Anda di halaman 1dari 6

Dewasa ini pengidap HIV/AIDS sangat rawan dengan tindakan diskriminasi dan stigma yang buruk.

Di sisi lain, pengidap HIV/AIDS sangat memerlukan dukungan yang lebih agar mampu melawan penyakit yang tidak ada obatnya tersebut. Tindakan stigma dan diskriminasi seringkali diperoleh dari lingkungan berupa penghilangan hak-hak dalam menjalankan proses kehidupan. Hak tersebut adalah hak untuk hidup, hak untuk diakui sebagai pribadi, dan sebagainya. Tindakan ini akan semakin memperberat beban yang dihadapi oleh Pengidap HIV/AIDS. Dari permasalahan ini bagaiman upaya dan sikap dokter untuk menghapadinya. Semakin meningkatnya kenakalan remaja menyebabkan jumlah penderita HIV/ AIDS terus meningkat pula, karena hubungan seks secara bebas dan penggunaan jarum suntik ( narkoba). Sehingga tindakan stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS terus meningkat. Menurut Serba-Serbi HIV & AIDS, dalam bulan Februari 1999 di Indonesia saja sudah 893 orang yang terinfeksi. Organisasi kesehatan dunia(WHO), memperkirakan dalam tahun 2000 di seluruh dunia akan ada 40 juta orang yang mengidap HIV.Menurut dr.Asrul Sani, AIDS masih banyak yang belum terdeteksi dan tidak terdata. Diperkirakan pada tahun 2007, 2 juta meninggal akibat AIDS dan 300.000 diantaranya adalah anak anak. Data HIV AIDS di Indonesia masih belum ada data pasti dan akurat. Pada tahun 1987, kasus HIV/AIDS ditemukan untuk pertama kalinya hanya di Pulau Bali. Sementara pada tahun 2007, hampir semua provinsi di Indonesia sudah ditemukan kasus HIV/AIDS. Sedangkan Menurut prediksi Departemen Kesehatan (Depkes), pada 2010 HIV/AIDS di Indonesia akan menjadi epidemi dengan jumlah kasus infeksi HIV bisa mencapai satu juta hingga lima juta orang, sementara akumulatif kasus AIDS pada 2010 (sejak 1987) akan mencapai 80-130 ribu orang, dan diprediksi akan terus menggelembung . ( Serba-Serbi HIV & AIDS., 2007 ) Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi HIV. Stadium IV adalah stadium akhir dimana penderita HIV/ aids tidak dapat tertolong lagi nyawanya. Dan pada saat ini adalah puncaknya penderita HIV/AIDS mendapatkan stigma dan diskriminasi dari masyarakat. Padahal mereka sangat membutuhkan dukungan untuk tetap semangat dan melanjutkan hidupnya yang tinggal dihitung jari . Seorang dokter memegang peranan penting dalam hal ini. Santunan dokter terhadap penderita HIV/AIDS merupakan penyemangat hidup bagi mereka. Dukungan tersebut bisa pula diperoleh penderita HIV/AIDS dari pihak lain dan lingkungan, seperti keluarga dan masyarakat. Namun , seorang dokter lebih paham akan menyikapi penderita HIV/AIDS agar tidak tertekan oleh stigma dan diskriminasi yang mereka peroleh dari masyarakat dan lingkungan yang tidak mengerti dan memahami akan keadaan penderita HIV/AIDS. Banyak metode yang dapat dilakukan oleh seorang dokter untuk menyikapi penderita HIV/AIDS yang sudah tidak dapat tertolong lagi nyawanya (WartaWarga.,2007 ) Dari uraian diatas dr. Asrul Sani mengatakan, sampai saat ini biasanya AIDS berakhir dengan kematian Karena penyakit HIV/AIDS ini belum ditemukan obat medisnya, sehingga

seseorang yang menderita HIV/AIDS tidak bisa di obati, namun hanya bisa di beri dukungan, saran, dan pengobatan alternatif umtuk mengindari penularan dan memberi semangat hidup kepada meraka. Sehingga mereka dapat melakukan aktifitasnya sebagaimana sebelumnya. Fenomena tersebut akan semakin menghilangkan potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS. Berbagai potensi (strength) yang dimiliki dalam proses pendidikan, pekerjaan dan kegiatan lain akan berangsur menurun. Selain itu berbagai kesempatan (opportunity) yang berupa dukungan keluarga, kesempatan pengembangan terkalahkan oleh adanya diskriminasi dan stigma tersebut. Seorang dokter mempunyai tanggung jawab besar dalam menghadapi pasien penderita HIV/AIDS. Dengan demikian dokter harus mampu menyikapi pasien penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong lagi dengan caranya sebagai dokter. ( Coppelo R., 2007 ) Selain cara diatas, seorang dokter dapat menyikapi penderita HIV/AIDS dengan metode Appreciative Inquiry, merupakan suatu metode untuk memaksimalkan kekuatan (strength dan Opportunity) yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS. Menurut Dion,Metode ini lebih memfokuskan terhadap kekuatan dan terlepas dari berbagai kelemahan. Kelemahan yang dihadapi oleh Pengidap HIV/AIDS berupa diskriminasi, stigma, perasaan rendah diri dan sebagainya. Fenomena yang terjadi adalah sebagian besar seseorang khususnya Pengidap HIV/AIDS hanya berfokus pada kelemahan tersebut. Namun Appreciative Inquiry lebih menganjurkan agar setiap Pengidap HIV/AIDS lebih memfokuskan perhatian pada kekuatan yang dimiliki dan memaksimalkannya. Dengan demikian, hal ini akan membangun citra positif secara pribadi dan bermanfaat bagi lingkungan. Metode ini diharapkan mampu menjadikan Pengidap HIV/AIDS untuk menjalani hidup sebagaimana manusia seutuhnya. Tidak terlalu memikirkan penyakit yang dideritanya, karena seorang dokter selalu berusaha untuk mengarahkannya pada kekuatan dan kepribadian yang dimilkinya, sehingga penderita HIV/AIDS akan lebih percaya diri dan dapat beraktifitas sebagaimana sebelumnya. ( Logan J., 2004 ) Selain itu dalam Buku PMI Pelatihan Remaja Sebaya tentang Kesehatan dan Kesejahteraan Remaja tertulis, seorang dokter harus bersikap biasa ( tanpa membedakan) seperti sikap terhadap orang sehat atau penderita penyakit lain. Seorang dokter harus dapat menghindari sikap membedakan, apalagi memusuhi, karena akan menyebabkan penderita tertekan. Karena penderita HIV/AIDS membutuhkan dukungan agar mereka memiliki kepercayaan diri dan mampu berbuat banyak bagi masyarakat, yaitu dengan membangkitkan kepercayaan mereka dan dokter dapat memberilah dukungan serta kasih sayang. Dokter harus mampu memberilah pemahaman terhadap permasalahan yang mereka hadapi dan cara mengatasinya. Menasehati, agar jangan merasa tertekan secaraberlebihan karena semua orang pasti diberi cobaan. Menurut dr.Lita, cara merawat penderita HIV dan AIDS itu pertama kita coba untuk membayangkan diri kita sendiri sebagai pengidap penyakit tersebut. Dengan mengetahui mana aktifitas yang berisiko menularkan HIV dan AIDS dan mana yang tidak , kita dapat memperlakukan penderita secara wajar. Dan kita tetap harus memperhatikan prosedur P3K ketika melakukan perawatan kepada penderita. ( dr. Lita Sarana., 2007 )

Berdasarkan cara cara dokter menyikapi Penderit HIV/AIDS diatas, seorang dokter tidak lupa pula akan etika, hukum dan hak asasi yang dimilki oleh penderita HIV/AIDS. Hak asasi dan hak kesehatan adalah yang utama diterapkan oleh seorang dokter terhadap pasien penderita HIV/AIDS. Walaupun kenyataannya penderita HIV/AIDS tidak ada obatnya dan tidak dapat tertolong nyawanya, atau biasanya berahir dengan kematian. Namun, kadua hak tersebut harus tetap diberikan oleh sorang dokter kepada pasien penderita HIV/AIDSnya. Menurut Herkutanto, ini dapat diterapkan melalui pelayanan kesehatan, baik pelayanan kesehatan individual maupun pelayanan kesehatan masyarakat. Namun, keduax tidak dapat dilakukan secara bersamaan atau harus dibedakan, karena dapat saja menimbulkan konflik antara pemberi pelayanan kesehatan ( dokter ) dengan penerima pelayanan kesehatan (pasien penderita HIV/AIDS). (Julius R. Siyaranamual.,1997 ) Dari uraian pelayanan kesehatan diatas, dapat dilakukan dalam empat bentuk pelayanan kesehatan, yaitu dengan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Namun,untuk perawatan penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong nyawanya seorang dokter cukup melakukannya dengan kegiatan preventif dan kuratif. Karena kegiatan preventif ini bertujuan untuk pencegahan penularan dan penyebaran HIV/AIDS dari penderita HIV/AIDS tersebut kepada masyarakat. Selain itu juga dilakukan interverensi oleh dokter kepada masyarakat untuk menghapus pandangan negatif terhadap pengidap HIV/AIDS. Terhadap penderita HIV/AIDS seorang dokter memberikannya edukasi agar tidak melakukan penularan kepada orang lain dan konseling agar merasa lebih berarti dalam kehidupanya. Sedangkan kegiatan kuratif disini bukanlah penyembuhan dalam arti kata sebenarnya, karena HIV/AIDS termasuk yang incureble. Namun, tindakan perawatan ini dilakukan di sarana kesehatan lebih bersifat care daripada curenya. (Julius R. Siyaranamual.,1997 ). Dikarenakan penyakit HIV/AIDS belum ada obatnya, maka seorang dokter dapat pula menerapkan suatu metode penanganan infeksi HIV/AIDS pada penderita HIV/AIDS, yaitu dengan Terapi Antiretrovirus yang sangat aktif. Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orangorang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996 yaitu setelah ditemukannya HAART (highly active antiretroviral therapy ) yang menggunakan protease inhibitor. Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal. Tetapi terapi ini juga menimbulkan efek samping seperti penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan. (Bonnet, F. ett all 2004). Terapi Antiretrovirus ini terbukti efektif menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat HIV/AIDS. Obat ini bekerja menghambat replikasi / perbanyakan virus HIV. Walaupun demikian obat ini tidak mampu membunuh HIV secara total dan berpotensi menimbulkan efek

samping yang berat dan pemakaiannya harus setiap hari seumur hidup. Jika kepatuhan penderita kurang maka dapat menyebabkan resistensi obat. Oleh karena terapi antiretrovirus dapat menimbulkan efek samping, maka sorang dokter dapat menyarankan kepada penderita HIV/AIDS untuk melakukan olahraga. Olahraga membantu banyak orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha) untuk merasa lebih sehat dan mungkin memperkuat sistem kekebalan tubuh. Olahraga tidak dapat mengendalikan atau melawan penyakit HIV, tetapi dapat membantu kita merasa lebih sehat dan melawan berbagai dampak dari HIV dan efek samping obat-obatan yang dipakai oleh Odha tersebut. Olahraga dapat meningkatkan energi, melawan kelelahan dan depresi, meningkatkan daya tahan dan kesehatan kardiovaskular, membantu mengurangi stres dan mendorong kekuatan otot. ( ODHA Indonesia., 2007 ). Dari uraian diatas, epidemiologi HIV/AIDS cenderung meningkat setiap tahunnya,tercatat di Indonesia terdapat 195.000penderita HIV/AIDS, namun yang telah mendapatkan pengobatan terapi Antiretrovirus diperkirakan sekitar 5.000 ODHA. Hal ini yang perlu dilihat bahwa perlu lebih banyak kegiatan sosialisasi guna mengurangi penderita HIV/AIDS. Dalam rangka penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia pula, IDI menyusun rencana kegiatan dalam jangka waktu 3 tahun yaitu mulai tahun 2006 hingga 2008. Kegiatan ini disosialisasikan kesegala instansi pemerintah maupun IDI cabang dan dinas kesehatan guna penyebaran penangulanggan HIV/AIDS.Selain strategi IDI dalam Penanggulangan HIV/AIDS diIndonesia ada seminar-seminar yang dibawakan oleh Instansi kesehatan salah satu tema yang diangkat adalah Peran profesi atau dokter keluarga dalam penangulangan Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Dan seminar-seminar ini diutamakan untuk pengidap HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong lagi, agar tidak melakukan penyebaran penyakit HIV/AIDS( BIDI., November 2006 ) Ditambah dengan sumpah kedokteran bahwa setiap dokter harus menolong pasien tanpa membeda-bedakan manusia dan penyakitnya, maka para dokter terima dengan tangan terbuka pasien terinfeksi HIV/AIDS yang sudah tidak ada harapan sama sekali. Oleh sebab itu berbagai macam cara dan metode dokter menyikapi pasien penderita HIV/AIDS. Sikapa sikap dokter diatas merupakan penyemangat hidup bagi para penderita HIV/AIDS. Semangat untuk melanjutkan hidupnya dan membengkitkan kembali kepercayaan diri yang kuat dalam diri penderita HIV/AIDS tersebut. (Samsuridjal Djauzi., 2005 2006) Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dokter dapat menyikapi penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong lagi nyawanya. Alasanya karena soerang dokter memilki kemampuan untuk menerapkan sikap-sikapnya baik terhadap penderita HIV/AIDS maupun terhadap masyarakat dan lingkungan yang melakukan stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS tersebut. Namun, metode yang diterapkan oleh seorang dokter untuk menyikapi pasien penderita HIV/AIDS tersebut cukup dengan kagiatan preventif dan kuratif. Sikap dokter tersebut dapat berupa pemberikan saran, dukungan, kasih sayang, kepercayaan diri,

dan menasehatinya agar tidak terlalu bersedih karena semua orang mendapat cobaan,sehingga penderita HIV/AIDS dapat melawan stigma dan diskriminasi dari masyarakat dan lingkungannya. Dokter juga dapat menerapkan metode Appreciative Inquiry yaitu metode untuk memaksimalkan kekuatan yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS karena metode ini lebih memfokuskan perhatian pada kekuatan yang dimiliki dan memaksimalkannya. Dengan demikian, hal ini akan membangun citra positif secara pribadi dan bermanfaat bagi lingkungan. Selain itu dokter dapat menerapkan metode perawatan dengan Terapi Antiretrovirus, untuk memperlambat atau menghambat replikasi / perbanyakan virus HIV serta terbukti menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat HIV/AIDS. Tetapi obat ini tidak mampu membunuh HIV secara total dan berpotensi menimbulkan efek samping yang berat dan pemakaiannya harus setiap hari seumur hidup.Namun semua sikap yang dapat diterapkan oleh dokter tersebut terhadap penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong lagi nyawanya merupakan suatu motivasi dan semangat hidup yang berharga bagi pasien penderita HIV/AIDS untuk melawan stigma dan diskriminasi dan meneruskan hidupnya sebagaimana sebelumnya, serta meningkatkan kepercayaan diri penderita HIV/AIDS. DAFTAR PUSTAKA Agung. 2010. Mengahapus Stigma dan Diskriminasi. http://agungtw.blogspot.com. Akses Januari 2010. BIDI. 2006. Strategi Ikatan Dokter Indonesia dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. http://strategidokter.org. Akses 2006
Cappelo R. 2007. Diskriminasi dan Stigma Dorong Persebaran HIV/AIDS. http://appreciative inquiry.com/html. Akses Oktober 2006. Dion. 2008. Appreciative Inquiry : Melakukan Perubahan dengan Berfokus pada Kekuatan. http://appreciative inquiry.com/html.Akses Oktober 2008

Djauzi ,Samsuridjal. 2005. Peduli Penderita HIV/AIDS. http://www.tokohindonesia.com. Akses 2006 Imam. 20009. Dokter-Medis: HIV/AIDS. Indonesia. http://dokter-medis.blogspot.com. Akses Desember 2009. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.2010. Perawatan. http://perawatan.blogspot.com/html. akses 2010
Logan J. 2004. APPRECIATIVE INQUIRY. The Canadian Association. Canada http://appreciative inquiry.com/html. Akses Oktober 2005

Martono, Nur. 2006. Peran Perawat Indonesia Dalam Pencegahan dan Peningkatan Kasus HIV/AIDS . http://www.inna-ppni.or.id/html. Akses 01 August 2006 Nusantara AHG. 2005. Perlindungan Hak Asasi Orang Dengan HIV/AIDS. http://dokter-harbal.com. ODHAIndonesia. 2007. Olahraga. http://www.odhaindonesia.org. Akses Maret 2007. Sarana,Lita. 2007. PMI Pelatihan Remaja Sebaya tentang Kesehatan dan Kesejahteraan Remaja : Santunan terhadap Penderita HIV/AIDS. Jakarta Timur. Siyaranamual, Julius R. 1997. Etika Hak Asasi, dan Pewabahan AIDS . Surabaya : Penebar. SwadayaWartawarga.2007. Pengertian HIV AIDS .http://wartawarga.gunadarma.ac.id. Akses Mey 2005

Anda mungkin juga menyukai