelola zakat-zakat masyarakat. Organisasi
Pengelola Zakat terdiri dari Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Badan
Amil zakat (BAZ) adalah organisasi pengelolazakat yang dibentuk oleh pemerintah
terdiri atas unsure masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan,
mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama,
sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah institusi pengelolaan zakat yang
sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan,
sosial atau kemasyarakatan umat Islam, dikukuhkan, dibina dan dildungi oleh
pemerintah (Manunggal, 2011). Menurut Hisamuddin dan Shalikha (2014)
Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) sebagai salah satu institusi yang dihadapkan
dengan peningkatan kesadaran dan pengawasan masyarakat tentang pengumpulan
zakat dan penyaluran zakat harus mengacu pada UU no.23 tahun 2011 dan
penyusunan laporan keuangan wajib berdasarkan PSAK nomor 109 . Dengan adanya
aturan tersebut diharapkan ada perkembangan dan pertumbuhan dalam hal
pengelolaan zakat yang baik termasuk pencatatannya, sehingga kepercayaan
masyarakat dapat meningkat untuk menyalurkan zakatnya melalui Lembaga Amil
Zakat maupun Badan Amil Zakat. Hisamuddin dan Shalikha (2014) menyatakan
bahwa dengan adanya perubahan aturan tersebut juga BAZNAS dan LAZ dapat

1
mengumpulkan dan menyalurkan dana zakat lebih meningkat lagi dari tahun-tahun
sebelumnya. Selain dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan, salah satu cara
yang juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Organisasi
Pengelola Zakat yaitu dengan menerapkan sistem pengendalian yang baik pada OPZ
(Nikmatuniayah, 2014). Implementasi zakat di negara-negara muslim dapat
dikategorikan dalam dua bagian yaitu: Pertama, sistem pembayaran zakat secara
wajib (mandatory system) di mana sistem pengelolaan zakat ditangani oleh negara
dan terdapat sanksi bagi yang tidak membayar zakat dan yang kedua, sistem
pembayaran zakat secara sukarela (voluntary system) di mana wewenang pengelolaan
zakat berada pada tangan pemerintah ataupun masyarakat sipil dan tidak terdapat
sanksi hukum bagi yang tidak menunaikan kewajiban (Huda dan Sawarjuono, 2013).
Raziq dan Yanti (2013); Megawati dan Trisnawati (2014); Wati dkk (2016)
menjelaskan bahwa pada awalnya Lembaga Amil Zakat di Indonesia menggunakan
PSAK No. 45 tentang pelaporan keuangan organisasi nirlaba, namun seiring dengan
perkembangan zaman dan adanya tuntutan untuk segera memiliki suatu standar yang
baku dalam pelaporan LAZ, maka Forum Zakat (FOZ) mengadakan kerjasama
dengan Ikatan Akuntan Indonesia untuk menyusun PSAK Zakat pada tahun 2007,
dan pada tahun 2008, IAI telah menyelesaikan ED PSAK Nomor 109 tentang
Akuntansi Zakat yang resmi diberlakukan untuk penyusunan dan penyajian laporan
keuangan entitas pengelola zakat per 1 januari 2009. Akhirnya pada bulan Oktober
2011, ED PSAK Nomor 109 telah disahkan oleh IAI sebagai standarisasi pelaporan
akuntansi zakat bagi OPZ. Menurut Raziq dan Yanti (2013) Akuntansi zakat
merupakan akuntansi yang digunakan oleh lembaga pengelola zakat yang telah
disahkan oleh pemerintah baik berbentuk Badan Amil Zakat (BAZ) ataupun
berbentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Kristin dan Umah (2011) menyatakan
banyak orang menganggap bahwa salah satu fungsi akuntansi Islam yang palin
penting adalah Akuntansi Zakat, bahkan ada yang menganggap Akuntansi Islam itu
adalah untuk menghitung zakat.
PSAK 109 Tentang Akuntasi Zakat dan Infak/sedekah merupakan suatu hal
yang dinantikan pemberlakuannya yang diharapkan dapat terwujudnya keseragaman
pelaporan, dan kesederhanaan pencatatan, sehingga publik dapat membaca laporan
akuntansi pengelola zakat serta mengawasi pengelolaannya (Megawati dan

2
Trisnawati 2014). Istutik (2013) menjelaskan bahwa laporan keuangan lembaga amil
menjadi salah satu media untuk pertanggungjawaban operasionalnya, yaitu dalam
mengumpulkan dan menyalurkan dana zakat infak dan sedekah (ZIS), untuk itu agar
laporan keuangan tersebut akuntabel dan transparan maka dibutuhkan standar
akuntansi yang mengaturnya. Kristin dan Umah (2011) menjelaskan bahwa
akuntabilitas organisasi pengelola zakat ditunjukkan dalam laporan keuangan
tersebut, untuk bisa disahkan sebagai organisasi resmi, lembaga zakat harus
menggunakan sistem pembukuan yang benar dan siap diaudit akuntan publik.
Puspitasari dan Habiburrochman (2013) menjelaskan bahwa konsep akuntabilitas
menempati posisi yang sangat penting bagi organisasi dalam menyajikan,
melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas serta sejauh mana laporan
keuangan memuat semua informasi yang relevan yang dibutuhkan oleh masayrakat.
Menurut Megawati dan Trisnawati (2014) dengan adanya PSAK 109 ini maka setiap
OPZ akan memiliki standar pelaporan yang sama dan sifatnya mengikat.
Transparansi dalam pengelolaan dana publik, dalam hal ini dana zakat, infak dan
sedekah menumbuhkan kepercayaan muzaki untuk membayar zakat dan semakin
meningkatkan motivasi muzaki untuk menunaikan kewajibannya. BAZNAS perlu
fokus pada atribut yang top prioritas dalam rangka meningkatkan kinerjanya
sehingga kesadaran muzaki untuk membayar zakat melalui lembaga amil dapat
ditingkatkan dengan baik (Ayuniyyah, 2014).
Dalam meningkatkan pembayaran zakat pada Lembaga Amil Zakat, para
muzaki harus dimotivasi bahwa pada dasarnya menunaikan zakat bukan hanya
merupakan kewajiban, namun zakat bisa berbalik menjadi kebutuhan setiap umat
muslim. Kebutuhan ini dapat dikategorikan sebagai kebutuhan agama dimana zakat
dapat menjadi instrumen yang dapat lebih mendekatkan manusia dengan Allah SWT.
Zakaria dan Malek (2014); dan Zakaria (2014) menyatakan bahwa Maqashid syariah
menetapkan 5 elemen kebutuhan manusia yang penting dan harus dipenuhi yaitu
agama, jiwa, keturunan, harta dan akal disesuaikan dengan konteks zamannya.
Menurut Birton (2015) tujuan akhir maqasid syariah yaitu untuk mencapai
kemaslahatan (mashlahah atau maslahat). Madania dan Nafik (2016) menyatakan
bahwa konsep maqashid syariah pada hakekatnya didasarkan pada wahyu untuk
mewujudkan kemasalahatan hidup umat manusia. Pemahaman mengenai jenis-jenis

3
zakat merupakan salah satu aspek dalam maqashid syariah zakat yang menentukan
keberhasilan dalam pengumpulan dana zakat, pemahaman maqashid syariah juga
berkaitan dengan pengelolaan dana zakat oleh pengelola lembaga amil zakat serta
pemahaman maqashid syariah yang baik dan benar akan memberikan panduan bagi
pengelola untuk dapat mengelola lembaga amil zakat, hal ini juga untuk menghindari
tindakan penyelewengan dana zakat, begitu juga denga pemahaman akan konsep
zakat itu sendiri (Madania dan Nafik 2016).
Salah satu pembahasan dalam PSAK Nomor 109 tentang Akuntansi Zakat
adalah mengatur sumber penerimaan dan penyaluran dana non halal. Adapun
ketentuan ED PSAK Nomor 109 tentang pengakuan dan pengukuran dana non halal,
yaitu: pertama, penerimaan dana non halal adalah semua penerimaan dari kegiatan
dan tidak sesuai dengan prinsip syariah, antara lain penerimaan jasa giro atau bunga
yang berasal dari bank konvensional. Penerimaan dana non halal pada umumnya
terjadi dalam kondisi darurat atau kondisi yang tidak diinginkan oleh entitas syariah
karena secara prinsip dilarang. Kedua, penerimaan dana non halal diakui sebagai
dana non halal, yang terpisah dari dana zakat, dana infak/sedekah dan amil zakat.
Aset non halal disalurkan sesuai dengan prinsip syariah. Ketiga, amil harus
mengungkapkan keberadaan dana non halal, jika ada, diungkapkan mengenai
kebijakan atas penerimaan dan penyaluran dana, alasan, dan jumlahnya.
Badan/Lembaga Amil Zakat dalam pencatatan laporan keuangan harus
menerapkan atau mengacu pada PSAK No. 109. Dalam pengelolaan zakat, amil
harus menyajikan dana zakat, dana infak/sedekah, dana amil dan dana non halal
secara terpisah dalam neraca karena peruntukkan, dan tujuannya jelas dalam syariat
Islam, yakni hanya kepada 8 golongan/asnaf yang terdapat dalam al-Quran yang
berhak menerima zakat, infak/sedekah lebih fleksibel lagi peruntukkannya asalkan
tidak bertentangan dengan syariat, dan dana non halal berdasarkan ijtihad ulama
hanya diperuntukkan untuk sarana kepentingan umum seperti MCK, jalan, atau tidak
dapat dibagikan untuk konsumsi orang perorangan (Megawati dan Trisnawati 2014).
Dalam proses kegiatan pengumpulan dana zakat yang dilakukan, BAZNAS dan LAZ
memiliki rekening tidak hanya di bank syariah saja melainkan bank konvensional
juga agar mempermudah penerimaan dana zakat dari berbagai sumber terutama
sistem transfer melalui rekening bank konvensional sehingga mengakibatkan

