Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN

SISTEM IMUN

Disusun oleh:

Nama : Didik Zulfahmi Akbar

Nim : 14640027

Asisten :

Kelompok : 4 (Empat)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2016
PRAKTIKUM ACARA 3
SISTEM IMUN
A. TUJUAN
1. Mengetahui jumlah leukosit pada tikus sehat dan tikus sakit.
2. Mengetahui komposisi leukosit pada tikus sehat dan tikus sakit.

B. DASAR TEORI
Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah atau non spesifik
(natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired). Kekebalan bawaan
(innate immunity) yaitu kekebalan diturunkan dan ada sejak lahir. Kekebalan bawaan
melakukan respon imun non-spesifik dalam waktu yang cepat. Kekebalan adaptif
(acquired immunity) yaitu kekebalan yang didapatkan dari pengenalan tubuh terhadap
antigen. Kekebalan adaptif melakukan respon imun spesifik dalam waktu yang lambat.
(Parslow, 1977)
Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Rata-
rata jumlah leukosit dalam darah normal adalah 5000- 9000/mm3 , bila jumlahnya lebih
dari 10.000/mm3 disebut leukositosis, bila kurang dari 5000/mm3 disebut leukopenia.
Leukosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular. Leukosit agranular
mempunyai sitoplasma yang homogen, intinya berbentuk bulat atau berbentuk ginjal.
Leukosit granular mengandung granula spesifik. (Effendi, Z., 2003).
Terdapat 2 jenis leukosit agranular yaitu :
1. Limfosit
Limfosit berdiameter kecil dari 10µm. Intinya gelap berbentuk bundar atau agak
berlekuk dengan kelompok kromatin kasar dan tidak berbatas tegas. Sitoplasmanya
berwarna biru-langit. (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996).
Sel-sel limfosit terbentuk dari "stem cells" kemudian menuju kelenjar thymus.
Sel limfosit yang telah diproses dalam kelenjar thymus dinamakan sel T. Sel limfosit
yang tidak mengalami proses pematangan dalam kelenjar thymus, mengalami
pematangan dalam sumsum tulang atau di kelenjar getah bening. Mempunyai
kemampuan untuk membentuk antibodi dalam reaksi imunitas. Sel ini dinamakan sel
limfosit B. Sel lomfosit T dan limfosit B yang baru terbentuk akan mengalir dalam
pembuluh darah dan pembuluh limfa. (Harryadi, 1980).
Cara kerja limfosit ketika terjadi infeksi yaitu, limfosit membentuk tiga macam
sel T, yang memiliki fungsi berbeda, yaitu: (Parslow, 1997)
1. Sel T sitotoksik (killer), berfungsi membunuh sel-sel berbagai bibit penyakit.
2. Sel T penekan mempunyai efek menstabilkan jumlah sel killer.
3. Sel T penolong (helper) membantu zat antibodi dan sel B penghasil antibodi.

Gambar 1.
Tiga macam sel T

Antibodi dihasilkan oleh limfosit, berupa sel T maupun sel B. Beda antara sel T
dan sel B adalah sel T langsung menyerang antigen, sel B memproduksi zat kimia
yang akan merusak antigen. Sel B akan bekerja efektif apabila dibantu/dirangsang
oleh sel T penolong (helper). Cara kerja sel T dengan sel B sebagai berikut :
1. Antigen menginfeksi tubuh.
2. Sel T mengenali antigen tersebut dan segera mengikatnya.
3. Sel T sitotoksik atau pembunuh akan menghancurkan sel asing/antigen.
4. Sel B di dalam organ-organ limfa mengeluarkan antibodi yang segera berinteraksi
dengan antigen.

Gambar. 2
Cara sel T bekerja menghadapi bibit penyakit

2. Monosit
Selnya berukuran 16-20 µm dan memiliki inti besar di tengah oval atau
berlekuk dengan kromatin mengelompok. Sitoplasma yang melimpah berwarna biru
pucat dan mengandung banyak vakuola halus sehingga memberi rupa seperti kaca.
(Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996)
Cara kerja monosit yaitu : monosit akan berkembang menjadi makrofag
setelah masuk ke dalam jaringan. Makrofag merupakan sel fagosit yang terbesar. Sel
makrofag ini memiliki kaki semu (pseudopodia) yang panjang. Pseudopadia ini
berfungsi melekatkan diri pada mikroba. Mikroba yang menempel pada pseudopodia
ini akan ditelan oleh makrofag dan kemudian dirusak oleh enzim-enzim lisosom
makrofag. (Abbas, 1991)
Terdapat 3 jenis leukosit agranular yaitu :
1. Neutrofil
Sel ini berdiameter 12–15 µm memilliki inti yang khas padat terdiri atas
sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus mengandung banyak granula merah
jambu (azuropilik). Granula terbagi menjadi granula primer yang muncul pada
stadium promielosit, dan sekunder yang muncul pada stadium mielosit dan
terbanyak pada neutrofil matang. (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996)
Neutrofil berfungsi menyerang dan mematikan bakteri penyebab penyakit
yang masuk ke dalam tubuh, cara kerja Neutrofil dengan menyelubungi sel bakteri
dan melepaskan enzim-enzim untuk merusak dinding eksternal dari parasit.. Proses
ini disebut dengan fagositosis. Proses tersebut dapat diketahui dan ditemukan pada
saat luka yang bernanah. Neutrofil dapat bertahan hidup 6 sampai 10 jam. (Abbas,
1991)
2. Basofil
Diameter basofil sekitar 9-10 µm. Jumlahnya 1% dari total sel darah putih.
Basofil memiliki banyak granula sitoplasma yang menutupi inti dan mengandung
heparin dan histamin. Dalam jaringan, basofil menjadi “mast cells”. (Hoffbrand,
A.V & Pettit, J.E, 1996)
Basofil berfungsi mencegah penggumpalan dalam pembuluh darah. Cara kerja
basofil jika terjadi cedera atau infeksi yaitu dengan mengeluarkan histamin,
bradikinin dan serotonin. Zat-zat ini meningkatkan permeabilitas kapiler dan aliran
darah ke daerah/tempat yang bersangkutan, menuju daerah yang diperlukan
mediator lain untuk mengeliminasi infeksi dan meningkatkan proses penyembuhan.
(Bellanti dan Rocklin, 1985)
Basofil mengeluarkan bahan alami anti-pembekuan heparin, yang memastikan
bahwa jalur pembekuan dan koagulasi tidak terus berlangsung tanpa pengawasan.
Basofil juga terlibat dalam pembentukan respon alergik. Sel-sel ini memiliki fungsi
sangat mirip dengan sel mast, yaitu sel pencetus peradangan jaringan tertentu.
Akan tetapi yang berbeda adalah basofil beredar dalam darah. (Bellanti dan
Rocklin, 1985)
3. Asidofil (eosinofil)
Sitoplasmanya lebih kasar dan berwarna lebih merah gelap (karena
mengandung protein basa) dan jarang terdapat lebih dari tiga lobus inti. Eosinofil
memasuki eksudat peradangan dan nyata memainkan peranan istimewa pada
respon alergi, pada pertahanan melawan parasit dan dalam pengeluaran fibrin yang
terbentuk selama peradangan. (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996)
Cara kerja Eosinofil yaitu dengan menyerang bakteri, membuang sisa sel yang
rusak, dan mengatur pelepasan zat kimia pada saat menyerang bakteri. Berperan
dalam melawan parasit multiseluler dan merespon alergi. (Bellanti dan Rocklin,
1985)
No Tipe Leukosit Gambar % dalam tubuh

1 Limfosit 25 %

2 Monosit 6%

3 Neutrofil 65 %

4 Eosinofil 4%

5 Basofil <1%

C. METODOLOGI PENELITIAN
1. Pembuatan Preparat Apus Darah
a. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah kaca objek yang digunakan
untukmedia dari sampel yang diamati dan kaca penutup yang digunakan untuk
menutup sampel gar tidak langsung mengenai lensa mikroskop.
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah darah tikus yang digunakan
sebagai sampel, methanol yang digunakan untuk memfiksasi darah, dan
membersihkan alat, pewarna Giemsa yang digunakan untuk mewarnai leukosit.
b. Cara Kerja
Cara kerja yang digunakan pada praktikum ini adalah alat yang digunakan
pada praktikum ini disiapkan yaitu dua buah gelas benda. Darah diteteskan pada
gelas benda 1. Gelas benda II diambil dan diposisikan di muka tetesan darah.
Salah satu ujung disentuhkan pada gelas benda I membentuk sudut 45 derajat,
gelas benda digerakkan dengan cepat dan teratur tanpa mengubah sudut kearah
lain sehingga lapisan darah tampak tipis. Selanjutnya apusan darah dikeringkan
dengan cara dianginkan. Setelah kering, apusan darah ditetesi dengan methanol
hingga menutupi apusan dan dibiarkan selama 3-5 menit. Sisa methanol dibuang
kemudian ditetetsi menggunakan pewarna Gymsa sampai menutupi apusan darah
dan dibiarkan selama 30 menit. Sisa warna dibuang dan dicuci dengan air
mengalir. Sisa air dikeringkan pada suhu ruang dan setelah kering diamati
dibawah mikroskop.
2. Hemogram
a. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah alat tulis yang digunakan
untuk menulis dan mikroskop yang digunakan untuk memperbesar pandang
apusan darah sehingga leukosit terlihat. Sedangkan bahan yang digunakan pada
praktikum ini adalah apusan darah yang telah dibuat.
b. Cara Kerja
Cara kerja pada kegiatan ini adalah preparat apusan darah diletakkan dibawah
mikroskop dan diamati dengan perbesaran lemah sampai pada bidang pandang
terdapat sel-sel darah. Perbesaran dipindah ke perbesaran kuat. Jenis dan jumlah
leukosit yang ditemukan pada setiap bidang pandang ditulis. Setiap kolom untuk
10 leukosit, sehingga diperoleh 100 leukosit. Dipilih bidang pandang secara acak
namun merata pada seluruh apusan namun tidak boleh kembali ke bidang
sebelumnya. Dihitung persentasi masing-masing leukosit pada tabel.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1: Data hasil pengamatan jumlah leukosit pada tikus sehat
Jenis
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 ∑ %
Isolat

1. Neutrofil 1 1 10 2 1 1 1 1 3 5 5 3 2 36 13.85%

2. Eosinofil 2 1 2 4 6 4 5 1 1 2 1 1 2 2 1 4 1 3 3 46 17.69%

3. Basofil 1 1 3 5 3 5 2 1 2 4 3 4 5 6 1 1 1 3 51 19.62%

4. Limfosit 7 2 5 3 1 4 1 7 8 8 7 6 9 4 7 3 3 2 1 4 2 2 2 1 99 38.08%

5. Monosit 1 5 1 2 2 1 4 2 1 1 2 1 2 1 1 1 28 10.77%

Jumlah 260

Tabel 2: Data hasil pengamatan jumlah leukosit pada tikus sakit

Jenis
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 ∑ %
Isolat

1. Neutrofil 1 6 3 1 3 1 1 2 1 1 20 8.70%

2. Eosinofil 1 1 1 2 3 3 2 2 1 1 2 3 22 9.57%

3. Basofil 5 4 3 5 3 7 1 9 4 4 1 46 20.00%

4. Limfosit 7 6 2 4 1 2 2 7 10 10 10 9 10 7 1 4 4 4 10 9 10 129 56.09%

5. Monosit 2 2 2 1 2 1 1 1 1 13 5.65%

Jumlah 230
Gambar. 3. Grafik perbandingan persentase jumlah leukosit tikus sehat dan tikus sakit
Praktikum berjudul “Sistem Imun” ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui Mengetahui jumlah leukosit pada tikus sehat dan tikus sakit dan
mengetahui komposisi leukosit pada tikus sehat dan tikus sakit. . Digunakannya tikus
sebagai hewan objek percobaan adalah karena tikus mudah didapatkan dalam jumlah
banyak, mempunyai respon yang cepat, memberikan gambaran ilmiah yang mungkin
terjadi pada manusia, dan harganya relatif murah. (Bijanti, R. dan Partosoewignyo,
1992).
Berdasarkan hasil data yang diperoleh (Tabel 1 dan Tabel 2), sel darah putih
pada tikus sehat yaitu : 13.85% neutrofil, 17.69% eosinofil, 19.62% basofil, 38,08%
limfosit dan 10.77% monosit. Dapat diketahui bahwa sel leukosit yang tertinggi pada
tikus sehat yaitu limfosit, yang paling sedikit yaitu neutrofil.
Sedangkan pada tikus sakit yaitu : 8.70% neutrofil, 9.57% eosinofil, 20%
basofil, 56.09% limfosit dan 5.65% monosit. Dapat diketahui bahwa sel leukosit yang
tertiggi pada tikus sakit yaitu limfosit, yang paling sedikit yaitu monosit.
Dari hasil perhitungan tersebut, dapat diperoeh perbandingan jumlah leukosit
tikus sehat dan betina (Gambar. 3). Ternyata Leukosit tikus sehat lebih banyak dari
pada tikus sakit. Hal ini tidak sesuai dengan literatur, yang menyatakan bahwa tikus
sakit akan meningkatkan produksi leukosit. Karena leukosit berperan sebagai respon
untuk melawan infeksi yang disebabkan virus. Persentase limfosit dapat meningkat
akibat leukimia limfatik, infeksi mononukleus, maupun infeksi virus (Wayan et al.,
1981). Ketidak sesuaian ini kemungkinan disebabkan karena keadaan tikus yang
mengalami stress saat ditangkap atau sedang mengalami penurunan eritrosit karena
terluka.
Sedangkan untuk persentase komponen leukosit pada tikus sehat yang tertinggi
adalah limfosit dan terendah adalah neutrofil. Hal ini juga tidak sesuai dengan literatur,
neutrofil merupakan jenis sel yang terbanyak yaitu sebanyak 60 – 70% dari jumlah
seluruh leukosit atau 3000-6000 per mm3 darah normal. Jumlah limfosit menduduki
nomer 2 setelah neutrofil yaitu sekitar 1000-3000 per mm3 darah atau 20-30%. Monosit
berjumlah sekitar 3-8%. Jumlah sel eosinofil sebesar 1-3% atau 150-450 buah per mm3
darah. Basofil paling sedikit diantara sel granulosit yaitu sekitar 0.5%. (Queiroz et al.,
2001). Ketidak sesuaian ini kemungkinan disebabkam karena proses pengambilan darah
yang kurang baik, penangkapan tikus dari habitas aslinya, juga mungkin pada tikus
tersebut sistem imun sedang aktif terhadap suatu penyakit atau imunitas pada bagian
tubuh tertentu sehinga berpengaruh pada jumlah produksi sel limfositnya.
Faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah sel darah putih : (Corwin, 2009)
a. Jenis Kelamin
Pada laki-laki dan wanita normal leukosit dalam darah jumlahnya lebih sedikit
daripada eritrosit.
b. Usia
Orang dewasa memiliki jumlah leukosit lebih banyak dibanding anakanak.
c. Iklim (Tempat Ketinggian)
Orang yang hidup di dataran tinggi cenderung memiliki jumlah leukosit lebih
banyak.
d. Kondisi tubuh Seseorang
Sakit dan luka yang mengeluarkan banyak darah dapat mengurangi jumlah
leukosit dalam darah.
e. Spesies
f. Komposisi leukosit yaitu neutrophilia (meningkatnya jumlah neutrofil.

E. KESIMPULAN
1. Berdasarkan data pengamatan, jumlah leukosit pada tikus sehat yaitu sebanyak 260 sel
dengan 36 sel neutrofil, 46 sel eosinofil, 51 sel basofil, 99 sel limfosit dan 28 sel
monosit, sedangkan jumlah leukosit pada tikus sakit yaitu 230 dengan 20 sel neutrofil,
22 sel eosinofil, 46 sel basofil, 129 sel limfosit dan 13 sel monosit.
2. Komposisi leukosit yang diperoleh dari pengamatan antara lain, pada tikus sehat,, :
13.85% neutrofil, 7.69% eosinofil, 19.62% basofil, 38.08% limfosit, dan 10.77%
monosit. Sedangkan komposisi leukosit pada tikus sakit antara lain: 8.70% neutrofil,
57% eosinofil, 20% basofil, 56.09% limfosit dan 5.65% monosit.
F. DAFTAR PUSTAKA
Abbas KA, Lichman AH, Rober JS. 1991. Cellular and molecular immunology.
Philadelphia: WB Saunders Company.
Bijanti, R. dan Partosoewignyo, S. 1992. Hematologi Veteriner. Edisi I. Surabaya :
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Bellanti JA, Rocklin RE. 1985. Cell mediated immune reactions. In: Bellanti JA.
Immunology III. Philadelphia: WB Saunders Company
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Effendi, Zukesti. 2003. Peranan Leukosit sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh.
Fakultas Kedokteran: Universitas Sumatera Utara.
Handayani, Wiwik. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Hematologi. Salemba Medika: Jakarta
Harryadi R. 1980. Limfoma Malignum : Kanker atau Reaksi Imunologik yang Normal.
Cermin Dunia Kedokteran No.18 : 30-32
Hesse, M. 1981. Alkaloid Chemistry. John Wiley and Sons, Inc: Toronto Heumann D.
1983. Human Large Granular Lymphocytes contain an Esterase Activity usually
Considered as Specific for The Myeloid Series. Eur Journal Immunol Vol. 13 :
254-258
Hoffbrand, Victor. 2006. At a Glance Hematology. EMS: Jakarta
Parslow TG. 1977. The immune response. In : Stites DP, Terr Al, Parslow TG. Ed.
Medical immunology. 9th. Ed. Connecticut: Appleton & Lange.
Queiroz, A.O., P.A. Legey, S.C.C. Xavier, and A.M. Jansen. 2001. Specific antibody
levels and antigenic recognition of wistar rats inoculated with distinct isolates of
Trypanosoma evansi. Memórias do Instituto Oswaldo Cruz
Wayan, T.A., B. Narianodan, dan S. Mangkuwijdojo. 1981. Perubahan hematologi kelinci
yang diinfeksi dengan Trypanosoma evansi. Proceeding Seminar Nasional II.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai