Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

PARASIT DAN PENYAKIT IKAN


PROTOZOA (Balantidium dan Tetrahymena)

Disusun oleh :

Dini Maliha 230110130036


Fakhri Fathurrahman 230110130090
Logica Innayatulloh 230110130207
Gilang Trianzah 230110130209
Ruth Mawar 230110130211
Sona Yudha Diliana 230110130217
Eva Amalia Destyani 230110130221

Kelompok 7/ Perikanan C

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2015
KATA PENGANTAR

Kami ucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, hikmah, serta hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Parasit dan Penyakit Ikan ini dengan baik. Adapun materi
yang kami bahas dalam makalah ini adalah mengenai “Balantidium dan
Tetrahymena”.
Segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti memiliki tujuan. Begitu pula
dengan pembuatan makalah ini. Tujuan penulisan laporan ini adalah memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Parasit dan Penyakit semester genap tahun akademik
2014-2015.
Akhir kata, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan karunia-Nya dan
membalas segala amal budi serta kebaikan pihak-pihak yang membantu kami
dalam penyelesaian makalah ini. Sekali lagi, kami sangat berharap laporan ini
dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Terakhir, semoga di masa
yang akan datang penyusun mampu membuat karya yang lebih baik.

Jatinangor, April 2015

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Bab Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Tujuan .............................................................................................. 2

II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Parasit dan Penyakit Ikan ................................................................
2.2 Protozoa ...........................................................................................
2.3 Ciliata ..............................................................................................

III PEMBAHASAN
3.1 Balantidium .....................................................................................
3.1.1 Ciri Morfologi .............................................................................
3.1.2 Klasifikasi ...................................................................................
3.1.3 Siklus Hidup ...............................................................................
3.1.4 Tanda Klinis ................................................................................
3.1.5 Pengobatan ..................................................................................
3.2 Tetrahymena ....................................................................................
3.2.1 Ciri Morfologi .............................................................................
3.2.2 Klasifikasi ...................................................................................
3.2.3 Siklus Hidup ...............................................................................
3.2.4 Tanda Klinis ................................................................................
3.2.5 Pengobatan ..................................................................................

IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ......................................................................................
4.2 Saran ................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................


LAMPIRAN .............................................................................................

ii
DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman
1 Morfologi dan bagian Balantidium coli . ............................................... 11
2 Perbedaan Morfologi Balantidium pada fase kista dan tropozoit .......... 12
3 Perbedaan Morfologi Balantidium pada fase (a) tropozoit dan (b) Kista 12
4 Perubahan fase pada Balantidium coli ................................................... 13
5 Siklus Hidup Balantidium coli pada Manusia ........................................ 14
6 Siklus Hidup Balantidium coli ............................................................... 15
7 Balantidium coli yang teridentifikasi pada Gastrointestinal .................. 15
8 Morfologi Tetrahymena spp .................................................................... 19
9 Siklus Hidup Tetrahymena spp. ............................................................. 20
10 Infeksi Tetrahymena spp. pada sirip ikan .............................................. 21
11 Ikan yang terinfeksi Tetrahymena spp. (a) pada kulit/sisik (b) jaringan. 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam budidaya perikanan kewaspadaan terhadap penyakit perlu sekali
mendapat perhatian utama. Penyakit pada ikan dapat disebabkan oleh agen
infeksi seperti parasit, bakteri, dan virus, serta agen non infeksi seperti kualitas
pakan yang jelek, maupun kondisi lingkungan yang kurang menunjang bagi
kehidupan ikan. Timbulnya serangan penyakit merupakan hasil interaksi yang
tidak serasi antara ikan, kondisi lingkungan dan organisme atau agen penyebab
penyakit (Afrianto dan Liviawaty 1992).
Kegiatan budidaya ikan baik jenis ikan konsumsi ataupun ikan hias
merupakan kegiatan yang mempunyai risiko tinggi, karena ikan bisa terkena
parasit ataupun penyakit yang dapat menyebabkan kematian atau menurunkan
nilai ekonomis dari ikan tersebut.
Penyakit parasitik merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering
menyerang ikan, terutama pada usaha pembenihan. Serangan parasit bisa
mengakibatkan terganggunnya pertumbuhan, kematian bahkan penurunan
produksi ikan. Salah satu organisme yang bersifat parasit adalah golongan
protozoa.
Di perairan bebas, terdapat berbagai macam parasit dengan variasi yang
luas tetapi jumlahnya sedikit. Sedangkan dalam kegiatan budidaya, parasit
terdapat dengan variasi yang sedikit tetapi jumlahnya banyak.
Setiap parasit memiliki siklus hidup yang berbeda-beda, baik yang
memerlukan inang ataupun tidak. Gejala yang ditimbulkan dari infeksinya pun
antar jenis parasit berbeda, sehingga diperlukan penanggulangan dan pengobatan
yang berbeda. Untuk itu, mengetahui karakteristik dari parasit dan penyakit itu
penting untuk diketahui.

