PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF) sampai saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah pasien serta
semakin luas penyebarannya. Penyakit DBD ini ditemukan hampir di seluruh
belahan dunia terutama di negara-negara tropik (Pakistan, Cina, India dan
semua Negara Asia) dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun
epidemic. Hasil studi epidemiologik menunjukkan bahwa DBD menyerang
kelompok umur balita sampai dengan umur sekitar 15 tahun yang ditularkan
melalui vektor Aedes aegypti.1
Infeksi virus Dengue terus mengalami peningkatan prevalensi. Setiap
tahunnya diperkirakan terdapat 50 juta-100 juta kasus DBD dan diperkirakan
sekitar 2,5 miliar orang atau dua perlima populasi penduduk di dunia beresiko
terserang DBD. Dari data dunia menunjukkan Asia menempati urutan
pertama dalam jumlah penderita DBD tiap tahunnya.1,2
Menurut World Health Organization (WHO), Indonesia tercatat sebagai
negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara terhitung sejak tahun
1968 hingga tahun 2009. Indonesia termasuk negara endemis DBD yang
setiap tahun selalu terjadi kejadian luar biasa (KLB) di berbagai kota.
Sampai saat ini demam berdarah telah ditemukan di seluruh propinsi di
Indonesia, dan lebih dari 200 kota telah melaporkan adanya Kejadian
Luar Biasa (KLB).2
Jawa tengah merupakan wilayah tertinggi kasus kejadian DBD,
pada tahun terakhir 2012 jumlah kasus penderita DBD mencapai 6.988.
CFR dan ABJ Jawa Tengah tahun 2009 mengalami peningkatan dari pada
tahun 2008, yaitu CFR sebesar 1,19% dan ABJ sebesar 73,57% pada tahun
2008. Badan (Pusat Statistik Kota Semarang, 2011). Semarang sebagai
provinsi Jawa Tengah selama 10 tahun terakhir, tren kasus DBD cenderung
meningkat. Sepanjang tahun 2009, sebanyak 22 orang telah meninggal dari
1.754 kasus penyakit demam berdarah dengue di Kota Semarang.3
1
Kota Semarang menduduki peringkat pertama angka kesakitan DBD
di Jawa Tengah selama tiga tahun berturut-turut, yaitu pada tahun 2008-
2010. ABJ di Kota Semarang mengalami peningkatan dari tahun 2009-
2011 yaitu sebesar 84,69% pada tahun 2009, 84,77% tahun 2010 dan
91,35% tahun 2011 (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,2009).
Keadaan ini berdasarkan data dari dinas kesehatan kota Semarang
kasus Demam Berdarah di kota Semarang, pada tahun terakhir 2012
jumlah kasus penderita demam berdarah dengue (DBD) mencapai 1.250.
Tahun 2012 IR (Incident Rate) DBD Kota Semarang tiga kali lebih tinggi
dari IR DBD Jawa Tengah.2,3
Di Semarang tahun 2013 jumlah kasus DBD sejumlah 2.364 kasus
atau naik 89,11% dari 1.250 kasus pada tahun 2012. Jumlah kematian pada
tahun 2013, 27 kasus atau naik 22,73% dari tahun 2012 yang berjumlah 22
kasus. Incidence Rate (IR) DBD Kota Semarang dari tahun 2006 sampai
dengan tahun 2013 selalu jauh lebih tinggi dari IR DBD Jawa Tengah dan IR
DBD Nasional. Incidence Rate DBD Kecamatan Tembalang dengan 218,20
per 100.000 penduduk kembali menduduki peringkat IR DBD Kecamatan
Tertinggi Kota Semarang setelah pada tahun 2012 berada diperingkat ketiga.
Pada urutan kedua Kecamatan Ngaliyan dengan IR 217 dan Kecamatan
Genuk diurutan ketiga dengan IR DBD 195,52.3
Pada tahun 2011, Tembalang tercatat sebagai Kelurahan endemis
DBD di Kota Semarang yang selalu menempati masing-masing urutan
pertama berdasarkan IR (Incident Rate) dalam kasus DBD sejak 3 tahun
terakhir.3 Pada awal tahun 2015, tiga Kelurahan di Kota Semarang salah
satunya Kelurahan tembalang masuk dalam kategori Kejadian Luar Biasa
Demam Berdarah Dengue (DBD). Hal tersebut terjadi karena dalam rentang
waktu kurang dari empat bulan terdapat 929 kasus DBD, tercatat jumlah
kasus bulan Januari hingga April mencapai 326 kasus dan sekarang sudah
mencapai 929 kasus. Berdasarkan data DKK Semarang, peningkatan jumlah
kasus yang terjadi hampir 300 persen. Kelurahan Tembalang pada Januari
2015 ada 55 penderita.
Nyamuk Aedes aegypti tidak dapat berkembang biak di genangan air
yang langsung berhubungan dengan tanah. Saat nyamuk sudah siap
bertelur, maka akan mencari tempat-tempat penampungan air bersih di
2
sekitar rumah yang tidak berhubungan langsung dengan tanah, seperti bak
air, kaleng bekas dan vas bunga. Namun menurut penelitian Palupi Susanti
sumur gali memungkinkan untuk menjadi tempat hidup larva nyamuk Aedes.
Dalam penelitian tersebut 17% sumur gali di wilayah Bulusan Semarang
positif mengandung larva. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Adifian yang
menyatakan bahwa kemungkinan larva Aedes aegepty hidup dalam air
sumur gali sebesar 16,54% sedangkan kemungkinan hidup Aedes albopictus
sebesar 9,33%. 1,4
Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor iklim,
khususnya curah hujan. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) perlu
diwaspadai karena penularan penyakit seperti ini akan makin meningkat
dengan curah hujan. Di banyak negara tropis penyakit ini merupakan
penyebab kematian utama.4
B. Rumusan Masalah
Infeksi virus Dengue terus mengalami peningkatan prevalensi.
Incidence Rate (IR) DBD Kota Semarang dari tahun 2006 sampai dengan
tahun 2013 selalu jauh lebih tinggi dari IR DBD Jawa Tengah dan IR DBD
Nasional serta penemuan bahwa sumur gali memungkinkan untuk menjadi
tempat hidup larva. Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor
iklim, khususnya curah hujan. Penyakit seperti malaria dan Demam Berdarah
Dengue (DBD) perlu diwaspadai karena penularan penyakit seperti ini akan
makin meningkat dengan perubahan iklim. Berdasarkan latar belakang
tersebut maka pertanyaan penelitian yang diajukan yaitu bagaimakah
distribusi kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan pemetaan
curah hujan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti pada sumur gali di
Kecamatan Tembalang Tahun 2014?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
distribusi kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan
pemetaan curah hujan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti pada
sumur gali di Kecamatan Tembalang Tahun 2014.
3
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan gambaran umum wilayah Kecamatan Tembalang
Semarang.
b. Menganalisis distribusi kasus DBD berdasarkan curah hujan dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti pada sumur gali di Kecamatan
Tembalang Semarang.
c. Memetakan distribusi kasus DBD berdasarkan curah hujan dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti pada sumur gali di Kecamatan
Tembalang Semarang.
D. Manfaat
1. Bagi Dinas Kesehatan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan bahan
pertimbangan dalam melakukan perencanaan kegiatan penanggulangan
DBD di Kecamatan Tembalang.
2. Bagi Masyarakat
Sebagai bahan informasi tentang pentingnya sanitasi lingkungan dan
pengendalian vektor DBD.
3. Bagi Peneliti Lain
Sebagai referensi atau sumber informasi dalam melakukan penelitian
lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Sebelah Utara :Kecamatan Candisari dan Kecamatan Pedurungan
Sebelah Timur :Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak
Sebelah Selatan :Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang dan
Kecamatan Banyumanik
Sebelah Barat :Kecamatan Banyumanik Demam Berdarah Dengue
(DBD)
Luas wilayah Kecamatan Tembalang + 3.871,765 Ha. Secara umum
Kecamatan Tembalang merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan
100 m- 350 m DRL. Daerah perbukitan memiliki kemiringan tanah antara
30% - 75%, suhu udara rata-rata 23% - 34%, dengan curah hujan rata-
rata 29,6 mm/th. Kecamatan Tembalang terbagi dalam 12 Kelurahan,
yakni:
a. Kelurahan Tembalang g. Kelurahan Kedungmundu
b. Kelurahan Kramas h. Kelurahan Sambiroto
c. Kelurahan Bulusan i. Kelurahan Sendangmulyo
d. Kelurahan Jangli j. Kelurahan Rowosari
e. Kelurahan Tandang k. Kelurahan Mangunsari
f. Kelurahan Sendangguwo l. Kelurahan Meteseh
2. Kondisi Demografi
Jumlah penduduk di Kecamatan Tembalang bulan Oktober tahun
2014 tercatat + 145.991 jiwa dengan jumlah penduduk laki - laki: 73.810
orang dan perempuan: 72.181 orang. Luas wilayah + 3.871.765 Ha.
Kepadatan penduduk di Kecamatan Tembalang + 2.511 orang/Km2,
sedangkan laju pertumbuhan penduduk 3,7% tahun. Berikut luas kelruhan
di Kecamatan Tembalang:
5
i. Kelurahan Mangunharjo : 303,25 ha
1. Definisi
Demam berdarah atau demam dengue (disingkat DBD) adalah infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue.Nyamuk atau beberapa jenis nyamuk
menularkan (atau menyebarkan) virus dengue. Demam dengue juga
disebut sebagai "breakbone fever" atau "bonebreak fever" (demam
sendi), karena demam tersebut dapat menyebabkan penderitanya
mengalami nyeri hebat seakan-akan tulang mereka patah.4
Sekira 80% dari pasien (atau 8 dari 10 pasien) yang terinfeksi virus
dengue tidak menunjukkan gejala, atau hanya menunjukkan gejala ringan
(seperti demam biasa).4,5,6 Sekira 5% dari orang yang terinfeksi (atau 5
dari 100) akan mengalami infeksi berat. Penyakit tersebut bahkan
mengancam jiwa sedikit dari mereka.Pada sebagian kecil penderita ini,
penyakit tersebut mengancam jiwa.4,6 Gejala akan muncul antara 3 dan
14 hari setelah seseorang terpajan virus dengue. Seringkali gejala muncul
setelah 4 hingga 7 hari.10
2. Gejala
Gejala klasik demam dengue adalah demam yang terjadi secara tiba-
tiba; sakit kepala (biasanya di belakang mata), ruam, nyeri otot dan nyeri
6
sendi.Julukan "demam sendi" untuk penyakit ini menggambarkan betapa
rasa sakit yang ditimbulkannya dapat menjadi sangat parah.7 Demam
dengue terjadi dalam tiga tahap: demam, kritis, dan pemulihan.11
Pada fase demam, seseorang biasanya mengalami demam tinggi.
Panas badan seringkali mencapai 40oC (104oF). Penderita juga biasanya
menderita sakit yang umum atau sakit kepala. Fase febrile biasanya
berlangsung selama 2 hingga 7 hari.10,11 Pada fase ini, sekira 50 hingga
80% pasien dengan gejala mengalami ruam.10,12 Pada hari pertama atau
kedua, ruam akan tampak seperti kulit yang terkena panas (merah).
Selanjutnya (pada hari ke-4 hingga hari ke-7), ruam tersebut akan tampak
seperti campak.12,13 Bintik merah kecil (petechiae) dapat muncul di kulit.
Bintik-bintik ini tidak hilang jika kulit ditekan.Bintik-bintik ini disebabkan
oleh pembuluh kapiler yang pecah. Penderita mungkin juga mengalami
perdarahan ringan membran mukus mulut dan hidung.8,10 Demam itu
sendiri cenderung akan berhenti (pulih) kemudian terjadi lagi selama satu
atau dua hari. Namun, pola ini berbeda-beda pada masing-masing
penderita.13,14
Pada beberapa penderita, penyakit berkembang ke fase kritis setelah
demam tinggi mereda.Fase kritis tersebut biasanya berlangsung selama
hingga 2 hari. Selama fase ini, cairan dapat menumpuk di dada dan
abdomen. Hal ini terjadi karena pembuluh darah kecil bocor. Cairan
tersebut akan semakin banyak, kemudian cairan berhenti bersirkulasi di
dalam tubuh. Ini berarti bahwa organ-organ vital (terpenting) tidak
mendapatkan suplai darah sebanyak biasanya. Karena itu, organ-organ
tersebut tidak bekerja secara normal. Penderita penyakit tersebut juga
dapat mengalami perdarahan parah (biasanya dari saluran
8,11
gastrointestinal).
Kurang dari 5% dari orang dengan dengue mengalami renjat
peredaran darah, sindrom renjat dengue, dan demam berdarah. 8 Jika
seseorang pernah mengidap jenis dengue yang lain (infeksi sekunder),
kemungkinan mereka akan mengalami masalah yang serius.8,15
Pada fase penyembuhan, cairan yang keluar dari pembuluh darah
diambil kembali ke dalam aliran darah. Fase penyembuhan biasanya
berlangsung selama 2 hingga 3 hari. Pasien biasanya semakin pulih
dalam tahap ini. Namun, mereka mungkin menderita gatal-gatal yang
7
parah dan detak jantung yang lemah.8 Selama fase ini, pasien dapat
mengalami kondisi kelebihan cairan (yakni terlalu banyak cairan yang
diambil kembali). Jika terkena otak, cairan tersebut dapat menyebabkan
kejang atau perubahan derajat kesadaran (yakni seseorang yang
pikirannya, kesadarannya, dan perilakunya tidak seperti biasanya).8,11
3. Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD)
Gambar 2.2 Virus Dengue (the cluster of dark dots near the center)
8
Gambar 2.3. Aedes aegypti
Sumber: Fauna Indonesia ISSN 0216-9169, 2012
a. Klasifikasi Aedes aegypti
Aedes aegypti dalam taksonomi merupakan
Golongan :Animalia,
Filum :Arthropoda
Kelas :Insect
Ordo :Diptera
Famili :Culicidae
Subfamili :Culicinae
Genus :Aedes
Spesies :Aedes aegypti17
b. Morfologi Aedes aegypti.
1) Telur Aedes aegypti
Setiap hari nyamuk Aedes aegypti betina dapat bertelur
rata-rata 100-150 butir. Telurnya berwarna hitam, oval, terpisah
satu dengan yang lain dan diletakkan di dinding wadah air,
biasanya dibagian atas permukaan air. Apabila wadah air ini
mengering, telur bisa tahan selama beberapa minggu atau
bahkan bulan.13 Sedangkan, menurut Herms (2006), telur
nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang,
berwarna hitam, berukuran 0,5-0,8 mm, dan tidak memiliki alat
pelampung.16,17,18
Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur-telurnya satu per
satu padaSebagian besar nyamuk Aedes aegypti betina
meletakkan telurnya di beberapa sarang selama satu kali
siklus gonotropik. Perkembangan embrio biasanya selesai
dalam 48 jam di lingkungan yang hangat dan lembab. Telur
akan menetas menjadi larva ketika wadah air tersebut berisi air
lagi dan menutupi seluruh bagian telur.19
9
2) Larva Aedes aegypti
Larva Aedes aegypti mempunyai tubuh memanjang,
tanpa kaki, tidak berlengan, dadanya lebih lebar dari kepala
dan terdapat rambut-rambut sederhana yang tersusun
bilateral simetris. Kepala berkembang baik dengan sepasang
antena dan mata majemuk, serta sikat mulut yang menonjol.
Pada segmen kepala, larva memiliki 2-4 cabang midfrontal
hairs dan inner frontal hairs.16
Perut terdiri dari 8 ruas, pada segmen terakhir dilengkapi
dengan tabung udara (sipon) yang pendek dan berbentuk
silinder untuk bernafas, diatas siphon terdapat sepasang
siphonic tufts. Larva Aedes aegypti di setiap sisi abdomen
segmen kedelapan ada 2-3 deret comb scale yang seperti
duri, dan memiliki lebih dari empat pecten serta sepasang
rambut dan jumbai. Pada segmen-segmen abdomen tidak
dijumpai adanya rambut-rambut berbentuk kipas (palmate
hairs).20
Larva-larva nyamuk dapat terlihat berenang naik turun di
tempat-tempat penampungan air tersebut.18 Stadium ini larva
akan aktif makan dan waktu istirahat posisi larva akan
membentuk sudut (vertikal) dengan bidang dengan permukaan
air sekitar 300C-450C.21
10
Gambar 2.6. Larva Aedes aegypti ketika istirahat
Sumber: Habitat Jentik Aedes aegypti pada Air Terpolusi di
Laboratorium, 2010
Larva mengalami empat kali pergantian kulit (ecdysis), dan
larva yang terbentuk berturut-turut disebut instar I, II, III, dan IV.
Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-
2 mm, duri-duri pada thorax belum begitu jelas, dan siphon belum
menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm,
duri thorax belum jelas, dan siphon sudah berwarna hitam. Pada
saat larva instar II mengambil oksigen dari udara, larva instar II
menempatkan siphon pada permukaan air seolah-olah badan larva
berada pada posisi membentuk sudut, larva instar III dalam
bergerak tidak terlalu aktif. Larva instar IV telah lengkap struktur
anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala,
dada dan perut. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak
sangat lincah, bersifat fototaksis negatif, dan waktu istirahat
membentuk sudut. 23
3) Pupa Aedes aegypti
Larva dalam kondisi yang sesuai akan berkembang dalam
waktu 6-8 hari, dan berubah menjadi pupa. Pupa Aedes aegypti
berbentuk seperti tanda baca koma. Pupa memiliki bentuk tubuh
yang bengkok, dengan bagian kepala-dada lebih besar bila
dibandingkan dengan bagian perutnya. Kepala dan dadanya
bersatu dan terdapat alat bernapasan seperti terompet.23
Pada segmen abdomen ke-8 terdapat sepasang alat
pengayuh yang berguna untuk berenang. Bila terganggu pupa
akan berenang naik turun dalam wadah air.Stadium pupa adalah
stadium tidak makan dan waktu istirahat posisi pupa sejajar
dengan bidang permukaan air. Pupa bertahan selama dua hari
11
sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa. Sehingga total
siklus hidup Aedes aegypti diselesaikan selama 9-12 hari.16
12
putih memanjang, tibia semua hitam, tarsi belakang berlingkar
putih, pada segmen basal kesatu sampai keempat dan
segmen kelima berwarna putih.18 Pada kakinya terdapat
gelan-gelang berwarna putih. Bentuk abdomen nyamuk
betina lancip ujungnya dan memiliki cerci yang lebih panjang
dari pada cerci nyamuk-nyamuk lainnya.19
c.Siklus Hidup
Aedes aegypti berkembang biak pada penampungan air yang
tidak beralaskan tahan seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga,
sumur gali dan barang bekas yang dapat menampung air hujan. Aedes
aegypti mengalami metamorfosis sempurna dalam hidupnya sebelum
menjadi nyamuk dewasa.4,19
Metamorfosis dimulai dari telur kemudian menjadi larva yang
terdiri dari empat instar.Terdapat empat tahapan dalam perkembangan
larva yang disebut instar. Perkembangan dari instar satu ke instar
empat memerlukan waktu sekitar 6-8 hari. Lamanya perkembangan
larva akan bergantung pada suhu, ketersediaan makanan, dan
kepadatan larva pada sarang. Pada kondisi optimum, waktu yang
dibutuhkan mulai dari penetasan sampai kemunculan nyamuk dewasa
akan berlangsung sedikitnya selama 7 hari, termasuk dua hari untuk
masa menjadi pupa. Pada suhu rendah, dibutuhkan beberapa minggu
untuk kemunculan nyamuk dewasa. Kemudian larva tersebut
berkembang menjadi pupa dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa
(jantan dan betina).5,20
Aedes aegypti, meletakkan telur pada permukaan air bersih
secara individual. Setiap hari Aedes betina dapat bertelur rata-rata 100
butir. Setelah dua hari telur menetas menjadi larva lalu mengalami
pengelupasan kulit sebanyak empat kali, tumbuh menjadi pupa dan
akhirnya menjadi dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai menjadi
dewasa memerlukan waktu sekitar 9-12 hari. Keberhasilan untuk
menjadi imago ditentukan oleh kandungan air kontainer seperti bahan
organic,komunitas mikroba, dan serangga air yang ada dalam
kontainer itu juga berpengaruh terhadap siklus hidup Aedes aegypt.
23,24
13
Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti adalah genangan air
yang tertampung di wadah atau biasa disebut kontainer, dan bukan
pada genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah.
Kontainer tempat perindukan ini dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Tempat penampungan air (TPA), yaitu tempat untuk menampung
air guna keperluan seharihari seperti tempayan, bak mandi, bak
WC, ember, dan lainlain.
2. Bukan TPA, seperti tempat minum hewan peliharaan, barang
barang bekas (ban bekas, kaleng bekas, botol, pecahan
piring/gelas), vas bunga, dll.
3. Tempat penampungan air alami (natural/alamiah) misalnya
tempurung kelapa, lubang di pohon, pelepah daun, lubang batu,
potongan bambu, kulit kerang dll. Kontainer ini pada umumnya
ditemukan diluar rumah.23
Nyamuk Aedes aegypti dewasa menggigit lebih banyak pada
siang hari, antara pukul 08.0012.00 dan pukul 15.0017.00. Sangat
menyukai darah manusia dan biasa menggigit beberapa kali, keadaan
ini sangat membantu nyamuk Aedes aegypti dalam memindahkan
virus dengue ke beberapa orang sekaligus. Tempat yang disenangi
nyamuk untuk beristirahat selama menunggu waktu pematangan telur
adalah tempattempat yang gelap, lembab dan sedikit dingin.25,26,27
Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub
tropis, biasanya antara 350 lintang utara dan 350 lintang selatan.
Pada ketinggian 1200 meter dan 1500 meter masih ditemukan habitat
nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti adalah nyamuk yang
aktivitasnya diantara pemukiman penduduk dan mampu terbang
mencapai 100 meter dari tempat perindukannya.25
Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti berupa air yang
jernih dan tenang, tergenang dalam wadah, baik dalam rumah
maupun di luar rumah.23 Nyamuk ini lebih menyukai kontainer yang
berwarna gelap, terbuka dan tempat-tempat yang terlindung sinar
matahari langsung serta tidak berhubungan dengan tanah, sehingga
tempat tersebut sering ditemui telur Aedes aegypti. Telur diletakkan
di dinding kontainer di atas permukaan air. Bila kena air akan
menetas menjadi larva.27
14
Sonoto pada tahun 2009 bahwa Aedes aegypti sp. juga mau
bertelur pada ovitrap yang diisi air sumur gali dan air comberan (got)
yang berasal dari limbah rumah tangga. Bahkan jumlah telur yang
ditemukan tidak berbeda secara nyata antara ovitrap berisi air hujan
dan air selokan.28
Sumur gali adalah salah satu sarana air bersih yang mempunyai
resiko pencemaran yang sangat tinggi hal ini disebabkan karena
konstruksi yang memang memungkinkan terjadinya pencemaran
sangat besar, selain itu juga membutuhkan pemeliharaan yang
teratur.
Sumur gali memiliki peluang besar sebagai tempat perindukan
nyamuk penyebar demam berdarah dengue. Aedes aegvpti betina
tidak akan terganggu apabila ingin meletakkan telurnya di dalam
sumur, apalagi kualitasair sumur umumnya sangat cocok untuk
perkembangan larva dan pupa nyamuk. Disamping rata-rata relatif
jernih, salinitas dan kandungan bahan organiknya rendah, hasil
pengukuran pH air sumur menunjukkan kurang lebih pada level
netral, yaitu berkisar pada pH 6,9 sampai 8,0 dan juga umumnya air
sumur banyak mengandung mikroba dan organisme renik lain
sebagai sumber makanan utamajentik nyamuk.14,19,24
Penelitian Syahribulan dkk pada tahun 2010 juga menyatakan
bahwa Aedes aegypti dapat hidup dan berkembangbiak pada sumur
yang sering maupun jarang digunakan. Menurut penelitian
Syahribulan dkk pada tahun 2010 menyatakan bahwa Aedes aegypti
dapat hidup dan berkembangbiak pada kondisi air sumur yang bersih
atau kotor. Aedes aegypti ternyata dapat ditemukan pada air yang
jernih maupun yang keruh. Hal ini karena genangan air yang jernih
atau bersih yang lambat laun dapat berubah menjadi keruh karena
adanya bahan organik yang masuk kedalamnya. Habitat ini ternyata
lebih optimal untuk perkem-bangan jentik karena menyediakan cukup
bahan organik untuk pertumbuhan jentik.29,30,34
e. Ekologi Vektor
Ekologi vektor adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal
balik antara vektor dengan lingkungannya. Lingkungan vektor ada 3
macam, yaitu lingkungan fisik, biologik dan sosial. 31,32
15
1) Lingkungan Fisik
a) Macam kontainer
b) Curah Hujan
16
jumlah telur yang ditemukan tidak berbeda secara nyata antara
ovitrap berisi air sumur yang bercampur air hujan.28
Sonoto (2009) membuktikan bahwa larva Aedes aegypti
ditemukan lebih banyak ditemukan pada air rendaman udang
daripada air hujan pada sumur gali dan air selokan. Curah hujan
yang tinggi akan mempengaruhi salinitas pada sumur gali. Salinitas
0 menandakan bahwa salinitas normal, sebab menurut Efendi
(2008) salinitas kurang dari 0,5 o/oo larva akan bisa hidup dengan
baik. Berbeda dengan Sudarmaja (2007) yang mengatakan bahwa
Aedes spp. mempunyai sifat yang lebih toleran terhadap salinitas
yang tinggi karena memiliki salinitas 4 30 o/oo, dan salinitas yang
sesuai dengan perkembangan larva di Pulau Jawa adalah 15 -
20o/oo. Salinitas 0 maka normal, 0,5-15 o/oo maka rendah, 16-30 o/oo
sedang, dan >30 maka tinggi.35,36
Ririh & Anny (2005) mengatakan larva Aedes spp
mempunyai sifat yang lebih toleran terhadap salinitas yang lebih
tinggi karena memiliki mekanisme yang dapat menetralisir tekanan
osmotik di dalam hemofile. Namun, Hadi (2010) mengatakan larva
Aedes spp juga dapat tumbuh dan berkembang di perairan tawar
yang salinitasnya rendah atau nol.
d. Suhu Udara
17
bahkan berhenti apabila suhu turun sampai dibawah suhu
kritis. Pada suhu lebih tinggi dari 35 oC juga mengalami
perubahan dalam arti lebih lambatnya proses-proses fisiologi,
rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-
27oC. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali pada suhu
kurang dari 10oC atau lebih dari 40oC.32
2) Lingkungan Biologik
18
2) Visual
Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik di
setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. 18,33
c. Ukuran kepadatan populasi jentik dapat ditentukan dengan mengukur:
1) Angka Bebas Jentik (ABJ)
C. Kerangka teori
Karakteristik Sumur:
- Bahan
- Letak
- Keberadaan penutup
Lingkungan Fisik: - Volume
Suhu udara - Kondisi air
Kelembaban udara - Sumber air
Curah hujan
Musim
Ketinggian tempat
Pengendalian Vektor:
- Kimia ( insektisida,
temephos)
- Biologi (ikan, bakteri)
19
Gambar 2.8 Kerangka Teori
Sumber:18,24,30
BAB III
METODE
A. Kerangka Konsep
20
Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik random sampling.
Sampel penelitian menggunakan sample minimal yaitu berjumlah 30
sumur tiap kelurahan. Hal ini juga didukung oleh pendapat ahli yaitu,
pendapat Gay dan diehl (1992) mengatakan ukuran sampel yang diterima
akan sangat bergantung penelitiannya.
a) Jika penelitiannya bersifat deskriptf, maka sampel minimunya adalah
sampel minimunya adalah 30 subjek
b) Apabila penelitian kausal perbandingan, sampelnya sebanyak 30
subjek per group
c) Apabila penelitian eksperimental, sampel minimumnya adalah 15
subjek per group
d) Tidak jauh berbeda dengan Gay dan Diehl, Roscoe (1975) juga
memberikan beberapa panduan untuk menentukan ukuran sampel
yaitu ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat
untuk kebanyakan penelitian.
G. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan setelah data berhasil dikumpulkan.
Pengolahan data menggunakan beberapa software pendukung seperti
software pengolah khusus data spasial yaitu ArcView GIS versi 3.3. Adapun
tahapan pengolahan data untuk analisis spasial ialah:
1. Transferring, merupakan proses memindahkan data waypoint keberadaan
jentik pada sumur gali dari alat GPS ke computer melalui kabel USB.
21
2. Processing, merupakan proses perubahan data waypoint menjadi data
spasial menjadi bentuk shapefile ke ArcView GIS versi 3.3.
3. Cleaning, merupakan pembersihan data atau pengecekan data dengan
melihat jumlah titik lokasi sumur gali positif jentik.
H. Analisis Data
1. Analisis deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk mendiskripsikan data yang
diperoleh. Bentuk penyajian data yang disajikan dari hasil pemeriksaan
sampel yaitu dengan menggunakan tabel dan peta yang disertai dengan
narasi.
2. Analisis spasial
Analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
point pattern method. Point pattern dalam hal tersebut merupakan
penampilan distribusi kejadian penyakit dan letak sumur berdasarkan
ruang.
Pet a Sal init as dengan J uml ah Sumur Gal i Posi t if dan Negat if
di Kecamat an Tembal ang Tah un 2014
N
Sendangguwo W E
Kedungmundu
Tandang S
Jangli
chart sumur
Sambiroto Sumur_Positif
Sendangmulyo Sumur_Negatif
Mangunharjo salinitas rata-rata
BAB IV
Tembalang Normal
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bulusan Rendah
Sedang
A. Salinitas Pada Sumur Gali Meteseh
di Kecamatan Tembalang TahunTinggi
2014
Kramas
Rowosari
22
23
mempunyai sifat yang lebih toleran terhadap salinitas yang tinggi karena
memiliki salinitas 4 30 o/oo, dan salinitas yang sesuai dengan perkembangan
larva di Pulau Jawa adalah 15 20 o/oo. Salinitas 0 maka normal, 0,5-15 o/oo
maka rendah, 16-30 o/oo sedang, dan >30 maka tinggi.35,36
$
T
T $
T$ $T
T $ T $
( T
^ $ T $^
T (
$ T
T (
^
$ ^ ( $T
T
Sendangmulyo
$
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Tembalang
$ T
T
$$T
T $ $T
T $T
$T $ ^ (T
$
Tahun 2014
$
T
Sumur positif.shp
(
^
$
T
$
T
(
^
(^
^ (
^ $
T
$
T
(
^ T
$ 1 Dot = 1 (^
^
( $T(
$
Tembalang $ T
T
Kasus DBD $ T $ T$ ( T
^ (
^
( ^
^ ( ^ ( $ T
T $
Hasil analisa peta keberadaan sumur positif jentik Aedes
$
T
$
T $
T ( T
^ $ T $ (^ 1aegypti
(T
^$
Dot = 5 dengan
$
T
$
T
$ T
T $ ( T
^ $
salinitas rata-rata
( T
^ $ ^ ( $
T $T
T$
(
^
Normal Meteseh
kasus Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Tembalang
( ^
^ ( $
T
$^
T
(
^(
$
T
$
T
(
^ Rendah
tahun 2014
(
^
(
^
(
^
(T
^$ $
T $
T
$
T $T
T $ Sedang $
T $
T
merupakan kelanjutan analisis peta salinitas dengan peta sumur
$ T
T
$$ ^
T ( T $T
(
^
$ Tinggipositif jentik
(
^
$^
T(
$ T
T $
T $
T (
^
$ $
T
$
T $
T
yang menyatakan bahwa salinitas rendah memungkinkan jentik Aedes
(
^
$
T $^
T( $
T
$ ^
T ( $
T
aegypti untuk dapat bertahan
(
^ hidup. Hasil temuan ini sesuai dengan hasil
penelitian Efendi (2008) salinitas kurang dari 0,5 o/oo larva akan bisa hidup
200000 0 200000 400000 Miles
dengan baik. Faktor risiko lain infeksi dengue diantaranya tingkat imunitas
host, kepadatan penduduk, interaksi vektor dan host dan virulensi virus.
Kepadatan vektor juga berkontribusi terhadap epidemi DBD.
Jika dianalisis lebih lanjut dengan adanya pemetaan sebaran kasus
maka risiko terjadinya kasus DBD pada daerah dengan salinitas rendah lebih
rendah hal dikarenakan kepadatan vektor akan semakin meningkat dengan
adanya kondisi sumur gali yang dapat menjadi tempat breeding place
nyamuk Aedes aegypti.
Kelurahan dengan karakteristik salinitas rendah dan jumlah sumur gali
positif jentik Aedes aegypti yang mengalami kasus DBD tinggi antara lain
Tembalang sebesar 50 kasus, Jangli sebesar 47 kasus, Kedungmundu
sebesar 45 kasus, Meteseh sebesar 42 kasus, dan Sendangmulyo sebesar
40 kasus. Kasus DBD terendah terdapat pada kelurahan Sendangguwo yang
merupakan daerah salinitas sedang sebesar 9 kasus.
24
Curah hujan sangat berkaitan dengan kondisi salinitas air sumur
gali. Curah hujan rendah akan membuat salinitas sumur gali rendah pula.
Seperti yang telah diterangkan oleh Efendi (2008) salinitas kurang dari 0,5
o
/oo larva akan bisa hidup dengan baik begitu pula Sudarmaja (2007)
yang mengatakan bahwa Aedes spp. mempunyai sifat yang lebih toleran
terhadap salinitas yang tinggi karena memiliki salinitas 4 30 o/oo.
Peta
Peta Curah Kasus
Hujan denganDemam
Sumur Gali Berdarah Dengue
Positif Jentik Aedes aegypti (DBD)
serta Kasus DBD
di Kecamatan Tembalang Tahun 2014
Berdasarkan Curah Hujan dengan Sumur Gali Positif
N Jentik Aedes aegypti
(^ T$
$ T
T $
T
$T T (^
$
(^
^ ( $
$^
T ( T $T
$ $
T
$T
T
(
^
$^ (
( ^
^ ( ^ (
$
T $
T
$T
T
$
T$ (T
^ $^(T $
( T
^ $ $
T (
^ $
T (
^ (T
^ $
(T
^$ T $^(^(T
$T $
T $
T $
T
$
T $ $
T$ T
T $ (
^
(
^ (
^
$
T
(
^ (
^
$ T $
$T
T $ ^ (
$
T
$
T $^
( T
^
( T$
$
(
^
T Sumur positif.shp
(T
^ $T
(T
^ $
T
Tembalang $$^
(T
$^
T (T
$ T $
$^
T (
$
T
( ^
^ ( ^ (
$
T T
$ 1 Dot = 1
(
^ $
T $$
T T
(T
^$ T $ T $(
^ (
^ $
T
$ T
T $
$
T
Kasus DBD
$
T $
T
(
^ $
T T
$ (^ 1 Dot = 5
(^
^( ^
$( ^
T $
T $ T
T $
( ^(
$
T
$
T
( T
^ $ $$
T T
curah hujan
(T
^ $^
T
$
T $T
T $ $
T$
T $ ^
T $
( T $ ^ (
(
$
T Rendah
( T
^ $T
$ T $ $
T
( T
^ $( ^
$( T
T
$T
T
(
^
$$ $ ^
T ( $
T
(
^
Sedang
(
^ $ ^
T (
^ (
^ $ $
T T Tinggi
$
T
$
T
$T
T $ ( ^
^ $
T
(
^ ( ^ (
$
T T
$
TT
$ $
T (^ $
T (
^
$
$
T $
T
$
T
(
^
25
bahwa Kelurahan Tembalang memiliki jumlah kasus DBD tertinggi yaitu 50
kasus. Kelurahan ini memiliki curah hujan rendah yaitu 73 mm/bln oleh
karena itulah salinitas kelurahan ini juga termasuk rendah yaitu 3,12 o/oo.
Kondisi ini membuat jentik Aedes aegypti dapat berkembang dalam sumur
gali dan menambah jumlah kepadatan vektor DBD. Oleh karena itulah
kelurahan ini beresiko terjadi banyak kasus DBD akibat dari temuan bahwa
sumur gali dengan salinitas rendah dapat menjadi breeding place dan
tempat berkembang jentik.
Aedes aegypti menyukai penampungan air yang jernih dan
terlindung dari sinar matahari langsung sebagai tempat perindukannya.
Penampungan air seperti itu umumnya banyak dijumpai di rumah dan
sekitarnya. Air bersih yang ditampung oleh penduduk berasal dari berbagai
sumber, seperti air hujan, ladang, dan sumur.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Itu judulnya cocok kan kalo dihubunin kasus??? OK pake judul ini aja
A. Kesimpulan
Berdasarkah hasil yang diperoleh dari analisis pemetaan kejadian
demam berdarah dengue (DBD) berdasarkan curah hujan dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti pada sumur gali di Kecamatan Tembalang
Semarang maka dapat disimpulkan bahwa curah hujan dan kondisi salinitas
sumur gali sangat berhubungan erat yaitu curah hujan rendah akan
menyebabkan salinitas sumur gali rendah. Jumlah jentik Aegypti yang banyak
menggambarkan jumlah kepadatan vektor yang banyak pula sehingga resiko
penularan DBD menjadi lebih besar.
26
Penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa sumur gali dengan
salinitas rendah dapat menjadi tempat hidup larva Aedes aegypti.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan diperoleh bahwa kelurahan dengan
curah hujan rendah memiliki salinitas sumur rendah serta memiliki jumlah
sumur positif jentik Aedes aegypti yang banyak, kasus DBD pada kelurahan
tersebut dengan kondisi tersebut tinggi. Sebaliknya kelurahan dengan curah
hujan tinggi memiliki salinitas sumur gali tinggi sehingga jumlah sumur gali
positif jentik Aedes aegypti rendah dan kasus DBD di kelurahan tersebut
rendah.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka beberapa saran yang
diajukan adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat diharapkan menutup sumur gali agar tidak menjadi tempat
breeding place nyamuk.
2. Petugas kesehatan/Puskesmas/Dinas Kesehatan diharapkan memberi
penyuluhan seputar sumur gali yang berpotensi menjadi tempat breeding
place Aedes aegypti.
3. Pemerintah diharapkan membuat kebijakan tentang sumur gali.
DAFTAR PUSTAKA
27
3. Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2014. Profil Kesehatan Kota Semarang
2013. Semarang: Dinkes Kota Semarang
4. Achmadi UF, Sudjana P, Sukowati S. 2010. Demam Berdarah Dengue.
Buletin Jendela Epidemiologi. Agustus;Volume 2.
5. Ranjit S, Kissoon N (July 2010). Dengue hemorrhagic fever and shock
syndromes. Pediatr. Crit. Care Med.12 (1): 90100.
doi:10.1097/PCC.0b013e3181e911a7. PMID 20639791.
6. Varatharaj A (2010). "Encephalitis in the clinical spectrum of dengue
infection". Neurol. India58 (4): 58591. doi:10.4103/0028-3886.68655.
PMID 20739797.
7. Satari HI, Meiliasari M. 2006.Demam Berdarah. Jakarta: Puspa Swara.
8. Wolff K, Johnson RA (eds.) (2009). "Viral Infections of Skin and Mucosa".
Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology (ed. 6th). New
York: McGraw-Hill Medical. hlm. 8102. ISBN 9780071599757.
9. Knoop KJ, Stack LB, Storrow A, Thurman RJ (eds.) (2010). "Tropical
Medicine". Atlas of Emergency Medicine (ed. 3rd). New York: McGraw-Hill
Professional. hlm. 6589. ISBN 0071496181.
10. Gould EA, Solomon T (February 2008). "Pathogenic flaviviruses". The
Lancet371 (9611): 5009. doi:10.1016/S0140-6736(08)60238-X.
PMID 18262042.
11. Rodenhuis-Zybert IA, Wilschut J, Smit JM (August 2010). "Dengue virus life
cycle: viral and host factors modulating infectivity". Cell. Mol. Life Sci.67 (16):
277386. doi:10.1007/s00018-010-0357-z. PMID 20372965.
12. Boesri, Hasan. 2011. Biologi dan Peranan Aedes albopictus (Skuse) 1894
sebagai Penular Penyakit Vol. 3 No. 2. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga:Badan Litbangkes.
13. Haryono. 2012. Fauna Indonesia ISSN 0216-9169. Bogor: Bidang Zoologi
Puslit Biologi Pusat Penelitian Biologi LIPI.
14. Sigit, S. H. 2006. Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan Biologi dan
Pengendalian. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
15. Borror, D. J., C. A. Triplehorn & N. F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Ed. 6. Penerjemah S. Partosoedjono. Yogyakart: Gadjah Mada
University Press.
16. Hasyimi, H, dan Soekirno, M. 2004. Pengamatan Tempat Perindukan Aedes
aegypti Pada Tempat Penampungan Air Rumah Tangga Pada Masyarakat
Pengguna Air Olahan, Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol. 3 (1), Jakarta.
17. Sembel. 2009. Entomologi Kedokteran. Yogyakarta: C.V. Andi Offset.
28
18. Prianto, L.A; Tjahya, P.U; Darwanto. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
19. Hadi, Mochamad, Udi Tarwotjo, Rully Rahardian. 2009. Biologi Insekta
Entomologi. Yogyakarta: Graha Ilmu
20. Setiana, N. 2010. Uji Larvasida Infus Biji Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq)
terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti.
21. Soegeng Soegijanto. 2006. Demam Berdarah Dengue (Edisi kedua). Air
Langga University Press. Surabaya.
22. Inge, Sutanto dkk. 2008. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI.
23. Wiwanitkit V. 2010. Unusual mode of transmission of dengue. Journal of
Infection in Developing Countries4 (1): 514. PMID 20130380.
24. Adifian, Hasanuddin Ishak, Ruslan La Ane. 2012. Kemampuan Adaptasi
Nyamuk Aedes Aegypti Dan Aedes Albopictus Dalam Berkembang Biak
Berdasarkan Jenis Air. Makasar: Universitas Hasanudin.
25. Herms, W. 2006. Medical Entomology. The Macmillan Company, United
States of America.
26. Sonoto, dkk. 2009. Kemampuan Adaptasi Nyamuk Aedes Aegypti Terhadap
Kondisi Air. FKM universitas Muhammdiyah Semarang.
27. Suarez R, Olarte MF, Ana MFA, Gonzalez C. Is what I have just a cold or is it
dengue? Addressing the gap between the politics of dengue con-trol and
daily life in Villavicencio-Colombia.
28. Syahribulan dkk. 2010. Karakteristik Sumur Yang Digunakan Nyamuk
Aedes aegypti Dan Aedes albopictus Sebagai Habitat Perkembangbiakan di
Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Kedokteran.
29. Sudarmaja, I. 2007. A Study on Fauna of Aedes at Graha Kerti and Kerta
Petasikan Hamlets, Village of Sidakarya, Denpasar. International Seminar
on Mosquito and Mosquito-borne Disease Control Through Ecological
Approach. Yogyakarta.
30. Setyaningrum, E., S.Murwani, E.Rosa, dan K. Andananta. 2008. Studi
Ekologi Perindukan Nyamuk Vektor Malaria dan DBD di Desa Way Muli,
Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan. Makalah Disampaikan pada
Seminar Pengabdian Masyarakat, Universitas Lampung. Bandar Lampung.
31. Depkes RI. 2004. Buletin Harian Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes
aegypti Sangat Penting Diketahui dalam Melakukan Kegiatan
Pemberantasan Sarang Nyamuk Termasuk Pemantauan Jentik Berkala.
Ditjen P2M & PL. Jakarta.
29
32. Widjaja, Junus. 2012. Survei Entomologi Aedes Spp Pra Dewasa Di Dusun
Satu Kelurahan Minomartani Kelurahan Depok Kabupaten Sleman Provinsi
Yogyakarta Jurnal Aspirator Vol. 4 No. 2. Balai Litbang P2B2 Donggala,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
R.I.
33. Gubler, D J. 2008. Vector-borne disease: Understanding the environmental,
human health, and ecological connections. Vector-Borne Disease
Emergence and Resurgence, Vol 1
30