Anda di halaman 1dari 2

HIV AIDS hingga saat ini masih menjadi salah satu penyakit yang mematikan.

Obat penawar
untuk menyembuhkan penderitanya pun masih belum ditemukan. Untuk itu dibutuhkan suatu
penemuan baru yang bisa bermanfaat bagi penderita HIV AIDS, agar mereka bisa sembuh.

Hal itulah yang kemudian mendorong mendorong Annisa Fitriani, Yunita Dwi Setyawati, dan
Intan Hanifah. M untuk melakukan penelitian terkait dengan HIV Aids. Penelitian yang
dilakukan oleh ketiga Mahasiswa Kedokteran Umum Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY) ini adalah dengan mengumpulkan dan mengkaji jurnal-jurnal yang terkait
dengan HIV AIDS. Akhirnya dari pengumpulan dan mengkaji jurnal tersebut kami sepakat
untuk memanfaatkan kulit buah naga merah untuk dijadikan obat terapi herbal bagi pasien
yang terkena HIV AIDS, jelas Annisa Fitriani saat ditemui pada hari Kamis (15/1) di Lobby
Fakultas Kedokteran UMY.

Annisa melanjutkan bahwa sebenarnya, kulit buah naga merah ini jauh lebih bermanfaat dari
pada daging itu sendiri. Menurutnya kandungan positif yang ada pada kulit buah naga merah
lebih banyak dibandingkan daging buahnya. Menurut penelitian yang pernah dilakukan,
bahwa kulit buah naga merah ini mengandung efek anti oksidan, anti bakteri, anti virus, dan
anti mikroba. Karena seperti yang kita tahu, jika orang yang menderita penyakit HIV
AIDS ini lama kelamaan sistem imun tubuhnya akan cepat turun. Jadi dibutuhkan obat atau
vitamin yang juga bisa meningkatkan lagi sistem imun tubuhnya. Salah satu caranya ialah
memanfaatkan kulit buah naga merah tersebut, paparnya.

Untuk pengolahan kulit buah naga tersebut, Annisa dan kawan-kawannya memilih untuk
menjadikannya sebagai teh. Alasannya, bahwa penduduk di Indonesia ini banyak yang
mengkonsumsi teh, bahkan konsumsi teh ini sudah banyak dilakukan di Negara Asia dan
Timur Tengah. Karena menurut penelitian, negara-negara tersebut paling tinggi dalam
mengkonsumsi teh.

Ini yang akhirnya menjadi fokus kami untuk melakukan terapi herbal bagi penderita HIV
AIDS dengan mengkonsumsi kulit buah naga merah dengan diolah menjadi teh. Ternyata,
dari pengolahan tersebut sudah ada yang meneliti terkait dengan manfaat atau kandungan
yang ada pada kulit buah naga merah yang dijadikan teh. Namun, dari penelitian tersebut
hanya menjelaskan tentang manfaat dan kandungan dari teh kulit buah naga merah itu sendiri
belum kepada suatu titik atau fokus tertentu, misalnya untuk melakukan terapi pada suatu
penyakit, paparnya.

Akhirnya, Annisa dan kawan-kawannya memutuskan untuk menggunakan konsep sebagai


terapi herbal kepada penderita HIV AIDS. Dengan dijadikannya kulit buah naga merah
tersebut sebagai teh, tentunya memudahkan untuk dikonsumsi oleh setiap orang. Ketika kita
memberikan terapi ini kepada pasien penderita HIV AIDS, mereka akan merasa nyaman.
Karena mereka akan menganggap sedang tidak mengkonsumsi obat, ujarnya lagi.

Ada banyak keuntungan dari sistem terapi herbal ini, karena dalam mengkonsumsi teh ini
tidak ada batas maksimal atau minimal. Sebab manfaatnya cenderung lebih umum tapi bisa
dimanfaatkan untuk pasien penderita HIV AIDS. Selain itu terapi menggunakan teh kulit
buah naga ini juga tidak mengandung kadar kafein. Tidak ada batas maksimal atau minimal,
jadi kami pun tidak menyalahkan jika orang sehat mengkonsumsi ini. Intinya, teh ini bisa
dikonsumsi untuk di segala jenjang. Jika untuk dikonsumsi bagi penderita HIV AIDS,
sebaiknya dikonsumsi setelah mengetahui kalau dirinya sudah positif terkena HIV Aids.
Sehingga penggunaan terapi ini harus sebaik mungkin dan semaksimal mungkin, sebab terapi
herbal ini hanya sebatas terapi komplementer, tuturnya.

Terapi komplementer ini, lanjut Annisa, adalah terapi pendamping, artinya pasien HIV
AIDS tetap harus mengkonsumsi obat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yaitu obat Anti
Retro Viral (ARV). Untuk proses pemakaiannya sendiri rencanya kita akan melakukan
penyeimbang dosis, misalnya dosis ARV yang diberikan ke pasien akan dikurangi dosisnya
kemudian teh herbal tersebut dinaikkan dosisnya, begitu pula sebaliknya. Dari situ kita dapat
melihat terapi mana yang menimbulkan efek paling baik untuk pasien. Selain itu terapi teh
herbal ini, kemungkinan bisa meminimalisir efek dari obat ARV tersebut yang menimbulkan
mual muntah dan rambut rontok. Namun, sampai ke tahap tersebut masih harus ada penelitian
lanjutan karena, kami hanya pada tahap kajian pustaka saja, jelasnya.

Annisa pun mengakui, bahwa dalam melakukan penelitian ini, sebenarnya bukan untuk
menghilangkan penyakit HIV AIDS itu sendiri. Karena mereka tahu bahwa sampai saat ini
belum ada obat penawarnya. Tapi, mereka berpikir, ketika seseorang menderita HIV
AIDS maka, secara tidak langsung pasien tersebut akan berproknosis jelek karena imunnya
akan terus menerus menurun, dan untuk mencegahnya adalah dengan melakukan terapi teh
ini. Karena, dengan mengonsumsi teh ini nantinya dapat mencegah infeksi oportunistik. Jadi
dengan mengonsumsi teh kulit buah naga merah tersebut setidaknya dapat mereduksi infeksi
oportunistik dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

Jadi dari penelitian ini kami menarik kesimpulan bahwa kulit buah naga merah ini dapat
menghambat aktivitas bakteri, virus, dan kuman yang ada dalam tubuh pasien yang suatu
waktu akan menurunkan sistem imunnya. Meskipun belum pernah kami produksi atau kami
buat, tapi kami menyimpulkan ini sesuai dengan manfaat dari kulit buah naga tersebut, yang
dapat menghilangkan infeksi-infeksi yang ditimbulkan pada penyakit HIV AIDS, tegasnya.

Annisa beserta kedua temannya pun berharap masih akan ada penelitian lebih lanjut dan
rinci mengenai teh herbal tersebut untuk dikonsumsi pasien HIV Aids. Apakah dengan
memperbanyak mengkonsumsi teh herbal ini dapat mengurangi efek samping dari ARV atau
tidak. Sebagai dokter, di sini kita membantu untuk bisa meningkatkan kualitas hidupnya
dengan cara meningkatkan imunnya. Jika kualitas dan harapan hidupnya meningkat, mereka
tentunya bisa lebih percaya diri dalam melakukan hal yang bermanfaat, tidak mengurung diri,
bisa bersosialisasi, dan yang lebih penting mereka tidak akan jijik dengan dirinya sendiri,
jelasnya.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Annisa dan kedua temannya ini juga berhasil
menyabet juara III pada IMSF (Islamic Medical Scientific Festival) di Unair yang
berlangsung sejak 19-21 November 2014.

Anda mungkin juga menyukai