Anda di halaman 1dari 6

ISSN 2086 - 5201

15 Jurnal Ternak, Vol.05, No.01, Juni 2014

STANDAR PENANGANAN PASCA PANEN DAGING SEGAR


Edy Susanto*
*. Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Islam Lamongan, Jl.Veteran
No.53.A Lamongan, email : ahzasusanto@gmail.com

Abstrak
Daging merupakan bahan pangan yang bernilai gizi tinggi sekaligus media yang baik untuk
perkembangan mikroorganisme. Penanganan pascapanen daging segar mutlak diperlukan untuk
meminimalkan penurunan mutu dan kerusakannya. Hal tersebut meliputi Penanganan Daging
Postmortem saat pelayuan, penyimpanan, pendistribusian hingga pemasaran. Selain itu faktor
sanitasi (hygiene) juga sangat penting untuk dilakukan dalam setiap praktek penanganan pasca
panen daging segar.

KATA KUNCI: Penanganan Daging, Postmortem

PENDAHULUAN
Daging merupakan salah satu hasil ternak yang sangat penting dalam pemenuhan
kebutuhan pangan manusia, khususnya sebagai sumber protein hewani. Sejauh ini penyediaan
daging di Indonesia masih belum cukup memadahi, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Daging merupakan bahan pangan yang bernutrisi tinggi, kandungan gizi yang tinggi tersebut
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme.
Mikroorganisme dapat terbawa sejak ternak masih hidup atau masuk di sepanjang rantai
pangan hingga ke piring konsumen. Selain mikroorganisme, cemaran bahan berbahaya juga
mungkin ditemukan dalam pangan asal ternak, baik cemaran hayati seperti cacing, cemaran
kimia seperti residu antibiotik, maupun cemaran fisik seperti pecahan kaca dan tulang.
Berbagai cemaran tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia yang
mengkonsumsinya (Goris, 2005 ; Anonimous, 2008).
Daging yang disimpan pada suhu kamar pada waktu tertentu akan mengalami
kerusakan. Kerusakan daging oleh mikroorganisme mengakibatkan penurunan mutu daging.
Jumlah dan jenis mikroorganisme ditentukan oleh penanganan sebelum penyembelihan ternak
dan tingkat pengendalian hiegines dan sistem sanitasi yang baik selama penanganan hingga
dikonsumsi (Usmiati, 2010).
Penanganan pascapanen daging segar dimulai dari setelah pemotongan ternak hingga
dikonsumsi. Tahapan ini sangat penting karena sangat berpotensi terjadinya pencemaran dan
perkembangan yang meyebabkan penurunan mutu dan keamanan pangan.

DAGING SEGAR
Daging segar adalah daging yang baru disembelih tanpa perlakuan apapun (SNI, 1999).
Ciri-ciri daging segar yang baik (LIPTAN, 2001) antara lain : (1) warna merah cerah dan
mengkilat, daging yang mulai rusak berwarna coklat kehijauan, kuning dan akhirnya tidak
berwarna. (2) bau khas daging segar tidak masam/busuk. (3) tekstur kenyal, padat dan tidak
kaku, bila ditekan dengan tangan maka bekas pijatan cepat kembali ke posisi semula. (4)
penampakaannya tidak berlendir, tidak terasa lengket ditangan dan terasa kebasahannya.

PENANGANAN DAGING POSTMORTEM


Selama postmortem kerusakan dapat terjadi karena adanya kontaminasi oleh
mikroorganisme serta kerusakan kimiawi, biologis dan fisik. Awal kontaminasi mikroorganisme
pada daging berasal dari lingkungan sekitarnya dan terjadi pada saat pemotongan, hingga
dikonsumsi. Pada umumnya sanitasi yang terdapat di rumah-rumah potong belum memenuhi
persyaratan kesehatan daging sesuai standar yang telah ditetapkan. Keadaan ini menyebabkan
mikroorganisme awal pada daging sudah tinggi. Selain itu penyimpanan daging di rumah
potong dan di pasar-pasar umumnya belum menggunakan alat pendingin, di mana daging
hanya dibiarkan terbuka tanpa dikemas dalam temperatur kamar. Kondisi yang demikian dapat
menyebabkan perkembangbiakan mikroorganisme semakin meningkat yang mengakibatkan
kerusakan atau pembusukan daging dalam waktu singkat. Hewan yang baru di potong,