4
munculnya dana non halal berupa pendapatan jasa giro atau bunga bank
konvensional dan hal tersebut menurut prinsip syariah Islam adalah haram
(Hisamuddin dan Shalikha, 2014). Menurut Raziq dan Yanti (2013) Entitas syariah
berhubungan dengan lembaga keuangan konvensional dalam rangka lalu lintas
keuangan dan pembayaran karena secara sistem keuangan belum bisa
diselenggarakan oleh lembaga keuangan syariah sehingga statusnya adalah darurat.
Menurut Raziq dan Yanti (2013) bahwa Menyalurkan dana non halal itu lebih utama
dalam satu hal yang bermanfaat bagi kaum Muslimin dari pada membiarkannya
berpindah ke tangan kaum kafir yang akhirnya akan mereka gunakan untuk bekerja
sama dalam hal-hal yang diharamkan Allah.
Menurut Raziq dan Yanti (2013) Dalam hukum asal muamalah segala
sesuatu hukumnya boleh dilakukan kecuali ada ayat alquran atau al hadits yang
melarangnya. Penerimaan zakat, infak, shodaqoh dari muzzaki melalui transfer bank
konvensional pada saat tertentu bisa jadi terdapat unsur dana non halal yaitu berupa
bunga bank, sedangkan bunga dari bank konvensional merupakan bagian dari riba
dan riba adalah tidak sesuai dengan syariat (Hisamuddin dan Shalikha, 2014). Allah
SWT berfirman:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkat
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhan-nya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah kepada Allah). Orang yang
mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal didalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkansedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa (QS. Albaqarah: 275-276).

Dengan merujuk pada ayat di atas maka hendaklah penerimaan dana non
halal itu dihapuskan sehingga Lembaga Amil Zakat terlepas dari praktik ribawi.
Menurut Mohsin (2015) Lembaga zakat merupakan salah satu lembaga keuangan
alternatif yang membantu menghilangkan riba dari masyarakat muslim. Namun pada
praktiknya justru Lembaga Amil Zakat terlibat dalam praktik ribawi dengan
mengambil jasa bank konvensional sebagai lalu lintas keuangan dan pembayaran
zakat dan infak/sedekah. Seiring dengan perkembangan zaman, lembaga keuangan

5
syariah atau perbankan syariah juga mengalami perkembangan yang cukup pesat
sehingga penggunaan jasa bank konvensional tidak lagi bisa dikategorikan sebagai
keadaan darurat. Pemahaman maqashid syariah yang baik dan benar akan
memberikan panduan bagi pengelola untuk dapat mengelola lembaga amil zakat, hal
ini juga untuk menghindari tindakan penyelewengan dana zakat, begitu juga dengan
pemahaman akan konsep zakat itu sendiri (Madania dan Nafik 2016). Puspitasari dan
Habiburrochman (2013) menjelaskan bahwa dana non-halal seharusnya tidak
digunakan dalam praktik LAZ dan BAZ karena bertentangan dengan Al-Quran,
seperti halnya konsep syariah menginginkan dalam segala proses transaksi syariah
seharusnya menghindari hal-hal yang dilarang syariah. Berdasarkan fenomena
tersebut maka peneliti terdorong untuk mengkaji peniadaan jasa bank konvensional
dalam rangka penghapusan dana non halal Organisasi Pengelola Zakat (OPZ).
Hilangnya dana non halal pada Lembaga Amil Zakat maka nilai keislamannya akan
lebih tercermin dan lebih diridhoi oleh Allah SWT. Selain itu, para muzaki lebih
tenang karena zakat atau infak yang diberikan tidak akan memunculkan riba dan
mustahikpun akan tenang dalam menerima zakat atau infak karena dana yang
disalurkan kepadanya bersih dari dana non halal. Dengan demikian penelitian ini
berkaitan dengan Sharia Enterprise Theory (SET). Diamana SET memiliki cakupan
akuntabilitas yang lebih luas. Akuntabilitas yang dimaksud adalah akuntabilitas
kepada Tuhan, manusia, dan alam (Husain dan W. Abdullah 2015).

B. Rumusan Masalah
Dalam ED PSAK Nomor 109 menyebutkan dana non halal adalah semua
penerimaan dari kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, seperti
penerimaan bunga bank dan jasa giro yang berasal dari bank konvensional.
Penerimaan dana non halal pada umumnya terjadi dalam kondisi darurat. Lembaga
Amil Zakat berhubungan dengan lembaga keuangan konvensional dalam rangka lalu
lintas keuangan dan pembayaran karena secara sistem keuangan belum bisa
diselenggarakan oleh lembaga keuangan syariah sehingga statusnya adalah darurat
(Raziq dan Yanti, 2013). Namun, saat ini perbankan syariah dan lembaga keuangan
syariah lainnya semakin berkembang dan perbankan syariah juga semakin banyak
sehingga penggunaan jasa bank konvensional tidak lagi bisa dikategorikan sebagai
keadaan darurat. Dengan demikian rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

6
1. Bagaimana meniadakan jasa bank konvensional pada Badan Amil Zakat
Makassar?
2. Bagaimana menghapuskan secara permanen penerimaan dana non halal pada
Badan Amil Zakat Makassar agar sesuai dengan maqashid syariah?
3. Bagaimana pelaksanaan PSAK No 109 tentang Akuntansi Zakat dan
Infak/Sedekah pada Badan Amil Zakat Makassar sesuai dengan maqashid
syariah?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian berdasarkan perumusan masalah di atas, yaitu:
1. Untuk meniadakan jasa bank konvensional pada Badan Amil Zakat Makassar.
2. Untuk menghapuskan secara permanen penerimaan dana non halal pada Badan
Amil Zakat Makassar.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan PSAK No 109 tentang Akuntansi Zakat dan
Infaq/shadaqah pada Badan Amil Zakat Makassar sesuai dengan maqashid
syariah.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu:
1. Manfaat Teoretis: penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap
Shariah Enterprise Theory (SET) dalam mengaplikasikan akuntansi zakat. Shariah
Enterprise Theory (SET) petama kali dipopulerkan oleh Iwan Triyuwono (2000).
Konsep Shariah Enterprise Theory oleh Iwan Triyuwono dikembangkan
berdasarkan pada metafora zakat pada dasarnya memiliki karakter keseimbangan.
Teori ini sangat menekankan adanya keseimbangan dimana pertanggungjawaban
bukan hanya kepada sesama manusia, namun pertanggungjawaban kepada Tuhan,
manusia dan alam. Pada penelitian sebelumnya teori ini banyak digunakan pada
aspek CSR yang dilakukan oleh perbankan syariah, namun dengan adanya
penelitian ini Shariah Enterprise Theory (SET) dapat pula diterapkan pada Badan
Amil Zakat.
2. Manfaat Praktis: penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi
pengelola Badan Amil Zakat agar tidak lagi menerima dana non halal karena dana
non halal merupkan dana yang diperoleh dari praktik ribawi yang tidak

7
mencerminkan nilai islam. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
pertimbangan bagi muzaki agar tidak lagi menggunakan jasa bank konvensional
sebagai lalu lintas pembayaran agar tidak menimbulkan dana non halal.
3. Manfaat Regulasi: dalam PSAK No. 109 tentang Akuntansi Zakat terdapat
ketentuan mengenai pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan dana
non halal. adanya ketentuan ini mengindikasikan PSAK No 109 memperbolehkan
adanya dana non halal pada Badan amil Zakat padahal dana non halal merupakan
praktik ribawi yang dilarang dalam islam. Maka dari itu, sebaiknya PSAK No 109
menghilangkan ketentuan mengenai dana non halal, agar PSAK No 109 sejalan
dengan ketentuan syariat islam atau sesuai dengan maqashid syariah.

