Disusun oleh :
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan
ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes Aegypty. Penyakit ini sebagian besar menyerang anak
berumur < 15 tahun, namun dapat juga menyerang orang dewasa. Penyakit DBD masih
merupakan permasalahan serius di Provinsi Jawa Tengah, terbukti 35 Kabupaten/kota
sudah pernah terjangkit penyakit DBD. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di daerah tropis. Indonesia merupakan salah satu
negara beriklim tropis dengan kasus DBD yang tinggi dibandingkan dengan negara tropis
lain di dunia. DBD merupakan penyakit yang serius dan sangat membahayakan, oleh karena
itu dibutuhkan penanganan terhadap penyakit tersebut agar tidak merugikan orang lain.
Surveilans merupakan salah satu strategi yang memiliki peranan penting dalam memantau
penyakit DBD. Penyebaran penyakit DBD terus berkembang, oleh karena itu sistem
pencatatan dan pelaporan guna keperluan perencanaan, pencegahan dan pembarantasan
penyakit DBD harus didukung oleh sistem yang handal, yakni suatu sistem yang dapat
menyediakan data dan informasi yang akurat, valid dan up to date.
Surveilans merupakan kegiatan yang bersifat terus menerus dan sistematik dalam
pengumpulan data, pengolahan, analisis, interpretasi dan diseminasi kepada pihak terkait,
untuk melakukan tindakan yang tepat dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada. Oleh
karena itu hasil kegiatan surveilans sangat dibutuhkan dalam menunjang aspek manajerial
program penyakit DBD, dimana berperan dalam proses perencanaan, monitoring dan
evaluasi dari program kesehatan yang ada. Pemerintah Kota Semarang mengupayakan
banyak hal untuk mencegah terjadinya kejadian DBD yaitu dengan bekerja sama dengan
Dinas Kesehatan juga masyarakat dalam memerangi DBD seperti konsisten membersihkan
lingkungan, pemerintah berupaya supaya masyarakat juga ikut berperan aktif dalam
memberantas rantai perkembang-biakan nyamuk, penerapan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) di rumah-rumah harus lebih digiatkan lagi karena PSN merupakan salah
satu kiat paling efektif untuk memberantas sarang nyamuk dibandingkan dengan fogging
(Mughis, 2019). Kebersihan lingkungan menjadi faktor utama, misalnya menutup bak air
agar tidak jadi sarang nyamuk, mengubur barang bekas, tidak menggantung baju kotor dan
lain sebagainya (Sucipto, dkk., 2015).
Selain itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang melakukan sosialisasi dalam
rangka mengantisipasi penyebaran penyakit demam berdarah tersebut dengan upaya
menggalakkan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). PSN ini melibatkan tim untuk
memantau sarang nyamuk di setiap rumah. Pemerintah Kota Semarang juga menerapkan
penerapan Hard Early Warning System yaitu melalui sistem ini jika mendapati laporan
kasus DBD, Dinkes dapat langsung menindaklanjuti kasus tersebut dengan melakukan
penelitian epidemiologis dalam kurun waktu 24 jam, apabila pasien masuk Rumah Sakit
petugas langsung survei lapangan untuk mengetahui DBD di wilayah tersebut. Selain itu,
PKK Kota Semarang ikut andil dalam memberantas DBD dengan program Sijentik yang
melibatkan anak-anak supaya melakukan pemantauan jentik secara rutin (Fajlin, 2019).
Hasil pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit DBD yang telah dilakukan oleh
Dinkes Kota Semarang belum berjalan sesuai harapan. Upaya pemberantasan nyamuk
penular sudah dilakukan melalui berbagai cara, akan tetapi hasilnya belum seperti yang
diharapkan. DBD yang terjadi sempat mengalami penurunan namun terjadi lagi
peningkatan yang drastis dan membahayakan. Perilaku masyarakat mempunyai peranan
penting terhadap penularan DBD, namun perilaku tersebut harus didukung oleh
pengetahuan misalnya pengetahuan cara penularan, penanggulangan serta sikap dan
tindakan yang benar sehingga dapat diterapkan dengan benar. Menurut dr. Moch Abdul
Hakam selaku Kepala Dinkes Kota Semarang menyatakan ujung tombak pencegahan DBD
adalah masyarakat, sehingga diperlukan dengan kerjasama masyarakat melalui Camat,
Lurah, PKK dan lainnya (Fajlin, 2019).
2.2. Data Hasil Survaillance di Kota Semarang
Angka kesakitan/Incidence Rate (IR) DBD di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2018
sebesar 10,2 per 100.000 penduduk, mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2017
yaitu 21,68 per 100.000 penduduk. Hal ini berarti IR DBD di Jawa Tengah lebih rendah
dari target nasional (< 51/100.000 penduduk) dan target Renstra (< 46/100.000). Setiap
penderita DBD yang dilaporkan dilakukan tindakan perawatan penderita, penyelidikan
epidemiologi di lapangan serta upaya pengendalian terhadap penyakit tersebut.
Kabupaten/kota dengan IR DBD tertinggi adalah Blora 45,01 per 100.000 penduduk dan
terendah adalah Brebes 1.66 per 100.000 penduduk. Angka kematian/Case Fatality Rate
(CFR) DBD di Jawa Tengah tahun 2018 sebesar 1,05 persen, menurun bila dibandingkan
CFR tahun 2017 yaitu 1,24 persen. Angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan
target nasional (< 1%), namun lebih rendah dibandingkan target renstra (< 2%) (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Pada tahun 2017, kematian akibat penyakit DBD terjadi di 19 kabupaten/kota di Jawa
Tengah (54,29 persen). Terdapat 7 kabupaten/kota dengan CFR >2 persen yaitu Wonogiri
12,5 persen, Kota Pekalongan 10,0 persen, Klaten 5,0 persen, Brebes 3,3 persen, Kendal
3,1 persen, Batang 2,9 persen dan Karanganyar 2,5 persen. Kota Semarang merupakan salah
satu daerah endemis di Provinsi Jawa Tengah. Setiap tahun selalu terjadi kasus serta
kematian karena penyakit DBD. Data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang pada tahun
2016 terdapat 448 kasus, Incidence Rate (IR) 25,22 per 100.000 penduduk dengan
kematian penderita (Case Fatality Rate 5,12 %), tahun 2017 terdapat 299 kasus, Incidence
Rate (IR) 18,14 per 100.000 penduduk dengan kematian 8 penderita (Case Fatality Rate
2,7 %) dan pada tahun 2018 terdapat 103 kasus, Incidence Rate (IR) 6,17 per 100.000
penduduk dengan kematian 1 penderita (Case Fatality Rate 0,97 %). Pada tahun 2019
sampai dengan Bulan Maret 2019 sudah terdapat 140 kasus dengan angka kematian 5 orang
meninggal akibat DBD (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
2.3 Masalah dalam Pelaksanaan Surveilan
Penyelidikan epidemiologi (PE) merupakan salah satu penanggulangan DBD yang
memiliki peran penting karena merupakan kegiatan pelacakan penderita atau tersangka
lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular penyakit DBD di rumah
penderita/tersangka. PE dilaksanakan <24 jam dan sasaran minimal 20 bangunan disekitar
rumah tersangka atau penderita dengan radius 100m. Melalui pelaksanaan PE diharapkan
kasus DD/DBD dapat terlacak sehingga dapat ditangani dengan cepat sebelum menjadi
DSS dan berakibat fatal.
Berdasarkan penelitian dari Afriyanti, Arso dan Wigati (2017), ditinjau dari aspek
petugas ditemukan permasalahan diantaranya petugas kurang mengetahui terkait SOP yang
berlaku. Petugas P2PVTZ mengalami kesulitan saat mengakses ke Health Early Warning
System (HEWS), dikarenakan sistem ini baru berlaku sehingga dibutuhkan penyesuaian,
oleh karena itu, dibutuhkan keterampilan dan kemampuan untuk menjalankan sistem yang
baru ini. Motivasi petugas kurang saat harus mengerjakan tugas tepat waktu dikarenakan
tugas yang banyak, misal saat membuat laporan PE < 24 jam namun disaat bersamaan harus
mengerjakan yang lainnya.
Permasalahan lainnya ditinjau dari aspek organisasi diantaranya pada sumber daya
manusia yakni petugas memiliki dua jabatan yaitu sebagai petugas P2PVTZ dan bendahara
puskesmas, sehingga merasa kesulitan saat menjalankan tugas untuk melaksanakan PE.
Pada kebijakan dan aturan yang berlaku, petugas merasa kesulitan untuk membuat laporan
PE yang hanya diberikan waktu <24 jam setelah dilakukannya PE. Menurut
penanggungjawab P2PVTZ DKK Semarang, kepala puskesmas seharusnya melakukan
pemantauan pada petugas saat melakukan pengendalian DBD ini, pemantauan dilakukan
secara langsung ataupun dari hasil laporan PE yang diterima oleh kepala puskesmas.
Wilayah kerja yang luas yakni mencakup beberapa kelurahan, membuat petugas kesulitan
saat mencari – cari alamat untuk melaksanakan PE.
Berdasarkan penelitian dari Kusumo, Setiani dan Budiyono (2014), permasalahan
lain terdapat pada Sistem pelaporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan, laporan tahunan
dan peta stratifikasi DBD per kecamatan. Ketepatan waktu penyampaian laporan dan
kelengkapannya yang masih kurang. Ada 45 kasus DBD yang tidak dilakukan Penyelidikan
Epidemiologi (PE). Hal ini disebabkan karena kurang lengkapnya alamat indeks kasus atau
indeks kasus sudah pindah sehingga indeks kasus tidak ditemukan. Pelaksanaan fogging
yang < 5 hari sebanyak 64,1%, hal ini masih kurang dan belum sesuai dengan target yang
ditentukan yaitu fogging < 5 hari sebesar 100%. Menurut Dinas Kesehatan Kota, masalah
tersebut disebabkan oleh keterlambatan petugas puskesmas melapor kasus fogging, adanya
kendala di lapangan seperti indeks kasus tidak ditemui sedangkan dalam radius 100 meter
ada kasus tambahan atau masyarakat tidak siap bila di-fogging dalam jangka waktu lima
hari setelah pelaksanaan PE serta kurangnya persiapan bahan karena adanya
ketidaksesuaian jadwal pengambilan bahan dengan kebutuhan lapangan/kebutuhan
pelaksanaan fogging.
Pelaksanaan PJR yang dilaksanakan oleh kader atau jumantik dinilai kurang karena
PJR tidak dilakukan seminggu sekali walaupun setiap minggunya mereka mengirimkan
laporan pemeriksaan jentik mingguan. Banyak kader atau jumantik yang memalsukan data
pemeriksaan jentik sehingga hasilnya tidak akurat. Pelaksanaan PJB yang dilakukan oleh
petugas kesehatan dari puskesmas sudah cukup karena sudah dilakukan tiga bulan sekali
yaitu pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
2.4 Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam Mengatasi DBD di Kota Semarang
Salah satu upaya Pemerintah Kota Semarang adalah membentuk Petugas Surveilans
Kesehatan (Gasurkes) DBD sesuai Perda Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2010. Program
tersebut bertujuan untuk menekan jumlah kasus DBD di Kota Semarang. Peran Gasurkes
adalah sebagai fasilitator dalam pemecahan masalah DBD dengan cara memberikan
pemeriksaan jentik serta memberikan penyuluhan tentang DBD (Kusumo, dkk., 2014).
Pada Petunjuk Peraturan Daerah Kota Semarang No. 5 Tahun 2010 tentang
Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) upaya-upaya yang dilakukan oleh
pemerintah adalah :
a. PSN 3M Plus
Tujuan : Untuk menghilangkan jentik yang ada ditempat penampungan air seperti bak
mandi, drum, tempayan, kaleng, ban bekas dll. Ditambah dengan kegiatan
lain seperti tidak menggantung pakaian di sembarang tempat.
Kegiatan : Menguras dan menutup tempat penampungan air serta mengubur barang-
barang bekas seperti kaleng bekas, botol bekas, ban bekas dan lain-lain.
Pelaksana : Dilaksanakan oleh masyarakat Secara rutin satu minggu sekali.
Sasaran : Tempat penampungan air yang ada dirumahnya masing-masing.
Evaluasi : Dilihat oleh tim pemantau jentik berkala setiap satu minggu dengan
menggunakan senter dan dicatat pada form pemantauan.
b. Pemeriksaan Jentik
Tujuan : Melihat ada tidaknya jentik aedes sp ditandon air.
Sasaran : Masyarakat penghuni rumah.
Kegiatan : Melihat tempat penampungan air dengan menggunakan senter.
Pelaksana : Petugas pemantau jentik rutin atau kader.
Waktu : Satu minggu sekali
c. Pengembangan kawasan bebas jentik
Kawasan Bebas Jentk (KBJ) adalah suatu kawasan dimana tidak diperkenankan
ditemukannya jentik Aedes yang menjadi penular penyakit DBD.
1) Tempat pengembangan pengawasan bebas jentik
a) Sekolah
b) Perkantoran
c) Pondok Pesantren
d) Perumahan
e) Kawasan Industri
f) Tempat-Tempat Umum
g) Sarana Pelayanan Kesehatan
2) Lokasi pengembangan kawasan bebas jentik tingkat daerah, meliputi satuan kerja
perangkat daerah (SKPD), tingkat kecamatan meliputi perkantoran kecamatan dan
sekolah SMP ke atas, tingkat kelurahan meliputi perkantoran tingkat kelurahan dan
SD ke bawah.
3) Koordinator pengembangan kawasan bebas jentik adalah asisten administrasi
perekonomian, pembangunan dan kesejahteraan Sekretaris kota Semarang.
4) Penanggung jawab pengembangan kawasan bebas jentik tingkat kecamatan adalah
camat dan tingkat kelurahan adalah lurah.
5) Pengembangan kawasan bebas jentik terintegrasi dengan analisis mengenai dampak
lingkungan (AMDAL), perijinan IMB, registrasi dan akreditasi sekolah.
6) Dalam rangka menilai keberhasilan kawasan bebas jentik dilakukan monitoring dan
evaluasi serta bersama secara silang.
d. Penyuluhan kesehatan
Tujuan : Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perkembangan nyamuk
Aedes Aigypti serta cara penularan penyakit DBD.
Sasaran : Masyarakat penghuni rumah
Petugas : Petugas pemantau jentik rutin atau kader.
Waktu : Paling sedikit seminggu sekali
l. Fogging Fokus
Tujuan : Membunuh nyamuk aedes sp dewasa
Sasaran : Rumah penderita DBD yang masuk kriteria dan sekitarnya dengan radius
100 meter.
Pelaksana : Petugas fogging puskesmas/ dinas kesehatan/ perusahaan pemberantasan
hama/ perorangan atau kelompok masyarakat yang memiliki ijin.
Bahan : Insektisida dan solar serta bensin
Pelaksaan : 2 kali dengan interval 7 hari
Waktu : Pagi hari jam 08.00 s/d 10.00 WIB
Sore hari jam 16.00 s/d 18.00 WIB
m. Foging Masal
Tujuan : Membunuh Nyamuk Aedes sp dewasa
Sasaran : Rumah masyarakat yang berada di wilayah kejadian luar biasa DBD.
Tujuan : Membunuh nyamuk aedes sp dewasa
Pelaksana : Petugas fogging puskesmas/Dinas Kesehatan/ Perusahaan pembasmi hama.
Bahan : Insektisida dan solar serta bensin.
Pelaksanaan: 2 kali dengan interval 7 hari
Waktu : Pagi hari jam 06.00 s/d 08.00 WIB
Sore hari jam 16.00 s/d 18.00 WIB
n. Larvasida
Tujuan : Membunuh nyamuk aedes sp dewasa
Sasaran : Tempat penampungan air didaerah yang sulit didapatkan air bersih
Pelaksana : Masyarakat
Waktu : 3 (tiga) bulan sekali
Dosis : Sesuai larvasida yang digunakan.
Dari gambaran grafik di atas terlihat secara umum bahwa ABJ yang meningkat
dapat menurunkan kasus DBD, akan tetapi analisis tersebut harus ditunjang oleh
analisis statistik yang mendalam. Tidak dapat dipastikan setiap ABJ yang kurang
selalu berhubungan dengan peningkatan kasus. Hubungan sebab akibat tersebut tidak
dapat dihubungkan secara langsung karena masih ada beberapa kondisi yang harus
terjadi sebelum seseorang dinyatakan menderita DBD. Setidaknya harus ada empat
kondisi yang harus ada pada penderita DBD, yaitu adanya nyamuk Aedes betina,
Virus Dengue, gigitan dan daya tahan tubuh yang lemah.
2. Kejadian BDB pada tahun 2017
Dari grafik di atas terlihat bahwa pada Bulan Januari dan Februari 2017 jumlah
kasus DBD melebihi jumlah kasus DBD pada bulan yang sama Tahun 2016,
selanjutnya jumlah kasus DBD selalu jauh lebih rendah dari bulan bulan di Tahun
2016. Puncak kasus DBD Tahun 2017 terjadi di bulan Januari dengan 93 kasus,
sedangkan Tahun 2016 pada Bulan Maret 63 kasus. Jika dilihat dari data Bulanan
tersebut di atas, berdasarkan kriteria Kejadian Luar Biasa DBD yang digunakan
dalam Perda Kota Semarang Tahun 2010, terjadi KLB tingkat Kota pada Desember
Tahun 2017. Jumlah kasus terendah Tahun 2017 terjadi di Bulan Nopember 2017
dengan 3 kasus. Sedangkan Tahun lalu kasus terendah terjadi di Bulan Juli dengan 21
kasus. Rata-Rata jumlah penderita DBD Tahun 2017 sebanyak 25 kasus per bulan
sedangkan tahun lalu mencapai 37 kasus per bulan.
Dari gambaran grafik di atas terlihat secara umum bahwa ABJ yang meningkat
dapat menurunkan kasus DBD, akan tetapi analisis tersebut harus ditunjang oleh
analisis statistik yang mendalam. Tidak dapat dipastikan setiap ABJ yang kurang
selalu berhubungan dengan peningkatan kasus. Hubungan sebab akibat tersebut tidak
dapat dihubungkan secara langsung karena masih ada beberapa kondisi yang harus
terjadi sebelum seseorang dinyatakan menderita DBD. Setidaknya harus ada empat
kondisi yang harus ada pada penderita DBD, yaitu adanya nyamuk Aedes betina,
Virus Dengue, gigitan dan daya tahan tubuh yang lemah. Hal tersebut meberikan
gambaran hubungan curah hujan dan DBD.
3. Kejadian DBD pada tahun 2018
Dari grafik di atas terlihat bahwa pada Bulan Januari – November 2018 jumlah
kasus DBD di bawah jumlah kasus DBD pada bulan yang sama Tahun 2018, namun
pada bulan Desember jumlah kasus DBD selalu jauh lebih tinggi dari bulan yang
sama di Tahun 2017. Puncak kasus DBD Tahun 2018 terjadi di bulan Desember
dengan 27 kasus, sedangkan Tahun 2017 pada Bulan Januari dengan 93 kasus. Jika
dilihat dari data Bulanan tersebut di atas, berdasarkan kriteria Kejadian Luar Biasa
DBD yang digunakan dalam Perda Kota Semarang Tahun 2010, terjadi KLB tingkat
Kota pada Desember Tahun 2018. Jumlah kasus terendah Tahun 2018 terjadi di Bulan
September - Nopember 2018 dengan 4 kasus. Sedangkan pada tahun 2017 kasus
terendah terjadi di Bulan November dengan 3 kasus. Rata-Rata jumlah penderita
DBD Tahun 2018 sebanyak 9 kasus per bulan sedangkan tahun 2017 mencapai 25
kasus per bulan.
Dari gambaran grafik di atas terlihat secara umum bahwa ABJ yang meningkat
dapat menurunkan kasus DBD, akan tetapi analisis tersebut harus ditunjang oleh
analisis statistik yang mendalam. Tidak dapat dipastikan setiap ABJ yang kurang
selalu berhubungan dengan peningkatan kasus. Hubungan sebab akibat tersebut tidak
dapat dihubungkan secara langsung karena masih ada beberapa kondisi yang harus
terjadi sebelum seseorang dinyatakan menderita DBD. Setidaknya harus ada empat
kondisi yang harus ada pada penderita DBD, yaitu adanya nyamuk Aedes betina,
Virus Dengue, gigitan dan daya tahan tubuh yang lemah.
Melihat grafik di atas kita akan membandingkan curah hujan dengan kasus DBD
per tahun, secara umum terlihat bahwa kenaikan curah hujan akan meningkatkan
kasus DBD. Tetapi jika dicermati maka ada beberapa tahun yang kondisinya
berlawanan. Perlu analisis statistik mendalam untuk menghubungkan curah hujan
dengan tingginya kejadian DBD di Kota Semarang.
Disatu sisi bahwa ABJ yang meningkat dapat menurunkan kasus DBD. Hal
tersebut jelas berhubungan sangat signifikan karena DBD hanya dapat ditularkan
melalui nyamuk, sehinga ABJ merupakan salah satu indikator yang paling valid untuk
menggambarkan trend DBD. Dengan demikian validitas ABJ dapat memprediksi
perkembangan kasus DBD.
5. Analisis Menurut Waktu
Dari data dinas kesehatan di atas, dapat disimpulkan :
1) Jumlah penderita DBD dari tahun 2016 – 2018 sebanyak 850 penderita. Dari data
selama 3 tahun terakhir, jumlah penderita dari tahun ke tahun semakin menurun.
Jumlah yang paling banyak terdapat pada tahun 2016 yaitu 448 penderita.
2) Jumlah penderita DBD yang menurun dalam 3 tahun tersebut dibuktikan juga
dengan meningkatnya Angka Bebas Jentik (ABJ) yang meningkat selama 3 tahun
terakhir.
3) Pada tahun 2016 jumlah yang paling tinggi terdapat pada bulan Maret yaitu
sebanyak 63 penderita dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu sebesar 250
(mm3) serta angka ABJ 83,73.
4) Pada tahun 2017 jumlah yang paling tinggi terdapat pada bulan Januari yaitu
sebanyak 93 penderita dengan curah hujan yang paling tinggi diantara bulan
lainnya yaitu sebesar 399 (mm3) serta angka ABJ 85,6.
5) Pada tahun 2018 jumlah yang paling tinggi terdapat pada bulan Desember yaitu
sebanyak 27 penderita dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu sebesar 7,8
(mm3) serta angka ABJ 91,7.
B. Menurut Tempat
1. Keadaan Geografis
Kota Semarang terletak antara garis 6 050’ – 7010’ lintang selatan dan garis 1090
35’- 110 0 50’ bujur timur. Dibatasi sebelah Barat dengan Kabupaten Kendal, sebelah
Timur dengan Kabupaten Demak, sebelah Selatan dengan Kabupaten Semarag dan
sebelah Utara dibatasi oleh laut jawa dengan panjang garis pantai meliputi 13,6 Km.
Ketinggian Kota Semarang terletak antara 0,75 sampai dengan 348,00 di atas garis
pantai.
2. Luas Wilayah Kota Semarang
Dengan luas wilayah sebesar 373,67 km2 dan merupakan 1,15% dari total luas
daratan Provinsi Jawa Tengah. Kota Semarang terbagi dalam 16 Kecamatan dan 177
Kelurahan. Dari 16 Kecamatan yang ada, Kecmatan Mijen (57,55 Km2 ) dan Kecamatan
Gunungpati (54,11 Km2), dimana sebagian besar wilayahnya berupa persawahan dan
perkebunan. Sedangkan kecamatan dengan luas terkecil adalah Semarang Selatan (5,93
Km2) dan kecamatan Semarang Tengah (6,14Km2) sebagian besar wilayahnya berupa
pusat perekonomian dan bisnis Kota Semarang, seperti bangunan toko/ mall, pasar,
perkantoran dan sebagainya.
Tahun 2016 ada 65,5% kelurahan yang pernah ada kasus DBD, di wilayah
35,5% kelurahan di Kota Semarang tidak ada kasus DBD di wilayah sepanjang
tahun 2016. Adapun Kelurahan yang jumlah kasus DBD nya tinggi yaitu Kelurahan
Meteseh, Sendangmulyo dimana masuk dalam wilayah Kecamatan Tembalang, lalu
Kelurahan Candi yang masuk wilayah Kecamatan Candisari dan Kelurahan
Gajahmungkur yang masuk wilayah Kecamatan Gajahmungkur.
b. Peta Kelurahan dengan Kasus DBD Tahun 2017
Tiga puluh tujuh kelurahan atau 20,9% kelurahan di Kota Semarang pernah
mengalami KLB DBD Tahun 2017. Adapun kelurhan yang mengalami kejadian
kasus DBD 2-3 kasus terjadi pada Kelurahan Sendangmulyo di bawah wilayah
Kecamatan Tembalang, lalu angka kejadian kasus DBD 3-6 yaitu Kelurahan Jangli
dan Candi dibawah wilayah Kecamatan Candisari, disusul dengan Kelurahan
Gayamsari dibawah wilayah Kecamatan Gayamsari lalu Kelurahan Jatisari di
bawah wilayah Kecamatan Mijen
d. Peta Kelurahan dengan Kasus DBD Tahun 2018
Tahun 2018 ada 57 kelurahan (32,2%) yang pernah terjangkit DBD dan 102
kelurahan (67,8%) yang tidak pernah terjadi kasus DBD di wilayahnya. Ada 7
Kelurahan yang mengalami 4-6 kasus DBD pada tahun 2018 Kelurahan tersebut
yaitu Kelurahan Pudak Payung, Pedalangan, Kr. Anyar Gunung, Gajahmungkur,
Palebon, Tlogosari Kulon dan Kelurahan Karangroto.
e. Peta Kasus DBD + DSS Per Kelurahan Kota Semarang Tahun 2018
3.1 Kesimpulan:
1. Indonesia merupakan lokasi rawan DBD, dan Kota Semarng menjadi daerah endemis
DBD. Untuk itu diperlukan kegiatan surveilans dalam menunjang aspek manajerial
program penyakit DBD. Namun hasil pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit
DBD yang telah dilakukan oleh Dinkes Kota Semarang belum berjalan sesuai
harapan.
2. Permasalahan yang ditemui dalam pelasanaan penyelidikan epidemiologi (PE) adalah
petugas kurang mengetahui SOP yang berlaku, kesulitan mengakses Health Warning
System (HEWS), jabatan ganda petugas sehingga mengalami tekanan dalam
pelaopran PE yang seharusnya <24 jam, pelaporan kasus DBD yang terlambat dan
mengakibatkan keterlambatan dilakukannya fogging, serta PJR yang kurang
terlaksana (dan juga memalsukan data).
3. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani DBD di Kota Semarang adalah
membentuk Petugas Surveilans Kesehatan (Gasurkes) sesuai Perda Kota Semarang
No 5 tahun 2010. Selain itu juga melakukan upaya sesuai Petunjuk Peraturan Daerah
Kota Semarang No 5 Tahun 2010 tentang Pengendalian Penyakit DBD diantaranya
PSN 3M Plus, pemeriksaan jentik, pengembangan kawasan bebas jentik, penyuluhan
kesehatan peningkatan pengetahuan dan kemempuan masyarakat, mobilisasi
masyarakat, mutu pelayanan kesehatan, sistem informasi, urveilans epidemiologi,
penyelidikan epidemiologi, musyawarah msyarakat, fogging fokus, fogging masal,
dan larvasida.
3.2 Saran
Untuk menangani masalah DBD yang masih menjadi penyakit endemis di Kota
Semarang, diperlukan komitmen dari semua pihak, mulai dari Dinas Kesehatan,
Puskesmas, petugas surveilans, dan masyarakat. Edukasi masyarakat juga harus
ditingkatkan mengingat masih adanya pemalsuan data dan keterlambatan laporan
sehingga penanganan juga terlambat dilakukan. Selain itu sistem surveilans sendiri harus
diperbaiki dengan membuat sistem yang lebih sederhana sehingga dapat dilakukan serta
melatih petugas dalam mengakses sistem Health Early Warning System (HWS) untuk
menjadikan kegiatan surveilans berjalan dengan maksimal
DAFTAR PUSTAKA
Afriyanti, A., Arso, S., Wigati, P. 2017. Analisis Kinerja Pelaksanaan Penyelidikan
Epidemiologi Kasus Demam Berdarah Dengue Di Puskesmas Rowosari Kota Semarang
Tahun 2017. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal) Volume 5, Nomor 4, Oktober
2017 (ISSN: 2356-3346)
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jkarta :
Direktorat PP dan PP. 11
Kusumo, R., Setiani, O., Budiyono. 2014. Evaluasi Program Pengendalian Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kota Semarang Tahun 2014 (Studi di Dinas Kesehatan Kota
Semarang). Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 13 No.1 / April 2014
Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2016. Profil Kesehatan Kota Semarang. Semarang.
_______. 2017. Profil Kesehatan Kota Semarang. Semarang.
_______. 2018. Profil Kesehatan Kota Semarang. Semarang
Fajlin, E. 2019. Sebanyak 140 Kasus DBD Terjadi di Kota Semarang Sejak Awal Tahun, Lima
diantaranya Meninggal Dunia. https://tribunjatengnews.com. (Diakses pada tanggal 3
November 2019)
Joseph, N. 2019. Penyebab dan Faktor Risiko Terjadinya Demam Berdarah.
https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/demam-berdarah-dengue-dbd/faktor-risiko-dan-
penyebab-dbd/. (Diakses pada tanggal 3 November 2019).
Hanum, N., Saraswati. E., Widayani, P. 2011. Pemetaan Data Penyakit Menular di Kota
Semarang. Laporan Penelitian. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Istiqomah, dkk. 2017. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Upaya Pencegahan Demam
Berdarah Dengue (DBD) pada Ibu Rumah Tangga di Kelurahan Kramas Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal) Volume 5, Nomor 1, Januari 2017
(ISSN: 2356-3346)
Mughis, A. 2019. Di Semarang, 3 Pasien Meninggal Akibat Demam Berdarah.
https://jatengtoday.com/di-semarang-3-pasien-meninggal-akibat-demam-berdarah-
20265. (Diakses pada tanggal 3 November 2019)
Mukti, A. H. 2019. DKK Kota Semarang Gajahmungkur Peringkat Teratas Jumlah Penderita
DBD. www.jateng.tribunnews.com. (Diakses pada tanggal 14 November 2019)
Peraturan Daerah Kota Semarang No. 5 Tahun 2019 Tentang Pengendalian Penyakit Demam
Berdarah Dengue.
Pujiyanti, A., Pratamawati, D.A. 2014. Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue pada
Komunitas Sekolah Dasar di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Vektora :
6(2).pp.46-51
Rohtman, A.L. 2007. Pathogenesis Of Dengue Virus Infection. Boston : Elsivier
Sandra, T., dkk. 2019. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Demam Berdarah
Dengue pada Anak Usia 6-12 tahun di Kecamatan Tembalang. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas 4 (1), 2019, 1-10
Soedarmo, S.S.P. 2009. Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Jakarta : Universitas Indonesia
Sucipto, P., Raharjo, M., Nurjazuli. 2015. Faktor-Faktor yang Mempengarhi Penyakit Demam
Berdarah (DBD) dan Jenis Serotipe Virus Dengue di Kabupaten Semarang. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol 14 No 2/ Okober 2015. (Diakses pada tanggal 3
November)