15
ISSN 2086 - 5201
16 Jurnal Ternak, Vol.05, No.01, Juni 2014

dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan di mana jaringan otot
menjadi keras, kaku dan tidak mudah digerakkan (Costa, 2011).
Usmiati (2010) menjelaskan bahwa segera setelah ternak dipotong, terjadi kontraksi dan
pengerasan otot yang dikenal dengan rigormotis. Pada sapi diperlukan 6 12 jam untuk terjadi
rigormotis. Menurut Suparno (2005) selama konversi otot menjadi daging terjadi proses
kekakuan otot. Kekakuan otot setelah kematian dan otot menjadi tidak dapat direnggangkan.
Pada periode postmortem 24 jam pertama terjadi perubahan struktural dan biokimia pada otot
diubah menjadi daging. Periode ini sangat mempengaruhi keempukan daging dan warna otot
terhadap kualitas daging (Savell, et al., 2004).

RIGOR MORTIS
Setelah exsanguination, glikolisis tanpa oksigen berlanjut dan menghasilkan asam laktat
sebagai hasil dari glikolisis anaerobik. Hal ini menyebabkan penumpukan asam laktat dan
karena itu terjadi penurunan pH. Dalam lingkungan yang normal, otot-otot mulai mengalami
proses rigor mortis disebabkan oleh kekakuan yang terjadi dari cross-linking yang disebut
aktomyosin, terbentuk antara aktin dan myosin. Kekakuan dimulai pada nilai pH daging yang
normal 5,7-5,8 (Hannula dan Puolanne, 2004).
Selama tahap pertama dari proses Rigor mortis fase penundaan, dalam otot masih kaku
karena tersedia ATP dengan Mg2+, yang membantu untuk memutuskan ikatan aktin/myosin
cross dan pada gilirannya memungkinkan otot-otot untuk merenggang. Kreatin fosfat habis
selama fase ini, yang menghambat fosforilasi ADP menjadi ATP. Hal ini menyebabkan
penurunan tajam dalam produksi ATP, yang merupakan sinyal awal fase timbulnya kekerasan,
karena masih tersedia sedikit ATP sehingga dapat memecah ikatan aktin dan myosin, otot tidak
dapat rileks dan menjadi kaku (Aberle et al., 2001).

PELAYUAN
Karkas dari hasil pemotongan umumnya mempunyai temperatur yang tinggi, yaitu sekitar
39C. Hal ini harus segera diturunkan untuk menghindarkan perubahan-perubahan yang
menyebabkan terjadinya kerusakan daging, oleh karena itu karkas harus segera disimpan
dalam ruang pendingin yang disebut dengan proses pelayuan. Pelayuan disebut juga aging,
conditioning atau hanging, yaitu dengan menggantungkan karkas selama waktu tertentu di
dalam ruangan dengan temperatur diatas titik beku karkas (-1,5 C). Pelayuan biasanya
dilakukan pada ruangan pendingin dengan temperatur pada kisaran 15 - 16 C selama 24 jam,
atau dapat pula dilakukan pada kisaran temperatur 0 - 3 C dengan waktu yang lebih lama.
Selama proses pelayuan terjadi proses autolisis, yaitu perombakan tenunan daging oleh enzim
yang terdapat di dalam daging, sehingga daging menjadi lebih empuk dan berkembangnya
flavor daging yang lebih baik (Rachmawan, 2001).
Karkas sapi memerlukan pelayuan, karkas domba atau kambing bisa tidak dilayukan,
karena dagingnya relatif sudah empuk bila ternak dipotong pada umur yang relatif mudah, dan
proses kekakuan berlangsung dalam waktu yang relatif lebih cepat. Demikian pula karkas
unggas, tidak memerlukan pelayuan seperti karkas ternak ruminansia besar. Karkas babi,
karena lapisan lemaknya tidak stabil yaitu mudah mengalami proses ransiditas oksidatif, maka
pelayuan yang lama (misalnya lebih dari 24 jam), tidak akan memberikan hasil yang
menguntungkan (Suparno, 2005)

PENYIMPANAN DAGING
Perkembangan mikroorganisme dalam daging sangat cepat. Mikroba patogen yang
biasanya mencemari daging antara lain : E. Coli, Salmonella sp. dan Stahpylococcus sp. yang
merupakan kontaminan utama pada daging sapi dan unggas segar (Ho. Et al., 2004 ; Usmiati,
2010). Oleh karena itu, daging harus segera disimpan dalam ruangan dengan temperatur
rendah.
Ruang pendingin untuk daging biasanya diatur pada kisaran -4o - 0o C, sehingga
diharapkan temperatur di dalam daging pada kisaran 2 o - 5oC. Pada temperatur penyimpanan
ini, kualitas daging dapat dipertahankan selama 8 hari. Beberapa faktor yang mempengaruhi
laju pendinginan daging, yaitu : (a) panas spesifik daging, (b) berat dan ukuran daging, (c)
jumlah lemak pada permukaan daging, (d) jumlah daging dalam ruang pendingin, (e)
temperatur alat pendingin (Rachmawan, 2001).

16
ISSN 2086 - 5201
17 Jurnal Ternak, Vol.05, No.01, Juni 2014

Kondisi penyimpanan karkas setelah penyembelihan mempengaruhi kualitas daging


sehingga perlu mempercepat laju pendinginan karena akan membantu mengurangi
pertumbuhan mikroba pada permukaan karkas karena waktu generasi mikroorganisme tumbuh
pada suhu rendah. Pendinginan cepat juga mengurangi hilangnya berat badan dengan
penguapan, mengurangi penampilan daging eksudatif pucat lembut, ramping dan memperbaiki
warna, yang akan memiliki efek negatif pada kualitas daging (Warriss, 2000; Adzitey dan Nurul,
2011).
Selanjutnya, tingkat di mana suhu turun setelah pemotongan memiliki efek pada aktivitas
enzim, karena aktivitas enzim yang bergantung pada temperatur. Oleh karena itu, tingkat
pendinginan yang berbeda mempengaruhi penurunan pH melalui produksi asam laktat,
hilangnya adenosin trifosfat (ATP) dan kreatin fosfat, dan mempercepat terjadinya rigor mortis
(Warriss, 2000).
Pendinginan juga dapat mengakibatkan penurunan berat badan. Stanisz et al (2009)
melaporkan kerugian berat 4,51, 3,95 3,05 dan 2,35, putih ditingkatkan boer 1 / 4 dan 3 / 4
meningkatkan putih, meningkatkan Boer 1 / 2 dan 1 / 2 putih boer 3 / 4 dan 1 / 4 anak putih
meningkatkan dikorbankan masing-masing setelah 24 jam pada 2-4C Ketika otot-otot yang
didinginkan di bawah 10C sebelum timbulnya kekakuan, memperpendek dingin terjadi yang
membuat daging sulit untuk memasak dan dapat menghasilkan memperpendek dingin lambat
sebelum membeku dapat membekukan sementara pada kenyataannya hasil Meltdown
(Warriss, 2000). Pemasakan daging menyebabkan hilangnya kekakuan dan air. Sebuah kondisi
yang dikenal sebagai otot panas ditandai oleh band-band gelap membentuk badan dapat terjadi
dalam daging mengalami dingin yang relatif cepat (Warriss, 2000).

DISTRIBUSI DAGING
Saat pengangkutan, daging segar harus tetap dijaga dalam kondisi dingin. Kondisi
karkas harus bersih, digantung dan didinginkan hingga 0 o C sesaat sebelum pengangkutan.
Kendaraan tidak boleh mengangkut barang lain selain daging segar tersebut. Pendinginan bisa
berasal dari injeksi nitrogen cair (N2) maupun carbon-dioxide (CO2) yang di pancarkan dari
kompartemen tertentu (FAO, 1991).
Abuska (2006) melaporkan praktek-praktek yang serupa di Kabupaten Garu-Tempane,
transportasi dari RPH menuju tempat penjualan dengan menggunakan sepeda motor dan
sepeda (33%). Cara lainnya dengan kendaraan truk, sepeda motor, sepeda, dan dipanggul
bahu oleh penjual daging. Sepeda, baskom dan truk terutama selalu terlihat bekas noda darah
dari daging sebelum diangkut, dan inilah berpotensi kontaminasi daging segar.
Metode yang paling umum untuk mencegah kontaminasi daging dengan menggunakan
polietilen (46%) untuk menutupi daging. Praktek ini sudah umum dilakukan selama periode
cuaca dingin. Metode lain untuk mencegah kontaminasi daging daging menutupi dengan
karung pupuk yang digunakan (32%), membakar asap dan panas akan mengusir lalat (6%),
meliputi daging dengan dokumen semen yang digunakan (6%) dan menutupi dengan lembaran
polietilen dan tas yang digunakan pupuk (10%). Ditemukan bahwa bahan yang sama
digunakan setiap hari tanpa pembersihan yang tepat. Bahan-bahan ini selalu terlihat dengan
noda darah penggunaan sebelumnya dan, oleh karena itu, bukannya mencegah kontaminasi,
bahkan sangat potensial menjadi sumber kontaminan.
Metode pendinginan daging adalah metode pengawetan utama (65%) yang digunakan,
diikuti dengan menggantung daging semalam di bawah suhu ruang (23%). Enam persen (6%)
dari penjual daging sering menempatkannya tetap dalam ruangan tempat berjualan, sementara
yang lain% 6 dari rumah potong dilakukannya pendinginan dengan baik dan menggantung.
Abuska (2006) melaporkan bahwa di Kabupaten Garu-Tempane, setiap daging yang tidak dijual
pada akhir hari disimpan pada suhu ruang sampai malam. Perlunya pendidikan yang memadai
pada untuk metode pengawetan daging bagi distributor daging segar sehingga dapat
mengurangi tingkat pembusukan daging selama penyimpanan (Adzitey, F., 2011).

PEMASARAN DAGING
Hingga saat pemasaran, kondisi pendinginan harus tetap dijaga. Rantai pendinginan
yang putus bisa menyebabkan kondensasi bentuk dan perkembangan mikroba yang sangat
cepat (FAO, 1991). Dijelaskan lebih lanjut bahwa daging segar harus seminimal mungkin
terkena udara luar, tidak sering dibuka-tutup dan harus hygiene dalam setiap penanganan.

17
ISSN 2086 - 5201
18 Jurnal Ternak, Vol.05, No.01, Juni 2014

Berikut tabel perbandingan umur simpan beberapa jenis daging pada suhu storage kurang dari
1oC.

Tabel.1 Perbandingan umur simpan beberapa jenis daging pada suhu storage kurang dari 1 oC
No Jenis Daging Perkiraan umur simpan
1. Beef 3 minggu
2. Veal 1 3 minggu
3. Lamb 10 15 hari
4. pork 1 2 minggu
5. Edible offal 7 hari
6. Rabbit 5 hari
7. baccon 4 minggu
Sumber : FAO (1991)
Menurut Triono (2000) daging ayam broiler mengandung protein tinggi, merupakan
media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganismeyang bersifat patogen maupun tidak, untuk
mendapatkan daging tersebut sebagian besar masyarakat membeli di pasar dan sebagian di
supermarket. Dari aspek kesehatan tempat penjualan daging ayam broiler di supermarket jauh
lebih baik dibandingkan dengan tempat penjualan daging ayam broiler di pasar.
Kebersihan pasar daging haruslah terpelihara. Daging yang dijual jangan dibiarkan
terbuka dan batasi pembeli memegang daging agar tidak terkontaminasi oleh kuman yang
mungkin ada pada tangan pembeli tersebut. Sebaiknya pasar dilengkapi dengan alat pendingin
agar daging tidak cepat rusak (Prayitno, 2011).

SANITASI (HYGIENE) DAGING SEGAR


Untuk memelihara sanitasi daging ada beberapa hal khusus yang perlu diperhatikan
(Prayitno, 2011) :
1. Hewan potong
Hewan apapun yang akan diambil dagingnya, harus bebas dari penyakit, seperti TBC,
anthrax, dan cacing.
Untuk mengetahui apakah hewan potong mempunyai penyakit dilakukan dua kali
pemeriksaan. Pemeriksaan sebelum dipotong. Hewan yang dicurigai menderita penyakit, harus
dipotong terpisah. Pemeriksaan setelah ternak dipotong yang diperiksa biasanya kelenjar,
jantung, alat-alat visceral, sebab alat-alat ini sering sebagai tempat hidupnya bibit penyakit.
2. Rumah potong
Bangunan harus dibuat dari bahan yang kuat dan mudah dibersihkan, tidak menjadi
sarana berbagai serangga atau tikus, mempunyai saluran limbah, mempunyai air bersih yang
cukup dan mempunyai tempat pembuangan sampah yang baik. Orang yang melaksanakan
pemotongan harus terjaga kesehatannya. Pisau dan alat-alat yang dipergunakan harus benar-
benar bersih.
3. Pemasaran
Kebersihan pasar daging haruslah terpelihara. Daging yang dijual jangan dibiarkan
terbuka dan batasi pembeli memegang daging agar tidak terkontaminasi oleh kuman yang
mungkin ada pada tangan pembeli tersebut. Sebaiknya pasar dilengkapi dengan alat pendingin
agar daging tidak cepat rusak.
Untuk mengetahui apakah daging masih berada dalam keadaan baik, ada tiga hal yang
perlu diperhatikan:
a. Warna daging
Daging yang baik harus mempunyai warna sama antara bagian dalam dan bagian
luar daging.
b. Bau
Bau daging adalah khas, sesuai dengan bau hewannya. Kalau ada proses
pembusukan, baunya akan berubah.
c. Konsistensi
Daging yang baik mempunyai konsistensi, elastic bila ditekan, kalau dipegang terasa
basah kering. Artinya meskipun rasanya basah, tidak sampai membasahi tangan si
pemegang.

18
ISSN 2086 - 5201
19 Jurnal Ternak, Vol.05, No.01, Juni 2014

Praktek kebersihan (hygiene) merupakan faktor yang sangat penting dalam penanganan
daging segar. Karena bisa menekan pencemaran yang diakibatkan oleh mikroorganisme.
Praktek hygiene secara rinci (Anonimous, 2010) adalah sebagai berikut :
1) Kebersihan diri antara lain
Kebiasaan mencuci tangan
Tidak menggaruk-garuk tubuh (kepala, telinga) pada menangani produk daging.
Tidak meludah atau mengeluarkan kotoran dari hidung pada saat menangani produksi
daging.
Tidak menggunakan perhiasan (jam tangan, cincin).
Tidak menangani daging pada saat sedang sakit/luka.
2) Kebersihan peralatan antara lain:
Membuang sisa makanan yang menempel pada peralatan (pisau, talenan dan lain-lain)
Mencuci peralatan dengan air panas (untuk mengikis lemak)
Mencuci peralatan dengan sabun.
Membilas peralatan dengan air bersih yang mengalir.
Melakukan proses desinfectan (membunuh bakteri).
Mengeringkan peralatan.
3) Memahami kontaminasi silang antara lain:
Tidak menyimpan daging berdekatan dengan produk makanan lainnya yang kaya
protein.
Tidak menggunakan pisau / talenan bersamaan dengan produk lainnya.

KESIMPULAN
Daging merupakan bahan pangan yang bernilai gizi tinggi sekaligus media yang baik
untuk perkembangan mikroorganisme. Penanganan pascapanen daging segar mutlak
diperlukan untuk meminimalkan penurunan mutu dan kerusakannya. Hal tersebut meliputi
Penanganan Daging Postmortem saat pelayuan, penyimpanan, pendistribusian hingga
pemasaran. Selain itu faktor sanitasi (hygiene) juga sangat penting untuk dilakukan dalam
setiap praktek penanganan pasca panen daging segar.

REFERENSI
Aberle, E.D., Forrest, J.C., Gerrard, D.E., Mille, E.W., Hedrick, H.B., Judge, M.D., and Merkel.
2001. Principles of Meat Science. Dubuque, IA, USA: Kendall/Hunt Co.
Adzitey, F., G A Teye* and M M Dinko. 2011. Pre and post-slaughter animal handling by
butchers in the Bawku Municipality of the Upper East Region of Ghana. Livestock
Research for Rural Development 23 (2) 2011
Adzitey, F. and N. Huda. 2011. Meat Eating Quality Pak Vet J, 32(x): xxx.
Anonimous, 2008. Laporan Koasistensi Laboratorium Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan.
Universitas Syiah Kuala.
Anonimous, 2010. Daging Sehat. http//www.DagingSehat.htm. diakses : tanggal 11 Oktober
2011.
Costa , Wiwiek Yuniarti. 2011. Penanganan Pasca Panen. Tabloid Sinar Tani. Edisi 3387
FAO, 1991. Guidelines for Slaughtering Meat Cutting and Further Processing.
http://www.fao.org/DOCREP/004/T0279E/T0279E06.htm. Diakses : tanggal 11 Oktober
2011.
Hannula, T. and Puolanne, E. 2004. The effect of Cooling Rate on Beef Tenderness: The
significance of pH at 7C. Meat Science, 67, 403-408.
LIPTAN, 2001. Pemilihan dan Penanganan Daging Segar. Lembar Informasi Pertanian. BPTP.
Padang Marpoyan-Riau.

19
ISSN 2086 - 5201
20 Jurnal Ternak, Vol.05, No.01, Juni 2014

Prayitno, 2011. Sanitasi Makanan. http://prayitnocom.blogspot.com/2011/07/sanitasi makanan.html.


Diakses: 14 Oktober 2011.
Rachmawan, O., 2001. Penanganan Daging. Modul Program Keahlian Teknologi Hasil
Pertanian. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Departemen Pendidikan Nasional.
Jakarta.
Savell, J.W., S.L. Mueller and B.E. Baird. 2004. The Chilling of Carcasses. Review of 50th
International Congress of Meat Science and Technology, Helsinki, Finland
SNI, 1999. SNI Daging Segar. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta
Suparno. 2005. Ilmu Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Triono, Bambang. 2000. Studi Komparatif Angka Kuman pada Daging Ayam Broiler yang Dijual
di Supermarket dengan di Pasar di Kotatip Purwokerto. Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Diponegoro. Semarang.
Usmiati, Sri. 2010. Pengawetan Daging segar dan Olahan. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian. Kampus Penelitian Pertanian. Bogor.
. 2010. Keempukan Daging. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian. Kampus Penelitian Pertanian. Bogor.
Warriss P D. 2000. Meat science: An introductory text. CAB-International: England:
Wallingford.

20

Anda mungkin juga menyukai