Anda di halaman 1dari 38

TINJAUAN SURVEILLANCE PENYAKIT MENULAR DEMAM BERDARAH

DI KOTA SEMARANG JAWA TENGAH


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Case Management and Surveillance

Disusun oleh :

Refa’ Khairun Nisa P1337424719017


Rohmatun Nazilah P1337424719018
Ermi Lilianda Alang P1337424719019
Aninditya Azis P1337424719020
Diana Rifka Yulia Wahyuni P1337424719021
Khoirotul Hidayah P1337424719022
Setyo Mahanani Laksonowati P1337424719023
Aulia Agyanti Rahmah P1337424719024

PROGRAM STUDI KEBIDANAN MAGISTER TERAPAN KESEHATAN


POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
KEBIDANAN KELAS A
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota besar di Indonesia disebabkan
terlampauinya kemampuan kota dalam mendukung fungsi kota, dimana permasalahan
tersebut terus meningkat seiring perubahan yang cepat. Kota semarang merupakan salah
satu kota besar di Indonesia yang berkembang pesat. Perkembangan kota semarang
mendorong bertambahnya jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk
mengakibatkan keterbatasan akan lahan khususnya lahan pemukiman, penurunan
ketersediaan air bersih, kualitas air yang menurun akibat limbah kota, peningkatan
pencemaran udara akibat pemanfaatan transportasi kota, dan meningkatnya angka
kemiskinan. Penurunan kualitas kota tersebut dapat mengurangi kemampuan dalam
mendukung kehidupan perkotaan, salah satunya dalam bidang kesehatan. Kesehatan
merupakan index pembangunan manusia yang menjadi salah satu indikator pembangunan
kesehatan. Pembangunan kesehatan harus dapat menjangkau kelompok-kelompok
penduduk tersebut lebih rentan terhadap penyakit dengan kemampuan membiayai
kesehatan pribadi jauh lebih sedikit (Hanum, dkk., 2011).
Angka kesakitan akibat penyakit menular di Indonesia meningkat, khususnya di kota-
kota besar. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, angka kesakitan akibat penyakit
menular di Kota Semarang terus meningkat. Penyakit menular yang sering kali berjangkit
di Kota Semarang dengan intensitas yang tinggi dan tidak diorientasikan pada interaksi
internal penderita penyakit menular tersebut, antara lain Demam Berdarah Dengue, TB
Paru, Diare, dan Pneumonia. Kota Semarang merupakan salah satu daerah endemis di
Provinsi Jawa Tengah yang setiap tahun selalu terjadi kasus DBD dan juga terdapat
kematian karena penyakit tersebut. Data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang pada tahun
2016 terdapat 448 kasus, Incidence Rate (IR) 25,22 per 100.000 penduduk dengan
kematian penderita (Case Fatality Rate 5,12 %), tahun 2017 terdapat 299 kasus, Incidence
Rate (IR) 18,14 per 100.000 penduduk dengan kematian 8 penderita (Case Fatality Rate
2,7 %) dan pada tahun 2018 terdapat 103 kasus, Incidence Rate (IR) 6,17 per 100.000
penduduk dengan kematian 1 penderita (Case Fatality Rate 0,97 %). Pada tahun 2019
sampai dengan Bulan Maret 2019 sudah terdapat 140 kasus dengan angka kematian 5 orang
meninggal akibat DBD.
Ada beberapa alasan negara beriklim tropis khususnya Indonesia menjadi lokasi rawan
wabah DBD yaitu ditinjau dari letak geografis negaranya sendiri dan kebiasaan tertentu
yang dilakukan penduduknya. Menurut Joseph (2019), faktor resiko terjadinya Demam
Berdarah Dengue yaitu musim hujan yang lama, daya tahan tubuh yang buruk, buang
sampah sembarangan, jarang menguras bak mandi, gemar menumpuk baju kotor di rumah,
sering keluar rumah malam-malam, pergi ke daerah yang banyak kasus demam berdarah.
DBD dapat mengakibatkan komplikasi penyakit yang berujung pada kematian. Jika
penyakit DBD ini dibiarkan tanpa penananganan medis, DBD akan semakin berkembang
parah dan menimbulkan berbagai komplikasi. Salah satu komplikasi yang paling mungkin
terjadi adalah kerusakan pembuluh darah dan kelenjar getah bening, yang dapat
menyebabkan perdarahan. Perdarahan akibat DBD biasanya ditandai dengan mimisan, gusi
berdarah, dan atau memar berwarna keunguan yang terjadi tiba-tiba. Lambat laun
perdarahan dalam ini dapat mengakibatkan syok akibat tekanan darah yang menurun drastis
dalam waktu singkat serta pasien DBD juga mengalami kebocoran plasma. Artinya, pasien
yang terkena DBD akan tetap kehilangan cairan meskipun sudah banyak minum atau
mendapatkan cairan infus. Inilah yang paling sering mengakibatkan terjadinya syok. Jika
DBD sampai pada tahap syok, kondisi ini disebut sebagai dengue shock syndrome (DSS)
dan dapat menyebabkan kegagalan sistem organ yang berujung pada kematian.
Pemerintah Kota Semarang mengupayakan banyak hal untuk mencegah terjadinya
kejadian DBD. Pemerintah berupaya supaya masyarakat juga ikut berperan aktif dalam
memberantas rantai perkembang-biakan nyamuk, penerapan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) di rumah-rumah harus lebih digiatkan. Kebersihan lingkungan menjadi
faktor utama, misalnya menutup bak air agar tidak jadi sarang nyamuk, mengubur barang
bekas, tidak menggantung baju kotor dan lain sebagainya. Selain itu pemerintah yaitu
kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang melakukan sosialisasi dalam rangka
mengantisipasi penyebaran penyakit demam berdarah tersebut dengan upaya
menggalakkan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Pemerintah Kota Semarang juga
menerapkan penerapan Hard Early Warning System. Selain itu, PKK Kota Semarang ikut
andil dalam memberantas DBD dengan program Sijentik yang melibatkan anak-anak
supaya melakukan pemantauan jentik secara rutin. Menurut dr. Moch Abdul Hakam selaku
Kepala Dinkes Kota Semarang menyatakan ujung tombak pencegahan DBD adalah
masyarakat, sehingga diperlukan dengan kerjasama masyarakat melalui Camat, Lurah,
PKK dan lainnya (Fajlin, 2019).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa angka kejadian penyakit menular akibat
binatang yaitu Demam Berdarah Dengue di tahun 2019 meningkat dibandingkan 3 tahun
sebelumnya yaitu dari tahun 2016-2018 mengalami penurunan, tetapi pada tahun 2019 ini
meskipun belum tutup tahun namun angka kejadian kasus dan kematiannya meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya sehingga penulis tertarik untuk membahas mengenai
bagaimana kegiatan surveilans penyakit menular khususnya tentang Demam Berdarah
Dengue di Kota Semarang jawa tengah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah bagaimana
kegiatan surveilans penyakit menular khususnya tentang Demam Berdarah Dengue di Kota
Semarang jawa tengah
1.3 Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui surveilans penyakit menular Demam Berdarah Dengue di Kota
Semarang Jawa Tengah.
b. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan survailens penyakit menular Demam
Berdarah Dengue di Kota Semarang.
2) Untuk mengetahui masalah yang ditemui dalam pelaksanaan survailens penyakit
menular Demam Berdarah Dengue di Kota Semarang
3) Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam mengatasi masalah penyakit Demam
Berdarah Dengue di Kota Semarang.
4) Untuk menganalisis kasus DBD di Kota Semarang berdasarkan prinsip surveilans.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Pelaksanaan Surveillance

Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan
ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes Aegypty. Penyakit ini sebagian besar menyerang anak
berumur < 15 tahun, namun dapat juga menyerang orang dewasa. Penyakit DBD masih
merupakan permasalahan serius di Provinsi Jawa Tengah, terbukti 35 Kabupaten/kota
sudah pernah terjangkit penyakit DBD. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di daerah tropis. Indonesia merupakan salah satu
negara beriklim tropis dengan kasus DBD yang tinggi dibandingkan dengan negara tropis
lain di dunia. DBD merupakan penyakit yang serius dan sangat membahayakan, oleh karena
itu dibutuhkan penanganan terhadap penyakit tersebut agar tidak merugikan orang lain.
Surveilans merupakan salah satu strategi yang memiliki peranan penting dalam memantau
penyakit DBD. Penyebaran penyakit DBD terus berkembang, oleh karena itu sistem
pencatatan dan pelaporan guna keperluan perencanaan, pencegahan dan pembarantasan
penyakit DBD harus didukung oleh sistem yang handal, yakni suatu sistem yang dapat
menyediakan data dan informasi yang akurat, valid dan up to date.
Surveilans merupakan kegiatan yang bersifat terus menerus dan sistematik dalam
pengumpulan data, pengolahan, analisis, interpretasi dan diseminasi kepada pihak terkait,
untuk melakukan tindakan yang tepat dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada. Oleh
karena itu hasil kegiatan surveilans sangat dibutuhkan dalam menunjang aspek manajerial
program penyakit DBD, dimana berperan dalam proses perencanaan, monitoring dan
evaluasi dari program kesehatan yang ada. Pemerintah Kota Semarang mengupayakan
banyak hal untuk mencegah terjadinya kejadian DBD yaitu dengan bekerja sama dengan
Dinas Kesehatan juga masyarakat dalam memerangi DBD seperti konsisten membersihkan
lingkungan, pemerintah berupaya supaya masyarakat juga ikut berperan aktif dalam
memberantas rantai perkembang-biakan nyamuk, penerapan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) di rumah-rumah harus lebih digiatkan lagi karena PSN merupakan salah
satu kiat paling efektif untuk memberantas sarang nyamuk dibandingkan dengan fogging
(Mughis, 2019). Kebersihan lingkungan menjadi faktor utama, misalnya menutup bak air
agar tidak jadi sarang nyamuk, mengubur barang bekas, tidak menggantung baju kotor dan
lain sebagainya (Sucipto, dkk., 2015).
Selain itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang melakukan sosialisasi dalam
rangka mengantisipasi penyebaran penyakit demam berdarah tersebut dengan upaya
menggalakkan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). PSN ini melibatkan tim untuk
memantau sarang nyamuk di setiap rumah. Pemerintah Kota Semarang juga menerapkan
penerapan Hard Early Warning System yaitu melalui sistem ini jika mendapati laporan
kasus DBD, Dinkes dapat langsung menindaklanjuti kasus tersebut dengan melakukan
penelitian epidemiologis dalam kurun waktu 24 jam, apabila pasien masuk Rumah Sakit
petugas langsung survei lapangan untuk mengetahui DBD di wilayah tersebut. Selain itu,
PKK Kota Semarang ikut andil dalam memberantas DBD dengan program Sijentik yang
melibatkan anak-anak supaya melakukan pemantauan jentik secara rutin (Fajlin, 2019).
Hasil pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit DBD yang telah dilakukan oleh
Dinkes Kota Semarang belum berjalan sesuai harapan. Upaya pemberantasan nyamuk
penular sudah dilakukan melalui berbagai cara, akan tetapi hasilnya belum seperti yang
diharapkan. DBD yang terjadi sempat mengalami penurunan namun terjadi lagi
peningkatan yang drastis dan membahayakan. Perilaku masyarakat mempunyai peranan
penting terhadap penularan DBD, namun perilaku tersebut harus didukung oleh
pengetahuan misalnya pengetahuan cara penularan, penanggulangan serta sikap dan
tindakan yang benar sehingga dapat diterapkan dengan benar. Menurut dr. Moch Abdul
Hakam selaku Kepala Dinkes Kota Semarang menyatakan ujung tombak pencegahan DBD
adalah masyarakat, sehingga diperlukan dengan kerjasama masyarakat melalui Camat,
Lurah, PKK dan lainnya (Fajlin, 2019).
2.2. Data Hasil Survaillance di Kota Semarang

Angka kesakitan/Incidence Rate (IR) DBD di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2018
sebesar 10,2 per 100.000 penduduk, mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2017
yaitu 21,68 per 100.000 penduduk. Hal ini berarti IR DBD di Jawa Tengah lebih rendah
dari target nasional (< 51/100.000 penduduk) dan target Renstra (< 46/100.000). Setiap
penderita DBD yang dilaporkan dilakukan tindakan perawatan penderita, penyelidikan
epidemiologi di lapangan serta upaya pengendalian terhadap penyakit tersebut.
Kabupaten/kota dengan IR DBD tertinggi adalah Blora 45,01 per 100.000 penduduk dan
terendah adalah Brebes 1.66 per 100.000 penduduk. Angka kematian/Case Fatality Rate
(CFR) DBD di Jawa Tengah tahun 2018 sebesar 1,05 persen, menurun bila dibandingkan
CFR tahun 2017 yaitu 1,24 persen. Angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan
target nasional (< 1%), namun lebih rendah dibandingkan target renstra (< 2%) (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Pada tahun 2017, kematian akibat penyakit DBD terjadi di 19 kabupaten/kota di Jawa
Tengah (54,29 persen). Terdapat 7 kabupaten/kota dengan CFR >2 persen yaitu Wonogiri
12,5 persen, Kota Pekalongan 10,0 persen, Klaten 5,0 persen, Brebes 3,3 persen, Kendal
3,1 persen, Batang 2,9 persen dan Karanganyar 2,5 persen. Kota Semarang merupakan salah
satu daerah endemis di Provinsi Jawa Tengah. Setiap tahun selalu terjadi kasus serta
kematian karena penyakit DBD. Data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang pada tahun
2016 terdapat 448 kasus, Incidence Rate (IR) 25,22 per 100.000 penduduk dengan
kematian penderita (Case Fatality Rate 5,12 %), tahun 2017 terdapat 299 kasus, Incidence
Rate (IR) 18,14 per 100.000 penduduk dengan kematian 8 penderita (Case Fatality Rate
2,7 %) dan pada tahun 2018 terdapat 103 kasus, Incidence Rate (IR) 6,17 per 100.000
penduduk dengan kematian 1 penderita (Case Fatality Rate 0,97 %). Pada tahun 2019
sampai dengan Bulan Maret 2019 sudah terdapat 140 kasus dengan angka kematian 5 orang
meninggal akibat DBD (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
2.3 Masalah dalam Pelaksanaan Surveilan
Penyelidikan epidemiologi (PE) merupakan salah satu penanggulangan DBD yang
memiliki peran penting karena merupakan kegiatan pelacakan penderita atau tersangka
lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular penyakit DBD di rumah
penderita/tersangka. PE dilaksanakan <24 jam dan sasaran minimal 20 bangunan disekitar
rumah tersangka atau penderita dengan radius 100m. Melalui pelaksanaan PE diharapkan
kasus DD/DBD dapat terlacak sehingga dapat ditangani dengan cepat sebelum menjadi
DSS dan berakibat fatal.
Berdasarkan penelitian dari Afriyanti, Arso dan Wigati (2017), ditinjau dari aspek
petugas ditemukan permasalahan diantaranya petugas kurang mengetahui terkait SOP yang
berlaku. Petugas P2PVTZ mengalami kesulitan saat mengakses ke Health Early Warning
System (HEWS), dikarenakan sistem ini baru berlaku sehingga dibutuhkan penyesuaian,
oleh karena itu, dibutuhkan keterampilan dan kemampuan untuk menjalankan sistem yang
baru ini. Motivasi petugas kurang saat harus mengerjakan tugas tepat waktu dikarenakan
tugas yang banyak, misal saat membuat laporan PE < 24 jam namun disaat bersamaan harus
mengerjakan yang lainnya.
Permasalahan lainnya ditinjau dari aspek organisasi diantaranya pada sumber daya
manusia yakni petugas memiliki dua jabatan yaitu sebagai petugas P2PVTZ dan bendahara
puskesmas, sehingga merasa kesulitan saat menjalankan tugas untuk melaksanakan PE.
Pada kebijakan dan aturan yang berlaku, petugas merasa kesulitan untuk membuat laporan
PE yang hanya diberikan waktu <24 jam setelah dilakukannya PE. Menurut
penanggungjawab P2PVTZ DKK Semarang, kepala puskesmas seharusnya melakukan
pemantauan pada petugas saat melakukan pengendalian DBD ini, pemantauan dilakukan
secara langsung ataupun dari hasil laporan PE yang diterima oleh kepala puskesmas.
Wilayah kerja yang luas yakni mencakup beberapa kelurahan, membuat petugas kesulitan
saat mencari – cari alamat untuk melaksanakan PE.
Berdasarkan penelitian dari Kusumo, Setiani dan Budiyono (2014), permasalahan
lain terdapat pada Sistem pelaporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan, laporan tahunan
dan peta stratifikasi DBD per kecamatan. Ketepatan waktu penyampaian laporan dan
kelengkapannya yang masih kurang. Ada 45 kasus DBD yang tidak dilakukan Penyelidikan
Epidemiologi (PE). Hal ini disebabkan karena kurang lengkapnya alamat indeks kasus atau
indeks kasus sudah pindah sehingga indeks kasus tidak ditemukan. Pelaksanaan fogging
yang < 5 hari sebanyak 64,1%, hal ini masih kurang dan belum sesuai dengan target yang
ditentukan yaitu fogging < 5 hari sebesar 100%. Menurut Dinas Kesehatan Kota, masalah
tersebut disebabkan oleh keterlambatan petugas puskesmas melapor kasus fogging, adanya
kendala di lapangan seperti indeks kasus tidak ditemui sedangkan dalam radius 100 meter
ada kasus tambahan atau masyarakat tidak siap bila di-fogging dalam jangka waktu lima
hari setelah pelaksanaan PE serta kurangnya persiapan bahan karena adanya
ketidaksesuaian jadwal pengambilan bahan dengan kebutuhan lapangan/kebutuhan
pelaksanaan fogging.
Pelaksanaan PJR yang dilaksanakan oleh kader atau jumantik dinilai kurang karena
PJR tidak dilakukan seminggu sekali walaupun setiap minggunya mereka mengirimkan
laporan pemeriksaan jentik mingguan. Banyak kader atau jumantik yang memalsukan data
pemeriksaan jentik sehingga hasilnya tidak akurat. Pelaksanaan PJB yang dilakukan oleh
petugas kesehatan dari puskesmas sudah cukup karena sudah dilakukan tiga bulan sekali
yaitu pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember.

2.4 Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam Mengatasi DBD di Kota Semarang

Salah satu upaya Pemerintah Kota Semarang adalah membentuk Petugas Surveilans
Kesehatan (Gasurkes) DBD sesuai Perda Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2010. Program
tersebut bertujuan untuk menekan jumlah kasus DBD di Kota Semarang. Peran Gasurkes
adalah sebagai fasilitator dalam pemecahan masalah DBD dengan cara memberikan
pemeriksaan jentik serta memberikan penyuluhan tentang DBD (Kusumo, dkk., 2014).
Pada Petunjuk Peraturan Daerah Kota Semarang No. 5 Tahun 2010 tentang
Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) upaya-upaya yang dilakukan oleh
pemerintah adalah :
a. PSN 3M Plus
Tujuan : Untuk menghilangkan jentik yang ada ditempat penampungan air seperti bak
mandi, drum, tempayan, kaleng, ban bekas dll. Ditambah dengan kegiatan
lain seperti tidak menggantung pakaian di sembarang tempat.
Kegiatan : Menguras dan menutup tempat penampungan air serta mengubur barang-
barang bekas seperti kaleng bekas, botol bekas, ban bekas dan lain-lain.
Pelaksana : Dilaksanakan oleh masyarakat Secara rutin satu minggu sekali.
Sasaran : Tempat penampungan air yang ada dirumahnya masing-masing.
Evaluasi : Dilihat oleh tim pemantau jentik berkala setiap satu minggu dengan
menggunakan senter dan dicatat pada form pemantauan.
b. Pemeriksaan Jentik
Tujuan : Melihat ada tidaknya jentik aedes sp ditandon air.
Sasaran : Masyarakat penghuni rumah.
Kegiatan : Melihat tempat penampungan air dengan menggunakan senter.
Pelaksana : Petugas pemantau jentik rutin atau kader.
Waktu : Satu minggu sekali
c. Pengembangan kawasan bebas jentik
Kawasan Bebas Jentk (KBJ) adalah suatu kawasan dimana tidak diperkenankan
ditemukannya jentik Aedes yang menjadi penular penyakit DBD.
1) Tempat pengembangan pengawasan bebas jentik
a) Sekolah
b) Perkantoran
c) Pondok Pesantren
d) Perumahan
e) Kawasan Industri
f) Tempat-Tempat Umum
g) Sarana Pelayanan Kesehatan
2) Lokasi pengembangan kawasan bebas jentik tingkat daerah, meliputi satuan kerja
perangkat daerah (SKPD), tingkat kecamatan meliputi perkantoran kecamatan dan
sekolah SMP ke atas, tingkat kelurahan meliputi perkantoran tingkat kelurahan dan
SD ke bawah.
3) Koordinator pengembangan kawasan bebas jentik adalah asisten administrasi
perekonomian, pembangunan dan kesejahteraan Sekretaris kota Semarang.
4) Penanggung jawab pengembangan kawasan bebas jentik tingkat kecamatan adalah
camat dan tingkat kelurahan adalah lurah.
5) Pengembangan kawasan bebas jentik terintegrasi dengan analisis mengenai dampak
lingkungan (AMDAL), perijinan IMB, registrasi dan akreditasi sekolah.
6) Dalam rangka menilai keberhasilan kawasan bebas jentik dilakukan monitoring dan
evaluasi serta bersama secara silang.
d. Penyuluhan kesehatan
Tujuan : Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perkembangan nyamuk
Aedes Aigypti serta cara penularan penyakit DBD.
Sasaran : Masyarakat penghuni rumah
Petugas : Petugas pemantau jentik rutin atau kader.
Waktu : Paling sedikit seminggu sekali

e. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat


1) Dalam rangka peningkatan pengetahuan, kemampuan dan masyarakat salah satunya
dilaksanakan oleh petugas kesehatan dan kader kesehatan melalui forum kesehatan
kelurahan.
2) Kegiatan forum kesehatan kelurahan (FKK) melaksanakan survei mawas diri (SMD),
faktor resiko DBD, musyawarah masyarakat kelurahan (MMK) dan melaksanakan
keputusan musyawarah masyarakat kelurahan (MMK).
f. Mobilisasi masyarakat
1) Pada momen-momen tertentu antara lain, resik-resik kutho, jumat bersih, car free
day, pemantauan jentik berkala, media elektronik dan media cetak.
2) Semua event dalam pergerakan masyarakat tersebut diupayakan menyertakan
pergerakan masyarakat dalam pengendalian penyakit DBD terutama kegiatan PSN.
3) Mobilisasi masyarakat dalam pengendalian DBD dikoordinasikan sekretaris Kota
Semarang.
4) Semua mobilisasi masyarakat dalam pengendalian DBD dilaporkan kepada walikota.
g. Mutu pelayanan kesehatan
1) Yang dimaksud dengan mutu pelayanan kesehatan adalah kepatuhan petugas pada
standar mutu pelayanan yang ditetapkan. Standar mutu pelayanan dilaksanakan di
sarana pelayanan kesehatan mulai dari puskesmas, balai pengobatan, klinik kesehatan
dan rumah sakit pemerintah maupun swasta di Kota Semarang.
2) Untuk meningkatkan mutu pelayanan perlu disusun pedoman mutu pelayanan
disetiap jenjang fasilitas pelayanan kesehatan.
3) Petunjuk teknis penegakan diagnose DBD perlu ditetapkan oleh komite medik.
h. Sistem Informasi
1) Sistem informasi dilakukan dengan SMS gateway/email atau on line sesuai dengan
situasi, kondisi setempat dan perkembangan teknologi sistem informasi.
2) Yang dimaksud sistem pelaporan SMS gateway/email adalah jaringan elektronik
untuk menyampaikan informasi.
3) Alur informasi berasal dari masyarakat, balai, klinik di wilayah kerja puskesmas
melaporkan ke puskesmas diwilayah kerjanya dan dari sarana pelayanan kesehatan
(rumah sakit pemerintah, swasta dan puskesmas) ke Dinas Kesehatan.
4) Informasi dari masyarakat ke puskesmas berupa informasi klinis DBD.
5) Informasi dari puskesmas dan rumah sakit ke dinas kesehatan berupa informasi pasien
yang telah didiagnosa dengan penunjang hasil laboratorium.
i. Surveilans epidemiologi
Tujuan : Untuk melihat gambaran situasi penyakit DBD berdasarkan waktu, tempat
dan orang.
Sasaran : laporan dan sarana pelayanan kesehatan (puskesmas rumah sakit, dokter
praktek swasta dan lain-lain), serta masyarakat.
Pelaksana : Di Puskesmas oleh tenaga surveilens puskesmas di dinas kesehatan oleh
pemegang program DBD.
Waktu : Mingguan, bulanan dan tahunan.
j. Penyelidikan epidemiologi
Tujuan : Untuk mengecek kebenaran laporan, penyebaran penyakit DBD di
masyarakat dan untuk melihat kepadaan jentik rumah penderita dan
sekitarnya.
Sasaran : Penderita dan rumahnya serta rumah sekitarnya (tetangga) dengan radius
100 meter.
Pelaksana : Petugas DBD puskesmas.
k. Musyawarah masyarakat
Tujuan : Untuk mendapatkan kesepakatan dan dukungan dalam pengendalian
penyakit DBD.
Peserta : Masyarakat pemangku kepentingan (tokoh agama, tokoh masyarakat, RT,
RW, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan dan Kepala Kelurahan.
Pelaksana : Para pemangku kepentingan bertemu dibalai RT/RW/Kelurahan dan
dipimpinoleh tokoh masyarakat yang ditunjuk untuk membahas
pengendalian DBD diwilayahnya.

l. Fogging Fokus
Tujuan : Membunuh nyamuk aedes sp dewasa
Sasaran : Rumah penderita DBD yang masuk kriteria dan sekitarnya dengan radius
100 meter.
Pelaksana : Petugas fogging puskesmas/ dinas kesehatan/ perusahaan pemberantasan
hama/ perorangan atau kelompok masyarakat yang memiliki ijin.
Bahan : Insektisida dan solar serta bensin
Pelaksaan : 2 kali dengan interval 7 hari
Waktu : Pagi hari jam 08.00 s/d 10.00 WIB
Sore hari jam 16.00 s/d 18.00 WIB
m. Foging Masal
Tujuan : Membunuh Nyamuk Aedes sp dewasa
Sasaran : Rumah masyarakat yang berada di wilayah kejadian luar biasa DBD.
Tujuan : Membunuh nyamuk aedes sp dewasa
Pelaksana : Petugas fogging puskesmas/Dinas Kesehatan/ Perusahaan pembasmi hama.
Bahan : Insektisida dan solar serta bensin.
Pelaksanaan: 2 kali dengan interval 7 hari
Waktu : Pagi hari jam 06.00 s/d 08.00 WIB
Sore hari jam 16.00 s/d 18.00 WIB
n. Larvasida
Tujuan : Membunuh nyamuk aedes sp dewasa
Sasaran : Tempat penampungan air didaerah yang sulit didapatkan air bersih
Pelaksana : Masyarakat
Waktu : 3 (tiga) bulan sekali
Dosis : Sesuai larvasida yang digunakan.

2.5 Analisa Kasus DBD di Kota Semarang Berdasarkan Prinsip Surveilans


A. Menurut Waktu
1. Kejadian DBD pada tahun 2016
Dari grafik di atas terlihat bahwa hanya di Bulan Oktober dan November 2016
jumlah penderita DBD Kota Semarang melebihi jumlah penderita yang sama pada
Tahun 2015. Puncak kasus DBD Tahun 2016 terjadi di bulan Maret dengan 63 kasus,
sedangkan tahun lalu pada Bulan Februari dengan 329 kasus. Jika dilihat dari data
Bulanan tersebut di atas, berdasarkan kriteria Kejadian Luar Biasa DBD yang
digunakan dalam Perda Kota Semarang Tahun 2010, tidak ada KLB tingkat Kota
pada Tahun 2016. Jumlah kasus terendah Tahun 2016 terjadi di Bulan Juli 2017
dengan 21 kasus. Sedangkan Tahun lalu kasus terendah terjadi di Bulan Oktober
dengan 26 kasus. Rata-Rata jumlah penderita DBD Tahun 2016 sebanyak 37 orang
per bulan sedangkan tahun lalu mencapai 145 kasus per bulan.

Dari gambaran grafik di atas terlihat secara umum bahwa ABJ yang meningkat
dapat menurunkan kasus DBD, akan tetapi analisis tersebut harus ditunjang oleh
analisis statistik yang mendalam. Tidak dapat dipastikan setiap ABJ yang kurang
selalu berhubungan dengan peningkatan kasus. Hubungan sebab akibat tersebut tidak
dapat dihubungkan secara langsung karena masih ada beberapa kondisi yang harus
terjadi sebelum seseorang dinyatakan menderita DBD. Setidaknya harus ada empat
kondisi yang harus ada pada penderita DBD, yaitu adanya nyamuk Aedes betina,
Virus Dengue, gigitan dan daya tahan tubuh yang lemah.
2. Kejadian BDB pada tahun 2017

Dari grafik di atas terlihat bahwa pada Bulan Januari dan Februari 2017 jumlah
kasus DBD melebihi jumlah kasus DBD pada bulan yang sama Tahun 2016,
selanjutnya jumlah kasus DBD selalu jauh lebih rendah dari bulan bulan di Tahun
2016. Puncak kasus DBD Tahun 2017 terjadi di bulan Januari dengan 93 kasus,
sedangkan Tahun 2016 pada Bulan Maret 63 kasus. Jika dilihat dari data Bulanan
tersebut di atas, berdasarkan kriteria Kejadian Luar Biasa DBD yang digunakan
dalam Perda Kota Semarang Tahun 2010, terjadi KLB tingkat Kota pada Desember
Tahun 2017. Jumlah kasus terendah Tahun 2017 terjadi di Bulan Nopember 2017
dengan 3 kasus. Sedangkan Tahun lalu kasus terendah terjadi di Bulan Juli dengan 21
kasus. Rata-Rata jumlah penderita DBD Tahun 2017 sebanyak 25 kasus per bulan
sedangkan tahun lalu mencapai 37 kasus per bulan.
Dari gambaran grafik di atas terlihat secara umum bahwa ABJ yang meningkat
dapat menurunkan kasus DBD, akan tetapi analisis tersebut harus ditunjang oleh
analisis statistik yang mendalam. Tidak dapat dipastikan setiap ABJ yang kurang
selalu berhubungan dengan peningkatan kasus. Hubungan sebab akibat tersebut tidak
dapat dihubungkan secara langsung karena masih ada beberapa kondisi yang harus
terjadi sebelum seseorang dinyatakan menderita DBD. Setidaknya harus ada empat
kondisi yang harus ada pada penderita DBD, yaitu adanya nyamuk Aedes betina,
Virus Dengue, gigitan dan daya tahan tubuh yang lemah. Hal tersebut meberikan
gambaran hubungan curah hujan dan DBD.
3. Kejadian DBD pada tahun 2018

Dari grafik di atas terlihat bahwa pada Bulan Januari – November 2018 jumlah
kasus DBD di bawah jumlah kasus DBD pada bulan yang sama Tahun 2018, namun
pada bulan Desember jumlah kasus DBD selalu jauh lebih tinggi dari bulan yang
sama di Tahun 2017. Puncak kasus DBD Tahun 2018 terjadi di bulan Desember
dengan 27 kasus, sedangkan Tahun 2017 pada Bulan Januari dengan 93 kasus. Jika
dilihat dari data Bulanan tersebut di atas, berdasarkan kriteria Kejadian Luar Biasa
DBD yang digunakan dalam Perda Kota Semarang Tahun 2010, terjadi KLB tingkat
Kota pada Desember Tahun 2018. Jumlah kasus terendah Tahun 2018 terjadi di Bulan
September - Nopember 2018 dengan 4 kasus. Sedangkan pada tahun 2017 kasus
terendah terjadi di Bulan November dengan 3 kasus. Rata-Rata jumlah penderita
DBD Tahun 2018 sebanyak 9 kasus per bulan sedangkan tahun 2017 mencapai 25
kasus per bulan.

Dari gambaran grafik di atas terlihat secara umum bahwa ABJ yang meningkat
dapat menurunkan kasus DBD, akan tetapi analisis tersebut harus ditunjang oleh
analisis statistik yang mendalam. Tidak dapat dipastikan setiap ABJ yang kurang
selalu berhubungan dengan peningkatan kasus. Hubungan sebab akibat tersebut tidak
dapat dihubungkan secara langsung karena masih ada beberapa kondisi yang harus
terjadi sebelum seseorang dinyatakan menderita DBD. Setidaknya harus ada empat
kondisi yang harus ada pada penderita DBD, yaitu adanya nyamuk Aedes betina,
Virus Dengue, gigitan dan daya tahan tubuh yang lemah.

4. Data Curah Hujan (mm3) di Kota Semarang

Tahun 2016 2017 2018 Total


Januari 399 399 10,37 808,37
Februari 298 298 19,21 615,21
Maret 250 250 7,42 507,42
April 188 188 7,13 383,13
Mei 165 165 0,58 330,58
Juni 79 79 1,5 159,5
Juli 82 82 0 164
Agustus 50 50 0 100
September 67 67 0,67 134,67
Oktober 132 132 4,35 268,35
November 204 204 8,7 416,7
Desember 268 268 7,8 543,8
Total 2182 2182 67,73 4431,73

Melihat grafik di atas kita akan membandingkan curah hujan dengan kasus DBD
per tahun, secara umum terlihat bahwa kenaikan curah hujan akan meningkatkan
kasus DBD. Tetapi jika dicermati maka ada beberapa tahun yang kondisinya
berlawanan. Perlu analisis statistik mendalam untuk menghubungkan curah hujan
dengan tingginya kejadian DBD di Kota Semarang.
Disatu sisi bahwa ABJ yang meningkat dapat menurunkan kasus DBD. Hal
tersebut jelas berhubungan sangat signifikan karena DBD hanya dapat ditularkan
melalui nyamuk, sehinga ABJ merupakan salah satu indikator yang paling valid untuk
menggambarkan trend DBD. Dengan demikian validitas ABJ dapat memprediksi
perkembangan kasus DBD.
5. Analisis Menurut Waktu
Dari data dinas kesehatan di atas, dapat disimpulkan :
1) Jumlah penderita DBD dari tahun 2016 – 2018 sebanyak 850 penderita. Dari data
selama 3 tahun terakhir, jumlah penderita dari tahun ke tahun semakin menurun.
Jumlah yang paling banyak terdapat pada tahun 2016 yaitu 448 penderita.
2) Jumlah penderita DBD yang menurun dalam 3 tahun tersebut dibuktikan juga
dengan meningkatnya Angka Bebas Jentik (ABJ) yang meningkat selama 3 tahun
terakhir.
3) Pada tahun 2016 jumlah yang paling tinggi terdapat pada bulan Maret yaitu
sebanyak 63 penderita dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu sebesar 250
(mm3) serta angka ABJ 83,73.
4) Pada tahun 2017 jumlah yang paling tinggi terdapat pada bulan Januari yaitu
sebanyak 93 penderita dengan curah hujan yang paling tinggi diantara bulan
lainnya yaitu sebesar 399 (mm3) serta angka ABJ 85,6.
5) Pada tahun 2018 jumlah yang paling tinggi terdapat pada bulan Desember yaitu
sebanyak 27 penderita dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu sebesar 7,8
(mm3) serta angka ABJ 91,7.
B. Menurut Tempat
1. Keadaan Geografis
Kota Semarang terletak antara garis 6 050’ – 7010’ lintang selatan dan garis 1090
35’- 110 0 50’ bujur timur. Dibatasi sebelah Barat dengan Kabupaten Kendal, sebelah
Timur dengan Kabupaten Demak, sebelah Selatan dengan Kabupaten Semarag dan
sebelah Utara dibatasi oleh laut jawa dengan panjang garis pantai meliputi 13,6 Km.
Ketinggian Kota Semarang terletak antara 0,75 sampai dengan 348,00 di atas garis
pantai.
2. Luas Wilayah Kota Semarang
Dengan luas wilayah sebesar 373,67 km2 dan merupakan 1,15% dari total luas
daratan Provinsi Jawa Tengah. Kota Semarang terbagi dalam 16 Kecamatan dan 177
Kelurahan. Dari 16 Kecamatan yang ada, Kecmatan Mijen (57,55 Km2 ) dan Kecamatan
Gunungpati (54,11 Km2), dimana sebagian besar wilayahnya berupa persawahan dan
perkebunan. Sedangkan kecamatan dengan luas terkecil adalah Semarang Selatan (5,93
Km2) dan kecamatan Semarang Tengah (6,14Km2) sebagian besar wilayahnya berupa
pusat perekonomian dan bisnis Kota Semarang, seperti bangunan toko/ mall, pasar,
perkantoran dan sebagainya.

3. Jumlah Dan Laju Pertumbuhan Penduduk.


Jumlah penduduk Kota Semarang menurut Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Semarang sampai dengan akhir Desember tahun 2016 sebesar : 1.634.482
jiwa terdiri dari 811.661 jiwa penduduk laki-laki dan 822.821 jiwa penduduk
perempuan.
4. Persebaran Dan Kepadatan Penduduk
Penyebaran penduduk yang tidak merata perlu mendapat perhatian karena
berkaitan dengan daya dukun lingkunan yang tidak seimbang. Secara geografis wilayah
Kota Semarang terbagi menjadi dua yaitu daerah dataran rendah (Kota Bawah) dand
aerah perbukitan (Kota Atas). Kota bawah merupakan pusat kegiatan pemerintahan,
perdagangan dan industri, sedangkan Kota Atas lebih banyak dimanfaatkan untuk
perkebunan persawahan dan hutan.
Sebagai salah satu Kota metropolitan, Semarang boleh dikatakan belum terlalu
padat. Pada tahun 2016 kepadatan penduduknya sebesar 4.374 jiwa per km2 sedikit
mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 2015. Bila dilihat menurut
Kecamatan terdapat 3 kecamatan yang mempunyai kepadatan di bawah angka rata-rata.
Semarang sebagai berikut : Kecamatan Tugu sebesar 1034 jiwa per km2, Kecamatan
Mijen (1.157 jiwa/km2), Kecamatan Gunugpati 91.634 jiwa/km2). Dari ketiga
kecamatan tersebut, dua diantaranya merupakan daerah pertanian dan perkebunan
sedangkan satu kecamatan lainnya merupakan daerah pengembangan industri.
Namun sebaliknya untuk kecamatan-kecamatan yang terletak di pusat kota,
dimana luas wilayahnya tidak terlalu besar tetapi jumlah penduduknya sangat banyak,
kepadatan penduduknya sangat tinggi. Yang paling tinggi kepadatan penduduknya
adalah Kecamatan Candisari 1.485 jiwa/km2, Semarang Selatan 12.117 jia/km2, dan
Kecamatan Gayamsari 12.011 jiwa/km2. Secara umum ciri masyarakat Kota Semarang
terbagi dua yaitu masyarakat dengan karakteristik perkotaan dan masyarakat dengan
karakteristik pedesaan. Bila dikaitka dengan banyaknya keluarga atau rumah tangga,
maka dapat dilihat bahwa rata-rata setiap keluarga di Kota Semarang memiliki 4 anggota
keluarga dan kondisi ini terjadi pada hampir seluruh Kecamatan yang ada.

5. Sebaran DBD Tahun 2016-2018


a. Peta Kelurahan dengan Kasus DBD Tahun 2016

Tahun 2016 ada 65,5% kelurahan yang pernah ada kasus DBD, di wilayah
35,5% kelurahan di Kota Semarang tidak ada kasus DBD di wilayah sepanjang
tahun 2016. Adapun Kelurahan yang jumlah kasus DBD nya tinggi yaitu Kelurahan
Meteseh, Sendangmulyo dimana masuk dalam wilayah Kecamatan Tembalang, lalu
Kelurahan Candi yang masuk wilayah Kecamatan Candisari dan Kelurahan
Gajahmungkur yang masuk wilayah Kecamatan Gajahmungkur.
b. Peta Kelurahan dengan Kasus DBD Tahun 2017

Sumber: Seksi P2TVZ Bidang P2P


Tahun 2017 ada 103 kelurahan (58,2%) yang pernah ada kasus DBD di
wilayanya dan 74 kelurahan (41,8%) di Kota Semarang tidak pernah terjadi kasus
DBD di wilayahnya sepanjang Tahun 2017. Adapun kasus tertinggi dengan jumlah
8-12 kasus DBD di wilayah kecamatan yaitu kecamatan Tembalang meliputi daerah
Kelurahan Meteseh, Sendangmulyo, lalu Kecamatan Candisari meliputi Kelurahan
Jangli dan Kelurahan Candi. Sedangkan daerah yang jumlah kasus DBD nya 5-8
kasus yaitu meliputi wilayah Kelurahan Pudak Payung, Kelurahan Jatisari,
Kelurahan Sadeng, Kelurahan Sambiroto, Kedungmundu, Bongasari, Gerbangsari
dan Kelurahan Gayamsari.
c. Peta Lokasi KLB DBD Tahun 2017

Sumber: Seksi P2TVZ Bidang P2P

Tiga puluh tujuh kelurahan atau 20,9% kelurahan di Kota Semarang pernah
mengalami KLB DBD Tahun 2017. Adapun kelurhan yang mengalami kejadian
kasus DBD 2-3 kasus terjadi pada Kelurahan Sendangmulyo di bawah wilayah
Kecamatan Tembalang, lalu angka kejadian kasus DBD 3-6 yaitu Kelurahan Jangli
dan Candi dibawah wilayah Kecamatan Candisari, disusul dengan Kelurahan
Gayamsari dibawah wilayah Kecamatan Gayamsari lalu Kelurahan Jatisari di
bawah wilayah Kecamatan Mijen
d. Peta Kelurahan dengan Kasus DBD Tahun 2018

Sumber: Seksi P2TVZ Bidang P2P

Tahun 2018 ada 57 kelurahan (32,2%) yang pernah terjangkit DBD dan 102
kelurahan (67,8%) yang tidak pernah terjadi kasus DBD di wilayahnya. Ada 7
Kelurahan yang mengalami 4-6 kasus DBD pada tahun 2018 Kelurahan tersebut
yaitu Kelurahan Pudak Payung, Pedalangan, Kr. Anyar Gunung, Gajahmungkur,
Palebon, Tlogosari Kulon dan Kelurahan Karangroto.
e. Peta Kasus DBD + DSS Per Kelurahan Kota Semarang Tahun 2018

Sumber: Seksi P2TVZ Bidang P2P


Dari gambar peta diatas sebanyak 12 kelurahan atau 6,8% kelurahan di Kota
Semarang pernah mengalami KLB DBD Tahun 2018. 12 Kelurahan itu meliputi
Kelurahan Pudak Payung, Gedawang, Pedalangan, Tembalang, Kr.Anyar Gunung,
Jangli, Gajahmungkur, Palebon, Tlogosari Kulon, Muktiharjo Kidul, Bangetayu
Kulon dan Kelurahan Karangroto.
f. Tahun 2019
Pada awal tahun 2019 yaitu minggu ke tiga di Bulan Januari tercatat sudah ada 33
kasus DBD di Kota Semarang. Dari puluhan penderita DBD itu, di Kecamatan
GajahMungkur merupakan daerah terbanyak di Kota Semarang yang warganya
terjangkit penyakit tersebut. Sebagai kecamatan terbanyak jumlah penderita DBD,
di Gajahmungkur ada 6 orang. Posisi kedua yakni Kecamatan Candisari dan
Kecamatan Banyumanik, masing-masing ada 5 penderita.
Sedangkan menurut Kabid Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Dinas Kesehatan Kota Semarang Mada Gautama sejak Bulan Januari hingga Bulan
Maret jumlah DBD di Kota Semarang mencapai sekitar 140 kasus . dari jumlah
tersebut 5 diantaranya meninggal dunia. Adapun kasus DBD paling banyak berada
di Kecamatan Tembalang yaitu ada 34 kasus.
6. Analisa Kasus Tempat
Dari data diatas dapat disimpulkan yaitu sebagai berikut, pada tahun 2016 angka
kejadian kasus DBD terjadi di wilayah Kecamatan Tembalang dengan daerah Kelurahan
yaitu Kelurahan Meteseh, Sendangmulyo lalu Kecamatan Candisari dengan wilayah
Kelurahan yaitu Kelurahan Candi dan Kecamatan Gajahmungkur dengan wilayah
Kelurahan yaitu Kelurahan Gajahmungkur. Pada Tahun 2017 angka tertinggi yaitu
Kelurahan Meteseh, Sendangmulyo, Kelurahan Jangli, Kelurahan Gajahmungkur,
Kelurahan Jatisari dan Kelurahan Candi. Pada Tahun 2018 angka tertinggi yaitu
Kelurahan Pudak Payung, Gedawang, Pedalangan, Tembalang, Kr.Anyar Gunung,
Jangli, Gajahmungkur, Palebon, Tlogosari Kulon, Muktiharjo Kidul, Bangetayu Kulon
dan Kelurahan Karangroto. Pada Tahun 2019 Kecamatan yang tertinggi yaitu
Kecamatan Tembalang, Kecamatan Gajahmungkur dan Kecamatan Candisari.
Kota Semarang sebagai kota pesisir sangat rentan terhadap perubahan iklim. Sebagai
daerah tropis Indonesia, termasuk Kota Semarang sangat rentan pada ancaman demam
dengue dari virus yang dibawa oleh nyamuk Aedes Segypti. Beberapa parameter iklim
seperti curah hujan, temperatur, hari hujan dan kelembapan ternyata berdampak pada
perkembangbiakan nyamuk, termasuk ketahanan dan kemampuan transmisi virus
dengue tersebut.
C. Menurut Orang
Pada Jumlah Penderit DBD Tahun 2016 turun menjadi 448 kasus dari yang 1.737 kasus
pada tahun sebelumnya. Incidence Rate juga terjadi penurunan yang signifikan dari yang
sebelumnya (tahun 2015) 98,61 menjadi 25,22 pada tahun 2016. CFR Tahun 2016
meningkat, dari 1,2 pada Tahun 2015 menjadi 5,12 pada tahun 2016. Pada tahun 2016
jumlah penderita DBD bedasarkan jenis kelamin, wanita 48% laki-laki 52%. (Sumber:
Seksi P2B2 Bidang P2P).
Kasus DBD berdasarkan golongan umur terbanyakpada golongan umur 5 –9 tahun yaitu
sebanyak 507 kasus atau 29,2% dan terendah pada golongan umur > 60 th, sebanyak 3 kasus
atau 0,2%. Jika dilihat dari sudut lebih luas lagi maka golongan usia balita dan usia sekolah
paling dominan. Proporsi seperti ini berlangsung hampir setiap tahun, sehingga perlu
penelitian lebih lanjut apa yang mendasari kelompok umur balita dan anak sekolah selalu
lebih dominan dari kelompok umur lain.
Pada jumlah penderita DBD Tahun 2017 turun menjadi 299 kasus dari 448 kasus pada
tahun sebelumnya.Tahun 2017 merupakan tahun dengan jumlah kasus terendah sejak tahun
1994. Incidence Rate juga terjadi penurunan yang signifikan dari yang sebelumnya (tahun
2016) 25,22 menjadi 18,14 pada tahun 2017. CFR Tahun 2017 menurun, dari 5,13 pada
Tahun 2016 menjadi 2,7 pada tahun 2017. Jumlah penderita DBD laki-laki tahun 2017
adalah 161 kasus atau 53,8%, sisanya 138 kasus 46,2% adalah perempuan. Dilihat dari
proporsi menurut jenis kelamin pada penderita DBD tidak terlalu signifikan. (Sumber:
Seksi P2TVZ Bidang P2P).
Kasus DBD berdasarkan golongan umur terbanyak pada golongan umur 5 –9 tahun yaitu
sebanyak 92 kasus atau 31% dan terendah pada golongan umur 40 s.d 44 tahun, sebanyak
1 kasus atau 0,3%. Jika dilihat dari sudut lebih luas lagi maka golongan usia balita dan usia
sekolah (0-14 tahun) merupakan proporsi paling banyak yaitu mencapai 73%. Proporsi
seperti ini berlangsung hampir setiap tahun, sehingga perlu penelitian lebih lanjut apa yang
mendasari kelompok umur balita dan anak sekolah selalu lebih dominan dari kelompok
umur lain.
Pada jumlah penderita DBD Tahun 2018 turun menjadi 103 kasus dari 299 kasus pada
tahun sebelumnya. Tahun 2018 merupakan tahun dengan jumlah kasus terendah sejak tahun
1994. Incidence Rate juga terjadi penurunan yang signifikan dari yang sebelumnya (tahun
2017) 18,14 menjadi 6,17 pada tahun 2018. CFR Tahun 2018 menurun, dari 2,7 pada Tahun
2017menjadi 0,97(1 kematian) pada tahun 2018. Sejak Tahun 1994 sampai dengan 2018
jumlah kasus dan kematian tertinggi pada Tahun 2010 yaitu 5.556 kasus dan 47 meninggal.
IR tertinggi juga pada Tahun 2010 yaitu 368,7 per 100.000 dan CFR tertinggi pada Tahun
2016 yaitu 5,13%. Jumlah penderita DBD laki-laki tahun 2018 adalah 57 kasus atau
55,34%, sisanya 46 kasus 44,66% adalah perempuan.
Dilihat dari proporsi menurut jenis kelamin pada penderita DBD tidak terlalu signifikan
Kasus DBD berdasarkan golongan umur terbanyak pada golongan umur 5 –9 tahun dan 10-
14 tahun yaitu masing-masing sebanyak 26 kasus atau 25% dan terendah pada golongan
umur 50-54 tahun, sebanyak 1 kasus atau 1%. Jika dilihat dari sudut lebih luas lagi maka
golongan usia balita dan usia sekolah (0-14 tahun) merupakan proporsi paling banyak yaitu
mencapai 69%. Proporsi seperti ini berlangsung hampir setiap tahun, sehingga perlu
penelitian lebih lanjut apa yang mendasari kelompok umur balita dan anak sekolah selalu
lebih dominan dari kelompok umur lain.
Tahun 2019 terhitung dari bulan januari sampai dengan maret terdapat sekitar 140
kasus, diantaranya terjadi pada golongan umur 5-9 tahun dan 10-14 tahun rata. Dari jumlah
tersebut lima diantaranya meninggal dunia. Adapun kasus DBD paling banyak berada di
Kecamatan Tembalang, yaitu ada 34 kasus. Tingginya angka penderita Demam Berdarah
Dengue (DBD) yang 50 persennya adalah anak usia sekolah hal ini tentu sangat
memprihatinkan.
Dilihat berdasarkan jenis kelamin dari tahun 2016-2017 rata-rata penderita tertinggi
DBD berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki, hal ini disebabkan karena sistim imun
pada perempuan lebih baik dari pada laki-laki. Pada perempuan produksi sitokin anti
inflamasi lebih banyak dari pada pria hal tersebut yang membuat sistem kekebalan tubuh
wanita mampu untuk melawan virus dari luar. Sitokin sangat penting untuk melawan infeksi
dan respons imun lainnya. (Rothman, 2007). Kromosom XX pada perempuan mempunyai
peran dalam mengelola produksi imunoglobulin secara kuantitatif (Sodarmo, 2009).
Tercatat dari tahun 2016 - 2019 rata-rata kejadian DBD terjadi pada anak usia sekolah
hal ini disebabkan karena, Pertama, aktivitas nyamuk aedes aegypty sama dengan aktivitas
anak yakni di pagi dan sore hari itu sebabnya, penderita DBD mayoritas berasal dari anak-
anak. Kedua, anak-anak kerap menghabiskan waktu pagi sampai dengan sore di ruangan,
itulah tempat yang memiliki risiko paling tinggi karena tempatnya lembab dan juga
cenderung gelap. Selain itu, kondisinya yang kotor juga akan memperparah bersarangnya
nyamuk. Ketiga, anak secara daya tahan tubuh memang cenderung lebih rentan untuk
terkena penyakit. Keempat, lingkungan sektar juga turut berpengaruh terhadap kejadian
DBD, sekalipun didalam ruangan anak terbebas tapi ada kemungkinan lain diluar dia dapat
terkena gigitan nyamuk akibat lingkungan sekitar yang kotor dan menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk aedes aegypty. Kelima, mereka kesulitan dalam
menerjemahkan apa yang mereka rasakan. Apalagi untuk usia balita, orang tua hanya bisa
melihat tanda-tanda seperti mereka terlihat lesu, demam, atau muntah. Tetapi anak tidak
bisa mendeskripsikan dengan jelas bagian mana saja yang terasa sakit di dalam tubuh
mereka.
D. Karakteristik Sosial Ekonomi
Faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit berdasarkan segitiga epidemiologi
dipengaruhi oleh faktor manusia sebagai host dan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
penular DBD. Lingkungan secara signifikan mempengaruhi kesakitan bagi setiap individu
termasuk sosial, ekonomi, perilaku masyarakat, meningkatnya mobilitas penduduk,
kepadatan hunian, semakin baiknya sarana transportasi dan masih terdapat tempat
perindukan nyamuk penular DBD. Faktor sosial ekonomi meliputi; latar belakang
pendidikan, dan pekerjaan.
1. Latar Belakang Pendidikan
Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap tindakan masyarakat dalam
upaya pencegahan penyakit DBD. Pendidikan akan sangat berpengaruh pada setiap
individu dalam menerima informasi dan perubahan sikap. Semakin tinggi tingkat
pendidikan akan sangat berpengaruh dalam menerima informasi dan perubahan sikap
tentang pencegahan dan penularan penyakit yang diberikan oleh petugas kesehatan.
Tingkat pendidikan di suatu wilayah dapat menggambarkan kualitas penduduk di
daerah tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kualitas penduduk akan
semakin baik pula jika diukur dari aspek pengetahuan. Namun hal tersebut belum tentu
dapat menjamin kesadaran dan kedewasaan masyarakat. Apabila tingginya tingkat
pendidikan diiringi dengan kesadaran dan kedewasaan yang tinggi, maka bukan hal
yang mustahil jika dapat mewujudkan tatanan kehidupan yang semakin baik pula.
Pendidikan yang relatif rendah melatar belakangi sulitnya penduduk untuk mengetahui
konsep kejadian penyakit DBD. Penelitian yang dilakukan oleh Sandra (2019) yang
dilakukan Kecamatan Tembalang menyatakan bahwa ada pengaruh faktor pendidikan
terhadap kejadian DBD dengan p value 0,007 < 0,05.
2. Pekerjaan
Menurut L. Green, karakteristik (pekerjaan) responden adalah faktor yang dapat
mendorong terciptanya perilaku kesehatan. Pekerjaan mempunyai pengaruh terhadap
partisipasi masyarakat dalam program pencegahan penyakit. Penelitian yang dilakukan
oleh Istiqomah (2017) di kelurahan kramas kecamatan Tembalang menyatakan, bahwa
jenis pekerjaan tidak mempunyai pengaruh tehadap partisipasi individu dalam
pemberantasan DBD.
Hasil uji crosstab menggunakan chi square test menunjukkan bahwa upaya
pencegahan DBD yang kurang baik lebih banyak dijumpai pada kelompok IRT dengan
kategori bekerja (30,8%), dibandingkan dengan kelompok IRT dengan kategori tidak
bekerja (25%). Dengan ρ value 0,766 maka tidak ada hubungan antara pekerjaan
dengan upaya pencegahan DBD pada IRT di Kelurahan Kramas Kecamatan Tembalang
Kota Semarang.
E. Karakteristik Perilaku
Daerah yang menduduki daerah paling banyak terkena wabah penyakit didaerah
semarang adalah kelurahan Tembalang. Kelurahan Tembalang merupakan sebuah wilayah
di Kota Semarang yang hampir seluruhnya merupakan wilayah perkampusan dimana terdiri
3 perguruan tinggi di kelurahan Tembalang yaitu Poltekkes Kemenkes Semarang,
Politeknik Negeri Semarang dan Universitas Diponegoro. Dimana pemukiman yang ada
dikelurahan ini adalah kos-kosan. Karakteristik perilaku mahasiswa dan masyarakat sekitar
pada umumnya yaitu :
1. Tidak pernah mengubur dan menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan sehingga menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk.
Sebagian besar remaja kos kosan tersebut menunggu pemilik kos yang membuang
sampah tersebut sementara tidak semua pemilik kos setiap hari berada di kos tersebut.
2. Selalu menggantung barang-barang atau pakaian-pakaian di kamar atau ruang yang
remang-remang atau gelap sehingga menjadi tempat nyamuk berkembang biak.
3. Terdapat sampah yang menumpuk di selokan sehingga menyumbat saluran air yang
menyebabkan terjadinya genangan air yang menjadi tempat berkembang-biaknya
nyamuk.
4. Perilaku membuang sampah sembarangan yang masih ada di kalangan masyarakat.
Tempat pemukiman masyarakat dan daerah kos-kosan mahasiswa yang kurang
terhadap pencahayaan matahari menjadi salah satu faktor berkembangbiaknya nyamuk
akibat tempat yang lembab.
Selain itu, ada beberapa faktor resiko yang berkaitan dengan penyakit Demam Berdarah
Dengue, diantaranya :
a. Masyarakat melihat dan merasakan banyak nyamuk di wilayahnya.
b. Masyarakat melihat dan merasakan banyak air yang tergenang
c. Banyak kaleng-kaleng bekas yang tidak dikubur
d. Banyak menemukan jentik pada tempat –tempat penampungan air
F. Identifikasi Masalah
Adapun masalah yang ditemukan terkait dengan kasus DBD yang terjadi di Kota
Semarang pada tahun 2016-2019 adalah sebagai berikut:
1. Kasus DBD rata-rata ditemukan pada bulan Januari-Maret dan Desember.
2. Kota Semarang merupakan kota pesisir
3. Karakteristik penderita yang mengalami DBD berdasarkan jenis kelamin dari tahun
2016-2017 rata-rata penderita tertinggi DBD berdasarkan jenis kelamin adalah laki-
laki.
4. Berdasarkan kelompok usia, tercatat dari tahun 2016 - 2019 rata-rata kejadian DBD
terjadi pada anak usia sekolah
5. Sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat yang relatif rendah
6. Karakteristik perilaku mahasiswa dan masyarakat sekitar pada Kelurahan
Tembalang (sebagai daerah paling banyak terkena kasus DBD)
G. Penetapan Prioritas Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dilakukan sebelumnya, maka selanjutnya
akan ditangani terlebih dahulu mengingat ada keterbasatan dalam berbagai hal. Untuk
melakukan prioritas masalah, dapat memilih berbagai teknik yang ada, salah satunya yang
akan digunakan dalam teknik analisis antara lain dengan metode MCUA.
Metode MCUA (Multi Criteris Utility Assesment)
Metode MCUA adalah metode untuk membantu pengambilan keputusan pada beberapa
pilihan. Pilihan ini berupa masalah pada tahap penentuan prioritas. Untuk itu penyaringan
pilihan menggunakan kriteria atau batasan. Tata cara menggunakan matriks MCUA dalam
menentuka prioritas masalah adalah:
1. Menetapkan Kriteria
2. Melakukan Pembobotan Kriteria
3. Melakukan Skoring Masing-Masing
4. Mengalikan Nilai Skor dengan Nilai Bobot
Kriteria dalam metode MCUA sendiri berada pada baris atau horisontal dimana kriteria
ini ditentukan sendiri oleh yang bersangkutan. Dalam analisis ini, kriteria yang digunakan
adalah besar masalah, keseriusan, kemampuan sumber daya, dan kerawanan politik.
Pengkodean masalah:
A=Waktu bulanan terjadinya DBD
B=Kerentanan Kota Semarang terhadap perubahan iklim
C=Jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita DBD
D=Kelompok usia sekolah lebih banyak menderita DBD
E=Pendidikan masyarakat rendah
F=Perilaku negatif masyarakat
Matriks MCUA
Masalah
No Kriteria Bobot A B C D E F
S BS S BS S BS S BS S BS S BS
1 Besar Masalah 4 8 32 8 32 6 24 9 36 8 32 9 36
2 Keseriusan 5 8 40 7 35 6 30 9 45 7 35 7 35
Kemampuan
3 6 18 5 15 5 15 7 21 7 21 7 21
3 Sumberdaya
4 Kerawanan Politik 4 4 16 5 20 3 12 6 24 7 28 7 28
Jumlah SB 106 102 81 126 116 120

Berdasarkan pemberian nilai (bobot) pada masing-masing masalah, yang merupakan


prioritas I-VI adalah:
Prioritas I : Kelompok usia sekolah lebih banyak menderita DBD
Prioritas II : Perilaku negatif masyarakat
Prioritas III : Pendidikan masyarakat rendah
Prioritas IV : Waktu bulanan terjadinya DBD
Prioritas V : Kerentanan Kota Semarang terhadap perubahan iklim
Prioritas VI : Jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita DBD
H. Penyebab – Penyebab Masalah
Adapun masalah dan penyebab yang ditemukan terkait dengan kasus DBD yang terjadi
di Kota Semarang pada tahun 2016-2019 adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan data, kasus DBD rata-rata ditemukan pada bulan Januari-Maret dan
Desember, di mana hal ini berkaitan dengan curah hujan yang tinggi pada bulan-
bulan tersebut.
2. Kerentanan Kota Semarang sebagai kota pesisir terhadap perubahan iklim.
Parameter iklim di antaranya curah hujan, temperatur, hari hujan dan kelembapan
ternyata berdampak pada perkembangbiakan nyamuk, termasuk ketahanan dan
kemampuan transmisi virus dengue tersebut.
Beberapa daerah dalam tiga tahun terakhir yang mengalami kasus DBD di antaranya:
a. Pada tahun 2016 angka kejadian kasus DBD terjadi di wilayah Kecamatan
Tembalang dengan daerah Kelurahan yaitu Kelurahan Meteseh, Sendangmulyo
lalu Kecamatan Candisari dengan wilayah Kelurahan yaitu Kelurahan Candi dan
Kecamatan Gajahmungkur dengan wilayah Kelurahan yaitu Kelurahan
Gajahmungkur.
b. Pada Tahun 2017 angka tertinggi yaitu Kelurahan Meteseh, Sendangmulyo,
Kelurahan Jangli, Kelurahan Gajahmungkur, Kelurahan Jatisari dan Kelurahan
Candi.
c. Pada Tahun 2018 angka tertinggi yaitu Kelurahan Pudak Payung, Gedawang,
Pedalangan, Tembalang, Kr.Anyar Gunung, Jangli, Gajahmungkur, Palebon,
Tlogosari Kulon, Muktiharjo Kidul, Bangetayu Kulon dan Kelurahan
Karangroto. Pada Tahun 2019 Kecamatan yang tertinggi yaitu Kecamatan
Tembalang, Kecamatan Gajahmungkur dan Kecamatan Candisari.
3. Karakteristik penderita yang mengalami DBD berdasarkan jenis kelamin dari tahun
2016-2017 rata-rata penderita tertinggi DBD berdasarkan jenis kelamin adalah laki-
laki, hal ini disebabkan karena sistem imun pada perempuan lebih baik dari pada
laki-laki. Pada perempuan produksi sitokin anti inflamasi lebih banyak dari pada pria
hal tersebut yang membuat sistem kekebalan tubuh wanita mampu untuk melawan
virus dari luar. Sitokin sangat penting untuk melawan infeksi dan respons imun
lainnya. (Rothman, 2007). Kromosom XX pada perempuan mempunyai peran dalam
mengelola produksi imunoglobulin secara kuantitatif (Sodarmo,2009)
4. Berdasarkan kelompok usia, tercatat dari tahun 2016 - 2019 rata-rata kejadian DBD
terjadi pada anak usia sekolah hal ini disebabkan karena:
a. Aktivitas nyamuk aedes aegypty sama dengan aktivitas anak yakni di pagi dan
sore hari itu sebabnya, penderita DBD mayoritas berasal dari anak-anak.
b. Anak-anak kerap menghabiskan waktu pagi sampai dengan sore di ruangan,
itulah tempat yang memiliki risiko paling tinggi karena tempatnya lembab dan
juga cenderung gelap. Selain itu, kondisinya yang kotor juga akan
memperparah bersarangnya nyamuk.
c. Anak secara daya tahan tubuh memang cenderung lebih rentan untuk terkena
penyakit.
d. Lingkungan sektar juga turut berpengaruh terhadap kejadian DBD, sekalipun
didalam ruangan anak terbebas tapi ada kemungkinan lain diluar dia dapat
terkena gigitan nyamuk akibat lingkungan sekitar yang kotor dan menjadi
tempat perkembangbiakan nyamuk aedes aegypty.
e. Anak-anak kesulitan dalam menerjemahkan apa yang mereka rasakan. Apalagi
untuk usia balita, orang tua hanya bisa melihat tanda-tanda seperti mereka
terlihat lesu, demam, atau muntah. Tetapi anak tidak bisa mendeskripsikan
dengan jelas bagian mana saja yang terasa sakit di dalam tubuh mereka.
5. Dalam karakteristik sosial ekonomi, pendidikan yang relatif rendah melatar
belakangi sulitnya penduduk untuk mengetahui konsep kejadian penyakit DBD. Hal
ini sesuai yang diungkap oleh Sandra (2019) yang dilakukan Kecamatan Tembalang
menyatakan bahwa ada pengaruh faktor pendidikan terhadap kejadian DBD dengan
p value 0,007 < 0,05.
6. Karakteristik perilaku mahasiswa dan masyarakat sekitar pada Kelurahan
Tembalang (sebagai daerah paling banyak terkena kasus DBD) yaitu :
a. Tidak pernah mengubur dan menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan sehingga menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk.
Sebagian besar remaja kos kosan tersebut menunggu pemilik kos yang
membuang sampah tersebut sementara tidak semua pemilik kos setiap hari
berada di kos tersebut.
b. Selalu menggantung barang-barang atau pakaian-pakaian di kamar atau ruang
yang remang-remang atau gelap sehingga menjadi tempat nyamuk berkembang
biak.
c. Terdapat sampah yang menumpuk di selokan sehingga menyumbat saluran air
yang menyebabkan terjadinya genangan air yang menjadi tempat berkembang-
biaknya nyamuk.
d. Perilaku membuang sampah sembarangan yang masih ada di kalangan
masyarakat.
e. Tempat pemukiman masyarakat dan daerah kos-kosan mahasiswa yang kurang
terhadap pencahayaan matahari menjadi salah satu faktor berkembangbiaknya
nyamuk akibat tempat yang lembab.

I. Penyebab Utama Masalah


Berdasarkan penentuan prioritas masalah yang ditentukan dengan metode MCUA,
didapatkan prioritas masalah yang paling utama adalah kelompok usia sekolah lebih banyak
menderita DBD. Hal ini disebabkan oleh banyak hal seperti aktifitas, daya tahan tubuh,
lingkungan serta permasalahan dalam menyampaikan keluhan. Berikut adalah
penjelasannya :
a. Aktivitas nyamuk aedes aegypty sama dengan aktivitas anak yakni di pagi dan sore hari
itu sebabnya, penderita DBD mayoritas berasal dari anak-anak.
b. Anak-anak kerap menghabiskan waktu pagi sampai dengan sore di ruangan, itulah
tempat yang memiliki risiko paling tinggi karena tempatnya lembab dan juga cenderung
gelap. Selain itu, kondisinya yang kotor juga akan memperparah bersarangnya nyamuk.
c. Anak secara daya tahan tubuh memang cenderung lebih rentan untuk terkena penyakit.
d. Lingkungan sektar juga turut berpengaruh terhadap kejadian DBD, sekalipun didalam
ruangan anak terbebas tapi ada kemungkinan lain diluar dia dapat terkena gigitan
nyamuk akibat lingkungan sekitar yang kotor dan menjadi tempat perkembangbiakan
nyamuk aedes aegypty.
e. Anak-anak kesulitan dalam menerjemahkan apa yang mereka rasakan. Apalagi untuk
usia balita, orang tua hanya bisa melihat tanda-tanda seperti mereka terlihat lesu,
demam, atau muntah. Tetapi anak tidak bisa mendeskripsikan dengan jelas bagian mana
saja yang terasa sakit di dalam tubuh mereka.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan:
1. Indonesia merupakan lokasi rawan DBD, dan Kota Semarng menjadi daerah endemis
DBD. Untuk itu diperlukan kegiatan surveilans dalam menunjang aspek manajerial
program penyakit DBD. Namun hasil pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit
DBD yang telah dilakukan oleh Dinkes Kota Semarang belum berjalan sesuai
harapan.
2. Permasalahan yang ditemui dalam pelasanaan penyelidikan epidemiologi (PE) adalah
petugas kurang mengetahui SOP yang berlaku, kesulitan mengakses Health Warning
System (HEWS), jabatan ganda petugas sehingga mengalami tekanan dalam
pelaopran PE yang seharusnya <24 jam, pelaporan kasus DBD yang terlambat dan
mengakibatkan keterlambatan dilakukannya fogging, serta PJR yang kurang
terlaksana (dan juga memalsukan data).
3. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani DBD di Kota Semarang adalah
membentuk Petugas Surveilans Kesehatan (Gasurkes) sesuai Perda Kota Semarang
No 5 tahun 2010. Selain itu juga melakukan upaya sesuai Petunjuk Peraturan Daerah
Kota Semarang No 5 Tahun 2010 tentang Pengendalian Penyakit DBD diantaranya
PSN 3M Plus, pemeriksaan jentik, pengembangan kawasan bebas jentik, penyuluhan
kesehatan peningkatan pengetahuan dan kemempuan masyarakat, mobilisasi
masyarakat, mutu pelayanan kesehatan, sistem informasi, urveilans epidemiologi,
penyelidikan epidemiologi, musyawarah msyarakat, fogging fokus, fogging masal,
dan larvasida.
3.2 Saran
Untuk menangani masalah DBD yang masih menjadi penyakit endemis di Kota
Semarang, diperlukan komitmen dari semua pihak, mulai dari Dinas Kesehatan,
Puskesmas, petugas surveilans, dan masyarakat. Edukasi masyarakat juga harus
ditingkatkan mengingat masih adanya pemalsuan data dan keterlambatan laporan
sehingga penanganan juga terlambat dilakukan. Selain itu sistem surveilans sendiri harus
diperbaiki dengan membuat sistem yang lebih sederhana sehingga dapat dilakukan serta
melatih petugas dalam mengakses sistem Health Early Warning System (HWS) untuk
menjadikan kegiatan surveilans berjalan dengan maksimal
DAFTAR PUSTAKA

Afriyanti, A., Arso, S., Wigati, P. 2017. Analisis Kinerja Pelaksanaan Penyelidikan
Epidemiologi Kasus Demam Berdarah Dengue Di Puskesmas Rowosari Kota Semarang
Tahun 2017. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal) Volume 5, Nomor 4, Oktober
2017 (ISSN: 2356-3346)
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jkarta :
Direktorat PP dan PP. 11
Kusumo, R., Setiani, O., Budiyono. 2014. Evaluasi Program Pengendalian Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kota Semarang Tahun 2014 (Studi di Dinas Kesehatan Kota
Semarang). Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 13 No.1 / April 2014
Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2016. Profil Kesehatan Kota Semarang. Semarang.
_______. 2017. Profil Kesehatan Kota Semarang. Semarang.
_______. 2018. Profil Kesehatan Kota Semarang. Semarang
Fajlin, E. 2019. Sebanyak 140 Kasus DBD Terjadi di Kota Semarang Sejak Awal Tahun, Lima
diantaranya Meninggal Dunia. https://tribunjatengnews.com. (Diakses pada tanggal 3
November 2019)
Joseph, N. 2019. Penyebab dan Faktor Risiko Terjadinya Demam Berdarah.
https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/demam-berdarah-dengue-dbd/faktor-risiko-dan-
penyebab-dbd/. (Diakses pada tanggal 3 November 2019).
Hanum, N., Saraswati. E., Widayani, P. 2011. Pemetaan Data Penyakit Menular di Kota
Semarang. Laporan Penelitian. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Istiqomah, dkk. 2017. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Upaya Pencegahan Demam
Berdarah Dengue (DBD) pada Ibu Rumah Tangga di Kelurahan Kramas Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal) Volume 5, Nomor 1, Januari 2017
(ISSN: 2356-3346)
Mughis, A. 2019. Di Semarang, 3 Pasien Meninggal Akibat Demam Berdarah.
https://jatengtoday.com/di-semarang-3-pasien-meninggal-akibat-demam-berdarah-
20265. (Diakses pada tanggal 3 November 2019)
Mukti, A. H. 2019. DKK Kota Semarang Gajahmungkur Peringkat Teratas Jumlah Penderita
DBD. www.jateng.tribunnews.com. (Diakses pada tanggal 14 November 2019)
Peraturan Daerah Kota Semarang No. 5 Tahun 2019 Tentang Pengendalian Penyakit Demam
Berdarah Dengue.
Pujiyanti, A., Pratamawati, D.A. 2014. Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue pada
Komunitas Sekolah Dasar di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Vektora :
6(2).pp.46-51
Rohtman, A.L. 2007. Pathogenesis Of Dengue Virus Infection. Boston : Elsivier
Sandra, T., dkk. 2019. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Demam Berdarah
Dengue pada Anak Usia 6-12 tahun di Kecamatan Tembalang. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas 4 (1), 2019, 1-10
Soedarmo, S.S.P. 2009. Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Jakarta : Universitas Indonesia
Sucipto, P., Raharjo, M., Nurjazuli. 2015. Faktor-Faktor yang Mempengarhi Penyakit Demam
Berdarah (DBD) dan Jenis Serotipe Virus Dengue di Kabupaten Semarang. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol 14 No 2/ Okober 2015. (Diakses pada tanggal 3
November)

Anda mungkin juga menyukai