8
II. TINJAUAN TEORETIS

A. Shariah Enterprise Theory


Shariah Enterprise Theory pertama kali diperkenalkan oleh Iwan Triyuwono
pada tahun 2000. Shariah Enterprise Theory merupakan penyempurnaan teori dari
enterprise theory yang telah diinternalisasi dengan nilai-nilai Islam guna
menghasilkan teori yang transendental dan lebih humanis yang dibagun bersarkan
metafora zakat yang memiliki karakter keseimbangan yang tidak hanya peduli pada
kepentingan individu (dalam hal ini pemegang saham), tetapi juga mencakup
kepentingan stakeholders secara luas (Indriastusti dan Ifada, 2015; Hermawan dan
Rini, 2016; Novarela dan Sari, 2015; Husain dan W. Abdullah, 2015; Samsiyah et al.
2013; dan Kalbarini, 2014). Bagian yang terpenting dan yang utama dari shari'ate
enterprise theory yang harus mendasari setiap penetapan konsepnya adalah kesadaran
akan Allah adalah pencipta dan pemilik tunggal dari seluruh alam (Konsep Tauhid).
Maka dari itu sebagai penerima amanah, manusia hanyalah memiliki hak guna pakai
dan bukannya hak milik, sehingga dituntut adanya pertanggungjawaban dalam
menggunakan amanah itu dengan cara dan tujuan yang telah ditetapkan oleh Sang
pemberi amanah (Soedarso, 2013). Pengembangan shariah enterprise theory
memberikan sisi baru dalam dunia akuntansi yang berada dalam bentuk
keseimbangan material dan spiritual (Husain dan W. Abdullah, 2015).
Menurut Triyuwono (2007) Shariah enterprise theory (SET) dikembangkan
atas dasar pemahaman memiliki kepedulian yang seimbang pada stakeholders yang
luas, yaitu Allah, manusia dan alam. Allah menempati tempat sebagai stakeholder
tertnggi karena Allah adalah Maha pencipta akan segala sesuatu. Dengan
ditempatkannya Allah sebagai stakeholder tertinggi maka ketentuan akuntansi
syariah hanya dibangun berdasarkan pada hukum-hukum Allah sehingga tidak lagi
melenceng dari syarit. Manusia yang merupakan stakeholder kedua terdiri dari direct-
stakeholder dan indirect-stakeholder. Direct-stakeholder merupakan pihak-pihak
yang secara langsung memberikan kontribusi kepada persahaan. Sedangkan indirect-
stakeholder adalah pihak yang tidak memberikan kontribusi langsung kepada
perusahaan namun secara syariah memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan
oleh perusahaan. Stakeholder ketiga yaitu alam yang juga tak kalah penting. Alam
merupakan pihak yang memberikan kontribusi bagi perusahaan dimana bumi sebagai

9
tempat berpijaknya atau tempat beroperasinya perusahaan. Selain itu, Allah telah
menjadikan alam sebagai tempat tersedianya segala bahan yang dibutuhkan oleh
perusahaan.
Menurut Husain dan W. Abdullah (2015) Peran SET yang mengedepankan
kesadaran akan ketuhanan akan memunculkan situasi dimana manusia sebagai
pengolah alam akan selalu tersadarkan. Ditempatkannya Allah sebagai stakeholder
tertinggi dari manusia dan kemudian menjadikan alam sebagai salah satu stakeholder
yang juga tak kalah penting maka dalam suatu entitas tindak hanya melihat atau
memperhatikan aspek individu saja namun harus berlandaskan sesuai dengan
ketentuan syariah. Jika dikaitkan dengan konsep pengelolaan dana zakat maka
pengelolaan dana tersebut bukan hanya pertanggungjawaban terhadap sesama
manusia (antara muzaki, BAZ, dan Mustahik) namun pertanggungjawaban tersebut
lebih condong kepada Allah SWT yang Maha pencipta. Manusia yang berada pada
lingkup organisasi (Badan Amil Zakat) harus memiliki kesadaran bahwa segala yang
ada dimuka bumi adalah milik Allah SWT, manusia hanyalah sebagai pengemban
amanah yang diberi tugas untuk mengolahnya sesuai dengan hukum Allah SWT.
Maka, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum Allah seperti adanya
penerimaan dana non halal pada Organisasi Pengelola Zakat haruslah dihilangkan.

B. Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah: PSAK No. 109


PSAK 109 tentang akuntansi zakat telah disahkan oleh Dewan Standar
Akuntansi Keuangan pada tanggal 26 Februari 2008. Pernyataan ini diterapkan
untuk:
1. Mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan transaksi zakat
infak/ sedekah
2. Untuk amil yang menerima dan menyalurkan zakat dan infak atau sedekah
Menurut PSAK No. 109, akuntansi zakat memiliki beberapa karakteristik,
yaitu:
1. Zakat merupakan kewajiban syariah yang harus diserahkan oleh muzakki kepada
mustahiq baik melalui amil maupun secara langsung. Ketentuan zakat mengatur
mengenai persyaratan nisab, haul (baik yang periodik maupun yang tidak
periodik), tarif zakat (qadar), dan peruntukannya.

10
2. Infak/sedekah merupakan donasi sukarela, baik ditentukan maupun tidak
ditentukan peruntukannya oleh pemberi infak/sedekah.
3. Zakat dan infak/sedekah yang diterima oleh amil haru dikelola sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah dan tata kelola yang baik.
Berdasarkan PSAK 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah
pengakuan, pengukuran dan penyajuan akuntansi zakat dan infak/sedekah adalah
sebagai berikut:
1. Pengakuan awal zakat
a. Penerimaan zakat diakui pada saat kas atau asset lainnya diterima.
b. Zakat yang diterima dari muzakki diakui sebagai penambah dana zakat:
1) jika dalam bentuk kas maka sebesar jumlah yang diterima
2) jika dalam bentuk nonkas maka sebesar nilai wajar aset nonkas tersebut.
Penentuan nilai wajar aset nonkas yang diterima menggunakan harga
pasar. Jika harga pasar tidak tersedia, maka dapat menggunakan metode
penentuan nilai wajar lainnya sesuai yang diatur dalam PSAK yang
relevan.
c. Zakat yang diterima diakui sebagai dana ami untuk bagian amil dan dana
zakat untuk bagian nonamil. Penentuan jumlah atau persentase bagian untuk
masing-masing mustahiq ditentukan oleh amil sesuai dengan prinsip syariah
dan kebijakan amil.
d. Jika muzakki menentukan mustahiq yang harus menerima penyaluran zakat
melalui amil maka aset zakat yang diterima seluruhnya diakui sebagai dana
zakat. Jik atas jasa tersebut amil mendapatkan ujrah/fee maka diakui sebagai
penambah dana amil.
2. Pengukuran setelah pengakuan awal zakat
Jika terjadi penurunan nilai aset zakat nonkas, jumlah kerugian yang
ditanggung harus diperlakukan sebagai pengurang dana zakat atau pengurang
dana amil tergantung dari sebab terjadinya kerugian tersebut. Penurunan nilai
aset zakat diakui sebagai:
a. Pengurang dana zakat, jika terjadi tidak disebabkan oleh kelalaian amil;
b. Kerugian dan pengurang dana amil, jika disebabkan oleh kelalaian amil.
3. Penyaluran zakat

11
Zakat yang disalurkan kepada mustahiq diakui sebagai pengurang dana
zakat sebesar:
a. Jumlah yang diserahkan, jika dalam bentuk kas;
b. Jumlah tercatat, jika dalam bentuk asset nonkas.
4. Penagkuan awal infak/ sedekah
a. Infaq/shadaqah yang diterima diakui sebagai dana infaq/shadaqah terikat atau
tidak terikat sesuai dengan tujuan pemberi infaq/shadaqah sebesar:
1) Jumlah yang diterima, jika dalam bentuk kas;
2) Nilai wajar, jika dalam bentuk nonkas. Penentuan nilai wajar aset nonkas
yang diterima menggunakan hargapasar untuk aset nonkas tersebut. Jika
harga pasar tidak tersedia, maka dapat menggunakan metode penentuan
nilai wajar lainnya sesuai yang diatur dalam PSAK yang relevan.
b. Infaq/shadaqah yang diterima diakui sebagai dana amil untuk bagian amil dan
dana infaq/shadaqah untuk bagian penerima infaq/shadaqah. Penentuan
jumlah atau persentase bagian untuk para penerima infaq/shadaqah ditentukan
oleh amil sesuai dengan prinsip syariah dan kebijakan amil.
5. Pengukuran setelah pengakuan awal infaq/shadaqah
Infaq/shadaqah yang diterima dapat berupa kas atau aset nonkas. Aset
nonkas dapat berupa aset lancar atau tidak lancar. Aset tidak lancar yang
diterima oleh amil dan diamanahkan untuk dikelola dinilai sebesar nilai wajar
saat penerimaannya dan diakui sebagai aset tidak lancar infaq/shadaqah.
Penyusutan dari aset tersebut diperlakukan sebagai pengurang dana
infaq/shadaqah terikat apabila penggunaan atau pengelolaanaset tersebut sudah
ditentukan oleh pemberi. Amil dapat pula menerima aset nonkas yang
dimaksudkan oleh pemberi untuk segera disalurkan. Aset seperti ini diakui
sebagai aset lancar. Aset inidapat berupa bahan habis pakai, seperti bahan
makanan; atau aset yangmemiliki umur ekonomi panjang, seperti mobil
ambulance. Aset nonkas lancar dinilai sebesar nilai perolehan sedangkan aset
nonkas tidak lancar dinilai sebesar nilai wajar sesuai dengan PSAK yang
relevan. Penurunan nilai asset infaq/shadaqah tidak lancar diakui sebagai: (a)
pengurang dana infaq/shadaqah, jika terjadi bukan disebabkan oleh
kelalaianamil; (b) kerugian dan pengurang dana amil, jika disebabkan oleh

12
kelalaian amil. Dalam hal amil menerima infaq/shadaqah dalam bentuk aset
(nonkas) tidak lancar yang dikelola oleh amil, maka aset tersebut harus dinilai
sesuai dengan PSAK yang relevan. Dana infaq/shadaqah sebelum disalurkan
dapat dikelola dalam jangka waktu sementara untuk mendapatkan hasil yang
optimal. Hasil dana pengelolaan diakui sebagai penambah dana infaq/shadaqah.
6. Penyaluran infaq/shadaqah
Penyaluran dana infaq/shadaqah diakui sebagai pengurang
danainfaq/shadaqah sebesar jumlah yang diserahkan jika dalam bentuk kas dan
nilai tercatat aset yang diserahkan jika dalam bentuk aset nonkas. Penyaluran
infaq/shadaqah kepada amil lain merupakan penyaluran yang mengurangi dana
infaq/shadaqah sepanjang amil tidak akan menerima kembali aset
infaq/shadaqah yang disalurkan tersebut. Penyaluran infaq/shadaqah kepada
penerima akhir dalam skema dana bergulir dicatat sebagai piutang
infaq/shadaqah bergulir dan tidak mengurangi dana infaq/shadaqah.
7. Dana non halal
Penerimaan nonhalal adalah semua penerimaan dari kegiatan yang
tidaksesuai dengan prinsip syariah, antara lain penerimaan jasa giro atau bunga
yangberasal dari bank konvensional. Penerimaan nonhalal pada umumnya terjadi
dalam kondisi darurat atau kondisi yang tidak diinginkan oleh entitas syariah
karena secara prinsip dilarang. Penerimaan non halal diakui sebagai dana
nonhalal, yang terpisah dari dana zakat, dana infaq/sedekah dan dana amil. Aset
nonhalal disalurkan sesuaidengan syariah.
8. Penyajian akuntansi zakat dan infak/ sedekah yaitu Amil menyajikan dana zakat,
dana infak/ sedekah, dana amil, dan dana nonhalal secara terpisah dalam neraca
(laporan posisi keuangan).
Adapun pengungkapan transaksi akuntansi zakat dan infak/sedekah adalah
sebagai berikut:
1. Zakat
Amil harus mengungkapkan hal hal berikut terkait dengan transaksi zakat,
tetapi tidak terbatas pada:
a. Kebijakan penyaluran zakat, seperti penentuan skala prioritas penyaluran, dan
penerima

13
b. Kebujakan pembagian antara dana amil dan dana nonamil atas penerimaan
zakat, seperti presentase pembagian, alasan, dan konsistensi kebijakan
c. Metode penentuan nilai wajar yang akan digunakan untuk penerimaan zakat
berupa aset nonkas
d. Rincian jumlah penyaluran dana zakat yang mencakup jumlah beban
pengelolaan dan jumlah dana yang diterima langsung mustahik
e. Hubungan istimewa antara amil dan mustahik yang meliputi:
1) Sifat hubungan istimewa
2) Jumlah dan jenis aset yang disalurkan
3) Presentase dari aset yang disalurkan tersebut dari total penyaluran selama
periode
2. Infak atau sedekah
Amil harus megungkapkan hal-hal berikut terkait dengan transaksi infak
atau sedekah, tetapi tidak terbatas pada:
a. Metode penentuan nilai wajar yang digunakan untuk penerimaan infak atau
sedekah berupa aset nonkas
b. Kebijakan pembagian antara dana amil dan dana nonamil atas penerimaan
infak atau sedekah, seperti presentase pembagian, alasan, dan konsistensi
kebijakan
c. Kebijakan penyaluran infak atau sedekah, seperti penentuan skala prioritas
penyaluran, dan penerima
d. Keberadaan dana infak atau sedekah yang tidak langsung disalurkan tetapi
dikelola terleih dahulu, jika ada, maka harus diungkapkan jumlah dan
presentase dari seluruh penerimaan infak atau sedekah selama periode
pelaporan serta alasannya
e. Penggunaan dana infak atau sedekah menjadi aset kelolaan yang diperuntukkan
bagi yang berhak, jika ada, jumlah dan presentase terhadap seluruh penggunaan
dana infak atau sedekah serta alasannya.
f. Rincian julah penyaluran dana infak atau sedekah yang mencakup jumlah
beban pengelolaan dan jumlah dana yang diterima langsung oleh penerima
infak atau sedekah

14
g. Rincian dana infak atau sedekah berdasarkan peruntukannya, terikat dan tidak
terikat
h. Hubungan istimewa antara amil dengan penerima infak atau sedekah yang
meliputi:
1) Sifat hubungan istimewa
2) Jumlah dan jenis aset yang dislurkan
3) Presentase dari aset yang disalurkan tersebut dari total penyaluran selama
periode
3. Selain membuat pengungkapan amil mengungkapkan hal-hal berikut:
a. Keberadaan dana nonhalal, jika ada, diungkapkan mengenai kebijakan atas
penerimaan dan penyaluran dana, alasan, dan jumlahnya
b. Kinerja amil atas penerimaan dan penyaluran dana zakat dan dana infak atau
sedekah.
Komponen laporan keuangan lengkap LAZ berdasarkan pada PSAK Nomor
109 sebagai berikut.
1. Laporan posisi keuangan.
Amil menyajikan dalam laporan keuangan dengan memperhatikan
ketentuan dalam SAK yang relevan mencakup, tetapi tidak terbatas pada, pos-pos
berikut:
a. Aset terdiri dari kas dan setara kas, piutang, efek, aset tetap dan akumulasi
penyusutan.
b. Liabilitas terdiri dari biaya yang masih harus dibayar dan liabilitas imbalan
kerja.
c. Saldo dana terdiri dari dana zakat, dana infak/sedekah, dan dana amil.
2. Laporan perubahan dana.
Amil menyajikan laporan perubahan dana zakat, dana infak/sedekah, dan
dana amil. Penyajian laporan perubahan dana mencakup, tetapi tidak terbatas
pada, pos-pos berikut:
a. Dana zakat yang meliputi: penerimaan dana zakat, penyaluran dana zakat baik
kepada amil atau mustahik nonamil, saldo awal dana zakat dan saldo akhir
dana zakat.

15
b. Dana infak/sedekah yang meliputi: penerimaan dana infak/sedekah baik
infak/sedekah terikat (muqayyadah) maupun infak/sedekah tidak terikat
(mutlaqah), penyaluran dana infak/sedekah baik infak/sedekah terikat
(muqayyadah) maupun infak/sedekah tidak terikat (mutlaqah), saldo awal dana
infak/sedekah, dan saldo akhir dana infak/sedekah;
c. Dana amil yang meliputi: penerimaan dana amil yakni bagian amil dari dana
zakat, bagian amil dari dana infak/sedekah, penerimaan lain; pengggunaan
dana amil; saldo awal dana amil; dan saldo akhir dana amil.
3. Laporan perubahan aset kelolaan
Amil menyajikan laporan perubahan aset kelolaan yang mencakup, tetapi
tidak terbatas pada:
a. Aset kelolaan yang termasuk aset tidak lancar dan akumulasi penyisihan;
b. Aset kelolaan yang termasuk aset tidak lancar dan akumnulasi penyusutan;
c. Penambah dan pengurangan;
d. Saldo awal;
e. Saldo akhir.
4. Laporan arus kas
Amil menyajikan laporan arus kas sesuai dengan PSAK 2: Laporan Arus
Kas dan SAK lain yang relevan.
5. Catatan atas laporan keuangan.
Amil menyajikan catatan atas laporan keuangan sesuai dengan PSAK 101:
Penyajian Laporan keuangan Syariah dan SAK lain yang relevan.

