PENDAHULUAN
2
3
Latar Belakang
Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia.
Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
selain itu lahan juga digunakan sebagai tempat tinggal manusia. Lahan memiliki
sifat atau karakteristik yang spesifik. Secara klasik lahan diartikan sebagai suatu
bentang alam yang memiliki Sifat-sifat biofisk dan atribut atau keadaan unsurunsur
lahan yang dapat diukur atau diperkirakan, seperti tekstur tanah, struktur
tanah, kedalaman tanah, jumlah curah hujan, distribusi hujan, temperatur,
drainase tanah, jenis vegetasi, dan sebagainya. Namun pengertian lahan tidaklah
sesempit itu, secara luas lahan diartikan sebagai suatu kesatuan lingkungan
biofisik bagian dari bentang alam dan mencakup lingkungan sosial budaya dan
ekonomi dari lahan tersebut. Karena peranan lahan yang bersifat multifungi ini,
maka dalam proses pengelolaan lahan ketiga aspek tersebut perlu
dipertimbangkan.
Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus
berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi,
pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak
mempertimbangkan aspek keberlanjutan sehingga kelestariannya semakin
terancam. Akibatnya, kualitas sumberdaya lahan semakin berkurang dan
manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal
(kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya
daya dukung lahan dalam menyangga kegiatan produksi di atasnya, rentan
terhadap proses degradasi lahan dan kerusakan lingkungan lainnya. Untuk itu
perlu pengelolaan lahan yang efektif, efisien dan optimal sehingga kelestarian
lahan juga dapat terjaga dan kebutuhan manusia akan lahan dapat tercukupi.
Pengelolaan lahan berkelanjutan merupakan sebuah konsep pengelolaan
sumberdaya lahan yang bertumpu pada tiga aspek utama yaitu (1) Kepedulian
Lingkungan (Ecologically Awareness), dimana pengelolaan tidak boleh
menyimpang dari sistem ekologis lahan tersebut. Keseimbangan lingkungan
adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya
dikendalikan oleh hukum alam; (2) Bernilai ekonomis (Economic Valueable),
pengelolaan harus mengacu pada pertimbangan untung rugi untuk jangka pandek
dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar
sistem ekologi, sumber daya alam dapat terlanjutkan (tidak tereksploitasi); dan
(3) Berwatak sosial (Socially Just), sistem pengelolaan harus selaras dengan
norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh
masyarakat setempat. Sistem pengelolaan tanah dan lahan yang diterapkan pada
setiap daerah atau lokasi tertentu harus bersifat spesifik dalam arti menyesuaikan
dengan potensi biofisik, sosial budaya, dan nilai ekonomi daerah tersebut.
Daerah-daerah di Indonesia memiliki heterogenitas sosial dan budaya yang
tinggi. Setiap daerah biasanya memiliki kekhasan tersendiri dalam sistem
pengelolaan lahannya. Penerapan norma-norma lokal seperti hukum adat dan
kearifan lokal sebagai bagian dari sistem pengelolaan lahan masih banyak
dijumpai di beberapa daerah di Indonesia. Oleh karena itu menjadi sangat
penting dalam menetapkan pengelolaan lahan yang sesuai dan mampu
mengsinergikan antara potensi-potensi serta norma yang berlaku di daerah
masing-masing.
4
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menggali berbagai informasi dan potensi serta
permasalahan pengelolaan lahan yang ada di berbagai daerah Indonesia dan
menerapkan bagaimana sistem pengelolaan tanah dan lahan yang sesuai untuk
pemanfaatan komoditi dan tujuan tertentu di daerah tersebut berdasarkan
prinsip-prinsip pengelolaan lahan berkelanjutan.
5
BAB II
ISI MAKALAH
6
7
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras masih sangat tinggi.
Tercatat pada tahun 2013 angka konsumsi beras per kapita Provinsi Jawa Barat
mencapai 90.3 Kg (BPS Jabar, 2013). Produksi Gabah Kering Giling (GKG)
Kab. Bogor sebanyak 551 ribu ton pada 2013 (Bogor Dalam Angka, 2014)
hanya mampu mencukupi sebesar 79.2% konsumsi beras penduduk Kab. Bogor
yang berjumlah sekitar 5.1 juta jiwa. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk
meningkatkan produksi beras perlu dilakukan untuk mengurangi defisit tersebut
melaui sistem pengelolaan tanah dan lahan yang lebih baik.
Usaha pengelolaan tanah dan lahan yang dilakukan perlu menerapkan
konsep keberlanjutan. Diperlukan suatu pendekatan sistem budidaya pertanian
yang menyeluruh, selain dapat meningkatkan angka produksi juga harus bersifat
partisipatif, mampu diterima dan dijangkau oleh masyarakat, dan tidak merusak
atau menurunkan kualitas lingkungan lahan tersebut. Salah satu pendekatan yang
dapat diterapkan adalah melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu (PTT). PTT bukan merupakan paket teknologi, melainkan
merupakan pendekatan dalam peningkatan produksi melalui pengelolaan
tanaman, tanah, air, hara, dan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) secara
menyeluruh dan berkelanjutan. Dalam penerapannya, PTT bersifat (1)
partisipatif, (2) dinamis, (3) spesifik lokasi, (4) terpadu, dan (5) sinergis antar
komponen teknologi yang diterapkan (Balittra, 2012).
Selama ini peningkatan hasil produksi padi melalui pendekatan PTT sudah
berkembang di lahan sawah irigasi. Berbagai perpaduan komponen teknologi
yang sifatnya saling sinergis, kompatibel, dan saling melengkapi telah
dianjurkan sebagai usaha untuk meningkatkan produksi padi yang lebih efisien,
menguntungkan dan berkesinambungan. Menurut survei yang dilakukan
Balitbang Pertanian (2007) diperoleh bahwa dari 28 kabupaten yang telah
menerapkan pendekatan PTT sejak tahun 2002-2003 produksi padi irigasi
mengalami peningkatan rata-rata 19% dan pendapatan petani 15%. Kabupaten
Bogor sendiri sebenarnya sudah menerapkan sistem PTT padi di beberapa
daerah seperti di Desa Karacak pada tahun 2005 (Maryati et al, 2005) dan
Kecamatan Ciseeng pada tahun 2011 (Muslihat, 2012). Hasilnya pun cukup
memuaskan, terbukti dengan pendekatan PTT mampu meningkatkan
produktifitas padi menjadi 6 9 ton Gabah Kering Giling (GKG) per hektar.
Oleh karena itu, adopsi PTT ke berbagai daerah budidaya padi di Kabupaten
8
Bogor sudah saatnya untuk digalakkan untuk meningkatkan jumlah produksi
beras Kab. Bogor.
Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mempelajari, mengkaji, dan
memahami sistem budidaya padi sawah menggunakan pendekatan Pengelolaan
Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) sebagai bagian dari realisasi program
revitalisasi pertanian tanaman pangan di Kabupaten Bogor.
493,779
529,866
489,919
485,627
551,653
510,169
12
Tabel 1.2.Kebutuhan Konsumsi Beras Penduduk Kab. Bogor Tahun 2009 - 2013
Jumlah
Konsumsi Beras
Konsumsi
Kebutuhan
Tahun
Penduduk *)
Per Kapita **)
Beras Total
GKG Total
jiwa
Kg
Ton
Ton
2009
4,643,186
91.30
423,932
2010
4,771,932
90.16
430,214
2011
4,922,205
89.48
440,424
2012
4,989,939
87.24
435,297
2013
5,111,769
85.51
437,128
Rataan
4,887,806,20
88.74
433,399
Sumber: *) BPS Kab. Bogor Tahun 2009 2013
**) Survei Sosial Ekonomi Indonesia Tahun 2009 - 2013
675,697
685,709
701,983
693,811
696,729
690,786
Produktif
itas (Ton
GKG/ha)
Tekstur
nasi
IR-64
110 - 120
5.0 6.0
pulen
Ciherang
116 - 125
6.0 8.5
pulen
Ciliwung
117 - 125
5.0 6.0
Pulen
Mekongga
116 - 125
6.0 8.4
pulen
Sarinah
110 - 125
7.0 8.0
pulen
Cigeuis
115 - 125
5.0 8.0
pulen
Bondoyudo
110 - 120
6.0 8.4
pulen
Batang Piaman
97 - 120
6.0 7.6
Pera
Varietas
Tahan/Toleran
Tahan wereng coklat biotipe 1, 2, dan
agak tahan Wereng Coklat biotipe 3
Tahan wereng coklat biotipe 2, agak
tahan wereng coklat biotipe 3, dan
tahan hawar daun bakteri
Tahan wereng coklat biotipe 1,2,
ganjur, tahan tungro, dan tahan hawar
daun bakteri
Agak tahan wereng coklat biotipe 2
dan 3, agak tahan hawar daun bakteri
biotipe strain IV
Agak tahan wereng coklat biotipe 1,
agak peka biotipe 2 dan 3
Tahan wereng coklat biotipe 2 dan 3,
dan tahan hawar daun bakteri starin
IV
Tahan wereng coklat dan Tungro
Tahan penyakit blas daun dan blas
leher malai
Pada cara tanam Jajar Legowo 2:1, semua tanaman seolah-olah berada
pada barisan pinggir pematang, sedangkan pada cara tanam Jajar Legowo
4:1, separuh tanaman berada pada bagian pinggir (mendapat manfaat
border effect).
