Anda di halaman 1dari 85

BAB I

PENDAHULUAN
2
3
Latar Belakang
Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia.
Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
selain itu lahan juga digunakan sebagai tempat tinggal manusia. Lahan memiliki
sifat atau karakteristik yang spesifik. Secara klasik lahan diartikan sebagai suatu
bentang alam yang memiliki Sifat-sifat biofisk dan atribut atau keadaan unsurunsur
lahan yang dapat diukur atau diperkirakan, seperti tekstur tanah, struktur
tanah, kedalaman tanah, jumlah curah hujan, distribusi hujan, temperatur,
drainase tanah, jenis vegetasi, dan sebagainya. Namun pengertian lahan tidaklah
sesempit itu, secara luas lahan diartikan sebagai suatu kesatuan lingkungan
biofisik bagian dari bentang alam dan mencakup lingkungan sosial budaya dan
ekonomi dari lahan tersebut. Karena peranan lahan yang bersifat multifungi ini,
maka dalam proses pengelolaan lahan ketiga aspek tersebut perlu
dipertimbangkan.
Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus
berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi,
pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak
mempertimbangkan aspek keberlanjutan sehingga kelestariannya semakin
terancam. Akibatnya, kualitas sumberdaya lahan semakin berkurang dan
manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal
(kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya
daya dukung lahan dalam menyangga kegiatan produksi di atasnya, rentan
terhadap proses degradasi lahan dan kerusakan lingkungan lainnya. Untuk itu
perlu pengelolaan lahan yang efektif, efisien dan optimal sehingga kelestarian
lahan juga dapat terjaga dan kebutuhan manusia akan lahan dapat tercukupi.
Pengelolaan lahan berkelanjutan merupakan sebuah konsep pengelolaan
sumberdaya lahan yang bertumpu pada tiga aspek utama yaitu (1) Kepedulian
Lingkungan (Ecologically Awareness), dimana pengelolaan tidak boleh
menyimpang dari sistem ekologis lahan tersebut. Keseimbangan lingkungan
adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya
dikendalikan oleh hukum alam; (2) Bernilai ekonomis (Economic Valueable),
pengelolaan harus mengacu pada pertimbangan untung rugi untuk jangka pandek
dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar
sistem ekologi, sumber daya alam dapat terlanjutkan (tidak tereksploitasi); dan
(3) Berwatak sosial (Socially Just), sistem pengelolaan harus selaras dengan
norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh
masyarakat setempat. Sistem pengelolaan tanah dan lahan yang diterapkan pada
setiap daerah atau lokasi tertentu harus bersifat spesifik dalam arti menyesuaikan
dengan potensi biofisik, sosial budaya, dan nilai ekonomi daerah tersebut.
Daerah-daerah di Indonesia memiliki heterogenitas sosial dan budaya yang
tinggi. Setiap daerah biasanya memiliki kekhasan tersendiri dalam sistem
pengelolaan lahannya. Penerapan norma-norma lokal seperti hukum adat dan
kearifan lokal sebagai bagian dari sistem pengelolaan lahan masih banyak
dijumpai di beberapa daerah di Indonesia. Oleh karena itu menjadi sangat
penting dalam menetapkan pengelolaan lahan yang sesuai dan mampu
mengsinergikan antara potensi-potensi serta norma yang berlaku di daerah
masing-masing.
4
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menggali berbagai informasi dan potensi serta
permasalahan pengelolaan lahan yang ada di berbagai daerah Indonesia dan
menerapkan bagaimana sistem pengelolaan tanah dan lahan yang sesuai untuk
pemanfaatan komoditi dan tujuan tertentu di daerah tersebut berdasarkan
prinsip-prinsip pengelolaan lahan berkelanjutan.
5

BAB II
ISI MAKALAH
6
7

Revitalisasi Pertanian Tanaman Pangan melalui Pendekatan


Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Padi di
Kabupaten Bogor
Disusun Oleh: Gilang Sukma Putra

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras masih sangat tinggi.
Tercatat pada tahun 2013 angka konsumsi beras per kapita Provinsi Jawa Barat
mencapai 90.3 Kg (BPS Jabar, 2013). Produksi Gabah Kering Giling (GKG)
Kab. Bogor sebanyak 551 ribu ton pada 2013 (Bogor Dalam Angka, 2014)
hanya mampu mencukupi sebesar 79.2% konsumsi beras penduduk Kab. Bogor
yang berjumlah sekitar 5.1 juta jiwa. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk
meningkatkan produksi beras perlu dilakukan untuk mengurangi defisit tersebut
melaui sistem pengelolaan tanah dan lahan yang lebih baik.
Usaha pengelolaan tanah dan lahan yang dilakukan perlu menerapkan
konsep keberlanjutan. Diperlukan suatu pendekatan sistem budidaya pertanian
yang menyeluruh, selain dapat meningkatkan angka produksi juga harus bersifat
partisipatif, mampu diterima dan dijangkau oleh masyarakat, dan tidak merusak
atau menurunkan kualitas lingkungan lahan tersebut. Salah satu pendekatan yang
dapat diterapkan adalah melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu (PTT). PTT bukan merupakan paket teknologi, melainkan
merupakan pendekatan dalam peningkatan produksi melalui pengelolaan
tanaman, tanah, air, hara, dan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) secara
menyeluruh dan berkelanjutan. Dalam penerapannya, PTT bersifat (1)
partisipatif, (2) dinamis, (3) spesifik lokasi, (4) terpadu, dan (5) sinergis antar
komponen teknologi yang diterapkan (Balittra, 2012).
Selama ini peningkatan hasil produksi padi melalui pendekatan PTT sudah
berkembang di lahan sawah irigasi. Berbagai perpaduan komponen teknologi
yang sifatnya saling sinergis, kompatibel, dan saling melengkapi telah
dianjurkan sebagai usaha untuk meningkatkan produksi padi yang lebih efisien,
menguntungkan dan berkesinambungan. Menurut survei yang dilakukan
Balitbang Pertanian (2007) diperoleh bahwa dari 28 kabupaten yang telah
menerapkan pendekatan PTT sejak tahun 2002-2003 produksi padi irigasi
mengalami peningkatan rata-rata 19% dan pendapatan petani 15%. Kabupaten
Bogor sendiri sebenarnya sudah menerapkan sistem PTT padi di beberapa
daerah seperti di Desa Karacak pada tahun 2005 (Maryati et al, 2005) dan
Kecamatan Ciseeng pada tahun 2011 (Muslihat, 2012). Hasilnya pun cukup
memuaskan, terbukti dengan pendekatan PTT mampu meningkatkan
produktifitas padi menjadi 6 9 ton Gabah Kering Giling (GKG) per hektar.
Oleh karena itu, adopsi PTT ke berbagai daerah budidaya padi di Kabupaten
8
Bogor sudah saatnya untuk digalakkan untuk meningkatkan jumlah produksi
beras Kab. Bogor.
Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mempelajari, mengkaji, dan
memahami sistem budidaya padi sawah menggunakan pendekatan Pengelolaan
Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) sebagai bagian dari realisasi program
revitalisasi pertanian tanaman pangan di Kabupaten Bogor.

GAMBARAN UMUM WILAYAH


Kondisi Geografi, Administratitf, dan Demografi
Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas 298,838,304 Ha, secara
geografis terletak di antara 618'0" - 647'10" Lintang Selatan dan 10623'45"
10713'30" Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya:
Sebelah Utara, berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, Kabupaten
Tangerang, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Bekasi;
Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Lebak;
Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten
Cianjur dan Kabupaten Purwakarta;
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten
Cianjur;
Bagian Tengah berbatasan dengan Kota Bogor.
Kabupaten Bogor memiliki tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari
dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian
selatan, yaitu sekitar 29.28% berada pada ketinggian 15-100 meter di atas
permukaan laut (dpl), 42.62% berada pada ketinggian 100-500 meter dpl,
19.53% berada pada ketinggian 5001,000 meter dpl, 8.43% berada pada
ketinggian 1000 2000 meter dpl dan 0.22% berada pada ketinggian 2,000
2,500 meter dpl. Selain itu, kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar
berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya
didominasi oleh hasil letusan gunung, yang terdiri dari andesit, tufa dan basalt.
Gabungan batu tersebut termasuk dalam sifat jenis batuan relatif lulus air dimana
kemampuannya meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan batuan
ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan
yang tinggi. Selanjutnya, jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik
lepas agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial,
Regosol, Podsolik dan Andosol. Oleh karena itu, beberapa wilayah rawan
terhadap tanah longsor.
Secara klimatologis, wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis
sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan
rata-rata curah hujan tahunan 2,5005,000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian
utara dan sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun.
Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah 20- 30C, dengan rata-rata
tahunan sebesar 25C.
9
Kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup rendah, dengan rata
rata 1.2 m/detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata rata sebesar 146.2
mm/bulan. Sedangkan secara hidrologis, wilayah Kabupaten Bogor terbagi ke
dalam 7 buah Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu: (1) DAS Cidurian; (2) DAS
Cimanceuri; (3) DAS Cisadane; (4) DAS Ciliwung; (5) Sub DAS Kali Bekasi;
(6) Sub DAS Cipamingkis; dan (7) DAS Cibeet. Selain itu juga terdapat 32
jaringan irigasi pemerintah, 900 jaringan irigasi pedesaan, 95 situ dan 96 mata
air.
Secara umum wilayah Bogor terbentuk oleh batuan vulkanik yang bersifat
piroklastik, yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi,
yaitu Gunung Pangrango dan Gunung Salak. Endapan permukaan umumnya
berupa aluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil dari pelapukan
endapan. Bahan induk geologi tersebut menghasilkan tanah tanah yang relatif
subur.
Wilayah Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang cukup subur untuk
kegiatan pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Jenis tanah di Kabupaten Bogor
terdiri dari 22 jenis tanah menurut sistem Klasifikasi PPT (1983) dimana dengan
presentase terbesar adalah Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan
dan Laterit Air Tanah sebesar 20.20 % (60,439,627 Ha). Sedangkan jenis tanah
lainnya adalah sebagai berikut:
1. Andosol Coklat Kekuningan (1%);
2. Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat Kekelabuan (4.71 %);
3. Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat (3.22 %);
4. Asosiasi Latosol Coklat dan Latosol Kekuningan (3.83 %);
5. Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu (5.89 %);
6. Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat (8.78 %);
7. Asosiasi Podsolik Kuning dan Hidromorf Kelabu (0.34%);
8. Asosiasi Podsolik Kuning dan Regosol (0.30 %);
9. Kompleks Grumusol, Regosol dan Mediateran (5.81 %);
10. Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat Kemerahan dan
Litosol (6.71 %);
11. Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat, Podsolik Merah
Kekuningan (5.61 %);
12. Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning dan Regosol
(2.84%);
13. Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol (1.69 %);
14. Kompleks Rensina, Litosol Batu Kapur dan Brown Forest Soil (0.89 %);
15. Latosol Coklat (7.62 %);
16. Latosol Coklat Kekuningan (1.91 %);
17. Latosol Coklat Kemerahan (0.001 %);
18. Latosol Coklat Tua Kemerahan (6.32 %);
19. Podsolik Kuning (1.57 %);
20. Podsolik Merah (2.07 %) dan
21. Podsolik Merah Kekuningan (7.54 %).
Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan yang di
dalamnya meliputi 417 desa dan 17 kelurahan (434 desa/kelurahan), yang
tercakup dalam 3,882 RW dan 15,561 RT. Pada tahun 2012 telah dibentuk 4
(empat) desa baru, yaitu Desa Pasir Angin Kecamatan Megamendung, Desa
10
Urug dan Desa Jayaraharja Kecamatan Sukajaya serta Desa Mekarjaya
Kecamatan Rumpin.
Luas wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan pola penggunaan tanah
dikelompokkan menjadi: kebun campuran seluas 85,202.5 Ha (28.48%),
kawasan terbangun/pemukiman 47,831.2 Ha (15,99%), semak belukar 44,956.1
Ha (15.03%), hutan vegetasi lebat/perkebunan 57,827.3 Ha (19,33%), sawah
irigasi/tadah hujan 23,794 Ha (7.95%), tanah kosong 36,351.9 Ha (12.15%).
Secara umum, kondisi demografis Kabupaten Bogor dapat digambarkan
bahwa penduduk Kabupaten Bogor berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS)
pada tahun 2014 berjumlah 5,111,769 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki
2,616,873 jiwa dan penduduk perempuan 2,494,807 jiwa. Jumlah penduduk
tersebut hasil proyeksi penduduk dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata
sebesar 2.44 persen dibanding tahun 2012. Angka ini merupakan laju
pertumbuhan penduduk proyeksi selama kurun waktu 1 tahun (RPJMD Kab.
Bogor, 2013).
Kondisi Kawasan Pertanian
Kabupaten Bogor di tahun 2013 memiliki areal persawahan kurang lebih
seluas 47,663 Ha (Kab. Bogor Dalam Angka, 2014). Hal ini menandakan bahwa
Kabupaten Bogor masih mengandalkan sektor pertanian pangan untuk
menopang perekonomian di wilayahnya. Cukup berkembangnya sektor
pertanian di Kabupaten Bogor, terutama disebabkan karena karakteristik lahan
dan kondisi geobiofisik wilayah yang sesuai untuk pengembangan pertanian.
Di sektor pertanian, komoditas utama produksi terdiri dari tanaman
pangan, hortikultura dan perkebunan. Komoditas pertanian yang dihasilkan
antara lain padi sawah, padi gogo, jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar,
wortel, bawang daun, ketimun, kacang panjang, dan cabe.
Budidaya tanaman pangan padi menyebar hampir di semua kecamatan,
dengan variasi luasan yang berbeda. Umumnya padi sawah menyebar di wilayah
tengah dan utara, dimana sudah tersedia irigasi, seperti di Kecamatan Rumpin,
Cigudeg, Sukajaya, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Caringin, Jonggol,
Sukamakmur dan Cariu. Tanaman padi gogo menyebar hanya di beberapa
kecamatan dalam luasan terbatas. Produktifitas tanaman padi sawah adalah
berkisar 4 - 5 ton per ha, sedangkan produktifitas padi gogo 2 3 ton per ha
(Dinas Pertanian Jabar, 2013). Produktifitas ini sebenarnya masih dapat
ditingkatkan dengan memperbaiki kondisi lingkungan, seperti menekan bahaya
banjir dan perbaikan manajemen usaha tani seperti pemberian pupuk tepat dosis
dan waktu, penyediaan modal, sarana dan prasarana seperti pembangunan pasar,
gilingan padi, dan lain-lain.
Kendala penting tanaman padi sawah lainnya adalah luasan padi sawah
rata-rata adalah 2.500 m2 per keluarga. Dengan luasan kepemilikan yang rendah
ini maka harus dilakukan pencetakan lahan sawah baru dan melindungi luasan
lahan petani yang ada terutama lahan milik petani-petani gurem.
Daerah pertanian hortikultur seperti sayuran dan buah juga menyebar
hampir di semua wilayah, tetapi konsentrasi komoditas tertentu hanya menyebar
pada wilayah tertentu. Tanaman jagung menyebar di Kecamatan Darmaga,
Cisarua, Megamendung, Cileungsi, Klapanunggal, Rancabungur, Cibinong,
11
Ciseeng, Gunung Sindur dan Rumpin. Sedangkan tanaman kedelai menyebar
hanya di Tamansari, Kemang, Rancabungur dan Megamendung. Situasi yang
sama juga terjadi pada sayuran dan buah. Daerah sayuran mendominasi terbatas
pada beberapa kecamatan seperti Cisarua, Darmaga, Leuwisadeng, Cigombong,
sedangkan buah berasal dari Tanjungsari, Mekarsari, Jasinga, Tajurhalang, dan
lain-lain. Kendala utama dalam komoditas lahan kering (semusim dan tahunan)
adalah masih rendahnya produktifitas yang terkait dengan manajemen usaha
tani, dan pemasaran. Khususnya untuk tanaman buah, sebenarnya ada varietas
lokal yang sudah dikenal tetapi produksi masih rendah, sehingga upaya
pengembangan komoditas yang bersifat lokal perlu dilakukan.
Penyebaran areal tanaman perkebunan relatif terbatas di Kabupaten Bogor,
tetapi ada daerah-daerah utama perkebunan, seperti misalnya perkebunan teh di
Ciawi, karet di Tanjungsari, dan kelapa sawit di Kecamatan Leuwiliang,
Leuwisadeng, Pamijahan, dan Rumpin. Tanaman perkebunan ini secara
keseluruhan terdapat pada lahan yang berkategori kelas 3 dengan kendala
utamanya adalah faktor kelerengan, sehingga degradasi lahan melalui proses
erosi dan penurunan kesuburan menjadi persoalan utama dan faktor pembatas.
Dari sisi luasan kawasan yang dapat dikembangkan untuk tanaman perkebunan
relatif terbatas (total sekitar 19 ribu hektar), sehingga bentuk usaha skala besar
tidak dianjurkan, tetapi ke bentuk usaha perkebunan skala kecil dan bekerjasama
dengan usaha yang sudah besar (Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan
Perdesaan LPPM IPB, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Neraca Pangan, Produksi Padi dan Isu Permasalahan Ketersediaan Pangan
Kabupaten Bogor memiliki luas areal lahan sawah seluas 47,663 Ha di
tahun 2013 (Kab. Bogor Dalam Angka, 2013). Sejak 5 tahun terakhir, terjadi
penurunan luas areal sawah sekitar 0.5% dari tahun ke tahun. Pada Tabel 1.1
dapat dilihat bahwa luas panen padi sawah di tahun 2013 sebesar 91,318 Ha dari
luasan areal tanam 91,389 Ha yang berarti sekitar 99.9% areal sawah sudah
dapat dipanen dan menghasilkan gabah. Produksi total Gabah Kering Giling
(GKG) padi Kab. Bogor di tahun 2013 mencapai 510,169 ton dengan rata-rata
produktifitas sebesar 6.04 ton/ha. Namun jumlah ini masih kurang cukup untuk
memenuhi kebutuhan beras penduduk Kab. Bogor. Pada Tabel 1.2 dapat dilihat
bahwa konsumsi GKG Kab. Bogor di tahun 2013 sebesar 696,729 ton. Terjadi
defisit pangan sebesar 145,076 ton di tahun 2013.
Tabel 1.1. Data Luas Tanam, Luas Panen, Produktifitas, dan Produksi GKG Kab. Bogor
Tahun 2009 - 2013
Produktifitas
Tahun
Luas Tanam*)
Luas Panen*)
Produksi GKG
GKG*)
Ha
Ha
Ton/Ha
Ton
85,706
82,697
5.97
2009
89,694
88,903
5.96
2010
86,821
82,714
5.92
2011
87,093
83,931
5.79
2012
91,389
91,318
6.04
2013
88,140,60
85,913
5.94
Rataan
Sumber: *) Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 2013

493,779
529,866
489,919
485,627
551,653
510,169
12
Tabel 1.2.Kebutuhan Konsumsi Beras Penduduk Kab. Bogor Tahun 2009 - 2013
Jumlah
Konsumsi Beras
Konsumsi
Kebutuhan
Tahun
Penduduk *)
Per Kapita **)
Beras Total
GKG Total
jiwa
Kg
Ton
Ton
2009
4,643,186
91.30
423,932
2010
4,771,932
90.16
430,214
2011
4,922,205
89.48
440,424
2012
4,989,939
87.24
435,297
2013
5,111,769
85.51
437,128
Rataan
4,887,806,20
88.74
433,399
Sumber: *) BPS Kab. Bogor Tahun 2009 2013
**) Survei Sosial Ekonomi Indonesia Tahun 2009 - 2013

675,697
685,709
701,983
693,811
696,729
690,786

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya defisit neraca


pangan. Diantaranya besarnya jumlah penduduk Kab. Bogor, produktifitas padi
yang masih relatif rendah, dan luas areal sawah yang terbatas. Pada tahun 2013
luas areal lahan baku sawah di Kab. Bogor tercatat seluas 47,663 Ha (Bogor
Dalam Angka, 2014) dengan Indeks Pertanaman (IP) padi sebesar 1.92.
Sumberdaya pertanian tanaman pangan (lahan sawah) yang utama adalah
tanah dan air. Bogor yang merupakan daerah sub-urban Jakarta menghadapi
beberapa masalah antara lain:
1) Jumlah Penduduk dan konsumsi beras per kapita yang tinggi
2) Produktifitas Lahan Sawah dan Indeks Pertanaman Padi yang masih
rendah
3) Sempitnya luas lahan per kapita penduduk, dan banyaknya petani gurem
dengan pemilikan lahan yang sempit (< 0.5 ha)
4) Terbatasnya akses terhadap sumberdaya air, baik sumber air maupun
jaringan irigasi untuk lahan sawah
5) Terjadinya konversi lahan terutama lahan sawah menjadi permukiman dan
industri, sedang pembentukan lahan sawah baru berjalan lambat.
6) Realisasi Peraturan Agraria yang kurang optimal sehingga menghasilkan
struktur penguasaan tanah yang tidak menghasilkan pemanfaatan yang
terbaik, berkeadilan dan berkelanjutan.
Dari segi teknis pengelolaan lahan, beberapa faktor penghambat seperti
produktifitas dan indeks pertanaman padi yang rendah masih dapat ditingkatkan
melalui revitalisasi sistem budidaya padi dengan mengadopsi teknologiteknologi baru
yang lebih modern dalam pengelolaan lahan sawah. Salah satu
pendekatan yang dapat digunakan adalah Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya
Terpadu (PTT). Dengan memanfaatkan segala potensi biofisik, sosial, dan
eknomoi yang ada pada suatu lahan, diharapkan pendekatan PTT padi dapat
mengoptimalkan potensi yang ada melalui sistem budidaya yang lebih baik.
Pada akhirnya, segala upaya yang dilakukan adalah untuk mencapai target utama
yaitu menciptakan kemandirian pangan nasional sesuai amanat pemerintah
dalam PP Nomor 28 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
13
Potensi untuk Pengembangan Lahan Sawah
Sumberdaya Air
Kabupaten Bogor Kaya akan Sumberdaya Air. Kab. Bogor memiliki enam
sungai besar yang memiliki cabang-cabang sangat banyak hingga 339 cabang,
yaitu meliputi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, DAS Cisadane, DAS
Cidurian, DAS Cimanceuri, DAS Angke dan DAS Citarum. Kabupaten Bogor
banyak memiliki situ (waduk kecil), baik yang buatan maupun yang terbentuk
secara alami. Hampir semua situ sepanjang tahun selalu terisi air dengan
fluktuasi mengikuti pola musim. Sumber airnya berasal dari mata air atau air
limpasan.
Ketersediaan air dari mata air di Kab. Bogor cukup banyak dan hampir
semuanya mengalir sepanjang tahun dengan debit yang bervariasi. Data yang
sudah diinventarisir adalah mata air dengan debit yang besar yaitu antara 10
liter/detik hingga 800 liter/detik. Mata air dengan debit terbesar berada di daerah
Leuwiliang dan Nanggung dan telah banyak dimanfaatkan untuk irigasi, air
minum, dan industri.
Secara garis besar wilayah Kabupaten Bogor memiliki tiga kelompok
daerah resapan air sebagai berikut: Daerah resapan air tanah utama antara lain
daerah Parung, Sawangan, Cileungsi, Gunung Putri, Citeureup, Cibinong,
Gunung Sindur, Jonggol, Pancoran Mas, Cisarua, Ciomas, Ciampea, dan
Semplak. Tingkat kelulusan batuan sangat tinggi, yaitu diatas 103 m/hari dengan
jenis batuan endapan kipas aluvium, aluvium sungai, dan endapan gunung api
muda. Dibagian selatan tingkat kelulusan relatif rendah yaitu sebesar 10-4 sampai
10-2 m/hari dengan curah hujan 2500 sampai 5000 mm per tahun ke arah selatan.
Daerah resapan sedang terdapat di daerah Megamendung dengan luasan relatif
kecil dibandingkan dengan yang lainnya. Daerah resapan kecil tersebar di
wilayah Jasinga, Parung Panjang, Cigudeg, Gunung Awi Bengkok, Gunung
Salak, Gunung Mandalawangi di selatan, Gunung Megamedung, Gunung
Telaga, tersusun atas material gunung api muda, endapan gunung api tak
teruraikan, endapan gunung tua, lava formasi Cantanyan dan kompleks sedimen
berseling-seling dengan kelulusan air antara 10-4 sampai 10-2 m/hari. Curah
hujan antara 3500 5000 mm per tahun. (Pusat Studi Pembangunan Pertanian
dan Pedesaan LPPM IPB, 2009).
Jenis Tanah dan topografi
Kab. Bogor memiliki jenis tanah dengan bahan induk berasal dari tuff
volkan Gunung Salak. Tanah-tanah yang terbentuk seperti Latosol dan Andosol
memiliki kesuburan yang cukup tinggi dan bertekstur halus. Tanah dengan
tekstur ini sangat cocok untuk dijadikan sawah karena memiliki sifat kedap yang
dapat menahan air dalam jumlah banyak. Tanah-tanah ini tersebar luas di Kec.
Jasinga, Cigudeg, Tenjolaya, Tenjo, Cariu, dan Jonggol. Kelemahan dari jenis
tanah ini yaitu tanahnya bersifat masam, namun dengan dijadikan sawah
kelemahan ini dapat diatasi karena pH tanah dapat dinaiikan mendekati netral
melalui penggenangan.
Topografi Kab. Bogor bersifat heterogen dari bergelombang dan berbukit
pada bagian selatan sampai landai dan datar ke arah utara. Lahan sawah banyak
dikembangkan secara luas di daerah bagian tengah sampai utara Kab. Bogor
14
terutama di sekitar DAS yang mengaliri Kab. Bogor. Di bagian selatan lahan
sawah juga banyak ditemukan dengan sistem tersering karena daerahnya yang
lebih berlereng dibandingkan di bagian utara.
Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) untuk
Padi Sawah
Tahapan Pelaksanaan PTT Padi
Pengembangan PTT padi didasarkan kepada masalah dan kendala yang
ada di lokasi setempat yang dapat diketahui melalui penelaahan pemahaman
pedesaaan dalam waktu singkat (Partisipatory Rural Appraisal, PRA)
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Strategi pengembangan model PTT padi sawah