C. Konsep Dasar Dana Non Halal


Dana non halal bukan merupakan pendapatan yang diterima oleh entitas
syariah seperti dana dari hasil pencurian, korupsi, perjudian, dan lain-lain. Menurut
hisamuddin dan sholikha (2014) Dana non halal adalah sumber dana kebajikan yang
berasal dari bank syariah dengan pihak lain yang tidak menggunakan skema syariah.
Dalam PSAK nomor 109 penerimaan dana non halal adalah semua penerimaan dari
kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, antara lain penerimaan jasa giro
atau bunga yang berasal dari bank konvensional. Sedangkan menurut FOZ dalam
Raziq dan Yanti (2013) dana non halal adalah adalah dana yang diperoleh dari bank
konvensional dimana tidak menjadi suatu kesengajaan untuk disimpan melainkan

16
sebuah fasilitas yang disediakan bagi muzaki untuk mempermudah melakukan
transaksi. Dari beberapa pengertian dana non halal diatas, maka dapat disimpulakan
bahwa dana non halal adalah dana yang bersumber dari bunga bank dan jasa giro
yang ditibulkan karena danya penggunaan jasa bank konvensional dalam lalu lintas
pembayaran dana ZIS yang bukan merupakan suatu kesengajaan dalam menerianya
melainkan karena adanya kondisi darurat. Dikatakan darurat karena pada umumnya
masyarakat Indonesia menggunakan rekening bank konvensional, sehingga untuk
mempermudah muzaki dalam membayar zakat maka Badan Amil Zakat melakukan
kerja sama dengan pihak bank konvensional.
Penyaluran dana non halal lebih utama bagi kaum muslim daripada
membiarkan dana non halal tersebut jatuh ke tangan kau kafir yang nantinya akan
menggunakan dana tersebut ke jalan yang dimurkai oleh Allah SWT (Raziq dan
Yanti, (2013). Penyaluran dana non halal harus sesuai dengan prinsip syariah, agar
dana non halal ini kelak tidak akan menjadi boomerang bagi kaum muslim itu
sendiri. Penyaluran dana non halal harus menghindari adanya konsumsi dan fasilitas
ibadah karena dana non halal hanya diperuntukkan untuk sarana kepentingan umum,
seperti pembangunan jalan, dan pengadaan tempat sampah (Megawati dan
Trisnawati, 2014).
Penerimaan dana non halal oleh amil dipisahkan dari dana zakat, dana infak,
dan shodaqoh. Penerimaan bunga bank, jasa giro dan sebagainya diakui sebagai dana
non halal menurut PSAK nomor 109. Dana non halal ini dipisahkan dari aset pada
laporan keuangan amil karena aset dana non halal harus dikeluarkan/disalurkan
sesuai dengan syariah. Dana non halal yang diterima oleh amil pada umumnya
merupakan penerimaan dalam keadaan darurat yang tidak sesuai dengan syariat
biasanya merupakan penerimaan yang bersumber dari pendapatan jasa giro bank dan
bunga. Penerimaan zakat, infak, shodaqoh dari muzzaki melalui transfer bank
konvensional itu pada saat tertentu bisa jadi terdapat unsur dana non halal yaitu
berupa bunga bank. Sedangkan bunga dari bank konvensional merupakan bagian dari
riba dan riba adalah tidak sesuai dengan syariat. Maka dari itu, amil harus
memisahkan dana yang sifatnya darurat tersebut dari dana zakat, infak, dan
shodaqoh. Dana non halal memang tidak dapat dihindari oleh amil dan dana tersebut
yang diterima oleh amil tersebut harus segera dikeluarkan atau disalurkan dalam

17
bentuk bantuan umum untuk masyarakat seperti pembangunan jalan, renovasi toilet
umum dan sebagainya. Amil mengungkapkan dana non halal tersebut dan
mengklasifikasikan sesuai dengan sumber penerimaannya. Keberadaan dana non
halal juga tidak boleh terlalu lama berada di amil dan secepat mungkin untuk
dikeluarkan (Hisauddin dan Sholikha, 2014).

D. Konsep Maqashid Syariah


Secara bahasa Maqashid Syariah terdiri dari 2 (dua) kata, maqashid dan
syariah, dimana kata maqashid merupakan bentuk jamak dari maqshad yang berarti
maksud dan tujuan, sedangkan syariah secara bahasa mempunyai arti jalan ke sumber
mata air, yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim (sudrajat dan Sodiq,
2016). Menurut Al- Gazali dalam Birton (2015) Maqasid (tujuan) syariah adalah
meningkatkan kesejahteraan manusia, yang terletak pada perlindungan iman, hidup,
akal, keturunan dan harta dan apa saja yang memantapkan perlindungan kelima hal
ini merupakan kemaslahatan umum dan dikehendaki. Madania dan Nafik (2016)
menyatakan bahwa konsep maqashid syariah pada hakekatnya didasarkan pada
wahyu untuk mewujudkan kemasalahatan hidup umat manusia. Sudrajat dan Sodiq
(2016) menjelaskan bahwa tujuan penetapan hukum atau yang dikenal dengan istilah
maqashid syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan
keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat.
Menurut Kara, Muslimin (2012) Asy-Syathibi membagi maqashid menjadi
tiga kategori tingkatan kebutuhan yaitu:
1. Dharuriyat, kebutuhan tingkat primer adalah sesuatu yang harus ada untuk
eksistensinya manusia atau dengan kata lain tidak sempurna kehidupan manusia
jika tidak memenuhi kelengkapan kehidupan manusia, yaitu secara
peringkatnya: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Kelima hal itu disebut al-
dharuriyat al-khamsah (dharuriyat yang lima). Kelima dharuriyat tersebut adalah
hal yang mutlak harus ada pada diri manusia. Karenanya Allah swt menyuruh
manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan kesempurnaannya.
Sebaliknya Allah swt melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan
atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyat yang lima itu. Segala perbuatan
yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsure pokok itu adalah baik,
dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau

18
mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak baik, dan karenanya harus
ditinggalkan. Semua itu mengandung kemaslahatan bagi manusia.
2. Hajiyat, kebutuhan tingkat sekunder bagi kehidupan manusia yaitu sesuatu
yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri.
Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan
meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri. Namun demikian,
keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan
kesukaran dan kesulitan dalam kehidupan mukallaf.
3. Tahsiniyat, kebutuhan tingkat tertier adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk
memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut kehidupan
tidak akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaan
kebutuhan tingkat ini sebagai penyempurna dari dua tingkatan kebutuhan
sebelumnya, ia bersifat pelengkap dalam kehidupan mukallaf, yang
dititikberatkan pada masalah etika dan estetika dalam kehidupan.
Menurut Madania dan Nafik (2016) Keberadaan konsep maqashid syariah
ternyata dapat memberikan solusi dalam menjawab berbagai problem kekinian yang
tidak diatur oleh wahyu secara tekstual dan kontekstual. Pemahaman mengenai jenis-
jenis zakat merupakan salah satu aspek dalam maqashid syariah zakat yang
menentukan keberhasilan dalam pengumpulan dana zakat. Pemahaman maqashid
syariah juga berkaitan dengan pengelolaan dana zakat oleh pengelola lembaga amil
zakat. Pemahaman maqashid syariah yang baik dan benar akan memberikan panduan
bagi pengelola untuk dapat mengelola lembaga amil zakat, hal ini juga untuk
menghindari tindakan penyelewengan dana zakat, begitu juga dengan pemahaman
akan konsep zakat itu sendiri (Madania dan Nafik, 2016).

