Anda di halaman 1dari 45

Granulosit dan Agranulosit pada Leukosit

Leukosit atau sel darah putih adalah sel darah yang mengandung inti. Leukosit mempunyai peranan dalam
pertahanan seluler dan humoralorganisme terhadap zat-zat asingan. Di dalam darah manusia, normal
didapati jumlah leukosit rata-rata 6000-10000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis,
bila kurang dari 5000 disebut leukopenia.Sebenarnya leukosit merupakan kelompok sel dari beberapa jenis.
Untuk klasifikasinya didasarkan pada morfologi inti adanya struktur khusus dalam sitoplasmanya.

Ciri-ciri leukosit :

memiliki sebuah nucleus,


tidak berwarna(bening)
menunjukkan gerakkan anuboid
lebih besar dari eritrosit
tidak memiliki bentuk tetap(amuboid)
memiliki inti bulat (cekung)
memiliki sifat fagositosis, yaitu memangsa dan menghancurkan bakteri serta sel-sel tubuh yang mati
dapat menembus dinding pembuluh darah (kapiler darah)
Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel darah putih dapat dibedakan menjadi Granulosit dan Agranulosit

1. Granulosit

Granulosit yaitu leukosit yang mempunyai granula spesifik dan berinti besar, yang dalam keadaan hidup berupa tetesan
setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi. Terdapat tiga jenis leukosit granuleryaitu
neutrofil, basofil,dan asidofil (atau eosinofil) yang dapat dibedakandengan afinitas granula terhadap zat warna netral, basa
dan asam.

a) Neutrofil
Neutrofil bersifat fagosit, intinya bermacam-macam, dengan bentuk bermacam-macam pula antara lain batang, bengkok,
dan bercabang-cabang. Sel-sel netrofil paling banyak dijumpai pada sel darah putih. Sel golongan ini mewarnai dirinya
dengan pewarna netral atau campuran pewarna asam dan basa beserta tampak berwarna ungu. Neutrofil berguna untuk
mencegah masuknya bakteri, berjumlah sekitar 65% 75% dari jumlah seluruh leukosit. Dapat melakukan diapedesis dan
bersifat fagosit terhadap bakteri dan sisa-sisa jaringan yang mati.

Ciri-ciri Neutrofil :

1. Memiliki nucleus yang terdiri dari 2 -5 lobus( ruang )


2. Ukuran selnya sekitar 8 mm
3. Bersifat fagosit
4. Merupakan sel yang paling banyak menyusun leukosit
b) Basofil
Basophil memilki nucleus berbentuk S dan bersifat fagosit.Basofil melepaskan heparin ke dalam darah .Heparin adalah
mukopolisakarida yang banyak terdapat di dalam hati dan paru-paru.Heparin dapat mencegah pembekuan darah.Selain
itu,basophil juga melepaskan histamine.Histamin adalah suatu senyawa yang dibebaskan sebagai reaksi terhadap antigen
yang sesuai. Mencegah darah membeku di dalam pembuluh darah. Basofil juga diduga mengandung histamin, yang penting
dalam proses alergi.

c) Eosinofil
Bersifat fagosit dan cenderung berwarna merah. Sel eosinofil hanya sedikit dijumpai pada sel darah putih. Sel ini menyerap
pewarna yang bersifat asam (eosin) dan kelihatan merah dan melakukan gerakan amoeboid dan bersifat fagosit. Berfungsi
menghancurkan parasit besar. Jumlah akan meningkat saat terjadi reaksi alergi dan infeksi oleh parasit.

Ciri ciri Eusinofil :

1. Bebentuk hampir seperti bola,berukuran 9 mm dalam keadaan segar


2. Memilki nucleus yang terdiri dari dua lobus
3. Bersifat fagosit dengan daya fagositosis yang lemah
2. Agranulosit

Agranulosit Yang tidak mempunyai granula spesifik, sitoplasmanya homogendengan inti bentuk bulat atau bentuk ginjal.
Terdapat dua jenis leukositagranuler yaitu limfosit (sel kecil, sitoplasma sedikit) dan monosit (sel agak besar mengandung
sitoplasma lebih banyak).

a) Monosit
Memilki satu nucleus besar dan berbentuk tapal kuda atau ginjal.Monosit berdiameter 12-20 um.Monosit dapat berpindah
dari aliran darah ke jaringan. Di dalam jaringan ,monosit membesar dan bersifat fagosit menjadi makrofag.makrofag ini
bersama neutrophil merupakan leukosit fagosit utama,paling efektif,dan berumur panjang. berjumlah sekitar 20% 30%
dari jumlah sel darah putih. Tidak hanya terdapat dalam darah, tapi juga dalam jaringan limfoid. Sel limfosit dibedakan
menjadi limfosit B dan limfosit T. Limfosit T akan menuju kelenjar timus, sedangkan limfosit B tetap di sumsum tulang
belakang.

b) Limfosit
Tidak motil, inti satu, berfungsi untuk kekebalan. Limfosit membentuk 25% dari seluruh jumlah sel darah putih. Sel ini
dibentuk di dalam kelenjar limfa dan dalam sumsum tulang. Selain itu dibagi lagi menjadi limfosit besar dan kecil.
Berukuran besar dan dapat menjadi makrofag sel yang bersifat memakan (terdapat di jaringan ikat)]. Monosit sangat penting
untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi yang bersifat kronik, seperti TBC dan tifus.
Perbedaan antara Limfosit B dan T (Sel B dan T)

Limfosit B (sel B) Limfosit T (sel T)

Mereka muncul dari sumsum tulang, bursa dari Fabricus


Mereka muncul dari sumsum tulang timus.
(di unggas), usus terkait jaringan limfoid

Sel B membentuk sistem kekebalan humoral atau


Sel T membentuk sistem kekebalan yang diperantarai sel
antibodi yang dimediasi

Mereka mempertahankan terhadap virus dan bakteri Mereka mempertahankan terhadap patogen dan jamur
yang masuk ke darah dan getah bening yang masuk ke dalam sel

Limfosit B yang dirangsang menghasilkan plasmablast Limfosit T yang dirangsang menghasilkan empat jenis sel
dan plasma sel T: sel helper T, pembunuh, penekan dan pengingat

Sel plasma tidak lebih ke tempat infeksi Beberapa sel bermigrasi ke tempat infeksi

Sel plasma tidak bereaksi terhadap transplantasi dan sel- Sel-sel pembunuh bereaksi terhadap transplantasi dan
sel kanker kanker sel.

Sel plasma tidak memiliki efek penghambatan pada


Sel penekan menghambat sel-sel kekebalan
sistem kekebalan tubuh
Perbedaan antara Antibodi dan Antigen
Pemahaman inti dalam imunologi, serta beberapa aspek mikrobiologi, patologi, dan dermatologi didasarkan pada
pemahaman konsep inti dari reaksi antibodi dan antigen. Ini adalah bahan dasar bangunan dengan pengetahuan yang luas
dan mengembangkan teknologi baru untuk memerangi jumlah penyakit yang bervariasi. Antigen dan antibodi sekarang
dapat dilihat sedang beraksi, dan mereka telah menjadi penanda penyelidikan, untuk memastikan diagnosis, serta untuk
menilai keparahan kondisi.

Antigen

Antigen adalah zat yang pada pengenalan tubuh menciptakan kegiatan riam mendorong respon imun. Zat ini dapat molekul,
seperti protein atau sel seperti bakteri. Mereka biasanya terdiri dari protein dan polisakarida. Ada dua varietas utama
antigen. Salah satunya adalah antigen diri dan yang lain adalah antigen non diri.

Biasanya, antigen diri tidak memprovokasi reaksi dari sistem kekebalan tubuh, tetapi mereka biasanya dapat menyebabkan
respon imun seperti yang dijelaskan dalam penyakit autoimun. Setiap antigen memiliki epitop, atau area di antigen yang
bereaksi dengan komponen lain atau daerah kompatibilitas histo. Daerah ini bertindak sebagai kunci untuk mengunci
antibodi.
Antibodi

Antibodi adalah molekul protein dengan ukuran bervariasi, yang hadir dalam darah dan sekresi, dan bertindak atas antigen
untuk menghasilkan keputusan terakhir dari inaktivasi atau perusakan. Ini dihasilkan dari sel-sel B, yang mengalami
diferensiasi menjadi sel plasma sebagai respon terhadap sistem kekebalan tubuh.

Protein ini biasanya partikel berbentukY, dan dua tangan Y berisi paratop atau gembok pada antibodi, yang melekat
pada kunci dari epitop antigen. Ada lima subkategori utama, yang berbeda satu sama lain karena jumlah rantai berat dan
ringan. Mereka juga berbeda dalam fungsinya saat ke lokasi, transportasi transplasenta dan menulis peristiwa menakutkan
yang lain.

Apa perbedaan antara Antibodi dan Antigen?


1. Baik antigen dan antibodi adalah hal yang terpenting dalam imunologi. Keduanya mengambil bagian dalam penyakit
autoimun dan hasil akhirnya adalah sama.
2. Keduanya antigen dan antibodi adalah partikel mikroskopis, dan mengandung protein. Antigen memiliki kombinasi dari
polisakarida juga, sedangkan antibodi murni terdiri dari protein.
3. Antigen dapat berupa sel, tetapi antibodi tidak pernah berbentuk sel.
Perbedaan antara Antibodi dan Antigen
4. Antigen bertindak sebagai kunci, sedangkan antibodi bertindak sebagai gembok.
5. Ada dua jenis antigen yang utama, yaitu antigen diri dan non-diri.
6. Antibodi terbuat dari lima subkategori utama sesuai dengan konstruksi protein. Tergantung pada sifat permisif, aspek
antibodi seperti transferensi plasenta, sekresi, dll.
Dengan demikian, bayangkan antigen atau partikel penyebab, saat kunci masuk ke gembok pada antibodi atau penyakit.
Kuncinya dapat mengambil beberapa bentuk, tetapi epitop tersebut harus sama dengan paratrope tersebut.

Related Posts

Perbedaan antigen dan antibodi

Soal dan jawaban Sistem Imunitas untuk sma

Soal dan pembahasan sistem imunitas essay tingkat SMP

Pengertian Imunitas aktif dan pasif


Keuntungan dari fotosintesis C4
Pengertian Produsen dalam ekosistem
5 Tahap terjadinya gempa bumi
2 Jenis gerak planet
Jenis-jenis magnet

. Cara Kerja Antibodi

Cara kerja antibodi dalam mengikat antigen ada empat macam. Prinsipnya adalah terjadi pengikatan antigen oleh antibodi,
yang selanjutnya antigen yang telah diikat antibodi akan dimakan oleh sel makrofag. Berikut ini adalah cara pengikatan
antigen oleh antibodi.

1) Netralisasi

Antibodi menonaktifkan antigen dengan cara memblok bagian tertentu antigen. Antibodi juga menetralisasi virus dengan
cara mengikat bagian tertentu virus pada sel inang. Dengan terjadinya netralisasi maka efek merugikan dari antigen atau
toksik dari patogen dapat dikurangi.

