Anda di halaman 1dari 14

SISTEM IMUN PEMERIKSAAN HEMOGRAM

I. TUJUAN

Mengetahui status kesehatan berdasarkan jumlah dan komposisi leukosit pada dasar tikus
putih.

II. DASAR TEORI

Tubuh sangat mudah dan rentan terserang penyakit maka dari itu perlu adanya
sistem kekebalan tubuh baik itu yang bawaan ataupun yang dari luar seperti imunisasi,
dalam tubuh sistem kekebalan dihasilkan, diatur dan dikendalikan oleh sel darah putih
disebut leukosit. Leukosit memiliki peranan dalam pertahanan seluler dan humoral
organisme terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan
melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara
sel-sel endotel dan menembus ke dalam jaringan penyambung (Effendi, 2003).
Leukosit akan menanggapi segala zat asing yang masuk ke dalam tubuh melalui
respon yang disebut respon imun, di dalam tubuh respon imun terdapat dua macam yaitu
imun alamiah (non-spesifik) dan imun adaptif (spesifik), respon imun alamiah memang
sudah merupakan reaksi tersendiri dari tubuh untuk melindungi dirinya sendiri, kemudian
imun adaptif berasal dari luar tubuh (Mader, 2000).
Respon imun non-spesifik merupakan imunitas bawaan (innate imunity) dimana
respon imun terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah
terpapar oleh zat tersebut (Kresno, 1996). Imunitas non-spesifik berperan paling awal
dalam pertahanan tubuh melawan mikroba pathogen yaitu dengan menghalangi
masuknya mikroba dan dengan memngeliminasi mikroba yang masuk ke jaringan tubuh
(Abbas et al., 2014). Respon imun jenis ini akan selalu memberikan respon yang sama
terhadap semua jenis agen infektif dan tidak memiliki kemampuan untuk mengenali agen
infektif meskipun sudah terpapar sebelumnya. Termasuk dalam respon imun non-spesifik
antara lain pertahanan fisik, biokimia, humoral dan selular (Baratawidjaja & Rengganis,
2009).
Respon imun spesifik merupakan respon yang di dapat dari stimulasi oleh agen
infektif (antigen/imunogen) dan dapat meningkat pada paparan berikutnya. Target dari
respon imun spesifik adalah antigen, yaitu suatu substansi yang asing (bagi hospes) yang
dapat menginduksi respon imun spesifik (Sherwood, 2007). Antigen bereaksi dengan
reseptor sel-T (TCR) dan antibody. Antigen dapat berupa molekul yang berada di
permukaan unsur pathogen maupun toksin yang diproduksi oleh antigen yang
bersangkutan.
Terdapat tiga tipe sel yang terlibat dalam respon imun spesifik yaitu sel T, sel B
dan APC (makrofag dan sel dendritic) (Sherwood, 2007). Respon imun spesifk meliputi
aktivasi dan maturasi sel T, sel mediator dan sel B untuk memproduksi antibody yang
cukup melawan antigen. Pada hakekatnya respon imun spesifik merupakan interaksi
antara berbagai komponen dalam system imun secara bersama-sama (Kresno, 1996).
Leukosit diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya granula di dalam sitoplasma
dibagi menjadi dua yaitu granulosit (mengandung granula di dalam sitoplasma) dan
agranulosit (tak mengandung granula) (Tizard, 2000). Granulosit terdiri atas netrofil (55-
70%), eosinofil (1-3%) dan basofil (0,5-1%). Sedangkan agranulosit terdiri atas limfosit
(limfosit T dan limfosit B) dan monosit (Junqueira dan Caneiro, 2005).
Neutrofil merupakan leukosit darah perifer yang paling banyak. Sel ini memiliki
masa hidup singkat, sekitar 10 jam dalam sirkulasi. Sekitar 50 % neutrofil dalam darah
perifer menempel pada dinding pembuluh darah. Neutrofil memasuki jaringan dengan
cara bermigrasi sebagai respon terhadap kemotaktik. Neutrofil merupakan sel yang paling
cepat bereaksi terhadap radang dan luka dibanding leukosit yang lain dan merupakan
pertahanan selama fase infeksi akut (Hoffbrand, 2006).
Neutrofil (Polimorf), sel ini berdiameter 12–15 µm memilliki inti yang khas padat
terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus dengan rangka tidak teratur dan
mengandung banyak granula merah jambu (azuropilik) atau merah lembayung. Neutrofil
disebut dengan leukosit polimorfonuklear karena polimorfonuklear memiliki kesamaan
dengan neutrofil yaitu memiliki bentuk sel yang aneh. Granula terbagi menjadi granula
primer yang muncul pada stadium promielosit, dan sekunder yang muncul pada stadium
