Anda di halaman 1dari 9

PUSAT PENDIDIKAN KESEHATAN TNI AD

SATUAN PENDIDIKAN PERWIRA

TUGAS DASAR DASAR KOMUNIKASI


HIV

DIKCABPAKES ABIT DIKMAPA TA. 2021


DISUSUN OLEH :

LETDA CKM dr Kristofel Desiano (202121)

KELAS D

Jakarta, Oktober 2021


Efektivitas penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Saat ini program-program penanggulangan HIV/AIDS yang ada sudah cukup banyak
baik itu bersifat professional maupun charity. Bahkan, pemerintah sudah
mengeluarkan strategi nasional 2007-2010 penanggulangan HIV/AIDS. Dalam hal
ini, penulis sangat setuju dengan strategi nasional 2007-2010 penanggulangan
HIV/AIDS tersebut, melihat sisi mulia atau tujuan baik pada strategi tersebut. Akan
tetapi, strategi tersebut pasti akan berbenturan dengan masalah efektivitas, apakah
program tersebut dapat berjalan dengan sesuai yang diinginkan dan tepat sasaran.
Masalah efektivitas tersebut pastinya akan berlaku pada semua program yang ada
pada strategi tersebut yang secara garis besar meliputi upaya preventif, kuratif dan
promotif.

Efektivitas preventif pada masalah HIV/AIDS sangat terkait erat dengan seberapa
besar cakupan dari upaya preventif tersebut, atau bisa dikatakan area pencegahan dari
masalah HIV/AIDS tersebut. Jika strategi nasional tersebut ingin dikatakan efektif
maka dalam aplikasi atau tataran praktisnya harus bisa menjangkau empat sasaran
area pencegahan, antara lain (www.undp.or.id) : 1. Kelompok tertular, 2. Kelompok
berisiko tertular, 3. Kelompok rentan, dan, 4. Masyarakat umum.
Area pertama ialah usaha preventif pada kelompok tertular. Kelompok ini bisa
dikatakan benar-benar sudah terkena HIV/AIDS. Jika dilihat secara implisit maka bisa
dikatakan bahwa kelompok ini lebih baik diarahkan dan diberikan upaya kuratif saja.
Akan tetapi jika dilihat lebih jauh terdapat juga usaha pencegahan yang khusus untuk
kelompok tertular ini. Usaha pencegahan ditujukan untuk mengurangi laju
perkembangan hiv, menciptakan individu agar produktif dan meningkatkan kualitas
hidup si pengidap HIV/AIDS.

Area kedua ialah kelompok yang berisko terkena HIV/AIDS. Dalam kelompok ini
terdapat penjaja seks, pelanggan penjaja seks, waria, homoseksual, IDHU, dan
lainnya. Jika dilihat bahwa akar masalah dari kelompok ini ialah bentuk perilaku
beresiko mereka maka perlu dilaksanakan upaya pencegahan yang berbentuk health
education, yang ditujukan ditujukan untuk mengubah perilaku berisiko menjadi
perilaku aman.

Area ketiga ialah kelompok rentan terkena masalah HIV/AIDS. Kelompok rentan
ialah kelompok masyarakat yang karena lingkup pekerjaan, lingkungan, ketahanan
dan atau kesejahteraan keluarga yang rendah dan status kesehatan yang labil, sehingga
rentan terhadap penularan HIV. Termasuk dalam kelompok rentan adalah orang
dengan mobilitas tinggi baik sipil maupun militer, perempuan, remaja, anak jalanan,
pengungsi, ibu hamil, penerima transfusi darah dan petugas pelayanan kesehatan
(www.undp.or.id). Dalam hal ini, upaya pencegahan pada kelompok ini dengan tujuan
agar kelompok rentan ini tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko tertular
HIV. Jadi bisa dikatakan bahwa upaya pencegahannya bertujuan unuk menghambat
bertambahnya kelompok berisiko.

Area keempat ialah masyarakat umum. Dalam hal ini, peran masyarakat dalam
penanggulangan masalah HIV/AIDS ialah sangat penting, hal itu dikarenakan
masyarakat merupakan suatu lingkungan sosial yang dapat membentuk perilaku
anggota masyarakat di dalamnya. Oleh karena itu, upaya pencegahan lebih difokuskan
untuk meningkatkan peningkatkan kewaspadaan, kepedulian dan keterlibatan dalam
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Masalah HIV/AIDS tidak hanya pada aspek pencegahan saja, perlu suatu upaya
dimana bisa mengakomodir kebutuhan-kebutuhan dari pengidap HIV/AIDS. Oleh
karena itu, diperlukan suatu upaya kuratif yang bisa mengobati pengidap yang
meliputi tiga aspek, yaitu : aspek fisik, psikologi dan sosial. Efektivitas dari upaya
kuratif ini seringkali dipertanyakan karena hanya condong pada aspek pengobatan
fisik saja, seperti : pemberian obat ARV, dan seringkali upaya kuratif yang bersifat
psikologis dan sosial sering terlupakan padahal keduanya merupakan aspek penting,
yang wajib dilakukan agar efektivitas dari upaya kuratif masalah HIV/AIDS tetap
terjaga.

Pengobatan secara fisik tetap diberlakukan karena bersifat penting, dengan


pengembalian tubuh secara bugar maka akan lebih mudah menjalankan rutinitas,
namun juga tak melupakan pengobatan secara psikologis dan sosial. Upaya
penyembuhan yang bersifat psikologis bisa saja berupa kegiatan konseling dengan
tujuan membuat dan memanajemen emosinya menjadi stabil dan tidak stress akibat
HIV/AIDS yang dideritanya. Selain itu, bisa saja dibentuk therauputik group dan
support group.
Upaya kuratif yang pada aspek sosial juga harus diterapkan pada pengidap
HIV/AIDS. Hal itu dengan melihat bahwa pengidap HIV/AIDS mengalami proses
labelling oleh masyarakat dimana mereka mendapatkan label buruk sebagai, “orang-
orang yang tidak berguna.” Dengan melihat kenyataan tersebut maka upaya kuratif
pada aspek sosial, difokuskan pada upaya mendorong pengidap HIV/AIDS agar
menjadi produktif dan punya konstribusi terhadap masyarakat. Dengan begitu maka
secara tidak langsung akan mengurangi stigma buruk di masyarakat. Upaya kuratif
pada aspek sosial pernah dirasakan manfaatnya oleh Nining Ivana yang merupakan
pengidap HIV/AIDS (Bulletin Pekerja migrant dan HIV/AIDS, maret 2007, ILO
Jakarta ) :

“ Kini aku bersyukur bisa bekerja sebagai satu dari tiga kader muda di sebuah
puskesmas di Cilincing—sebuah program kerja sama KPAD Jakarta Utara dan IHPCP
(Indonesian HIV Prevention and Care Project). Kini aku mengisi hari-hari melakukan
penyuluhan, terutama kepada para pemakai narkoba jarum suntik. Honornya cukup
buat kebutuhan keseharianku.”

Dari pengalaman Nining Irvana di atas maka bisa dikatakan bahwa upaya kuratif pada
aspek sosial terbukti membuat si pengidap HIV/AIDS percaya diri dan menjadi
produktif dengan berkonstribusi pada masyarakat.
Efektivitas upaya kuratif juga terkait dengan bentuk pedampingan bagi ODHA. Pada
saat sesorang dinyatakan positif terkena HIV maka pada saat itu pula harus dilakukan
pedampingan, hal itu dikarenakan pada saat itu, pengidap baru masih bingung dan
belum mengerti langkah-langkah apa yang harus dilakukan. Jika pada ODHA tidak
ada suatu pedampingan maka akan membuat pengidap HIV/AIDS menjadi stress dan
mengalami kesendirian seperti pengalaman yang dialami oleh Nining Ivana (Bulletin
Pekerja migrant dan HIV/AIDS, maret 2007, ILO Jakarta ) :

“Aku pun dirujuk ke RSCM, untuk konsultasi lebih lanjut. Kembali dijelaskan bahwa
aku diduga terkena HIV. Dokter lagi-lagi hanya meminta aku kembali ke klinik untuk
dites kembali. Terpaksalah empat hari kemudian aku kembali menjalani tes yang
sama di klinik yang sama dengan hasil yang sama pula. Tiada penjelasan ataupun
pendampingan tentang apa saja yang aku persiapkan menghadapi kenyataan harus
hidup dengan HIV. Aku merasa sendirian.”

Pengalaman yang dialami oleh Ning Ivana membuktikan bahwa proses pedampingan
ialah sangat penting. Dengan adanya proses pedampingan maka pengidap HIV/AIDS
tidak terganggu psikologisnya, tidak bingung karena mengetahui langkah-langkah
yang harus dilakukan setelah dinyatakan positif HIV. Selain itu, yang juga tak kalah
penting bahwa dalam proses pedampingan akan terdapat usaha yang mendorong si
pengidap HIV/AIDS menjadi produktif dan berkonstribusi. Jadi bisa dikatakan proses
pedampingan merupakan pembuka jalan dan ujung tombak bagi usaha kuratif
terutama yang bersifat psikologis dan sosial.

Upaya promotif terhadap masalah HIV/AIDS juga perlu dilihat efektivitasnya. Hal itu
sedemikian penting karena upaya promotif tidak hanya pemberian informasi, tetapi
dengan adanya informasi dapat berperan sebagai kerangka kognitif yang dapat
mengubah gaya hidup dan meningkatkan kontrol untuk menghindari dari bahaya
HIV/AIDS. Kurangnya promosi kesehatan pernah di alami oleh Nining Ivana
(Bulletin Pekerja migrant dan HIV/AIDS, maret 2007, ILO Jakarta ) :

“Awalnya, aku sendiri tak tahu dari mana penyakit ini bisa menggerogoti tubuhku.
Dengan sabar pegiat LSM tersebut mendampingiku, memberikan beberapa
penjelasan. Aku pun teringat, selama tiga tahun saat di sekolah menengah pertama
aku suka memakai narkoba jarum suntik. Satu jarum suntik bisa dipakai bergantian
untuk menghemat. Baru aku tahu, HIV bisa menular lewat cara itu. Aku dulu mengira
HIV hanya akrab dengan kaum gay, pekerja seks atau penganut seks bebas. Ternyata
aku salah besar. Kendati sudah berhubungan seksual sejak di sekolah menengah, aku
selalu SETIA dengan pasanganku. Tapi aku tidak tahu ternyata ada cara untuk
melakukan hubungan seks yang aman. Kemungkinan besar aku terkena HIV jauh
sebelum berangkat ke Malaysia.”

Dari pengalaman yang di alami oleh Nining Ivana maka bisa dikatakan upaya
promotif yang ada masih minim. Akibatnya berdampak pada kerangka kognitif yang
kurang pada masalah HIV/AIDS dan akan lebih mudah cenderung untuk melakukan
perilaku beresiko.
Dalam hal ini, efektivitas upaya promotif dilihat jika memiliki pengaruh dan
berdampak pada pola perilaku, yaitu gaya hidup sehat dan menghindari perilaku
beresiko. Hal itu juga sangat terkait erat dengan sasaran dari upaya promotif tersebut
yang meliputi kelompok Kelompok tertular, kelompok berisiko tertular, kelompok
rentan dan masyarakat umum. Upaya promotif tersebut lebih di arahkan pada KIE
(komunikasi, informasi dan edukasi), yang memiliki goal terhadap perubahan tingkah
laku dan gaya hidup.

Pemanfaatan media massa sebagai sarana upaya promotif juga perlu ditingkatakan
kuantitas dan kualitasnya, demi meningkatkan efektivitas upaya promotif. Seperti
diketahui, media massa dapat menjangkau semua orang tanpa melihat satuan
geografis, dan juga dapat lebih cepat diserap oleh masyarakat daripada sarana
sosialisasi lain. Jadi diharapkan media massa bisa berperan sebagai pemasaran sosial
mengenai bahaya HIV/AIDS and bentuknya bisa berupa iklan. Oleh karena itu, perlu
dikemas penyampaian bahaya HIV/AIDS tersebut menjadi sedemikian menarik dan
tentunya juga melihat dari kapasitas dari iklan bahaya HIV/AIDS agar bisa menjadi
kerangka kognitif untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat.

3.2. Upaya promotif pada kelas X1IPA 3 SMA Putra Bangsa dilihat dari pendekatan
sosiologi (Temuan Lapangan).

Seperti yang sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya bahwa upaya promotif
memegang peranan penting sebagai sarana pemberian informasi yang bisa menjadi
kerangka kognitif guna terjadinya perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat. Penulis
yang dibantu kelompok dalam mata kuliah Masalah Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial diberikan kesempatan untuk melakukan promosi kesehatan bahaya HIV/AIDS
di kelas X1 IPA 3 SMA Putra Bangsa, yang telah dilakukan pada hari rabu, 3
Desember 2008 kemarin. Salah satu kegiataannya ialah dengan pre-test dan post-test.
Hasil pretest menunjukkan bahwa hanya 10 orang yang menyatakan tahu mengenai
HIV/AIDS. Walaupun begitu, pengetahuan yang mereka miliki bisa dikatakan sangat
sederhana. Selain itu juga, terdapat pertanyaan yang diajukan oleh siswa dalam
interaksi tanya jawab, yang menunjukkan bahwa mereka masih awam untuk masalah
HIV/AIDS. Seperti pertanyaan :

”Kak….HIV itu sama dengan civilis yaa…?.” atau ”kak….Kalo kena HIV itu pasti
akan meninggal yaa..?.”

Dari pertanyaan yang diajukan mencerminkan bahwa mereka belum mengetahui HIV
dan AIDS dan bedanya dengan penyakit lain seperti civilis, yang tak lain ialah gejala
yang sering ditemui ketika sudah masuk tahap/gejala AIDS. Mereka juga masih
memiliki pola pikir bahwa setelah terkena HIV/AIDS maka semua akan berakhir dan
siap-siap menuju kematian, padahal jika hidup sehat maka akan mencegah HIV
tersebut melebar menjadi AIDS.

Dalam pre-test tersebut banyak dari mereka hanya menyatakan bahwa HIV/AIDS
merupakan penyakit menular tanpa definisi lebih detail mengenai HIV/AIDS. Mereka
juga tak dapat membedakan antara HIV dan AIDS. Menurut mereka penyebab
HIV/AIDS hanya sebatas dari jarum suntik dan seks bebas. Sedangkan,
pencegahannya dengan pengunaan alat kontrasepsi. Selain itu, mereka juga
mengungkapkan bahwa sex promotion dan sex education di sekolah sangat minim
didapatkan. Oleh karena itu, mereka merasa butuh akan penyuluhan atau kampanye
untuk memperluas pengetahuan yang bisa menjadi kerangka kognitif untuk tindakan
pencegahan HIV/AIDS. Setelah diberikan intervensi oleh penulis beserta kelompok
melalui pemutaran film, presentasi dan interaksi tanya-jawab, maka post test yang
diberikan menunjukkan hasil signifikan. Bisa dikatakan bahwa intervensi yang telah
dilakukan penulis beserta kelompok dapat memberikan perubahan terhadap
pengetahuan peserta mengenai HIV/AIDS. Sebagian besar dari mereka telah paham
tentang AIDS dan mampu menjelaskan definisi HIV/AIDS dengan tepat dan
membedakan HIV dengan AIDS.

Dalam, melakukan kegiatan promosi kesehatan mengenai bahaya HIV/AIDS, penulis


juga melakukan kegiatan tersebut berdasarkan pendekatan sosiologi kesehatan seperti
penggunaan teori sosial. Teori Sosial yang mendasari penulis beserta kelompok ketika
melakukan kegiatan health promotion ialah teori sosial yang diungkapkan oleh
Leviton (Kamanto, 2001: 7.16-7.17), antara lain : 1. Teori-teori kognitif dan
pengambilan keputusan, dan 2. Teori-teori Pembangkit rasa takut.

Teori-teori kognitif dan pengambilan keputusan

Teori ini berasumsi bahwa manusia merupakan pelaku rasional yang memperoleh
informasi. Selanjutnya diasumsikan bahwa apabila manusia memperoleh informasi
yang benar maka pengetahuan, sikap, keyakinan dan perilaku mereka akan berubah.
Dengan demikan strategi penanggulangan HIV/AIDS dapat berupa pemberitaan
informasi yang akurat dan lengkap mengenai resiko infeksi HIV/AIDS agar orang
dapat secara rasional mempertimbangkan konsekuensi perilakunya dan kemudian
memutuskan untuk menghindari atau mengurangi perilaku resiko tinggi.

Dalam hal ini, penulis beserta kelompok telah menggunakan teori-teori kognitif dan
pengambilan keputusan dalam melakukan health promotion di kelas X1 IPA 3 SMA
Putra Bangsa, bahkan penulis beserta kelompok mengakui porsi penggunaan teori ini
dalam kegiatan tersebut cukup besar. Media dan saluran komunikasi sebagai alat
sosialisasi menjadi sangat penting untuk terakomodirnya teori kognitif dan
pengambilan keputusan, dan yang berperan besar di sini ialah pemutaran film dan
persentasi.
Film tentang bahaya HIV/Aids didapatkan oleh penulis dan kelompok dari BNN dan
inti film tersebut ialah bahaya HIV/Aids dan juga ada keterkaitannya dengan narkoba
sebagai penyumbang terbesar jumlah penderita HIV/Aids di Indonesia. Dalam film
tersebut ditampilkan cukup jelas mengenai masalah HIV/Aids mulai dari
penyebabnya, penyebarannya, dan juga dampaknya baik itu fisik maupun sosial. Film
tersebut dikemas dan disajikan dengan cukup baik sehingga tidak membosankan bagi
siswa. Hal itu terlihat dari keseriusan mereka menonton film tersebut, bahkan bisa
dikatakan terbawa oleh alur film tersebut. Jika dalam di film tersebut, ada hal yang
dianggap lucu maka mereka tertawa, dan jika ada adegan yang menjijikan maka
mereka serempak berkata, “iih..”.

Logikanya, jika mereka telah tertawa dan serius melihat film tersebut maka mereka
akan mendapatkan informasi yang cukup bagi kerangka kognitif mereka. Dengan
begitu, mereka akan punya dasar dan kerangka kognitif yang cukup kuat untuk
menentukan perilaku mereka agar tidak melakukan perilaku yang beresiko terkena
HIV/Aids.
Presentasi yang telah dilakukan penulis beserta kelompok juga bisa dikatakan sebagai
media sosialisasi informasi mengenai bahaya HIV/Aids, walaupun kelompok
mengakui presentasi tersebut hanya memakan waktu yang sedikit dibandingkan
kegiatan lainnya.

Walaupun begitu, presentasi ini tetap termasuk dalam teori kognitif dan pengambilan
keputusan Levitan. Dalam presentasi ini bisa dikatakan hanya melengkapi informasi
yang terdapat pada film karena pada film tersebut sudah sangat cukup lengkap
mengenai HIV/Aids. Jadi bisa dikatakan, apabila di atas sudah disebutkan bahwa film
telah membrikan informasi yang menjadi dasar kerangka kognitif siswa, maka
presentasi ini berfungsi menjadi pelengkap informasi dan pemicu keyakinan pada
siswa agar berkata dalam hati dan ucapan, “say no to risk behavioral.” Penulis beserta
kelompok juga mengharapkan mereka juga melanjutkannya ke tahap perbuatan,
karena mereka sudah mempunyai dasar dan kerangka yang cukup mengenai
HIV/Aids.
Selain itu, kegiatan pre-test dan post-test yang telah dijawab oleh siswa menjadi tolak
ukur seberapa besar pengetahuan/ kognitif mereka mengenai HIV/Aids. Hal itu
menjadi penting karena kerangka kognitif menjadi dasar atau landasan untuk
berperilaku.

Teori-teori pembangkitkan rasa takut

Teori pembangkit rasa takut, motivasi dan emosi berasumsi bahwa perilaku manusia
ditentukan oleh proses-proses di dalam diri manusia. Dengan demikian strategi
penanggulangan HIV/AIDS yang dapat ditempuh ialah, misalnya, dengan pemberian
informasi mengenai infeksi HIV/AIDS agar emosi seperti rasa takut terinfeksi akan
mendorong seseorang untuk menghindari ataupun mengurangi perilaku resiko tinggi.
Dalam hal ini, penulis beserta kelompok telah menggunakan teori pembangkit rasa
takut, motivasi dan emosi dalam kegiatan health promotion pada kelas X1 IPA 3
SMA Putra Bangsa.

Media dan saluran informasi yang telah mengakomodir aplikasi dari teori ini ialah
film. Pada film tersebut terdapat tayangan atau display yang meperlihatkan korban
yang terkena HIV/Aids dilihat secara fisik. Tayangan tersebut menimbulkan rasa
takut, geli dan menjijikan bagi siswa. Hal tersebut bisa dilihat dari raut wajah mereka
dan perkatan, “Iih…” secara serempak. Selain itu, tayangan tersebut juga
memperlihatkan dampak sosial dari pengguna HIV/Aids, seperti : stigma sosial
kepada Odha, yang cukup membuat takut siswa.

Kegiatan health promotion pada kelas X1 IPA 3 SMA Putra Bangsa mengenai
HIV/Aids dengan menggunakan teori pembangkit rasa takut, motivasi dan emosi bisa
dikatakan sejenis cambuk terhadap sasarannya agar mengikutinya dan hal tersebut
tidak terdapat pada teori sebelumnya (teori teori kognitif dan pengambilan
keputusan). Dalam teori kognitif dan pengambilan keputusan yang telah dijelaskan di
atas, disebutkan bahwa telah terjadi pemberian informasi mengenai HIV/Aids, dan
selanjutnya telah menjadi dasar atau landasan kognitif siswa agar tidak berperilaku
resiko. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan ialah, “kapan mereka memulai dan
menentukan sikap/perilaku ?.” Dengan begitu, perlu dicari jawabannya agar siswa X1
IPA 3 SMA Putra Bangsa dalam waktu tidak lama, bisa menentukan sikap mereka
agar tidak berperilaku resiko HIV/Aids. Oleh karena itu, kelompok menggunakan
teori pembangkit rasa takut, motivasi dan emosi dalam promotion health agar
mempercepat tempo mereka untuk menentukan sikap mereka agar tidak berperilaku
resiko HIV/Aids, walaupun bisa dikatakan telah terjadi pemaksaan secara halus
dengan membangkitkan rasa takut dan emosi mereka melalui pemutaran film.

http://batujajarrepublik.wordpress.com/2011/01/21/efektivitas-penanggulangan-
hivaids-di-indonesia-beserta-pemasaran-sosial/

Sosial dan budaya

[sunting] Stigma
Ryan White sebagai model poster HIV. Ia dikeluarkan dari sekolah dengan alasan
terinfeksi HIV.

Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap
pengidap AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan
pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga
terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih
dahulu atau perlindungan kerahasiaannya; dan penerapan karantina terhadap orang-
orang yang terinfeksi HIV.[111] Kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah
mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes
mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga mungkin mengubah
suatu sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi "hukuman mati" dan menjadikan
meluasnya penyebaran HIV.[112]
SOSIAL DAN BUDAYA

Stigma AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:

 Stigma instrumental AIDS - yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-
hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.[113]
 Stigma simbolis AIDS - yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan
sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap
berhubungan dengan penyakit tersebut.[113]
 Stigma kesopanan AIDS - yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan
dengan isu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.[114]

Stigma AIDS sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama yang
berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan penggunaan
narkoba melalui suntikan.

Di banyak negara maju, terdapat penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas


atau biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih
tinggi, misalnya sikap-sikap anti homoseksual.[115] Demikian pula terdapat anggapan
adanya hubungan antara
AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara
pasangan yang belum terinfeksi.[113]

http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS#Sosial_dan_budaya

Anda mungkin juga menyukai