I. TUJUAN
Mengetahui status kesehatan berdasarkan jumlah dan komposisi leukosit pada dasar tikus
putih.
Tubuh sangat mudah dan rentan terserang penyakit maka dari itu perlu adanya
sistem kekebalan tubuh baik itu yang bawaan ataupun yang dari luar seperti imunisasi,
dalam tubuh sistem kekebalan dihasilkan, diatur dan dikendalikan oleh sel darah putih
disebut leukosit. Leukosit memiliki peranan dalam pertahanan seluler dan humoral
organisme terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan
melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara
sel-sel endotel dan menembus ke dalam jaringan penyambung (Effendi, 2003).
Leukosit akan menanggapi segala zat asing yang masuk ke dalam tubuh melalui
respon yang disebut respon imun, di dalam tubuh respon imun terdapat dua macam yaitu
imun alamiah (non-spesifik) dan imun adaptif (spesifik), respon imun alamiah memang
sudah merupakan reaksi tersendiri dari tubuh untuk melindungi dirinya sendiri, kemudian
imun adaptif berasal dari luar tubuh (Mader, 2000).
Respon imun non-spesifik merupakan imunitas bawaan (innate imunity) dimana
respon imun terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah
terpapar oleh zat tersebut (Kresno, 1996). Imunitas non-spesifik berperan paling awal
dalam pertahanan tubuh melawan mikroba pathogen yaitu dengan menghalangi
masuknya mikroba dan dengan memngeliminasi mikroba yang masuk ke jaringan tubuh
(Abbas et al., 2014). Respon imun jenis ini akan selalu memberikan respon yang sama
terhadap semua jenis agen infektif dan tidak memiliki kemampuan untuk mengenali agen
infektif meskipun sudah terpapar sebelumnya. Termasuk dalam respon imun non-spesifik
antara lain pertahanan fisik, biokimia, humoral dan selular (Baratawidjaja & Rengganis,
2009).
Respon imun spesifik merupakan respon yang di dapat dari stimulasi oleh agen
infektif (antigen/imunogen) dan dapat meningkat pada paparan berikutnya. Target dari
respon imun spesifik adalah antigen, yaitu suatu substansi yang asing (bagi hospes) yang
dapat menginduksi respon imun spesifik (Sherwood, 2007). Antigen bereaksi dengan
reseptor sel-T (TCR) dan antibody. Antigen dapat berupa molekul yang berada di
permukaan unsur pathogen maupun toksin yang diproduksi oleh antigen yang
bersangkutan.
Terdapat tiga tipe sel yang terlibat dalam respon imun spesifik yaitu sel T, sel B
dan APC (makrofag dan sel dendritic) (Sherwood, 2007). Respon imun spesifk meliputi
aktivasi dan maturasi sel T, sel mediator dan sel B untuk memproduksi antibody yang
cukup melawan antigen. Pada hakekatnya respon imun spesifik merupakan interaksi
antara berbagai komponen dalam system imun secara bersama-sama (Kresno, 1996).
Leukosit diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya granula di dalam sitoplasma
dibagi menjadi dua yaitu granulosit (mengandung granula di dalam sitoplasma) dan
agranulosit (tak mengandung granula) (Tizard, 2000). Granulosit terdiri atas netrofil (55-
70%), eosinofil (1-3%) dan basofil (0,5-1%). Sedangkan agranulosit terdiri atas limfosit
(limfosit T dan limfosit B) dan monosit (Junqueira dan Caneiro, 2005).
Neutrofil merupakan leukosit darah perifer yang paling banyak. Sel ini memiliki
masa hidup singkat, sekitar 10 jam dalam sirkulasi. Sekitar 50 % neutrofil dalam darah
perifer menempel pada dinding pembuluh darah. Neutrofil memasuki jaringan dengan
cara bermigrasi sebagai respon terhadap kemotaktik. Neutrofil merupakan sel yang paling
cepat bereaksi terhadap radang dan luka dibanding leukosit yang lain dan merupakan
pertahanan selama fase infeksi akut (Hoffbrand, 2006).
Neutrofil (Polimorf), sel ini berdiameter 12–15 µm memilliki inti yang khas padat
terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus dengan rangka tidak teratur dan
mengandung banyak granula merah jambu (azuropilik) atau merah lembayung. Neutrofil
disebut dengan leukosit polimorfonuklear karena polimorfonuklear memiliki kesamaan
dengan neutrofil yaitu memiliki bentuk sel yang aneh. Granula terbagi menjadi granula
primer yang muncul pada stadium promielosit, dan sekunder yang muncul pada stadium
mielosit dan terbanyak pada neutrofil matang. Kedua granula berasal dari lisosom, yang
primer mengandung mieloperoksidase, fosfatase asam dan hidrolase asam lain, yang
sekunder mengandung fosfatase lindi dan lisosom (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996).
Eosinophil adalah granulosit dengan inti yang terbagi menjadi 2 lobus dan
sitoplasma bergranula kasar, refraktil dan berwarna merah tua oleh zar warna yang
bereaksi asam yaitu eosin. Walauoun mamou melakukan fagositosis eosinophil tidak
mampu mebunuh kuman (Widmann,1989). Sel eosinophil ini sangat penting dalam
respon terhadap penyakit parasitik dan alergi. pelepasan isi granulnya ke patogen yang
lebih besar membantu dekstruksinya dan fagositosis berikutnya (Hoffbrand, 2006).
Fungsi utama eosinofil adalah detoksifikasi baik terhadap protein asing yang masuk ke
dalam tubuh melalui paru-paru ataupun saluran cerna maupun racun yang dihasilkan oleh
bakteri dan parasite (Frandson, 1992).
Basophil mempunyai bentuk bulat dan intinya sulit dilihat karena tertutup oleh
granula. Granulanya sangat besar bulat, berwarna ungu tua, jumlahnya banyak tetapi
letaknya tidak terlalu rapat. Kadang-kadang vakuola tampak berwarna pucat dalam
sitoplasma. Basofil hanya terlihat kadang-kadang dalam darah tepi normal. Diameter
basofil lebih kecil dari neutrofil yaitu sekitar 9-10 µm. Jumlahnya 1% dari total sel darah
putih. Basofil memiliki banyak granula sitoplasma yang menutupi inti dan mengandung
heparin dan histamine (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996). Heparin ini dilepaskan di
daerah peradangan guna mencegah timbulnya pembekuan serta statis darah dan limfe,
sehingga sel basofil diduga merupakan prekursor bagi mast cell (Frandson, 1992).
Limfosit memiliki nucleus besar bulat dengan menempati sebagian besar sel
limfosit berkembang dalam jaringan limfe. Ukuran bervariasi dari 7 sampai dengan 15
mikron. Banyaknya 20-25% dan fungsinya membunuh dan memakan bakteri masuk ke
dalam jaringan tubuh. Limfosit ada 2 macam, yaitu limfosit T dan limfosit B (Handayani,
2008). Sel B bertanggung jawab atas sintesis antibodi humoral yang bersirkulasi yang
dikenal dengan nama imunoglobulin. Sel T terlibat dalam berbagai proses imunologik
yang diperantarai oleh sel. Imunoglobulin plasma merupakan imunoglobulin yang
disintesis di dalam sel plasma. Sel plasma merupakan sel khusus turunan sel B yang
menyintesis dan menyekresikan imonoglo-bulin ke dalam plasma sebagai respon
terhadap pajanan berbagai macam antigen (Murray, 2003).
Sebagian besar dari sel limfosit (T dan B) akan masuk ke dalam kelenjar getah
bening dan menetap sementara di dalamnya, sedang sebagian lain akan meninggalkan
kelenjar getah bening dan masuk kembali dalam sirkulasi. Begitu masuk ke dalam
kelenjar getah bening sel limfosit ini akan langsung menempati tempat-tempat yang telah
ditentukan untuk masing-masing sel T dan sel B. Limfosit B akan masuk ke dalam folikel
sedang limfosit T menempati daerah para-cortex dan medulla (Bakri, 1989). Jika ada
antigen masuk ke dalam tubuh kita maka limfosit T juga akan bertransformasi menjadi
imunoblast. Sedangkan pada limfosit B, rangsangan antigen menyebabkan transformasi
sel yang akhirnya menghasilkan sel-sel plasma. Sel plasma inilah yang membentuk
antibodi ("reaksi immunitas humoral"). Sel plasma yang merupakan produk akhir dari
limfosit B tidak lagi memiliki imunoglobulin pada permukaan selnya. Sel-sel ini juga
tidak memiliki reseptor terhadap komplemen, namun sebaliknya ia memiliki
imunoglobulin intraseluler (intracytoplasmic immunoglobulin) (Handayani, 2008).
III. BAHAN DAN METODE KERJA
A. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah kaca objek yang
digunakan untuk media dari sampel yang diamati dan kaca penutup yang
digunakan untuk menutup sampel agar tidak langsung mengenai lensa mikroskop.
alat tulis yang digunakan untuk menulis dan mikroskop yang digunakan untuk
memperbesar pandang apusan darah sehingga leukosit terlihat, , hair dryer yang
digunakan untuk mengeringkan kaca objek, dan tissue yang digunakan untuk
membersihkan kaca objek.
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah darah tikus putih yang
digunakan sebagai sampel, methanol yang digunakan untuk memfiksasi darah,
dan membersihkan alat, pewarna Giemsa yang digunakan untuk mewarnai
leukosit, dan apusan darah yang telah dibuat.
B. Cara Kerja
A. Hasil
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa jenis sel leukosit yang paling
banyak pada darah tikus putih sehat maupun tikus putih sakit adalah limfosit
dengan 38.08% pada tikus putih sehat dan 56.09% pada tikus putih sakit.
Sedangkan jenis sel leukosit yang paling sedikit pada darah tikus putih sehat
maupun tikus putih sakit adalah sel monosit dengan persentase 10.77% pada tikus
sehat dan 5.65% pada tikus sakit.
B. Pembahasan
V. KESIMPULAN
Jumlah sel leukosit pada darah tikus putih sehat mengandung komponen sel
neutrophil sebanyak 12-30%, sel eosinophil sebanyak 1.5%, sel basophil sebanyak 0-
1.5%, sel limfosit sebanyak 20-40%, dan sel monosit sebanyak 5-10%. Sedangkan pada
darah tikus putih sakit jumlah masing-masing komponen sel leukosit mengalami
peningkatan (jumlahnya lebih banyak dari jumlah sel normal).
DAFTAR PUSTAKA
Arber, N., Berliner, S., Arber, L., Lipshitz, A., Sinai, Y., Zajicek, G., et al. 1992. The state of
leukocyte adhesiveness/aggregation in the peripheral blood is more sensitive than the
white blood cell count for the detection of acute mental stress. Journal of Psychosomatic
Research, 36, 37–46.
Bakri, Samsyul, dkk. 1989. Hematologi. Jakarta : Pesat Pendidikan Tenaga Kesehatan
Departemen Kesehatan RI.
Baratawidjaja K, Rengganis I. 2009. Imunologi Dasar, Edisi Kedelapan. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Indonesia.
Boscarino, J. A., & Chang, J. 1999. Higher abnormal leukocyte and lymphocyte counts 20 years
after exposure to severe stress: Research and clinical implications. Psychosomatic
Medicine, 61, 378 –386.
Campbell, N.A., Reece, J.B., Mitchell, L.G. 2004. Biology Fifth Edition. New York : Benjamin
Cummings Companies.
Effendi, Zukesti. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik Dalam Tubuh.
Sumatera Utara : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Fox, J. G., Cohen, B. J. and Loew, F. M. 1984. Laboratory Animal Medicine. Florida : Academic
Press, Inc.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Handayani , Wiwik dan Andi Sulistyo Haribowo. 2008. Asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem hematologi. Jakarta : Salemba Medika.
Hoffbrand, A.V. dan Pettit J.E., 1996. Kapita Selekta : Hematologi (Essential Haematology).
Edisi II. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Hoffbrand, Victor. 2006. At a Glance Hematology. Jakarta: EMS.
Junqueira LC, Caneiro J. 2005. Basic Histology Text & Atlas. USA: The Mc Graw-Hill
Kresno, S. 1996. Imunologi : Diagnosis dan prosedur Laboratorium. Jakarta : FKUI.
Mader SS. 2000. Human Biology Sixth Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Murray, Robert K., et al. 2003. Biokimia Harper. Dalam: Anna P. Bani., ed. Edisi ke-25. Jakarta:
EGC.
Nurhayati, Siti., Darlina & Tur Rahardjo. 2011. Perubahan Jenis Leukosit pada Mencit yang
Diimunisasi dengan PLasmodium Berghei yang Diradiasi. Seminar Nasional SDM
Teknologi Nuklir VII.
Preet, S. and Prakash, S. 2011. Haematological profile in Rattus norvegicus during experimental
cysticercosis. J. Par. Dis.35: 144-147.
Sadikin, Muhammad. 2002. Biokimia Darah. Jakarta: Widia Medika.
Sherwood, Lauralee. 2007. Human Physiology from Cells to Systems 7 Edition. Canada:
Books/cole,Cengage Learning.
Smith, J.B., Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan
Percobaan di Daerah Tropis. Tikus Laboratorium (Rattus norvegicus). Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia.
Tizard I. 2000. Veterinary Immunology An Introduction. Ed ke-6. Philadelphia: WB Saunders
Company.
Widmann, FK. 1989. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi ke-9, Jakarta:
EGC.
LAMPIRAN
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 ∑ %
Neutrofil
1. 1 1 10 2 1 1 1 1 3 5 5 3 2
36 13.85%
Eosinofil
2. 2 1 2 4 6 4 5 1 1 2 1 1 2 2 1 4 1 3 3
46 17.69%
Basofil
3. 1 1 3 5 3 5 2 1 2 4 3 4 5 6 1 1 1 3
51 19.62%
Limfosit
4. 7 2 5 3 1 4 1 7 8 8 7 6 9 4 7 3 3 2 1 4 2 2 2 1
99 38.08%
Monosit
5. 1 5 1 2 2 1 4 2 1 1 2 1 2 1 1 1
28 10.77%
Jumlah 260
II. Tabel 2: Data hasil pengamatan jumlah leukosit pada tikus sakit
Leukosit
Jenis
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 ∑ %
Neutrofil
1. 1 6 3 1 3 1 1 2 1 1
20 8.70%
Eosinofil
2. 1 1 1 2 3 3 2 2 1 1 2 3
22 9.57%
Basofil
3. 5 4 3 5 3 7 1 9 4 4 1
46 20.00%
Limfosit
4. 7 6 2 4 1 2 2 7 10 10 10 9 10 7 1 4 4 4 10 9 10
129 56.09%
Monosit
5. 2 2 2 1 2 1 1 1 1
13 5.65%
Jumlah 230