2) Penggumpalan

Penggumpalan partikel-partikel antigen dapat dilakukan karena struktur antibodi yang memungkinkan untuk melakukan
pengikatan lebih dari satu antigen. Molekul antibodi memiliki sedikitnya dua tempat pengikatan antigen yang dapat
bergabung dengan anti-gen-antigen yang berdekatan. Gumpalan atau kumpulan bakteri akan memudahkan sel fagositik
(makrofag) untuk menangkap dan memakan bakteri secara cepat.

3) Pengendapan
Prinsip pengendapan hampir sama dengan penggumpalan, tetapi pada pengendapan antigen yang dituju berupa antigen yang
larut. Pengikatan antigen-antigen tersebut membuatnya dapat diendapkan, sehingga sel-sel makrofag mudah dalam
menangkapnya.

4) Aktifasi Komplemen

Antibodi akan bekerja sama dengan protein komplemen untuk melakukan penyerangan terhadap sel asing. Pengaktifan
protein komplemen akan menyebabkan terjadinya luka pada membran sel asing dan dapat terjadi lisis.

Sistem imun dapat mengenali antigen yang sebelumnya pernah dimasukkan ke dalam tubuh, disebut memori imunologi.
Dikenal respon primer dan respon sekunder dalam sistem imun yang berkaitan dengan memori imun. Berikut ini adalah
gambaran respon primer dan sekunder.

Setelah injeksi antigen A yang kedua, respon imun sekunder jauh lebih besar dan lebih cepat daripada respon primer.
Dengan demikian respon sekunder sebenarnya lebih penting peranannya dalam sistem imun.[Ai]
Tipe-tipe antibodi dan karakteristiknya

No Tipe Karakteristik
Antibodi

1 IgM Antibodi ini pertama kali dilepaskan ke aliran darah pada saat terjadi infeksi yang pertama kali
(respons kekebalan primer).

2 IgG Antibodi ini paling banyak terdapat di dalam darah dan diproduksi saat terjadi infeksi kedua
(respons kekebalan sekunder). IgG juga mengalir melalui plasenta dan memberi kekebalan
pasif dari ibu kepada janin.

3 IgA Antibodi IgA dapat ditemukan dalam air mata, air ludah, keringat dan membran mukosa. IgA
berfungsi untuk mencegah infeksi pada permukaan epitelium. IgA juga terdapat dalam
kolostrum yang berfungsi untuk mencegah kematiaan bayi akibat infeksi saluran pencernaan.

4 IgD Antibodi ini ditemukan pada permukaan limfosit B sebagai reseptor dan berfungsi merangsang
pembentukan antibodi oleh sel B plasma.

5 IgE Antibodi ini ditemukan terikat pada basofil di dalam sirkulasi darah dan sel mast (matosit) di
dalam jaringan yang berfungsi memengaruhi sel untuk melepaskan histamin dan terlibat dalam
reaksi alergi.
b. . Macam-macam Mekanisme Pertahanan Tubuh

c. Mekanisme pertahanan tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

d. 1. Kekebalan Aktif

e. Kekebalan aktif merupakan kekebalan tubuh yang diperoleh dari dalam tubuh, karena tubuh membuat antibodi
sendiri. Jenis kekebalan ini dapat terbentuk baik secara alami ataupun buatan.

f. a. Kekebalan Aktif Alami (naturan immunity)

g. Kekebalan aktif alami adalah kekebalan tubuh yang diperoleh tubuh setelah seseorang sembuh dari serangan suatu
penyakit. Contoh: orang yang pernah terserang penyakit seperti cacar air, campak, dan gondongan tidak akan terserang
penyakit yang sama untuk kedua kalinya. Sebab tubuh yang terserang sudah kenal dengan antigen yang menyerang.
Akibatnya darah membentuk antibodi untuk melawan antigen tersebut.

h. b. Kekebalan Aktif Buatan (induced immunity)

i. Kekebalan aktif buatan, diperoleh dari luar tubuh, yakni setelah tubuh mendapatkan vaksinasi. Vaksinasi merupakan
proses memasukkan vaksin ke dalam tubuh supaya tubuh membentuk antibodi sehingga kebal terhadap suatu penyakit.
Vaksin ialah kuman penyakit yang sudah dilemahkan atau dijinakkan sehingga tidak berbahaya bagi tubuh. Tindakan
memberi vaksin disebut vaksinasi atau immunisasi.

j. 2. Kekebalan Pasif

k. Kekebalan pasif merupakan kekebalan yang diperoleh bukan dari antibodi yang disintesis dalam tubuh, melainkan
tinggal memakainya saja. Kekebalan Pasif dibedakan menjadi dua, yaitu:

l. a. Kekebalan pasif alami


m. Kekebalan pasif alami adalah kekebalan yang diperoleh bukan dari tubuhnya sendiri, melainkan dari tubuh orang
lain. Misalnya kekebalan bayi yang diperoleh dari ibunya pada waktu dalam kandungan dan ASI yang pertama
kali.Kekebalan pasif buatan

Kekebalan pasif buatan adalah kekebalan yang diperoleh dari antibodi yang sudah jadi dan terlarut dalam serum. Contoh,
suntikan ATS (anti tetanus serum)

Interferon
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Strukur molekul interferon alfa manusia.