mielosit dan terbanyak pada neutrofil matang. Kedua granula berasal dari lisosom, yang
primer mengandung mieloperoksidase, fosfatase asam dan hidrolase asam lain, yang
sekunder mengandung fosfatase lindi dan lisosom (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996).
Eosinophil adalah granulosit dengan inti yang terbagi menjadi 2 lobus dan
sitoplasma bergranula kasar, refraktil dan berwarna merah tua oleh zar warna yang
bereaksi asam yaitu eosin. Walauoun mamou melakukan fagositosis eosinophil tidak
mampu mebunuh kuman (Widmann,1989). Sel eosinophil ini sangat penting dalam
respon terhadap penyakit parasitik dan alergi. pelepasan isi granulnya ke patogen yang
lebih besar membantu dekstruksinya dan fagositosis berikutnya (Hoffbrand, 2006).
Fungsi utama eosinofil adalah detoksifikasi baik terhadap protein asing yang masuk ke
dalam tubuh melalui paru-paru ataupun saluran cerna maupun racun yang dihasilkan oleh
bakteri dan parasite (Frandson, 1992).
Basophil mempunyai bentuk bulat dan intinya sulit dilihat karena tertutup oleh
granula. Granulanya sangat besar bulat, berwarna ungu tua, jumlahnya banyak tetapi
letaknya tidak terlalu rapat. Kadang-kadang vakuola tampak berwarna pucat dalam
sitoplasma. Basofil hanya terlihat kadang-kadang dalam darah tepi normal. Diameter
basofil lebih kecil dari neutrofil yaitu sekitar 9-10 µm. Jumlahnya 1% dari total sel darah
putih. Basofil memiliki banyak granula sitoplasma yang menutupi inti dan mengandung
heparin dan histamine (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996). Heparin ini dilepaskan di
daerah peradangan guna mencegah timbulnya pembekuan serta statis darah dan limfe,
sehingga sel basofil diduga merupakan prekursor bagi mast cell (Frandson, 1992).
Limfosit memiliki nucleus besar bulat dengan menempati sebagian besar sel
limfosit berkembang dalam jaringan limfe. Ukuran bervariasi dari 7 sampai dengan 15
mikron. Banyaknya 20-25% dan fungsinya membunuh dan memakan bakteri masuk ke
dalam jaringan tubuh. Limfosit ada 2 macam, yaitu limfosit T dan limfosit B (Handayani,
2008). Sel B bertanggung jawab atas sintesis antibodi humoral yang bersirkulasi yang
dikenal dengan nama imunoglobulin. Sel T terlibat dalam berbagai proses imunologik
yang diperantarai oleh sel. Imunoglobulin plasma merupakan imunoglobulin yang
disintesis di dalam sel plasma. Sel plasma merupakan sel khusus turunan sel B yang
menyintesis dan menyekresikan imonoglo-bulin ke dalam plasma sebagai respon
terhadap pajanan berbagai macam antigen (Murray, 2003).
Sebagian besar dari sel limfosit (T dan B) akan masuk ke dalam kelenjar getah
bening dan menetap sementara di dalamnya, sedang sebagian lain akan meninggalkan
kelenjar getah bening dan masuk kembali dalam sirkulasi. Begitu masuk ke dalam
kelenjar getah bening sel limfosit ini akan langsung menempati tempat-tempat yang telah
ditentukan untuk masing-masing sel T dan sel B. Limfosit B akan masuk ke dalam folikel
sedang limfosit T menempati daerah para-cortex dan medulla (Bakri, 1989). Jika ada
antigen masuk ke dalam tubuh kita maka limfosit T juga akan bertransformasi menjadi
imunoblast. Sedangkan pada limfosit B, rangsangan antigen menyebabkan transformasi
sel yang akhirnya menghasilkan sel-sel plasma. Sel plasma inilah yang membentuk
antibodi ("reaksi immunitas humoral"). Sel plasma yang merupakan produk akhir dari
limfosit B tidak lagi memiliki imunoglobulin pada permukaan selnya. Sel-sel ini juga
tidak memiliki reseptor terhadap komplemen, namun sebaliknya ia memiliki
imunoglobulin intraseluler (intracytoplasmic immunoglobulin) (Handayani, 2008).
III. BAHAN DAN METODE KERJA
A. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah kaca objek yang
digunakan untuk media dari sampel yang diamati dan kaca penutup yang
digunakan untuk menutup sampel agar tidak langsung mengenai lensa mikroskop.
alat tulis yang digunakan untuk menulis dan mikroskop yang digunakan untuk
memperbesar pandang apusan darah sehingga leukosit terlihat, , hair dryer yang
digunakan untuk mengeringkan kaca objek, dan tissue yang digunakan untuk
membersihkan kaca objek.

Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah darah tikus putih yang
digunakan sebagai sampel, methanol yang digunakan untuk memfiksasi darah,
dan membersihkan alat, pewarna Giemsa yang digunakan untuk mewarnai
leukosit, dan apusan darah yang telah dibuat.

B. Cara Kerja

a. Pembuatan preparat apus darah


Gelas benda diambil 8 buah dan dipisah menjadi dua .Empat gelas benda
digunakan untuk percobaan darah tikus yang sakit dan empat gelas benda
digunakan untuk darah tikus sehat. Darah diteteskan pada dua gelas benda.
gelas benda 2 lainnya diambil dan diposisikan dimuka tetesan darah. Ujung
gelas benda disentuhkan dan membentuk sudut 45o. gelas benda digerakkan
teratur tanpa mengubah besar sudut sampai darah terlihat tipis. Kemudian
darah pada gelas benda diangin- anginkan selama beberapa menit. Lalu di
tetesi larutan methanol dan diangin- anginkan menggunakan hair dryer sampai
kering. Selanjutnya preparat di cuci dan ditetesi gyemsa selama 30 menit.
setelah 30 menit preparat dicuci dengan air mengalir dan diangin- anginkan
kembali menggunakan hair dryer dan tissue agar cepat kering. Kemudian
diamati dibawah mikroskop.
b. Hemogram
Preparat apusan darah diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran
lemah sampai kuat. Lalu di tentukan jumlah dan jenis leukosit pada satu bidang
pandang. Setiap kolom berisi 10 leukosit. Kemudian posisi bidang pandang
diganti dan diamati kembali. hasilnya dicatat dan dimasukan ke dalam tabel
dalam bentuk prosentasi.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil penghitungan jumlah masing-masing jenis sel leukosit yang


dilakukan pada praktikum ini dapat dinyatakan dalam grafik dibawah ini :

Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa jenis sel leukosit yang paling
banyak pada darah tikus putih sehat maupun tikus putih sakit adalah limfosit
dengan 38.08% pada tikus putih sehat dan 56.09% pada tikus putih sakit.
Sedangkan jenis sel leukosit yang paling sedikit pada darah tikus putih sehat
maupun tikus putih sakit adalah sel monosit dengan persentase 10.77% pada tikus
sehat dan 5.65% pada tikus sakit.

B. Pembahasan

Praktikum berjudul “Sistem Imun” ini dilakukan dengan tujuan untuk


mengetahui status kesehatan berdasarkan jumlah dan komposisi sel leukosit
dengan menggunakan darah tikus putih. Praktikum ini menggunakan darah tikus
putih sehat dan darah tikus putih sakit. Berdasarkan hasil praktikum ini dapat
diketahui bahwa jumlah sel neutrophil pada darah tikus putih sehat sebanyak
13.85%. Hal ini sesuai dengan pendapat Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu
jumlah sel neutrophil normal (sehat) berkisar antara 12-30%. Kemudian pada
darah tikus putih sakit didapatkan jumlah sel neutrophil sebanyak 8.70%.
Menurut Preet (2011) menyatakan bahwa Netrofilia adalah suatu keadaan
dimana jumlah netrofil lebih banyak dari normal (tejadi peningkatan). Penyebab
biasanya adalah infeksi bakteri, keracunan bahan kimia dan logam berat,
gangguan metabolic seperti uremia, nekrosia jaringan, kehilangan darah dan
radang. Sehingga praktikan berasumsi bahwa jumlah neutrophil pada tikus putih
lebih sedikit, hal ini mungkin disebabkan tikus putih tidak mengalami peradangan
atau luka, karena sel neutrophil merupakan sel yang paling cepat bereaksi
terhadap radang dan luka dibanding leukosit yang lain dan merupakan pertahanan
selama fase infeksi akut. Terjadinya penurunan jumlah sel neutrophil disebut
dengan nitropenia. Penyebab biasanya adalah pemindahan neutrophil dari
peredaran darah, umur neutrophil yang memendek karena penggunaan obat,
gangguan pembentukan neutrophil yang dapat terjadi akibat radiasi atau obat-
obatan (Preet,2011).
Jumlah sel eosinophil pada darah tikus putih sehat sebanyak 17.69%.
Menurut Campbell (2004) menyatakan bahwa jumlah eosinophil dalam darah
normal 1.5% dari keseluruhan jumlah leukosit. Ketidaksesuaian dengan teori ini
mungkin disebabkan ketidaktelitian praktikan dalam menghitung dan mengamati
bentuk sel eosinophil, sehingga didapatkan data yang tidak sesuai. Sedangkan
pada tikus putih sakit didapatkan jumlah eosinophil sebanyak 9.57%. Menurut
Hoffbrand (2006) eosinophil sangat penting dalam merespon terhadap penyakit
parasitic dan alergi, pelepasan isi granulanya ke pathogen yang lebih besar
membantu dekstruksinya dan fagositosis. Sehingga praktikan berasumsi bahwa
jumlah eosinophil lebih tinggi dari jumlah normal, hal ini mungkin disebabkan
oleh adanya penyakit parasitic atau alergi yang diderita tikus putih sudah sangat
parah atau akut, sehingga jumlah neutrophil sehingga membutuhkan lebih banyak
sel eosinophil untuk melawan pathogen.
Menurut Preet (2011) peningkatan jumlah eosinofil atau jumlah eosinofil
lebih banyak dari jumlah eosinophil normal disebut dengan eosinophilia.
Penyebab biasanya adalah keadaan alergi dan infeksi penyakit. Menurut Frandson
(1992) menyatakan bahwa eosinophilia dapat terjadi karena infeksi parasite,
reaksi alergi dan kompleks antigen-antibodi setelah proses imun. Kemudian
penurunan jumlah eosinophil atau jumlah eosinophil lebih sedikit dari jumlah
eosinophil normal disebut dengan eosinopenia. Penyebab biasanya adalah
keadaan stress, hiperfungsi korteks adrenal, dan pengobatan menggunakan
kortekosteroid (Preet, 2011).
Jumlah sel basophil yang didapatkan pada darah tikus putih sehat
sebanyak 19.62%. Menurut Fox (1984) jumlah basophil dalam darah normal 0-
1.5% dari keseluruhan jumlah leukosit. Hasil yang didapatkan ini tidak sesuai
dengan teori, ketidaksesuaian dengan teori ini mungkin disebabkan ketidaktelitian
praktikan dalam menghitung dan mengamati bentuk sel basophil, sehingga
didapatkan data yang tidak sesuai. Sedangkan pada darah tikus putih sakit
didapatkan jumlah sel basophil sebanyak 20.00%. Hasil yang didapatkan lebih
tinggi dari teori. Menurut Preet (2011) menyatakan bahwa basofil bertanggung
jawab untuk memberi reaksi alergi dan antigen dengan jalan mengeluarkan
histamin kimia yang menyebabkan peradangan. Sehingga praktikan berasumsi
bahwa peningkatan jumlah sel basophil ini disebabkan oleh adanya alergi akut
yang diderita tikus putih.
Sel basophil yang lebih tinggi dari jumlah sel basophil normal disebut
dengan basofilia. Penyebab biasanya adalah proses inflamasi, leukemia, dan fase
penyembuhan infeksi. Sedangkan penurunan jumlah sel basophil disebabkan oleh
adanya stress, reaksi hipersensitivitas, dan kehamilan (Preet, 2011).
Jumlah sel limfosit yang didapatkan pada darah tikus sehat sebanyak
38.08%. Menurut Boscarino (1999) sel limfosit yang terdapat dalam darah normal
sebanyak 20-40% dari keseluruhan jumlah leukosit. Hasil yang didapatkan pada
praktikum ini sudah sesuai dengan teori. Sedangkan pada darah tikus putih sakit
didapatkan sel limfosit sebanyak 56.09%. hasil yang didapatkan terlalu tinggi dari
teori. Menurut Preet (2011) menyatakan bahwa limfosit adalah sel yang kompeten
secara imunologik dan membantu fagosit dalam pertahanan tubuh terhadap
infeksi dan invasi benda asing. Sehingga praktikan berasumsi bahwa adanya
peningkatan jumlah sel limfosit dikarenakan oleh adanya infeksi yang parah pada
tikus putih yang menyebabkan jumlah sel limfosit meningkat.
Limfositosis adalah suatu keadaan dimana terjadi peningaktan jumlah
limfosit lebih banyak dari normal. Penyebab biasanya adalah infeksi virus seperti
morbili, mononucleosis infeksiosa, infeksi kronik, dan kelainan limfoproliferatif.
Sedangkan penurunan jumlah sel limfosit lebih sedikit dari jumlah sel limfosit
normal disebut dengan limfopenia. Penyebab biasanya adalah kortikosterroid dan
obat-obat sitotoksis (Preet, 2011).
Jumlah sel monosit yang didapat dari darah tikus putih sehat sebanyak
10.77%. Menurut Sadikin (2002) jumlah sel monosit normal berkisar antara 5-
10%. Hasil yang didapatkan pada praktikum ini sudah sesuai dengan teori.
Sedangkan pada darah tikus putih sakit didapatkan hasil sel monosit sebanyak
5.65%. Hal ini sudah sesuai teori, mungkin saat darah tikus putih sakit diambil
jumlah monosit sudah stabil kembali dan monosit sudah selesai menjalankan
fungsinya. Fungsi monosit adalah membantu menyampaikan antigen kepada
limfosit untuk bekerja sama dalam system imun (Nur Hayati et al., 2011).
Faktor yang mempengaruhi jumlah leukosit adalah kondisi dan kesehatan
tubuh, umur, aktivitas otot. Perbedaan jumlah masing-masing sel leukosit dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktornya adalah faktor fisiologis,
yaitu masa hidup dari masing-masing sel leukosit tersebut. Masa hidup sel
leukosit yang memiliki granula relatif lebih singkat dibandingkan sel leukosit
yang tidak memiliki granula. Masa hidup sel leukosit yang memiliki granula
adalah 4-8 jam dalam sirkulasi darah dan 4-5 hari di dalam jaringan. Hal ini
disebabkan karena sel leukosit yang memiliki granula lebih cepat menuju daerah
infeksi dan melakukan fungsinya dari pada sel leukosit yang tidak memiliki
granula (Arber, 1992).

V. KESIMPULAN

Jumlah sel leukosit pada darah tikus putih sehat mengandung komponen sel
neutrophil sebanyak 12-30%, sel eosinophil sebanyak 1.5%, sel basophil sebanyak 0-
1.5%, sel limfosit sebanyak 20-40%, dan sel monosit sebanyak 5-10%. Sedangkan pada
darah tikus putih sakit jumlah masing-masing komponen sel leukosit mengalami
peningkatan (jumlahnya lebih banyak dari jumlah sel normal).
DAFTAR PUSTAKA

Arber, N., Berliner, S., Arber, L., Lipshitz, A., Sinai, Y., Zajicek, G., et al. 1992. The state of
leukocyte adhesiveness/aggregation in the peripheral blood is more sensitive than the
white blood cell count for the detection of acute mental stress. Journal of Psychosomatic
Research, 36, 37–46.
Bakri, Samsyul, dkk. 1989. Hematologi. Jakarta : Pesat Pendidikan Tenaga Kesehatan
Departemen Kesehatan RI.
Baratawidjaja K, Rengganis I. 2009. Imunologi Dasar, Edisi Kedelapan. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Indonesia.
Boscarino, J. A., & Chang, J. 1999. Higher abnormal leukocyte and lymphocyte counts 20 years
after exposure to severe stress: Research and clinical implications. Psychosomatic
Medicine, 61, 378 –386.
Campbell, N.A., Reece, J.B., Mitchell, L.G. 2004. Biology Fifth Edition. New York : Benjamin
Cummings Companies.
Effendi, Zukesti. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik Dalam Tubuh.
Sumatera Utara : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Fox, J. G., Cohen, B. J. and Loew, F. M. 1984. Laboratory Animal Medicine. Florida : Academic
Press, Inc.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Handayani , Wiwik dan Andi Sulistyo Haribowo. 2008. Asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem hematologi. Jakarta : Salemba Medika.
Hoffbrand, A.V. dan Pettit J.E., 1996. Kapita Selekta : Hematologi (Essential Haematology).
Edisi II. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Hoffbrand, Victor. 2006. At a Glance Hematology. Jakarta: EMS.
Junqueira LC, Caneiro J. 2005. Basic Histology Text & Atlas. USA: The Mc Graw-Hill
Kresno, S. 1996. Imunologi : Diagnosis dan prosedur Laboratorium. Jakarta : FKUI.
Mader SS. 2000. Human Biology Sixth Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Murray, Robert K., et al. 2003. Biokimia Harper. Dalam: Anna P. Bani., ed. Edisi ke-25. Jakarta:
EGC.
Nurhayati, Siti., Darlina & Tur Rahardjo. 2011. Perubahan Jenis Leukosit pada Mencit yang
Diimunisasi dengan PLasmodium Berghei yang Diradiasi. Seminar Nasional SDM
Teknologi Nuklir VII.
Preet, S. and Prakash, S. 2011. Haematological profile in Rattus norvegicus during experimental
cysticercosis. J. Par. Dis.35: 144-147.
Sadikin, Muhammad. 2002. Biokimia Darah. Jakarta: Widia Medika.
Sherwood, Lauralee. 2007. Human Physiology from Cells to Systems 7 Edition. Canada:
Books/cole,Cengage Learning.
Smith, J.B., Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan
Percobaan di Daerah Tropis. Tikus Laboratorium (Rattus norvegicus). Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia.
Tizard I. 2000. Veterinary Immunology An Introduction. Ed ke-6. Philadelphia: WB Saunders
Company.
Widmann, FK. 1989. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi ke-9, Jakarta:
EGC.
LAMPIRAN

I. Tabel 1: Data hasil pengamatan jumlah leukosit pada tikus sehat


Leukosit
Jenis

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 ∑ %
Neutrofil

1. 1 1 10 2 1 1 1 1 3 5 5 3 2

36 13.85%
Eosinofil

2. 2 1 2 4 6 4 5 1 1 2 1 1 2 2 1 4 1 3 3

46 17.69%
Basofil

3. 1 1 3 5 3 5 2 1 2 4 3 4 5 6 1 1 1 3

51 19.62%
Limfosit

4. 7 2 5 3 1 4 1 7 8 8 7 6 9 4 7 3 3 2 1 4 2 2 2 1

99 38.08%
Monosit

5. 1 5 1 2 2 1 4 2 1 1 2 1 2 1 1 1

28 10.77%
Jumlah 260
II. Tabel 2: Data hasil pengamatan jumlah leukosit pada tikus sakit
Leukosit
Jenis
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 ∑ %
Neutrofil

1. 1 6 3 1 3 1 1 2 1 1

20 8.70%
Eosinofil

2. 1 1 1 2 3 3 2 2 1 1 2 3

22 9.57%
Basofil

3. 5 4 3 5 3 7 1 9 4 4 1

46 20.00%
Limfosit

4. 7 6 2 4 1 2 2 7 10 10 10 9 10 7 1 4 4 4 10 9 10

129 56.09%
Monosit

5. 2 2 2 1 2 1 1 1 1

13 5.65%
Jumlah 230

Anda mungkin juga menyukai