Anda di halaman 1dari 45

MANAJEMEN BENCANA

Dosen Pengajar:
dr. Chreisye K. F. Mandagi, MPH
dr. Angelheart J.M. Rattu, MS, PhD
dr. Ricky C. Sondakh, M.Kes
dr. Woodford B.S. Joseph, MSc
Maureen I. Punuh, SKM, MSi
dr. Angel A. F. C. Kalesaran, MSc, MHS
“PENGELOLAAN EKSKRETA, AIR LIMBAH DAN SAMPAH PADAT
KETIKA BENCANA”

SEMESTER 04-A
Disusun Oleh:
Kelompok 9
Masyita Liana Daud 17111101004
Intan Wahyuni Mahmud 17111101010
Putri Priza Modeong 17111101046
Nurhaliza Kadi 17111101062
Andy Nilan A. Hiola 17111101074

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam
kemahasiswaan.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengetahuan


yang kami miliki masih sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada
para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini.

Manado, April 2019

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................. i

Daftar Isi....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN:

1.1 Latar belakang ........................................................................................................ 1


1.2 Rumusan masalah................................................................................................... 2
1.3 Tujuan makalah ...................................................................................................... 2
1.4 Manfaat penulisan .................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN:

2.1 Batasan dan Konsep dalam Penyakit Demam Berdarah Dengue........................... 3

2.2 Komponen Penting dalam Penyakit Demam Berdarah Dengue ............................ 7

2.3 Rantai Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue........................................... 8

2.4 Wabah dan KLB Penyakit Demam Berdarah Dengue ........................................... 14

BAB III PENUTUP:


3.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 17
3.2 Saran ....................................................................................................................... 17

Daftar Pustaka ............................................................................................................ 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sebagai komponen yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan


manusia, air limbah dan ekskreta dapat menjadi faktor yang turut memberatkan
keadaan darurat pada populasi korban bencana. Di antara kerugian yang
ditimbulkan, populasi korban bencana menjadi lebih rentan kepada penyakit. Baik
dalam keadaan aman maupun dalam keadaan bencana, pengelolaan air limbah dan
ekskreta harus tetap dilakukan. Interaksi antara penyakit, air limbah, dan ekskreta
menjadi sangat kritis dalam keadaan darurat dan bencana.

Jika diketahui peran penyebaran penyakit berasal dari air limbah dan
ekskreta, upaya pengendalian awal penyakit bisa segera dimulai. Dengan rapid
assessment dan kerja sama antara para ahli sanitasi dan wakil-wakil korban
bencana secara cepat dapat diidentifikasi faktor risiko utama yang memerlukan
tindakan segera.
Akibat bencana, sampah padat akan menumpuk. Setelah bencana primer
selesai, sampah padat akan terbentuk dalam dua tahap. Pada tahap awal, sampah
padat berasal dari kerusakan-kerusakan fisik setempat akibat bencana. Bergantung
pada jenis dan tempat bencana yang terjadi, sampah padat yang terbentuk
bervariasi baik menurut banyaknya maupun jenisnya. sampah padat pada tahap ini
sering bercampur dengan cadaver (bangkai hewan dan jenazah manusia).
Pengelolaan cadaver harus dilakukan terpisah dari pengelolaan sampah padat.
Pada tahap berikutnya, sampah padat terbentuk karena adanya kegiatan
pengungsian yaitu yang berasal dari kegiatan bantuan dan yang dihasilkan para
pengungsi korban bencana. jenis sampah pada tahap ini akan didominasikan oleh
sampah hasil kegiatan domestik, sedangkan banyaknya sampah padat yang
dihasilkan bergantung pada lamanya kegiatan pengungsian itu.
Sampah padat merupakan benda padat buangan tidak termasuk benda cair,
gas, kotoran (dari hewan dan manusia), atau cadaver. Karena kuantitas dan
kualitasnya, sebagai benda padat buangan, seringkali sampah merupakan benda
yang masih dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung.

1
Sebaiknya, jika dibuang secara tidak benar sampah akan menimbulkan
masalah kesehatan, merusak lingkungan, dan membuat lingkungan tidak nyaman
serta menjadi tempat perindukan vektor insekta, tikus dan ular sehingga
meningkatkan potensi transmisi penyakit. Baik banyaknya maupun jenisnya,
sampah akan menimbulkan masalah kesehatan masyarakat.
Pada saat bencana baik di pemukiman ataupun pada tempat pengungsian
akan banyak menimbulkan sampah baik berupa daun-daunan, kertas dan plastik
karena umumnya makanan adalah siap saji. Begitu juga masalah dalam buang
kotoran dan limbah, pada umumnya kita sering teriambat dalam pengelolaannya,
sehingga lingkungan pemukiman ataupun tempat pengungsian mudah tercemar,
sehingga mengundang berbagai vektor penyakit.
Dasar pelaksanaan Sanitasi Darurat pada daerah bencana mengacu pada
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
12/MENKES/SK/I/2002 Tentang Pedoman Koordinasi Penanggulangan Bencana
Di Lapangan.

1.2 Rumusan masalah

1. Apa peran ekskreta dan air limbah dalam kesehatan masyarakat?


2. Apa konsep dasar pembuangan ekskreta?
3. Apa jenis sarana pembuangan ekskreta di tempat pengungsian?
4. Bagaimana masalah dari banyaknya dan jenis sampah padat ketika terjadi
bencana?
5. Bagaimana cara penyimpanan, pengumpulan, transportasi, pengolahan dan
pembuangan sampah ketika bencana?

1.3 Tujuan makalah

1. Untuk menjelaskan apa peran ekskreta dan air limbah dalam kesehatan
masyarakat.
2. Untuk menjelaskan bagaimana konsep dasar pembuangan ekskreta dan air
limbah.
3. Untuk menjelaskan apa saja jenis sarana pembuangan ekskreta di tempat
pengungsian.

2
4. Untuk menjelaskan bagaimana masalah dari banyaknya dan jenis sampah
padat ketika terjadi bencana.
5. Untuk menjelaskan bagaimana cara penyimpanan, pengumpulan,
transportasi, pengolahan dan pembuangan sampah ketika bencana.

1.4 Manfaat penulisan

1. Meningkatkan pengelolaan ekskreta dan air limbah ketika bencana;


2. Meningkatkan pengelolaan sampah padat ketika terjadi bencana;
3. Menjelaskan hubungan antara lingkungan dan penyakit-penyakit yang
terkait dengan pengelolaan air limbah dan ekskreta;
4. Memberikan informasi dasar tentang cara-cara pengawasan untuk
meningkatkan pengelolaan sampah padat secara saniter.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Peran Ekskreta dan Air Limbah dalam Kesehatan Masyarakat

Ekskreta dan air limbah merupakan sumber penularan penyakit yang


berpotensi menggangu kesehatan masyarakat. Ekskreta adalah buangan sisa-sisa
biologic dan kimia dari tubuh manusia (misalnya, kotoran dan urin) sedangkan air
limbah adalah badan air yang dicemari oleh pencemaran-pencemaran fisik, kimia,
dan biologi buangan kegiatan manusia sehingga membentuk air buangan atau air
limbah. Sebagai sumber penularan penyakit, keduannya dikelola dengan benar
sebelum dibuang kedalam lignkungan agar tidak mencemari media air, udara, dan
tanah.
Pembuangan ekskreta dan air limbah secara terbuka ke dalam lingkungan
menyebabkan terbentuknya fokus-fokus (foci, focuses) sumber penularan penyakit
yang tersebar. Penyebaran penyakit akan terpacu melalui media lingkungan (air,
udara, dan tanah) dan vektor (serangga, pengerat). Kondisi ini akan mengarah
kepada sukarnya pengendalian penyakit menular pada tingkat pencegahan primer
masalah kesehatan masyarakat.
Oleh karena itu, alternatif terbaik adalah mengelola ekskreta dan air
limbah sebelum dibuang ke dalam media lingkungan. Pengolahan bertujuan
mengubah karakteristik ekskreta dan air limbah dari bentuk semula( yang akan
membebani lingkungan) menjadi bentuk yang ramah luingkungan serta
bermanfaat untuk daur-ulang zat-zat yang terdapat di dalamnya. Untuk mengawal
upaya ini, ekskreta dan air limbah harus dikumpulkan (contained) di tempat
pengolahan agar tidak langsung mencapai media lingkungan dan terjangkau oleh
vektor.
2.1.1 Air Limbah dan Kesehatan Korban Bencana
Di tempat-tempat pengungsian, air limbah berasal dari dapur, kamar
mandi, tempat mencuci, tempat layanan kesehatan (poliklinik, rumah sakit), sering
kali juga berasal dari WC. Air limbah mengandung organisme pathogen. Hitung
bakteri total dalam air limbah bervariasi menurut kadar air limbah. Pada sebuah

4
laporan air limbah dengan suhu 20˚C didapatkan hitung bakteri total pada dini
hari sebanyak 500.000/ml air limbah dan pada siang hari naik menjadi 5juta/ml.
Jika sampai tergenang dan tidak mengalir, terbentuklah genangan air yang
tercemar oleh zat organik yang menjadi tempat perindukan nyamuk Culex. Genus
Culex berpotensi mentransmisikan antara lain bebrapa jenis virus dan parasit
Filaria yang akan bersarang dalam sistem saluran limfe.

2.1.2 Karakteristik Air Limbah


Dari sudut pandang kesehatan lingkungan, air limbah merupakan salah
satu medium penampung zat pencemar yang berpotensi menjadi sumber penularan
penyakit. Penularan penyakit terjadi karena air limbah mengandung zat pencemar
fisika, biologi, dan kimia. Air limbah terdiri dari 99,9 persen air dan sisanya
berisikan suspense zat padat dan larutam zat padat.
Air limbah domestik yang baru, akan berbau sabun atau berminyak, keruh
(clupdy), dan sering mengandung tinja, rambut, kulit ari, dan lain-lain. Setelah
beberapa lama (antara 2 sampai 6 jam) air limbah mulai membususk dan dutandai
dengan bau H2S dan senyawa sulfur lain, partikel suspense menjadi lebih halus,
dan berwarna gelap. Makin tinggi konsentrasi suspense dan larutan makin keruh
dan makin bau. Tingkat kekeruhan air limbah juga ditentukan oleh banyaknya
pemakaian air perkapita. Dari zat-zat yang terdapat di dalam air limbah, kecuali
zat organik, terdapat juga zat anorganik.
Keseluruhan zat padat yang trdapat di dalam air limbah dinamakan Total
Solids (TS, zat-zat padat mengendap) yang terdiri dari Suspended Solids (SS, zat-
zat padat melayang) dan Dissolved Solids (DS, zat padat terlarut); dalam bentuk
persamaan disampaikan, TS = SS + DS. Jika air limbah tertunda beberapa lama
dalam suatu wadah (misalnya di dalam tangki penundaan) akan didapat endapan
di dasar wadah itu yang dinamakan Settleables. Settleables adalah bagian daripada
Suspended Solids yang mengendap dalam tangki sedimen selama periode
penundaan. Suspended Solids yang masih berada dalam air limbah dapat disaring
dengan saringan asbes dan dikeringkan. Banyaknya Suspended Solids ini dapat

5
diukur dengan menimbang hasil saringan itu. Bagian lain daripada Suspended
Solids adalah Colloids yaitu Suspended Solids amat halus yang sama sekali tidak
mengendap. Colloids adalah penyebab air limbah tampak tidak jernih dan selalu
tampak seperti berkabut.
Banyaknya Dissolved Solids dapat diukur dengan menguapkan air sisa
saringan air limbah (tanpa Suspended Solids). Setelah semua air menguap akan
tersisa zat organik dan garam mineral yang biasa terdapat di dalam air. Jika Solids
hasil evaporasi/filtrasi ini dikeringkan, ditimbang, lalu dibakar, maka berat yang
hilang merupakan berat daripada Volatile solids yaitu zat organik yang dapat
menguap. Sisa berat hasil pembakaran Solids sesudah dievaporasi/filtrasikan tadi
dinamakan Fixed solids yaitu zat anorganik.
Air limbah juga mengandung bakteri Caliform. Jika terkontaminasi tinja
air limbah akan mengandung Escherichia coli (E. coli). Jumlah E. coli dalam air
limbah sehari akan berubah-ubah, siang hari akan bertambah banyak
dibandingkan dengan pagi hari sedangkan pada malam hari menjadi lebih sedikit
dibanding pagi hari. Menurut suatu laporan, jumlah E.coli pada jam 8 pagi
didapatkan 30.000/ml air limbah, pada siang hari jumlahnya naik menjadi
200.000/ml, sedangkan pada malam hari menjadi lebih sedikit dari pagi.
Perubahan jumlah ini dapat disebabkan oleh beberapa hal:
a. E. coli bertambah banyak sejak pagi sampai siang hari karena asupan baru
bakteri itu melalui air limbah hasil aktivitas domestik pagi sampai siang
hari makin bertambha;
b. Pada waktu yang sama tinja sebagai asupan makanan bagi E. coli masih
cukup untuk perkembang-biakan.;
c. Pada malam hari, asupan E. coli sudah menurun serta banyak yang mati.

Tetapi yang dapat disimpulkan adalah bahwa pemeriksaan jumlah E. coli


akan memberikan jumlah yang berubah-ubah menurut waktu pengambilan
sehingga pemeriksaan gambaran jumlah E. coli yang dapat dimanfaatkan untuk
tindakan pengamanan air limbah.

2.1.3 Penyaluran Air Limbah (Drainage)

6
Semua air bekas yang dipakai masyarakat termasuk dari kamar mandi,
dapur tempat mencuci menjadi air limbah yang harus dibuang secara saniter.
Pembuangan air limbah secara saniter sangat penting untuk mencegah timbulnya
risiko kesehatan baru. Mengingat banyknya keanekaragaman pencemar yang
berpotensi masuk kedalam air limbah, mengaitkan air limbah dengan penyakit
tertentu tidak dapat langsung ditentukan.

Akan tetapi, secara umum pembuangan yang tidak benar berisiko


meningkatkan tempat perindukan vector nyamuk, erosi tempat bernaung, air
menggenang kemana-mana misalnya ke tempat korban bencana bernaung, ke
tempat pembuangan tinja, tempat sampah, mencemari air permukaan dan air
tanah. Tanpa penanganan yang benar, beberapa risiko kesehatan ini akan
bertambah. Bila sampai terjadi genangan air limbah, populasi nyamuk akan
bertambah dan sistem infiltrasi akan mengarah kepada pencemaran air tanah. Jika
sampai mengalir masuk ke tempat pembuangan ekskreta atau sampah padat, risiko
transmisi penyakit semakin meningkat lagi.

Air limbah yang mengandung buangan dari jamban atau tempat sampah
dapat juga memfasilitasi kontak langsung masyarakat dengan kuman patogen
penyebab penyakit. Ini khususnya dapat terjadi ketika manusia memanfaatkan
sungai atau badan air lain menjadi tempat penyaluran air limbah rumah tangga
dan lain-lain untuk keperluan segari-hari.

2.1.4 Indikator Pokok Penyaluran Air Limbah

Untuk menjamin suatu lingkungan yang terbebas dari risiko tersebut


terdapat persyaratan mengenai pembuangan air sebagai berikut:

a. Area disekitar tempat bermukim dan tempat-tempat pengambilan air


bersih harus bebas dari genangan air;
b. Saluran air limbah harus selalu bersih;
c. Tempat bernaung, jalan, fasilitas sanitasi, fasilitas air bersih tidak
kebanjiran atau terkikis air;

7
d. Saluran pembuangan air pada tempat pegambilan air bersih, mencuci, dan
mandi harus dibuat dan dipelihara dengan baik menurut perencanaan yang
tepat;
e. Air limbah tidak mengerosi atau mencemari sumber-sumber air
permukaaan dan air tanah;
f. Jika diperlukan, tersedia alat dan perlengkapan yang tepat untuk pekerjaan
dan perawatan ringan saluran air limbah.

Disampaikan beberapa metode penampungan air limbah beserta kelebihan


dan kekurangan masing-masing metode.

a. Metode lubang resapan (SoakPit), lubang berdiameter 1 sampai 2,5cm


digali ditanah (yang dapat menyerap air) sampai kedalaman 2 sampai 5m
tempat meresapkan air limbah. Agar dinding lubang tidak runtuh, lubang
boleh diisi dengan batu-batuan atau dinding lubang diperkuat dengan bata
yang dipasang renggang. Kelebihannya adalah relatif mudah dan dapat
dibuat di dataran rata yang rendah. Kekurangannya adalah hanya dapat
dibuat di tanah yang dapat menyerap air dan kapasitas penampungan air
limbah terbatas.
b. Metode parit infiltrasi (infiltration trenches), pipa berpori-pori yang
dikuburkan horizontal (agar limbah menyebar rata dalam pipa) berbaris-
baris dalam parit yang berisi kerikil kasar. Diameter pipa 10cm, lebar parit
30-60cm dengan kedalaman 1m dibawah barisan pipa. Kelebihannya
adalah relatif mudah dan cepat dibuat, dapat dibuat di dataran rata yang
rendah dan kapasitas penampungan air limbah lebih banyak daripada
lubang resapan. Kekurangannya adalah hanya cocok untuk tanah yang
dapat menyerap air.
c. Metode drainase alam (natural drainage), air limbah dibuang ke sungai
atau ke selokan yang mengalir pada bagian hilir tempat pengambilan air
dari sungai; saluran pembuangan harus miring agar mengalir; air sungai
atau selokan harus lebih banyak daripada air limbah. Kelebihannya adalah
hanya memerlukan keahlian konstruksi sederhana dan hambatan kontur

8
lahan tidk berarti. Kekurangannya adalah tidak selalu ada di lokasi dan
berpotensi mencemari badan air.
d. Metode drainase buatan (Man-made drainage), saluran-saluran drainase
dibuat menembus hambatan-hambatan alami dilapangan sampai mencapai
badan air. Kelebihannya adalah mungkin merupakan satu-satunya pilihan
untuk lokasi lahan yang tidak menyerap air dan kurang kemiringannya.
Kekurangannya adalah mahal dan berdampak besar pada kontur lahan.
e. Metode kolam evaporasi (evaporation pans), kolam dangkal tempat
penampungan dan penundaan air limbah agar sempat menguap (tergantung
suhu, kelembaban dan kecepatan angin); efektif jika rata-rata laju
penguapan minimum 4mm/hari, curah hujan sedikit dan tidak ada pilihan
lain. Kelebihannya adalah sangat cocok dipakai di lokasi daerah tandus
dan kering dimana infiltrasi tidak dimungkinkan. Kekurangannya adalah
berpotensi menjadi perindukan lalat, nyamuk dan lain-lain dan
memerlukan tempat yang luas.
f. Metode alas evaporasi dan evapotranspirasi (Evaporation and
evapotranspiration bed), pipa-pipa berpori dikuburkan dalam alas pasir
yang dangkal. Daya kapiler pasir akan menarik air dari dalam pipa ke
permukaan pasir sehingga air menguap (tergantung suhu, kelembaban dan
kecepatan angin). Jika pada tempat ini ditanami pohon, terjadi juga proses
evapotranspirasi oleh pohon. Kelebihannya adalah sangat cocok dipakai di
lokasi daerah tandus dan kering dimana infiltrasi tidak dimungkinkan.
Kekurangannya adalah kapasitas penampungan air limbah terbatas dan
memerlukan perawatan seksama.
g. Metode irigasi (irrigation), cocok untuk limbah yang berlimpah pada
saluran-saluran drainase dapat ditanami pohon yang cepat tumbuh (pisang
dan papaya) dapat dialirkan ketempat pertanian atau perkebunan. Harus
dijaga agar air bersih tidak turut menjadi air irigasi. Kelebihannya adalah
dapat menangani jumlah air yang banyak dan berguna untuk pertanian.
Kekurangannya adalah, secara umum hanya cocok untuk pembuangan air
limbah berskala kecil dan berpotensi menyelewengkan air bersih.

9
a. Ekskreta dan Kesehatan Korban Bencana

Ekskreta manusia terdiri dari tinja dan urin. Banyaknya tinja yang
dikeluarkan oleh orang dewasa di Asia lebih kurang ½ kg (500g/hari). Dalam
tinja penderita atau karier penyakit diare kemungkinan terdapat kuman
Salmonella sebanyak 106/g tinja, virus poliomyelitis sebanyak 106/g tinja, dan
Amoeba sebanyak 104/g tinja.

Disamping memang memberikan pemandangan serta bau yang tidak sedap


jika berada di sekitar kegiatan manusia, tinja yang dibuang di alam terbuka
berpotensi mencemari tanah, air; menjadi perindukan lalat, kecoa; menarik
perhatian hewan-hewan peliharaan; dan akhirnya menjadi sarana penularan
penyakit. Tinja kering juga dapat menjadi butir butir debu halus yang
melayang diudara. Transmisi oro-faecal (transmisi tinja melalui mulut) yang
dapat terjadi melalui beberapa jalur misalnya air minum yang tercemar tinja
(di sumber air, dalam pengambilan/ pengangkutan air, atau ditempat
permukiman), kebiasaan tidak bersih, kurangnya hygiene makanan
(terkontaminasi tinja, tangan yang kotor, kecoa, lalat), terkontaminasi alat-alat
dapur, alat-alat bersantap, atau karena kurangnya hygiene perseorangan akibat
kekuranagn air.
Selain itu, transmisi infeksi beberapa jenis cscing (Ascaris lumbricoides,
Oxyuris vermicularis, Ancylostoma duodenale) terjadi karena kontak langsung
dengan tanah yang tercemari oleh faeces dan dapat tersebar cepat jika
masyarakat berdefekasi di tanah terbuka dan tidak memakai alas kaki. Infeksi
ini menimbulkan kekurangan gizi dan anemia yang menurunkan daya tahan
tubuh sehingga menambah risiko terkena penyakit lain.
Dalam keadaan lain, jika tinja sampai masuk ke dalam sumber air (kolam,
danau) terdapat kemungkinan berkembangnya penyakit schistosomiasis
(parasite cacing yang berkembang di dalam vena usus dan hati). Dalam siklus
hidupnya, parasite cacing ini berada dalam tinja penderita atau karier penyakit
dan setelah tinja itu masuk kedalam badan air, maka larvae akan terlepas
kemudian masuk kedalam siput Oncomelania untuk mencapai stadium
selanjutnya dan melepaskan diri lagi dalam bentuk larvae infeksi yang

10
berenang di air sehingga dapat menembus kulit orang yang kontak dengan
badan air itu (berenang, berendam).
Semua jalur transmisi itu dapat terjadi pada para korban bencana terutama
pada anak-anak karena mereka berada dalam kesemrawutan, stress, kepadatan
manusia, dan penurunan daya tahan tubuh. Infeksi melalui tinja memang dapat
dihindarkan dengan desinfeksi media, misalnya denga khlorinasi air bersih
dan air minum, dan mencuci tangan, namun yang menjadi pilihan utama
adalah mengisolasi tinja dari lingkungan hidup.
Setelah tinja, urin sebagai ekskreta juga harus diperhatikan. Walaupun
biasanya kurang berbahaya dibandingkan dengan tinja, di tempat-temapat
berkembangnya Schistosoma haematobium (juga penyebab penyakit
schistosomiasis) urin pemderita dapat mengandung telur parasit ini yang
dikeluarkan oleh parasit dewasa. Parasite dewasa berada di dalam vena sekitar
Vesica Urinaria. Bila urin penderita yang mengandung parasite masuk ke
dalam badan air muncul risiko penyebaran penyakit itu melalui air (water-
based disease transmission).
b. Pengelolaan Ekskreta
Pembuangan ekskreta merupakan salah satu program penting bagi sanotasi
dalam keadaan darurat dan bencana. Mencegah keberadaan ekskreta di dalam
lingkungan tempat manusia beraktivitas serta praktik pembuangan ekskreta
(terutama tunja) dengan cara transmisi penyakit yang ditularkan oleh ekskreta.
Paling sedikit, pembuangan ekskreta dengan cara yang aman dapat
mengurangin insidens penyakit-penyakit infeksi saluran pencernaan seperti
cholera, tifoid, disentri (termasuk shigellosis), diare, cacing tambang (
Ancylostoma duodenale), atau schitosomiasis. Dalam keadaan bencana dan
darurat, kemungkinan untuk semua penyakit-penyakit ini muncul arau sampai
menimbulkan epidemic, menjadi tinggi. Pada keadaan itu, banyak manusia
serentak berkumpul disuatu tempat dan untuk memenuhi salah satu kebutuhan
biologis, jamban merupakan masalah yang harus diatasi dengan cermat dan
baik jumlah, kualitas, maupun pemakainnya. Jamban merupakan sarana
penting untuk pembuangan ekskreta cara yang aman.

11
2.2 Konsep Dasar Pembuangan Ekskreta
Penelitian-penelitian epidemiologi diberbagai negara berkembang
menunjukan bahwa pemakaian jamban dan cara-cara lain untuk mencegah
ekskreta berada diruang terbuka sekitar kegiatan manusia memberikan proteksi
terhadap penyakit diare lebih baik daripada cara-cara lain dalam kesehatan
lingkungan. Penelitian Curtis dkk. (2000) mengisyaratkan bahwa pembuangan
ekskreta dengan cara aman lebih efektif dalam menurunkan angka kesakitan diare
daripada anjuran mencuci tangan sebelum makan. Hal ini terutama disebabkan
oleh anjuran mencuci tangan merupakan upaya yang kompleks dalam mengubah
perilaku.
Walaupun jenis jamban berbeda sesuai dengan budaya dan keadaan
setempat, beberapa konsep dasar perlu diikuti. Maksud daripada sistem sanitasi
adalah menjaga agar ketika defekasi jangan sampai tinja tercecer ditempat-tempat
kegiatan sehari-hari manusia apalagi sampai tinja tercecer dimana mana. Sasaran
program sanitasi adalah membuat sebanyak mungkin anggota masyarakat
memanfaatkan sarana berkomunikasi secara jelas dengan saniter. Petugas-petugas
sanitasi harus berkomunikasi secara jelas dengan masyarakat mengenai betapa
pentingnya membuang ekskreta di tempat pembuangan ekskreta yang saniter
dalam upaya mencegah tersebarnya penyakit yang ditularkan melalui ekskreta.
Baik dalam keadaan aman maupun dalam keadaan darurat dan bencana
perlu dikembangkan program sanitasi dengan mempertimbangkan beberapa
kenyataan berikut :
a. Penerimaan masyarakat: rancangan tempat pembuangan ekskreta tidak
ditolak oleh budaya setempat;
b. Kemudahan akses: masyarakat dapat mengakses tempat pembyangan
ekskreta secara mudah;
c. Pemakaian: masyarakat tahu cara memakai sarana pembuangan ekskreta
secara saniter;
d. Perawatan: masyarakat bersedia merawat sarana pembuangan ekskreta
secara saniter;
e. Drainase: sarana pembuangan ekskreta secara saniter;

12
f. Budaya: sesuai dengan masing-masing budata yang berkembang di dalam
masyarakat, secara pembuangan ekskreta dibuat terpisah antara pemakai
laki-laki dan perempuan, serta sarana khusus bagi anak-anak;
g. Tempat umum: pada beberapa tempat umum (tempat kerja, layanan
kesehatan, dan sebagainya) disediakan sarana pembuangan ekskreta;
h. Bertanggung jawab: sedapat mungkin jamban tidak dipakai bersama antar-
keluarga karena akan membawa masalah dalam hal tanggung jawab
perawatan jamban;
i. Dana: keuntungan kesehatan yang diperoleh dengan tersedianya jamban
bagi setiap rumah hendaknya diimbangi dengan biaya, upaya, dan waktu
untuk membuatnya.
Angka kematian dan kesakitan korban bencana yang mengungsi pada hari-
hari pertama biasanya tinggi dibandingkam dengan ketika sudah menetap. Mereka
berada dalam fase beradaptasi kepada lingkungan yang baru. Pada waktu ini
fasilitas sanitasi menjadi amat penting untuk mencegah letupan penyakit-penyakit
diare di antara para korban bencana. Setidaknya area defekasi harus sudah dibuat
dan siap pakai. Wilayah ini harus terletak ditempat yang tepat, jauh dari sumber
air tetapi tidak terlalu jauh dari tempat permukiman agar masyarakat tidak enggan
memanfaatkannya.
Terkait dengan keengganan, anak-anak harus memperoleh perhatian
khusus mengenai pembuangan ekskreta. Kebiasaan defekasi pada anak-anak sukar
diawasi. Menghadapi masalah defekasi pada anak-anak kepada pengasuh anak
(ibu, kakak, atau pengasuh anak yang lain) harus diberikan pendidikan mengenai
cara menangani kotoran anak-anak dan pentingnya mencuci tangan mereka
sehabis membersihkan anak dan menangani kotoran anak-anak. Bila perlu
dibuatkan jambah khusus anak-anak yang dapat diterima doleh anak-anak
misalnya tidak gelap dan lubang jamban lebih kecil sedikit dibanding jamban
orang dewasa.
Mengingat keanekaragaman budaya setempat di Indonesia, ada baiknya
jika struktur dan bahan bangunan dibicarakan dengan penduduk setempat dan
para korban bencana yang akan memakai jamban. Ini dilakukan agar sepenuhnya
masyarakat dapat menerima sepenuhnya sarana sanitasi itu.

13
Bagi para korban bencana yang diperkirakan bermukim lama di tempat
pengungsian akan lebih baik lagi jika setiap rumah tangga bersedia membuat
sendiri jambannya masing-masing. Ini merupakan jaminan tersendiri bahwa
fasilitas santirasi itu akan dipakai dan diurus sebagaimana mestinya. Sebaliknya,
otoritas setempat misalnya negara tuan-rumah (jika pengungsi dari negara lain)
atau penguasa daerah setempat sering berkeberatan mengizinkan pembuatan
fasilitas unit keluarga atau fasilitas untuk jangka panjang bagi para pengungsi
korban bencana karena tidak ingin memberi kesan mengizinkan mereka untuk
menetap selamanya diwilayah mereka. Jika masalahnya demikian, dapat dicarikan
alternatif lain misalnya jamban umum bagi beberapa keluarga (walaupun berisiko
mengundang masalah perawatan dan kebersihan) atau jamban sementara.

2.2.1 Ketentuan dan Indikator Tempat Pembuangan Ekskreta

Agar dapat berfungsi dengan baik dalam menjaga kesehatan, jamban


tempat pembuangan ekskreta harus mempunyai ketentuan yang telah terbukti
sesuai dengan kelayakan jamban dan fungsinya. Berikut adalah ketentuaan
minuman yang dimointa untuk kelayakan fungsional jamban:

a. Instalasi jamban berjumlah cukup untuk pemakaian yang layak;


b. Instalasi jamban berada cukup dekat dengan tempat permukiman agar
dapat dipakai cepat serta aman sepanjang waktu (siang dan malam);
c. Instalasi jamban diletakkan, dirancang, dibangunm dirawat agar selalu
nyaman, higienis, dan aman dipakai.

Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan diatas, berikut adalah beberapa


indikator utama jamban ditempat-tempat pengungsian atau ditempat terjadniya
bencana dan keadaan darurat.

Indikator Utama Akses dan Jumlah Jamban di Tempat Pengungsian (Johns


Hopkins, 2008).

a. Setiap instrasi jamban dapat dimanfaatkan oleh maksimun 20 orang.


b. Pemakaian instansi jamban diatur menurut kelompok rumah tangga
dan/jenis kelamin.

14
c. Instalasi jamban terpisah menurut jenis kelamin tersedia di tempat-tempat
umum (pelayanan kesehatan, kantor, dan lain-lain).
d. Kebersihan instalasi jamban umum dirawat dan dijaga demi kepentingan
umum.
e. Instalasi jamban terletak maksimum 50m dari tempat permukiman di
pengungsian.
f. Instalasi jamban dipakai dengan cara yang paling higienis.
g. Kotoran anak-anak dibuang segera dan secara higienis.

2.3 Jenis Sarana Pembuangan Ekskreta di Tempat Pengungsian

Setelah ada tempat yang terpilih untuk tempat permukiman para


pengungsi, petugas kesehatan lingkungan harus proaktif turut serta dalam
memutuskan bahwa tempat yang dipilih kondusif untuk menjadi tempat yang
saniter. Janeis sarana pembuangan ekskreta di tempat itu amat menentukan tingkat
kelayakan lokasi agar sanitasi terpelihara sehingga tidak berperan menjadi sumber
atau lahan penghantar penyakit oro-fecal

Terlepas dari bentuk jamban yang direncanakan, prinsip sarana tempat


pembuangan ekskreta yang saniter adalah bahwa:

a. Tempat itu bisa melokalisasikan dan memusnakan ekskreta tanpa


membahayakan kesehatan masyarakat.
b. Jamban menjadi tempat melokalisasi ekskreta (pemisahan antara ekskreta
dengan manusia).
c. Ekskreta mengalami proses dekomposisi dan pemusnahan patogen untuk
meminimalkan risiko kesehatan yang berasal dari ekskreta.
d. Tempat pelokalisasian ekskreta ini harus dirancang dan dibangun tanpa
adanya risiko mengontaminasikan sumber-sumber air minum.

Beberapa sarana darurat pembuangan ekskreta dapat dimanfaatkan di


tempat pengungsian. Sarana pembuangan ekskreta itu antara lain: Jamban Saluran
(Trench Latrine) dan Jamban Gali (Pit Latrine).

2.3.1 Jamban Saluran (Trench Latrine)

15
Pada hari-hari pertama setelah bencana, tempat pembuangan ekskreta
mungkin tidak tersedia, karena rusak atau korban bencana pindah ke tempat yang
aman namun tanpa tersedia sarana sanitasi lingkungan. Dalam kondisi ini perlu
dilaksanakan pemecahan masalah jangka-pendek untuk pembuangan ekskreta para
korban bencana. Salah satunya adalah menyediakan area terbuka tempat defekasi
atau jamban saluran (trench latrine).

Penting untuk diperhatikan dan ditekankan lagi bahwa area tempat


defekasi ini harus terletak jauh dari sumber-sumber air dan berada di at
permukiman agar tidak terjadi bilasan air hujan pada area ini yang masuk ke
tempat permukiman. Masalah mungkin timbul del pemanfaatan area tempat
defekasi ini jika tidak tersedia lahan terus dengan syaratnya seperti misalnya di
kota atau di daerah yang berbatu-batu.

Secara teknis, jamban saluran relatif mudah dibuat. Saluran digali di tanah
sedalam kira-kira 70-75 cm agar ekskreta dapat diuraikan oleh mikroba tanah.
Saluran tidak dibuat terlalu lebar supaya mudah dipakai. Setelah setiap defekasi,
kotoran ditutupi kembali dengan tanah bekas galian agar tidak menyebarkan bau
dan terjangkau oleh lalat, tikus, dan hewan lain. Selanjutnya pada tahap terakhir
saluran itu ditimbun dengan tanah setelah tidak dapat lagi dipakai defekasi.

Pada setiap saluran jangan dibuat tempat defekasi yang bersisian terlalu
banyak. Panjang saluran yang dianjurkan tidak lebih dari 6 m; dan bagian atas
saluran pada kedalaman 0,5 m diberikan dinding penguat agar tidak runtuh. Untuk
tempat meletakkan kaki ketika defekasi, tepi saluran dilengkapi dengan papan
yang dilapisi papan plastik (bila ada) atau papan lain supaya tanah tidak runtuh
dan berguguran ke dalam lubang. Saluran baru yang sejajar dengan saluran
semula sudah dibuat setelah saluran pertama terisi penuh. Sepanjang saluran itu
dipasang sekat (terbuat dari bahan lokal yang mudah didapat) untuk memisahkan
ruang jamban tempat defekasi yang satu dari yang lain. Kekurangan jamban
saluran adalah seperti jamban umum lainnya yaitu tidak ada yang mau
mengerjakan pembersihan dan perawatan secara sukarela. Tetapi jamban saluran
dapat menutupi kebutuhan akan tempat defekasi yang saniter pada tahap
kedaruratan awal yang amat mendesak.

16
2.3.2 Jamban Gali (Pit Latrine)

Dalam keadaan mendesak, jamban gali juga merupakan salah satu pilihan
untuk tempat pembuangan ekskreta. Jamban gali mudah dibuat dan merupakan
lubang yang digali di tanah. Akan tetapi masalah utama yang mungkin dihadapi
adalah potensi tersebarnya tinja dari lubang jamban searah dengan aliran air tanah.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan kedalaman permukaan air tanah (water table)
terutama pada musim penghujan, karena pada musim tersebut kedalaman
permukaan air akan berkurang (permukaan air tanah naik).

Gambaran penyebaran zat pencemar dari jamban di dalam tanah:

1. Kerucut pencemaran ekskreta menyebar kira-kira 1 meter di sekitar


jamban, sambil meresap vertikal ke bawah; kadang-kadang mencapai air
tanah.

2. Jika kedalaman permukaan air tanah kurang dari 3 meter, ekskreta akan
tersebar berbentuk kerucut mengikuti aliran air tanah. Bakteri dari tinja
akan tersebar melebar ke samping dan ke arah bawah sambil terserap oleh
tanah sampai jarak lebih dari 10 meter (tergantung struktur dan tekstur
tanah) sehingga kadarnya semakin menurun.

3. Zat kimia juga mengalir berbentuk kerucut sampai lebih dari 25 meter
tetapi pada jarak 100 meter biasanya sudah tidak terdeteksi

2.4 Prioritas Sosial Terkait dengan Teknologi dan Kesehatan

Walaupun aspek teknologi dalam upaya pengelolaan air limbah


menentukan kualitas sanitasi lainnya, tidak satupun pemecahan masalah teknologi
yang dapat secara tuntas mengatasi seluruh masalah sanitasi di tempat bencana.
Betapapun baiknya rancangan sanitasi dibuat tetap saja tidak akan efektif jika
masyarakat tidak diorganisasikan untuk mengelolanya secara teratur.

Sarana sanitasi seperti jamban tidak mungkin berfungsi efektif mencegah


penularan penyakit jika para pemakainya tidak merawat, membersihkan, menjaga
tinggi permukaan air, menutup lubang jongkok atau menghindarkan sumbatan.
Keunggulan teknologi tidak cukup untuk memecahkan masalah sanitasi secara

17
menyeluruh Terdapat sisi lain dalam mencapai keberhasilan pencegahan penyakit
terkait dengan pengelolaan air limbah dan ekskreta yaitu perilaku manusia.
Bahkan, dalam beberapa keadaan perilaku manusia mendominasi jalan menuju
keberhasilan pengelolaan air limbah dan ekskreta

Dari aspek higiene dan sanitasi, ada tiga tingkat karakteristik ke dudukan
manusia yang perlu dipertimbangkan dalam kaitan dengan perilaku manusia yaitu:
tingkat perseorangan, keluarga, dan komunitas. Higiene jelas merupakan hal yang
bersifat perseorangan. Walaupun secara langsung atau tak langsung akan terkait
dengan interaksi dengan orang lain, higiene antara lain kebiasaan defekasi-tetap
sangat bersifat perseorangan. Pada tingkat selanjutnya kebiasaan-kebiasaan
higiene dan sanitasi juga tergantung pada kebiasaan keluarga sebagai institusi
terdekat dengan individu-individu anggota keluarga.

Sebagai salah satu mekanisme sosial, institusi keluarga membentuk


struktur atau mekanisme aturan main sosial (social order) dan berbagi
kepentingan (cooperation) yang menguasai perilaku dan kebiasaan individu
perseorangan dalam keluarga. Pada tingkat selanjutnya institusi komunitas yang
merupakan institusi setempat akan berperan menentukan perilaku dan kebiasaan
keluarga sampai kepada individu perseorangan. Kecanggihan teknologi
menghadapi kondisi ini akan menentukan bentuk keberhasilan atau kegagalan
tujuan program pengelolaan air limbah dan ekskreta.

Pada beberapa kesempatan dapat dilihat bahwa walaupun tidak tersedia


teknologi sanitasi, atau hanya dengan teknologi yang paling sederhana sekalipun,
bila situasi itu digabung dengan pola tingkah laku yang baik tetap akan mampu
menjaga status kesehatan dengan cukup baik Keadaan ini dapat dilihat pada
masyarakat yang dinilai sebagai masyarakat sederhana'; sekalipun tanpa teknologi
sanitasi namun terkompensasi oleh pengorganisasian sanitasi yang efisien
sehingga dapat juga mencapai tujuan pengelolaan air limbah dan ekskreta yaitu
kesehatan masyarakat yang kondusif untuk kelangsungan hidup layak. Dengan
mengemukakan fakta ini bukan berarti pengelolaan limbah cair dan ekskreta
dianjurkan berhenti dan merasa puas dengan teknologi sederhana' tetapi hanya

18
untuk mengingatkan bahwa teknologi semata, tidak akan mampu menjawab
seluruh permasalahan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan betapa pentingnya aspek institusi


yang amat berpengaruh pada perilaku manusia terkait dengan administrasi dan
organisasi sanitasi bila pemanfaatan teknologi ingin dipergunakan secara efektif.
Banyak jamban, dan upaya pengolahan lain yang direncanakan dengan sangat
canggih dan sempurna telah gagal mencapai tujuan utamanya akibat tidak
cukupnya dukungan institusi. Beberapa faktor penyebab kegagalan tersebut antara
lain adalah kesalahan administrasi dalam pemeliharaan dan pelayanan,
penerimaan dan latihan pegawai yang tidak efektif, tidak adanya prosedur higiene
baku yang dapat dipahami masyarakat, diabaikannya sistem pencatatan dan
sulitnya pengumpulan iuran biaya untuk pelayanan. Masalah institusi lainnya
adalah dalam bidang pendidikan kesehatan dan pembentukan lembaga swadaya
masyarakat yang melaksanakan program-program untuk menolong diri sendiri.
Juga tidak kalah pentingnya situasi lapangan kerja, status kesehatan, nilai-nilai
normal dan moral yang berlaku serta keadaan sanitasi yang sudah mendarah
daging dalam masyarakat.

Di tempat pembuangan ekskreta itu hendaknya disediakan juga sarana


untuk mencuci tangan setelah defekasi. Kepada para pemakai jamban itu
diberikan penyuluhan tentang manfaat mencuci tangan itu demi kesehatan.

2.5 Masalah Banyak dan Jenis Sampah Padat


a. Masalah banyaknya sampah padat

Diperkirakan 1000 orang yang akan menghasilkan sampai padat sebanyak


2-4 m3 setiap hari (WHO, 2002). Sampah yang berserakan dalam jumlah
banyak dan dibuang tidak pada tempatnya akan berimbas pada pencemaran
media tanah, air, dan udara. Media tempat pembuangan sampah berpotensi
merusak ekosistem media itu dan menimbulkan risiko kesehatan.

Kepada sistem pembuangan air misalnya, sampah berpotensi menyumbat


saluran air, mengubah ekosistem badan air, dan mencemari badan air. Jika
sampai mencemari air permukan atau air tanah, ekosistem badan air akan

19
berubah dan menimbulkan masalah turutan. Badan air yang semula mengalir
dalam keseimbangan ekosistemnya akan berubah menjadi badan air yang
menggenang beserta beserta ekosistem yang lain dari semula. Di tanah, pada
daerah beriklim panas, tumpukan sampah kering menimbulkan risiko
kebakaran permukiman di sekitarnya.

Dari estetika dan lagi moral masyarakat, hidup di tempat tidak hygiene dan
porak- poranda di tengah-tengah sampai padat akan menurunkan semangat
hidup dan motivasi memperbaiki dan merawat lingkungan di sekitarnya.
Secara umum, sampah padat akan mengundang sampah padat lain dan
menggiring kea rah perilaku yang semakin tidak higienis. Untuk
menghindarkan semua potensi masalah-masalah seperti yang diuraikan,
sampah padat harus dikelola dengan benar.

b. Masalah jenis sampah padat

Jenis benda-benda yang terdapat di dalam sampah padat menimbulkan


masalah kesehatan masyarakat terutama terkait dengan transmisi penyakit.

Transmisi Penyakit

Bergantung pada jenisnya, sampah dapat menjadi faktor pendukung


transmisi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Sampah yang
membusuk menarik perhatian hewan, tikus, dan lalat. Lalat berperan dalam
transmisi penyakit oro-faecal, terutama jika sampah itu juga berisi kotoran
(biasanya kotoran anak-anak), sedangkan tikus menularkan leptospirosis dan
salmonellosis, serta mengembangkan penyakit pes melalui pinjal tikus
(Xenopsylla). Kecoa akan bersarang di tempat-tempat banyak sampah dan
sering mendapat akses ke tempat makanan manusia sambil membawa bakteri
patogen seperti Shigella, Salmonella, dan lain-lain.

Sampah yang bertimbun juga dapat menjadi tempat perindukan nyamuk.


Nyamuk Aedes akan meletakkan telurnya di air yang terkumpul di kaleng
bekas, tong, atau wadah lain dalam timbunan sampah sehingga amat baik
untuk penularan penyakit dengue. Nyamuk Anopheles yang berkembang di
tempat-tempat air tergenang karena sumbatan sampah berpotensi

20
menyebarkan malaria dan nyamuk Culex juga berpotensi mentransmisikan
membawa zat-zat organik ke badan air yang tergenang. mikrofilaria terutama
jika air sampah (leachate) mengalir masuk sambil membawa zat-zat organik
ke badan air yang tergenang.

Yang lebih ekstrim adalah kebiasaan orang mengais-ngais sampah untuk


membina dalam keadaan kelaparan dan kelangkaan pangan me ngambil dan
memakan sisa makanan, bangkai hewan, atau apa saja yang dianggap dapat
dimakan, Ini sangat membuka peluang berjangkitnya penyakit penyakit
gastrointestinal, penularan Anthrax, dan penyakit lain.

Di samping itu, kejadian bencana sering disertai dengan penyebaran


sampah berbahaya ke dalam media air, tanah, udara, dan bahan makanan
Terutama jika sampah padat berisi substansi toksik. Sampah padat yang dapat
terurai secara mikrobiologi akan melepaskan gas rumah kaca sehingga
menimbulkan masalah pencemaran udara. Sampah yang mengandung zat
radioaktif seperti yang terjadi di Fukushima, Jepang pada 11 Maret 2011 atau
tumpahan minyak di teluk Mexico bercampur dengan sampah lain merupakan
contoh contoh lain.

Sampah sampah ini berpotensi menimbulkan penyakit tidak menular dan


memerlukan penanganan khusus. Badak, tanah longsor, tsunami, gempa bumi,
dan bencana bencana lain menyisakan masalah tambahan di antaranya
tertutupnya jalan lalu lintas darat atau air. Keadaan ini menghambat peng
angkutan sampah Prioritas pertama untuk mengelola sampah padat dapat
ditujukan untuk

a. Pembersihan sisa-sisa sampah akibat bencana untuk mengurangi


risiko kesehatan
b. Membuka jalur lalu-lintas untuk pengangkutan sampah
c. Mengurangi dampak psikologis akibat penimbunan sampah akibat
bencana.

Pemanfaatan Sampah melalui Pengolahan

21
Mengingat masalah kesehatan dan estetik yang ditimbulkan oleh sampah
padat, pengelolaannya harus ditujukan agar sampah tidak lagi menjadi faktor
risiko Kesehatan. Pengelolaan sampah padat juga merupakan bagian dan
penurunan emisi gas rumah kaca yaitu dengan memanfaatkan sampah sebagai
sumber daya energi-terbarukan (misalnya dengan menyadap gas metana) dan
konservasi sumber daya alam (misalnya dengan membuat kompos). Tujuan ini
dapat dicapai dengan mengelola sampah padat Ganiter, Keanekaragaman
kandungan sampah padat dan banyaknya sampah padat memberikan peluang
untuk memproduksikan energi dari sampah dan Kesempatan untuk memilih
pengelolaan sampah padat di antara beberapa alternatif teknologi pembuangan
sampah padat.

Alternatif pengelolaan sampah yang saniter itu di antaranya:

1. Mengkonversikan sampah menjadi sumber energi yang terkandung


di dalam sampah padat melalui:
a. Dekomposisi oleh mikroba (fermentasi)
b. Pembakaran terkendali (incineration).
2. Memendam sampah padat dengan tujuan mengubah struktur dan
fungsi lahan (land-fill).
3. Memakai kembali benda-benda dari sampah yang masih dapat
dipakai dengan cara:
a. Memakai langsung (dengan modifikasi) benda-benda yang
masih dapat dipakai (re-use);
b. Mengolah sampah padat menjadi bahan baku benda
komoditas (recycle).

Untuk dapat mengelola sampah padat secara saniter sesuai dengan


alternatif yang ada, perlu dilakukan perencanaan termasuk pula memahami
kualitas dan kuantitas sampah padat yang akan dikelola mulai dari asal sampah
(sumber sampah padat) sampai kemudian memilih metode pengelolaan yang
dipilih sesuai dengan status korban bencana dan situasi kedaruratan

Terkait dengan perencanaan, pendataan mengenai kualitas, kuantitas, dan


kontinuitas produksi sampah padat:

22
1. Dilakukan terus paling sedikit dalam setahun untuk mendapatkan
variasi menurut
a. Musim (penghujan, kemarau);
b. Kegiatan (misalnya perkembangan kegiatan di tempat
pengungsian, dan sebagainya).
2. Menjadi acuan penentuan sistem:
a. Pengelolaan sampah padat: pengumpulan, pemisahan, peng
angkutan sampah, dan lain-lain;
b. Pengolahan akhir sampah padat: incineration, composting,
sanitary land-fill, dan lain-lain.
3. Dipadukan dengan data:
a. Sumber daya manusia (kemampuan teknologi, daya kerja, dan lain-
lain);
b. Fasilitas dan infrastruktur yang tersedia:
c. Tersedianya lahan/ruang (kualitas dan kuantitas daya dulo ruang
potensi pencemaran media air, tanah, dan udara):
d. Pendanaan;
e. Proyeksi perkembangan di tempat terjadinya bencana.

Sumber Sampah Padat

Dalam tempat pengungsian dan di tempat terjadinya bencana, sampah


padat berasal dari:

1. Kerusakan fisik lingkungan karena bencana:


2. Kegiatan tempat pengungsian, seperti:
a. Tempat pendistribusian makanan;
b. Tempat bernaung para korban bencana (domestik):
c. Pusat kesehatan dan pengobatan;
d. Gudang makanan;
e. Institusi-institusi bantuan;
f. Tempat belanja, dan lain-lain.

Secara administratif pengelolaan sampah padat bervariasi tergantung


pada beberapa faktor yaitu:

23
1. Banyaknya dan jenis sampah yang beraneka ragam dari sumber institusi.
Komunitas, atau domestik. Khusus mengenai sampah medik, jenis ini
memerlukan perhatian khusus;
2. Variasi kualitas, kuantitas, dan kontinuitas produksi sampah oleh
masyarakat
3. Kemampuan teknologi yang ada;
4. Ketersediaan tenaga untuk melaksanakan;
5. Ketersediaan dana.

Karakteristik Sampah

Untuk dapat mengelola sampah secara saniter dan tuntas, karakteristik


sampah yang harus diketahui meliputi:

1. Jenis dan banyaknya sampah;


2. Kandungan air (moisture content) dan nilai kalori (calorific value)
sampah.

Jenis dan Banyaknya Sampah Padat

Jenis dan banyaknya sampah padat yang dihasilkan merupakan asupan bei
perencanaan manajemen seluruh pembuangan sampah. Misalnya, jika mpah berisi
benda-benda yang mudah membusuk, pengumpulan dari tempat penghasil sampah
harus dilakukan segera dan setiap hari. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi
kesempatan vektor penyakit berkembang di tempat terjadinya bencana atau di
tempat pengungsian.

Di samping untuk mengelola rangkaian proses pengangkutan pembuangan


sampah, jenis dan banyaknya sampah juga menentukan kelayakan metodologi
pengolahan sampah yang akan dipakai di tempat pembuangan akhir. Banyaknya
sampah diukur berkaitan dengan fluktuasi jumlah sampah dalam suatu periode
waktu (misalnya, jumlah sampah dalam sehari) serta kontinuitas sampah yang
dihasilkan.

Pada pengolahan sampah sebelum dibuang, misalnya untuk memper


kirakan umur lahan pada metode Pemendaman Sampah secara Saniter (Sanitary
Land-fill), diperlukan data fluktuasi perubahan komposisi, kepadatan, dan jumlah

24
sampah yang dihasilkan per kapita per hari. Juga, dengan mengetahui komposisi
sampah, dapat diperkirakan jumlah logam berat atau bahan-bahan aktif biologi
yang mungkin akan menentukan pemanfaatan lahan yang diperoleh dari
Pemendaman yang Saniter di kemudian hari. Hal serupa berlaku untuk cara
pengolahan-pengolahan sampah yang lain.

Dalam kejadian bencana, jenis dan banyaknya sampah sangat bervariasi.


Faktor-faktor yang menentukan antara lain:

1. Wilayah geografis (perkotaan atau pedesaan, daerah ramai atau daerah


terpencil, negara maju atau negara berkembang);
2. Macam bencana (banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi, konflik,
bahaya kekeringan, perang, dan lain-lain);
3. Sosio-budaya masyarakat yang terkena bencana, termasuk tingkat
ekonominya;
4. Tahap kedaruratan (volume dan komposisi sampah berubah dengan
berjalannya waktu); dan
5. Bentuk dan jumlah barang bantuan kepada korban (berikut
pembungkus, kemasan, dan sebagainya).

Untuk kepentingan perencanaan banyaknya sampah yang dihasilkan


seseorang dalam sehari dapat ditentukan menurut beberapa petunjuk di atas
bergantung pada keunikan masing-masing tempat terjadinya bencana.

Petunjuk umum yang dapat dijadikan pedoman untuk fase-fase awal


perencanaan adalah perkiraan bahwa tiap orang menghasilkan sampah antara 0,5 -
1 liter setiap hari sebanyak 25-35 persen mudah membusuk dengan kandungan air
kira-kira 10-60 persen (Harvey, et. al., 2002). Untuk perencanaan yang lebih
akurat diperlukan pengkajian yang lebih mendalam sambil memantau perubahan-
perubahan jumlah dan jenis sampah menurut waktu dan kegiatan dalam
masyarakat yang tertimpa bencana. Sampah padat dapat dikategorikan menjadi:

1. Sampah yang dapat terurai secara biologik atau dengan pembakaran

Umumnya terdiri dari bahan organik hayati dan nabati yang mudah/ dapat
membusuk seperti sisa makanan, kulit buah, bangkai hewan, benda benda

25
terbuat dari kulit hewan, kertas, kayu, daun-daun, dan lain-lain. Jika
keadaannya kering, bermacam-macam kandungan sampah ini mudah dibakar.

Termasuk ke dalam kelompok ini adalah garbage (sampah dapur).


Garbage adalah sampah nabati dan hayati sebagai hasil penanganan,
penyiapan, memasak, dan menyediakan makanan domestik. Garbage biasanya
basah, mudah sekali membusuk, dan menyiarkan bau tak sedap. Garbage
menjadi makanan untuk tikus, kecoa, dan binatang lain serta menjadi sarang
perkembangbiakan lalat. Garbage sering dijadikan makanan untuk babi.

Garbage terdapat dalam sampah rumah tangga (domestik), sampah dari


pasar, serta dari pengolahan, penyimpanan, dan penjualan bahan makanan.
Untuk kepentingan perencanaan, walaupun jenis sampah ini terdapat juga
dalam sampah hasil pemrosesan makanan kaleng. rumah pemotongan hewan,
dan perusahaan-perusahaan sejenis, kelompok sampah ini dimasukkan ke
dalam kelompok Sampah Industri.

Dalam kelompok ini dikenal juga sampah kering atau rubbish (or trash,
sampah kantor). Rubbish terdiri dari sampah yang dapat terbakar dan sampah
yang tidak dapat terbakar (misalnya, kardus, kertas pembungkus, kotak kayu,
beling, dan lain-lain). Jenis sampah ini dapat berasal dari permukiman, tempat-
tempat pelayanan umum, dan tempat lain di permukiman para pengungsi.

2. Sampah yang tidak terurai secara biologik


Termasuk ke dalam kelompok ini adalah sampah:
a. Yang baru terurai atau berubah wujud dengan pembakaran pada
suhu amat tinggi sehingga disebut juga sampah yang tidak mudah
terbakar (tidak terbakar walaupun pada suhu pembakaran dalam
incinerator biasa antara kira-kira 700°C sampai dengan 1000 C)
seperti logam dan mineral, batu-batuan, dinding semen, genteng,
besi, beling, abu, debu, kaleng, bahan-bahan anorganik, dan lain-
lain;
b. Yang terurai atau berubah wujud dengan pembakaran biasa
(disebut juga sampah yang dapat/mudah terbakar) seperti bahan
organik alam (kayu, karet, daun, rumput, dan lain-lain) maupun

26
bahan organik buatan dan olahan (ban mobil, kertas, kardus,
Styrofoam, aneka ragam plastik, oli bekas, dan lain-lain), timah
hitam (Pb, timbel, lead), dan merkuri (Hg, air raksa). Walaupun
merupakan bahan organik, kelompok ini tidak mudah membusuk,
sehingga bisa ditunda dilokasi untuk waktu yang relatif lebih lama
dibandingkan dengan garbage sebelum diangkut ke tempat
pembuangan akhir. Namun, jenis sampah ini berpotensi menjadi
sarang perindukan tikus, kecoa, nyamuk, dan lain-lain.

Kandungan Air dan Nilai Kalori (Calorific Value) Sampah Padat

Kandungan air merupakan ukuran 'kebasahan' atau banyaknya air dalam


sampah yang akan dikelola. Kandungan air akan memengaruhi kepadatan
(density) sampah padat dan banyaknya panas yang dihasilkan jika sampah
dibakar. Sementara itu, kepadatan sampah memengaruhi banyaknya sampah yang
dapat diangkut ke tempat pembuangan. Kebasahan sampah menentukan
keberhasilan proses pembuatan kompos. Pembuatan kompos memerlukan kadar
air sebesar 50 persen sampai dengan 60 persen selama proses berlangsung.

Nilai kalori (Calorific Value) merupakan ukuran jumlah panas yang


dihasilkan oleh sejumlah satuan (unit) sampah jika terbakar habis. Nilai kalori
amat menentukan kelayakan apakah sampah dapat ditangani dengan pembakaran
terkendali (incineration).

Rasio Karbon dan Nitrogen (C/N ratio)

Untuk proses pembuatan kompos, perbandingan (rasio, ratio) antara jumlah


kandungan karbon dan nitrogen amat menentukan keberhasilan proses pembuatan
kompos. C/N ratio antara 30 sampai dengan 40 merupakan perbandingan yang
optimum untuk pembuatan kompos. Untuk membuat kompos dibutuhkan sampah
dapur dan sampah lain yang mudah membusuk (sebagai sumber utama nitrogen)
dan sampah kantor atau sampah kebun (sebagai sumber utama karbon). Benda-
benda yang tidak dapat dijadikan kompos misalnya logam, beling, dan ban bekas
harus disingkirkan.

Perencanaan Pengelolaan Sampah Padat

27
Agar dapat menangani sampah padat ketika terjadi bencana dan
Kedaruratan sehingga tidak menjadi masalah sanitasi lagi perlu dilakukan
perencanaan yang cermat. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan adalah tahap-
tahap berikut yaitu penentuan:

1. Karakteristik sampah padat: banyaknya dan jenis sampah yang akan


dikelola;
2. Tempat asal sampah dengan menentukan tempat asal sebagai sumber
sampah dengan otomatis akan diperoleh perkiraan karakteristik jenis dan
jumlah sampah;
3. Bahaya potensial yang akan ditimbulkan sampah;
4. Metode pengumpulan sampah di tempat asal;
5. Metode pengangkutan sampah dari tempat asal ke tempat pengolahan
sampah;
6. Metode pengolahan sampah dan pembuangannya secara saniter.

Alur pengelolaan sampah terdiri dari lima tahap utama, yaitu:

1. Tempat penghasil sampah.


2. Penundaan di tempat.
3. Pengumpulan
4. Transportasi.
5. Pengolahan dan Pembuangan.

Rangkaian pengelolaan sampah padat:

1. Sumber (Waste generation)


2. Penundaan (Waste bin)
3. Pengumpulan (Collection Stasiun Perantara Transfer station)
4. Stasiun Perantara ( Transfer station)
5. Pengangkutan (Transportation)
6. Pengolahan (Treatment)
7. Pembuangan akhir (Disposal)

Tempat Penghasil Sampah

28
Tempat penghasil sampah merupakan tahap pengelolaan pertama di mana
barang dan benda sudah tidak diperlukan lagi oleh pemiliknya sehingga secara
subjektif dianggap tidak mempunyai nilai apa-apa dan boleh dibuang. Pada
kejadian bencana dan kedaruratan sering ditemukan puing puing, cadaver, dan
sampah lain. Karena berdasarkan penilaian subjektif, banyak barang-barang atau
benda yang sudah menjadi sampah masih berharga bagi orang lain yang
mempunyai penilaian subjektif lain. Pada tahap ini sudah dapat dilakukan seleksi
jenis sampah agar memudahkan pengelolaan selanjutnya.

Penundaan dan Pembuangan Sampah di Tempat

Pembuangan sampah di tempat dapat dilaksanakan dengan pilihan sebagai


berikut:

1. Lubang pembuangan sampah untuk bersama:


2. Lubang pembuangan sampah untuk keluarga;
3. Tong sampah untuk komunitas;
4. Tong sampah untuk keluarga:
5. Tempat pembuangan sampah umum tanpa tong.

a. Lubang Pembuangan Sampah untuk Bersama

Lubang ini cukup sederhana. Masyarakat di tempat pengungsian de


membuang sampah langsung ke dalam lubang. Ukuran lubang bergantung pada
jumlah orang yang memakai. Jika tempat pengungsian akan dihuni, sebagai
pedoman dapat dipakai lubang dengan volume 16 m melayani 50 orang. Lubang
ini harus dipagari agar anak-anak tidak ke dalam lubang dan hewan tidak dapat
mengaduk-ngaduk sampah. Jarak dari tempat bernaung tidak lebih dari 100
meter. Setiap minggu tumpukan sampah dalam lubang ditutup dengan tanah
untuk mengurangi serbuan lalat, kecoa, tikus, dan hewan lain. Pembuatan lubang
sampah sangat mudah dan tidak terlalu banyak harus dirawat, tetapi jaraknya ke
tempat bernaune sering dirasakan jauh sehingga sampah dibuang sembarangan.
Dalam hal ini diperlukan pekerja yang mengelola lubang sampah.

b. Lubang Pembuangan Sampah untuk Keluarga

29
Jika tersedia cukup ruang, untuk jangka panjang lubang pembuangan
sampah untuk tiap keluarga paling cocok untuk membuang sampah di tempat
pengungsian. Lubang digali sedalam kira-kira 1 meter dengan diameter 1 meter.
Masing-masing keluarga bertanggung jawab mengurus dan merawat lubang
sampah dan secara teratur menutupi sampah dengan tanah atau abu dapur bekas
memasak. Cara ini paling bagus terutama jika sampahnya hanya berasal dari
dapur. Dengan metode ini tidak diperlukan pekerja dari luar dan kesertaan
keluarga merupakan salah satu bentuk mobilisasi komunitas untuk program
promosi higiene.

c. Tong Sampah untuk Komunitas

Tong sampah untuk komunitas adalah tong sampah biasa yang dipakai
sebagai tempat mengumpulkan sampah agar tidak tersebar oleh ang dan hewan.
Tong sampah dapat dipindah-pindahkan untuk pengangkutan dan pembuangan.
Tong sampah ini terbuat dari bahan yang cukup bera agar tidak mudah tertiup
dan terbawa angin serta tidak mudah digeser ke mana-mana. Biasanya drum
bekas oli yang dipotong dua dapat a sebagai tong sampah untuk komunitas.
Dasar tong dilubangi agar bisa mengalir keluar dan mencegah tong dipakai
untuk maksud lain. Tong dapat dilengkapi dengan penutup dan tempat
pegangan.

Diperkirakan tong dengan volume 100 liter sudah cukup melayani 50


orang di tempat domestic, 100 orang di tempat pembagian makanan, dan 10 kios
jual-beli. Tong harus dikosongkan tiap hari. Dengan cara ini dapat dilakukan
pengelolaan yang saniter dan higienis. Pengumpulan sampah yang kolektif ini
memudahkan pembuangan akhir sampah cukup jauh dari tempat pengungsian.
Hanya, untuk itu diperlukan pengaturan dan manajemen yang efisien tenaga
petugas, transportasi, dan system pengumpulan sampah.

d. Tong Sampah untuk Keluarga

Bila memungkinkan, disediakan tong sampah untuk tiap keluarga. Berarti


perlu disediakan sejumlah tong sampah. Cara ini harus ditopang dengan
manajemen system pengumpulan dan transportasi yang intensif serta tanggung

30
jawab masing-masing rumah tangga untuk merawat dan mengatur jadwal
pengumpulan serta menyediakan tenaga dan waktu.

e. Tempat Pembuangan Sampah Umum tanpa Tong

Di tempat-tempat umum misalnya tempat berbelanja atau tempat


pembagian ransum, pembuangan sampah kadang kala dilakukan tanpa memakai
tong sampah. Sampah langsung dibuang ke tanah. Dengan sistem ini manajemen
harus dilaksanakan dengan rapi, tukang sampah yang diupah secara reguler
menyapu sampah dari warung dan kios, mengumpulkannya, lalu membuang ke
tempat pembuangan di luar tempat umum itu. Metode ini berlaku untuk sampah
pasar yang relatif tidak terlalu basah seperti bekas-bekas sayur dan buah. Untuk
sampah dari rumah pemotongan hewan (pejagalan, slaughterhouse, abattoir)
dibuang ke dalam wadah tahan air dan dikubur terpisah dari sampah lain. Cara
ini sering menjadi kebiasaan di pasar-pasar dan memudahkan para pedagang di
tempat-tempat umum, namun kurang mendorong partisipasi komunitas dan
memerlukan biaya upah tenaga kerja penyapu/tukang sampah. Di samping itu
selang waktu antara penyapuan-penyapuan membuat tempat itu kotor dengan
sampah yang berserakan. Cara ini dipakai hanya jika cara-cara lain tidak dapat
dilakukan.

2.6 Penyimpanan, Pengumpulan, Pengolahan Dan Pembuangan Akhir


Sampah

a. Penyimpanan Sampah

Penyimpanan sampah merupakan tahap kedua alur pengelolaan


sampah padat. Pada tahap ini sampah diletakkan di dalam tempat/tong
sampah di tempat penghasil sampah sebelum dikumpulkan dan diangkut.
Sampah dibuang langsung ke dalam tempat sampah di tempat-tempat
bernaung para pengungsi. Kaleng-kaleng kosong bisa menjadi benda yang
dicari oleh anak-anak. Plastik-plastik bekas bagi pemulung masih
mempunyai nilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan.

Dalam keadaan darurat, biasanya para korban bencana membuang


sembarangan sampahnya dan ditumpuk dekat tempat mereka bernaung.

31
Karena itu, sebelumnya segera sediakan fasilitas pembuangan dan
penyimpanan sampah di tempat-tempat yang mudah dijangkau misalnya:

1. Tempat sampah kecil: tempat sampah rumah, tempat sampah plastic,


dan lain-lain.
2. Tempat sampah besar: tempat sampah bersama, drum bekas, dan
lain-lain.
3. Lubang galian yang dangkal.
4. Area pembuangan sampah bersama (diberi berpagar, sekat).

Dalam menentukan ukuran dan banyaknya, dan distribusi tempat


penyimpanan sampah, beberapa hal harus dipikirkan termasuk jumlah orang
yang memakai, jenis sampah, dan jarak terjauh yang harus ditempuh dari
tempat bernaung ke tempat penyimpanan. Selanjutnya harus ditentukan pula
frekuensi pengosongan tempat penyimpanan sampah serta keamanan jangan
sampai dicuri atau diobrak-abrik pemulung. Untuk dapat menampung
sampah diperkirakan tempat sampah sebesar 100-200 liter cukup untuk 10-
20 keluarga ( United Nation High Commissioner for Refugess, 1996 dalam
WHO,2002). Dapat juga dipakai patokan lain yaitu tempat sampah sebesar
50-100 liter untuk 25-50 orang (Pan American Health Organization, 1996
dalam WHO, 2002).

b. Pengumpulan Sampah

Pada tahap ini sampah dari tempat-tempat penyimpanan sampah


ditempat bernaung dikumpulkan untuk kemudian diangkat ke tempat
pembuangan. Perencanaan kegiatan pada tahap ini penting untuk menjaga
jangan tempat penampungan menjadi terlalu penuh. Interval dan volume
sampah yang dikumpulkan perlu dihitung dengan cermat agar tidak terjadi
penundaan sampah di tempat penghasil sampah sehingga sampah dapat
diakses oleh tikus, lalat, kecoa dan hewan lain.

c. Transportasi

32
Ada beberapa pilihan untuk mengangkut sampah tergantung pada
banyaknya sampah, kepadatan (density) sampah, dan tersedianya sarana di
tempat. Ada tiga sarana pengangkutan yang dapat dipakai:

1. Tenaga manusia: gerobak terbuka, gerobak tertutup, dan lain-lain.


2. Tenaga hewan: ditarik keledai, kuda, atau lembu.
3. Tenaga motor: traktor, trailer, truk, truk sampah.

Tenaga manusia

Tenaga manusia cocok dipakai jika jarak tempuh tidak terlalu jauh.
Jika jarang angkut tidak dekat, dapat dipergunakan gerobak dorong yang
agak besar dan ditangani oleh lebih dari satu orang. Sebaiknya, selama
pengangkutan gerobak-gerobak diangkut secara tertutup untuk untuk
mencegah sampah berceceran, dikerumuni lalat, atau menyiarkan bau
busuk.

Tenaga hewan

Transportasi sampah ke tempat pembuangan akhir dapat dilakukan


dengan memanfaatkan tenaga hewan. Pemanfaatan tenaga hewan untuk
tenaga pengangkut ini amat berguna terutama jika sudah biasa dilakukan
di tempat kejadian bencana atau di tempat pengungsian. Metode ini cocok
jika tempat pembuangan akhir agak jauh dari tempat pengungsian.

Tenaga motor

Jika jarak ke tempat pembuangan akhir sampah jauh atau volume


sampah besar, untuk efisien sebaiknya dipakai tenaga motor. Pilihan alat
pengangkut bergantung kepada ketersediaan, efisiensi pengangkutan, dan
dana yang tersedia.

Dengan pemanfaatan tenaga motor, jika sampah yang akan dibuang


banyak sekali, dapat disediakan stasiun perantara pembuangan sampah
(transfer station). Pengangkutan sampah dilakukan dua tahap. Sampah

33
yang sudah terkumpul dari tempat-tempat penghasil sampah diangkut
dengan gerobak (tenaga manusia atau tenaga hewan) dan dikumpulkan di
stasiun perantara. Dari stasiun perantara ini, sampah kemudian
dimasukkan ke dalam truk besar lalu diangkut ke tempat pembuangan
akhir yang jauh dari tempat asal.

d. Pengolahan dan Pembuangan Akhir Sampah

Pengolahan dan pembuangan akhir sampah adalah tahap terakhir


rangkaian pengolahan sampah secara saniter. Di tempat pembuangan akhir,
sampah harus diolah secara saniter sebelum dibuang ke lingkungan dengan
tujuan:

1. Risiko kesehatannya menjadi sangat kecil;


2. Sampah dapat dimanfaatkan;
3. Energi yang terkandung dalam sampah dapat dipakai.

Sebelum menentukan metode mana pengolahan sampah yang akan


dimanfaatkan, beberapa pertimbangan berikut merupakan pedoman untuk
memilih:

1. Metode mana yang secara teknis bisa dipakai dari sudut pendanaan dan
sumber daya manusia (ketenagaan) yang ada?

a. Pengumpulan;

b. Pengangkutan;

c. Stasiun perantara; dan lain-lain.

2. Apakah kondisi lokal mendukung metode yang dipilih?


a. Tata ruang yang ada (guna/peruntukkan tempat yang ada,
perizinan, undang-undang gangguan, dan lain-lain)
b. Cuaca, iklim, jumlah sampah dan jenis sampah yang dihasilkan
lokal.
c. Dukungan masyarakat.

34
Ada empat metode pengolahan sampah padat dan pembuangannya
yang layak agar tidak mencemari lingkungan yaitu:

1. Pemendaman sampah secara saniter (sanitary land-fill)


2. Pembuatan kompos (composing)
3. Pembakaran terkendali (incineration)
4. Daur ulang (recycling, resource recovery)
a) Pemendaman Sampah secara Saniter (Sanitary Land-fill)

Setelah diangkut ke tempat pembuangan akhir, sampah dapat dimasukkan


ke dalam tanah. Sampah diletakkan dalam lubang besar yang akan ditutup
kembali dengan tanah bekas galian. Di samping ketentuan-ketentuan teknis
yang harus diikuti, sistem pemendaman ini harus menutupi sampah setiap hari
dengan lapisan tanah yang dipadatkan kira-kira setebal 30 sampai 50 cm agar
tidak terjangkau oleh manusia dan hewan terutama oleh hewan-hewan vektor
penyakit (lalat, tikus, kecoa, hewan lain).

Lokasi tempat pemendaman harus diputuskan berdasarkan koordinasi


dengan pejabat setempat, penduduk setempat, dan orang-orang korban
bencana. Ini dilakukan karena tempat pemendaman sampah secara saniter
akan melibatkan alat-alat berat di lokasi dan di jalan akses menuju tempat itu
sehingga akan hingar-bingar mengganggu ketenteraman lingkungan.

Pada umumnya cara pemendaman sampah secara saniter dapat menerima


segala jenis sampah, namun untuk kepentingan perencanaan tata ruang lokasi
di kemudian hari, jenis sampah yang akan dipendam harus sesuai dengan
perencanaan tata ruang itu karena jenis sampah akan menentukan kualitas
lokasi yang akan dimanfaatkan.

Pendaman sampah di dalam tanah sering terbakar sendiri secara spontan.


Api di dalam tumpukan sampah ini dapat timbul karena proses oksidasi
sampah oleh aktivitas bakteri pada sampah yang dapat diuraikan secara
biologis misalnya sisa-sisa daging, sayur-mayur, dan selulosa umumnya
(kertas, kain, tali, dan sebagainya). Proses itu berlangsung dalam reaksi
eksoterm yang terjadi pada komponen-komponen dalam sampah seperti:

35
1. Protein: Leucine bereaksi dengan oksigen dengan bantuan bakteri
aerobik menghasilkan gas CO2, air, amonia, dan panas;
2. Karbohidrat: mulai dari tepung-tepungan mengalami rangkaian reaksi
reduksi sampai glukosa dan akhirnya menghasilkan gas CO, air, dan
panas;
3. Senyawa-senyawa yang mengandung sulfur: mengalami oksidasi
dengan bantuan bakteri aerobik menghasilkan panas.

Untuk mencegah terjadinya letupan dan kebakaran di dalam tanah,


tumpukan sampah diatur menjadi unit-unit sel sampah padat. Sel sampah
padat dibuat dengan cara menimbun langsung sejumlah sampah dengan tanah
sebelum memasukkan lagi sampah berikutnya. Dengan cara ini tiap unit
tumpukan sampah terisolasi satu dengan yang lain. Jika timbul kebakaran pada
satu unit, nyala api tidak akan menjalar ke unit yang lain.

b) Pembuatan Kompos (Composting)

Sampah padat yang mudah membusuk (umumnya adalah bahan organik


alami) dapat didekomposisikan menjadi kompos penggembur tanah dan
humus. Pengomposan adalah dekomposisi biologis secara alami bahan-bahan
organik yang dapat membusuk dalam sampah padat. Dekomposisi akan
dipercepat dan lebih efisien jika dibantu dengan teknologi.

Dekomposisi sampah terjadi sebagai hasil kegiatan mikroorganisme dan


invertebrata. Dengan dekomposisi sampah, mikroorganisme dan invertebrata
memperoleh makanan dan energi. Dekomposisi sampah padat menghasilkan
CO2, panas, air, dan humus. Proses dekomposisi pada pembuatan kompos
dibantu melalui pengendalian ventilasi, suhu, dan kelembaban oleh organisme
yang terdapat di dalam sampah. Dengan demikian, proses dekomposisi dapat
berjalan lebih cepat daripada dibiarkan terdekomposisi sendiri.

c) Proses Penguraian Mikrobiologi Sampah Padat

Bagian sampah padat yang dapat diuraikan secara mikrobiologi


mengalami proses penguraian atau dekomposisi secara bertahap. Tahapan
proses penguraian mikrobiologi ini ditandai dengan perubahan suhu dan pH

36
sampah padat. Mikroorganisme yang bekerja dalam proses pengomposan
adalah bakteri, Fungi, kapang (Molds), Actinomycetes, dan Protozoa.
Beberapa jenis invertebrata yaitu insekta, cacing tanah, ulat kaki seribu, kutu
(mites) juga turut serta. Proses akan lebih cepat jika ada bakteri aerobik.

Menurut Gray dan Biddlestone (The Open University Press, 1978)


tahapan-tahapan itu terdiri dari tahap suhu:

1. Mesophilic.
2. Thermophilic.
3. Pendinginan (cooling).
4. Pematangan (maturing).

Tahap Mesophilic

Pada awalnya yang dominan dalam proses dekomposisi adalah organisme


mesophilic yaitu bakteri yang tak tahan panas. Seperti tampak pada gambar, pH
sampah padat menurun sampai pH 5 dan pH 6 (asam). Proses dekomposisi ini
terjadi pada bagian dalam massa tumpukan sampah. Dalam proses ini timbul
energi panas dan suhu bagian dalam sampah padat mulai meningkat antara 25°C
sampai dengan 40°C. Permukaan massa sampah tidak berproses seefektif bagian
dalamnya sehingga suhu permukaan sampah lebih sejuk. Jika dalam sampah padat
itu terdapat tempayak (larva) lalat, kenaikan suhu ini tidak disukai dan mereka
akan mulai pindah ke arah permukaan massa sampah padat untuk mencari tempat
yang lebih nyaman.

Tahap Thermophilic

Ketika suhu sampah yang sedang terurai mencapai 40°C organisme


mesophilic mati dan diambil alih 'tugas'nya oleh organisme tahan panas
(thermophilic) yaitu Actinomycetes dan Fungi yang mendominasi proses sampai
suhunya mencapai kira-kira 70°C. Pada suhu ini pH sampah padat meningkat
kembali kepada pH 8 sampai pH 9 (basa). Pada tahap ini bakteri patogen dan larva
lalat mati.

Tahap Pendinginan (Cooling)

37
Setelah sampah padat mencapai suhu 70°C organisme tahan panas pun
mati sehingga proses terhenti dan suhu turun kembali (cooling). Bersamaan
dengan itu pH menurun. Pada tahap ini, pH turun sampai 7 dan 8.

Tahap Pematangan (Maturing)

Kemudian, karena zat organik terdekomposisi habis maka bakteri mati


akibat makanan tidak tersedia lagi sehingga proses pengomposan selesai
(maturing). Berat dan volume sampah pada tahap ini berkurang. Sampah sudah
menjadi kompos berupa bahan yang relatif stabil dan tidak berbau busuk.

Apabila dalam proses pengomposan berjalan timbul bau busuk, ini


merupakan pertanda bahwa proses anaerobik mulai terjadi atau menghasilkan
beberapa jenis asam dan alkohol yang akan membahayakan tanaman jika kompos
dipakai untuk menyuburkan tanaman. Untuk mencegah proses anaerobik atau
fermentasi ini, ventilasi ke dalam massa sampah ditingkatkan yaitu dengan
membalik-balik tumpukan sampah secara berkala agar mendapat asupan oksigen.
Pembalikan massa sampah ini juga berguna untuk 'meratakan' suhu sampah dan
menyebabkan bakteri patogen serta tempayak lalat yang mungkin ada di dalam
sampah mati. Proses pengomposan memerlukan pemantauan dan berhasil baik
jika perbandingan nutrisi karbon dan nitrogen, oksigen, suhu, serta kadar air
kondusif untuk mendorong aktivitas mikroba.

Pembakaran Terkendali (Incineration)

Pembakaran sampah padat sering dilakukan di lokasi pengungsian atau


tempat terjadinya bencana. Cara ini menyebabkan pencemaran udara oleh asap
karena pembakaran yang tidak sempurna menghasilkan partikulat karbon, karbon
monoksida, dan oksida-oksida lain. Oleh karena itu, pembakaran sampah di
tempat pengungsian atau dekat dengan tempat pemukiman tidak dibenarkan
karena dapat menimbulkan pencemaran udara dan kebakaran. Dalam keadaan
mendesak di mana ruang sangat terbatas untuk memendam sampah padat atau
membuat sanitary land-fill sampah padat terpaksa dibakar di dalam lubang dan
setelah selesai lubang ditutup dengan tanah seperti sanitary land-fill. Dalam

38
keadaan ini pembakaran harus diusahakan sejauh mungkin dari tempat
pemukiman dan arah angin jangan menjurus ke arah pemukiman.

Pembakaran sampah secara terkendali dapat mengubah sampah menjadi


abu dan memusnahkan zat-zat organik sehingga tidak mengganggu lagi dan
mengurangi volume dan jumlah sampah.

Daur Ulang Sampah Padat (Recycling, Resource, Recovery)

Beberapa jenis sampah dapat dimanfaatkan kembali melalui pendaur


ulangan. Sampah padat yang biasa di daur ulang adalah plastik. Setelah diolah,
plastik bekas ini dapat dipakai sebagai bahan pembuat alat-alat plastik yang bisa
terpakai. Beling juga termasuk sampah yang dapat didaur ulang menjadi bahan
baku pembuat gelas dan kaca.

Perlindungan Kesehatan

Sampah padat dapat mentransmisikan penyakit. Oleh karena itu, para


pengelola harus menyiapkan perlindungan diri serta mencegah agar sampah tidak
menjadi sumber penularan.

Petugas Kebersihan

Petugas kebersihan yang bekerja mengumpulkan dan mengangkut sampah


padat perlu dilengkapi dengan pakaian kerja dan alat-alat yang layak. Jika
memungkinkan, mereka harus dilengkapi dengan sarung tangan, sepatu lars, dan
baju kerja terusan. Ketika membakar sampah, mereka pun harus diperlengkapi
dengan masker penutup hidung dan mulut. Di samping itu, harus pula tersedia air
dan sabun untuk mencuci tangan dan muka serta fasilitas untuk tukar pakaian.

Penentuan Letak Tempat Pembuangan Sampah

Lokasi tempat pembuangan sampah ditentukan melalui koordinasi dengan


tokoh masyarakat, pejabat setempat, wakil penduduk setempat, wakil pengungsi
dan lembaga-lembaga lain di tempat itu. Letak lokasi tempat pembuangan sampah
harus dapat meminimalkan bau, asap, pencemaran air, vektor insekta, hewan, dan
pemulung.

39
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setelah ada tempat yang terpilih untuk tempat permukiman para


pengungsi, petugas Kesehatan Lingkungan harus proaktif turut serta dalam
memutuskan bahwa tempat yang dipilih kondusif untuk menjadi tempat yang
saniter Jenis sarana pembuangan ekskreta di tempat itu amat menentukan tingkat
kelayakan lokasi agar sanitasi terpelihara schingga tidak berperan menjadi sumber
atau bahan penghantar penyakit oro fecal.
Beberapa sarana darurat pembuangan ekskreta dapat dimanfaatkan di
tempat pengungsian. Sarana pembuangan ekskreta itu antara lain: Jamban Saluran
(Trench Latrine) dan Jamban Gali (Pit Latrine). Jamban Saluran (Trench Latrine)
Pada hari-hari pertama setelah bencana, tempat pembuangan ekskreta mungkin
tidak tersedia, karena rusak atau korban bencana pindah ke tempat yang aman
namun tanpa tersedia sarana sanitasi lingkungan. Akibat bencana, sampah padat
akan menumpuk. Setelah bencana primer selesai, sampah padat akan terbentuk
dalam dua tahap. Pada tahap awal, sampah padat berasal dari kerusakan-
kerusakan fisik setempat akibat bencana.
Bergantung pada jenis dan tempat bencana yang terjadi, sampah padat
yang terbentuk bervariasi baik menurut banyaknya maupun jenisnya. sampah
padat pada tahap ini sering bercampur dengan cadaver (bangkai hewan dan
jenazah manusia). Pengelolaan cadaver harus dilakukan terpisah dari pengelolaan
sampah padat.

40
3.2 Saran

Saran dari kami untuk masyarakat adalah, hendaknya masyarakat lebih


mengetahui bagaimana cara mengelola air limbah dan sampah padat ketika terjadi
bencana dan masyarakat harus menngetahui apa saja penyakit-penyakit yang
dapat mengancam kesehatan jika pengelolaan air limbah dan sampah padat tidak
benar.

Saran dari kami untuk pemerintah adalah, hendaknya pemerintah lebih


memerhatikan kondisi masyarakat ketika terjadi bencana agar penanganan lebih
cepat terlaksana.

41
DAFTAR PUSTAKA

Azkha, Nizwardi. 2009. Peranan Petugas Kesehatan dalam Penganggulangan


Bencana. Jurnal Kesehatan Masyarakat: Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas. 4(1), 1-4.

Kesmas. 2016. Sanitasi Darurat Daerah Bencana. Dikutip 9 April 2019 dari
Public Health: http://www.indonesian-publichealth.com/sanitasi-
bencana/.

Purwana, Rachmadi. 2013. Manajemen Kedaruratan Kesehatan Lingkungan


dalam Kejadian Bencana. Jakarta: Rajawali Pers.

42

Anda mungkin juga menyukai