E. Evaluasi Kebijakan Penerimaan Dana Non Halal Pada BAZ Berdasarkan


Maqashid Syariah
Badan Amil Zakat (BAZ) merupakan salah satu entitas nirlaba yang
bertujuan untuk mengelola dan menyalurkan dana zakat kepada pihak yang
membutuhkan sesuai dengan ketentuan syariah dan kegiatan operasionalnya jauh dari
transaksi yang melanggar ketentuan syariah seperti transaksi ribawi (Raziq dan
Yanti, 2013). Adanya penerimaa dana non halal pada Badan Amil Zakat akan
menimbulakan pandangan negatif dimasyarakat tentang kepatuhan BAZ terhadap

19
syariah, terutama bagi masyarakat awam akan menimbulkan anggapan bahwa ada
sebagian harta yang diterima atau disalurkan oleh BAZ yang tidak halal. Dana non
halal bukan merupakan pendapatan atau dana yang secara sengaja diterima oleh
entitas syariah seperti hasil korupsi, pencurian, perampokan yang diketahui
sebelumnya oleh entitas syariah tersebut, melainkan dana non halal ini diterima oleh
entitas syariah karena secara sistem entitas syariah otomatis menerima bunga bank
akibat adanya penggunaan jasa bank konvensional sebagai lalu lintas pembayaran
muzaki dalam membayar zakat dan infak/shadaqah.
Penerimaan dana non halal oleh amil dipisahkan dari dana zakat, dana infak,
dan shodaqoh. Penyaluran dana non halal harus sesuai dengan prinsip syariah,
dimana penyaluran dana non halal harus menghindari adanya konsumsi dan fasilitas
ibadah karena dana non halal hanya diperuntukkan untuk sarana kepentingan umum,
seperti pembangunan jalan, dan pengadaan tempat sampah (Megawati dan
Trisnawati, 2014). Namun, masalah haram tetap dinilai haram betapapun baik dan
mulianya niat dan tujuan itu, bagaimanapun baiknya rencana, selama hal itu tidak
dibenarkan oleh Islam, selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat untuk
mencapai tujuan yang terpuji, islam menginginkan tujuan yang suci dan caranya pun
harus suci juga, oleh karena itu siapa yang mengumpulkan dana dengan jalan riba,
maksiat, permainan haram, judi dan sebagainya yang dapat dikategorikan haram
untuk mendirikan masjid atau untuk terlaksananya rencana-rencana yang lainnya,
maka tujuan baiknya tidak akan menjadi syafaat baginya (Hisamuddin dan Sholikha,
2014). Badan Amil Zakat sebagai penghubung antara muzaki dan mustahiq
bertanggungjawab atas pengelolaan dan penyaluran dana ZIS. Pengeloaan dan
penyaluran dana ZIS mencakup kemaslahatan orang banyak maka pengelolaannya
harus bersih dari transaksi ribawi dan sesuai dengan tujuan hukum islam atau dikenal
dengan maqashid syariah. Dengan adanya pemahaman yang baik dan benar
mengenai maqashid syariah maka akan memberikan panduan bagi amil untuk dapat
mengelola Lembaga Amil Zakat, agar terhindar dari praktik ribawi. Islam
menginginkan tujuan yang suci maka proses pencapaiannyapun harus suci, maka dari
itu penerimaan dana non halal seharusnya tidak ada pada Badan Amil Zakat.

20
F. Evaluasi Ketentuan Dana Non Halal Pada PSAK No. 109 Berdasarkan
Maqashid Syariah
Salah satu pembahasan dalam PSAK Nomor 109 tentang Akuntansi Zakat
adalah mengatur sumber penerimaan dan penyaluran dana non halal. Adapun
ketentuan PSAK Nomor 109 tentang pengakuan dan pengukuran dana non halal
yaitu:
1. (Ayat 32) Penerimaan dana non halal adalah semua penerimaan dari kegiatan
dan tidak sesuai dengan prinsip syariah, antara lain penerimaan jasa giro atau
bunga yang berasal dari bank konvensional. Penerimaan dana non halal pada
umumnya terjadi dalam kondisi darurat atau kondisi yang tidak diinginkan oleh
entitas syariah karena secara prinsip dilarang,
2. (Ayat 33) Penerimaan dana non halal diakui sebagai dana non halal, yang
terpisah dari dana zakat, dana infak/sedekah dan amil zakat. Aset non halal
disalurkan sesuai dengan prinsip syariah.
3. (ayat 34) Amil menyajikan dana zakat, dana infak/sedekah, dana amil, dan dana
nonhalal secara terpisah dalam neraca (laporan posisi keuangan).
4. (Ayat 41) Amil harus mengungkapkan keberadaan dana non halal, jika ada,
diungkapkan mengenai kebijakan atas penerimaan dan penyaluran dana, alasan,
dan jumlahnya.
Adanya ketentuan dana non halal pada PSAK No. 109 mengindikasikan
bahwa dana non halal diperbolehkan. Hal ini mengundang pandangan masyarakat
bahwa dana yang disalurkan terdapat dana yang tidak halal atau dana haram. Oleh
karena itu akun dana non halal seharusnya tidak ada dalam laporan keuangan Badan
Amil Zakat (BAZ). PSAK No 109 mengatur tentang Akuntansi Zakat dan
Infak/shadaqah maka ketentuannyapun harus sejalan dengan tujuan hukum islam atau
maqashid syariah. Penerimaan dana non halal dapat ditiadakan apabila BAZ tidak
melakukan kerja sama dengan bank konvensional dan didukung oleh dipertegasnya
PSAK No. 109 yang tidak memperbolehkan adanya dana non halal. Zakat merupakan
salah satu ibadah wajib dalam islam, maka tidak ada toleransi dalam hal peribadatan.
Allah SWT. Berfirman:
Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku (QS. Al-Kafirun:6)

21
Oleh karena itu BAZ dan PSAK harus mempertegas bahwa penerimaan dana non
halal tidak diperbolehkan.
Ketergantungan Badan Amil Zakat terhadap penggunaan jasa bank
konvensional sangat tinggi sehingga peniadaan jasa bak konvensional pada BAZ
sangat sulit dilakukan. Ketergantungan ini disebabkan oleh donator yang lebih
memilih menggunakan rekening bank konvensional. Raziq dan Yanti (2013)
menjelaskan bahwa keputusan supaya BAZ tidak menggunakan rekening bank
konvensional tentunya diperlukan persiapan yang matang antara lain:
1. BAZ harus memahamkan donatur dan calon danatur mengenai hukum riba dan
berinteraksi dengan lembaga riba seperti membuka rekening dibank konvensional
yang menimbulkan penerimaan dana non halal hukumnya adalah haram. Hal ini
bisa dilakukan dengan mengadakan seminar, misalnya dengan tema dibawah
naungan keberkahan syariat Islam, indahnya hidup tanpa riba, dan lain
sebagainya.
2. Forum Zakat (FoZ) seharusnya mampu membuat kesepakatan terhadap semua
BAZ agar secara serentak dan bertahap tidak membuka rekening di bank
konvensional misalnya dengan mencetuskan gerakan bebas ribawi atau gerakan
bebas dana non halal. Jika hanya di lakukan oleh salah satu BAZ saja
kemungkinan besar akan terasa berat.
3. Bank Indonesia dan Persatuan Bank Syariah Indonesia (PBSI) harus mampu
menstimulus Bank Syariah di Indonesia agar meminimalisir kekurangan-
kekurangan yang dimiliki agar mampu memberikan fasilitas yang minimal setara
dengan fasilitas Bank Konvensional sehingga ketika BAZ hanya membuka
rekening syariah, donatur mereka sudah cukup puas dalam pelayanan fasilitas
bank syariah dalam menyalurkan zakatnya.
4. IAI harus bekerja sama dengan FoZ dengan mengeluarkan aturan dalam PSAK
N0. 109 bahwa penerimaan dana non halal tidak diperbolehkan.

G. Penelitian Terdahulu
Roziq dan Yanti (2013) melakukan penelitian yang berjudul: Pengakuan,
Pengukuran, Penyajian dan Pengungkapan Dana Non Halal Pada Laporan Keuangan
Lembaga Amil Zakat. Penelitian ini mengambil studi kasus pada LAZ Yatim
Mandiri, LAZ Rumah Zakat, dan LAZ DD Surabaya dengan menggunakan metode

22
penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis deskriptif. Berdasarkan pendekatan
ini peneliti mengumpulkan, mempersiapkan, dan menganalisis data berupa laporan
keuangan dan hasil wawancara dengan pihak manajemen keuangan organisasi. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa perlakuan dana non halal pada laporan keuangan
LAZ Yatim Mandiri, LAZ Rumah Zakat, dan LAZ DD Surabaya belum sesuai
dengan PSAK No. 109.
Hisamuddin dan Sholikha (2014) melakukan penelitian yang berjdul
Persepsi, Penyajian dan Pengungkapan Dana Non Halal pada BAZNAS dan PKPU
Kaupaten Lumajang. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitaatif dengan
pendekatan eksploratoris. Penelitian ini bertujuan dan berusaha menggali lebih dalam
mengenai dana non halal pada BAZNAS dan PKPU Kabupaten Lumajang. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa BAZNAS dan PKPU Kabupaten Lumajang dalam
pembuatan laporan keuangan telah sesuai dengan PSAK No. 109 dan telah
mengelolan dan menyalurkan dana non halal sesuai dengan ketentuan syariah yaitu
menghindari konsumsi dan fasilitas ibadah.
Megawati dan Trisnawati (2014) dalam penelitiannya yang berjuudul:
Penerapan PSAK No. 109 Tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah pada BAZ
Kota Pekanbaru. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa BAZ Kota
Pekanbaru dalam pelaporan keuangannya telah sesuai dengan PSAK No. 109
Kristin dan Umah (2011) Penerapan Akuntansi Zakat pada Lembaga Amil
Zakat (Studi pada LAZ DPU DT Cabang Semarang). Penelitian ini menggunakan
metodologi penelitian Kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Sumber data dalam
penelitian ini adalah data primer dan sekunder dengan menggunakan teknik
pengumpulan data denan cara observasi langsung, wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa LAZ DPU DT Cabang Semarang belum
sepenuhnya menerapkan PSAK No. 109.
Instutik (2013) Analisis Implementasi Akntansi Zakat dan Infak/Sedekah
(PSAK: 109) pada Lembaga Amil Zakat Di Kota Malang. Penelitian ini
menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif untuk
menjelaskan kondisi factual bentuk dan komponen laporan keuangan yang dimiliki
oleh lembaga amil sebagai cerminan pemehamannya terhadap PSAK No 109. Hasil

23
penelitian ini mnunjukkan bahwa Lembaga Amil Zakat Di Kota Malang belum
menerapkan PSAK No 109 karena kurangnya pemahaman pengelola lembaga amil
terhadap akntansi.
Sahnaz, Sabrina (2016) Penerapan PSAK No 109 Tentang Pelaporan
Keuangan Akuntansi Zakat, Infak/sedekah pada BAZNAS Provinsi Sulawesi Utara.
Penelitian ini bertujuan untuk melhat bagaimana penerapan laporan keuangan
BAZNAS Provinsi SULUT apakah telah sesuai dengan PSAK No. 109. Metode
penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa BAZNAS Provinsi SULUT belum menyusun laporan keuangan
sesuai dengan PSAK no 109.

H. Rerangka Pikir
Berdasarkan uraian landasan teori mengenai dana non halal pada Badan
Amil Zakat dan ketentuan dana non halal pada PSAK No 109 yang ditinjau
berdasarkan maqashid syariah, peneliti merumuskan paradigma pemikiran penelitian
sebagai berikut:

Peniadaan Jasa Bank


Konvensional

Shariah Enterprise Maqashid Syariah


Theory

Dana Non Halal

Badan Amil Zakat PSAK No. 109


(BAZ)

Penghapusan Dana
Non Halal

24
III. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penalitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif yang


menggunakan studi interpretif. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif
karena didasarkan pada dua alasan, pertama permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini membutuhkan sejumlah data lapangan yang bersifat aktual dan
konseptual dan pemikiran pemikiran yang mendalam dalam mengkaji
permasalahan yang ada. Kedua, pemilihan pendekatan ini didasarkan pada
keterkaitan masalah yang dikaji dan tidak dapat dipisahkan oleh fakta alamiyah.
Menurut Sudjana (2009) pemikiran kualitatif menghasilkan deskriptif dan analisis
tentang kegiatan, proses, atau peristiwa peristiwa penting. Penelitian ini akan
menganalisis penerimaan dana non halal pada Badan Amil Zakat dan mengkritisi
adanya penerimaan dana non halal pada Badan Amil Zakat Makassar.
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data data dari Badan Amil
Zakat Makassar yang berlokasi di Jl. Mesjid Raya, Parang Layang, Bontoala, Kota
Makassar, Sulawesi Selatan 90165.

B. Pendekatan penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretif-phenomenology.


Pendekatan interpretif-phenomenology mengakui adanya kebenaran empiris yang
memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelaskan serta berargumentasi.
Pendekatan interpretif beranggapan bahwa pemahaman suatu fenomena sosial dapat
diperoleh dengan mempelajari suatu teks secara mendetail, dimana teks disini dapat
diartikan sebagai suatu pembicaraan, tulisan atau gambar. Pendekatan ini lebih
menekankan pada ketertibatan peneliti secara langsung dan intensif dalam kasus
yang menjadi objek studinya, untuk menemukan makna yang paling dalam dari suatu
fenomena. Tujuannya untuk memberikan gambaran apa adanya dan selengkap
mungkin tentang fenomena tersebut, yaitu bagaimana sebuah fenomena terbentuk
secara sosial (social constructed) (Efferin dkk 2004; 25). Bagi interpretif tidak semua
realita yang terjadi di dunia nyata terlepas dari alam pikiran manusia.

25
C. Jenis dan sumber data

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data subjek
(self-report data) yang diperoleh dari wawancara dengan informan dan sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Data Primer (Primary Data)
Pemenuhan kebutuhan data primer secara tepat menjadi langkah awal penentuan
validitas hasil penefitian. Dalam penelitian ini, data primer pada dasarnya adalah
berupa data kualitatif yang diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara
dengan informan. Informan yang akan dijadikan sumber data dalam kajian ini
yaitu staf atau pengelola Badan Amil Zakat Makassar.
2. Data Sekundar (secondary data)
Pada dasarnya kedudukan data sekunder dalam kajian ini memiliki kedudukan
yang sama dengan data primer sebagaimana dijelaskan di atas. Sumber data
sekunder meliputi: 1) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.109,
2) Kebijakan Akuntansi Badan Amil Zakat, 3) Hasil penelitian dan kajian
terdahulu yang dianggap relevan untuk kajian ini.

D. Metode pengumpulan data

Untuk menganalisis dan menginterpretasikan data dengan baik, maka


diperlukan data yang akurat dan sistematis agar hasil yang didapat mampu
mendeskripsikan situasi objek yang sedang diteliti dengan benar. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Wawancara
Wawancara digunakan sebagai tehnik pengumpulan data apabila peneliti
ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus
diteliti dan juga apabila peneliti ingin mengetahui halhal dari responden yang lebih
mendalam. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri
sendiri atau self report atau setidaktidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan
pribadi. Wawancara yang dilakukan adalah komunikasi secara langsung (tatap muka)
antara pewawancara yang mengajukan pertanyaan secara lisan dengan responden
yang menjawab pertanyaan secara langsung. Wawancara dilakukan dengan informan
yang dianggap berkompeten dan mewakili.

26
2. Observasi
Observasi Observasi/Pengamatan dilakukan untuk memperoleh data dengan cara
mengamati aktivitas dan kondisi obyek penelitian. Teknik ini dilakukan dengan
tujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai fakta dan kondisi di
lapangan yang terdapat pada obyek penelitian, selanjutnya membuat catatan-
catatan hasil pengamatan tersebut.
3. Studi Pustaka
Studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan penelusuran
dengan menggunakan referensi dari buku, jurnal, PSAK dan perundang-
undangan terkait dengan objek penelitian untuk mendapatkan konsep dan data-
data yang relevan dengan permasalahan yang dikaji sebagai penunjang
penelitian.
4. Internet searching
Internet searching merupakan penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan
berbagai tambahan referensi yang bersumber dari internet guna melengkapi
referensi penulis serta digunakan untuk menemukan fakta atau teori berkaitan
masalah yang diteliti.

E. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen utama penelitian adalah
peneliti itu sendiri. Peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian akan menjadi
pihak yang terjun langsung kelapangan serta harus berinteraksi dengan orang-orang
yang berkaitan langsung dengan tujuan dari penelitian ini, serta pengumpulan data
dilapangan dilakukan dengan menggunakan catatan lapangan berupa catatan tertulis
dan alat perekam. Seperti telah disebutkan sebelumnya pada penelitian kualitatif
tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan. Jadi, meksudnya adalah memilih
sampel dari orang-orang atau pihak-pihak yang mampu memberikan informasi sesuai
dengan tujuan penelitian.

F. Teknik Analisis Data


Proses analisis data dilakukan sejak pengumpulan data sampai selesainya
proses pengumpulan data tersebut. Adapun proses-proses tersebut dapat dijelaskan
ke dalam tiga tahap berikut:

27
1. Reduksi data dilakukan dengan jalan memfokuskan perhatian dan pencarian
materi penelitian dari berbagai literatur yang digunakan sesuai dengan
pokok masalah yang telah diajukan pada rumusan masalah. Data yang
relevan dianalisis secara cermat, sedangkan yang kurang relevan disisihkan.
2. Penyajian data yang dilakukan peneliti dengan menggunakan metode
interpretif. diawali dengan menjelaskan rumusan masalah dengan persepsi
penulis sebagai pengantar untuk menyinggung persepsi informan mengenai
pertanyaan yang diajukan. Kemudian data yang di peroleh yang berhubungan
dengan rumusan masalah dijelaskan terlebih dahulu kemudian
menghubungkannya dengan teori untuk bisa menjawab rumusan masalah.
Karena penelitian ini menggunakan metode interpretif maka penyajian hanya
sebatas pemaparan antara data yang diperoleh dengan teori untuk menjawab
permasalahan.
3. Penarikan kesimpulan. Dari pengumpulan data dan analisa yang telah dilakukan,
peneliti mencari makna dari setiap gejala yang diperolehnya dalam proses
penelitian, mencatat keterbatasan yang dihadapi dalam penelitian ini, dan
implikasi positif yang diharapkan bisa diperoleh dari penelitian ini.

G. Pengujian Keabsahan Data


Dalam penelitian kualitatif, pengujian keabsahan data untuk mendapatkan
nilai kebenaran terhadap penelitian disebut juga dengan uji kredibilitas (credibility).
Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif dapat
dilakukan antara lain dengan cara perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan
dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif,
dan membercheck. Namun karena penelitian ini menggunakan berbagai sumber data
dan teori dalam menghasilkan data dan informasi yang akurat, maka cara yang tepat
digunakan adalah dengan menggunakan metode triangulasi. Triangulasi meliputi
empat hal yaitu triangulasi metode, triangulasi antar peneliti, triangulasi sumber dan
triangulasi teori. Namun peneliti hanya menggunakan dua dari empat jenis
triangulasi untuk menyelaraskan dengan penelitian ini, yaitu :
1. Triangulasi teori, pengunaan berbagai teori untuk memastikanbahwa data yang
dikumpulkan sudah memasuki syarat, selanjutnya dibandingkan dengan
perspektif teori yang relevan dalam hal ini shariah enterprise theory digunakan

28
untuk memaknai penerimaan dana non halal pada Badan Amil Zakat. Selain itu,
triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman selama teori
tersebut juga dapat dikaji secara mendalam.
2. Triangulasi data, menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip,
hasil wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu
subjek yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda dan menggali
kebenaran informasi penelitian melalui sumber lain agar dapat memberikan
bukti dan keandalan yang berbeda.

29
DAFTAR PUSTAKA

Al-quran dan terjemahan.


Amelia, Erika. 2012. Penyaluran Dana Zakat Produktif Melalui Pola Pembiayaan (Studi
Kasus BMT Bainaul Ummah Bogor). Signifikan. 1(2): 79-92.
Ayuniyyah, Q. 2011. Factors Affecting Zakat Payment Through Institution of Amil
Muzakis Perspectives Analysis (Case Study of Badan Amil Zakat Nasional
BAZNAS). Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq. 2(2): 1-16.
Birton. 2015. Maqasid Syariah Sebagai Metode Membangun Tujuan Laporan Keuangan
Entitas Syariah. Jurnal Akuntansi Multiparadigma. 6(3): 421-431.
Departemen Agama Republik Indonesia

Efferin, Darmadji, dan Tan. 2004. Metode Penelitian untuk Akuntansi.


SebuahPendekatan Praktis. Bayu Media. Malang, Jawa-Timur. Indonesia.

Hermawan dan Rini. 2016. Pengelolaan Dana Zakat, Infaq, Dan Shadaqah Perspektif
Shariah Enterprise Theory. Riset Akuntansi dan Keuangan Indonesia. 1(1): 12-
24.
Hisamuddin, Nur dan I. H. Sholikha. 2014. Persepsi, Penyajian dan Pengungkapan
Dana Non Halal pada BAZNAS dan PKPU Kabupaten Lumajang. Jurnal Zakat
dan Wakaf. 1(1): 1-36.
Huda, Nurul dan Suwarjuwono T. 2103. Akuntabilitas Pengelolaan Zakat Melalui
Pendekatan Modifikasi Action Research. Jurnal Akuntansi Multiparadigma.
4(3): 376-388.
Husain, Saddan dan W. Abdullah. 2015. Metafora Amanah Pengelolaan Dana Pihak
Ketiga (DPK) Sebagai Penopang Asset Perbankan Syariah Ditinjau dari Aspek
Trilogi Akuntabilitas (Studi Kasus Pada PT. Bank BNI Syariah Cabang
Makassar). Iqtisaduna. 1(2): 40-64.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2008. ED Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 109
Pelaporan Keuangan Akuntansi Zakat,infaq/sedekah. Jakarta.
Indriastuti, Maya dan L.M. Ifada. 2015. Analisis Sistem Pengukuran Kinerja Perbankan
Syariah. Conference in Business, Accounting and Management. 2(1): 309-319.
Istutik. 2013. Analisis implementasi akuntansi zakat dan Infak/sedekah (PSAK:109)
pada Lembaga Amil Zakat di Kota Malang. Jurnal Akuntansi Aktual. 2(1): 19-
24.
Kalbarini, Rahmah Yulisa. 2014. Implementasi Akuntabilitas dalam Konsep Metafora
Amanah Di Lembaga Bisnis Syariah (Studi Kasus : Swalayan Pamella
Yogyakarta). Jurnal Ekonomi Syariah Teori dan Terapan. 1(7): 506-517.
Kara, Muslimin. 2012. Pemikiran Al-Syatibi Tentang Maslahah dan Implementasinya
dalam Pengembangan Ekonomi Syariah. Assets. 2(2): 173-184.
Kristin, Ari dan Umah U. K. 2011. Penerapan Akuntansi Zakat pada Lembaga Amil
Zakat (Studi Pada LAZ DPU DT Cabang Semarang). Value Edded. 7(2): 68-97.

30
Madania, Citra Aisya dan Nafik Muhammad. 2016. Pemahaman Maqashid Syariah
(Akal) Terhadap Kinerja Lembaga Zakat Yatim Mandiri di Surabaya. Jurnal
Ekonomi Syariah Teori dan Terapan. 3 (3):187-202.
Manunggal, Syarifuddin A.M. 2011. Signifikan Manajemen Zakat Produktif Dalam
Praktik Badan Amil Zakat di Indonesia. AHKM. 13 (2):161-178.
Megawati, Devi dan Trisnawati Fenny. 2014. Penerapan PSAK 109 Tentang Akuntansi
Zakat dan Infak/Sedekah pada BAZ Kota Pekanbaru. Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan. 7(1): 40-59.
Mohsin, Magda Ismail A. 2015. Potential of Zakat in Eliminating Riba and Eradicating
Poverty in Muslim Countries {Case Study: Salary Deduction Scheme of
Malaysia}. International Of Journal Islamic Management and Business. 1(1):
40-59.
Nikmatuniayah. 2014. Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan Lembaga
Amil Zakat. Jurnal Akuntansi Multiparadigma. 5(3): 498-510.
Novarela, Dori dan I. M. Sari. 2015. Pelaporan Corporate Social Responsibility
Perbankan Syariah dalam Perspektif Syariah Enterprise Theory. Jurnal
Akuntansi dan Keuangan Islam. 2(2): 145-160.
Puspitasari, Yulifa dan Habiburrochman. 2013. Penerapan PSAK No. 109 atas
Pengungkapan Wajib dan Sukarela. Jurnal Akuntansi Multiparadigma. 4(3):
479-494.
Raziq, Ahmad dan Widya Yanti. 2013. Pengakuan, Pengukuran, Penyajian dan
Pengungkapan dana Non Halal Pada Laporan Keuangan Lemabag Amil Zakat.
Jurnal Akuntansi Universitas Jember. 11(2): 20-47.
Samsiyah, Sambharakhresna dan Kompyurini. 2013. Kajian implementasi Corporate
Social Responsibility Perbankan Syariah Ditinjau dari Shariah Enterprise Theory
pada PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bhakti Sumekar Cabang Pamekasan.
Jurnal Infestasi. 9(1): 47-60.
Soedarso, Elvyra HandaYani. 2013. Penilaian Kinerja Fisik (Iviateri) Koperasi Syari'ah
Menurut Perspektif Shari'ate Enterprise Theory dengan Nilai Tambah Syari'ah
dan Zakat sebagai Indikator. Jurnal Riset Akuntansi dan Keuangan. 1(3): 195-
215.
Sudjana, Nana., 2009. Penilaian Hasil proses Belajar mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sudrajat dan Sodiq. 2016. Analisis Penilaian Kinerja Bank Syariah Berdasarkan Indeks
Maqasid Shari'ah (Studi Kasus Pada 9 Bank Umum Syariah Di Indonesia Tahun
2015). Bisnis. 4(1): 178-200.
Triyuwono, Iwan. 2007. Mengangkat Sing Liyan Untuk Formulasi Nilai Tambah
Syariah. SNA X, Unhas Makassar.
Wati, Ayu M. P., Djoko Kristianto., dan M. R. Sunarko. 2016. Evaluasi Penerapan
Sistem Informasi Akuntansi Penerimaan Kas Organisasi Nirlaba (Studi Kasus
pada Lembaga Amil Zakat Nassional Nurul Hayat Cabang Solo). Jurnal
Akuntansi dan Sistem Teknologi Informasi. 12(4): 428-438.

31
Zakaria, Mahen. 2014. The Influence of Human Needs in the Perspective of Maqasid al-
Syariah on Zakat Distribution Effectiveness. Asian Social Science. 10(3): 165-
173.
Zakaria, Maheran dan N. A. A. Malek. 2014. Effects of Human Needs Based on the
Integration of Needs as Stipulated in Maqasid Syariah and Maslows Hierarchy
of Needs on Zakah Distribution Efficiency of Asnaf Assistance Business
Program. Jurnal Pengurusan. 40: 41 52.

32
33

Anda mungkin juga menyukai