Sumber: Pedoman Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Pasang Surut, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007

Langkah pertama pengembangan PTT padi adalah dengan pelaksanaan


PRA di daerah lokal yang menjadi target pengembangan guna menggali
permasalahan utama yang dihadapi petani. Melalui PRA, keinginan dan harapan
petani dapat diidentifikasi, seperti lingkungan biofisik, kondisi sosial-ekonomi,
budaya petani setempat dan masyarakat sekitarnya.
Langkah kedua adalah penyusunan komponen teknologi yang sesuai
dengan karakteristik dan masalah di daerah pengembangan. Komponen
teknologi tersebut bersifat dinamis karena akan mengalami perbaikan dan
perubahan menyesuaikan dengan perkembangan inovasi dan masukan-masukan
dari petani dan masyarakat setempat.
Langkah ketiga adalah penerapan teknologi utama PTT padi dalam bentuk
pembuatan demonstrasi plot (demplot) seluas 4.0 Ha sebagai percontohan bagi
hamparan sawah yang luasnya 100 Ha. Sejalan dengan itu dilakukan peragaan
komponen teknologi alternatif pada luasan 1 Ha sebagai sarana untuk mencari
teknologi alternatif yang nanti berguna untuk mensubstitusi komponen teknologi
yang kurang sesuai (Balitbang Pertanian, 2007).
Daerah Kab. Bogor memiliki Kondisi Biofisik, Sosial, dan Ekonomi yang
sangat heterogen. Kondisi tersebut menghasilkan keberagaman permasalahan
dan kendala yang ada pada masing-masing spesifik lokasi. Oleh karena itu,
pelaksanaan PRA pada setiap lokasi pengembangan PTT padi di Kab. Bogor
15
menjadi sangat penting dilakukan agar komponen teknologi PTT padi yang
diterapkan mampu memanfaatkan potensi biofisik yang dimiliki daerah tersebut
secara optimal dan meningkatkan kemauan petani setempat untuk melaksanakan
program PTT padi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya dan ekonomi
mereka agar mampu meningkatkan kesejahteraan hidup petani setempat.
Penyiapan Lahan Sawah
Pengolahan tanah untuk sawah dapat dilakukan secara sempurna (2 kali
bajak dan 1 kali garu) atau, olah tanah minimal atau tanpa olah tanah sesuai
keperluan dan kondisi. Faktor yang menentukan adalah ada tidaknya pengaruh
kemarau panjang, pola tanam, dan jenis/tekstur tanah. Penyiapan lahan dengan
teknologi Tanpa Olah Tanah (TOT) atau zero tillage dapat diaplikasikan untuk
penyiapan lahan sawah dengan cara tebas atau penyemprotan herbisida;
Tebas
Gulma atau rumput ditebas di saat lahan digenangkan
Rumput dibiarkan terhampar membusuk selama dua minggu, setelah itu
digumpal dan dibiarkan dua minggu kemudian gumpalan dibalik lagi.
Setelah gumpalan rumput membusuk sepenuhnya, gumpalan tersebut
dihamparkan secara merata pada seluruh permukaan petakan sebagai
sumber bahan organik bagi tanaman.
Herbisida
Sewaktu penyemprotan herbisida, petakan diusahakan tidak
digenangi/tergenang oleh air untuk mencegah kontaminasi bahan beracun
dari herbisida ke dalam air yang dapat menyebabkan polusi
Gulma dapat disemprot dengan herbisida nonselektif seperti Glyphosate
atau Paraquat
Penyemprotan dilakukan lebih awal agar waktu tanam padi tidak tertunda
karena menunggu gulma membusuk.
Teknologi zero tillage dapat mengurangi pengaruh pemadatan pada tanah,
selain itu struktur tanah menjadi tidak hancur dan dapat mengefisienkan
penggunaan tenaga kerja. Menurut Simatupang (2007) dengan pengaplikasian
teknologi zero tillage menggunakan herbisida dapat menekan penggunaan
jumlah tenaga kerja sebesar 25% dibandingkan sistem tebas, dan juga mampu
mencegah terjadinya keracunan Fe pada tanaman.
Komponen Teknologi PTT Padi
Varietas unggul baru yang sesuai di lokasi setempat
Varietas unggul merupakan teknologi yang lebih nyata kontribusinya
terhadap peningkatan produktifitas tanaman dan dapat dengan mudah diadopsi
petani karena murah dan penggunaanya lebih praktis. Dengan dilepaskannya
berbagai varietas padi sawah (Tabel 1.3), petani dapat memilih varietas yang
sesuai dengan kondisi setempat
Petani di Kabupaten Bogor sendiri pada umumnya banyak menggunakan
padi varietas Ciherang dan perlahan-lahan menggeser dominasi IR-64. Hal ini
dikarenakan pada varietas IR-64 tidak terlalu tahan terhadap serangan tungro
disamping itu rasa nasi padi dari varietas Ciherang lebih disukai oleh
masyarakat. Beberapa daerah di Bogor juga ada yang menggunakan varietas
16
Bondoyudo dan varietas lokal Tukad Unda seperti di daerah Karacak, Kec.
Leuwiliang. Pada intinya, pemilihan varietas padi yang dipilih selain untuk
meningkatkan produksi padi juga harus memperhatikan kebiasaan cara budidaya
petani dan kebutuhan rasa nasi yang diinginkan oleh masyarakat setempat.
Tabel 1.3. Varietas unggul padi sawah dan beberapa karakteristik penting
Umur
(Hari)

Produktif
itas (Ton
GKG/ha)

Tekstur
nasi

IR-64

110 - 120

5.0 6.0

pulen

Ciherang

116 - 125

6.0 8.5

pulen

Ciliwung

117 - 125

5.0 6.0

Pulen

Mekongga

116 - 125

6.0 8.4

pulen

Sarinah

110 - 125

7.0 8.0

pulen

Cigeuis

115 - 125
5.0 8.0

pulen

Bondoyudo

110 - 120

6.0 8.4

pulen

Batang Piaman

97 - 120

6.0 7.6

Pera

Varietas

Tahan/Toleran
Tahan wereng coklat biotipe 1, 2, dan
agak tahan Wereng Coklat biotipe 3
Tahan wereng coklat biotipe 2, agak
tahan wereng coklat biotipe 3, dan
tahan hawar daun bakteri
Tahan wereng coklat biotipe 1,2,
ganjur, tahan tungro, dan tahan hawar
daun bakteri
Agak tahan wereng coklat biotipe 2
dan 3, agak tahan hawar daun bakteri
biotipe strain IV
Agak tahan wereng coklat biotipe 1,
agak peka biotipe 2 dan 3
Tahan wereng coklat biotipe 2 dan 3,
dan tahan hawar daun bakteri starin
IV
Tahan wereng coklat dan Tungro
Tahan penyakit blas daun dan blas
leher malai

Sumber: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan


Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008

Benih bermutu (bersertifkat dan vigor tinggi)


Penggunaan benih bersertifikat dan benih dengan vigor tinggi sangat
dianjurkan, karena (1) benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat
dengan perakaran yang baik dan padat, (2) akan menghasilkan perkecambahan
dan pertumbuhan yang seragam, (3) pada saat ditanam pindah dari persemaian,
bibit dari benih yang baik dapat tumbuh lebih cepat dan tegar, dan (4) benih
yang baik akan menghasilkan tanaman yang sehat.
Benih yang baik adalah benih yang memiliki kerapatan isi/densitas gabah
yang tinggi, memiliki densitas spesifik gravitasi minimal 1.2. Pada benih dengan
gabah densitas tinggi, lebar dan berat daun serta jumlah penggunaan karbohidrat
oleh bibit akan lebih baik dari bibit yang berasal dari gabah dengan densitas
rendah. Gabah dengan densitas tinggi memiliki abnormalitas bibit yang rendah.
Bibit, Persemaiaan Bibit, dan Sistem Tanam
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit muda akan menghasilkan
anakan yang lebih baik dibandingkan dengan bibit tua. Menurut Adnany (2013)
Penggunaan bibit muda (padi berumur 5 15 hari semai) menghasilkan
pertumbuhan tanaman lebih cepat karena daya jelajah akar lebih jauh sehingga
perkembangan akar menjadi maksimal pada akhirnya kebutuhan nutrisi tanaman
tercukupi. Selain itu, penggunaan bibit berumur 10 hari, akan menghasilkan
jumlah anakan maksimal 30 50 batang dalam setiap rumpunnya.
17
Jumlah bibit yang ditanam 1-3 per lubang tanam. Jarak tanam yang
digunakan dengan sistem tanam tegel 20 cm x 20 cm (25 rumpun/m2), 25 cm x
25 cm (16 rumpun/m2) atau dengan sistem legowo 2:1, 4:1. Rumpun yang hilang
karena tanaman mati, terlewati ditanam, atau rusak karena hama segera ditanami
ulang tidak lebih dari 14 hari setelah tanam. Bibit yang ditanam berasal dari
persemaian yang sama. Disarankan menggunakan sistem jajar legowo (Gambar
1.2) karena menurut Bobihoe (2011) terdapat beberapa keuntungan yang
diperoleh dibanding sistem tegel, anatara lain:

Pada cara tanam Jajar Legowo 2:1, semua tanaman seolah-olah berada
pada barisan pinggir pematang, sedangkan pada cara tanam Jajar Legowo
4:1, separuh tanaman berada pada bagian pinggir (mendapat manfaat
border effect).

Jumlah rumpun padi meningkat sampai 33%/Ha

Meningkatkan produktifitas padi 12-22%

Memudahkan pemeliharaan tanaman

Masa pemeliharaan ikan dapat lebih lama, yaitu 70-75 hari dibanding cara
tandur jajar biasa yang hanya 45 hari. Hasil ikan yang diperoleh dapat
menutupi sebagian biaya usaha tani (Sistem Pertanian Terpadu Minapadi)

Dapat meningkatkan pendapatan usahatani antara 30-50%.

Gambar 1.2. Sistem tanam legowo 4:1 (kiri) dan 2:1 (kanan)
Sumber: http://image.google.com

Selain itu, sistem jajar legowo juga mampu meningkatkan populasi


tanaman padi sebesar 1.33 sampai 1.6 kali lipat dibanding sistem tegel. Berikut
perbandingan populasi padi per hektar antara sistem tegel (cara konvensional)
dan jajar legowo disajikan pada Tabel 1.4.
Tabel 1.4.Perbandingan populasi padi sitem tegel dan jajar legowo
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Cara Tanam
Tegel 20 x 20 cm
Tegel 22 x 22 cm
Tegel 25 x 25 cm
Legowo 2:1 (10 x 20 cm)
Legowo 3:1 (10 x 20 cm)
Legowo 4:1 (10 x 20 cm)
Legowo 2:1 (12.5 x 25 cm)
Legowo 3:1 (12.5 x 25cm)
Legowo 4:1 (12.5 x 25 cm)

Populasi per hektar


Persentase relatif

250,000
206,661
160,000
333,333
375,000
400,000
213,000
240,000
256,000

100
100
100
133
150
160
133
150
160

Sumber: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan


Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008
18
Masyarakat petani Kabupaten Bogor sendiri masih banyak menerapkan
cara konvensional (sistem tegel) dalam penanaman bibit padi. Hanya ditemukan
sangat sedikit yang sudah menerapkan sistem jajar legowo, yaitu di daerah
sentra padi organik di Desa Ciburuy, Kec. Cigombong. Selain karena faktor
turun temurun yang diwariskan, juga karena kurangnya sosialisasi penyuluh
pertanian mengenai keuntungan sistem jajar legowo, sehingga petani tidak
berani untuk mencoba hal baru. Perlu adanya sosialisasi dan transfer
pengetahuan dan teknologi baru dari penyuluh kepada petani yang lebih intensif
di Kab. Bogor.
Pengairan Berselang
Pemberian air berselang (intermittent) adalah pengaturan kondisi sawah
dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian. Tujuan pengairan
berselang adalah:
1. Menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi lebih luas
2. Memberi kesempatan akar tanaman memperoleh udara lebih banyak
sehingga dapat berkembang lebih dalam. Akar yang dalam dapat menyerap
unsur hara dan air yanglebih banyak
3. Mencegah timbulnya keracunan besi
4. Mencegah penimbunan asam organik dan gas H2S yang menghambat
perkembangan akar
5. Mengaktifkan jasad renik (mikroba tanah) yang bermanfaat
6. Mengurangi kerebahan
7. Mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif (tidak menghasilkan
malai dan gabah)
8. Menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen
9. Memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (lapisan olah)
10. Memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi penyebaran
hama wereng coklat dan penggerek batang serta mengurangi kerusakan
tanaman padi karena hama tikus.
Cara pemberian air yaitu saat tanaman berumur 3 hari, petakan sawah diari
dengan tinggi genangan 3 cm dan selama 2 hari berikutnya tidak ada
penambahan air. Pada hari ke-4 lahan sawah diari kembali dengan tinggi
genangan 3 cm. Cara ini dilakukan terus sampai fase anakan maksimal. Mulai
fase pembentukan malai sampai pengisian biji, petakan sawah digenangi terus.
Sejak 10-15 hari sebelum panen sampai saat panen tanah dikeringkan. Pada
tanah berpasir dan cepat menyerap air, waktu pergiliran pengairan harus
diperpendek. Apabila ketersediaan air selama satu musim tanam kurang
mencukupi, pengairan bergilir dapat dilakukan dengan selang 5 hari. Pada
sawah-sawah yang sulit dikeringkan (drainase jelek), pengairan berselang tidak
perlu dilakukan.
Dengan cara pengairan berselang dapat mengefisienkan penggunaan air
terutama di daerah-daerah yang sulit mendapatkan sumber air atau jauh dari
sumber air dan belum ada jaringan irigasi yang memadai. Terdapat beberapa
daerah di Kab. Bogor yang rentan terhadap kekeringan. Menurut Surya (2014),
sekitar 5000 Ha lahan sawah yang tersebar di Kecamatan Cariu, Tanjung Sari,
Jonggol, dan Ciseeng dihentikan penanamannya akibat musim kemarau. Petanipetani di
daerah tersebut memiliki lahan dengan ketersediaan air terbatas. Oleh
19
karena itu cara pengairan berselang cocok dilakukan untuk menghemat
penggunaan air sehingga lahan sawah menjadi tidak terbengkalai di musim
kemarau. Dengan cara ini petani mampu menanam setidaknya 2 kali tanam
dalam setahun. Luasan panen dan Indeks Pertanaman meningkat dan dapat
menyumbang lebih banyak terhadap produksi padi Kab. Bogor.
Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara
tanah (spesifik lokasi)
Pemupukan berimbang, yaitu pemberian berbagai unsur hara dalam bentuk
pupuk untuk memenuhi kekurangan hara yang dibutuhkan tanaman berdasarkan
tingkat hasil yang ingin dicapai dan hara yang tersedia dalam tanah. Agar efektif
dan efisien, penggunaan pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan
ketersediaan hara dalam tanah. Kebutuhan N tanaman dapat diketahui dengan
cara mengukur tingkat kehijauan warna daun padi menggunakan Bagan Warna
Daun (BWD). Nilai pembacaan BWD digunakan untuk mengoreksi dosis pupuk
N yang telah ditetapkan sehingga menjadi lebih tepat sesuai dengan kondisi
tanaman.
Waktu aplikasi pemupukkan dan jumlah pemberian pupuk yang dapat
dilakukan petani adalah dengan pemberian pupuk N awal yang diberikan pada
umur padi sebelum 14 HST. Biasanya takaran pupuk dasar N untuk padi varietas
unggul baru sebanyak 50-75 kg urea/ha, sedangkan untuk padi tipe baru dengan
takaran 100 kg urea/ha. Pembacaan BWD hanya dilakukan menjelang
pemupukan kedua (tahap anakan aktif, 21-28 hari setelah tanam, HST) dan
pemupukan ketiga (tahap primordia, 35-40HST). Khusus untuk padi hibrida dan
padi tipe baru, pembacaan BWD juga dilakukan pada saat tanaman dalam
kondisi keluar malai dan 10% berbunga (BP2TP Litbang Pertanian, 2008)
Cara pemberian pupuk N dilakukan dengan cara disebar merata di
permukaan tanah. Pupuk Urea merupakan pupuk yang mudah larut dalam air,
sehingga pada saat pemupukan sebaiknya saluran pemasukan dan pengeluaran
air ditutup. Berdasarkan hasil penelitian, efisiensi pupuk N dapat ditingkatkan
dengan memasukan hara N ke dalam lapisan reduksi. Namun teknologi ini tidak
mudah diterapkan petani.
Pemupukan P dan K disesuaikan dengan hasil analisis status hara tanah
dan kebutuhan tanaman. Status hara tanah sawah dapat ditentukan langsung di
lapangan dengan alat PUTS (Perangkat Uji Tanah Sawah). Prinsip kerja PUTS
adalah mengukur hara P dan K tanah yang terdapat dalam bentuk tersedia, secara
semi kuantitatif dengan metode kolorimetri (pewarnaan). Pengukuran status P
dan K tanah dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu rendah (R), sedang (S) dan
tinggi (T). Dari masing-masing kelas status P dan K tanah sawah telah dibuatkan
acuan pemupukan P (dalam bentuk SP-36) dan K (dalam bentuk KCl).
Cara pemupukkan ini masih sangat asing bagi para petani, terutama petanipetani di
daerah terpencil dan jauh dari jangkaun penyuluh. Kebanyakan petani
di Kabupaten Bogor memupuk lahan sawahnya tanpa perhitungan tertentu
dengan jumlah yang seadanya sesuai dengan daya beli mereka terhadap
pupuk. Bahkan ada beberapa petani gurem yang jarang sekali memupuk lahan
sawahnya. Dalam kondisi ini, peran pemerintah daerah Kab. Bogor menjadi
sangat penting dalam membantu petani untuk memenuhi kebutuhan pupuknya
melalui penyediaan pupuk bersubsidi atau pemberian bantuan pupuk langsung
20
pada petani-petani di daerah yang sangat jauh. Selain itu, pemberdayaan
penyuluh ke daerah-daerah pertanian yang masih sangat terpencil perlu
dilakukan agar para petani menjadi lebih melek teknologi terhadap sistem
budidaya PTT yang relatif baru bagi mereka.
Pengendalian Gulma dan Hama Terpadu
Pengendalian gulma
Penumpukkan gulma dapat dikendalikan dengan cara pengolahan tanah
sempurna. Mengatur air di petakan sawah, menggunakan benih padi
bersertifikat, penggunaan kompos sisa tanaman dan kompos pupuk kandang, dan
menggunakan herbisida, apabila tenaga kerja langka dan mahal. Pengendalian
gulma secara mekanis seperti dengan gasrok sangat dianjurkan, dikarenakan cara
ini sinergis dengan pengelolaan lainnya. Namun cara ini hanya efektif dilakukan
apabila kondisi air di petakan sawah macak-macak atau tanah jenuh air, oleh
karena itu harus dikerjakan pada saat sawah masih tergenangi air.

Gambar 1.3. Aplikasi Pengendalian gulma secara mekanis dengan teknologi

ekonomis Gasrok
Sumber: http://image.google.com

Keuntungan penyiangan dengan alat gasrok atau landak;


Ramah lingkungan (tidak menngunakan bahan kimia)
Lebih ekonomis, hemat tenaga kerja dibandingkan dengan penyiangan
biasa dengan tangan
Meningkatkan porositas dan memperbaiki aerasi tanah
Jika dilakukan bersamaan atau sesaat setelah pemupukkan akan
membenamkan pupuk ke dalam tanah sehingga efisiensi pemberian pupuk
lebih besar.

Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu(PHT)


Konsep PHT adalah suatu pendekatan pengelolaan secara ekologik yang
multidisiplin dan memanfaatkan berbagai teknik pengendalian secara kompatibel
dalam satu kesatuan koordinasi sistem pengelolaan, sehingga tidak mengganggu
keseimbangan alami dan tidak menimbulkan kerugian besar. PHT merupakan
paduan dari beberapa cara pengendalian, diantaranya monitoring populasi dan
kerusakan tanaman.
Strategi pengendalian hama penyakit terpadu adalah sebagai berikut;
Menggunakan varietas tahan hama dan penyakit
Memilih tanaman yang sehat untuk ditanam
21

Melakukan pengendalian secara kultur teknis, Seperti: Pola tanam tepat,


Pergiliran tanaman, Waktu tanam yang tepat, Pemupukan yang tepat,
Pengelolaan tanah dan irigasi, Penggunaan tanaman perangkap, dan
Kebersihan lapangan
Pengamatan berkala di lapangan
Pemanfaatan musuh alami (predator)
Pengendalian secara mekanik
Pengendalian secara fisik
Penggunaan pestisida.
Pengendalian gulma dan hama merupakan cara untuk mengurangi angka
kehilangan produksi gabah padi. Dengan cara ini produksi per hektar padi
menjadi lebih tinggi. Perlu adanya sosialisasi dan penyuluhan kepada para petani
mengenai cara penerapan PHT. Oleh karena itu peran pemerintah dan penyuluh
pertanian sangat penting dalam memfasilitasi daerah-daerah pertanian yang
masih buta akan sistem PHT.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari program revitalisasi pertanian
tanaman pangan melalui pendekatan PTT padi di Kabupaten Bogor antara lain;
1. PTT padi merupakan pendekatan sistem Budidaya Padi secara terpadu
yang menawarkan paket-paket teknologi baru untuk meningkatkan
produktifitas dan Indeks Pertanaman (luasan panen) padi
2. Penerapan PTT padi bersifat spesifik lokasi dalam arti paket teknologi
yang ditawarkan bersifat dinamis dan menyesuaikan terhadap
permasalahan spesifik yang timbul pada masing-masing lokasi
3. PTT padi bersifat partisipatif, Dalam pelaksanaanya berdasarkan atas
kemauan dan keinginan petani setempat
4. Program PTT Padi dapat berhasil jika adanya kerjasama yang sinergis
antara pemerintah daerah sebagai pencanang program dan penyedia dana,
penyuluh sebagai alat dan media transfer pengetahuan, dan petani sebagai
objek penyuluhan dan pelaku budidaya.