Interferon adalah hormon berbentuk sitokina berupa protein berjenis glikoprotein yang disekresi oleh sel vertebrata karena
akibat rangsangan biologis, seperti virus, bakteri, protozoa, mycoplasma, mitogen, dan senyawa lainnya.[1] Sejarah
penemuan interferon dimulai pada tahun 1954 ketika Nagano dan Kojima menemukannya pada virus di kelinci.[1] Tiga
tahun kemudian Isaacs dan Lindenmann berhasil mengisolasi molekul yang serupa dari sel ayam dan molekul tersebut
disebut interferon.[1]
Interferon- dihasilkan oleh leukosit dan berperan sebagai molekul anti-viral.[2] Penggunaan interferon- untuk
perawatan penderita hepatitis B dan hepatitis C dapat
menginduksi hipotiroidisme atau hipertiroidisme, tiroiditis[3] maupun disfungsi kelenjar tiroid.[4] IFN- memiliki efek
anti-proliferatif dan anti-fibrosis pada sel mesenkimal.[5]
Interferon- dihasilkan oleh fibroblas dan dapat bekerja pada hampir semua sel di dalam tubuh manusia.[2]
Interferon- dihasilkan oleh limfosit sel T pembantu dan hanya bekerja pada sel-sel tertentu, seperti makrofaga,
sel endotelial, fibroblas, sel T sitotoksik, dan limfosit B.[2]
Sifat IFN Alfa () IFN Beta () IFN Gamma ()

Nama lain Leukosit IFN atau Tipe I Fibroblas IFN atau Tipe I Imun IFN atau tipe II

Gen >20 1 1

Stabilitas pH Stabil Stabil Labil

Induser (pengimbas) Viruses (RNA>DNA), dsRNA Viruses (RNA>DNA), dsRNA Antigen, Mitogen

Sumber utama Leukosit, Epitelium Fibroblas Limfosit

Fungsi[sunting | sunting sumber]


Interferon, terutama alfa dan beta memiliki peranan penting dalam pertahanan terhadap infeksi virus. Senyawa interferon
adalah bagian dari sistem imun non-spesifik dan senyawa tersebut akan terinduksi pada tahap awal infeksi virus, sebelum
sistem imun spesifik merespon infeksi tersebut. Pada saat rangsangan atau stimulus biologis terjadi, sel yang memproduksi
interferon akan mengeluarkannya ke lingkungan sehingga interferon dapat berikatan dengan reseptor sel target dan
menginduksi transkripsi dari 20-30 gen pada sel target. Hal ini menghasilkan keadaaan anti-virus pada sel target. Aktivasi
protein interferon terkadang dapat menimbulkan kematian sel yang dapat mencegah infeksi lebih lanjut pada sel

Artikel ini memberikan informasi dasar tentang topik kesehatan. Informasi dalam artikel ini
boleh digunakan hanya untuk penjelasan ilmiah, bukan untuk diagnosis diri dan tidak
dapat menggantikan diagnosis medis.
Perhatian: Informasi dalam artikel ini bukanlah resep atau nasihat medis. Wikipedia
bukan pengganti dokter.
Jika Anda perlu bantuan atau hendak berobat berkonsultasilah dengan tenaga kesehatan profesional.

Vaksin
Seorang anak yang terinfeksi oleh smallpox
(Variola vera) di Bangladesh, 1973.

Klasifikasi dan rujukan luar

[sunting di Wikidata]

Vaksin (dari kata vaccinia, penyebab infeksi cacar sapi yang ketika diberikan kepada manusia, akan menimbulkan
pengaruh kekebalan terhadap cacar), adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif
terhadap suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus, sehingga dapat mencegah atau mengurangi
pengaruh infeksi oleh organisme alami atau "liar".
Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan, sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin
dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus). Vaksin
akan mempersiapkan sistem imun manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu,
terutama bakteri, virus, atau toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem imun untuk melawan sel-sel (kanker).
Edward Jenner menyadari bahwa mereka yang telah terinfeksi oleh cacar sapi (cowpox) sebelumnya, maka tidak
akan terkena smallpox (Variola vera). Pada tahun 1796, Edward Jenner menggunakan sapi yang diinfeksi dengan
cacar sapi (variolae vaccinae) untuk membuat vaksin yang melindungi masyarakat dari smallpox.[1] Ia menginokulasi
seorang anak dengan cowpox dan kemudian menginfeksinya dengan smallpox. Anak tersebut tetap sehat, karena
telah terkena cowpox sebelumnya. Inokulasi cowpox menyebabkan yang sakit lebih sedikit daripada inokulasi
smallpox.
Sekarang ini telah terdapat berbagai macam vaksin untuk bermacam-macam penyakit, walaupun demikian vaksin
belum ada untuk beberapa penyakit penting, seperti vaksin untuk malaria, HIV.[1] atau demam berdarah.
Daftar isi
[sembunyikan]

1Efektivitas
2Menumbuhkan kekebalan
3Pemberantasan penyakit
4Sistem pemberian vaksin
5Lihat pula
6Referensi
7Pranala keluar
Efektivitas[sunting | sunting sumber]
Dalam sejarah, vaksin adalah yang terefektif untuk melawan dan memusnahkan penyakit infeksi. Bagaimanapun,
keterbatasan dari efektifitasnya ada.[2] Kadang-kadang, perlindungan gagal, karena sistem kekebalan yang diberi
vaksin tidak memberikan tanggapan yang diinginkan atau malah tidak ada sama sekali. Kurangnya tanggapan
terjadi, karena faktor-faktor klinis, misalnya diabetes, penggunaan steroid, infeksi HIV atau usia. Bagaimanapun hal
ini juga terjadi karena faktor genetik, jika sistem kekebalannya tidak memiliki sel B strain yang dapat
menghasilkan antibodi yang bereaksi efektif dan mengikat antigen dari patogen.
Bahkan jika yang divaksinasi mengembangkan antibodinya, proteksinya mungkin tidak cukup; kekebalan mungkin
berkembang terlalu lambat, antibodi mungkin tidak dapat menumpas antigen sepenuhnya, atau bisa juga terdapat
berbagai strain patogen, tidak semuanya bergantung pada sistem rekasi kekebalan. Bagaimanapun, bahkan hanya
sebagian, terlambat, atau kekebalan yang lemah, seperti terjadi pada kekebalan silang pada suatu strain daripada
strain target, mungkin meringankan infeksinya, yang menurunkan tingkat kematian, menurunkan banyaknya yang
sakit (morbidity) dan mempercepat penyembuhan.
Vaksinasi ulang (Adjuvants) umumnya digunakan untuk meningkatkan tanggapan kekebalan, terutama untuk usia
lanjut (50-75 tahun ke atas), di mana tanggapan kekebalan untuk vaksin sederhana mungkin
melemah.[3] Keefektifitasan vaksin bergantung pada beberapa faktor:

penyakit itu sendiri (vaksin untuk penyakit A lebih ampuh daripada vaksin untuk penyakit B)
starin dari vaksin (beberapa vaksin spesifik terhadapnya, atau sekurangnya kurang efektif melawan strain
tertentu dari penyakit)[4]
apakah jadwal imunisasi benar-benar dipatuhi.
tanggapan yang berbeda terhadap vaksin; sejumlah individu tidak memberikan tanggapan pada vaksin tertentu,
berati mereka tidak memproduksi antibodi bahkan setelah divaksin dengan benar.
berbagai macam faktor seperti etnis, usia, atau kelainan genetik.
Jika individu yang divaksin tetap sakit, maka penyakitnya lebih jinak dan tidak mudah menyebarkan penyakit
daripada pasien yang tidak divaksin.[5]
Hal-hal yang harus dipertimbangkan untuk keefektifitasan program vaksinasi:

1. membuat model yang lebih hati-hati untuk mengantisipasi damapak dari sebuah kampanye imunisasi pada
epidemiologi penyakit dalam jangka menengah dan panjang
2. pemantauan terus menerus pada penyakit tersebut setelah penggunaan vaksin baru
3. tetap menjaga tingkat imunisasi yang tinggi, bahkan ketika penyakit sudah jarang ditemukan
Pada tahun 1958, terdapat 763,094 kasua tampek di Amerika Serikat; walaupun hanya 552 orang yang
meninggal.[6][7] Setelah pemakaian vaksin baru, jumlah kasus menurun hingga kurang dari 150 kasus per tahun
(mediannya 56).[7] Di awal tahun 2008, terdapat 64 kasus terduga tampek. 54 penderita mendapatkannya dari luar
AS, dan hanya 13% yang benar-benar terkena di AS; 63 dari 64 orang tersebut belum pernah divaksinasi tampek
atau tidak yakin telah divaksinasi sebelumnya.[7]
Menumbuhkan kekebalan[sunting | sunting sumber]
Sistem kekebalan mengenali partikel vaksin sebagai agen asing, menghancurkannya, dan "mengingat"-nya. Ketika
di kemudian hari agen yang virulen menginfeksi tubuh, sistem kekebalan telah siap:

1. Menetralkan bahannya sebelum bisa memasuki sel; dan


2. Mengenali dan menghancurkan sel yang telah terinfeksi sebelum agen ini dapat berbiak
3. Jika tetap sakit, maka sakitnya akan jauh lebih ringan
Vaksin yang dilemahkan digunakan untuk melawan tuberkulosis, rabies, dan cacar; agen yang telah mati digunakan
untuk mengatasi kolera dan tifus; toksoid digunakan untuk melawan difteri dan tetanus.
Meskipun vaksin sejauh ini tidak virulen sebagaimana agen "sebenarnya", bisa menimbulkan efek samping yang
merugikan, dan harus diperkuat dengan vaksinasi ulang beberapa tiap tahun. Suatu cara untuk mengatasi hal ini
adalah dengan vaksinasi DNA. DNA yang menyandi suatu bagian virus atau bakteri yang dapat dikenali oleh sistem
kekebalan dimasukkan dan diekspresikan dalam sel manusia/hewan. Sel-sel ini selanjutnya menghasilkan toksoid
agen penginfeksi, tanpa pengaruh berbahaya lainnya. Pada tahun 2003, vaksinasi DNA masih dalam percobaan,
namun menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Pemberantasan penyakit[sunting | sunting sumber]
Berbagai penyakit seperti polio telah dapat dikendalikan di negara-negara maju dan juga Indonesia melalui
penggunaan vaksin secara massal (rubella dilaporkan telah musnah dari AS). Cacar nanah telah berhasil
dieradikasi/dimusnahkan dari seluruh dunia, makanya tidak ada lagi vaksinasi cacar nanah (harap bedakan dengan
cacar air).
Sepanjang mayoritas masyarakat telah diimunisasi, penyakit infeksi akan sulit mewabah. Pengaruh ini disebut herd
immunity. Beberapa kalangan, terutama yang melakukan praktik pengobatan alternatif, menolak untuk
mengimunisasi dirinya atau keluarganya, berdasarkan keyakinan bahwa efek samping vaksin merugikan mereka.
Para pendukung vaksinasi rutin menjawab dengan mengatakan bahwa efek samping vaksin yang telah berizin, jika
ada, jauh lebih kecil dibandingkan dengan akibat infeksi penyakit, atau sangat jarang, dan beranggapan bahwa
hitungan untung/rugi haruslah berdasarkan keuntungan terhadap kemanusiaan secara keseluruhan, bukan hanya
keuntungan pribadi yang diimunisasi. Risiko utama rubella, misalnya, adalah terhadap janin wanita hamil, tetapi
risiko ini dapat secara efektif dikurangi dengan imunisasi anak-anak agar tidak menular kepada wanita hamil.
Sistem pemberian vaksin[sunting | sunting sumber]
Seorang anak mendapat vaksinasipolio (poliomyelitis). Vaksin ini diberikan secara oral, hanya beberapa tetes cairan yang berasa manis.

Terdapat beberapa cara baru dalam pengembangan pada sistem pemberian vaksin, yang diharapkan akan lebih
efisien dalam pemberiannya. Metode-metode yang mungkin termasuk liposome dan ISCOM (immune stimulating
complex).[8] Sistem pemberian vaksin yang baru adalah pemberian melalui oral, seperti vaksin polio (juga vaksin
kolera). Dengan pemberian melalui oral, maka tidak ada risiko mengkontaminasi darah. Vaksin oral padatan telah
terbukti lebih stabil dan tak perlu terlalu dibekukan; kestabilan mengurangi kebutuhan pendinginan terus menerus,
yang biasanya pada rentang suhu tertentu tergantung produsennya, yang pada akhirnya mengurangi biaya
keseluruhan. Akhirnya, penggunaan jarum mikro tampaknya menjadi solusi masa depan.[9]

Mari bergabung dengan sukarelawan Wikipedia bahasa Indonesia!

AIDS
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Artikel ini memberikan informasi dasar tentang topik kesehatan. Informasi dalam artikel ini boleh digunakan hanya untuk penjelasan
ilmiah, bukan untuk diagnosis diri dan tidak dapat menggantikan diagnosis medis.
Perhatian: Informasi dalam artikel ini bukanlah resep atau nasihat medis. Wikipedia bukan pengganti dokter.
Jika Anda perlu bantuan atau hendak berobat berkonsultasilah dengan tenaga kesehatan profesional.

Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)


Pita Merah terlipat adalah simbol solidaritas orang-orang yang positif

terinfeksi virus HIV dan AIDS.

Klasifikasi dan rujukan luar

Spesialisasi penyakit infeksi[*]

ICD-10 B24.

ICD-9-CM 042

DiseasesDB 5938

MedlinePlus 000594
eMedicine emerg/253

Patient UK AIDS

MeSH D000163

[sunting di Wikidata]

Daftar singkatan dalam artikel ini :

AIDS: Acquired immune deficiency


syndrome
HIV: Human immunodeficiency virus
CD4+: Sel T pembantu
CCR5: Chemokine (C-C motif) receptor 5
CDC: Centers for Disease Control and
Prevention
WHO: World Health Organization
PCP: Pneumocystis pneumonia
TB: Tuberkulosis
MTCT: Mother-to-child transmission
HAART: Highly active antiretroviral
therapy
STI/STD: Sexually transmitted
infection/disease

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi
(atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;[1] atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang
menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang
yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat
memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan
cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi
melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan,
bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4] Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah
menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.[5] Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah
menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah
satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja,
dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.[5] Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat
pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi
tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.[6]
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang
hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan
HIV/AIDS (ODHA).

Daftar isi
[sembunyikan]

1Gejala dan komplikasi


o 1.1Penyakit paru-paru utama
o 1.2Penyakit saluran pencernaan utama
o 1.3Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
o 1.4Kanker dan tumor ganas (malignan)
o 1.5Infeksi oportunistik lainnya
2Penyebab
o 2.1Penularan seksual
o 2.2Kontaminasi patogen melalui darah
o 2.3Penularan masa perinatal
3Diagnosis
o 3.1Sistem tahapan infeksi WHO
o 3.2Sistem klasifikasi CDC
o 3.3Tes HIV
o 3.4Tes HIV Agresif
4Pencegahan
o 4.1Hubungan seksual
o 4.2Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi
o 4.3Penularan dari ibu ke anak
5Penanganan
o 5.1Terapi antivirus
o 5.2Penanganan eksperimental dan saran
o 5.3Pengobatan alternatif
6Epidemiologi
7Sejarah
8Sosial dan budaya
o 8.1Stigma
o 8.2Dampak ekonomi
o 8.3Penyangkalan atas AIDS
9Lihat pula
10Referensi
11Bacaan lanjutan
12Pranala luar
Gejala dan komplikasi[sunting | sunting sumber]

Gejala-gejala utama AIDS.

Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut
akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi
oportunistik umum didapati pada penderita AIDS.[7] HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita
kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar,
kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.[8][9] Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat
kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
Penyakit paru-paru utama[sunting | sunting sumber]

Foto sinar-X pneumonia pada paru-paru, disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii.

Pneumonia pneumocystis (PCP)[10] jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang
yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di
negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi
pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per
L.[11]
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat
(imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV,
serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode
terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi
HIV (jumlah CD4 >300 sel per L), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit
sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan
tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran
pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat.[12] Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih
berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.
Penyakit saluran pencernaan utama[sunting | sunting sumber]
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit
ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria,
meskipun kasusnya langka.[13]
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum
(seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus
(seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi
utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare
(misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran
pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.[14]
Penyakit syaraf dan kejiwaan utama[sunting | sunting sumber]
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh
infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak
dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-
paru.[15] Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh
jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin
mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi
serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh
manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS.
Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah
diagnosis.[16]
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak
(ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak
yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.[17] Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif,
perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T
CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%,[18] namun
di India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV.[19][20] Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.
Kanker dan tumor ganas (malignan)[sunting | sunting sumber]

Sarkoma Kaposi

Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus
DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia
(HPV).[21][22]
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual
tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus
herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan,
tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening,
misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma
sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang
buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes
Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun,
banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi
HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang
berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien
yang terinfeksi HIV.[23]
Infeksi oportunistik lainnya[sunting | sunting sumber]
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi
oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang
pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan
kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum
(setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.[24]

Penyebab[sunting | sunting sumber]


Untuk detail lebih lanjut tentang topik ini, lihat HIV.

HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil (diwarnai hijau) pada permukaan limfosit setelah menyerang sel tersebut;
dilihat dengan mikroskop elektron.

AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan
manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T
CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang
dari 200 per mikroliter (L) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan
berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T
CD4+di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu
hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan.[25] Namun, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua
minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang memengaruhinya, di antaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi
kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi.[26][27] Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda,
sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi
lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini.[25][28][29] Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan
peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV.[30] HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang
berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula.[31][32][33] Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan
dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.
Penularan seksual[sunting | sunting sumber]
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum,
alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual
insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak
berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif.[34] Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV
karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.[35]
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat
adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal.
Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko
terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Risiko tersebut juga meningkat secara
nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan
pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.[36]
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan
penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu
berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding
dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV.[36][37] Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi
mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.[38][39] Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis
virus lain yang lebih mematikan.
Kontaminasi patogen melalui darah[sunting | sunting sumber]

Poster CDC tahun 1989, yang mengetengahkan bahaya AIDS sehubungan dengan pemakaian narkoba.

Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi
dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit
(patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan
penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Tiongkok, dan Eropa Timur. Risiko
terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure
prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.[40] Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan
lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik
tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang
tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan
yang tidak aman.[41] Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong
negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.[42]
Risiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan
HIV dilakukan. Namun, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV
dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".[43]
Penularan masa perinatal[sunting | sunting sumber]
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat
persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun, jika sang ibu
memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.[44] Sejumlah faktor
dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi
risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.[45]

Diagnosis[sunting | sunting sumber]


Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health
Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan
tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health
Organization untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju digunakan sistem
klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.
Sistem tahapan infeksi WHO[sunting | sunting sumber]

Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+ pada rata-rata infeksi HIV yang tidak ditangani. Keadaan penyakit dapat bervariasi tiap orang. jumlah
limfosit T CD4+ (sel/mm) jumlah RNA HIV per mL plasma
Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan
untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1.[46] Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi
oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.

Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS


Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernapasan atas yang berulang
Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini
adalah indikator AIDS.
Sistem klasifikasi CDC[sunting | sunting sumber]
Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki
nama resmi untuk penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya, contohnya ialah limfadenopati. Para
penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut.[47][48] CDC mulai menggunakan kata AIDS pada
bulan September tahun 1982, dan mendefinisikan penyakit ini.[49] Tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua
orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200 per L darah atau 14% dari seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV.[50] Mayoritas kasus AIDS di
negara maju menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis terhadap AIDS tetap dipertahankan,
walaupun jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per L darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah sembuh.
Tes HIV[sunting | sunting sumber]
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV.[51] Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah
menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang
mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini
bahkan lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan.[51] Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah yang digunakan
untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya.
Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan
mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window
period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes.
Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV
meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi
HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.
Tes HIV Agresif[sunting | sunting sumber]
HIV Agresif sebenarnya telah diketahui terjadi di Afrika sebelumnya, tetapi apa yang terjadi di Kuba bersifat masif. Biasanya dari HIV menjadi AIDS
butuh waktu 5-10 tahun tanpa perwatan sama sekali, tetapi pada HIV Agresif hal itu terjadi hanya dalam waktu 3 tahun. Tes CD4 dan adanya infeksi
oportunistik, biasanya dilakukan untuk mengetahui adanya HIV, tetapi tes CD4 2 tahun sekalipun mungkin bisa terlambat, oleh karena itu perlu
diadakan tes CD4 yang lebih sering bagi orang-orang yang berisiko. HIV Agresif ini adalah kombinasi sub-tipe A, D dan G, dinamai CRF19 yang
ternyata sampai saat ini masih mempan terhadap sebagian besar obat-obat antiretroviral, asal belum terlambat.[52][53]

Pencegahan[sunting | sunting sumber]


Perkiraan risiko masuknya HIV per aksi,
menurut rute paparan[54]

Perkiraan infeksi
per 10.000 paparan
Rute paparan
dengan sumber yang
terinfeksi

Transfusi darah 9.000[55]

Persalinan 2.500[44]

Penggunaan jarum suntik bersama-sama 67[56]

Hubungan seks anal reseptif* 50[57][58]

Jarum pada kulit 30[59]

Hubungan seksual reseptif* 10[57][58][60]


Hubungan seks anal insertif* 6,5[57][58]

Hubungan seksual insertif* 5[57][58]

Seks oral reseptif* 1[58]

Seks oral insertif* 0,5[58]

* tanpa penggunaan kondom


sumber merujuk kepada seks oral
yang dilakukan kepada laki-laki

Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan
tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air
liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko
infeksinya secara umum dapat diabaikan.[61]
Hubungan seksual[sunting | sunting sumber]
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah
modus utama infeksi HIV di dunia.[62] Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan
terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim
mengurangi risiko penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar
dalam setiap kesempatan.[63] Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-
satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen
kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena
bahan-bahan tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen menyarankan menggunakan
pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan.[64]
Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas
berbahan dasar minyak. Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk cincin, dan
didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam vagina untuk
memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak
terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan
pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi
pencegahan HIV yang penting.[65]
Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV
terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun.[66] Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-negara maju.
Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap
melakukan kegiatan berisiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko yang mereka hadapi atas infeksi
HIV.[67] Namun, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara
maju.
Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi
HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling
parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat.
Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko
sehingga mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.[68]
Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui
hubungan seksual.[69] Adapun rumusannya dalam bahasa Indonesia:[70]

Anda jauhi seks,


Bersikap saling setia dengan pasangan,
Cegah dengan kondom.
Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi[sunting | sunting sumber]

Wabah AIDS di Afrika Sub-Sahara tahun 1985-2003.

Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan,
dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk
mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu
menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh
fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau
tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengizinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari
apotek tanpa perlu resep dokter.
Penularan dari ibu ke anak[sunting | sunting sumber]
Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke
anak (mother-to-child transmission, MTCT).[71] Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau,
berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi,
pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin.[5] Pada tahun 2005, sekitar
700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika.[72] Dari
semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.[5]
Penanganan[sunting | sunting sumber]
Lihat pula HIV dan Obat antiretrovirus.

Abacavir Nucleoside analog reverse transcriptase inhibitor (NARTI atau NRTI)

Struktur kimia Abacavir

Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada
penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan,
disebut post-exposure prophylaxis (PEP).[40] PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek
samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.[73]
Terapi antivirus[sunting | sunting sumber]
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART).[74] Terapi ini
telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang
menggunakan protease inhibitor.[6] Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari
paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase
inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih
cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak
daripada untuk orang dewasa.[75] Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan
mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan
awal.[76]
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak
menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya
kembali setelah perawatan dihentikan.[77][78] Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV
dengan menggunakan HAART.[79]Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan
kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena
HIV.[80][81][82] Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan
sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan.[25] Penerapan HAART dianggap
meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun.[83][84] Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima
puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir,
terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam
menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan
HAART.[85] Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial
yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat.
Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus
dijalankan secara rutin .[86][87][88] Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara
lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.[89][90]
Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk
HIV dan AIDS tersebut.[91]
Penanganan eksperimental dan saran[sunting | sunting sumber]
Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari
biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan
harian.[91] Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.[91]
Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan
untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa
penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan
infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko
terinfeksi.[92] Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik)
untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat
dari terapi propilaktik tersebut.[73]
Susu sapi adalah salah satu produk tepat yang bisa mencegah penularan penyakit yang belum ada obatnya ini. Awalnya ilmuwan melihat bahwa
sapi ternyata tidak dapat terinfeksi HIV. Setelah melewati proses penelitian yang cukup lama, ternyata para peneliti tersebut menemukan fakta
kalau sapi bisa menghasilkan antibodi yang bisa mencegah penularan HIV. Para peneliti tersebut kemudian menyuntikkan sapi betina dengan
protein HIV. Setelah sapi melahirkan, para ilmuwan tersebut mengumpulkan kolostrum (susu pertama yang dihasilkan setelah melahirkan). Dan
ternyata kolostrum tersebut mengandung antibodi HIV.[93]
Pengobatan alternatif[sunting | sunting sumber]
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit.[94] Akupunktur telah
digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri;
namun tidak menyembuhkan infeksi HIV.[95] Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti
bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek
samping negatif yang serius.[96]
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang
dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status
nutrisi yang baik.[97] Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat.[97] Pemakaian selenium dengan dosis
rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai
terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan
morbiditas.[98]
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini,
namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut
sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.[99]
Namun oleh penelitian yang mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia pada penderita AIDS yang terjangkit virus HIV-1, beberapa pakar
menyarankan terapi dengan asupan hormon tiroksin.[100] Hormon tiroksin dikenal dapat meningkatkan laju metabolisme
basal sel eukariota[101] dan memperbaiki gradien pH pada mitokondria.[102]

Alergi adalah reaksi sistem kekebalan tubuh yang berlebihan terhadap benda asing tertentu yang disebut alergen. Alergen sebenarnya adalah
zat yang tidak berbahaya bagi tubuh. Alergen masuk ke tubuh bisa melalui saluran pernapasan, dari makanan, melalui suntikan atau bisa juga
timbul akibat adanya kontak dengan kulit.

Zat yang paling sering menyebabkan alergi: Serbuk tanaman; jenis rumput tertentu; jenis pohon yang berkulit halus dan tipis; serbuk spora;
penisilin; seafood; telur; kacang panjang, kacang tanah, kacang kedelai dan kacang-kacangan lainnya; susu; jagung dan tepung jagung;sengatan
insekta; bulu binatang; kecoa; debu dan kutu. Yang juga tidak kalah sering adalah zat aditif pada makanan, penyedap, pewarna dan pengawet.

Penyebab Alergi
Penyebab alergi adalah karena sel-sel kekebalan tubuh tidak bisa mengenali alergen sebagai obyek yang tidak berbahaya, tetapi malah
mengenali mereka sebagai musuh yang harus diserang habis-habisan sehingga menimbulkan peradangan pada organ tubuh.

Gejala Alergi

Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik yang tidak semestinya tersebut dapat mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran.
Jika organ sasaran tersebut misalnya paru-paru maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma,

bila sasarannya kulit akan terlihat sebagai gatal-gatal,

bila sasarannya hidung maka akan timbul hidung tersumbat atau pilek,

bila organ sasarannya saluran pencernaan maka gejalanya adalah diare dan sebagainya.

Celakanya, tak hanya paru-paru atau kulit yang kerap jadi sasaran tembak. Sistem susunan saraf pusat atau otak pun dapat terganggu oleh
reaksi alergi. Apalagi otak merupakan organ tubuh yang sangat sensitif dan lemah. Jika fungsi otak terganggu, banyak sekali kemungkinan
manifestasi klinisnya, termasuk gangguan perkembangan dan perilaku, semisal gangguan konsentrasi, gangguan perkembangan motorik,
gangguan emosi, keterlambatan bicara, hiperaktif, hingga autisme. Renzoni A dkk tahun 1995 melaporkan autism berkaitan erat dengan alergi.
Menage P tahun 1992 mengemukakan bahwa didapatkan kaitan IgE dengan penderita Autism

Anda mungkin juga menyukai