Masa pemeliharaan ikan dapat lebih lama, yaitu 70-75 hari dibanding cara
tandur jajar biasa yang hanya 45 hari. Hasil ikan yang diperoleh dapat
menutupi sebagian biaya usaha tani (Sistem Pertanian Terpadu Minapadi)
Gambar 1.2. Sistem tanam legowo 4:1 (kiri) dan 2:1 (kanan)
Sumber: http://image.google.com
Cara Tanam
Tegel 20 x 20 cm
Tegel 22 x 22 cm
Tegel 25 x 25 cm
Legowo 2:1 (10 x 20 cm)
Legowo 3:1 (10 x 20 cm)
Legowo 4:1 (10 x 20 cm)
Legowo 2:1 (12.5 x 25 cm)
Legowo 3:1 (12.5 x 25cm)
Legowo 4:1 (12.5 x 25 cm)
250,000
206,661
160,000
333,333
375,000
400,000
213,000
240,000
256,000
100
100
100
133
150
160
133
150
160
ekonomis Gasrok
Sumber: http://image.google.com
REKOMENDASI
Pengembangan Program Revitalisasi Pertanian Tanaman Pangan melalui
pendekatan PTT Padi di Kab. Bogor dapat ditempuh dengan:
1) Pada tahap awal sebaiknya pemerintah sebagai pembuat kebijakan
membuat suatu program pembentukan sentra pertanian untuk penerapan
PTT padi di daerah-daerah yang potensial untuk pertanian tanaman pangan
(padi) secrara luas seperti di daerah Jonggol, Cariu, Tenjolaya, Pamijahan,
dan Jasinga. Daerah-daerah tersebut memiliki luas lahan pertanian yang
masih luas dan letaknya tidak terlalu jauh terhadap pusat perekonomian
2) Reforma agraria dengan merealisasikan dan mematuhi amanat peraturan
perundangan pada UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian dan PP No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi
Lahan Pertanain Berkelanjutan agar dapat melindungi, mengendalikan
22
3)
4)
DAFTAR PUSTAKA
Adnany, Zaky. 2013. Budidaya Padi dengan Pendekatan Teknologi SRI.
http://epetani.pertanian.go.id/budidaya/budidaya-padi-dengan-pendekatanteknologi-
sri-system-rice-intensification-7712 Diakses pada 27 Desember
2014.
Anonim. 2014. http://www.beritasatu.com/nasional/212235-musim-kemaraupetani-tunda-
tanam-padi-antisipasi-gagal-panen.html Diakses pada 25
Desember 2014.
Badan Pusat Statistik Kab. Bogor. 2007. Kabupaten Bogor dalam Angka 2007.
Bogor: BPS Kab. Bogor.
Badan Pusat Statistik Kab. Bogor. 2014. Kabupaten Bogor dalam Angka 2013.
Bogor: BPS Kab. Bogor.
Bobihoe, Juliastia. 2011. Leaflet Agroinovasi: Keuntungan Sistem Jajar
Legowo. Jambi: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
Bupati Bogor. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Kabupaten Bogor 2013 2015. Bogor: Pemerintah Daerah
Kabupaten Bogor.
Maryati, Titiek S., Dkk. 2005. Gelar teknologi PTT padi mendukuung penerapan
revitalisasi penyuluhan pertanian. Dalam Temu Teknis Nasional Tenaga
Fungsional Pertanian 2006. Hlm. 498 504
Muliawati, Asri. 2013. Pemulihan Lahan Kritis di Taman Nasional Halimun
Salakdengan Pendekatan Kearifan Lokal. Sukabumi: BP4K Kab. Sukabumi.
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2008. Perda No. 19 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor 2005 2025. Bogor:
Pemerintah Daerah Kab. Bogor.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. 2009. Kebijakan
Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Bogor:
Analisis Potensi Kawasan. Bogor: IPB press. Page 6.2 6.109.
Simatupang, R. S. 2007. Teknologi olah tanah konservasi mengendalikan
keracunan besi pada padi sawah pasang surut di lahan sulfat masam. Dalam
prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian.
BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor: Badan Litbang Pertanian,
Departemen Pertanian. Hlm.53-64.
Tim Penyusun. 2008. Teknologi Budidaya Padi. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta: Agro
Inovasi.
23
PENDAHULUAN
Lahan lebak merupakan salah satu sumberdaya lahan yang potensial
untuk dikembangkan menjadi kawasan pertanian di Indonesia pada tanaman
pangan khusunya padi.Potensi lahan lebak yang berada di Indonesia anatara lain
di Sumatra Selatan dan Kalimantan Selatan. Potensi lahan rawa lebak di seluruh
Indonesia mencapai 14 juta hektar, terdiri dari rawa lebak dangkal seluas
4,166,000 ha, lebak tengahan seluas 6,076,000 ha dan lebak dalam seluas
3,039,000 ha (Widjaja Adhi, et al., 1998.)
Potensinya lahan lebak di Sumatera Selatan mencapai 2,28 juta hektar
atau 27% dari luas daerah Sumatera Selatan. Namun demikian pemanfaatannya
belum dilakukan secara optimal. Areal yang dimanfaatkan untuk pertanian
(padi) diperkirakan mencapai 6,5 % atau 300,000 hektar. Lahan rawa lebak
Sumsel merupakan wilayah cekungan yang secara alami berfungsi sebagai
tampungan air permukaan dan tempat deposit mineral sekunder yang tersangkut
didalamnya. Demikian pula di lahan rawa lebak terjadi dinamika tampungan air
secara musiman yang bergantung pada besarnya aliran permukaan dari curahan
air hujan maupun air sungai. Deposit mineral merupakan salah satu potensi daya
saing yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya kandungan mineral pada
produk pangan fungsional. Dalam tubuh manusia mineral organik masuk melalui
makanan minuman yang dikonsumsi dan akan berperan penting sebagai sumber
pengatur fungsi tubuh (Latif, 2004). Sungai Musi merupakan pemasok utama
mineral yang kaya akan basa-basa di lahan rawa Sumatera Selatan (Hikmatullah
et al., 1990). Dengan kondisi ini usahatani tanaman pangan di lahan rawa lebak
dapat diusahakan pada musim kemarau (MK) pada saat genangan air mulai
menyurut.
Pola tanam yang dikembangkan bertahap dari lebak dangkal di musim
hujan dan berangsur ke lebak dalam di musim kemarau yang tergantung pada
tinggi genangan air.Dengan kondisi yang ada pada prinsipnya lahan rawa lebak
dapat dimanfaatkan untuk usahatani sepanjang tahun, sehingga usahatani yang
dikembangkan pada musim kemarau (off season) justru petani dapat
memperoleh hasil/pendapatan yang lebih baik.Namun dengan besarnya biaya
persiapan lahan dan terbatasnya infrastruktur sehingga petani banyak
mengusahakan untuk pertanaman padi lokal yang memiliki tingkat produksi
rendah dan umur yang panjang.
Upaya peningkatan produktifitas usahatani telah banyak dilakukan
melalui peningkatan Indeks Pertanaman, penggunaan varietas unggul,
pembenahan media tanam, membangun sarana drainase, pemberian amelioran
dan pengendalian hama penyakit. Biaya produksi menjadi mahal dan resiko
kegagalan tinggi. Akan tetapi petani di lahan rawa lebak sampai saat ini masih
terbelenggu kemiskinan. Biaya usahatani dengan penggunaan varietas unggul di
lahan rawa lebak lebih tinggi dibandingkan varietas lokal (Hutapea, 2004).
24
Di Sumsel, pendapatan masyarakat di wilayah lahan rawa lebak 59,92 %
berasal dari sektor petanian dengan komoditas utama padi (Hutapea, 2004).
Masalah yang dihadapi produktifitas usahatani rendah disebabkan oleh genangan
atau kekeringan yang datangnya belum dapat diramal secara tepat (Suwarno dan
Suhartini, 1993), dan kendala lain berupa gangguan hama tikus, wereng coklat
dan penggerek batang (Rochman et. al, 1990), sedangkan kendala sosial
ekonomi berupa keterbatasan modal dan tenaga kerja, tingkat pendidikan petani
yang masih rendah.
TIPOLOGI RAWALEBAK
Penyusunan tipologi rawa dibuat dengan tujuan: 1). Untuk menjelaskan
unit-unit ekologi dengan kondisi alami yang homogen, 2). Menyusun unit-unit
tersebut dalam suatu sistem untuk membantu penentuan manajemen sumber
daya, 3). Untuk mempermudah inventarisasi dan pemetaan, dan 4).
Penyeragaman konsep dan terminologi (Smith, 1993). Keragaman karakteristik
biofisik rawa lebak di lokasi yang disertai keragaman pemanfaatan memerlukan
pola pengelolaan yang bervariasi. Untuk menyusun rencana pengelolaan yang
spesifik terlebih dahulu disusun tipologi rawalebak dengan deskripsi masingmasing.
Deskripsi disusun menurut ciri ekologi yang mengacu pada hidrologi,
mutu air dan sedimen, keragaman jenis biota terutama ikan dan vegetasi,
pemanfaatan dan kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar rawa.
Berdasarkan ketinggian dan lamanya genangan, lahan rawa lebak dapat
dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1) Lebak dangkal, (2) Lebak tengahan, dan (3)
Lebak dalam. Batasan dan klasifikasi lahan rawa lebak menurut tinggi dan
lamanya genangan adalah sebagai berikut (Anwarhan, 1989; Widjaja Adhi,
1989):
Lebak dangkal : wilayah yang mempunyai tinggi genangan 25-50 cm
dengan lama genangan minimal 3 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai
hidrotopografi nisbi lebih tinggi dan merupakan wilayah paling dekat dengan
tanggul.
Lebak tengahan : wilayah yang mempunyai tinggi genangan 50-100 cm
dengan lama genangan minimal 3-6 bulan dalam setahun. Wilayahnya
mempunyai hidrotopografi lebih rendah daripada lebak dangkal dan merupakan
wilayah antara lebak dangkal dengan lebak dalam.
Lebak dalam : wilayah yang mempunyai tinggi genangan > 100 cm
dengan lama genangan minimal > 6 bulan dalam setahun. Wilayahnya
mempunyai hidrotopografi paling rendah.
Berdasarkan tipologi lebak, lahan yang diusahakan terdiri dari lebak
dangkal, lebak tengahan dan lebak dalam. Daerah lebak tidak selalu tergenang air
dan penggenangannya tidak pula merata, tergantung pada keadaan hidrotopografi
lebak itu sendiri, curah hujan, dan ketinggian air sungai setempat. Bagian yang
memiliki hidrotopografi yang lebih tinggi mempunyai jangka waktu penggenangan
lebih pendek dibandingkan dengan yang keadan hidtrotopografi lebih rendah. Oleh
karena itu penanaman padi baru dapat dilakukan setelah air pada rawa dangkal
menyurut dan selanjutnya diikuti oleh rawa tengahan dan rawa dalam.
26
PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK
Ekosistem rawa lebak dibagi dalam 3 katagori, yaitu 1) lahan rawa lebak
dangkal atau lahan pematang yang dicirikan oleh kedalaman genangan air
kurang dari 50 cm, dengan lama genangan antara 1-3 bulan; 2) lahan rawa lebak
tengahan, dicirikan kedalaman genangan air antara 50-100 cm dengan lama
genangan 3-6 bulan; dan 3) lahan rawa lebak dalam dicirikan kedalaman
genangan air lebih dari 100 cm dengan lama genangan lebih dari 6 bulan
(Direktorat Rawa, 1992). Adanya genangan air yang cukup dominan di lahan
rawa lebak usahatani yang dikembangkan masyarakat selama ini adalah tanaman
padi sawah.
Pemanfaatan lahan rawa lebak oleh penduduk setempat masih
dilaksanakan secara tradisional yang masih sangat tergantung pada kondisi alam.
Kesulitan yang dihadapi petani ialah kondisi genangan air yang sulit untuk
diprediksi secara tepat, terutama mengenai kapan mulainya, berapa tinggi
genangan yang akan dihadapi, kapan mulai air surut, dan berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi yang diinginkan. Sangat berbeda
dengan lahan yang berpengairan, dimana petani dapat mengatur kondisi tinggi
dan lama genangan setiap saat.Dalam hal ini petani pada umumnya berspekulasi
menghadapi kondisi alam, sehingga petani sering gagal panen karena banjir atau
kekeringan yang mendadak dan ekstrim.
Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan usahatani di lahan rawa
lebak antara lain faktor genangan air dan kesuburan tanah. Genangan air rawa
lebak dipengaruhi oleh curahan air hujan di hulu dan hilir sungai maupun
curahan air hujan di lahan itu sendiri dan sekitarnya. Untuk pertanian di lahan
rawa lebak pada akhir bulan Februari dimana permukaan air cenderung mulai
turun, pengerjaan sawah lebak dangkal dimulai. Pekerjaan yang dilakukan
adalah pembersihan sawah dari vegetasi air serta menyiapkan persemaian. Bila
air mulai menurun lagi pada bulan-bulan berikutnya pengerjaan sawah lebak
tengahan dan dalam dilakukan pula. Pola pertanian sawah lebak di Daerah Ogan
Ilir, terlihat bahwa musim pertanian padi di wilayah ini berbeda-beda sesuai
dengan tinggi genangan pada masing-masing lahan rawa lebak, karena pertanian
pada lahan rawa lebak berhubungan erat dengan keadaan iklim, maka untuk
mencapai produksi yang tinggi sangat dibatasi oleh berbagai faktor. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah: 1) keadaan hidrotopografi daerah
lebak berbeda-beda, tidak memungkinkan penanaman padi sawah lebak secara
serempak, 2) perlunya untuk menentukan waktu tanam yang tepat, 3)
penggunaan bibit lokal yang berproduksi rendah dan penggunaan bibit berumur
tua, dan 4) Perubahan cuaca yang sulit diramal, dapat merusak tanaman dalam
pertumbuhan, maupun sewaktu akan dipanen yang dapat menimbulkan
kerusakan secara total.
Pemanfaatan Rawa Lebak
1) Lebak dangkal dan Lebak Tengahan, selain padi rawa lebak juga umumnya
ditanami palawija,sayur, dan buah-buahan. Pola tanam atau tumpang sari
antara tanaman palawija, sayuran, atau buah-buahan umum dilakukan petani
pada kedua tipe lahan rawa lebak dangkal dan tengahan dengan sistem
surjan. Pada sistem surjan tanaman palawija (jagung,kedelai dan umbi-
27
umbian), sayuran (tomat, cabai, kacang panjang), atau buah-buahan
(semangka, labu kuning, mangga rawa) ditanam di surjan (tembokkan),
sedangkan bagian tabukan (ledokkan) ditanami padi. Pada musim kemarau
panjang semua sawah lebak, terutama rawa lebak dangkal dan lebak
tengahan menjadi hamparan tanaman sayuran dan buah-buahan semangka,
kacang panjang, dan kacang tanah. Tinggi guludan pada sistem surjan
adalah 50-75 cm, sedangkan lebarnya 2-3 m. Ukuran dukungan adalah
tinggi 60-75 cm dan diameter atau sisinya sekitar 2-3 m. Pada petakan
lahan yang ditata sistem surjan, pada salah satu sisinya digali saluran
berukuran dalam 0.6 m dan lebar 1 m, fungsinya adalah sebagai pengatur
kelengasan tanah pada petak sawah dan tempat hidup atau perangkap ikan
alam. Guna menyeragamkan tinggi genangan air dan kesuburan tanah di
petakan lahan, perlu dilakukan perataan lahan bersamaan dengan kegiatan
pengolahan tanah. Pada lokasi lahan lebak tengahan dan lebak dalam perlu
dibuat jaringan tata air berupa saluran besar yang menghubungkan petakan
lahan ke sungai guna mengalirkan air dari kawasan lahan ke sungai
sehingga air genangan cepat surut dan sekaligus sebagai prasarana
transpotasi. Sedangkan pada petakan lahan perlu dibuat parit berukuran
lebar 1 m dan dalam 0,6 m yang dilengkapi dengan pintu air sistem tabat
guna mengalirkan air dari petakan lahan ke saluran besar dan menampung
air pada musim kemarau untuk mengairi tanaman serta sekaligus sebagai
tempat hidup atau perangkap ikan alam. Sistem jaringan tata air iniakan
lebih baik jika dikombinasikan dengan penggunaan pompa air untuk
memanfaatkan sungai yang posisinya tidak terlalu jauh dari kawasan lahan
lebak. Penataan lahan sistem surjan atau tukungan dapat dilakukan oleh
petani tetapi perlu percontohan dan penyuluhan. Sedangkan pembuatan
jaringan tata air dan pompa hendaknya dilakukan atau dibantu oleh
pemerintah.
2) Lebak Dalam umumnya mempunyai genangan lebih dari 6 bulan atau lebih.
Pada bagian lebak dalam telah digunakan penduduk untuk padi sawah atau
budidaya perikanan dalam bentuk empang atau lebung. Untuk lebak dalam
ditanami hanya pada saat musim kemarau panjang (apabila 4-5 bulan
kering), selebihnya dibiarkan karena genangan air cukup tinggi dan
digunakan untuk perikanan tangkap, perikanan kolam,serta perikanan
keramba.
KESIMPULAN
1. Lahan rawa lebak memiliki potensi yang besar untuk dikembangakan dan
meningkatkan produksi tanaman pangan baik melalui intensifikasi usahatani
pada lahan yang sudah diusahakan. Program pengembangan produksi
tanaman pangan di lahan rawa lebak hendaknya dilakukan secara bertahap
karena memiliki berbagai kendala baik secara teknis maupun sosial ekonomi
dan kelembagaan.
34
2. Berdasarkan identifikasi dan evaluasi lahan pengembangan rawa lebak dapat
diarahkan kepada pengembangan tanaman pangan khususnya padi, sayuran,
ikan, ternak itik kerbau rawa sesuai dengan kondisi lingkungan setempat.
3. Untuk lebih meningkatkan pendapatan dan mengoptimalkan sumberdaya
hendaknya pengembangan lahan rawa diarahkan kepada usaha aneka
komoditas pengelolaan tanaman terpadu sesuai dengan wilayah dan prospek
pemasarannya.
4. Untuk meningkatkan pengembangan lahan rawa lebak secara optimal perlu
adanya koordinasi, keterpaduan dan sinkronisasi kerja antar instasi terkait.
DAFTAR PUSTAKA
.
Buurman, P., and T. Balsem. 1990. Land unit clasification for the
reconnaissance soil survey of Sumatera. Tech. Rep. No 3. LREP.CSAR.
Bogor.Direktorat Rawa. 1992. Kebijaksanaan Departemen Pekerjaan
Umum dalam Rangka Pengembangan Daerah rawa.
FAO. 1990. Guidline for Soil Description 3rd Edition revised. Rome.
Hikmatullah, V. Suwandi, Chendy, T.F., A. Hidayat, U.Affandi, dan
D.Dai. 1990. Buku Keterangan Satuan Peta Tanah, Lembar PalembangSumatera (1013),
LREP-Puslittanak.
Hutapea Y. 2004. Ragam Usaha Rumah Tangga Petani di Agroekosistem Pasang
Surut dan Lebak Sumatera Selatan.Buku I. Prosiding Seminar Lokakarya
Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik
Lokasi.Palembang, 28-29 Juni 2004.BPTP Sumatera Selatan.Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Latief D. 2004.Kualitas Sumberdaya Mineral dengan tingkat kesehatan
masyarakat.Buku I. Prosiding Seminar Lokakarya Nasional Hasil
Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi.Palembang, 28-29
Juni 2004.BPTP Sumatera Selatan.Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian.Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Rochman, J., Soejitno, Soeprapto, M. dan Suwalan. 1990. Pengendalian Hama
Tanaman Pangan Dalam Sistem Usahatani Lahan Pasang Surut.Risalah
Seminar Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Rawa. Bogor, 19 21
September 1989..
Suwarno dan T. Suhartini.1993. Perbaikan Varietas Padi Untuk menunjang
Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Lebak.Dalam Prosiding
Simposium Penelitian Tanaman Pangan III.Jakarta/Bogor, 23 25
Agustus 1993.
Sinukaban, N. 1999.Pembangunan pertanian berkelanjutan di lahan
rawa.Makalahdisampaikan pada lokakarya Nasional Optimasi
Pemanfaatan Sumberdaya lahan rawa,23-26 November 1999. Jakarta.
Widjaya Adhi,IPG. K. Nugroho, D. Ardi dan S. karama. 1998. Sumber daya
lahan pasangsurut, rawa dan pantai. Makalah disajikan pada pertemuan
nasional pengembanganpertanian lahan pasang surut dan rawa di
Cisarua, tgl 3-4 maret 1992.
35
Waluyo, Rajulis, Usman S. 2013. Pengkajian Adaptasi Varietas Unggul Baru
(VUB) PadiToleran Kekeringan dan Rendaman (produktifitas >5 t/ha) di
Lahan Rawa LebakSumatera Selatan.Laporan tahunan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP)Sumatera Selatan. 2013. (Tidak dipublikasi).
Waluyo, Yanter H, Zakiah, dan Suparwoto. 2007. Studi Identifikasi Kebutuhan
Inovasiteknologi Program Primatani di desa Kota Daro II, Kecamatan
Rantau Panjang,Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.
36
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kecamatan Pemenang merupakan daerah yang baru mengalami
pemekaran pada tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2008
tentang Pembentukan Kabupaten Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Daerah ini jarang dikenal, tetapi apabila disebutkan ketiga Gili
(Trawangan, Meno dan Air) yang terdapat di kecamatan ini maka dunia wisata
nasional dan internasional akan mengenalinya.
Kecamatan yang belum lama mengalami pemekaran ini masih
menyimpan potensi pertanian dan pariwisata yang menunjang perekonomian
masyarakat. Hal ini juga dapat mengundang masyarakat setempat maupun
pendatang untuk memanfaatkan lahan yang dinilai oleh masyarakat memiliki
potensi usaha yang prospektif sehingga tidak terlepas pula oleh penggunaan
lahan yang degradatif jika penggunaan lahan tersebut tidak sesuai dan hanya
dimanfaatkan untuk keperluan perorangan maupun kelompok. Oleh sebab itu
diperlukan perhatian yang serius agar permasalahan tidak semakin berlanjut.
Pengelolaan lahan diarahkan pada konsep pembangunan berkelanjutan
dimaksudkan bahwa pembangunan tersebut dapat digunakan oleh generasi
sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam
pembangunan berkelanjutan, kita perlu memahami adanya segitiga keberlanjutan
(Sustainable Triangle). Segitiga keberlantujan ini terdiri dari indikator
keberlanjutan antara lain aspek sosial, lingkungan dan ekonomi. Ketiga aspek
tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan saling mendukung satu dengan yang
lainnya.
Masalah pengelolaan lahan banyak ditemukan di kecamatan Pemenang
kabupaten Lombok Utara. Kesalahan dalam pengelolaan lahan ini
mengakibatkan permasalahan berupa perubahan fungsi penggunaan lahan dan
terjadinya lahan kritis yang banyak dijumpai pada daerah pegunungan dan
pengkonversian lahan pertanian menjadi lahan pemukiman. Oleh sebab itu perlu
adanya pengendaliaan penggunaan lahan. hal ini perlu dilakukan penilaian
biofisik, sosial dan ekonomi sehingga diharapkan keluaran berupa rekomendasi
yang tepat terhadap penggunaan lahan.
Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk melakukan penilaian biofisik,
sosial, dan ekonomi terhadap potensi dan permasalahan penggunaan lahan di
kecamatan Pemenang kabupaten Lombok Utara.
37
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Kecamatan Pemenang terletak di bagian utara pulau Lombok termasuk 3
Gili. Kecamatan ini terdiri dari 4 desa antara lain Malaka, Pemenang Barat,
Pemenang Timur dan Gili Indah (Trawangan, Meno dan Air). Luas wilayah
kecamatan ini yaitu 81.09 km. Kecamatan ini juga termasuk dalam bagian
kawasan Gunung Rinjani yang berbukit-bukit kecuali ketiga Gili. Kecamatan
Pemenang terdiri dari 60% hutan lindung dan hutan (rakyat). Luas kawasan 3
Gili antara lain Gili Trawangan seluas 340 ha, Gili Meno seluas 150 ha dan Gili
Air seluas 150 ha.
Kondisi topografi kecamatan pemenang pada bagian selatan ke tengah
terdapat gugusan pegunungan dengan hutan yang berfungsi sebagai penyangga
hidrologi sedangkan sepanjang pantainya ke tengah terdapat dataran rendah dan
banyak perkebunan rakyat yang diusahakan sedangkan pada bagian utara ke
tengah banyak ditemukan persawahan dan tegalan.
KESIMPULAN
Setelah melakukan penilaian biofisik, sosial, ekonomi terhadap
pemanfaatan lahan di kecamatan Pemenang maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Kabupaten Lombok Utara memiliki potensi sektor pertanian berupa
tanaman padi dan ubi kayu yang bagus untuk terus dikembangkan karena lahan
yang tersedia relatif luas dan komoditas perkebunan berupa kelapa dan jambu
mete dimana pengembangan cocok pada daerah rendah dan berproduksi tinggi.
Melihat permasalahan pengkonversian lahan pertanian menjadi
pemukiman serta lahan kritis, permasalahan ini banyak disebabkan oleh
peningkatan jumlah penduduk yang cepat, kurangnya pemahaman masyarakat
terhadap pengelolaan lahan yang tepat serta keberadaan pariwisata 3 Gili yang
mengakibatkan peningkatan pendirian pemukiman dan hotel pada lahan
pertanian dan berlereng.
REKOMENDASI
Setelah menganalisis segala potensi dan permasalahan dalam
pemanfaatan pertanian/wilayah terhadap RTRW Kabupaten Lombok Utara,
maka dapat ditawarkan rekomendasi berupa perlua adanya konsultasi publik
mengenai RTRW Kabupaten Lombok Utara karena masyarakat masih banyak
yang belum memahami rencana tata ruang wilayah mereka. Dengan adanya
konsultasi publik ini maka partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan
bisa lebih ditingkatkan.
Agar tidak terjadinya penggunaan lahan yang tidak sesuai fungsinya
maka perlu adanya pemberlakuan kearifan lokal masyarakat setempat seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu Gawe Gawah. Kearifan Lokal Berupa
gawe gawah ini sangat efektif pengaruhnya dalam menjaga hutan dan hutan adat
agar hutan tetap lestari dan mampu mempertahankan mata air yang menjadi
sumber pengairan pertanian, perkebunan, dan kebutuhan masyarakat. Hal ini
harus terus dipertahankan agar tingkat kerusakan hutan semakin ditekan.
Peningkatan jumlah penduduk berdampak pula pada kebutuhan pangan
penduduk yang semakin tinggi. Oleh sebab itu, kearifan lokal daerah Lombok
Utara berupa penggunaan Sambik bisa dimanfaatkan sebagai lumbung pangan
dikala sumber pangan berkurang akibat adanya gagal panen atau sebagainya
sehingga pemerintah tidak terlalu kesusahan dalam menyediakan kebutuhan
pangan daerah yang berimplikasi pula pada pengurangan pembukaan lahan
hutan yang bersifat degradatif dan ilegal untuk memenuhi kebutuhan pangan
mereka.
44
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Utara, 2010
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Utara, 2013
BKP, 2104. Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTB. www.bkp.ntbprov.go.id.
diakses 2014. Bogor
Kompasiana, 2011. www.kompasiana.com. diakses 2014. Bogor
Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara Nomor 9 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2011-2031
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2009 tentang
Rencana Tata Ruang Nasional
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten
Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara Barat
45
PENDAHULUAN
Latar belakang
E. F. SCHUMACHER dalam bukunya yang berjudul Small is Beautiful
yang mengulang kembali pendapat TOM DALE dan VERNON GILL CARTER
dalam Topsoil and Civilisation menyatakan sebagai berikut :
. Untuk sementara waktu manusia yang beradab itu hampir selalu
berhasil menguasai lingkungan hidupnya. Kesulitan kemudian ditimbulkannya
sendiri, karena umumnya mereka berpikir bahwa penguasaan yang sementara itu
dianggapnya sebagai penguasaan yang abadi, tanpa menyadari bahwa di
samping penguasaanya itu mereka harus berkemampuan untuk mengetahui
hukum alam sepenuhnya dan bahkan mereka kadang-kadang menganggapnya
remeh. Mereka kadang-kadang menganggap dirinya sebagai penguasa alam dan
bukan sebagai anak alam. Lingkungan hidupnya kemudian akan hancur karena
mereka mengelakan hukum alam.
Pendapat para ahli di atas itu kalau kita kaitkan dengan pendapat
THOMAS MALTHUS (pada akhir abad ke 18) adalah sejalan walaupun
MALTHUS meninjau pentingnya tanah yang dikaitkan dengan pesatnya angka
kelahiran penduduk. Ia menyatakan bahwa tidak dapat dihindari penduduk dunia
akan bertambah dengan cepat dan berada di atas kemampuan tanah dalam
memenuhi kebutuhan penduduk terutama kebutuhan pokoknya. Keadaan ini
pada gilirannya akan menimbulkan kelaparan massal dan peperangan yang
dahsyat.
Di seluruh kawasan tanah air kita masih dapat kita jumpai ratusan ribu
hektar tanah pada alang-alang dan tanah-tanah kritis akibat perlakuan dan
tindakan manusia yang mengabaikan hukum-hukum alam tersebut. Menurut Ir.
PRIBADYO SOSTROATMODJOL. A dalam bukunya yang berjudul
Pembukaan Lahan dan Pengolahan Tanah mengenai hal ini dinyatakan sebagai
berikut :
.. dalam konteks ini telah terpancar suatu situasi dimana manusia
beradab telah merusak sebagian besar tanah yang mereka diami sejak lama.
Inilah sebab utama mengapa peradabannya berpindah-pindah termasuk
bertransmigrasi ke daerah-daerah yang dianggapnya akan mampu memperbaiki
kehidupannya yang lebih baik.
Keadaan di atas memang sampai dewasa ini masih banyak terasa,
walaupun kita telah memiliki pasal 33 UUD 1945, Undang-Undang pokok
Agraria No. 5 Tahun 1960 dimana jelas ditentukan :
a. Bahwa tanah mempunyai fungsi sosial
b. Ketentuan-ketentuan pidana bagi mereka yang menelantarkan tanah
46
c.
d.
Hidrologi
Kondisi hidrologi yang dideskripsikan adalah hidrologi permukaan
(sungai), Berdasarkan luas daerah aliran sungai (DAS), di Kabupaten Maluku
Tengah dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) sistem sungai berdasar kondisi
pulaunya, yaitu sistem sungai Pulau Seram, dan sistem sungai pulau-pulau kecil.
Pada umumnya sungai-sungai yang terdapat di Pulau Seram, baik sungai besar
maupun kecil, relative bersifat perenial, artinya mengalir sepanjang tahun,
walaupun pada musim kemarau mengalami penurunan debit aliran. Sebagaimana
diketahui bahwa di Kabupaten Maluku Tengah terdapat 144 buah sungai yang
dapat digunakan masyarakat sebagai sumber air bersih maupun sebagai
pengairan lahan pertanian.
Klimatologi
Secara umum kondisi iklim di Kabupaten Maluku Tengah didominasi oleh
curah hujan yang relatif tinggi, yang ditunjukkan dengan kondisi vegetasi hutan
yang rapat dan tumbuh subur. Pada wilayah ini terbentuk tipe iklim hutan hujan
tropis, dengan curah hujan rata-rata tahunan yang tinggi. Seperti wilayah
Indonesia lainnya, di wilayah ini hanya terdapat 2 musim dalam setahun, yaitu
musim penghujan yang dimulai pada bulan Oktober dan musim kemarau yang
dimulai pada bulan April, dengan bulan basah lebih lama dibanding dengan
bulan kering. Kabupaten Maluku Tengah terletak antara Laut Pasifik dengan
Laut Banda, sehingga sering terjadi pusaran angin dan arus laut, maka pada saat
musim penghujan sering tejadi badai hujan (storm) yang sangat memungkinkan
terjadinya banjir besar.
Berdasarkan Peta Isohyet (Direktoral Jenderal Cipta Karya, 1996), curah
hujan rata-rata tahunan di Pulau Seram dan sekitarnya berkisar antara 2000-4000
mm. Curah hujan tertinggi (>4000 mm/tahun) terkonsentrasi di jalur perbukitan
bagian tengah Pulau Seram, di sekitar Tehoru. Berdasarkan klasifikasi Oldeman,
zona agroklimat di Kabupaten Maluku Tengah dapat dikelompokkan
berdasarkan kondisi fisiografinya, yaitu: (a) pada satuan dataran rendah dengan
ketinggian <500 meter dpal, temperatur udara berkisar antara 25.8-27.2C,
curah hujan antara 1.000-4.500 mm/tahun, hujan tersebar merata, jumlah bulan
basah antara 3-9 bulan basah per tahun; (b) pada satuan dataran tinggi dengan
ketinggian >500 meter dpal, temperatur udara rata-rata 26.2C, curah hujan
antara 3.000-4.000 mm/tahun, dan >9 bulan basah..
Kondisi tanah
Struktur tanah yang terdapat pada wilayah Kabupaten Maluku Tengah
cenderung serupa antara satu dengan yang lain, hal ini dikarenakan kondisi
geografis yang tidak berbeda secara signifikan antara satu pulau dengan pulau
lainnya. Struktur tanah sangat mempengaruhi keberadaan vegetasi suatu
wilayah, dengan kata lain dapat diidentifikasi struktur tanah berdasarkan jenis
vegetasi yang dapat hidup pada wilayah ini, mengingat bahwa kontur wilayah
yang merupakan indikasi tekstur ketinggian wilayah lebih mempunyai tingkat
ketepatan dalam menentukan jenis vegetasi. Sampai dengan saat ini ditemukan 7
jenis karakteristik tanah yang berbeda, tanah tersebut merupakan jenis tanah
yang dikelompokkan berdasarkan jenis vegetasi.
48
Tabel 4. 1. Jenis Tanah dan Vegetasi di Wilayah Kabupaten Maluku Tengah
Vegetasi
Jenis Tanah
Uraian
Regosol / entisol
Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan
dalam, dengan tekstur sedang, pada jenis tanah ini adalah
dan
berdrainase
sedang tanaman pertanian dominasi
sampai baik. Tanah ini kelapa, tanaman campuran,
berasosiasi dengan jenis-jenis vegetasi khusus daerah pantai
tanah aluvial, gleisol dan seperti ketapang, waru dan
kambisol.
jenis-jenis Pescapprae
Tanah ini memiliki solum Vegetasi
umumnya
Aluvial / andisol
sedang sampai dalam, dengan didominasi oleh tanaman
tekstur
sedang
dan pertanian dominasi kelapa
berdrainase buruk. Jenis dan tanaman campuran.
tanah ini berasosiasi dengan
jenis-jenis regosol, gleisol
dan kambisol.
Gleisol / oxisol
Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan
sedang sampai dalam, dengan selain pandan rawa, sagu dan
tekstur
sedang
dan mangrove, ditemukan pula
berdrainase buruk, jenis tanah tanaman pertanian dominasi
ini berasosiasi dengan jenis- kelapa
dan
tanaman
jenis tanah regosol, aluvial campuran (tanaman setahun
dan kambisol.
dan tahunan) yang menyebar
secara sporadis
Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan
Kambisol / inceptisol
dangkal
sampai
sedang adalah
hutan
sekunder,
dengan tekstur sedang sampai primer
dan
tanaman
halus dan berdrainase baik, campuran.
berasosiasi dengan jenis-jenis
tanah
litosol,
kambisol,
brunizem dan podsolik.
Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan
Rensina / mollisol
dangkal
sampai
sedang adalah
hutan
sekunder,
dengan tekstur sedang sampai primer
dan
tanaman
halus dan berdrainase baik, campuran.
berasosiasi dengan jenis-jenis
tanah
litosol,
kambisol,
brunizem dan podsolik.
Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan
Brunizem atau alfisol
tanah dalam sampai sangat adalah tanaman pertanian,
dalam, dengan tekstur halus hutan sekunder dan primer.
dan
berdrainase
baik.
Umumnya
memilki
kejenuhan basa 50 % atau
lebih. Tanah ini berasosiasi
dengan jenis-jenis tanah
litosol, rensina, kambisol dan
podsolik.
Tanah ini memiliki solum Vegetasi yang ditemukan
Podsolik atau ultisol
tanah dalam sampai sangat adalah tanaman pertanian,
dalam, dengan tekstur halus tanaman campuran (tanaman
dan berdrainase baik. Tanah tahunan dan ladang), hutan
ini berasosiasi dengan jenis- sekunder dan primer.
jenis tanah kambisl, litosol,
brunizem.
Penduduk
Penduduk Kabupaten Maluku Tengah berdasarkan hasil Sensus Penduduk
Tahun 1980, 1990, 2000, dan 2010 berjumlah masing-masing sebesar : 229,581,
295,059, 317,476, 361,698 jiwa. Dari keempat sensus penduduk tersebut dapat
pula diperoleh rata-rata pertumbuhan penduduk antara Sensus Penduduk Tahun
1980,1990, 2000, dan 2010 sebesar 2.30 %, 1.48 %, 1.03 %, dan 1.31%.
Hasil proyeksi penduduk Kabupaten Maluku Tengah tahun 2012 sebanyak
375,393 jiwa, berbeda dari tahun 2010 sebanyak 361,698 jiwa, dimana jumlah
penduduk tahun 2010 merupakan hasil Sensus Penduduk 2010. Jumlah
penduduk terbanyak berada di Kecamatan Leihitu sebesar 48,756 jiwa (12.98 %
dari jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tengah).
Gambar 4.1. Grafik jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tengah
Dusun durian
Secara tradisional masyarakat tidak mengusahakan jenis durian
dalam suatu perkebunan khusus buah durian. Dusun durian dibangun
hanya berupa suatu kebun yang ditanami berbagai jenis tanaman dan
tanaman buah durian menjadi dominan di kebun tersebut. .Buah durian
menjadi penting karena memiiki harga yang cukup tinggi dan mudah
memasarkannya.
57
Dusun langsat
Kepemilikan dusun langsat tidak dimiliki oleh semua masyarakat.
Namun hampir sebagian masyarakat yang memiliki dusun menanam jenis
ini di lahan dusunnya.
KESIMPULAN
Dalam sistem pertanian terdapat dua kendala utama yaitu kendala fisik dan
profitabilitas (keuntungan usaha). Pada kondisi ekstrim, faktor keterbatasan fisik
dapat diatasi dengan berbagai kondisi buatan. Sedangkan pada sistem produksi
pertanian yang dibatasi oleh luas areal dapat diatasi dengan pemanfaatan
teknologi. Selain teknologi, secara spasial faktor iklim juga berpengaruh
terhadap sistem produksi pertanian.Karena pada batas-batas tertentu, pengaruh
iklim dapat membatasi penggunaan lahan, mekanisasi, budidaya dan sebagainya.
Dalam perencanaan pengembangan wilayah dan pengendalian lahan
berdasarkan konsep pertanian berkelanjutan, maka tiga hal yang harus
diperhatikan adalah :
1. Dimensi sosial yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat guna
mencapai kesejahteraan sosial yang harmonis
2. Dimensi ekonomi sebagai indikator utama tingkat efisiensi dan daya saing,
besaran dan pertumbuhan nilai tambah, dan stabilitas ekonomi manusia
untuk generasi sekarang dan yang akandatang.
3. Dimensi lingkungan guna menekan kebutuhan akan stabilitas ekosistem
alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam.
Dusun merupakan sistem pengelolaan lahan yang sangat sesuai atau
mengsinergikan antara peraturan pemerintah no 41 tahun 1999 tentang
kehutanan, tujuan pembangunan Kabupaten Maluku Tengah dimana salah
satunya adalah meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam untuk
kesejahteraan masyarakat.
REKOMENDASI
Pemerintah harus berperan sebagai human kontrol sehingga masyarakat
lokal tidak dimarginalkan terhadap hak-hak sumberdaya alam yang mereka
miliki baik secara politik dan ekonomi.
Konsep dan pelaksanaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (dusun)
adalah sistim pengelolaan sumberdaya hutan yang dapat dilakukan bersama
Perum Perhutani dan masyarakat desa untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan
manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.
Pemerintah harus memposisikan hutan rakyat, hutan adat dan hutan
Negara sebagai satu kesatuan ekosistem, termasuk unsur manusia, pranata sosial,
kelembagaan, hak dan kewajiban setiap pelaku, dan kesetaraan dan pengakuan
hukum, ekonomi dan politik harus dibangun bersama-sama, dengan mengacu
kepada kepentingan individu dan kepentingan publik.
61
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra. S. Hadi. 2012. Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. UGM
Press.Yogyakarta.
Aryadi, Mahrus. 2012. Hutan Rakyat. Umm Press. Malang.
BPS. 2013. Maluku Tengah Dalam Angka.Masohi. Maluku Tengah.
BPS.2012. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Maluku Tengah.
Maluku Tengah.
Hardiyatmo. C. Hady. 2006. Penanganan Tanah Longsor Dan Erosi. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Rustiadi, E., S. Sunsun., dan P.R. Dyah. 2011. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Restpent Press. Jakarta-Indonesia.
Solahuddin, Soleh. 2009. Pertanian Harapan Masa Depan. IPB Press.BogorIndonesia.
Wattimena. A. Gustaf. Agroforestri di Maluku. proceeding Permama 2011.
Bogor
62
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi lahan untuk pengembangan pertanian di Kabupaten Merauke
sangat luas dan merupakan salah satu sentra pengembangan tanaman pangan di
Provinsi Papua. Papua, salah satu provinsi di Indonesia dengan potensi sagu
terbesar. Wilayah sebaran di Waropen Bawah, Sarmi, Asmat, Merauke, Sorong,
Jayapura, Manokwari, Bintuni, Inawatan, dan daerah yang belum
terinventarisasi.
Sagu mempunyai peranan sosial, ekonomi, dan budaya yang cukup
penting di Propinsi Papua karena merupakan bahan makanan pokok bagi
masyarakat terutama yang bermukim di daerah pesisir. Peraturan Presiden
Nomor 65 tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat (P4B) mengamanatkan bahwa dalam rangka peningkatan
perekonomian dan ketahanan pangan lokal maka sagu merupakan salah satu
komoditas yang sesuai dengan budaya dan kearifan lokal serta memiliki potensi
kesesuaian lahan untuk dikembangkan di Papua.
Pengelolaan tanaman sagu oleh masyarakat di Papua saat ini masih sebatas
untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga (subsistem) tanpa berorientasi pada
peningkatan nilai tambah melalui pengolahan lebih lanjut guna meningkatkan
perekonomian keluarga.Pengolahan sagu di Papua masih sebatas dalam
industripangan dengan pemanfaatannative starch(pati asli). Padahal produk
turunan hasil olahan sagu dapat dikembangkan menjadi beberapa makanan
diantaranya tepung sagu, bihun sagu, bubur sagu, beras sagu, aneka kue sagu
kering dan makanan kecil lain. Produk lain adalah: gula cair, biodegredable
plastic (plastik yang dapat terurai), bioetanol, pakan ternak, arang briket serta
papan partikel komposit.
Populasi tanaman sagu Papua kini mulai berkurang seiring dengan alih
fungsi kawasan menjadi areal permukiman dan peruntukan lain. Berkurangnya
populasi tanaman sagu mengakibatkan cadangan pangan lokal semakin rendah
dan bisa mengakibatkan lahan penghidupan masyarakat semakin berkurang.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mensinergikan penilaian
biofisik dengan pembangunan.
63
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Kondisi Geografis
Kabupaten Merauke merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi
Papua, terletak dibagian selatan yang memiliki wilayah terluas diantara
kabupaten/kota di Provinsi Papua. Secara geografis letak Kabupaten Merauke
berada antara 137-141BT dan 5-9 LS, dengan luas wilayah 46,791.63
km.Sebagian besar wilayah Kabupaten Merauke terdiri dari daratan rendah dan
berawa, luas areal rawa 1,425,000 ha dan daratan tinggi di beberapa kecamatan
padalaman bagian utara.
Kabupaten Merauke terletak paling timur wilayah nusantara dengan batasbatas sebagai
berikut :
a) Sebelah Utara dengan Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Mappi
b) Sebelah Timur dengan Negara Papua New Guinea
c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura
d) Barat berbatasan dengan Laut Arafura
Topografi
Keadaan topografi Kabupaten Merauke umumnya datar dan berawa di
sepanjang pantai dengan kemiringan 0-3% dan kearah utara yakni mulai dari
Distrik Tanah Miring, Jagebob, Elikobel, Muting dan Ulilin keadaan
topografinya bergelombang dengan kemiringan 0-8%.
Klimatologi
Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman wilayah Kabupaten Merauke
berada pada zona (Agroclimate Zone C) yang memiliki masa basah antara 5-6
bulan. Dataran Merauke mempunyai karakteristik iklim yang agak khusus yang
mana curah hujan yang terjadi dipengaruhi oleh Angin Muson, baik Muson
Barat-Barat Laut (Angin Muson Basah) dan Muson Timur-Timur Tenggara
(Angin Muson Kering) dan juga dipengaruhi oleh kondisi Topografi dan elevasi
daerah setempat.
Curah hujan pertahun di Kabupaten Merauke rata-rata mencapai 1,558.7
mm. Kecepatan angin hampir sama sepanjang tahun; di daerah pantai bertiup
cukup kencang sekitar 4-5 m/det dan di pedalaman berkisar 2 m/detik. Tingkat
kelembapan udara cukup tinggi karena dipengaruhi oleh iklim Tropis Basah,
kelembapan rata-rata berkisar antara 78-81%.
Hidrologi
Sungai-sungai besar yakni Bian, Digul, Maro, Yuliana, Lorents, dan
Kumbe merupakan potensi sumber air tawar untuk pengairan dan digunakan
sebagai prasarana angkutan antara kecamatan dan desa-desa. Sumber air tawar
dari rawa-rawa, air permukaan dan air tanah cukup tersedia untuk dimanfaatkan.
Jenis Tanah
Jenis tanah yang terdapat di wilayah Kabupaten Merauke terdiri atas tanah
histosol, entisol, dan ultisol yang terdapat di daerah-daerah rawa dan payau.
Jenis tanah ini terbentuk dari bahan induk batuan sedimen yang menyebar di
wilayah distrik Okaba, Merauke dan Kimaam.
64
Demografi
Penyebaran dan kepadatan penduduk pada dasarnya dipengaruhi oleh
faktor lokasi, potensi dan kemudahan hubungan antara lokasi tersebut.
2
Kabupaten Merauke dengan luas wilayah 46,791.63 Km , tingkat kemudahan
hubungannya masih tergolong relatif rendah. Konsentrasi penduduk masih
dominan tinggal di daerah perkotaan dan kampung-kampung transmigrasi.
Jumlah penduduk Kabupaten Merauke per tanggal 31 Desember 2011, menurut
pendataan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berjumlah 239,943 Jiwa.
Produksi Tepung
Basah
(kg/batang)
400
400-700
300-375
360-500
400-500
300-400
90-325
137,7
150-200
138-367
200-300
300
200-450
175-210
300-400
Produksi
Bioetanol
(kL/ha)
6.4
3.8
3
12.2
KESIMPULAN
Secara penilaian biofisik, sosial dan ekonomi wilayah Kabupaten Merauke
berpotensi untuk pengembangan tanaman sagu. Populasi tanaman sagu Papua
kini mulai berkurang seiring dengan alih fungsi kawasan menjadi areal
permukiman dan peruntukan lain. Berkurangnya populasi tanaman sagu
mengakibatkan cadangan pangan lokal semakin rendah dan bisa mengakibatkan
lahan penghidupan masyarakat semakin berkurang. Oleh karena itu,
pengembangan tanaman sagu tidak bermaksud menggeser pola makan
masyarakat Papua dari beras untuk kembali ke sagu, namun lebih ke arah
ketahanan pangan lokal dan peningkatan ekonomi masyarakat.
Konsep ini merupakan cara pengembangan dengan memperhatikan
kearifan lokal masyarakat asli Papua dimana sagu merupakan makanan pokok
serta produk budaya. Selain sebagai bahan pangan pokok, sagu bisa digunakan
sebagai bahan baku agroindustry yang berperan dalam peningkatan pendapatan
69
masyarakat melalui penciptaan kesempatan kerja sekaligus penciptaan nilai
tambah.
REKOMENDASI
Melihat potensi wilayah yang ada dengan kondisi biofisiknya maka
kabupaten Merauke perlu melakukan pengembangan di sektor tanaman sagu.
Sektor ini mempunyai peluang pengembangan yang sama dengan sektor
pertanian lainnya bila lebih dioptimakan sehingga tanaman sagu dengan tanaman
lainnya bisa diintegrasikan. Oleh sebab itu perlu investasi terbuka untuk
melakukan kemitraan dengan perusahaan pemasaran yang sudah ada di tingkat
provinsi maupun nasional.Namun demikian, pengelolaannya diarahkan melalui
pembudidayaan sagu yang lebih intensif dengan tetap memperhatikan kearifan
lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Alfons, J. B., 2011. Reklamasi Lahan Sagu Mendukung Usahatani Berbasis
Sagu di Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian 7(2):87-93.
Djaenudin, D. 2007. Potensi Sumber Daya Lahan untuk Perluasan Areal
Tanaman Pangan di Kabupaten Merauke.Iptek Tanaman Pangan 2(2):180194
Kanro, M. Z., A. Rouw, A. Widjono, Syamsudin, Amisnaipa, dan Atekan. 2003.
Tanaman Sagu dan Potensinya di Papua.Jurnal Litbang Pertanian
22(3):116-124.
Marfai, MA dan A. Cahyadi.2012. Kajian Kesesuaian Lahan untuk Mendukung
Pengembangan Komoditas Pertanian di Wilayah Perbatasan Negara
Republik Indonesia (Studi Kasus di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua).
Jurnal Bumi Lestari, Volume 12(2):260 267.
Pemerintah Kabupaten Merauke. 2004. Profil investasi Kabupaten Merauke
Provinsi Papua. Merauke.38 hal.
Prasetyo, LB., IBK Wedastara, PT Maulinda. 2012. Pemetaan Sebaran Carbon
Di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Kerja sama Fakultas Kehutanan
IPB dengan WWF Indonesia. Jakarta. 39 hal.
Rante, Y. 2012. Pengembangan, Peningkatan Daya Saing Produk Agribisnis dan
Agroindustri di Kabupaten Keerom Provinsi Papua Guna Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat Serta Menunjang Ekspor Non Migas Indonesia dalam
Era Perdagangan Bebas.Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis
3(1):87-112.
Syakir, M. dan E. Karmawati.2013. Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon spp.)
sebagai Bahan Baku Bioenergi.Perspektif 12(2):57-66.
Tarigan, H dan E. Ariningsih. 2007. Peluang dan Kendala Pengembangan
Agroindustri Sagu di Kabupaten Jayapura. Prosiding Seminar Nasional
Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Mencari Alternatif
Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian.Hal.135-140.
70
71
BAB III
PENUTUP
72
73
Kesimpulan Umum
Konsep pengelolaan klasik yang hanya menitikberatkan pada keuntungan
ekonomi menyebabkan eksploitasi lahan yang berlebihan mengakibatkan
penurunan daya dukung lahan dan kerusakan lingkungan. Seharusnya
pengelolaan tanah dan lahan merupakan suatu konsep manajemen yang bersifat
komprehensif dimana dalam penerapannya dapat mengsinergikan antara
berbagai faktor-faktor yang melekat pada suatu lahan antara lain sifat biofisik,
lingkungan sosial dan budaya masyarakat di sekitar lahan, dan nilai ekonomi
lahan tersebut. Dengan konsep baru ini, pengelolaan lahan dilakukan secara
berimbang dan menyesuaikan dengan potensi dan kesesuaian terhadap daerah
masing-masing. Pengelolaan tanah dan lahan perlu mengadopsi sistem budidaya
yang bersifat lebih fleksibel dan ramah lingkungan. Aturan adat dan kearifan
lokal juga dapat menjadi bagian dari suatu sistem pengelolaan tanah dan lahan
yang ramah lingkungan. Setiap daerah di Indonesia memiliki kondisi lingkungan
biofisik, sosial budaya dan ekologi yang khas, maka dalam melakukan
pengelolaan lahannya juga memiliki suatu sistem yang khas dan spesifik lokasi
tersebut.
Rekomendasi Umum
Berdasarkan hasil pengkajian konsep-konsep pengelolaan tanah dan lahan
pada berbagai daerah yang telah dipaparkan pada isi makalah, dalam lingkup
pengelolaan tanah dan lahan maka dapat diambil suatu rekomendasi usaha-usaha
yang dapat dilakukan antara lain;
1. Dalam rangka untuk menjaga stabilitas dan ketahanan pangan nasional,
Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam konsep pengelolaan lahan
diantaranya dengan melakukan intensifikasi pertanian melaui adopsi
sistem budidaya Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT)
padi. Sistem budidaya ini terbukti mampu meningkatkan hasil produksi
padi sawah. Sistem PTT padi juga dapat diterapkan di lahan rawa
pasang surut dan rawa lebak tentunya dengan sentuhan teknologi yang
berbeda dan menyesuaikan dengan kondisi sosial dan agroekosistem
lahan rawa.
Cara kedua adalah dengan melakukan ekstensifikasi lahan pertanian,
yaitu dengan mencetak sawah-sawah baru di lahan marginal seperti
lahan rawa dan lahan gambut. Indonesia memiliki luasan lahan rawa
yang luas seperti di daerah sumatera bagian timur dan kalimantan
bagian selatan yang sudah sejak puluhan tahun yang lalu telah
dimanfaatkan secara lokal sebagai lahan pertanian di lahan basah.
Daerah papua, memiliki potensi pembukaan lahan rawa menjadi lahan
pertanian baru.
Cara ketiga adalah dengan mengoptimalkan produksi pangan alternatif
selain beras, dalam hal ini adalah sagu. Masyarakat Indonesia daerah
timur pada dasarnya menjadikan sagu sebagai makanan pokoknya.
Perlu adanya pencetakkan lahan perkebunan sagu terutama di Provinsi
papua yang memiliki ketersediaan lahan yang luas dan kondisi
74
agroekosistem yang cocok untuk budidaya sagu. Perlu diketahui bahwa
usaha ini dilakukan bukan untuk memaksa secara tidak langsung
penduduk Indonesia untuk makan sagu sebagai pengganti beras, tetapi
usaha ini dilakukan untuk menambah produksi tanaman pangan agar
neraca pangan nasional lebih berimbang. Tidak hanya sagu, komoditi
lain seperti jagung, sorgum, ubi jalar dan ketela pohon juga dapat
menjadi alternatif untuk menyumbang produksi pangan nasional.
2. Dalam rangka untuk menjaga kelestarian lahan dan lingkungan lokal,
Pemerintah dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan harus mampu
membuat dan melaksanakan suatu peraturan perundangan yang bersifat
mengikat semua pihak dalam menjaga dan melindungi kelestarian dan
keberlanjutan lahan-lahan pertanian di Indonesia
Praktek pengelolaan lahan yang dilakukan harus sinergis antar berbagai
kepentingan baik pemerintah, pengguna lahan, dan potensi dari lahan
tersebut sehingga arah pengelolaan yang terbentuk dapat berkelanjutan
secara ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan
Salah satu alternatif lain dalam penerapan aturan yang dapat menjaga
kelestarian lahan dan lingkungan adalah dengan menerapkan aturanaturan adat dan
pengetahuan lokal (kearifan lokal) pada daerah-daerah
di Indonesia yang masih kental akan hukum adat. Setiap daerah di
Indonesia pasti memiliki suatu aturan adat yang khas dan bersifat turuntemurun
serta dipatuhi oleh msyarakat adat. Juga adanya pengetahuan
lokal dalam budidaya pertanian dapat menjadi alternatif bagian dari
suatu sistem pengelolaan tanah dan lahan yang lebih ramah lingkungan.