REKOMENDASI
Pengembangan Program Revitalisasi Pertanian Tanaman Pangan melalui
pendekatan PTT Padi di Kab. Bogor dapat ditempuh dengan:
1) Pada tahap awal sebaiknya pemerintah sebagai pembuat kebijakan
membuat suatu program pembentukan sentra pertanian untuk penerapan
PTT padi di daerah-daerah yang potensial untuk pertanian tanaman pangan
(padi) secrara luas seperti di daerah Jonggol, Cariu, Tenjolaya, Pamijahan,
dan Jasinga. Daerah-daerah tersebut memiliki luas lahan pertanian yang
masih luas dan letaknya tidak terlalu jauh terhadap pusat perekonomian
2) Reforma agraria dengan merealisasikan dan mematuhi amanat peraturan
perundangan pada UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian dan PP No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi
Lahan Pertanain Berkelanjutan agar dapat melindungi, mengendalikan
22

3)
4)

konversi lahan, dan mengalokasikan lahan permanen untuk pertanian


tanaman pangan terutama di kawasan-kawasan perdesaan
Pembukaan lahan pertanian baru terutama di tempat-tempat yang memiliki
lahan yang terabaikan (lahan tidur)
Pengaturan Tata guna lahan melalui konsolidasi lahan dengan menyatukan
lahan-lahan sawah petani yang sempit menjadi satu bagian pengelolaan
bersama-sama. Tentunya proses ini perlu campur tangan pemerintah dan
penyuluh pertanian.

DAFTAR PUSTAKA
Adnany, Zaky. 2013. Budidaya Padi dengan Pendekatan Teknologi SRI.
http://epetani.pertanian.go.id/budidaya/budidaya-padi-dengan-pendekatanteknologi-
sri-system-rice-intensification-7712 Diakses pada 27 Desember
2014.
Anonim. 2014. http://www.beritasatu.com/nasional/212235-musim-kemaraupetani-tunda-
tanam-padi-antisipasi-gagal-panen.html Diakses pada 25
Desember 2014.
Badan Pusat Statistik Kab. Bogor. 2007. Kabupaten Bogor dalam Angka 2007.
Bogor: BPS Kab. Bogor.
Badan Pusat Statistik Kab. Bogor. 2014. Kabupaten Bogor dalam Angka 2013.
Bogor: BPS Kab. Bogor.
Bobihoe, Juliastia. 2011. Leaflet Agroinovasi: Keuntungan Sistem Jajar
Legowo. Jambi: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
Bupati Bogor. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Kabupaten Bogor 2013 2015. Bogor: Pemerintah Daerah
Kabupaten Bogor.
Maryati, Titiek S., Dkk. 2005. Gelar teknologi PTT padi mendukuung penerapan
revitalisasi penyuluhan pertanian. Dalam Temu Teknis Nasional Tenaga
Fungsional Pertanian 2006. Hlm. 498 504
Muliawati, Asri. 2013. Pemulihan Lahan Kritis di Taman Nasional Halimun
Salakdengan Pendekatan Kearifan Lokal. Sukabumi: BP4K Kab. Sukabumi.
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2008. Perda No. 19 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor 2005 2025. Bogor:
Pemerintah Daerah Kab. Bogor.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. 2009. Kebijakan
Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Bogor:
Analisis Potensi Kawasan. Bogor: IPB press. Page 6.2 6.109.
Simatupang, R. S. 2007. Teknologi olah tanah konservasi mengendalikan
keracunan besi pada padi sawah pasang surut di lahan sulfat masam. Dalam
prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian.
BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor: Badan Litbang Pertanian,
Departemen Pertanian. Hlm.53-64.
Tim Penyusun. 2008. Teknologi Budidaya Padi. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta: Agro
Inovasi.
23

Optimalisasi Pemanfaatan dan Pengelolaan Pertanian


Rawa Lebak, Studi Kasus: Kab. Ogan Ilir
Disusun Oleh: Marissa Dwi Putri

PENDAHULUAN
Lahan lebak merupakan salah satu sumberdaya lahan yang potensial
untuk dikembangkan menjadi kawasan pertanian di Indonesia pada tanaman
pangan khusunya padi.Potensi lahan lebak yang berada di Indonesia anatara lain
di Sumatra Selatan dan Kalimantan Selatan. Potensi lahan rawa lebak di seluruh
Indonesia mencapai 14 juta hektar, terdiri dari rawa lebak dangkal seluas
4,166,000 ha, lebak tengahan seluas 6,076,000 ha dan lebak dalam seluas
3,039,000 ha (Widjaja Adhi, et al., 1998.)
Potensinya lahan lebak di Sumatera Selatan mencapai 2,28 juta hektar
atau 27% dari luas daerah Sumatera Selatan. Namun demikian pemanfaatannya
belum dilakukan secara optimal. Areal yang dimanfaatkan untuk pertanian
(padi) diperkirakan mencapai 6,5 % atau 300,000 hektar. Lahan rawa lebak
Sumsel merupakan wilayah cekungan yang secara alami berfungsi sebagai
tampungan air permukaan dan tempat deposit mineral sekunder yang tersangkut
didalamnya. Demikian pula di lahan rawa lebak terjadi dinamika tampungan air
secara musiman yang bergantung pada besarnya aliran permukaan dari curahan
air hujan maupun air sungai. Deposit mineral merupakan salah satu potensi daya
saing yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya kandungan mineral pada
produk pangan fungsional. Dalam tubuh manusia mineral organik masuk melalui
makanan minuman yang dikonsumsi dan akan berperan penting sebagai sumber
pengatur fungsi tubuh (Latif, 2004). Sungai Musi merupakan pemasok utama
mineral yang kaya akan basa-basa di lahan rawa Sumatera Selatan (Hikmatullah
et al., 1990). Dengan kondisi ini usahatani tanaman pangan di lahan rawa lebak
dapat diusahakan pada musim kemarau (MK) pada saat genangan air mulai
menyurut.
Pola tanam yang dikembangkan bertahap dari lebak dangkal di musim
hujan dan berangsur ke lebak dalam di musim kemarau yang tergantung pada
tinggi genangan air.Dengan kondisi yang ada pada prinsipnya lahan rawa lebak
dapat dimanfaatkan untuk usahatani sepanjang tahun, sehingga usahatani yang
dikembangkan pada musim kemarau (off season) justru petani dapat
memperoleh hasil/pendapatan yang lebih baik.Namun dengan besarnya biaya
persiapan lahan dan terbatasnya infrastruktur sehingga petani banyak
mengusahakan untuk pertanaman padi lokal yang memiliki tingkat produksi
rendah dan umur yang panjang.
Upaya peningkatan produktifitas usahatani telah banyak dilakukan
melalui peningkatan Indeks Pertanaman, penggunaan varietas unggul,
pembenahan media tanam, membangun sarana drainase, pemberian amelioran
dan pengendalian hama penyakit. Biaya produksi menjadi mahal dan resiko
kegagalan tinggi. Akan tetapi petani di lahan rawa lebak sampai saat ini masih
terbelenggu kemiskinan. Biaya usahatani dengan penggunaan varietas unggul di
lahan rawa lebak lebih tinggi dibandingkan varietas lokal (Hutapea, 2004).
24
Di Sumsel, pendapatan masyarakat di wilayah lahan rawa lebak 59,92 %
berasal dari sektor petanian dengan komoditas utama padi (Hutapea, 2004).
Masalah yang dihadapi produktifitas usahatani rendah disebabkan oleh genangan
atau kekeringan yang datangnya belum dapat diramal secara tepat (Suwarno dan
Suhartini, 1993), dan kendala lain berupa gangguan hama tikus, wereng coklat
dan penggerek batang (Rochman et. al, 1990), sedangkan kendala sosial
ekonomi berupa keterbatasan modal dan tenaga kerja, tingkat pendidikan petani
yang masih rendah.

KARAKTERISTIK TANAH RAWA LEBAK


Kondisi Umum Daerah
Kabupaten Ogan Ilir terbentuk melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2003 merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir secara
geografis terletak diantara 30 02' LS sampai 30 48' LS dan diantara 1040 20' BT
sampai 1040 48'BT. Luas wilayah Kabupaten Ogan Ilir sesuai dengan UndangUndang
Nomor 37 Tahun 2003 adalah 2,666,07 km2 atau 266,607 hektar. Pada
awalnya terdiri atas 6 kecamatan. Sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Ilir
Nomor 22 Tahun 2005, kemudian dimekarkan menjadi 16 kecamatan. Keadaan
iklim disuatu tempat ditentukan oleh faktor curah hujan, suhu, kelembaban dan
kecepatan angin. Kabupaten Ogan Ilir merupakan daerah yang mempunyai iklim
Tropis Basah (Tipe B) dengan musim kemarau berkisar antara bulan Mei sampai
dengan bulan Oktober, sedangkan musim hujan berkisar antara bulan November
sampai dengan April. Curah hujan rata-rata per tahun adalah 1,096 mm dan ratarata
hari hujan 66 hari per tahun. Suhu udara harian berkisar antara 23 32 oC.
Kelembaban udara relatif harian berkisar antara 6 - 9%.
Fisiografi, Landform dan Bahan Induk
Wilayah bagian utara Kabupaten Ogan Ilir merupakan hamparan dataran
rendah berawa yang sangat luas dengan tofografi tertinggi diatas 10 meter dari
permukaan airlaut, terdiri atas daratan 65% dan rawa-rawa sekitar 35%.
Kabupaten Ogan Ilir dialiri oleh satu sungai besar yaitu sungai Ogan. Dataran
rawa termasuk kelompok fisiografi yang disebut lingkungan pengendapan baru
(Buurman dan Balsem, 1990).
Genesis Daerah Lebak
Karakteristik dan penyebaran tanah dipengaruhi oleh faktor pembentuk
tanah yaitu iklim, bahan induk, relief, vegetasi dan waktu. Di daerah penelitian
tanah berkembang dari bahan aluvium berupa endapan sungai (fluviatil)
terutama sungai-sungai cukup besar seperti Sungai Musi, Sungai Ogan dan
Sungai Komering. Bahan yang diendapkan mempunyai ukuran bervariasi terdiri
dari pasir, debu dan liat, tetapi pada umumnya didominasi oleh debu dan liat. Di
daerah depresi dijumpai adanya bahan organik sebagai bahan induk pembentuk
tanah. Tanah di dataran aluvial dicirikan oleh drainase yang terhambat sampai
sangat terhambat, yang ditunjukan oleh dominasi warna kelabu pada tanah
dengan atau tanpa karatan. Daerah lebak umumya tersebar di sepanjang aliran
sungai-sungai besar. Sungai-sungai tersebut setiap tahun pada musim penghujan
25
selalu terjadi perluapan air ke tepian sekitarnya. Kemudian air sungai yang
meluap tersebut diteruskan ke daerah yang lebih rendah sampai ke tempattempat
bagian yang cekung. Pada tempat yang cekung inilah air menggenang
dan bertahan lama. Pengeringan pada tempat cekung tersebut hanya akan terjadi
apabila musim kemarau berlangsung lama. Jika musim penghujan berlangsung
lama, tidak dapat diharapkan mengering.

TIPOLOGI RAWALEBAK
Penyusunan tipologi rawa dibuat dengan tujuan: 1). Untuk menjelaskan
unit-unit ekologi dengan kondisi alami yang homogen, 2). Menyusun unit-unit
tersebut dalam suatu sistem untuk membantu penentuan manajemen sumber
daya, 3). Untuk mempermudah inventarisasi dan pemetaan, dan 4).
Penyeragaman konsep dan terminologi (Smith, 1993). Keragaman karakteristik
biofisik rawa lebak di lokasi yang disertai keragaman pemanfaatan memerlukan
pola pengelolaan yang bervariasi. Untuk menyusun rencana pengelolaan yang
spesifik terlebih dahulu disusun tipologi rawalebak dengan deskripsi masingmasing.
Deskripsi disusun menurut ciri ekologi yang mengacu pada hidrologi,
mutu air dan sedimen, keragaman jenis biota terutama ikan dan vegetasi,
pemanfaatan dan kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar rawa.
Berdasarkan ketinggian dan lamanya genangan, lahan rawa lebak dapat
dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1) Lebak dangkal, (2) Lebak tengahan, dan (3)
Lebak dalam. Batasan dan klasifikasi lahan rawa lebak menurut tinggi dan
lamanya genangan adalah sebagai berikut (Anwarhan, 1989; Widjaja Adhi,
1989):
Lebak dangkal : wilayah yang mempunyai tinggi genangan 25-50 cm
dengan lama genangan minimal 3 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai
hidrotopografi nisbi lebih tinggi dan merupakan wilayah paling dekat dengan
tanggul.
Lebak tengahan : wilayah yang mempunyai tinggi genangan 50-100 cm
dengan lama genangan minimal 3-6 bulan dalam setahun. Wilayahnya
mempunyai hidrotopografi lebih rendah daripada lebak dangkal dan merupakan
wilayah antara lebak dangkal dengan lebak dalam.
Lebak dalam : wilayah yang mempunyai tinggi genangan > 100 cm
dengan lama genangan minimal > 6 bulan dalam setahun. Wilayahnya
mempunyai hidrotopografi paling rendah.
Berdasarkan tipologi lebak, lahan yang diusahakan terdiri dari lebak
dangkal, lebak tengahan dan lebak dalam. Daerah lebak tidak selalu tergenang air
dan penggenangannya tidak pula merata, tergantung pada keadaan hidrotopografi
lebak itu sendiri, curah hujan, dan ketinggian air sungai setempat. Bagian yang
memiliki hidrotopografi yang lebih tinggi mempunyai jangka waktu penggenangan
lebih pendek dibandingkan dengan yang keadan hidtrotopografi lebih rendah. Oleh
karena itu penanaman padi baru dapat dilakukan setelah air pada rawa dangkal
menyurut dan selanjutnya diikuti oleh rawa tengahan dan rawa dalam.
26
PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK
Ekosistem rawa lebak dibagi dalam 3 katagori, yaitu 1) lahan rawa lebak
dangkal atau lahan pematang yang dicirikan oleh kedalaman genangan air
kurang dari 50 cm, dengan lama genangan antara 1-3 bulan; 2) lahan rawa lebak
tengahan, dicirikan kedalaman genangan air antara 50-100 cm dengan lama
genangan 3-6 bulan; dan 3) lahan rawa lebak dalam dicirikan kedalaman
genangan air lebih dari 100 cm dengan lama genangan lebih dari 6 bulan
(Direktorat Rawa, 1992). Adanya genangan air yang cukup dominan di lahan
rawa lebak usahatani yang dikembangkan masyarakat selama ini adalah tanaman
padi sawah.
Pemanfaatan lahan rawa lebak oleh penduduk setempat masih
dilaksanakan secara tradisional yang masih sangat tergantung pada kondisi alam.
Kesulitan yang dihadapi petani ialah kondisi genangan air yang sulit untuk
diprediksi secara tepat, terutama mengenai kapan mulainya, berapa tinggi
genangan yang akan dihadapi, kapan mulai air surut, dan berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi yang diinginkan. Sangat berbeda
dengan lahan yang berpengairan, dimana petani dapat mengatur kondisi tinggi
dan lama genangan setiap saat.Dalam hal ini petani pada umumnya berspekulasi
menghadapi kondisi alam, sehingga petani sering gagal panen karena banjir atau
kekeringan yang mendadak dan ekstrim.
Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan usahatani di lahan rawa
lebak antara lain faktor genangan air dan kesuburan tanah. Genangan air rawa
lebak dipengaruhi oleh curahan air hujan di hulu dan hilir sungai maupun
curahan air hujan di lahan itu sendiri dan sekitarnya. Untuk pertanian di lahan
rawa lebak pada akhir bulan Februari dimana permukaan air cenderung mulai
turun, pengerjaan sawah lebak dangkal dimulai. Pekerjaan yang dilakukan
adalah pembersihan sawah dari vegetasi air serta menyiapkan persemaian. Bila
air mulai menurun lagi pada bulan-bulan berikutnya pengerjaan sawah lebak
tengahan dan dalam dilakukan pula. Pola pertanian sawah lebak di Daerah Ogan
Ilir, terlihat bahwa musim pertanian padi di wilayah ini berbeda-beda sesuai
dengan tinggi genangan pada masing-masing lahan rawa lebak, karena pertanian
pada lahan rawa lebak berhubungan erat dengan keadaan iklim, maka untuk
mencapai produksi yang tinggi sangat dibatasi oleh berbagai faktor. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah: 1) keadaan hidrotopografi daerah
lebak berbeda-beda, tidak memungkinkan penanaman padi sawah lebak secara
serempak, 2) perlunya untuk menentukan waktu tanam yang tepat, 3)
penggunaan bibit lokal yang berproduksi rendah dan penggunaan bibit berumur
tua, dan 4) Perubahan cuaca yang sulit diramal, dapat merusak tanaman dalam
pertumbuhan, maupun sewaktu akan dipanen yang dapat menimbulkan
kerusakan secara total.
Pemanfaatan Rawa Lebak
1) Lebak dangkal dan Lebak Tengahan, selain padi rawa lebak juga umumnya
ditanami palawija,sayur, dan buah-buahan. Pola tanam atau tumpang sari
antara tanaman palawija, sayuran, atau buah-buahan umum dilakukan petani
pada kedua tipe lahan rawa lebak dangkal dan tengahan dengan sistem
surjan. Pada sistem surjan tanaman palawija (jagung,kedelai dan umbi-
27
umbian), sayuran (tomat, cabai, kacang panjang), atau buah-buahan
(semangka, labu kuning, mangga rawa) ditanam di surjan (tembokkan),
sedangkan bagian tabukan (ledokkan) ditanami padi. Pada musim kemarau
panjang semua sawah lebak, terutama rawa lebak dangkal dan lebak
tengahan menjadi hamparan tanaman sayuran dan buah-buahan semangka,
kacang panjang, dan kacang tanah. Tinggi guludan pada sistem surjan
adalah 50-75 cm, sedangkan lebarnya 2-3 m. Ukuran dukungan adalah
tinggi 60-75 cm dan diameter atau sisinya sekitar 2-3 m. Pada petakan
lahan yang ditata sistem surjan, pada salah satu sisinya digali saluran
berukuran dalam 0.6 m dan lebar 1 m, fungsinya adalah sebagai pengatur
kelengasan tanah pada petak sawah dan tempat hidup atau perangkap ikan
alam. Guna menyeragamkan tinggi genangan air dan kesuburan tanah di
petakan lahan, perlu dilakukan perataan lahan bersamaan dengan kegiatan
pengolahan tanah. Pada lokasi lahan lebak tengahan dan lebak dalam perlu
dibuat jaringan tata air berupa saluran besar yang menghubungkan petakan
lahan ke sungai guna mengalirkan air dari kawasan lahan ke sungai
sehingga air genangan cepat surut dan sekaligus sebagai prasarana
transpotasi. Sedangkan pada petakan lahan perlu dibuat parit berukuran
lebar 1 m dan dalam 0,6 m yang dilengkapi dengan pintu air sistem tabat
guna mengalirkan air dari petakan lahan ke saluran besar dan menampung
air pada musim kemarau untuk mengairi tanaman serta sekaligus sebagai
tempat hidup atau perangkap ikan alam. Sistem jaringan tata air iniakan
lebih baik jika dikombinasikan dengan penggunaan pompa air untuk
memanfaatkan sungai yang posisinya tidak terlalu jauh dari kawasan lahan
lebak. Penataan lahan sistem surjan atau tukungan dapat dilakukan oleh
petani tetapi perlu percontohan dan penyuluhan. Sedangkan pembuatan
jaringan tata air dan pompa hendaknya dilakukan atau dibantu oleh
pemerintah.
2) Lebak Dalam umumnya mempunyai genangan lebih dari 6 bulan atau lebih.
Pada bagian lebak dalam telah digunakan penduduk untuk padi sawah atau
budidaya perikanan dalam bentuk empang atau lebung. Untuk lebak dalam
ditanami hanya pada saat musim kemarau panjang (apabila 4-5 bulan
kering), selebihnya dibiarkan karena genangan air cukup tinggi dan
digunakan untuk perikanan tangkap, perikanan kolam,serta perikanan
keramba.

PENGELOLAAN DAN KENDALA PENGEMBANGAN

Rekomendasi Teknologi Produksi Spesifik Lokasi


Secara teknis, teknologi usahatani yang diterapkan petani masih belum
mampu menekan biaya produksi. Pada waktu pengolahan tanah, petani
mengangkut jerami keluar lahan sawah sehingga kandungan bahan organik
sawah menjadi rendah karena tidak ada pengembalian bahan organik. Pada sisi
lain, petani belum melakukan pemupukan sesuai keperluan tanaman dan kondisi
tanah. Masih rendahnya produktifitas usahatani yang dikembangkan oleh petani
di daerah ini juga disebabkan oleh masih besarnya kehilangan hasil akibat
adanya organisme pengganggu tanaman. Pada kondisi tertentu serangan OPT
28
dapat mencakup wilayah yang luas dan mengakibat penurunan hasil yang
merugikan petani. Seringnya terjadi serangan OPT ini disebabkan oleh karena
belum dilaksanakannya pengendalian terpadu secara maksimal oleh petani.
Teknologi usahatani yang lebih efisien dan ekonomis belum dipraktekkan oleh
petani di daerah ini disebabkan karena mereka belum mempunyai pengetahuan
mengenai teknologi inovatif yang tersedia. Masalah lain yang berhubungan
dengan tingkat penerapan teknologi usahatani ini adalah Indeks Pertanaman (IP)
di lahan rawa ini umumnya baru mencapai 100%. Rendahnya IP disebabkan,
terutama oleh system tata air yang belum dapat dikuasai dengan baik. (Waluyo
et al, 2007)
Peluang Inovasi
Untuk dapat meningkatkan produktifitas usahatani dan pendapatan petani
di daerah rawa Kabupaten Ogan ilir diperlukan upaya-upaya perbaikan yang
meliputi penyediaan infrastruktur pedesaan yang baik, introduksi teknologi
inovatif serta pembentukan dan pemberdayaan kelembagaan pendukung
usahatani di pedesaan, meliputi: (a) Perbaikan infrastruktur pedesaan berupa
jalan usahatani yang memungkinkan bagi petani untuk menjangkau dan
mengusahakan lahan rawa yang potensial untuk usaha pertanian. (b) Pembuatan
dan perbaikan jaringan pengairan pedesaan yang terintegrasi antara wilayah hulu
hingga hilir sehingga dapat mengoptimalkan pengaturan air (c) Introduksi
teknologi inovatif .
Ketersediaan teknologi
Lahan rawa lebak mempunyai prospek yang cukup baik untuk menjamin
swasembada pangan nasional apabila dikelola dengan menggunakan teknologi
yang tepat. Badan litbang Pertanian telah banyak melakukan penelitian dasar,
terapan maupun pengembangan dan menghasilkan teknologi anjuran untuk
pengembangan sistem usahatani lahan rawa spesifik lokasi. Teknologi utama
yang telah direkomendasikan antara lain varietas unggul, penataan lahan,
komoditas, pemupukan dan pengendalian organisme penggangggu tanaman.
Varietas
Pemilihan varietas yang cocok merupakan komponen penting dalam
mendukungkeberhasilan.Sejumlah varietas unggul nasional yang telah dilepas
dan sesuai untuk dibudidayakan di sawah rawa lebak cukup banyak. Varietas
unggul dapat memberikan hasil 4.5-5.5 ton/ha atau lebih, sedangkan varietas
lokal 1.5-2 ton/ha.
Penataan lahan
Lahan rawa mempunyai sifat yang sangat heterogen, oleh karena itu
pemanfaatan lahan harus sesuai peruntukannya. Pengalaman menujukkan bahwa
usaha pertanian yang ditempatkan pada lahan yang sesuai, selain akan
memberikan hasil yang lebih baik, juga tidak perlu mengubah lingkungan secara
drastis. Dengan menerapkan teknologi yang sesuai, secara gradual mutu lahan
dapat diperbaiki, sehingga daya dukung lahan menjadi semakin besar. Sistem
penataan lahan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan
pertanian di lahan rawa lebak sesuai dengan agroekosistem setempat. Sistem
29
penataan lahan yang dianjurkan untuk tipologi lahan rawa lebak dangkal adalah
sistem surjan dan caren. Untuk lahan lebak tengahan dapat dianjurkan untuk
ditata dengan system hampang (mina padi), sedangkan lebak dalam ditata
sebagai sawah lebak dan perikanan. Pengeloaan lahan dengan sistem surjan dan
caren mempunyai beberapa keuntungan antara stabilitas produksi lebih mantap
dan intensitas tanam lebih tinggi dan diversivikasi lebih mudah dilaksanakan.
Genangan air pada lahan lebak sangat dipengaruhi oleh pola hujan yang
pada suatu hamparan lahan dapat dijumpai berbagai tipe genangan air, baik
berupa dangkal (pematang) maupun lebak tengahan dan lebak dalam. Walaupun
demikian, biasanya lahan pemukiman dan pekarangan tidak digenangi air
sehingga bisa diusahakan dengan berbagai alternatif komoditas. Lahan
pekarangan yang tidak tergenangi air, bisa ditanami dengan berbagai tanaman
buah-buahan seperti pisang dan mangga disamping pemeliharaan ayam buras
dan itik. Lahan usaha yang berupa lebak dangkal bisa ditata sebagai sawah tadah
hujan atau system surjan, sedangkan untuk lebak tengahan bisa ditata sebagai
sawah tadah hujan atau sistemcaren. Pola tanam di lahan sawah lebak dangkal
atau dibagian tabukan pada sistem surjan adalah padi-padi-palawija. Pola tanam
di gulu dan pada sistem surjan bias jagung + cabe + kacang panjang atau
palawija-palawija/sayuran-palawija. Tanaman pangan utama yang diusahakan di
lahan lebak adalah padi, sedangkan palawija seperti jagung, kedelai, kacang
hijau, kacang tunggak, ubi jalar dan ubi alabio dalam luasan terbatas, biasanya
ditanam pada guludan surjan dilebak dangkal. Fluktuasi tinggi muka air
merupakan kendala baik waktu tanam padi yang tepat, sehingga pada umumnya
pemindahan bibit (transpalnting) dilakukan lebih dari satu kali. Oleh karenaitu,
varietas lokal yang telah beradaptasi pada kondisi spesifik tersebut lebih banyak
digunakan petani pada lahan lebak. Varietas padi unggul yang beradaptasi dan
tumbuh dengan baik di lahan lebak adalah IR 42, Limboto, Batu Tegi Situ
Bagendit, Ciherang, INPARI 1, Inpara 3, dengan kisaran hasil 4-7 t/ha, (Waluyo
et al. 2013). Berdasar pola curah hujan dan kondisi lapangan, pada wilayah ini
dapat diterapkan pola tanam dua kali setahun (padi-padi), namun demikian
penentuan saat tanam harus dilaksanakan secara tepat. Untuk pertanaman Musim
Hujan (rendeng) adalah bulan Oktober/November, sedangkan untuk Musim
Kemarau (gadu) bulan Maret pertengahan April.
Dalam melaksanakan program-program tersebut tentunya ada kendalakendala yangharus
diatasi. Berikut ini perkiraan kendala utama yang akan
dihadapi dan alternatifpemecahannya.
(i) Fluktuasi genangan air
Kendala fluktuasi genangan air yang tak menentu bisa diatasi dengan
penataan lahan yang lebih baik seperti pencetakan sistem surjan. Selain itu dapat
dilakukan juga dengan penghijauan atau penghutanan kembali daerah aliran
sungai terutama bagian hulu.
(ii) Penyediaan benih
Padi di lahan rawa lebak hanya ditanam satu kali dalam setahun, sehingga
penangkar benih harus menyimpan dulu sebelum dapat dijual pada musim
berikutnya. Untuk menghindari penyimpanan, perbanyakan benih dapat
dilakukan pada lahan irigasi. Adapun beberapa alternatif untuk mengatasi
masalah tersebut, yaitu : 1) menetapkan harga benih varietas padi lebak lebih
tinggi dari varietas padi sawah, 2) memberi subsidi kepada penangkar benih padi
30
lebak, 3) membina petani secara perorangan atau kelompok agar memproduksi
dan menyimpan benih keperluannya.
(iii) Teknik budidaya
Lahan rawa lebak bertopografi landai bagian yang tinggi kering lebih
dahulu baru diikutioleh bagian yang lebih dalam. Oleh karena itu sering terjadi
penundaan waktu tanam padabagian rawa yang dalam, hal ini dapat diatasi
dengan pemindahan bibit 2-3 kali dengan selangwaktu 20-30 hari. Cara
demikian tidak dapat diterapkan pada varietas unggul yang berumur genjah.
Untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan dengan membuat persemaian
khusus untuk bagian rawa yang dangkal, rawa tengahan dan rawa dalam dengan
waktu tabor disesuaikan dengan surutnya air atau waktu tanamnya. Petani pada
lahan rawa lebak bisanya memanen padi dengan menggunakan ani-ani. Teknik
ini tidak sesuai untuk varietas unggul yang pendek. Untuk penanaman varietas
unggul perlu dibarengi dengan introduksi cara panen dengan sabit, seperti yang
dilakukan pada lahanirigasi. Hama yang potensi pada lahan rawa lebak adalah
tikus, wereng coklat dan penggerekbatang, sedangakan penyakit yang potensial
adalah blas malai, bercak coklat, bakteri daundan busuk pelepah, akan tetapi
hama dan penyakit kurang penting karena penanaman padisatu kali dalam
setahun dan belum intensif. Selama pertanaman padi hanya sekali dalamsetahun
masalah hama dan penyakit tersebut tidak akan seberat pada lahan beririgasi.
KEARIFAN LOKAL DALAM BUDIDAYA PADI RAWA LEBAK
Lahan rawa lebak telah begitu lama diusahakan untuk pertanian utamanya
tanaman padi, dengan memanfaatkan kondisi menyurutnya air rawa pada saat
menjelang musim kemarau. Dalam melaksanakan budidaya padi, masyarakat
petani telah memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang telah dijalankan
berpuluh tahun. Kearifan tersebut diantaranya:
1.Memilih lahan subur, pada awalnya masyarakat petani memilih lahan
rawa yang dekat dengan sungai besar untuk bertanam padi, karena wilayah
tersebut selalu mendapat kiriman lumpur subur, yang ditandai warna tanah hitam
gembur, dan telah banyak ditumbuhi oleh jenis tumbuhan air, seperti Kiambang
(Salvinia sp) Enceg gondok (Elchornia sp) dan tanda-tanda khas lainnya. Dari
hasil penelitian diketahui bahwa kedua jenis tumbuhan air tersebut tumbuh baik
pada pH di atas 4, dan kurang baik pada pH kurang dari 4. Selain itu transportasi
dari tempat tinggal ke sawah pulang pergi lebih mudah, terutama untuk kegiatan
pengangkutan hasil. Oleh karena itu hampir semua wilayah lahan lebak dangkal
telah diusahakan untuk pertanian.
2. Memulai kegiatan bertanam, dalam melaksanakan budidaya padi
rawalebak, petani akan memulai kerja di persawahan berdasarkan tanda-tanda
alam, diantaranya adalah jika diantara pepohohan (umumnya mangga rawa atau
rerawa) telah terlihat banyak bentangan sulur putih serangga, dan pohon sejenis
pohon dadap telah mulai berkembang, adalah satu pertanda bahwa musim
kemarau akan segera tiba. Sehingga para petani akan segera mempersiapkan
tempat persemaian, dan persiapan lahan. Sebaliknya jika di sungai-sungai telah
mulai kelihatan perkembangan ikan Seluang (Rasbora agyrotaenia) satu jenis
ikan kecil-kecil khas Kalimantan dan Sumatera, adalah sebagai pertanda bahwa
31
musim hujan akan segera tiba, sehingga persiapan pertanaman padi sawah
surung harus segera dimulai.
3. Sistem persemaian, masyarakat petani sudah paham betul dengan
sifatdan kondisi lahannya, sebagai hasil dari pengamatan dan pengalamanyang
sangat lama. Sehingga timbul kegiatan untuk mengatasi/menyesuaikan keadaan.
Masyarakat petani sudah tahu bahwa menanam padi bila menunggu keringnya
lahan akan terlambat dan berisiko gagal. Oleh karena itu harus dilakukan
percepatan persemaian. Karena lahannya masih tergenang air, maka persemaian
dilaksanakan dengandua sistem: (a) Sistem teradak, adalah sistem persemaian
kering pada tempat yang tidak terkena genagan air (teradak) menyemainya
dikenalsebagi meneradak dan persemaiannya adalah teradakan (b) Sistem
semai terapung atau apung, dilaksanakan di atas lahan yang tergenang air
menggunakan rakit dan sebagai media tumbuh bibit maka pada rakit diberi
lumpur rawa. sistem ini dikenal sebagai Palaian. Sistem palaian sebenarnya
adalah sistem persemaian basah, karena media tumbuh masih mendapat air dari
rawa melalui sistim kapilaritas. Persemaian apung di Kalimantan Selatan sudah
mulai ditinggalkan dan diganti dengan sistem persemaian kering-basah, tetapi di
Sumatera Selatan masih banyak dilakukan. Selain dua sistem persemaian
tersebut di atas, terdapat sistem persemaian yang dinilai juga merupakan
kearifan local yang sangat baik. Sistem tersebut adalah sistem persemaian
pindahyaitu bibit yang masih muda dipindahkan dari keadaan kering ke
keadaan basah.

PERENCANAAN PENGEMBANGAN RAWA LEBAK


Sebelum dilakukan pengembangan lebih lanjut, maka langkah-langkah
yang harus perhatikan adalah sebagai berikut:
1) Identifikasi dan pengelompokan wilayah lebak berdasarkan tipologi lahan,
biologi danfisik lahan, sistem usahatani yang existing, kelembagaan serta
sarana dan prasarana yang tersedia. Informasi-informasi ini sangat penting
dikumpulkan yang menyangkut jenis dan kondisi tanah yang dipetakan
dengan disertai area yang tergenang kapan, berapa lama, serta dalamnya
genangan. Sistem usaha tani yang meliputi pemanfaatannya, pola usahatani
(farming system) dan penerapan teknologinya, hasil dan pendapatan dari
komoditas yang diusahakan, ketersediaan modal untuk berusaha tani, sarana
produksi dan pemasaran hasil, keterlibatan petani/kelompok tani dalam
koperasi dan masalah-masalah yang dihadapi sekaligus potensi dan prospek
serta kendala pengembangan lahan rawa lebak. Informasi sarana dan
prasarana juga dikumpulkan yang menyangkut tata letak dan fungsi saluran,
keadaan saluran meliputi panjang dan jarak antar saluran serta dimensi
penampang saluran, letak dan kondisi pintu air atau bangunan air lainnya,
operasi dan pemeliharaan jaringan air, luas cakupan lahan dan penataannya,
dan persepsi dan saran petani mengenai penyempurnaan tata airnya.
2) Desain dan rancangan pengembangan,
Dari hasil identifikasi dan pengelompokan wilayah lebak baik dari aspek
biofisik dan hidrotopografinya, maka rancangan dan desain pengelolaan
lahan rawa lebak dapat dibuat dengan prinsip kesesuaian lahan dengan
32
memperhatikan kawasan permukiman, kawasan budidaya baik untuk
tanaman pangan, hortikultura dan peternakan maupun perikanan. Selain itu
juga harus menyisakan area atau kawasan konservasi, sehingga jelas dimana
area yang selalu tergenang, tempat bangunan irigasi, arah dan sumber air
irigasi, pintu-pintu air, saluran pemberi dan pembuang (drainase), area
water retention, jalan usaha tani, rancangan pola tanam (padi padi, padi
palawija dan padi hortikultura). Tidak kalah pentingnya untuk memberikan
contoh pengembangan atau pemanfaatan lahan rawa lebak yang optimal,
maka model pengembangan harus diinstall di area yang mempunyai
karakteristik berbeda-beda, sehingga model ini dapat diadopsi oleh para
penyuluh maupun petani sekitar lokasi, karena mereka dapat melihat
langsung cara pengelolaannya. Hal penting yang mesti diperhatikan juga
adalah pengembangan suatu lahan rawa lebak tidak akan mematikan
kebiasaan yang telah dilakukan oleh petani atau masyarakat yang
mempunyai nilai positif (indegenous knowledge), karena tiap lokasi atau
daerah mempunyai kearifan lokal yang berbeda-beda sehingga penanganan
yang diaplikasikan juga memperhatikan spesifik lokasi. Sebaliknya hal-hal
yang bernilai negatif yang ada dimasyarakat kita arahkan untuk menjadi
nilai positif yang sangat bermanfaat bagi pengembangan lahan rawa lebak
lebih lanjut.
3) Penumbuhan kelembagaan, peningkatan pengetahuan dan partisipasi
petugas dan petani. Penumbuhan kelembagaan penunjang yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat oleh dari dan untuk petani/kelompok tani
sangat diperlukan tentunya dengan partisipasi aktif mereka. Kelembagaan
tersebut dapat berupa kelembagaan petani, P3A, sarana produksi, pelayanan
jasa alsintan, pasca panen dan pemasaran hasil serta keuangan atau
permodalan. Peningkatan pengetahuan yang berupa pelatihan dan
pembinaan secara intensif pada area model meliputi sekolah lapang dan
temu lapang bagi petani/kelompok tani sangat diperlukan, demikian juga
pelatihan bagi petugas baik dari semua tingkatan seperti TOT untuk petugas
propinsi, pelatihan aspek teknis pengelolaan lahan lebak oleh petani untuk
petugas kabupaten serta pelatihan bagaimana mendorong dan mengaktifkan
kembali partisipasi petugas dan petani dalam pengelolaan lahan lebak.
4) Monitoring dan evaluasi
Kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan hal paten yang mesti harus
ada karena merupakan deliniasi tujuan maupun arahan pengembangan lahan
lebak agar tidak melenceng dari yang diharapkan. Kegiatan yang dilakukan
harus dilengkapi informasi sebelum (before) dan sesudah (after) proyek baik
ruang (spatial) maupun waktu (temporal). Kegiatan ini akan dapat
dievaluasi sehingga ke depan dapat dibuat skenario-skenario pengembangan
lanjutannya.
33
STRATEGI PENGEMBANGAN PERTANIAN BERKELANJUTANDI
LAHAN RAWA LEBAK
Berdasarkan peluang dan kendala serta hasil-hasil penelitian
pengembangan pertanian di lahan rawa lebak, perencanaan dan pelaksanaan
yang cermat harus dilakukan untuk mewujudkan pertanian yang berkelanjutan di
lahan rawa. Sistem pertanian di lahan rawa lebak akan berkelanjutan apabila
usahatani tersebut dapat memberikan hal-hal berikut:
1. Produksi usahatani harus cukup tinggi agar petani tetap bergairah
melanjutkan usahataninya. Produksi tinggi tersebut hanya dapat diperoleh
apabila teknologi yang dipakai adalah teknologi yang tepat. Teknologi
usahatani di suatu tipe lahan rawa belum tentu cocok di tipe lahan rawa
yang lain. Oleh sebab itu pemilihan teknologi harus bersifat adaptif.
Teknologi agronomi, pengelolaan tanah dan tanaman harus disesuaikan
dengan tipologi lahan rawa yang diusahakan. Pemilihan komoditi yang
adaptif pada kondisi lahan dan iklim setempat harus dilakukan secara
cermat. Jenis dan dosis pupuk yang diperlukan harus memperhatikan
keadaan tanah dan biofisik daerah yang bersangkutan.
2. Pendapatan petani harus cukup tinggi sehingga petani dapat mendisain masa
depan keluarganya dari hasil usahataninya. Hal ini hanya dapat dicapai
kalau produksi usahataninya yang tinggi tadi dapat dijual dan laku di pasar
dengan harga yang cukup tinggi. Oleh sebab itu pemilihan komoditi
usahatanipun harus mempertimbangkan permintaan pasar, baik pasar lokal,
regional maupun internasional.
3. Teknologi yang diterapkan adalah teknologi yang dapat dikembangkan oleh
petani dengan kemampuan yang mereka miliki dan dapat diterima oleh
petani dengan senang hati sehingga teknologi tersebut dapat diteruskan oleh
petani dengan kemampuannya tanpa bantuan dari luar secara terus-menerus.
Kalau petani tidak mampu mengembangkan teknologi tersebut maka cepat
atau lambat petani akan meninggalkan teknologi itu.
4. Degradasi lahan harus minimal; kerusakan lahan dan lingkungan rawa yang
drastis dapat menurunkan produktifitas dan bahkan dapat menghentikan
proses produksi secara drastis. Oleh sebab itu teknologi reklamsi harus
dirancang dengan cermat sejak awal tidak terjadi degradasi kualitas
lahan/lingkungan. (Sinukaban, N. 1999). Keempat indikator pertanian
berkelanjutan itu harus diwujudkan dalam usahatani lahan rawa secara
simultan agar pertanian tersebut dapat berkelanjutan.

KESIMPULAN
1. Lahan rawa lebak memiliki potensi yang besar untuk dikembangakan dan
meningkatkan produksi tanaman pangan baik melalui intensifikasi usahatani
pada lahan yang sudah diusahakan. Program pengembangan produksi
tanaman pangan di lahan rawa lebak hendaknya dilakukan secara bertahap
karena memiliki berbagai kendala baik secara teknis maupun sosial ekonomi
dan kelembagaan.
34
2. Berdasarkan identifikasi dan evaluasi lahan pengembangan rawa lebak dapat
diarahkan kepada pengembangan tanaman pangan khususnya padi, sayuran,
ikan, ternak itik kerbau rawa sesuai dengan kondisi lingkungan setempat.
3. Untuk lebih meningkatkan pendapatan dan mengoptimalkan sumberdaya
hendaknya pengembangan lahan rawa diarahkan kepada usaha aneka
komoditas pengelolaan tanaman terpadu sesuai dengan wilayah dan prospek
pemasarannya.
4. Untuk meningkatkan pengembangan lahan rawa lebak secara optimal perlu
adanya koordinasi, keterpaduan dan sinkronisasi kerja antar instasi terkait.
DAFTAR PUSTAKA
.
Buurman, P., and T. Balsem. 1990. Land unit clasification for the
reconnaissance soil survey of Sumatera. Tech. Rep. No 3. LREP.CSAR.
Bogor.Direktorat Rawa. 1992. Kebijaksanaan Departemen Pekerjaan
Umum dalam Rangka Pengembangan Daerah rawa.
FAO. 1990. Guidline for Soil Description 3rd Edition revised. Rome.
Hikmatullah, V. Suwandi, Chendy, T.F., A. Hidayat, U.Affandi, dan
D.Dai. 1990. Buku Keterangan Satuan Peta Tanah, Lembar PalembangSumatera (1013),
LREP-Puslittanak.
Hutapea Y. 2004. Ragam Usaha Rumah Tangga Petani di Agroekosistem Pasang
Surut dan Lebak Sumatera Selatan.Buku I. Prosiding Seminar Lokakarya
Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik
Lokasi.Palembang, 28-29 Juni 2004.BPTP Sumatera Selatan.Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Latief D. 2004.Kualitas Sumberdaya Mineral dengan tingkat kesehatan
masyarakat.Buku I. Prosiding Seminar Lokakarya Nasional Hasil
Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi.Palembang, 28-29
Juni 2004.BPTP Sumatera Selatan.Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian.Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Rochman, J., Soejitno, Soeprapto, M. dan Suwalan. 1990. Pengendalian Hama
Tanaman Pangan Dalam Sistem Usahatani Lahan Pasang Surut.Risalah
Seminar Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Rawa. Bogor, 19 21
September 1989..
Suwarno dan T. Suhartini.1993. Perbaikan Varietas Padi Untuk menunjang
Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Lebak.Dalam Prosiding
Simposium Penelitian Tanaman Pangan III.Jakarta/Bogor, 23 25
Agustus 1993.
Sinukaban, N. 1999.Pembangunan pertanian berkelanjutan di lahan
rawa.Makalahdisampaikan pada lokakarya Nasional Optimasi
Pemanfaatan Sumberdaya lahan rawa,23-26 November 1999. Jakarta.
Widjaya Adhi,IPG. K. Nugroho, D. Ardi dan S. karama. 1998. Sumber daya
lahan pasangsurut, rawa dan pantai. Makalah disajikan pada pertemuan
nasional pengembanganpertanian lahan pasang surut dan rawa di
Cisarua, tgl 3-4 maret 1992.
35
Waluyo, Rajulis, Usman S. 2013. Pengkajian Adaptasi Varietas Unggul Baru
(VUB) PadiToleran Kekeringan dan Rendaman (produktifitas >5 t/ha) di
Lahan Rawa LebakSumatera Selatan.Laporan tahunan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP)Sumatera Selatan. 2013. (Tidak dipublikasi).
Waluyo, Yanter H, Zakiah, dan Suparwoto. 2007. Studi Identifikasi Kebutuhan
Inovasiteknologi Program Primatani di desa Kota Daro II, Kecamatan
Rantau Panjang,Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.
36

Pengendalian Penggunaan dan Pengelolaan Lahan, Studi


Kasus: Kec. Pemenang, Kab. Lombok Utara
Disusun Oleh: Rika Andriati Sukma Dewi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kecamatan Pemenang merupakan daerah yang baru mengalami
pemekaran pada tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2008
tentang Pembentukan Kabupaten Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Daerah ini jarang dikenal, tetapi apabila disebutkan ketiga Gili
(Trawangan, Meno dan Air) yang terdapat di kecamatan ini maka dunia wisata
nasional dan internasional akan mengenalinya.
Kecamatan yang belum lama mengalami pemekaran ini masih
menyimpan potensi pertanian dan pariwisata yang menunjang perekonomian
masyarakat. Hal ini juga dapat mengundang masyarakat setempat maupun
pendatang untuk memanfaatkan lahan yang dinilai oleh masyarakat memiliki
potensi usaha yang prospektif sehingga tidak terlepas pula oleh penggunaan
lahan yang degradatif jika penggunaan lahan tersebut tidak sesuai dan hanya
dimanfaatkan untuk keperluan perorangan maupun kelompok. Oleh sebab itu
diperlukan perhatian yang serius agar permasalahan tidak semakin berlanjut.
Pengelolaan lahan diarahkan pada konsep pembangunan berkelanjutan
dimaksudkan bahwa pembangunan tersebut dapat digunakan oleh generasi
sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam
pembangunan berkelanjutan, kita perlu memahami adanya segitiga keberlanjutan
(Sustainable Triangle). Segitiga keberlantujan ini terdiri dari indikator
keberlanjutan antara lain aspek sosial, lingkungan dan ekonomi. Ketiga aspek
tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan saling mendukung satu dengan yang
lainnya.
Masalah pengelolaan lahan banyak ditemukan di kecamatan Pemenang
kabupaten Lombok Utara. Kesalahan dalam pengelolaan lahan ini
mengakibatkan permasalahan berupa perubahan fungsi penggunaan lahan dan
terjadinya lahan kritis yang banyak dijumpai pada daerah pegunungan dan
pengkonversian lahan pertanian menjadi lahan pemukiman. Oleh sebab itu perlu
adanya pengendaliaan penggunaan lahan. hal ini perlu dilakukan penilaian
biofisik, sosial dan ekonomi sehingga diharapkan keluaran berupa rekomendasi
yang tepat terhadap penggunaan lahan.
Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk melakukan penilaian biofisik,
sosial, dan ekonomi terhadap potensi dan permasalahan penggunaan lahan di
kecamatan Pemenang kabupaten Lombok Utara.
37
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Kecamatan Pemenang terletak di bagian utara pulau Lombok termasuk 3
Gili. Kecamatan ini terdiri dari 4 desa antara lain Malaka, Pemenang Barat,
Pemenang Timur dan Gili Indah (Trawangan, Meno dan Air). Luas wilayah
kecamatan ini yaitu 81.09 km. Kecamatan ini juga termasuk dalam bagian
kawasan Gunung Rinjani yang berbukit-bukit kecuali ketiga Gili. Kecamatan
Pemenang terdiri dari 60% hutan lindung dan hutan (rakyat). Luas kawasan 3
Gili antara lain Gili Trawangan seluas 340 ha, Gili Meno seluas 150 ha dan Gili
Air seluas 150 ha.
Kondisi topografi kecamatan pemenang pada bagian selatan ke tengah
terdapat gugusan pegunungan dengan hutan yang berfungsi sebagai penyangga
hidrologi sedangkan sepanjang pantainya ke tengah terdapat dataran rendah dan
banyak perkebunan rakyat yang diusahakan sedangkan pada bagian utara ke
tengah banyak ditemukan persawahan dan tegalan.

Gambar 3.1 Peta Wilayah Kecamatan Pemenang


Luas kemiringan tanah di kecamatan Pemenang pada tahun 2012 yaitu
7,198 Ha pada masing-masing tingkat kemiringan tanah 0-2% seluas 2,018 Ha,
2-15% seluas 165 Ha, 15-40% seluas 1,750 Ha dan >40% seluas 3,265% (BPS
Kabupaten Lombok Utara 2013). Luas penggunaan lahannya dibagi menjadi 3
yaitu tanah sawah seluas 417 ha, lahan bukan sawah 3,906 ha dan lahan bukan
pertanian seluas 3,786 ha. Sumber mata air di kecamatan Pemenang terdiri dari 8
lokasi dapat meningkatkan hasil produksi pertaniannya guna memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat setempat yang diiringi dengan peningkatan
kesejahtraan masyarakat.
Kabupaten Lombok Utara beriklim tropis yang dipengaruhi oleh tekanan
udara pada garis khatulistiwa dan angin dari barat dan selatan dengan kecepatan
rata-rata 4.8 Km/jam. Rata-rata curah hujan perbulan pada bulan tahun 2008
sekitar 147.67 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada awal tahun, yaitu pada
38
bulan-bulan November hingga Desember dan Januari hingga Februari. Jumlah
hari hujan pada bulan-bulan musim tersebut juga berbeda-beda. Dengan
perbedaan tersebut Kabupaten Lombok Utara memiliki 2 musim yaitu musim
kemarau sekitar bulan Juni hingga September dan musim hujan sekitar bulan
Oktober sampai Mei. Suhu udara rata-rata pada tahun 2008 adalah 27C yang
seiring dengan musim. Jika musim kemarau, suhu akan meningkat berkisar
antara 27.1 27.4C, sedangkan pada musim hujan suhu akan turun berkisar
24.8 26.8C.
Jumlah penduduk kecamatan Pemenang kabupaten Lombok utara pada
tahun 2012 sebesar 33,434 jiwa, sedangkan laju pertumbuhan penduduk pada
tahun 2000-2010 sebesar 1.91. Laju pertumbuhann penduduk di kecamatan
Pemenang lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain yang ada di
Kabupaten Lombok Utara.
Struktur perekonomian kabupaten Lombok Utara didominasi oleh sektor
pertanian yang memberikan kontribusi sebanyak 44.96% karena sektor ini
dikembangkan diseluruh kecamatan termasuk Pemenang, sedangkan sektor lain
yang memberikan kontribusi cukup tinggi adalah sektor perdagangan hotel dan
restoran sebesar 17.88%. Laju pertumbuhan ekonomi kecamatan Pemenang
tahun 2011 sebesar 5.34 atas dasar harga konstan yang dipengaruhi oleh sektor
kunci berupa pertanian dan perdagangan, hotel dan restoran. Laju pertumbuhan
sektor pertanian mencapai 2.93 sedangkan sektor perdagangan, hotel dan
restoran mencapai 5.77.

POTENSI DAN PERMASALAHAN/KENDALA DALAM


PENGEMBANGAN PERTANIAN/WILAYAH
Potensi
Pertanian berkontribusi besar dalam menopang prekonomian masyarakat
Pemenang. Hal ini dikarenakan sebagian penduduk bekerja di sektor pertanian
terutama pertanian tanaman pangan dan perkebunan menjadi primadona. Padi
dijadikan sebagai produksi andalan tanaman pangan diseluruh kecamatan di
kabupaten Lombok Utara. Produksi padi sawah tahun 2012 mencapai 2,239 ton
dengan luas panen 420 ha. Produksi ubi kayu merupakan yang terbesar
dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya yaitu 3,194 ton dengan luas
panen 207 ha. Potensi perkebunan rakyat kecamatan Pemenang tahun 2012
cukup menjanjikan tercatat bahwa produk unggulan perkebunan berupa kelapa,
jambu mete dan kopi. Produksi kelapa yaitu 3,465.85 ton dengan luas panen
2,616.15 ha dan produksi jambu mete sebesar 1,229.75 ton dengan luas panen
120.85 ha.
Potensi lain yang bisa didapatkan di kecamatan Pemenang pesona alam
yang indah. Hal inilah yang mendukung berkembangnya usaha dibidang
pariwisata. Wisata alam yang mejadi pimadona adalah wisata pantai yang
terpusat di tiga Gili kecamatan Pemenang dan pantai Malimbu. Jumlah hotel dan
restoran menjadi barometer perkembangan pariwisata di kecamatan Pemenang.
39
Jumlah hotel melati sebanyak 411 hotel yang umumnya terdapat di tiga Gili.
Jumlah wisatawan yang berkunjung didominasi oleh wisatawan mancanegara.
Permasalahan
Perubahan Fungsi Status Penggunaan Lahan
Perubahan fungsi status penggunaan lahan yang sudah bergeser seperti
lahan pertanian yang banyak dialihkan menjadi daerah permukiman,
ketimpangan distribusi penduduk sehingga mengakibatkan ketersediaan tenaga
kerja jauh menurun yang dikarenakan sumberdaya manusia yang tersedia masih
rendah, sumberdaya alam yang ada belum dimanfaatkan secara optimal.
Lahan Kritis
Luas lahan kritis di kecamatan Pemenang sebesar 14.200,92 ha
merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain di kabupaten
Lombok Utara dengan kategori sangat kritis, kritis, agak kritis dan potensial
kritis. Lahan sangat kritis dan kritis hanya ditemukan di kecamatan Pemenang
masing-masing seluas 2.056,93 dan 329,15 ha sedangkan luas lahan agak krits
dan potensial kritis masing-masing seluas 4.605,60 dan 7.209,24 ha (BPS
Kabupaten Lombok Utara 2013). Lahan kritis sering dijumpai di daerah
pegunungan Pusuk karena sering terjadi longsor.

KEBIJAKAN PENGGUNAAN/ PEMANFAATAN/ PENGELOLAAN


LAHAN/WILAYAH
Kebijakan Daerah
Kabupaten Lombok Utara telah membentuk Peraturan Daerah Nomor 9
tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Utara
Tahun 2011-2031 yang berfungsi untuk mengatur, menetukan dan
mengendalikan setiap kegitan yang berkenaan dengan pemanfaatan fungsi ruang
tersebut. Dalam Peraturan Daerah ini, disusun pola ruang wilayah meliputi
kawasan lindung sebesar 30.87% seluas kurang lebih 24.992 Ha dan kawasan
budidaya sebesar 69.13% seluas kurang lebih 55.961 ha.
Hutan di kawasan kecamatan Pemenang merupakan bagian dari kawasan
lindung Gunung Rinjani. Kawasan sekitar danau kecamatan Pemenang
diarahkan keselurah kawasan sekitar danau dan waduk yang tersebar Danau Gili
Meno. Kawasan mata air kecamatan pemenang terdapat 8 titik dimana garis
sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 20 cm disekitar mata air. Kawasan
wiata alam sipusatkan pada laut tiga Gili seluas kurang lebih 2,945 Ha. Kawasan
rawan bencana tanah longsor meliputi kawasan sekitar Pusuk, Malimbu dan
Kerujak dan sekitarnya.
Kawasan budidaya yang dikembangkan di kecamatan Pemenang berupa
kawasan peruntukan pertanian meliputi kawasan pertanian tanaman pangan dan
hortikultura yang tersebar diseluruh kabupaten. Kawasan peruntukan
pertambangan meliputi potensi pertambangan logam berada di Dusun Kerujuk
40
(Desa Pemenang Barat) seluas kurang lebih 5 Ha. Kawasan peruntukan
pariwisata meliputi wisata alam bahari meliputi Malimbu dan Kawasan Tiga
Gili. Kawasan permukiman yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten
Lombok Utara. Pengembangan kawasan peruntukan permukiman diarahkan di
daerah dengan kemiringan 0% sampai dengan 2%, diluar lahan pertanian basah
dan kawasan lindung dengan aksesibilitas baik serta air bersih yang cukup dan
bukan kawasan rawan bencana kecuali bencana gempa bumi. Kawasan
permukiman yang berada di kawasan lindung dan kawasan rawan bencana
(banjir, tanah longsor dan gelombang pasang) harus direlokasi ke lokasi yang
aman.
Kearifan Lokal
Gawe Gawah
Desa Bentek Kecamatan Gangga Lombok Utara memiliki tradisi adat
Gawe Gawah di kawasan Hutan Adat Pawang Mejet yang merupakan salah
satu dari kawasan hutan adat yang masih terjaga di Kabupaten Lombok Utara.
Luas Hutan Adat Pawang Mejet lebih dari 50 ha terletak di lingkaran Gunung
Rinjani. Hutan ini ditumbuhi pohon-pohon endemik hutan seperti bajur,
beringin, randu, jati dan sengon. Hutan ini dapat menyangga kehidupan
masyarakat desa Bentek karena setiap tahun hutan ini memenuhi kebutuhan air
pertanian dan perkebunan di Kecamatan Gangga Lombok Utara. Sumber air
hutan ini menjadi pemasok utama air untuk tiga saluran irigasi Kakun, Kerta dan
Sengkunkun. Gawe gawah dalam bahasa Indonesia berarti selamatan hutan yang
dilakukan setahun sekali yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam,
kelestarian hutan dan memohon agar hujan turun pada waktunya. Kegiatan ini
telah turun-temurun dilakukan agar hutan tetap lestari dan mampu
mempertahankan mata air yang menjadi sumber pengairan pertanian,
perkebunan dan kebutuhan masyarakat.
Peraturan lokal (Awiq-awiq) ini terus ditaati oleh masyarakat Desa
Bentek berupa tidak ada pohon yang boleh ditebang dalam hutan tersebut,
apabila ada yang menebang harus didenda dengan menyembelih kerbau yang
tergantung pada pohon yang ditebang, apabila semakin besar pohon yang
ditebang maka sanksinya akan lebih besar, apabila hanya memotong ranting
maka akan kena denda untuk memotong seekor kambing. Jika si pelaku tidak
memiliki ternak atau uang untuk membayar denda tersebut maka dia harus
menanam pohon serupa dengan bibit yang sejumlah 100 kali lipat. Sanksi sosial
yang diatur dalam peraturan adat seperti inilah yang lebih dipatuhi masyarakat
daripada peraturan positif (Kompasiana 2011).
Sambik
Masyarakat adat Dusun Desa Beleq Desa Gumantar Kecamatan
Kayangan Lombok Utara memiliki cadangan padi yang dapat dikonsumsi dalam
setahun sehingga mereka tidak perlu membeli beras. Cadangan padi tersebut
disimpan di dalam sambik (lumbung). Setiap keluarga memiliki satu sambik
dengan ukuran panjang, lebar, dan tinggi 2 meter yang mampu menyimpan
bahan makanan pokok untuk satu keluarga. Apabila keluarga memiliki anggota
41
keluarga yang besar biasanya ukuran sambik yang lebih bear pula dan semakin
bagus tingkat ekonomi keluarga maka semakin besar pula ukuran sambik yang
dibangun. Oleh sebab itu sambik dijadikan tanda status sosial di masyarakat.
Sambik diisi padi yang berkualitas baik yang diikat pada musim panen.
Masyarakat kabupaten Lombok Utara manruh padi dengan menggunakan ritual
khusus karena dianggap menjadi tempat sakral oleh sebab itu untuk mengambil
cadangan beras di dalamnya harus dalam keadaan suci dan sekaligus sebagai
penghormatan terhadap tempat penyimpanan cadangan makanan.
Sementara padi hasil panen lainnya disimpan di dalam rumah, didalam
rumah tradisional warga adat gumantar maupun desa-desa tradisional lainnya
yang lainnya, mereka memiliki tempat penyimpanan gabah khusus, beras yang
sudah di giling atau gabah yang sudah di rontokkan itulah yang di pakai,
sementara padi didalam sambik biasanya di pakai pada musim kemarau.Padi di
dalam sambik masih aman sampai musim panen berikutnya, pada musim
kemarau warga menanan jagung, singkong dan ubi jalar. Mereka biasa
mencampur jagung dengan nasi, sehingga beras yang di konsumsi berkurang,
sarapan pagi biasa menggunakan ubi atau singkong.
Selain di Gumantar sambik masih di jumpai di perkampungan
tradisional Akar-akar, Segenter, Semokan, Bayan Belek, Loloan, Senaru
semuanya ada di Kecamatan Bayan.Sambik masih bertahan karena ada tuntutan
adat diantaranya maulid adat yang mengharuskan warga mengumpulkan bahan
makanan yang beraneka ragam salah satunya adalah padi bulu. Padi lokal ini
memiliki bulir dan tinggi pohonnya lebih besar dan hanya bisa panen sekali
setahun.
Tradisi menyimpan padi bulu di sambik telah mengakar di masyarakat
Kabupaten Lombok Utara. Setiap pembangunan rumah baru disertai pula
pembangunan sambik dan dibawah sambil disimpan lesung untuk menumbuk
padi tersebut. Hanya alat inilah yang boleh digunakan untuk menumbuk padi
tersebut tidak boleh menggunakan mesin giling modern.
Sambik dilihat potensinya dalam menjaga ketahanan pangan lokal, oleh
sebab itu Bahan Ketahanan Pangan (BKP) NTB mendukung revitalisasi
lumbung pangan. Saat ini BKP telah membangun lumbung modern yang
permanen. Sistem pengisian dan pemanfaatannya sama dengan sistem sambik
dan lumbung tradisional. Oleh sebab itu warga tidak perlu khawatir akan
kekurangan pangan saat terjadi gagal panen karena masih tersimpan cadangan
pangan dalam lumbung (BKP 2014).

PENILAIAN BIOFISIK, SOSIAL DAN EKONOMI


Iklim tropis wilayah kecamatan Pemenang sangat baik untuk komoditas
pertanian baik tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman perkebunan,
begitupula potensi pariwisata yang terdapat di Malimbu dan tiga Gili merupakan
primadona para wisatawan domestik maupun mancanegara. Hal ini berdampak
pada peningkatan pendapatan daerah yang mana pendapatan tertinggi
masyarakat kecamatan Pemenang ditunjang dari sektor pertanian dan pariwisata.
Potensi pertanian tanaman pangan berupa padi dan ubi kayu perlu terus
ditingkatkan karena lahan sawah dan ladang relatif luas dan cocok untuk
42
pengembangan padi. Komoditas ubi kayu berproduksi paling tinggi
dibandingkan dengan komoditas lainnya, tetapi penanaman ubi kayu masih
banyak ditemukan di daerah lereng sehingga banyak terjadi degradasi lahan.
Komoditas perkebuna berupa kelapa dan jambu mete juga perlu terus
ditingkatkan. Pada peta wilayah Pemenang, perkebunan banyak ditemukan pada
daerah rendah dekat pantai. Dalam hal ini komoditas kelapa dan jambu mete
produktif untuk dikembangkan terlihat bahwa produksi komoditas tersebut lebih
tinggi dibandingkan dengan komoditas yang lain.
Laju pertumbuhan penduduk kecamatan Pemenang tahun 2000-2010
menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 1.91% termasuk laju pertumbuhan
yang paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan yang lain dengan wilayah
yang paling sempit dibandingkan dengan kecamatan yang lain. Laju
pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dibutuhkan penyediaan fasilitas
berupa perumahan ataupun lapangan usaha. Intensitas penggunaan lahan
semakin meningkat akibat dari kebutuhan hidup yang semakin meningkat pula.
Permasalahan ini akan berdampak pada penggunaan lahan secara tidak
bertanggung jawab sehingga akan menimbulkan permasalahan berupa degradasi
lahan akibat dari ekploitasi berlebihan dan tidak sesuai untuk peruntukan
penggunaan lahan tersebut.
Kasus tanah longsor sering terjadi di Kecamatan Pemenang. Hal ini
dikarenakan pembukaan hutan untuk permukiman dan usaha tapi cukup tinggi.
Kegatan ini juga dipicu oleh keberadaan pariwisata 3 Gili. Keberadaan objek
wisata ini mendorong peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal para
pendatang maupun para wisatawan. Peluang ini dilihat oleh masyarakat sehingga
mereka mendirikan pemukiman dan usaha pada kawasan yang berada pada akses
wisata Gili seperti kawasan Pegunungan Pusuk dimana Kawasan pegunungan
Pusuk juga menawarkan pemandangan alam yang indah. Masyarakat tidak
hanya mendirikan pemukiman tetapi mereka juga mengusahakan tanaman
semusim yang memilki perakaran pendek yang nantinya dapat memicu
degradasi lahan.
Permasalahan lain yaitu pengkonversian lahan pertanian menjadi
pemukiman semakin meningkat. Permasalahan ini bisa disebabkan karena
kurangnya sumberdaya manusia yang paham terhadap penggunaan lahan
sehingga mereka bersifat degradatif terhadap lingkungan dan diperparah pula
dengan jumlah tenaga penyuluh di kabupaten Lombok Utara masih rendah dan
kurangnya pemanfaatan sumberdaya lama secara optimal. Minimnya tenaga
penyuluh lapang digambarkan melalui jumlah sebaran pekerja sosial menurut
BPS Kabupaten Lombok Utara pada tahun 2012 hanya sebanyak 4 orang. Jika
keadaan ini terus dibiarkan maka akan berdampak pada jumlah pengkonversian
lahan pertanian menjadi permukiman semakin tinggi. Hal ini juga diperparah
dengan kurangnya jumlah lulusan perguruan tinggi yang dianggap usia produktif
yang mampu mengelola lahan agar lebih produktif.
Pertumbuhan penduduk ini juga berakibat pada peningkatan jumlah
penduduk miskin dengan jumlah penduduk miskin sebesar 1,651 jiwa dan rumah
tidak layak huni sejumlah 1,082 (BPS Kabupaten Lombok Utara 2013).
Kemiskinan ini dikhawatirkan akan menyebabkan penggunaan lahan yang tidak
bertanggung jawab yaitu berupa pembukaan hutan untuk berusaha tani ilegal.
Oleh sebab itu, perlu adanya pemberdayaan sumber daya manusia dengan
43
pemberian pemahaman dan pelatihan pengelolaan lahan yang tepat dan juga
memberdayakan perempuan karena jumlah penduduk perempuan relatif sama
dengan penduduk laki-laki, tetapi pemberdayaan wanita masih kurang
diintensifkan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan Usaha Kecil Menengah.

KESIMPULAN
Setelah melakukan penilaian biofisik, sosial, ekonomi terhadap
pemanfaatan lahan di kecamatan Pemenang maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Kabupaten Lombok Utara memiliki potensi sektor pertanian berupa
tanaman padi dan ubi kayu yang bagus untuk terus dikembangkan karena lahan
yang tersedia relatif luas dan komoditas perkebunan berupa kelapa dan jambu
mete dimana pengembangan cocok pada daerah rendah dan berproduksi tinggi.
Melihat permasalahan pengkonversian lahan pertanian menjadi
pemukiman serta lahan kritis, permasalahan ini banyak disebabkan oleh
peningkatan jumlah penduduk yang cepat, kurangnya pemahaman masyarakat
terhadap pengelolaan lahan yang tepat serta keberadaan pariwisata 3 Gili yang
mengakibatkan peningkatan pendirian pemukiman dan hotel pada lahan
pertanian dan berlereng.
REKOMENDASI
Setelah menganalisis segala potensi dan permasalahan dalam
pemanfaatan pertanian/wilayah terhadap RTRW Kabupaten Lombok Utara,
maka dapat ditawarkan rekomendasi berupa perlua adanya konsultasi publik
mengenai RTRW Kabupaten Lombok Utara karena masyarakat masih banyak
yang belum memahami rencana tata ruang wilayah mereka. Dengan adanya
konsultasi publik ini maka partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan
bisa lebih ditingkatkan.
Agar tidak terjadinya penggunaan lahan yang tidak sesuai fungsinya
maka perlu adanya pemberlakuan kearifan lokal masyarakat setempat seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu Gawe Gawah. Kearifan Lokal Berupa
gawe gawah ini sangat efektif pengaruhnya dalam menjaga hutan dan hutan adat
agar hutan tetap lestari dan mampu mempertahankan mata air yang menjadi
sumber pengairan pertanian, perkebunan, dan kebutuhan masyarakat. Hal ini
harus terus dipertahankan agar tingkat kerusakan hutan semakin ditekan.
Peningkatan jumlah penduduk berdampak pula pada kebutuhan pangan
penduduk yang semakin tinggi. Oleh sebab itu, kearifan lokal daerah Lombok
Utara berupa penggunaan Sambik bisa dimanfaatkan sebagai lumbung pangan
dikala sumber pangan berkurang akibat adanya gagal panen atau sebagainya
sehingga pemerintah tidak terlalu kesusahan dalam menyediakan kebutuhan
pangan daerah yang berimplikasi pula pada pengurangan pembukaan lahan
hutan yang bersifat degradatif dan ilegal untuk memenuhi kebutuhan pangan
mereka.
44
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Utara, 2010
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Utara, 2013
BKP, 2104. Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTB. www.bkp.ntbprov.go.id.
diakses 2014. Bogor
Kompasiana, 2011. www.kompasiana.com. diakses 2014. Bogor
Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara Nomor 9 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2011-2031
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2009 tentang
Rencana Tata Ruang Nasional
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten
Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara Barat
45

Potret Pengelolaan Lahan Berkelanjutan, Studi Kasus:


Pertanian Berbasis Kearifan Lokal (Dusun) Pada Kabupaten
Maluku Tengah
Disusun Oleh: Morgan Ohiwal

PENDAHULUAN

Latar belakang
E. F. SCHUMACHER dalam bukunya yang berjudul Small is Beautiful
yang mengulang kembali pendapat TOM DALE dan VERNON GILL CARTER
dalam Topsoil and Civilisation menyatakan sebagai berikut :
. Untuk sementara waktu manusia yang beradab itu hampir selalu
berhasil menguasai lingkungan hidupnya. Kesulitan kemudian ditimbulkannya
sendiri, karena umumnya mereka berpikir bahwa penguasaan yang sementara itu
dianggapnya sebagai penguasaan yang abadi, tanpa menyadari bahwa di
samping penguasaanya itu mereka harus berkemampuan untuk mengetahui
hukum alam sepenuhnya dan bahkan mereka kadang-kadang menganggapnya
remeh. Mereka kadang-kadang menganggap dirinya sebagai penguasa alam dan
bukan sebagai anak alam. Lingkungan hidupnya kemudian akan hancur karena
mereka mengelakan hukum alam.
Pendapat para ahli di atas itu kalau kita kaitkan dengan pendapat
THOMAS MALTHUS (pada akhir abad ke 18) adalah sejalan walaupun
MALTHUS meninjau pentingnya tanah yang dikaitkan dengan pesatnya angka
kelahiran penduduk. Ia menyatakan bahwa tidak dapat dihindari penduduk dunia
akan bertambah dengan cepat dan berada di atas kemampuan tanah dalam
memenuhi kebutuhan penduduk terutama kebutuhan pokoknya. Keadaan ini
pada gilirannya akan menimbulkan kelaparan massal dan peperangan yang
dahsyat.
Di seluruh kawasan tanah air kita masih dapat kita jumpai ratusan ribu
hektar tanah pada alang-alang dan tanah-tanah kritis akibat perlakuan dan
tindakan manusia yang mengabaikan hukum-hukum alam tersebut. Menurut Ir.
PRIBADYO SOSTROATMODJOL. A dalam bukunya yang berjudul
Pembukaan Lahan dan Pengolahan Tanah mengenai hal ini dinyatakan sebagai
berikut :
.. dalam konteks ini telah terpancar suatu situasi dimana manusia
beradab telah merusak sebagian besar tanah yang mereka diami sejak lama.
Inilah sebab utama mengapa peradabannya berpindah-pindah termasuk
bertransmigrasi ke daerah-daerah yang dianggapnya akan mampu memperbaiki
kehidupannya yang lebih baik.
Keadaan di atas memang sampai dewasa ini masih banyak terasa,
walaupun kita telah memiliki pasal 33 UUD 1945, Undang-Undang pokok
Agraria No. 5 Tahun 1960 dimana jelas ditentukan :
a. Bahwa tanah mempunyai fungsi sosial
b. Ketentuan-ketentuan pidana bagi mereka yang menelantarkan tanah
46
c.
d.

Pemilik tanah pertanian berkewajiban menggarap sendiri tanahnya


Larangan untuk memiliki tanah bagi pertanian di beberapa daerah di luar
daerah domisili pemiliknya.
Kabupaten Maluku Tengah sebagai Kabupaten terbesar di Propinsi
Maluku juga merupakan salah satu daerah yang tak luput dari kerusakan alam
akibat dari manusia yang hidup di dalamnya, pertanian yang intensif pada lahan
dengan kemiringan lebih dari 40% menyebabkan meningkatnya besar erosi yang
terjadi dan bertambahnya lahan kritis, pembukaan lahan dan beralih fungsinya
perkebun rakyat menjadi pemukiman. Penebangan pohon-pohon sekitar DAS
dan perambahan hutan merupakan masalah yang tak bisa dihindari lagi pada
daerah-daerah peresapan air.
Terbatasnya akses antara wilayah dalam Kabupaten Maluku Tengah
merupakan masalah yang harus segera ditanggulangi oleh pemerintah setempat
guna untuk meningkatan taraf ekonomi masyarakat. Mulai berkurangnya jumlah
lahan yang dikelola berdasarkan kerifan lokal merupakan salah satu masalah
serius yang harrus segera ditanggulangi oleh pemerintah kabupaten Maluku
Tengah guna menjaga pengunaan lahan secara berkelanjutan demi kepentingan
sosial, budaya, dan lingkungan.Peningkatan aksebilitas antara wilayah dalam
Kabupaten Maluku Tengah, dalam hal ini infrastuktur juga harus segera
ditingkatkan guna memudahkan peningkatan aktifitas ekonomi terutama dalam
bidang pertanian.
Tujuan
untuk memetakan jenis penggunaan lahan berdasarkan kemampuan lahan
dan kondisi masyarakat serta letak geografisnya, untuk penggunaan lahan secara
berkelanjutan dengan memperhatikan sistem konservasi lahan yang berbasis
kearifan lokal.

GAMBARAN UMUM WILAYAH

Geografis dan Topografis


Secara Astronomi, Kabupaten Maluku Tengah setelah pemekaran terletak
diantara 2o30 7o30 LS dan 250o 132o30 BT, dan merupakan daerah
kepulauan dengan jumlah pulau sebanyak 53 buah, dimana yang dihuni
sebanyak 17 buah dan yang tidak dihuni sebanyak 36 buah.
Bentuk wilayah Kabupaten Maluku Tengah dikelompokkan berdasarkan
pendekatan fisiografi (makro relief), yaitu Dataran pantai, Perbukitan dan
Pegunungan dengan kelerengan yang bervariasi. Tercatat sebanyak 2 dataran, 3
gunung, 2 danau dan 144 buah sungai berada di wilayah Kabupaten Maluku
Tengah.
Struktur geomorfologi di Pulau Seram, Ambon, Banda dan sekitarnya
dapat dibedakan atas struktur: vulkan, horizontal, lipatan, dan patahan,
sedangkan batuan utama terdiri atas batuan vulkanis, terobosan, gamping, sekis,
dan aluvium.
47

Hidrologi
Kondisi hidrologi yang dideskripsikan adalah hidrologi permukaan
(sungai), Berdasarkan luas daerah aliran sungai (DAS), di Kabupaten Maluku
Tengah dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) sistem sungai berdasar kondisi
pulaunya, yaitu sistem sungai Pulau Seram, dan sistem sungai pulau-pulau kecil.
Pada umumnya sungai-sungai yang terdapat di Pulau Seram, baik sungai besar
maupun kecil, relative bersifat perenial, artinya mengalir sepanjang tahun,
walaupun pada musim kemarau mengalami penurunan debit aliran. Sebagaimana
diketahui bahwa di Kabupaten Maluku Tengah terdapat 144 buah sungai yang
dapat digunakan masyarakat sebagai sumber air bersih maupun sebagai
pengairan lahan pertanian.

Klimatologi
Secara umum kondisi iklim di Kabupaten Maluku Tengah didominasi oleh
curah hujan yang relatif tinggi, yang ditunjukkan dengan kondisi vegetasi hutan
yang rapat dan tumbuh subur. Pada wilayah ini terbentuk tipe iklim hutan hujan
tropis, dengan curah hujan rata-rata tahunan yang tinggi. Seperti wilayah
Indonesia lainnya, di wilayah ini hanya terdapat 2 musim dalam setahun, yaitu
musim penghujan yang dimulai pada bulan Oktober dan musim kemarau yang
dimulai pada bulan April, dengan bulan basah lebih lama dibanding dengan
bulan kering. Kabupaten Maluku Tengah terletak antara Laut Pasifik dengan
Laut Banda, sehingga sering terjadi pusaran angin dan arus laut, maka pada saat
musim penghujan sering tejadi badai hujan (storm) yang sangat memungkinkan
terjadinya banjir besar.
Berdasarkan Peta Isohyet (Direktoral Jenderal Cipta Karya, 1996), curah
hujan rata-rata tahunan di Pulau Seram dan sekitarnya berkisar antara 2000-4000
mm. Curah hujan tertinggi (>4000 mm/tahun) terkonsentrasi di jalur perbukitan
bagian tengah Pulau Seram, di sekitar Tehoru. Berdasarkan klasifikasi Oldeman,
zona agroklimat di Kabupaten Maluku Tengah dapat dikelompokkan
berdasarkan kondisi fisiografinya, yaitu: (a) pada satuan dataran rendah dengan
ketinggian <500 meter dpal, temperatur udara berkisar antara 25.8-27.2C,
curah hujan antara 1.000-4.500 mm/tahun, hujan tersebar merata, jumlah bulan
basah antara 3-9 bulan basah per tahun; (b) pada satuan dataran tinggi dengan
ketinggian >500 meter dpal, temperatur udara rata-rata 26.2C, curah hujan
antara 3.000-4.000 mm/tahun, dan >9 bulan basah..

Kondisi tanah
Struktur tanah yang terdapat pada wilayah Kabupaten Maluku Tengah
cenderung serupa antara satu dengan yang lain, hal ini dikarenakan kondisi
geografis yang tidak berbeda secara signifikan antara satu pulau dengan pulau
lainnya. Struktur tanah sangat mempengaruhi keberadaan vegetasi suatu
wilayah, dengan kata lain dapat diidentifikasi struktur tanah berdasarkan jenis
vegetasi yang dapat hidup pada wilayah ini, mengingat bahwa kontur wilayah
yang merupakan indikasi tekstur ketinggian wilayah lebih mempunyai tingkat
ketepatan dalam menentukan jenis vegetasi. Sampai dengan saat ini ditemukan 7
jenis karakteristik tanah yang berbeda, tanah tersebut merupakan jenis tanah
yang dikelompokkan berdasarkan jenis vegetasi.
48
Tabel 4. 1. Jenis Tanah dan Vegetasi di Wilayah Kabupaten Maluku Tengah
Vegetasi
Jenis Tanah
Uraian
Regosol / entisol
Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan
dalam, dengan tekstur sedang, pada jenis tanah ini adalah
dan
berdrainase
sedang tanaman pertanian dominasi
sampai baik. Tanah ini kelapa, tanaman campuran,
berasosiasi dengan jenis-jenis vegetasi khusus daerah pantai
tanah aluvial, gleisol dan seperti ketapang, waru dan
kambisol.
jenis-jenis Pescapprae
Tanah ini memiliki solum Vegetasi
umumnya
Aluvial / andisol
sedang sampai dalam, dengan didominasi oleh tanaman
tekstur
sedang
dan pertanian dominasi kelapa
berdrainase buruk. Jenis dan tanaman campuran.
tanah ini berasosiasi dengan
jenis-jenis regosol, gleisol
dan kambisol.
Gleisol / oxisol
Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan
sedang sampai dalam, dengan selain pandan rawa, sagu dan
tekstur
sedang
dan mangrove, ditemukan pula
berdrainase buruk, jenis tanah tanaman pertanian dominasi
ini berasosiasi dengan jenis- kelapa
dan
tanaman
jenis tanah regosol, aluvial campuran (tanaman setahun
dan kambisol.
dan tahunan) yang menyebar
secara sporadis
Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan
Kambisol / inceptisol
dangkal
sampai
sedang adalah
hutan
sekunder,
dengan tekstur sedang sampai primer
dan
tanaman
halus dan berdrainase baik, campuran.
berasosiasi dengan jenis-jenis
tanah
litosol,
kambisol,
brunizem dan podsolik.
Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan
Rensina / mollisol
dangkal
sampai
sedang adalah
hutan
sekunder,
dengan tekstur sedang sampai primer
dan
tanaman
halus dan berdrainase baik, campuran.
berasosiasi dengan jenis-jenis
tanah
litosol,
kambisol,
brunizem dan podsolik.
Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan
Brunizem atau alfisol
tanah dalam sampai sangat adalah tanaman pertanian,
dalam, dengan tekstur halus hutan sekunder dan primer.
dan
berdrainase
baik.
Umumnya
memilki
kejenuhan basa 50 % atau
lebih. Tanah ini berasosiasi
dengan jenis-jenis tanah
litosol, rensina, kambisol dan
podsolik.
Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan
Podsolik atau ultisol
tanah dalam sampai sangat adalah tanaman pertanian,
dalam, dengan tekstur halus tanaman campuran (tanaman
dan berdrainase baik. Tanah tahunan dan ladang), hutan
ini berasosiasi dengan jenis- sekunder dan primer.
jenis tanah kambisl, litosol,
brunizem.

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Maluku Tengah


49

Penduduk
Penduduk Kabupaten Maluku Tengah berdasarkan hasil Sensus Penduduk
Tahun 1980, 1990, 2000, dan 2010 berjumlah masing-masing sebesar : 229,581,
295,059, 317,476, 361,698 jiwa. Dari keempat sensus penduduk tersebut dapat
pula diperoleh rata-rata pertumbuhan penduduk antara Sensus Penduduk Tahun
1980,1990, 2000, dan 2010 sebesar 2.30 %, 1.48 %, 1.03 %, dan 1.31%.
Hasil proyeksi penduduk Kabupaten Maluku Tengah tahun 2012 sebanyak
375,393 jiwa, berbeda dari tahun 2010 sebanyak 361,698 jiwa, dimana jumlah
penduduk tahun 2010 merupakan hasil Sensus Penduduk 2010. Jumlah
penduduk terbanyak berada di Kecamatan Leihitu sebesar 48,756 jiwa (12.98 %
dari jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tengah).
Gambar 4.1. Grafik jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tengah

sumber : BPS Maluku tengah dalam angka 2013

POTENSI DAN PERMASALAHAN


Perkebunan
Tanaman perkebunan memegang peran penting dalam mendukung
perekonomian yaitu sebagai sumber devisa, bahan baku industri sumber
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga berperan dalam
pelestarian lingkungan hidup.
Rumah tangga usaha tanaman perkebunan pada tahun 2011 berjumlah
58,679 dimana rumah tangga yang mengusahakan tanaman cengkih sebanyak
24,227 dan rumah tangga yang mengusahakan kelapa sebanyak 19,076. Itu
artinya tanaman perkebunan yang paling diminati oleh petani adalah cengkih
dan kelapa.
Komoditi unggulan Sektor perkebunan Kabupaten Maluku Tengah adalah
kelapa, cengkih, pala, kakao, kopi dan fanili. Tahun 2012 jumlah produksi
kelapa sebesar 13,955 Ton, lebih tinggi bila dibandingkan dengan komoditi
unggulan lainnya.
50
Kehutanan
Luas kawasan hutan di Kabupaten Maluku Tengah adalah 563,945,30 Ha,
yang terdiri dari hutan suaka alam/hutan wisata dengan luas 4,413,80 Ha, hutan
lindung dengan luas 148,624,30 Ha, hutan produksi terbatas dengan luas
32,927,90 Ha, hutan produksi tetap seluas 209,178,90 Ha, lahan lain-lain dan
hutan konversi seluas 170,900,40 Ha.
Kabupaten Maluku Tengah juga mempunyai potensi hasil hutan non kayu
seperti rotan, kopal dan minyak atsiri (Minyak kayu putih dan lainnya). Namun
sampai saat ini pengusahaan hasil hutan non kayu ini masih diusahakan sebagai
usaha sampingan sehingga produksinya masih kecil.
Kelautan Dan Perikanan
Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Maluku Tengah
sangat tergantung pada potensi sumberdaya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil
yang dimiliki. Jumlah pulau sebanyak 42 buah (termasuk pulau besar, Pulau
Seram) dengan panjang garis pantai 1,375,529 km,dan luas perairan wilayah
kelola 7,436,29 km2.Potensisumberdaya perairan yang dimiliki Kabupaten
Maluku Tengah mampu mendukung pembangunan ekonomi wilayah serta
ekonomi masyarakatnya.
penangkapan ikan, budidaya perairan, pengolahan hasil perikanan dan
pemasaran produk perikanan. Sesuai potensi itu, banyak kegiatan ekonomi
produktif yang dapat dikembangkan, antara lain :
1.
Pemanfaatan sumberdaya yang dapat diperbaharui :
a.
Penangkapan dan budidaya ikan dan organisme laut lainnya
b.
Pemanfaatan hutan mangrove dan terumbu karang
c.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil
2.
Pemanfaatan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui :
a.
Pengembangan desalinasi air laut untuk menghasilkan garam
dan bahan biokimia lainnya
3.
Pemanfaatan sumberdaya energi kelautan :
a.
Pemanfaatan energi gelombang
b.
Pemanfaatan energi pasang surut
c.
Pemanfaatan konversi energi panas laut
d.
Pemanfaatan energi angin
4.
Pemanfaatan jasa lingkungan
a.
Transportasi dan komunikasi
b.
Ekowisata bahari
5.
Konservasi dan rehabilitasi :
a.
Transplantasi terumbu karang untuk kepentingan ekonomi
b.
Konservasi dan rehabilitasi terumbu karang
c.
Konservasi dan replantasi bakau
Permasalahan
Permasalahan tanah tidak semata-mata hanya menyangkut aspek ekonomi
dan kesejahteraan saja. Tetapi juga meliputi aspek sosial, kultur, politik, hukum
dan religious. Oleh karena itu dalam penyelesaiannya tidak hanya mengindahkan
aspek hukumnya saja, tetapi juga harus memperhatikan asas kesejahteraan,
keamanan dan kemanusiaannya juga.
51
Tanah dalam wilayah hukum adat
Pada Kabupaten Maluku Tengah persoalan sengketa lahan terjadi terutama
terkait dengan batas wilayah antar Desa/Negeri, klaim kepemilikan adat oleh
kelompok yang berbeda, konflik akibat tumpang tindih wilayah adat dengan
wilayah administratif. Diantara permasalahan-permasalahan yang berhubungan
dengan masalah tanah tersebut adalah persoalan tanah yang berada dalam
lingkungan atau wilayah suatu masyarakat hukum adat. Di satu pihak ada
masyarakat hukum adat dengan hak ulayat dan di pihak lain ada pemanfaatan
tanah-tanah untuk kepentingan pembangunan oleh pemerintah. Benturan
kewenangan antara masyarakat hukum adat dan pemerintah ini sering dianggap
dapat menghambat pembangunan.
Meningkatnya lahan terdegradasi
Pembukaan lahan baru, penebangan pohon dan aktifitas pertanian lainnya
menyebabkan semakin bertambahnya lahan kritis. Hal ini tentunya akan sangat
berpengaruh terhadap kemampuan dan daya dukung lahan itu sendiri untuk
penggunaan selanjutnya. Reklamasi lahan untuk pertanian pada daerah resapan
air akan menyebabkan merosotnya debit air bahkan tidak menutup kemungkinan
akan menyebabkan matinya sumber air. Pembukaan lahan itupun akan
menyebabkan air terinfiltasi lebih kecil daripada aliran air permukaan akibat dari
tidak adanya vegetasi atau tanaman penutup tanah sehingga akan berpotensi
pada besarnya erosi yang terjadi.

KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN


Kebijakan Nasional
Undang-undang Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999 tentang :
Kehutanan
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara
terpadu.
2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentun yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahanakan keberadaanya sebagai
hutan tetap
4. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani
hak atas tanah.
5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas
tanah.
6. Hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat.
7. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan.
52
8. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah.
9. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 2004 tentang :
perikanan
Dalam undang-undang ini yang dimaksudkan dengan :
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari reproduksi,
produksi, pengelolaan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam
suatu bisnis perikanan.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2004 tentang :
Perkebunan
Dimana dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu
pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai,
mengelola dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan
bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengelolaan serta manajemen untuk
mewujudkan kasejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
Kebijakan Daerah
Persoalan dan dimensi pembangunan daerah yang dihadapi oleh
Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah selalu berubah dan makin kompleks.
Permasalahan dan tuntutan pembangunan yang dihadapi akan bertambah
banyak, sedangkan kemampuan dan sumber daya pembangunan yang tersedia
cenderung terbatas. Pemerintah harus mengoptimalkan pemanfaatan sumber
daya yang tersedia untuk memenuhi tuntutan yang tidak terbatas dengan
membuat pilihan dalam bentuk skala prioritas.
Sebagai arah pelaksanaan pembangunan daerah pemerintah Kabupaten
Maluku Tengah telah menetapkan Visi Pembangunan Daerah yang tertuang
dalam RPJMD Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2013-2017.
Tujuan dan sasaran pembangunan mewujudkan misi Membangun
Masyarakat Maluku Tengah Yang Lebih Sehat, Cerdas dan Professional,
maka ditetapkan tujuan dan sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam lima
tahun mendatang adalah sebagai berikut :
1. Meningkatnya status gizi masyarakat
2. Meningkatakan akses masyarakat miskin terhadap layanan perlindungan
kesehatan.
3. Meningkatnya perilaku hidup bersih dan sehat.
4. Tersedianya pangan yang sehat dan bermutu.
53
Memperkuat perekonomian Maluku Tengah yang berdaya saing, maka
tujuan dan sasaran yang akan dicapai adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan daya saing dan menjaga stabilitas ekonomi.
2. Meningkatakn pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan
masyarakat.
3. Meningkatkan pelayanan sarana dan prasarana infrastruktur.
Kearifan lokal
Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai
kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Alam
perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya
dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide,
peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktifitas mengelola
lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya (Suhartiny, 2009).
Dalam masyarakat hukum adat tanah merupakan benda yang sangat
penting, baik untuk kepentingan pemukiman maupun untuk keperluan mata
pencariannya.
Praktek agroforestri yang khas pada Kabupaten Maluku Tengah berbasis
kearifan lokal diantaranya adalah :
1. Sistem dusun dimana dusun adalah suatu aset yang sangat bernilai yang
termasuk dalam indigeneous knowledge dan indigeneous teknologi yang
sudah teradaptasi dengan lingkungan fisik, biologis dan masyarakat
setempat.
2. Sasi dimana sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam
pengambilan hasil laut dan hasil pertanian.
Lokollo (1925) menjelaskan bahwa terdapat enam tujuan falsafah yang
mempengaruhi adat sasi, yakni sebagai berikut :
1. Memberikan petunjuk umum tentang perilaku manusia, untuk memberi
batasan tentang hak-hak masyarakat.
2. Menyatakan hak-hak wanita, untuk memberikan defenisi status wanita dan
pengaruh meraka dalam masyarakat.
3. Mencegah kriminalitas, untuk mengurangi tindakan kejahatan seperti
mencuri.
4. Mendistribusikan sumber daya alam yang mereka milliki secara merata
untuk menghindari konflik dalam pendistribusian sumber daya alam, yakni
antara masyarakat dari desa atau kecamatan yang berbeda
5. Menetukan cara pengolahan sumber daya alam yang di laut dan yang di
darat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
6. Untuk penghijauan.
Secara tradisional, sasi diterapkan dalam tiga tingkat, yaitu sebagai
berikut:
1. Sasi perorangan, yakni melindungi sumber daya alam yang menjadi milik
pribadi dalam batas waktu tertentu.
2. Sasi umum, yakni yang diterapakan untuk perkebunan campuran berbagai
pohon yang ada, disebut dusun, kemudian diterapkan untuk sumber daya
tertentu yang ada dalam kebun tersebut.
54
3. Sasi desa, yakni berlaku bagi seluruh lapisan di desa tersebut, biasanya
terdiri dari beberapa dusun.
Setelah kewenangan sasi bertambah dan semakin luas, akhirnya sasi
berkembang menjadi empat kategori, yakni:
1. Sasi perorangan
2. Sasi umum
3. Sasi mesjid atau sasi gereja, yaitu sasi yang disetujui oleh pihak mesjid,
gereja atau masyarakat umum.
4. Sasi negeri, yaitu sasi yang disetujui oleh pemerintah lokal, seperti kepala
desa, bupati, contohnya untuk mengatasi masalah perselisihan mengenai
batas wilayah.

PENILAIAN BIOFISIK DAN SOSIAL-EKONOMI


Biofisik
Berdasarkan pendekatan fisiografi bentuk wilayah, Kabupaten Maluku
Tengah dapat dikelompokan menjadi: dataran pantai, perbukitan, dan
pegunungan. Dengan kondisi hidrologi yang dideskripsikan adalah hidrologi
permukaan (sungai), berdasarkan luas aliran sungai (DAS), di kabupaten Maluku
tengah dapat dikelompokan kedalam dua sistim sungai berdasarkan kondisi
pulaunya, sistem sungai pulau besar dan sistem sungai pulau-pulau kecil, dengan
jumlah 144 buah sungai yang dapat digunakan masyarakat sebagai sumber air
bersih maupun sebagai pengairan lahan pertanian
Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam juga harus sesuai
dengan kondisi geografis yang terdiri atas daerah kepulauan tersebut. Dimana
sumber daya yang dimiliki akan berbeda antara pulau besar dan pulau kecil akan
berbeda, sehingga sumber daya (khususnya sumber daya alam) tersebar tidak
merata, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Mengingat distribusinya yang
tidak merata, tahap pertama dari suatu pengembangan wilayah teknokratik
adalah mengidentifikasi sumber daya yang ada melalui kegiatan evaluasi sumber
daya, baik sumber daya alami, sumber daya manusia, sumber daya buatan,
maupun sumber daya sosial.
. Curah hujan rata-rata tahunan di pulau Seram dan sekitarnya berkisar
antara 2000-4000 mm. Dengan vegetasi yang terdapat pada umumnya adalah
tanaman pertanian dominasi kelapa, tanaman campuran (tanaman setahun dan
tahunan) yang menyebar secara sporadis, vegetasi khusus daerah pantai
(ketapang, waru, dan jenis-jenis Pescapprae), hutan primer dan hutan sekunder.
Keanekaragaman hayati (biodiversity) didefinisikan sebagai gabungan
antara jumlah jenis dan jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu
komunitas (Deshmukh, 1992). Keanekaragaman merupakan salah satu ukuran
yang dipakai untuk menunjukan tingkat kemantapan dari suatu ekosistem.
Struktur tanah yang terdapat pada kabupaten Maluku tengah cenderung serupa
antara satu dengan yang lain. Struktur tanah sangat mempengaruhi keberadaan
vegetasi suatu wilayah, dengan kata lain dapat diidentifikasi struktur tanah
berdasarkan jenis vegetasi yang dapat hidup diwilayah ini.
55
Maluku Tengah mempunyai wilayah pesisir yang cukup banyak karena
merupakan dearah dengan banyak pulau kecil. Wilayah pesisir adalah suatu
wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai,
maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas, yaitu : batas sejajar garis
pantai dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (Dahuri dkk, 1996). Wilayah
pesisir dan laut dengan pulau-pulau kecilnya merupakan kawasan dengan
produktifitas hayati tinggi.sehingga bagi sektor perikanan, kawasan ini menjadi
sumber-sumber perekonomian yang sangat potensial.SDA pesisir, maka di
kawasan ini juga menjadi sumber konflik berbagai kepentingan (Cicin-Sain dan
Knecht, 1998).
Karena struktur tanah pada Kabupaten Maluku Tengah cenderung serupa
antara yang satu dengan yang lainnya dikarenakan kondisi geografis yang tidak
berbeda secara signifikan antara satu pulau dengan pulau lainnya. Dengan
demikian penggunaan lahan oleh masyarakat dapat dibagi menjadi:
Rumah atau Luman
Rumah masyarakat Negeri disebut luman. Rumah Tradisional
masyarakat berbentuk empat persegi panjang dengan dua atap menghadap
kedepan dank e belakang dan memiliki satu pintu di bagian depan.
Pekarangan atau kintal
Pekarangan masyarakat disebut dengan kintal yang mereka defenisikan
sebagai sebidang lahan yang di dalam terdapat bangunan rumah dan sebagian
lahan lainnya terfletak disekitar bangunan rumah yang ditanami beranekaragam
jenis tanaman seperti tanaman hias, tanaman obat, pohon buah-buahan, dan
lainlainnya.
Perkampungan atau Inian
Perkampungan masyarakat Negeri pada umumnya dibangun ditepi pantai
karena bentuk geografis dari Kabupaten Maluku Tengah merupakan daerah
kepulauan.
Kebun atau Dusun
Satuan lingkungan atau dusun dalam terminology lokal masyarakat
disebut dengan aka dan aka terdiri atas dua macam yaitu :
(a) Aka kiiti atau kebun kecil yang dibuat disekitar perkampungan dan
berukuran kecil atau tidak luas antara 200-1000 m2 dibatasi dengan pagar
dan biasanya ditanami dengan berbagai jenis tanaman pangan semusim
seperti tanaman sayuran dan tanaman pangan. Pembudidayaan jenis-jenis
tanaman sayuran dan tanaman pangan semusim tersebut dilakukan secara
campuran (mixed cropping) dan jarak tanam tidak teratur.
(b) Aka maina atau kebun besar yang berukuran cukup luas antara 1-10 ha atau
bahkan lebih luas lagi ditanami jenis-jenis tanaman tahunan seperti kelapa,
cengkeh, coklat, kopi, sagu, dammar, dan tanaman buah-buahan.
Berdasarkan jenis tanamannya maka aka maina atau dusun dapat dibagi
menjadi :
56
Dusun coklat (aka maina soklat)
Masyarakat mengenal kebun coklat belum lama dan merupakan
bentuk usaha tani yang relative baru. Ciri khas kebun coklat masyarakat
berada di kawasan perbukitan atau pegunungan dan ditanam secara
campuran dengan berbagai jenis tanaman buah-buahan dan areal tersebut
masih terdapat beberapa jenis tanaman pohon hutan.
Dusun cengkih
Pengembangan dusun cengkeh mengalami penurunan dan masyarakat
lebih memilih mengusahakan kebun coklat dibandingkan cengkeh pada saat
ini, karena beberapa alasan antara lain; (a) penanaman cengkih memerlukan
perawatan yang lebih sulit disbanding jenis perkebunan lainnya; (b)
tanaman cengkih lebih lambat memberikan hasil dibandingkan tanaman
lainnya; (c) hasil cengkih sulit dipasarkan; dan (d) cengkih hanya sekali
panen dalam setahun.
Dusun kelapa (luin)
Pada masa lalu kelapa mempunyai peran penting dalam masyarakat
terutama peran sosial ekonomi. Kepemilikan kebun kelapa menjadi simbol
kekayaan suatu keluarga dan merupakan sumber ekonomi utama melalui
hasil kopranya. Namun pada masa kini peran ekonomi kelapa telah
tergantikan oleh jenis tanaman perkebunan lainnya seperti coklat, kopi,
pala dan lainnya. Kondisi kebun kelapa berlokasi di dekat perkampungan
sudah tergolong tua dan perlu perejamaan.

Dusun pala (Aka maina pala)


Tanaman pala tidak banyak jumlahnya dan lebih banyak ditanam
sebagai tanaman sela diantara jenis-jenis tanaman coklat, cengkih, dan
kopi.

Dusun sagu (Aka maina hatan)


Bentuk satuan lingkungan ini sebenaranya secara alamiah telah ada
dan pada saat ini masyarakat sudah mulai membudidayakannya, walaupun
pada saat ini sagu sudah bukan lagi menjadi bahan pangan utama.
Keanekaragaman jenis tumbuhan yang terdapat di kebun sagu antara lain
jenis tanaman buah-buahan dan jenis tumbuhan hutan yang memiliki
manfaat untuk bahan bangunan dan kayu bakar.

Dusun durian
Secara tradisional masyarakat tidak mengusahakan jenis durian
dalam suatu perkebunan khusus buah durian. Dusun durian dibangun
hanya berupa suatu kebun yang ditanami berbagai jenis tanaman dan
tanaman buah durian menjadi dominan di kebun tersebut. .Buah durian
menjadi penting karena memiiki harga yang cukup tinggi dan mudah
memasarkannya.
57

Dusun langsat
Kepemilikan dusun langsat tidak dimiliki oleh semua masyarakat.
Namun hampir sebagian masyarakat yang memiliki dusun menanam jenis
ini di lahan dusunnya.

Hutan Sekunder (Ewang Aung)


Berdasarkan pengertian masyarakat hutan sekunder (ewang aung) adalah
hutan yang telah terganggu oleh aktifitas manusia atau menerangkannya sebagai
hutan asli yang telah dibuka untuk kepentingan kebun atau membuat dusun dan
selanjutnya dibiarkan menghutan kembali. Pengertian ini juga berlaku untuk
hutan primer yang telah mengalami kerusakan secara alami seperti kerusakan
karena angina tau badai, terjangan banjir, kebakaran karena kekeringan dan
lainlannya..Ewang aung bagi masyarakat dimanfaatkan sebagai sumber kayu bakar,
meramu hasil hutan non kayu seperti keanekaragaman jenis tumbuhan obat,
rotan, sagu, dan berbagai jenis buah-buahan dan sayuran.
Hutan Primer (Ewang)
Ewang atau hutan asli atau hutan primer merupakan satuan lingkungan
berupa hutan yang masih asli dan belum mengalami kerusakan akibat dari
gangguan baik gangguan alam maupun dari aktifitas manusia. Penguasaan hutan
ewang ini dikuasai oleh soa, sehingga kepemilikannya bersifat komunal.
Batas kepemilikan hutan primer ini tidak jelas di lapangan, kecuali yang
memiliki batas alam yang jelas seperti sungai, lembah atau bukit, sehingga batas
kawasan ini sering menjadi konflik antar desa, antar soa atau antar kelompok
masyarakat.
Sosial-Ekonomi
Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan
akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang
harmonis (termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya
dan modal sosio-kebudayaan. Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan
kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan stabilitas
sosial-budaya
merupakan
indikator-indikator
penting
yang
perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.
Dengan demikian pemberdayaan masyarakat pada Kabupaten Maluku
Tengah harus secara menyeluruh dan merata guna meminimalisir ketimpangan
sosial dan konflik sosial di masyarakat yang mungkin akan terjadi. Dengan
bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan pangan juga meningkat, sehingga
untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat akan melakukan ekstensifikasi
lahan yang akan berdampak pada pengundulan hutan.
Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran pendapatan
yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan aset produktif yang
menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama dimensi
ekonomi ini adalah tingkat efisiensi, dan daya saing, besaran dan pertumbuhan
nilai tambah, dan stabilitas ekonomi (material) manusia baik untuk generasi
sekarang maupun yang akan mendatang.
58
Mengingat keterbatasan dan ketidakmerataan sumberdaya pada Kabupaten
Maluku Tengah, maka setiap potensi sumberdaya yang ada harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya. Hal ini mengandung arti bahwa setiap sumberdaya harus
dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin. Dalam teori ekonomi, prinsip
efisiensi dibagi menjadi dua jenis yaitu : efisiensi produksi dan efisiensi
alokasi.
Efisiensi produksi dicapai dengan meminimumkan biaya untuk menghasilkan
satu unit output. Sedangkan efisiensi alokasi adalah suatu kondisi dimana dalam
suatu produksi output, sumberdaya yang dialokasikan adalah maksimum dan
harga produksi barang sama dengan biaya marginalnya. Dalam proses
perencanaan pengembangan wilayah, aspek ekonomi berperan penting untuk
mengalokasikan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien baik dalam
perspektif jangka pendek maupun jangka panjang.
Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan akan stabilitas
ekosistem alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam.
Termasuk dalam hal ini ialah terpeliharanya keragaman hayati dan daya lentur
biologis (sumberdaya genetik), sumberdaya tanah, air dan agroklimat, serta
kesehatan dan kenyamanan lingkungan.
Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus
diperhatikan secara berimbang. Sistim sosial yang stabil dan sehat serta
sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi,
sementara kesejahteraan ekonomi merupakan prasarat untuk terpeliharanya
stabilitas sosial budaya maupun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan
hidup. Sistim sosial yang tidak stabil atau sakit (misalnya terjadi konflik social
dan pravalensi kemiskinan) akan cenderung menimbulkan tindakan yang
merusak kelestarian sumberdaya alam dan merusak kesehatan lingkungan
(misalnya kelangkaan tanah dan air) dapat mendorong terjadinya kekacauan dan
penyakit sosial.
Dilihat dari data ketenagakerjaan pada Kabupaten Maluku Tengah terdapat
setidaknya lebih dari setengah atau 57.33% dari penduduknya bekerja di sektor
pertanian. Dengan demikian, maka sistem pertanian terutama yang berbasis
kearifan lokal atau dusun harus dijaga kelestariannya. Selain merupakan sumber
pendapatan ekonomi masyarakat dusun juga mempunyai fungsi ekologi yang
sangat baik di dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam yang berkelanjutan.
Masyarakat Negeri memiliki pengetahuan tentang keanekaragaman jenis
tumbuhan yang tumbuh disekitar tempat tinggalnya. Mereka memilik
pengetahuan yang baik dalam pengenalan keanekaragaman jenis tumbuhan yang
didasarkan pada karakteristik morfologi tumbuhan dan kegunaannya. Dalam
mengenali keanekaragaman jenis tumbuhan langkah-langkah awal yang mereka
lakukan adalah :
(a) Mengenali ciri morfologi dari jenis tumbuhan, yaitu diawali melihat bentuk
daunnya (totun), warna kulit batangnya (ai unin), batangnya atau kayunya
(hatan atau helan), buahnya (huan), cabang (sakat), tangkai, ranting (salan),
akar (ai tamun), dan keberadaan getahnya.
(b) Mengelompokan apakah jenis tumbuhan tersebut berupa rumput-rumputan
dan perdu (ehu), liana (ayaan), batang atau pohon (hatan), dan berumpun
(ulun).
(c) Melakukan penanaman: penanaman diawali dengan kata ehu untuk jenis
rumput, ayaan untuk jenis liana, ai untuk jenis pohon.
59
(d) Menyebutkan kegunaannya: masyarakat mengenal dengan baik kegunaan
jenis-jenis tumbuhan yang terdapat disekitar mereka.
Dusun merupakan sistim sosial yang digunakan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang mereka miliki. Di samping menjaga
ekosistem alam dusun merupakan sumber pendapatan masyarakat karena jika
dilihat dari tanaman yang diusahakan, hasil dari jenis-jenis tanaman budidaya
yang diusahakan oleh masyarakat memiliki nilai ekonomi yang tinggi, misalnya
cengkeh, kopi, coklat, kelapa, dan lain-lainnya yang nilai ekonominya bisa
mencukupi kebutuhan mereka.
Pengendalian kerusakan lahan
Sebagaimana diketahui kondisi lahan pada Kabupaten Maluku Tengah
terbagi atas dataran pesisir, perbukitan, dan pegunungan. Maka untuk daerah
pegunungan dijadikan sebagai kawasan lindung dan daerah resapan air. Dimana
daerah pegunungan merupakan hutan primer atau ewang yang masih dalam
kondisi alami. Sedangkan untuk dataran pesisir dan perbukitan yang merupakan
kawasan budidaya tindakan pengendalian yang dapat dilakukan adalah :
(a) Cara mekanik dengan menggunakan sarana fisik seperti tanah dan batu
sebagai sarana konservasi tanahnya. Tujuanya untuk memperlambat aliran
air permukaan, mengurangi erosi, serta menampung dan mengalirkan aliran
air permukaan ( Seloliman, 1997). Metode konservasi yang dapat dilakukan
diantaranya; pengelolaan tanah, pembangunan teras, pembuatan saluran
disepanjang kontur yang berfungsi sebagai saluran air untuk mengisi
persediaan air dalam tanah, penanaman tanaman dalam strip kontur.
Karena umumnya masyarakat membuka lahan pertanian pada daerah
perbukitan dengan kemiringan 10-40% maka teknik konservasi yang baik
dilakukan adalah teras bangku, gulud atau guludan, teras kebun untuk
tanaman perkebunan dan buah-buahan, rorak yang bertujuan untuk
memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah tererosi,
dan pembuatan embung tradisional. Sistim mekanik yang biasanya dilakukan
masyarakat pesisir juga adalah dengan pembuatan pemecah ombak dengan
menggunakan batuan karang disamping mencegah terabrasinya tanah pesisir
pantai juga sebagai habitat biota laut terutama ikan karang
(b) cara biologi; penanaman rumpun bambu pada daerah tepian sungai
diperlukan untuk mencegah erosi alur dan parit yang terjadi akibat aktifitas
manusia maupun yang terjadi secara alami yang ditanam membentuk pagar,
penanaman tanaman penutup tanah untuk mencegah besar dan laju aliran
permukaan baik pada tepian teras yang dibuat atau pada lahan terbuka dan di
antara baris tanaman, pergiliran tanaman dan tumpang sari baik juga untuk
meningkatkan kesuburan tanah, penanaman tanaman mangrove untuk
mencegah erosi tanah daerah pesisir akibat abrasi air laut.
(c) Cara kimia dengan penambahan bahan organik tanah dapat dilakukan dengan
pemulsaan disamping dapat meningkatkan kesuburan tanah juga dapat
memperkecil laju aliran permukaan
60

KESIMPULAN
Dalam sistem pertanian terdapat dua kendala utama yaitu kendala fisik dan
profitabilitas (keuntungan usaha). Pada kondisi ekstrim, faktor keterbatasan fisik
dapat diatasi dengan berbagai kondisi buatan. Sedangkan pada sistem produksi
pertanian yang dibatasi oleh luas areal dapat diatasi dengan pemanfaatan
teknologi. Selain teknologi, secara spasial faktor iklim juga berpengaruh
terhadap sistem produksi pertanian.Karena pada batas-batas tertentu, pengaruh
iklim dapat membatasi penggunaan lahan, mekanisasi, budidaya dan sebagainya.
Dalam perencanaan pengembangan wilayah dan pengendalian lahan
berdasarkan konsep pertanian berkelanjutan, maka tiga hal yang harus
diperhatikan adalah :
1. Dimensi sosial yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat guna
mencapai kesejahteraan sosial yang harmonis
2. Dimensi ekonomi sebagai indikator utama tingkat efisiensi dan daya saing,
besaran dan pertumbuhan nilai tambah, dan stabilitas ekonomi manusia
untuk generasi sekarang dan yang akandatang.
3. Dimensi lingkungan guna menekan kebutuhan akan stabilitas ekosistem
alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam.
Dusun merupakan sistem pengelolaan lahan yang sangat sesuai atau
mengsinergikan antara peraturan pemerintah no 41 tahun 1999 tentang
kehutanan, tujuan pembangunan Kabupaten Maluku Tengah dimana salah
satunya adalah meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam untuk
kesejahteraan masyarakat.

REKOMENDASI
Pemerintah harus berperan sebagai human kontrol sehingga masyarakat
lokal tidak dimarginalkan terhadap hak-hak sumberdaya alam yang mereka
miliki baik secara politik dan ekonomi.
Konsep dan pelaksanaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (dusun)
adalah sistim pengelolaan sumberdaya hutan yang dapat dilakukan bersama
Perum Perhutani dan masyarakat desa untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan
manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.
Pemerintah harus memposisikan hutan rakyat, hutan adat dan hutan
Negara sebagai satu kesatuan ekosistem, termasuk unsur manusia, pranata sosial,
kelembagaan, hak dan kewajiban setiap pelaku, dan kesetaraan dan pengakuan
hukum, ekonomi dan politik harus dibangun bersama-sama, dengan mengacu
kepada kepentingan individu dan kepentingan publik.
61
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra. S. Hadi. 2012. Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. UGM
Press.Yogyakarta.
Aryadi, Mahrus. 2012. Hutan Rakyat. Umm Press. Malang.
BPS. 2013. Maluku Tengah Dalam Angka.Masohi. Maluku Tengah.
BPS.2012. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Maluku Tengah.
Maluku Tengah.
Hardiyatmo. C. Hady. 2006. Penanganan Tanah Longsor Dan Erosi. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Rustiadi, E., S. Sunsun., dan P.R. Dyah. 2011. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Restpent Press. Jakarta-Indonesia.
Solahuddin, Soleh. 2009. Pertanian Harapan Masa Depan. IPB Press.BogorIndonesia.
Wattimena. A. Gustaf. Agroforestri di Maluku. proceeding Permama 2011.
Bogor
62

Potensi Pengembangan Sagu untuk Mendukung Ketahanan


Pangan Lokal di Wilayah Kabupaten Merauke
Disusun Oleh: Yudi C. L. Pakpahan

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi lahan untuk pengembangan pertanian di Kabupaten Merauke
sangat luas dan merupakan salah satu sentra pengembangan tanaman pangan di
Provinsi Papua. Papua, salah satu provinsi di Indonesia dengan potensi sagu
terbesar. Wilayah sebaran di Waropen Bawah, Sarmi, Asmat, Merauke, Sorong,
Jayapura, Manokwari, Bintuni, Inawatan, dan daerah yang belum
terinventarisasi.
Sagu mempunyai peranan sosial, ekonomi, dan budaya yang cukup
penting di Propinsi Papua karena merupakan bahan makanan pokok bagi
masyarakat terutama yang bermukim di daerah pesisir. Peraturan Presiden
Nomor 65 tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat (P4B) mengamanatkan bahwa dalam rangka peningkatan
perekonomian dan ketahanan pangan lokal maka sagu merupakan salah satu
komoditas yang sesuai dengan budaya dan kearifan lokal serta memiliki potensi
kesesuaian lahan untuk dikembangkan di Papua.
Pengelolaan tanaman sagu oleh masyarakat di Papua saat ini masih sebatas
untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga (subsistem) tanpa berorientasi pada
peningkatan nilai tambah melalui pengolahan lebih lanjut guna meningkatkan
perekonomian keluarga.Pengolahan sagu di Papua masih sebatas dalam
industripangan dengan pemanfaatannative starch(pati asli). Padahal produk
turunan hasil olahan sagu dapat dikembangkan menjadi beberapa makanan
diantaranya tepung sagu, bihun sagu, bubur sagu, beras sagu, aneka kue sagu
kering dan makanan kecil lain. Produk lain adalah: gula cair, biodegredable
plastic (plastik yang dapat terurai), bioetanol, pakan ternak, arang briket serta
papan partikel komposit.
Populasi tanaman sagu Papua kini mulai berkurang seiring dengan alih
fungsi kawasan menjadi areal permukiman dan peruntukan lain. Berkurangnya
populasi tanaman sagu mengakibatkan cadangan pangan lokal semakin rendah
dan bisa mengakibatkan lahan penghidupan masyarakat semakin berkurang.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mensinergikan penilaian
biofisik dengan pembangunan.
63
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Kondisi Geografis
Kabupaten Merauke merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi
Papua, terletak dibagian selatan yang memiliki wilayah terluas diantara
kabupaten/kota di Provinsi Papua. Secara geografis letak Kabupaten Merauke
berada antara 137-141BT dan 5-9 LS, dengan luas wilayah 46,791.63
km.Sebagian besar wilayah Kabupaten Merauke terdiri dari daratan rendah dan
berawa, luas areal rawa 1,425,000 ha dan daratan tinggi di beberapa kecamatan
padalaman bagian utara.
Kabupaten Merauke terletak paling timur wilayah nusantara dengan batasbatas sebagai
berikut :
a) Sebelah Utara dengan Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Mappi
b) Sebelah Timur dengan Negara Papua New Guinea
c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura
d) Barat berbatasan dengan Laut Arafura
Topografi
Keadaan topografi Kabupaten Merauke umumnya datar dan berawa di
sepanjang pantai dengan kemiringan 0-3% dan kearah utara yakni mulai dari
Distrik Tanah Miring, Jagebob, Elikobel, Muting dan Ulilin keadaan
topografinya bergelombang dengan kemiringan 0-8%.
Klimatologi
Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman wilayah Kabupaten Merauke
berada pada zona (Agroclimate Zone C) yang memiliki masa basah antara 5-6
bulan. Dataran Merauke mempunyai karakteristik iklim yang agak khusus yang
mana curah hujan yang terjadi dipengaruhi oleh Angin Muson, baik Muson
Barat-Barat Laut (Angin Muson Basah) dan Muson Timur-Timur Tenggara
(Angin Muson Kering) dan juga dipengaruhi oleh kondisi Topografi dan elevasi
daerah setempat.
Curah hujan pertahun di Kabupaten Merauke rata-rata mencapai 1,558.7
mm. Kecepatan angin hampir sama sepanjang tahun; di daerah pantai bertiup
cukup kencang sekitar 4-5 m/det dan di pedalaman berkisar 2 m/detik. Tingkat
kelembapan udara cukup tinggi karena dipengaruhi oleh iklim Tropis Basah,
kelembapan rata-rata berkisar antara 78-81%.
Hidrologi
Sungai-sungai besar yakni Bian, Digul, Maro, Yuliana, Lorents, dan
Kumbe merupakan potensi sumber air tawar untuk pengairan dan digunakan
sebagai prasarana angkutan antara kecamatan dan desa-desa. Sumber air tawar
dari rawa-rawa, air permukaan dan air tanah cukup tersedia untuk dimanfaatkan.
Jenis Tanah
Jenis tanah yang terdapat di wilayah Kabupaten Merauke terdiri atas tanah
histosol, entisol, dan ultisol yang terdapat di daerah-daerah rawa dan payau.
Jenis tanah ini terbentuk dari bahan induk batuan sedimen yang menyebar di
wilayah distrik Okaba, Merauke dan Kimaam.
64
Demografi
Penyebaran dan kepadatan penduduk pada dasarnya dipengaruhi oleh
faktor lokasi, potensi dan kemudahan hubungan antara lokasi tersebut.
2
Kabupaten Merauke dengan luas wilayah 46,791.63 Km , tingkat kemudahan
hubungannya masih tergolong relatif rendah. Konsentrasi penduduk masih
dominan tinggal di daerah perkotaan dan kampung-kampung transmigrasi.
Jumlah penduduk Kabupaten Merauke per tanggal 31 Desember 2011, menurut
pendataan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berjumlah 239,943 Jiwa.

POTENSI DAN PERMASALAHAN


Potensi Sagu
Dari segi penggunaan lahan untuk tanaman sagu, menurut Flach (1983)
dalam Syakir & Karmawati (2013) Indonesia sudah sejak zaman dalu
mengembangkan tanaman sagu dalam bentuk hutan.Areal pertanaman yang ada
pada waktu itu sudah 1,114,000 ha, tersebar di kawasan Timur 95%, dan hanya
4.1 di kawasan Barat.
Badan Litbang Kehutanan (2007) dalamSyakir & Karmawati (2013)
menyebutkan hutan sagu sekitar 1,250,000 hayang tersebar di Maluku dan
Papua, sedangkan yang sudah semi budidaya terdapat di Papua, Maluku,
Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau, dan Mentawai (Tabel 5.1).
Tabel 5.1. Perkembangan Luas Areal Sagu di Beberapa Daerah di Indonesia
Hutan Sagu
Semi Budidaya
No.
Lokasi
(ha)
(ha)
1.
Papua
1,200,000
14,000
2.
Maluku
50,000
10,000
3.
Sulawesi
30,000
4.
Kalimantan
20,000
5.
Sumatera
30,000
6.
Kepulauan Riau
20,000
7.
Kepulauan Mentawai
10,000
Jumlah
1,250,000
134,000
Sumber: Badan Litbang Kehutanan (2007) dalam Syakir & Karmawati (2011)

Berdasarkan data Badan Litbang Kehutanan (2007) dalam Syakir &


Karmawati (2013) luas lahan yang sesuai untuk perluasan dapat dilakukan pada
lahan rawa yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Papua seluas
2.978.380 ha.Khusus untuk jenis sagu baruk walaupun prodiktifitas pati per ha
atau per pohon rendah hanya sekitar 30-100 kg, tanaman ini dapat tumbuh pada
tanaman non rawayang tersedia di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa tenggara,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua seluas 5.3 juta ha (Tabel 5.2).
65
Tabel 5.2. Luas Lahan yang Sesuai untuk Perluasan Areal Pertanian Lahan Basah
Lahan (ha)
Pulau
Rawa
Non Rawa
Total
Sumatera
354,854
606,193
961,047
Jawa
0
14,393
14,393
Bali dan Nusa Tenggara
0
48,922
48,922
Kalimantan
730,160
665,779
1,395,939
Sulawesi
0
422,972
422,972
Maluku dan Papua
1,893,366
3,539,334
5,432,700
Indonesia
2,978,380
5,297,593
8,275,973
Sumber: Badan Litbang Kehutanan (2007) dalam Syakir & Karmawati (2013)

Produktifitas tepung sagu di Indonesia cukup beragam tergantung jenis


sagu. Hasil Survei Allorerung (1993) dalam Syakir & Karmawati (2013) di
beberapa daerah di Indonesia secara umum, umur panen berkisar antara 7-12
tahun dengan kisaran produksi tepung basah per batang sekitar 90-700 kg (Tabel
5.3).
Tabel 5.3. Produktifitas Pati Sagu di Beberapa Daerah di Indonesia
Perkiraan Umur
Nomor
Lokasi
Panen
(tahun)
1.
Jayapura
8-10
2.
Kaimana
7-10
3.
Sorong
7-10
4.
Paniai
7-10
5.
Yapen Waropen
10-12
6.
Merauke
7-10
7.
Salawati
8.
Sungai Kepik
9.
Kampor
10.
Idragili Hilir
11.
Bengkalis
12.
Kep. Riau
13.
Sulawesi Utara
14.
Kalimantan Barat
15.
Kepulauan Mentawai
-

Produksi Tepung
Basah
(kg/batang)
400
400-700
300-375
360-500
400-500
300-400
90-325
137,7
150-200
138-367
200-300
300
200-450
175-210
300-400

Sumber: Allorerung (1993) dalam Syakir & Karmawati (2013)


Pati sagu saat ini di pasar internasional relatif belum begiru dikenal.
Padahal produksi karbohidrat dan tanaman sagu lebih tinggi dari tanamantanaman
penghasil karbohidrat lainnya seprti jagung, ketela pohon, dan
tebu.Selain untuk bahan makanan, bioetanol dapat juga dihasilkan karbohidrat
tanaman sagu. Diperkirakan dalam 1 ha tanaman sagu dapat menghasilkan per
tahun bioetanol sebesar 12,2 kL/ha (Tabel 5.4).
66
Tabel 5.4. Produksi karbohidrat dan Bioetanol Tanaman Sagu
Produksi
Produksi
Jenis Tanaman
Karbohidrat
Karbohidrat
(ton/ha)
(ton/ha)
Tebu
70
Gula 15%
10
Ketela pohon
25
Pati 25%
6.25
Jagung
5
5 ton
5
Sagu
20
250 kg/batang
20
Sumber: Ishizaki 2007 dalam Syakir & Karmawati (2013)

Produksi
Bioetanol
(kL/ha)
6.4
3.8
3
12.2

Usia panen tanaman sagu, dihitung sejak penanaman pertama, diperlukan


waktu sekitar 12 tahun. Sagu memiliki potensi yang besar dalam memenuhi
kebutuhan diversifikasi pangan. Tanaman ini juga hanya cukup ditanam sekali,
dan setelah 12 tahun akan terus menerus dapat dipanen, tanpa perlu membuka
lahan untuk penanaman baru.
Kendala Pengembangan Tanaman Sagu
Pohon sagu yang biasa diolah secara tradisional oleh masyarakat lokal asli
Papua menjadi bahan makanan semakin menipis. Pohon ini terus dibabat untuk
pembangunan. Di sisi lain, sekitar 4,8 juta ton sagu terbuang percuma. Pohon
sagu dibiarkan tua karena pengetahuan pengelolaan terbatas, proses mengambil
sari perlu waktu lama dan butuh tenaga kuat. Pengolahan hasil sagu masih secara
konvensional dengan menggunakan tenaga manusia, namun sekarang ini telah
dirakitpangkur dan alat peremas sagu. Alat ini sudah banyak diadopsi oleh
masyarakat pengelola sagu di wilayah Papua.
Pengelolaan tanaman sagu oleh masyarakat di Papua saat ini masih sebatas
untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tanpa berorientasi pada peningkatan
nilai tambah melalui pengolahan lebih lanjut guna meningkatkan perekonomian
keluarga. Padahal produk turunan hasil olahan sagu dapat dikembangkan
menjadi beberapa makanan diantaranya tepung sagu, bihun sagu, bubur sagu,
beras sagu, jeli, kerupuk, aneka kue sagu kering dan makanan kecil lain. Produk
lain adalah: gula cair, biodegredable plastic (plastik yang dapat terurai),
bioetanol, pakan ternak, arang briket serta papan partikel komposit juga
pembuatan kayu lapis.
Informasi mengenai teknologi budidaya sagu masih sangat
terbatas.Pengetahuan masyarakat Papua tentang budidaya sagu diperoleh secara
turun-temurun. Pemeliharaan kebun sagu yang dipraktekkan masih sangat
sederhana, yaitu berupa pemangkasan pohon yang menaungi sagu dan
pembersihan gulma. Selain itu, usaha-usaha pengembangan sagu secara
budidaya belum banyak mendapat perhatian sehingga suatu saat hutan sagu akan
terancam punah.
.
KEBIJAKAN PENGGUNAAN LAHAN
Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2011 tentang Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (P4B) mengamanatkan
bahwa dalam rangka peningkatan perekonomian dan ketahanan pangan lokal
maka sagu merupakan salah satu komoditas yang sesuai dengan budaya dan
67
kearifan lokal serta memiliki potensi kesesuaian lahan untuk dikembangkan di
Papua.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang RI nomor 21 tahun 2001 tentang
Pemberian Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua maka jelas akan semakin besar
hak dan kewenangan sekaligus kewajiban daerah dalam memacu pembangunan
guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan mengedepankan program
prioritas dan memberikan hak-hak yang cukup penting bagi putra-putri asli
Papua, tetapi tidak mengabaikan peran etnis lain yang bermukim dan hidup di
tanah Papua agar kesinambungan pembangunan tetap terjadi dalam Bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

PENILAIAN BIOFISIK, SOSIAL, EKONOMI


Penilaian Biofisik
Tanaman sagu membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan
permanen dapat mengganggu pertumbuhan sagu. Sagu tumbuh di daerah rawa
yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang
aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak
terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah
liat > 70% dan bahan organik 30%.
Tanaman sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang mempunyai
pengaruh pasang surut, terutama bila air pasang tersebut merupakan air segar.
Lingkungan yang paling baik untuk pertumbuhannya adalah daerah yang
berlumpur, dimana akar nafas tidak terendam. Pertumbuhan sagu juga
dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar, terutama
potasium, fosfat, kalsium, dan magnesium.
Di dataran Merauke banyak terdapat sungai dan rawa yang mengalir
sepanjang tahun sehingga airnya dapat dimanfaatkan untuk pengairan. Tanah
pada lahan basah terbentuk dari endapan sungai, endapan laut, dan bahan
organik, dengan rejim kelembaban tanahnya akuik.Pembentukkan tanah di
dataran aluvial sangat dipengaruhi oleh aktivitas dan pola aliran sungai.
Sedangkan di dataran pantai dipengaruhi oleh proses pasang surut air laut.
Oleh karena itu dengan melihat penilaian biofisik, secara keseluruhan
lahan basah di wilayah Kabupaten Merauke cukup berpotensi untuk
pengembangan tanaman sagu.
Penilaian Sosial dan Ekonomi
Sektor pertanian menjadi fokus program pembangunan pemerintah
setempat karena Merauke memang memiliki lahan yang terbuka basah yang
sangat luas. Korporasi pertanian merupakan salah satu cara cepat untuk
mengembangkan pertanian di kawasan Indonesia timur ini. Korporasi atau bisnis
ini mau tidak mau membutuhkan sejumlah tenaga kerja yang ahli dan
berpengalaman. Petani dan ahli pertanian dari luar daerah pasti didatangkan
untuk mengolah tanah guna mendatangkan keuntungan bagi investor. Namun,
petani lokal atau masyarakat asli Papua setempat yang belum begitu mahir
mengelola pertanian tidak bisa ditinggalkan begitu saja demi mempercepat laju
68
keuntungan. Keterlibatan masyarakat lokal atau masyarakat asli setempat harus
selalu diperhatikan.
Konsep ini merupakan cara pengembangan dengan memperhatikan
kearifan lokal masyarakat asli Papua dimana sagu merupakan makanan pokok.
Masyarakat lokal Papua telah mengetahui teknologi budidaya sagu secara turuntemurun
dengan praktik pengolahan secara konvensional. Sehingga dengan
adanya pengembangan tanaman sagu, masyarakat lokal Papua akan lebih mudah
untuk diarahkan dalam pengembangan pertanian karena menyangkut makanan
pokok dan budaya mereka sendiri.
Populasi tanaman sagu Papua kini mulai berkurang seiring dengan alih
fungsi kawasan menjadi areal permukiman dan peruntukan lain. Berkurangnya
populasi tanaman sagu mengakibatkan cadangan pangan lokal semakin rendah
dan bisa mengakibatkan lahan penghidupan masyarakat semakin berkurang.Oleh
karena itu, pengembangan tanaman sagu tidak bermaksud menggeser pola
makan masyarakat Papua dari beras untuk kembali ke sagu, namun lebih ke arah
ketahanan pangan lokal dan peningkatan ekonomi masyarakat.
Selain sebagaibahan pangan pokok,sagu bisa digunakan sebagaibahan
baku agroindustry yang berperan dalam peningkatan pendapatan masyarakat
melalui penciptaan kesempatan kerja sekaligus penciptaan nilai tambah.
Tanaman sagu mempunyai banyak manfaat.Sagu mempunyai banyak kegunaan,
di mana hampir semua bagian tanaman mempunyai manfaat tersendiri.
Batangnya dapat dimanfaatkan sebagai tiang atau balok jembatan, daunnya
sebagai atap rumah, pelepahnya untuk dinding rumah, dan acinya sebagai
sumber karbohidrat (bahan pangan) dan untuk industri, juga sebagai bahan baku
untuk pembuatan spirtus atau alkohol. Ampasnya dapat dimanfaatkan sebagai
pulp untuk pembuatan kertas atau pakan ternak.
Aci sagu dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan, baik makanan
pokok maupun makanan ringan. Oleh karena itu, tanaman sagu memegang
peranan penting dalam penganekaragaman makanan untuk menunjang stabilitas
pangan dan berpeluang untuk dikembangkan menjadi usaha industri rumah
tangga.

KESIMPULAN
Secara penilaian biofisik, sosial dan ekonomi wilayah Kabupaten Merauke
berpotensi untuk pengembangan tanaman sagu. Populasi tanaman sagu Papua
kini mulai berkurang seiring dengan alih fungsi kawasan menjadi areal
permukiman dan peruntukan lain. Berkurangnya populasi tanaman sagu
mengakibatkan cadangan pangan lokal semakin rendah dan bisa mengakibatkan
lahan penghidupan masyarakat semakin berkurang. Oleh karena itu,
pengembangan tanaman sagu tidak bermaksud menggeser pola makan
masyarakat Papua dari beras untuk kembali ke sagu, namun lebih ke arah
ketahanan pangan lokal dan peningkatan ekonomi masyarakat.
Konsep ini merupakan cara pengembangan dengan memperhatikan
kearifan lokal masyarakat asli Papua dimana sagu merupakan makanan pokok
serta produk budaya. Selain sebagai bahan pangan pokok, sagu bisa digunakan
sebagai bahan baku agroindustry yang berperan dalam peningkatan pendapatan
69
masyarakat melalui penciptaan kesempatan kerja sekaligus penciptaan nilai
tambah.
REKOMENDASI
Melihat potensi wilayah yang ada dengan kondisi biofisiknya maka
kabupaten Merauke perlu melakukan pengembangan di sektor tanaman sagu.
Sektor ini mempunyai peluang pengembangan yang sama dengan sektor
pertanian lainnya bila lebih dioptimakan sehingga tanaman sagu dengan tanaman
lainnya bisa diintegrasikan. Oleh sebab itu perlu investasi terbuka untuk
melakukan kemitraan dengan perusahaan pemasaran yang sudah ada di tingkat
provinsi maupun nasional.Namun demikian, pengelolaannya diarahkan melalui
pembudidayaan sagu yang lebih intensif dengan tetap memperhatikan kearifan
lokal.

DAFTAR PUSTAKA
Alfons, J. B., 2011. Reklamasi Lahan Sagu Mendukung Usahatani Berbasis
Sagu di Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian 7(2):87-93.
Djaenudin, D. 2007. Potensi Sumber Daya Lahan untuk Perluasan Areal
Tanaman Pangan di Kabupaten Merauke.Iptek Tanaman Pangan 2(2):180194
Kanro, M. Z., A. Rouw, A. Widjono, Syamsudin, Amisnaipa, dan Atekan. 2003.
Tanaman Sagu dan Potensinya di Papua.Jurnal Litbang Pertanian
22(3):116-124.
Marfai, MA dan A. Cahyadi.2012. Kajian Kesesuaian Lahan untuk Mendukung
Pengembangan Komoditas Pertanian di Wilayah Perbatasan Negara
Republik Indonesia (Studi Kasus di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua).
Jurnal Bumi Lestari, Volume 12(2):260 267.
Pemerintah Kabupaten Merauke. 2004. Profil investasi Kabupaten Merauke
Provinsi Papua. Merauke.38 hal.
Prasetyo, LB., IBK Wedastara, PT Maulinda. 2012. Pemetaan Sebaran Carbon
Di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Kerja sama Fakultas Kehutanan
IPB dengan WWF Indonesia. Jakarta. 39 hal.
Rante, Y. 2012. Pengembangan, Peningkatan Daya Saing Produk Agribisnis dan
Agroindustri di Kabupaten Keerom Provinsi Papua Guna Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat Serta Menunjang Ekspor Non Migas Indonesia dalam
Era Perdagangan Bebas.Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis
3(1):87-112.
Syakir, M. dan E. Karmawati.2013. Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon spp.)
sebagai Bahan Baku Bioenergi.Perspektif 12(2):57-66.
Tarigan, H dan E. Ariningsih. 2007. Peluang dan Kendala Pengembangan
Agroindustri Sagu di Kabupaten Jayapura. Prosiding Seminar Nasional
Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Mencari Alternatif
Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian.Hal.135-140.
70
71

BAB III
PENUTUP
72
73
Kesimpulan Umum
Konsep pengelolaan klasik yang hanya menitikberatkan pada keuntungan
ekonomi menyebabkan eksploitasi lahan yang berlebihan mengakibatkan
penurunan daya dukung lahan dan kerusakan lingkungan. Seharusnya
pengelolaan tanah dan lahan merupakan suatu konsep manajemen yang bersifat
komprehensif dimana dalam penerapannya dapat mengsinergikan antara
berbagai faktor-faktor yang melekat pada suatu lahan antara lain sifat biofisik,
lingkungan sosial dan budaya masyarakat di sekitar lahan, dan nilai ekonomi
lahan tersebut. Dengan konsep baru ini, pengelolaan lahan dilakukan secara
berimbang dan menyesuaikan dengan potensi dan kesesuaian terhadap daerah
masing-masing. Pengelolaan tanah dan lahan perlu mengadopsi sistem budidaya
yang bersifat lebih fleksibel dan ramah lingkungan. Aturan adat dan kearifan
lokal juga dapat menjadi bagian dari suatu sistem pengelolaan tanah dan lahan
yang ramah lingkungan. Setiap daerah di Indonesia memiliki kondisi lingkungan
biofisik, sosial budaya dan ekologi yang khas, maka dalam melakukan
pengelolaan lahannya juga memiliki suatu sistem yang khas dan spesifik lokasi
tersebut.

Rekomendasi Umum
Berdasarkan hasil pengkajian konsep-konsep pengelolaan tanah dan lahan
pada berbagai daerah yang telah dipaparkan pada isi makalah, dalam lingkup
pengelolaan tanah dan lahan maka dapat diambil suatu rekomendasi usaha-usaha
yang dapat dilakukan antara lain;
1. Dalam rangka untuk menjaga stabilitas dan ketahanan pangan nasional,
Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam konsep pengelolaan lahan
diantaranya dengan melakukan intensifikasi pertanian melaui adopsi
sistem budidaya Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT)
padi. Sistem budidaya ini terbukti mampu meningkatkan hasil produksi
padi sawah. Sistem PTT padi juga dapat diterapkan di lahan rawa
pasang surut dan rawa lebak tentunya dengan sentuhan teknologi yang
berbeda dan menyesuaikan dengan kondisi sosial dan agroekosistem
lahan rawa.
Cara kedua adalah dengan melakukan ekstensifikasi lahan pertanian,
yaitu dengan mencetak sawah-sawah baru di lahan marginal seperti
lahan rawa dan lahan gambut. Indonesia memiliki luasan lahan rawa
yang luas seperti di daerah sumatera bagian timur dan kalimantan
bagian selatan yang sudah sejak puluhan tahun yang lalu telah
dimanfaatkan secara lokal sebagai lahan pertanian di lahan basah.
Daerah papua, memiliki potensi pembukaan lahan rawa menjadi lahan
pertanian baru.
Cara ketiga adalah dengan mengoptimalkan produksi pangan alternatif
selain beras, dalam hal ini adalah sagu. Masyarakat Indonesia daerah
timur pada dasarnya menjadikan sagu sebagai makanan pokoknya.
Perlu adanya pencetakkan lahan perkebunan sagu terutama di Provinsi
papua yang memiliki ketersediaan lahan yang luas dan kondisi
74
agroekosistem yang cocok untuk budidaya sagu. Perlu diketahui bahwa
usaha ini dilakukan bukan untuk memaksa secara tidak langsung
penduduk Indonesia untuk makan sagu sebagai pengganti beras, tetapi
usaha ini dilakukan untuk menambah produksi tanaman pangan agar
neraca pangan nasional lebih berimbang. Tidak hanya sagu, komoditi
lain seperti jagung, sorgum, ubi jalar dan ketela pohon juga dapat
menjadi alternatif untuk menyumbang produksi pangan nasional.
2. Dalam rangka untuk menjaga kelestarian lahan dan lingkungan lokal,
Pemerintah dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan harus mampu
membuat dan melaksanakan suatu peraturan perundangan yang bersifat
mengikat semua pihak dalam menjaga dan melindungi kelestarian dan
keberlanjutan lahan-lahan pertanian di Indonesia
Praktek pengelolaan lahan yang dilakukan harus sinergis antar berbagai
kepentingan baik pemerintah, pengguna lahan, dan potensi dari lahan
tersebut sehingga arah pengelolaan yang terbentuk dapat berkelanjutan
secara ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan
Salah satu alternatif lain dalam penerapan aturan yang dapat menjaga
kelestarian lahan dan lingkungan adalah dengan menerapkan aturanaturan adat dan
pengetahuan lokal (kearifan lokal) pada daerah-daerah
di Indonesia yang masih kental akan hukum adat. Setiap daerah di
Indonesia pasti memiliki suatu aturan adat yang khas dan bersifat turuntemurun
serta dipatuhi oleh msyarakat adat. Juga adanya pengetahuan
lokal dalam budidaya pertanian dapat menjadi alternatif bagian dari
suatu sistem pengelolaan tanah dan lahan yang lebih ramah lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai