Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF) sampai saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah pasien serta
semakin luas penyebarannya. Penyakit DBD ini ditemukan hampir di seluruh
belahan dunia terutama di negara-negara tropik (Pakistan, Cina, India dan
semua Negara Asia) dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun
epidemic. Hasil studi epidemiologik menunjukkan bahwa DBD menyerang
kelompok umur balita sampai dengan umur sekitar 15 tahun yang ditularkan
melalui vektor Aedes aegypti.1
Infeksi virus Dengue terus mengalami peningkatan prevalensi. Setiap
tahunnya diperkirakan terdapat 50 juta-100 juta kasus DBD dan diperkirakan
sekitar 2,5 miliar orang atau dua perlima populasi penduduk di dunia beresiko
terserang DBD. Dari data dunia menunjukkan Asia menempati urutan
pertama dalam jumlah penderita DBD tiap tahunnya.1,2
Menurut World Health Organization (WHO), Indonesia tercatat sebagai
negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara terhitung sejak tahun
1968 hingga tahun 2009. Indonesia termasuk negara endemis DBD yang
setiap tahun selalu terjadi kejadian luar biasa (KLB) di berbagai kota.
Sampai saat ini demam berdarah telah ditemukan di seluruh propinsi di
Indonesia, dan lebih dari 200 kota telah melaporkan adanya Kejadian
Luar Biasa (KLB).2
Jawa tengah merupakan wilayah tertinggi kasus kejadian DBD,
pada tahun terakhir 2012 jumlah kasus penderita DBD mencapai 6.988.
CFR dan ABJ Jawa Tengah tahun 2009 mengalami peningkatan dari pada
tahun 2008, yaitu CFR sebesar 1,19% dan ABJ sebesar 73,57% pada tahun
2008. Badan (Pusat Statistik Kota Semarang, 2011). Semarang sebagai
provinsi Jawa Tengah selama 10 tahun terakhir, tren kasus DBD cenderung
meningkat. Sepanjang tahun 2009, sebanyak 22 orang telah meninggal dari
1.754 kasus penyakit demam berdarah dengue di Kota Semarang.3

1
Kota Semarang menduduki peringkat pertama angka kesakitan DBD
di Jawa Tengah selama tiga tahun berturut-turut, yaitu pada tahun 2008-
2010. ABJ di Kota Semarang mengalami peningkatan dari tahun 2009-
2011 yaitu sebesar 84,69% pada tahun 2009, 84,77% tahun 2010 dan
91,35% tahun 2011 (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,2009).
Keadaan ini berdasarkan data dari dinas kesehatan kota Semarang
kasus Demam Berdarah di kota Semarang, pada tahun terakhir 2012
jumlah kasus penderita demam berdarah dengue (DBD) mencapai 1.250.
Tahun 2012 IR (Incident Rate) DBD Kota Semarang tiga kali lebih tinggi
dari IR DBD Jawa Tengah.2,3
Di Semarang tahun 2013 jumlah kasus DBD sejumlah 2.364 kasus
atau naik 89,11% dari 1.250 kasus pada tahun 2012. Jumlah kematian pada
tahun 2013, 27 kasus atau naik 22,73% dari tahun 2012 yang berjumlah 22
kasus. Incidence Rate (IR) DBD Kota Semarang dari tahun 2006 sampai
dengan tahun 2013 selalu jauh lebih tinggi dari IR DBD Jawa Tengah dan IR
DBD Nasional. Incidence Rate DBD Kecamatan Tembalang dengan 218,20
per 100.000 penduduk kembali menduduki peringkat IR DBD Kecamatan
Tertinggi Kota Semarang setelah pada tahun 2012 berada diperingkat ketiga.
Pada urutan kedua Kecamatan Ngaliyan dengan IR 217 dan Kecamatan
Genuk diurutan ketiga dengan IR DBD 195,52.3
Pada tahun 2011, Tembalang tercatat sebagai Kelurahan endemis
DBD di Kota Semarang yang selalu menempati masing-masing urutan
pertama berdasarkan IR (Incident Rate) dalam kasus DBD sejak 3 tahun
terakhir.3 Pada awal tahun 2015, tiga Kelurahan di Kota Semarang salah
satunya Kelurahan tembalang masuk dalam kategori Kejadian Luar Biasa
Demam Berdarah Dengue (DBD). Hal tersebut terjadi karena dalam rentang
waktu kurang dari empat bulan terdapat 929 kasus DBD, tercatat jumlah
kasus bulan Januari hingga April mencapai 326 kasus dan sekarang sudah
mencapai 929 kasus. Berdasarkan data DKK Semarang, peningkatan jumlah
kasus yang terjadi hampir 300 persen. Kelurahan Tembalang pada Januari
2015 ada 55 penderita.
Nyamuk Aedes aegypti tidak dapat berkembang biak di genangan air
yang langsung berhubungan dengan tanah. Saat nyamuk sudah siap
bertelur, maka akan mencari tempat-tempat penampungan air bersih di

2
sekitar rumah yang tidak berhubungan langsung dengan tanah, seperti bak
air, kaleng bekas dan vas bunga. Namun menurut penelitian Palupi Susanti
sumur gali memungkinkan untuk menjadi tempat hidup larva nyamuk Aedes.
Dalam penelitian tersebut 17% sumur gali di wilayah Bulusan Semarang
positif mengandung larva. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Adifian yang
menyatakan bahwa kemungkinan larva Aedes aegepty hidup dalam air
sumur gali sebesar 16,54% sedangkan kemungkinan hidup Aedes albopictus
sebesar 9,33%. 1,4
Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor iklim,
khususnya curah hujan. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) perlu
diwaspadai karena penularan penyakit seperti ini akan makin meningkat
dengan curah hujan. Di banyak negara tropis penyakit ini merupakan
penyebab kematian utama.4

B. Rumusan Masalah
Infeksi virus Dengue terus mengalami peningkatan prevalensi.
Incidence Rate (IR) DBD Kota Semarang dari tahun 2006 sampai dengan
tahun 2013 selalu jauh lebih tinggi dari IR DBD Jawa Tengah dan IR DBD
Nasional serta penemuan bahwa sumur gali memungkinkan untuk menjadi
tempat hidup larva. Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor
iklim, khususnya curah hujan. Penyakit seperti malaria dan Demam Berdarah
Dengue (DBD) perlu diwaspadai karena penularan penyakit seperti ini akan
makin meningkat dengan perubahan iklim. Berdasarkan latar belakang
tersebut maka pertanyaan penelitian yang diajukan yaitu bagaimakah
distribusi kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan pemetaan
curah hujan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti pada sumur gali di
Kecamatan Tembalang Tahun 2014?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
distribusi kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan
pemetaan curah hujan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti pada
sumur gali di Kecamatan Tembalang Tahun 2014.

3
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan gambaran umum wilayah Kecamatan Tembalang
Semarang.
b. Menganalisis distribusi kasus DBD berdasarkan curah hujan dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti pada sumur gali di Kecamatan
Tembalang Semarang.
c. Memetakan distribusi kasus DBD berdasarkan curah hujan dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti pada sumur gali di Kecamatan
Tembalang Semarang.
D. Manfaat
1. Bagi Dinas Kesehatan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan bahan
pertimbangan dalam melakukan perencanaan kegiatan penanggulangan
DBD di Kecamatan Tembalang.
2. Bagi Masyarakat
Sebagai bahan informasi tentang pentingnya sanitasi lingkungan dan
pengendalian vektor DBD.
3. Bagi Peneliti Lain
Sebagai referensi atau sumber informasi dalam melakukan penelitian
lebih lanjut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Kecamatan Tembalang Semarang


1. Kondisi Geografis Topografis
Kecamatan Tembalang berada di sebelah Tenggara dari Pusat
Pemerintah Kota Semarang dengan topografi yang berbukit-bukit, dengan
batas geografis sebagai berikut:

4
Sebelah Utara :Kecamatan Candisari dan Kecamatan Pedurungan
Sebelah Timur :Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak
Sebelah Selatan :Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang dan
Kecamatan Banyumanik
Sebelah Barat :Kecamatan Banyumanik Demam Berdarah Dengue
(DBD)
Luas wilayah Kecamatan Tembalang + 3.871,765 Ha. Secara umum
Kecamatan Tembalang merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan
100 m- 350 m DRL. Daerah perbukitan memiliki kemiringan tanah antara
30% - 75%, suhu udara rata-rata 23% - 34%, dengan curah hujan rata-
rata 29,6 mm/th. Kecamatan Tembalang terbagi dalam 12 Kelurahan,
yakni:
a. Kelurahan Tembalang g. Kelurahan Kedungmundu
b. Kelurahan Kramas h. Kelurahan Sambiroto
c. Kelurahan Bulusan i. Kelurahan Sendangmulyo
d. Kelurahan Jangli j. Kelurahan Rowosari
e. Kelurahan Tandang k. Kelurahan Mangunsari
f. Kelurahan Sendangguwo l. Kelurahan Meteseh

2. Kondisi Demografi
Jumlah penduduk di Kecamatan Tembalang bulan Oktober tahun
2014 tercatat + 145.991 jiwa dengan jumlah penduduk laki - laki: 73.810
orang dan perempuan: 72.181 orang. Luas wilayah + 3.871.765 Ha.
Kepadatan penduduk di Kecamatan Tembalang + 2.511 orang/Km2,
sedangkan laju pertumbuhan penduduk 3,7% tahun. Berikut luas kelruhan
di Kecamatan Tembalang:

a. Kelurahan Tembalang : 392,26 ha


b. Kelurahan Kramas : 105,32 ha

c. Kelurahan Bulusan : 304,072 ha

d. Kelurahan Meteseh : 498, 669 ha

e. Kelurahan Rowosari : 719,577 ha

f. Kelurahan Sendangmulyo : 358,574 ha

g. Kelurahan Kedungmundu : 149,25 ha

h. Kelurahan Sambiroto : 318,300 ha

5
i. Kelurahan Mangunharjo : 303,25 ha

j. Kelurahan Tandang : 375,74 ha

k. Kelurahan Sendangguwo : 327,72 ha

l. Kelurahan Jangli : 207,00 ha

B. Demam Berdarah Dengue (DBD)

1. Definisi
Demam berdarah atau demam dengue (disingkat DBD) adalah infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue.Nyamuk atau beberapa jenis nyamuk
menularkan (atau menyebarkan) virus dengue. Demam dengue juga
disebut sebagai "breakbone fever" atau "bonebreak fever" (demam
sendi), karena demam tersebut dapat menyebabkan penderitanya
mengalami nyeri hebat seakan-akan tulang mereka patah.4

Gambar 2.1 Gejala Demam Berdarah Dengue

Sekira 80% dari pasien (atau 8 dari 10 pasien) yang terinfeksi virus
dengue tidak menunjukkan gejala, atau hanya menunjukkan gejala ringan
(seperti demam biasa).4,5,6 Sekira 5% dari orang yang terinfeksi (atau 5
dari 100) akan mengalami infeksi berat. Penyakit tersebut bahkan
mengancam jiwa sedikit dari mereka.Pada sebagian kecil penderita ini,
penyakit tersebut mengancam jiwa.4,6 Gejala akan muncul antara 3 dan
14 hari setelah seseorang terpajan virus dengue. Seringkali gejala muncul
setelah 4 hingga 7 hari.10
2. Gejala
Gejala klasik demam dengue adalah demam yang terjadi secara tiba-
tiba; sakit kepala (biasanya di belakang mata), ruam, nyeri otot dan nyeri

6
sendi.Julukan "demam sendi" untuk penyakit ini menggambarkan betapa
rasa sakit yang ditimbulkannya dapat menjadi sangat parah.7 Demam
dengue terjadi dalam tiga tahap: demam, kritis, dan pemulihan.11
Pada fase demam, seseorang biasanya mengalami demam tinggi.
Panas badan seringkali mencapai 40oC (104oF). Penderita juga biasanya
menderita sakit yang umum atau sakit kepala. Fase febrile biasanya
berlangsung selama 2 hingga 7 hari.10,11 Pada fase ini, sekira 50 hingga
80% pasien dengan gejala mengalami ruam.10,12 Pada hari pertama atau
kedua, ruam akan tampak seperti kulit yang terkena panas (merah).
Selanjutnya (pada hari ke-4 hingga hari ke-7), ruam tersebut akan tampak
seperti campak.12,13 Bintik merah kecil (petechiae) dapat muncul di kulit.
Bintik-bintik ini tidak hilang jika kulit ditekan.Bintik-bintik ini disebabkan
oleh pembuluh kapiler yang pecah. Penderita mungkin juga mengalami
perdarahan ringan membran mukus mulut dan hidung.8,10 Demam itu
sendiri cenderung akan berhenti (pulih) kemudian terjadi lagi selama satu
atau dua hari. Namun, pola ini berbeda-beda pada masing-masing
penderita.13,14
Pada beberapa penderita, penyakit berkembang ke fase kritis setelah
demam tinggi mereda.Fase kritis tersebut biasanya berlangsung selama
hingga 2 hari. Selama fase ini, cairan dapat menumpuk di dada dan
abdomen. Hal ini terjadi karena pembuluh darah kecil bocor. Cairan
tersebut akan semakin banyak, kemudian cairan berhenti bersirkulasi di
dalam tubuh. Ini berarti bahwa organ-organ vital (terpenting) tidak
mendapatkan suplai darah sebanyak biasanya. Karena itu, organ-organ
tersebut tidak bekerja secara normal. Penderita penyakit tersebut juga
dapat mengalami perdarahan parah (biasanya dari saluran
8,11
gastrointestinal).
Kurang dari 5% dari orang dengan dengue mengalami renjat
peredaran darah, sindrom renjat dengue, dan demam berdarah. 8 Jika
seseorang pernah mengidap jenis dengue yang lain (infeksi sekunder),
kemungkinan mereka akan mengalami masalah yang serius.8,15
Pada fase penyembuhan, cairan yang keluar dari pembuluh darah
diambil kembali ke dalam aliran darah. Fase penyembuhan biasanya
berlangsung selama 2 hingga 3 hari. Pasien biasanya semakin pulih
dalam tahap ini. Namun, mereka mungkin menderita gatal-gatal yang

7
parah dan detak jantung yang lemah.8 Selama fase ini, pasien dapat
mengalami kondisi kelebihan cairan (yakni terlalu banyak cairan yang
diambil kembali). Jika terkena otak, cairan tersebut dapat menyebabkan
kejang atau perubahan derajat kesadaran (yakni seseorang yang
pikirannya, kesadarannya, dan perilakunya tidak seperti biasanya).8,11
3. Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD)

Gambar 2.2 Virus Dengue (the cluster of dark dots near the center)

Demam dengue disebabkan oleh virus dengue. Dalam sistem ilmiah


yang menamakan dan mengklasifikasikan virus, virus dengue merupakan
famili Flaviviridae. Vektor Demam Bedarah Dengue (DBD) adalah
nyamuk betina Aedes aegypti, berikut mengenai Aedes aegypti.16
Aedes aegypti termasuk dalam subfamili Culicinae yang dapat
membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. Aedes
aegypti berwarna hitam putih, tersebar di daerah tropis, tetapi berasal
dari Afrika. Nyamuk Aedes dapat dibedakan dari jenis nyamuk umumnya
dengan melihat ujung abdomen (perut) meruncing, dan mempunyai sersi
yang menonjol, bagian lateral terdapat rambut post spirakular tetapi
tidakmempunyai rambut spirakular. Ciri-ciri tubuhnya bercorak belang
hitam putih pada thoraks (dada), abdomen (perut) dan tungkai (kaki).
Corak ini merupakan sisik menempel di luar tubuh nyamuk. Corak putih
pada punggung Aedes aegypti berbentuk siku yang berhadapan. 16

8
Gambar 2.3. Aedes aegypti
Sumber: Fauna Indonesia ISSN 0216-9169, 2012
a. Klasifikasi Aedes aegypti
Aedes aegypti dalam taksonomi merupakan
Golongan :Animalia,
Filum :Arthropoda
Kelas :Insect
Ordo :Diptera
Famili :Culicidae
Subfamili :Culicinae
Genus :Aedes
Spesies :Aedes aegypti17
b. Morfologi Aedes aegypti.
1) Telur Aedes aegypti
Setiap hari nyamuk Aedes aegypti betina dapat bertelur
rata-rata 100-150 butir. Telurnya berwarna hitam, oval, terpisah
satu dengan yang lain dan diletakkan di dinding wadah air,
biasanya dibagian atas permukaan air. Apabila wadah air ini
mengering, telur bisa tahan selama beberapa minggu atau
bahkan bulan.13 Sedangkan, menurut Herms (2006), telur
nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang,
berwarna hitam, berukuran 0,5-0,8 mm, dan tidak memiliki alat
pelampung.16,17,18
Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur-telurnya satu per
satu padaSebagian besar nyamuk Aedes aegypti betina
meletakkan telurnya di beberapa sarang selama satu kali
siklus gonotropik. Perkembangan embrio biasanya selesai
dalam 48 jam di lingkungan yang hangat dan lembab. Telur
akan menetas menjadi larva ketika wadah air tersebut berisi air
lagi dan menutupi seluruh bagian telur.19

Gambar 2.4. Telur Aedes aegypti


Sumber: Fauna Indonesia ISSN 0216-9169, 2012

9
2) Larva Aedes aegypti
Larva Aedes aegypti mempunyai tubuh memanjang,
tanpa kaki, tidak berlengan, dadanya lebih lebar dari kepala
dan terdapat rambut-rambut sederhana yang tersusun
bilateral simetris. Kepala berkembang baik dengan sepasang
antena dan mata majemuk, serta sikat mulut yang menonjol.
Pada segmen kepala, larva memiliki 2-4 cabang midfrontal
hairs dan inner frontal hairs.16
Perut terdiri dari 8 ruas, pada segmen terakhir dilengkapi
dengan tabung udara (sipon) yang pendek dan berbentuk
silinder untuk bernafas, diatas siphon terdapat sepasang
siphonic tufts. Larva Aedes aegypti di setiap sisi abdomen
segmen kedelapan ada 2-3 deret comb scale yang seperti
duri, dan memiliki lebih dari empat pecten serta sepasang
rambut dan jumbai. Pada segmen-segmen abdomen tidak
dijumpai adanya rambut-rambut berbentuk kipas (palmate
hairs).20
Larva-larva nyamuk dapat terlihat berenang naik turun di
tempat-tempat penampungan air tersebut.18 Stadium ini larva
akan aktif makan dan waktu istirahat posisi larva akan
membentuk sudut (vertikal) dengan bidang dengan permukaan
air sekitar 300C-450C.21

Gambar 2.5. Morfologi Larva Aedes aegypti


Sumber: Fauna Indonesia ISSN 0216-9169, 2012

10
Gambar 2.6. Larva Aedes aegypti ketika istirahat
Sumber: Habitat Jentik Aedes aegypti pada Air Terpolusi di
Laboratorium, 2010
Larva mengalami empat kali pergantian kulit (ecdysis), dan
larva yang terbentuk berturut-turut disebut instar I, II, III, dan IV.
Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-
2 mm, duri-duri pada thorax belum begitu jelas, dan siphon belum
menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm,
duri thorax belum jelas, dan siphon sudah berwarna hitam. Pada
saat larva instar II mengambil oksigen dari udara, larva instar II
menempatkan siphon pada permukaan air seolah-olah badan larva
berada pada posisi membentuk sudut, larva instar III dalam
bergerak tidak terlalu aktif. Larva instar IV telah lengkap struktur
anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala,
dada dan perut. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak
sangat lincah, bersifat fototaksis negatif, dan waktu istirahat
membentuk sudut. 23
3) Pupa Aedes aegypti
Larva dalam kondisi yang sesuai akan berkembang dalam
waktu 6-8 hari, dan berubah menjadi pupa. Pupa Aedes aegypti
berbentuk seperti tanda baca koma. Pupa memiliki bentuk tubuh
yang bengkok, dengan bagian kepala-dada lebih besar bila
dibandingkan dengan bagian perutnya. Kepala dan dadanya
bersatu dan terdapat alat bernapasan seperti terompet.23
Pada segmen abdomen ke-8 terdapat sepasang alat
pengayuh yang berguna untuk berenang. Bila terganggu pupa
akan berenang naik turun dalam wadah air.Stadium pupa adalah
stadium tidak makan dan waktu istirahat posisi pupa sejajar
dengan bidang permukaan air. Pupa bertahan selama dua hari

11
sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa. Sehingga total
siklus hidup Aedes aegypti diselesaikan selama 9-12 hari.16

Gambar 2.7. Pupa Aedes aegypti


Sumber: Fauna Indonesia ISSN 0216-9169, 2012
4) Dewasa
Tubuh nyamuk Aedes aegypti terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu:
a) Kepala nyamuk
Kepala agak membulat dan hampir tertutupi oleh
sepasang mata majemuk, probosis yang terdapat di
kepala dapat digerakan ke depan maupun ke bawah. 16
Proboscis bersisik hitam. Terdapat sepasang antenna yang
berfungsi sebagai alat peraba yang terdiri dari 15 segmen.
Palpus maksilaris nyamuk betina lebih pendek dari
proboscis, sedangkan nyamuk jantan palpus maksilaris dan
proboscis sama panjang (Herms,2006). Nyamuk jantan
mempunyai antena yang memiliki banyak rambut sehingga
disebut antenna plumose sedangkan nyamuk betina hanya
memiliki beberapa bulu sehingga disebut antenna palpi.21
b) Thorak
Aedes aegypti berukuran kecil dengan warna dasar hitam
dan terdapat tiga pasang tungkai serta sepasang sayap
berukuran 2,5 3,0 mm bersisik hitam. Tubuh Aedes
aegypti dewasa memiliki panjang badan sekitar 3-4 mm bintik
hitam dan putih pada badan dan kepalanya, serta terdapat ring
putih pada bagian kakinya. Di bagian dorsal dari toraks
terdapat bentuk bercak yang khas berupa dua garis sejajar di
bagian tengah dan dua garis lengkung di tepinya.19
c) Abdomen
Aedes aegypti terdiri dari 10 11 segmen dan pada
segmen ke 8, 9 dan 10 membentuk alat kelamin atau
reproduksi. Pada bagian abdomen terdapat femur bersisik

12
putih memanjang, tibia semua hitam, tarsi belakang berlingkar
putih, pada segmen basal kesatu sampai keempat dan
segmen kelima berwarna putih.18 Pada kakinya terdapat
gelan-gelang berwarna putih. Bentuk abdomen nyamuk
betina lancip ujungnya dan memiliki cerci yang lebih panjang
dari pada cerci nyamuk-nyamuk lainnya.19
c.Siklus Hidup
Aedes aegypti berkembang biak pada penampungan air yang
tidak beralaskan tahan seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga,
sumur gali dan barang bekas yang dapat menampung air hujan. Aedes
aegypti mengalami metamorfosis sempurna dalam hidupnya sebelum
menjadi nyamuk dewasa.4,19
Metamorfosis dimulai dari telur kemudian menjadi larva yang
terdiri dari empat instar.Terdapat empat tahapan dalam perkembangan
larva yang disebut instar. Perkembangan dari instar satu ke instar
empat memerlukan waktu sekitar 6-8 hari. Lamanya perkembangan
larva akan bergantung pada suhu, ketersediaan makanan, dan
kepadatan larva pada sarang. Pada kondisi optimum, waktu yang
dibutuhkan mulai dari penetasan sampai kemunculan nyamuk dewasa
akan berlangsung sedikitnya selama 7 hari, termasuk dua hari untuk
masa menjadi pupa. Pada suhu rendah, dibutuhkan beberapa minggu
untuk kemunculan nyamuk dewasa. Kemudian larva tersebut
berkembang menjadi pupa dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa
(jantan dan betina).5,20
Aedes aegypti, meletakkan telur pada permukaan air bersih
secara individual. Setiap hari Aedes betina dapat bertelur rata-rata 100
butir. Setelah dua hari telur menetas menjadi larva lalu mengalami
pengelupasan kulit sebanyak empat kali, tumbuh menjadi pupa dan
akhirnya menjadi dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai menjadi
dewasa memerlukan waktu sekitar 9-12 hari. Keberhasilan untuk
menjadi imago ditentukan oleh kandungan air kontainer seperti bahan
organic,komunitas mikroba, dan serangga air yang ada dalam
kontainer itu juga berpengaruh terhadap siklus hidup Aedes aegypt.
23,24

d. Perindukan Aedes aegypti

13
Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti adalah genangan air
yang tertampung di wadah atau biasa disebut kontainer, dan bukan
pada genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah.
Kontainer tempat perindukan ini dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Tempat penampungan air (TPA), yaitu tempat untuk menampung
air guna keperluan seharihari seperti tempayan, bak mandi, bak
WC, ember, dan lainlain.
2. Bukan TPA, seperti tempat minum hewan peliharaan, barang
barang bekas (ban bekas, kaleng bekas, botol, pecahan
piring/gelas), vas bunga, dll.
3. Tempat penampungan air alami (natural/alamiah) misalnya
tempurung kelapa, lubang di pohon, pelepah daun, lubang batu,
potongan bambu, kulit kerang dll. Kontainer ini pada umumnya
ditemukan diluar rumah.23
Nyamuk Aedes aegypti dewasa menggigit lebih banyak pada
siang hari, antara pukul 08.0012.00 dan pukul 15.0017.00. Sangat
menyukai darah manusia dan biasa menggigit beberapa kali, keadaan
ini sangat membantu nyamuk Aedes aegypti dalam memindahkan
virus dengue ke beberapa orang sekaligus. Tempat yang disenangi
nyamuk untuk beristirahat selama menunggu waktu pematangan telur
adalah tempattempat yang gelap, lembab dan sedikit dingin.25,26,27
Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub
tropis, biasanya antara 350 lintang utara dan 350 lintang selatan.
Pada ketinggian 1200 meter dan 1500 meter masih ditemukan habitat
nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti adalah nyamuk yang
aktivitasnya diantara pemukiman penduduk dan mampu terbang
mencapai 100 meter dari tempat perindukannya.25
Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti berupa air yang
jernih dan tenang, tergenang dalam wadah, baik dalam rumah
maupun di luar rumah.23 Nyamuk ini lebih menyukai kontainer yang
berwarna gelap, terbuka dan tempat-tempat yang terlindung sinar
matahari langsung serta tidak berhubungan dengan tanah, sehingga
tempat tersebut sering ditemui telur Aedes aegypti. Telur diletakkan
di dinding kontainer di atas permukaan air. Bila kena air akan
menetas menjadi larva.27

14
Sonoto pada tahun 2009 bahwa Aedes aegypti sp. juga mau
bertelur pada ovitrap yang diisi air sumur gali dan air comberan (got)
yang berasal dari limbah rumah tangga. Bahkan jumlah telur yang
ditemukan tidak berbeda secara nyata antara ovitrap berisi air hujan
dan air selokan.28
Sumur gali adalah salah satu sarana air bersih yang mempunyai
resiko pencemaran yang sangat tinggi hal ini disebabkan karena
konstruksi yang memang memungkinkan terjadinya pencemaran
sangat besar, selain itu juga membutuhkan pemeliharaan yang
teratur.
Sumur gali memiliki peluang besar sebagai tempat perindukan
nyamuk penyebar demam berdarah dengue. Aedes aegvpti betina
tidak akan terganggu apabila ingin meletakkan telurnya di dalam
sumur, apalagi kualitasair sumur umumnya sangat cocok untuk
perkembangan larva dan pupa nyamuk. Disamping rata-rata relatif
jernih, salinitas dan kandungan bahan organiknya rendah, hasil
pengukuran pH air sumur menunjukkan kurang lebih pada level
netral, yaitu berkisar pada pH 6,9 sampai 8,0 dan juga umumnya air
sumur banyak mengandung mikroba dan organisme renik lain
sebagai sumber makanan utamajentik nyamuk.14,19,24
Penelitian Syahribulan dkk pada tahun 2010 juga menyatakan
bahwa Aedes aegypti dapat hidup dan berkembangbiak pada sumur
yang sering maupun jarang digunakan. Menurut penelitian
Syahribulan dkk pada tahun 2010 menyatakan bahwa Aedes aegypti
dapat hidup dan berkembangbiak pada kondisi air sumur yang bersih
atau kotor. Aedes aegypti ternyata dapat ditemukan pada air yang
jernih maupun yang keruh. Hal ini karena genangan air yang jernih
atau bersih yang lambat laun dapat berubah menjadi keruh karena
adanya bahan organik yang masuk kedalamnya. Habitat ini ternyata
lebih optimal untuk perkem-bangan jentik karena menyediakan cukup
bahan organik untuk pertumbuhan jentik.29,30,34
e. Ekologi Vektor
Ekologi vektor adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal
balik antara vektor dengan lingkungannya. Lingkungan vektor ada 3
macam, yaitu lingkungan fisik, biologik dan sosial. 31,32

15
1) Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik yang mempengaruhi kehidupan nyamuk


Aedes aegypti antara lain jarak antar rumah, macam kontainer,
ketinggian tempat, curah hujan, kecepatan angin, suhu, kelembaban
udara dan pH air. 31

a) Macam kontainer

Termasuk macam kontainer disini adalah jenis kontainer,


bahan kontainer, letak, bentuk, warna, volume, keberadaan
penutup, sumber air dan kebersihan air, dan sebagainya.31

b) Curah Hujan

Curah hujan akan mempengaruhi suhu, kelembaban udara,


menambah jumlah tempat perkembangbiakan vektor. Curah
hujan berubungan dengan evaporasi dan suhu mikro di dalam
kontainer. Pada musim kemarau banyak barang bekas seperti
kaleng, gelas plastik, ban bekas, kaleng plastik dan sejenisnya
yang dibuang atau ditaruh tidak teratur di sembarang tempat.
Ketika cuaca berubah dari musim kemarau ke musim hujan
sebagian besar permukaan dan barang bekas itu menjadi sarana
penampung air hujan yang nantinya dapat menjadi tempat
perindukan nyamuk Aedes aegypti. 31,32
Curah hujan akan mempengaruhi salinitas air. Salinitas adalah
tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Curah hujan
yang semakin besar atau banyak curah hujan di suatu wilayah laut
maka salinitas air laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit
kecil curah hujan yang turun salinitas akan tinggi.28
Hasil dari penelitian jenis Aedes aegypti dapat disimpulkan
bahwa air hujan nilai yang paling sedikit dibandingkan dengan air
sumur gali dan air selokan, hal ini dapat dikuatkan dengan
penelitian Sonoto pada tahun 2009 bahwa Aedes aegypti juga
mau bertelur pada ovitrap yang diisi air sumur gali dan air
comberan (got) yang berasal dari limbah rumah tangga. Bahkan

16
jumlah telur yang ditemukan tidak berbeda secara nyata antara
ovitrap berisi air sumur yang bercampur air hujan.28
Sonoto (2009) membuktikan bahwa larva Aedes aegypti
ditemukan lebih banyak ditemukan pada air rendaman udang
daripada air hujan pada sumur gali dan air selokan. Curah hujan
yang tinggi akan mempengaruhi salinitas pada sumur gali. Salinitas
0 menandakan bahwa salinitas normal, sebab menurut Efendi
(2008) salinitas kurang dari 0,5 o/oo larva akan bisa hidup dengan
baik. Berbeda dengan Sudarmaja (2007) yang mengatakan bahwa
Aedes spp. mempunyai sifat yang lebih toleran terhadap salinitas
yang tinggi karena memiliki salinitas 4 30 o/oo, dan salinitas yang
sesuai dengan perkembangan larva di Pulau Jawa adalah 15 -
20o/oo. Salinitas 0 maka normal, 0,5-15 o/oo maka rendah, 16-30 o/oo
sedang, dan >30 maka tinggi.35,36
Ririh & Anny (2005) mengatakan larva Aedes spp
mempunyai sifat yang lebih toleran terhadap salinitas yang lebih
tinggi karena memiliki mekanisme yang dapat menetralisir tekanan
osmotik di dalam hemofile. Namun, Hadi (2010) mengatakan larva
Aedes spp juga dapat tumbuh dan berkembang di perairan tawar
yang salinitasnya rendah atau nol.

d. Suhu Udara

Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan


proses metabolismanya yang sebagian diatur oleh suhu.
Karenanya kejadian-kejadian biologis tertentu seperti: lamanya
pradewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap dan
pematangan indung telur dan frekensi mengambil makanan
atau menggigit berbeda-beda menurut suhu, demikian pula
lamanya perjalanan virus di dalam tubuh nyamuk.31,32
Nyamuk Aedes akan meletakkan telurnya pada temperatur
udara sekitar 20oC-30oC. Telur yang diletakkan dalam air akan
menetas pada 1 sampai 3 hari pada suhu 30oC, tetapi pada suhu
udara 16oC dibutuhkan waktu selama 7 hari. Nyamuk dapat hidup
pada suhu rendah tetapi proses metabolismanya menurun atau

17
bahkan berhenti apabila suhu turun sampai dibawah suhu
kritis. Pada suhu lebih tinggi dari 35 oC juga mengalami
perubahan dalam arti lebih lambatnya proses-proses fisiologi,
rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-
27oC. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali pada suhu
kurang dari 10oC atau lebih dari 40oC.32

2) Lingkungan Biologik

Lingkungan biologi yang mempengaruhi penularan DBD


terutama adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman
pekarangan, yang mempengaruhi kelembaban dan pencahayaan
didalam rumah. Adanya kelembaban yang tinggi dan kurangnya
pencahayaan dalam rumah merupakan tempat yang disenangi
nyamuk untuk hinggap beristirahat. 30,32
4. Kepadatan Jentik
a. Survei Jentik (Pemeriksaan Jentik)
Menurut Depkes RI (2005), untuk mengetahui keberadaan jentik
Aedes aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan survei jentik sebagai
berikut:
1) Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan mata
telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik.
2) Untuk memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar,
seperti: bak mandi, tempayan, drum, dan bak penampungan air
lainnya, jika pandangan atau penglihatan pertama tidak menemukan
jentik, tunggu kira-kira -1 menit untuk memastikan bahwa benar
jentik tidak ada.
3) Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil,
seperti vas bunga/pot tanaman air/botol yang airnya keruh, seringkali
airnya perlu dipindahkan ke tempat lain.
4) Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap atau airnya keruh
biasanya digunakan senter.18,33,34

b. Metode survei jentik antara lain:


1) Single larva
Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap
genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.

18
2) Visual
Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik di
setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. 18,33
c. Ukuran kepadatan populasi jentik dapat ditentukan dengan mengukur:
1) Angka Bebas Jentik (ABJ)

2) House Index (HI)

3) Container Index (CI)

4) Breteu Index (BI)

C. Kerangka teori

Karakteristik Sumur:
- Bahan
- Letak
- Keberadaan penutup
Lingkungan Fisik: - Volume
Suhu udara - Kondisi air
Kelembaban udara - Sumber air
Curah hujan
Musim
Ketinggian tempat

Lingkungan Biologi: Keberadaan jentik


Kasus DBD
Tanaman hias pada sumur gali
Tanaman pekarangan

Pengendalian Vektor:
- Kimia ( insektisida,
temephos)
- Biologi (ikan, bakteri)
19
Gambar 2.8 Kerangka Teori
Sumber:18,24,30

BAB III
METODE

A. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel Terikat


Curah hujan dengan
Keberadaan jentik Aedes Kasus DBD di
aegypti pada sumur gali Kecamatan Tembalang
Semarang
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah Explanotory Research berfungsi untuk menjelaskan
hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan pelaksaan
menggunakan metode eksperimen kuasi.

C. Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat : Kecamatan Tembalang, Semarang, Jawa Tengah
Waktu : Penelitian dan pengumpulan data dilakukan selama periode
Mei-Juni 2015.

D. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sumur gali di Kecamatan
Tembalang Semarang.
2. Sampel

20
Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik random sampling.
Sampel penelitian menggunakan sample minimal yaitu berjumlah 30
sumur tiap kelurahan. Hal ini juga didukung oleh pendapat ahli yaitu,
pendapat Gay dan diehl (1992) mengatakan ukuran sampel yang diterima
akan sangat bergantung penelitiannya.
a) Jika penelitiannya bersifat deskriptf, maka sampel minimunya adalah
sampel minimunya adalah 30 subjek
b) Apabila penelitian kausal perbandingan, sampelnya sebanyak 30
subjek per group
c) Apabila penelitian eksperimental, sampel minimumnya adalah 15
subjek per group
d) Tidak jauh berbeda dengan Gay dan Diehl, Roscoe (1975) juga
memberikan beberapa panduan untuk menentukan ukuran sampel
yaitu ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat
untuk kebanyakan penelitian.

E. Cara Pengambilan Sampel Penelitian


Teknik pengambilan sampel ini menggunakan teknik Probability
Sampling jenis Simple Random Sampling pada sumur gali. Pengumpulan
data dengan cara memasang perangkap jentik (funnel trap) di sumur gali
kemudian mencatat karakteristik dari sumur gali dengan menggunakan
lembar observasi.

F. Manajemen Data dan Analisis Data


Pengumpulan data dilakukan melalui dua teknik, yaitu pengumpulan data
sekunder dan data primer. Pengumpulan data sekunder dilakukan untuk
mendapatkan data jumlah sumur dan curah hujan. Pengumpulan data primer
dilakukan dengan melakukan observasi ke tempat tinggal penduduk yang
memiliki sumur gali melalui alat Global Positioning System (GPS).

G. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan setelah data berhasil dikumpulkan.
Pengolahan data menggunakan beberapa software pendukung seperti
software pengolah khusus data spasial yaitu ArcView GIS versi 3.3. Adapun
tahapan pengolahan data untuk analisis spasial ialah:
1. Transferring, merupakan proses memindahkan data waypoint keberadaan
jentik pada sumur gali dari alat GPS ke computer melalui kabel USB.

21
2. Processing, merupakan proses perubahan data waypoint menjadi data
spasial menjadi bentuk shapefile ke ArcView GIS versi 3.3.
3. Cleaning, merupakan pembersihan data atau pengecekan data dengan
melihat jumlah titik lokasi sumur gali positif jentik.

H. Analisis Data
1. Analisis deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk mendiskripsikan data yang
diperoleh. Bentuk penyajian data yang disajikan dari hasil pemeriksaan
sampel yaitu dengan menggunakan tabel dan peta yang disertai dengan
narasi.
2. Analisis spasial
Analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
point pattern method. Point pattern dalam hal tersebut merupakan
penampilan distribusi kejadian penyakit dan letak sumur berdasarkan
ruang.

Pet a Sal init as dengan J uml ah Sumur Gal i Posi t if dan Negat if
di Kecamat an Tembal ang Tah un 2014
N

Sendangguwo W E
Kedungmundu
Tandang S

Jangli
chart sumur
Sambiroto Sumur_Positif
Sendangmulyo Sumur_Negatif
Mangunharjo salinitas rata-rata
BAB IV
Tembalang Normal
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bulusan Rendah
Sedang
A. Salinitas Pada Sumur Gali Meteseh
di Kecamatan Tembalang TahunTinggi
2014
Kramas

Rowosari
22

200000 0 200000 400000 Miles


Gambar 4.1 Peta Salinitas Pada Jumlah Sumur Gali di Kecamatan Tembalang
Tahun 2014
Masyarakat Kecamatan Tembalang masih banyak yang menggunakan
sumur gali sebagi sumber air dalam kesehariannya. Sumber air pada sumur
gali juga dipengaruhi oleh tinggi rendahnya curah hujan. Curah hujan akan
mempengaruhi salinitas air. Salinitas adalah tingkat keasinan atau
kadar garam terlarut dalam air.
Hasil analisa peta salinitas dengan jumlah sumur gali positif dan negatif
di Kecamatan Tembalang tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah sumur gali
postif jentik Aedes aegypti lebih banyak daripada jumlah sumur gali negatif
jentik Aedes aegypti pada daerah dengan rata-rata salinitas sumur gali
rendah. Kelurahan yang merupakan daerah dengan rata-rata salinitas rendah
meliputi Jangli, Sambiroto, Kedungmundu, Sendangmulyo, Tembalang,
Bulusan, Kramas, Meteseh, dan Rowosari. Sebaliknya pada daerah dengan
salinitas sedang jumlah sumur gali negatif jentik Aedes aegypti lebih banyak
dibandingkan jumlah sumur gali positif jentik. Hal ini menunjukkan bahwa
kondisi salinitas rendah memungkinkan jentik Aedes aegypti untuk dapat
bertahan hidup. Kelurahan dengan rata-rata salinitas sedang yaitu
Mangunharjo, Tandang, dan Sendangguwo.
Curah hujan yang tinggi akan mempengaruhi salinitas pada sumur gali.
Salinitas 0 menandakan bahwa salinitas normal, sebab menurut Efendi
(2008) salinitas kurang dari 0,5 o/oo larva akan bisa hidup dengan baik.
Berbeda dengan Sudarmaja (2007) yang mengatakan bahwa Aedes spp.

23
mempunyai sifat yang lebih toleran terhadap salinitas yang tinggi karena
memiliki salinitas 4 30 o/oo, dan salinitas yang sesuai dengan perkembangan
larva di Pulau Jawa adalah 15 20 o/oo. Salinitas 0 maka normal, 0,5-15 o/oo
maka rendah, 16-30 o/oo sedang, dan >30 maka tinggi.35,36

B. Keberadaan Sumur Positif Aedes aegypti dengan Kasus Demam


Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Tembalang Tahun 2014
Peta Keberadaan Sumur Positif Jentik Aedes aegypti
dengan Kasus Demam Berdarah Dengue
di Kecamatan Tembalang Tahun 2014
N
TT
$$
(^ T$T
$
W E $T
T$
$
T
$
T (^ T $^
($
$
T
(
^ $ T
T
(
^ $T
T (
^ $
T Kedungmundu
$ ( T
^ $T $
S $^( $^
( ^(
T
$
T (T
^ $(T
(^
^
$
T $ T
T ( ^
^
$ ( $$
T $
T
Gambar 4.2 Peta Keberadaan Sumur Positif Aedes aegypti dengan Kasus
Jangli ^
$^
(( ^
(^
^
(
( T
(T
^
( ^
^
$
(T
(T
$$
T^$T
$ ( T
^
$ ^
$ (
T
$ ^
T ( T $T$T$^
(

$
T
T $
T$ $T
T $ T $
( T
^ $ T $^
T (
$ T
T (
^
$ ^ ( $T
T
Sendangmulyo
$
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Tembalang
$ T
T
$$T
T $ $T
T $T
$T $ ^ (T
$
Tahun 2014
$
T
Sumur positif.shp
(
^
$
T
$
T
(
^
(^
^ (
^ $
T
$
T
(
^ T
$ 1 Dot = 1 (^
^
( $T(
$
Tembalang $ T
T
Kasus DBD $ T $ T$ ( T
^ (
^
( ^
^ ( ^ ( $ T
T $
Hasil analisa peta keberadaan sumur positif jentik Aedes
$
T
$
T $
T ( T
^ $ T $ (^ 1aegypti
(T
^$
Dot = 5 dengan
$
T
$
T
$ T
T $ ( T
^ $
salinitas rata-rata
( T
^ $ ^ ( $
T $T
T$
(
^
Normal Meteseh
kasus Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Tembalang
( ^
^ ( $
T
$^
T
(
^(
$
T
$
T
(
^ Rendah
tahun 2014
(
^
(
^
(
^
(T
^$ $
T $
T
$
T $T
T $ Sedang $
T $
T
merupakan kelanjutan analisis peta salinitas dengan peta sumur
$ T
T
$$ ^
T ( T $T
(
^
$ Tinggipositif jentik
(
^
$^
T(
$ T
T $
T $
T (
^
$ $
T
$
T $
T
yang menyatakan bahwa salinitas rendah memungkinkan jentik Aedes
(
^
$
T $^
T( $
T
$ ^
T ( $
T
aegypti untuk dapat bertahan
(
^ hidup. Hasil temuan ini sesuai dengan hasil
penelitian Efendi (2008) salinitas kurang dari 0,5 o/oo larva akan bisa hidup
200000 0 200000 400000 Miles
dengan baik. Faktor risiko lain infeksi dengue diantaranya tingkat imunitas
host, kepadatan penduduk, interaksi vektor dan host dan virulensi virus.
Kepadatan vektor juga berkontribusi terhadap epidemi DBD.
Jika dianalisis lebih lanjut dengan adanya pemetaan sebaran kasus
maka risiko terjadinya kasus DBD pada daerah dengan salinitas rendah lebih
rendah hal dikarenakan kepadatan vektor akan semakin meningkat dengan
adanya kondisi sumur gali yang dapat menjadi tempat breeding place
nyamuk Aedes aegypti.
Kelurahan dengan karakteristik salinitas rendah dan jumlah sumur gali
positif jentik Aedes aegypti yang mengalami kasus DBD tinggi antara lain
Tembalang sebesar 50 kasus, Jangli sebesar 47 kasus, Kedungmundu
sebesar 45 kasus, Meteseh sebesar 42 kasus, dan Sendangmulyo sebesar
40 kasus. Kasus DBD terendah terdapat pada kelurahan Sendangguwo yang
merupakan daerah salinitas sedang sebesar 9 kasus.

24
Curah hujan sangat berkaitan dengan kondisi salinitas air sumur
gali. Curah hujan rendah akan membuat salinitas sumur gali rendah pula.
Seperti yang telah diterangkan oleh Efendi (2008) salinitas kurang dari 0,5
o
/oo larva akan bisa hidup dengan baik begitu pula Sudarmaja (2007)
yang mengatakan bahwa Aedes spp. mempunyai sifat yang lebih toleran
terhadap salinitas yang tinggi karena memiliki salinitas 4 30 o/oo.

C. Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan Curah Hujan dengan


Sumur Gali Positif Jentik Aedes aegypti

Peta
Peta Curah Kasus
Hujan denganDemam
Sumur Gali Berdarah Dengue
Positif Jentik Aedes aegypti (DBD)
serta Kasus DBD
di Kecamatan Tembalang Tahun 2014
Berdasarkan Curah Hujan dengan Sumur Gali Positif
N Jentik Aedes aegypti
(^ T$
$ T
T $
T
$T T (^
$
(^
^ ( $
$^
T ( T $T
$ $
T
$T
T
(
^
$^ (
( ^
^ ( ^ (
$
T $
T
$T
T
$
T$ (T
^ $^(T $
( T
^ $ $
T (
^ $
T (
^ (T
^ $
(T
^$ T $^(^(T
$T $
T $
T $
T
$
T $ $
T$ T
T $ (
^
(
^ (
^
$
T
(
^ (
^
$ T $
$T
T $ ^ (
$
T
$
T $^
( T
^
( T$
$
(
^
T Sumur positif.shp
(T
^ $T
(T
^ $
T
Tembalang $$^
(T
$^
T (T
$ T $
$^
T (
$
T
( ^
^ ( ^ (
$
T T
$ 1 Dot = 1
(
^ $
T $$
T T
(T
^$ T $ T $(
^ (
^ $
T
$ T
T $
$
T
Kasus DBD
$
T $
T
(
^ $
T T
$ (^ 1 Dot = 5
(^
^( ^
$( ^
T $
T $ T
T $
( ^(
$
T
$
T
( T
^ $ $$
T T
curah hujan
(T
^ $^
T
$
T $T
T $ $
T$
T $ ^
T $
( T $ ^ (
(
$
T Rendah
( T
^ $T
$ T $ $
T
( T
^ $( ^
$( T
T
$T
T
(
^
$$ $ ^
T ( $
T
(
^
Sedang
(
^ $ ^
T (
^ (
^ $ $
T T Tinggi
$
T
$
T
$T
T $ ( ^
^ $
T
(
^ ( ^ (
$
T T
$
TT
$ $
T (^ $
T (
^
$
$
T $
T
$
T
(
^

200000 0 200000 400000 Miles

Gambar 4.3 Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan Curah


Hujan dengan Sumur Gali Positif Jentik Aedes aegypti
Analisis peta curah hujan dengan sumur gali positif jentik Aedes
aegypti serta kasus DBD di Kecamatan Tembalang tahun 2014 menyatakan

25
bahwa Kelurahan Tembalang memiliki jumlah kasus DBD tertinggi yaitu 50
kasus. Kelurahan ini memiliki curah hujan rendah yaitu 73 mm/bln oleh
karena itulah salinitas kelurahan ini juga termasuk rendah yaitu 3,12 o/oo.
Kondisi ini membuat jentik Aedes aegypti dapat berkembang dalam sumur
gali dan menambah jumlah kepadatan vektor DBD. Oleh karena itulah
kelurahan ini beresiko terjadi banyak kasus DBD akibat dari temuan bahwa
sumur gali dengan salinitas rendah dapat menjadi breeding place dan
tempat berkembang jentik.
Aedes aegypti menyukai penampungan air yang jernih dan
terlindung dari sinar matahari langsung sebagai tempat perindukannya.
Penampungan air seperti itu umumnya banyak dijumpai di rumah dan
sekitarnya. Air bersih yang ditampung oleh penduduk berasal dari berbagai
sumber, seperti air hujan, ladang, dan sumur.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISIS DAN PEMETAAN KEJADIAN DEMAM


BERDARAH DENGUE (DBD) BERDASARKAN
CURAH HUJAN DENGAN KEBERADAAN JENTIK
Aedes aegypti PADA SUMUR GALI DI KECAMATAN
TEMBALANG SEMARANG

Itu judulnya cocok kan kalo dihubunin kasus??? OK pake judul ini aja
A. Kesimpulan
Berdasarkah hasil yang diperoleh dari analisis pemetaan kejadian
demam berdarah dengue (DBD) berdasarkan curah hujan dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti pada sumur gali di Kecamatan Tembalang
Semarang maka dapat disimpulkan bahwa curah hujan dan kondisi salinitas
sumur gali sangat berhubungan erat yaitu curah hujan rendah akan
menyebabkan salinitas sumur gali rendah. Jumlah jentik Aegypti yang banyak
menggambarkan jumlah kepadatan vektor yang banyak pula sehingga resiko
penularan DBD menjadi lebih besar.

26
Penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa sumur gali dengan
salinitas rendah dapat menjadi tempat hidup larva Aedes aegypti.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan diperoleh bahwa kelurahan dengan
curah hujan rendah memiliki salinitas sumur rendah serta memiliki jumlah
sumur positif jentik Aedes aegypti yang banyak, kasus DBD pada kelurahan
tersebut dengan kondisi tersebut tinggi. Sebaliknya kelurahan dengan curah
hujan tinggi memiliki salinitas sumur gali tinggi sehingga jumlah sumur gali
positif jentik Aedes aegypti rendah dan kasus DBD di kelurahan tersebut
rendah.

B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka beberapa saran yang
diajukan adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat diharapkan menutup sumur gali agar tidak menjadi tempat
breeding place nyamuk.
2. Petugas kesehatan/Puskesmas/Dinas Kesehatan diharapkan memberi
penyuluhan seputar sumur gali yang berpotensi menjadi tempat breeding
place Aedes aegypti.
3. Pemerintah diharapkan membuat kebijakan tentang sumur gali.

DAFTAR PUSTAKA

1. Whitehorn J, Farrar J (2010). Dengue. Br. Med. Bull.95: 16173.


doi:10.1093/bmb/ldq019. PMID 20616106.
2. Kementrian Kesehatan Indonesia. 2010. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2009. Jakarta: Kementrian Kesehatan.

27
3. Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2014. Profil Kesehatan Kota Semarang
2013. Semarang: Dinkes Kota Semarang
4. Achmadi UF, Sudjana P, Sukowati S. 2010. Demam Berdarah Dengue.
Buletin Jendela Epidemiologi. Agustus;Volume 2.
5. Ranjit S, Kissoon N (July 2010). Dengue hemorrhagic fever and shock
syndromes. Pediatr. Crit. Care Med.12 (1): 90100.
doi:10.1097/PCC.0b013e3181e911a7. PMID 20639791.
6. Varatharaj A (2010). "Encephalitis in the clinical spectrum of dengue
infection". Neurol. India58 (4): 58591. doi:10.4103/0028-3886.68655.
PMID 20739797.
7. Satari HI, Meiliasari M. 2006.Demam Berdarah. Jakarta: Puspa Swara.
8. Wolff K, Johnson RA (eds.) (2009). "Viral Infections of Skin and Mucosa".
Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology (ed. 6th). New
York: McGraw-Hill Medical. hlm. 8102. ISBN 9780071599757.
9. Knoop KJ, Stack LB, Storrow A, Thurman RJ (eds.) (2010). "Tropical
Medicine". Atlas of Emergency Medicine (ed. 3rd). New York: McGraw-Hill
Professional. hlm. 6589. ISBN 0071496181.
10. Gould EA, Solomon T (February 2008). "Pathogenic flaviviruses". The
Lancet371 (9611): 5009. doi:10.1016/S0140-6736(08)60238-X.
PMID 18262042.
11. Rodenhuis-Zybert IA, Wilschut J, Smit JM (August 2010). "Dengue virus life
cycle: viral and host factors modulating infectivity". Cell. Mol. Life Sci.67 (16):
277386. doi:10.1007/s00018-010-0357-z. PMID 20372965.
12. Boesri, Hasan. 2011. Biologi dan Peranan Aedes albopictus (Skuse) 1894
sebagai Penular Penyakit Vol. 3 No. 2. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga:Badan Litbangkes.
13. Haryono. 2012. Fauna Indonesia ISSN 0216-9169. Bogor: Bidang Zoologi
Puslit Biologi Pusat Penelitian Biologi LIPI.
14. Sigit, S. H. 2006. Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan Biologi dan
Pengendalian. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
15. Borror, D. J., C. A. Triplehorn & N. F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Ed. 6. Penerjemah S. Partosoedjono. Yogyakart: Gadjah Mada
University Press.
16. Hasyimi, H, dan Soekirno, M. 2004. Pengamatan Tempat Perindukan Aedes
aegypti Pada Tempat Penampungan Air Rumah Tangga Pada Masyarakat
Pengguna Air Olahan, Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol. 3 (1), Jakarta.
17. Sembel. 2009. Entomologi Kedokteran. Yogyakarta: C.V. Andi Offset.

28
18. Prianto, L.A; Tjahya, P.U; Darwanto. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
19. Hadi, Mochamad, Udi Tarwotjo, Rully Rahardian. 2009. Biologi Insekta
Entomologi. Yogyakarta: Graha Ilmu
20. Setiana, N. 2010. Uji Larvasida Infus Biji Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq)
terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti.
21. Soegeng Soegijanto. 2006. Demam Berdarah Dengue (Edisi kedua). Air
Langga University Press. Surabaya.
22. Inge, Sutanto dkk. 2008. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI.
23. Wiwanitkit V. 2010. Unusual mode of transmission of dengue. Journal of
Infection in Developing Countries4 (1): 514. PMID 20130380.
24. Adifian, Hasanuddin Ishak, Ruslan La Ane. 2012. Kemampuan Adaptasi
Nyamuk Aedes Aegypti Dan Aedes Albopictus Dalam Berkembang Biak
Berdasarkan Jenis Air. Makasar: Universitas Hasanudin.
25. Herms, W. 2006. Medical Entomology. The Macmillan Company, United
States of America.
26. Sonoto, dkk. 2009. Kemampuan Adaptasi Nyamuk Aedes Aegypti Terhadap
Kondisi Air. FKM universitas Muhammdiyah Semarang.
27. Suarez R, Olarte MF, Ana MFA, Gonzalez C. Is what I have just a cold or is it
dengue? Addressing the gap between the politics of dengue con-trol and
daily life in Villavicencio-Colombia.
28. Syahribulan dkk. 2010. Karakteristik Sumur Yang Digunakan Nyamuk
Aedes aegypti Dan Aedes albopictus Sebagai Habitat Perkembangbiakan di
Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Kedokteran.
29. Sudarmaja, I. 2007. A Study on Fauna of Aedes at Graha Kerti and Kerta
Petasikan Hamlets, Village of Sidakarya, Denpasar. International Seminar
on Mosquito and Mosquito-borne Disease Control Through Ecological
Approach. Yogyakarta.
30. Setyaningrum, E., S.Murwani, E.Rosa, dan K. Andananta. 2008. Studi
Ekologi Perindukan Nyamuk Vektor Malaria dan DBD di Desa Way Muli,
Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan. Makalah Disampaikan pada
Seminar Pengabdian Masyarakat, Universitas Lampung. Bandar Lampung.
31. Depkes RI. 2004. Buletin Harian Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes
aegypti Sangat Penting Diketahui dalam Melakukan Kegiatan
Pemberantasan Sarang Nyamuk Termasuk Pemantauan Jentik Berkala.
Ditjen P2M & PL. Jakarta.

29
32. Widjaja, Junus. 2012. Survei Entomologi Aedes Spp Pra Dewasa Di Dusun
Satu Kelurahan Minomartani Kelurahan Depok Kabupaten Sleman Provinsi
Yogyakarta Jurnal Aspirator Vol. 4 No. 2. Balai Litbang P2B2 Donggala,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
R.I.
33. Gubler, D J. 2008. Vector-borne disease: Understanding the environmental,
human health, and ecological connections. Vector-Borne Disease
Emergence and Resurgence, Vol 1

30

Anda mungkin juga menyukai