1
2

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memahami dan
menjelaskan karakteristik parasit dan penyakit ikan dari filum protozoa kelas
ciliata melalui ciri morfologi, klasifikasi, siklus hidup, tanda klinis dan
pengobatannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Parasit dan Penyakit Ikan


Penyakit ikan adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan ganguan
baik fisik maupun fisiologis pada ikan. Gangguan ini dapat disebabkan oleh
organisme lain, kondisi lingkungan atau campur tangan manusia. Sakit adalah
suatu kondisi dimana terjadi gangguan atau ketidaknormalan fungsi pada ikan
baik secara fisik ataupun fisiologis. Sakit dan penyakit ini dapat disebabkan oleh
ketidakserasian yang terjadi di dalam lingkungan atau ekosistem dimana ikan
tersebut berada. Dengan kata lain penyakit merupakan interaksi yang tidak serasi
antara ikan dengan faktor biotik (organisme) dan faktor abiotik (lingkungan).
Interaksi yang tidak serasi ini akan menimbulkan stress pada ikan sehingga
menyebabkan daya pertahanan tubuh menurun dan akibatnya mudah timbul
berbagai penyakit.
Menurut Usman (2007) faktor biotik yang dimaksud yang merugikan ikan
di dalam ekosistem dapat dibagi atas empat kelompok besar yakni:
1) Parasit, yaitu organisme yang hidup dan memperoleh makanan dari host
(inang) yang ditumpanginya. Kedalam golongan ini termasuk bakteri,
protozoa, virus, crustacea (udang renik), cacing dan jamur.
2) Hama, yaitu organisme yang mengganggu atau merusak ikan secara fisik
contohnya Tryonix sp (bulus), Egretta sp (burung kuntul), dan ular air
(Cerberus rhyncops).
3) Predator, yakni hewan karnivora pemangsa misalnya Varanus salvador
(biawak)
4) Kompetitor, yakni organisme yang merupakan pesaing dalam memperoleh
oksigen, ruang dan makanan seperti ikan-ikan liar, belut dan lain-lain.

Menurut Usman (2007) faktor non biotik yang sering juga disebut sebagai
faktor non parasiter, terdiri beberapa faktor, antara lain;
1) Faktor lingkungan; Diantara faktor lingkungan yang dapat merugikan
kesehatan ikan ialah pH air yang terlalu tinggi atau rendah, kandungan

3
4

oksigen yang rendah, temperatur yang berubah secara tiba-tiba, adanya gas
beracun serta kandungan racun yang berada di dalam air yang berasal dari
pestisida, pupuk, limbah pabrik, dan limbah rumah tangga.
2) Pakan. Penyakit dapat timbul karena kualitas pakan yang diberikan tidak
baik. Gizi rendah, kurang vitamin, busuk atau telalu lama disimpan serta
pemberian pakan yang tidak tepat.
3) Turunan. Penyakit turunan atau genetis dapat berupa bentuk tubuh yang
tidak normal dan pertumbuhan yang lambat.

Sesuai dengan sifatnya, maka penyakit dapat digolongkan menjadi dua


yakni penyakit infektif dan penyakit non-infektif. Penyakit infektif adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh organisme pathogen yang berasal dari virus,
bakteri, jamur ataupun parasit. Adapun penyakit non infektif adalah penyakit yang
disebabkan oleh gangguan non pathogen seperti nutrisi (makanan), kualitas air,
bahan toxic, dan genetik (Susanto 2009).
Pemicu terjadinya serangan penyakit antara lain adanya
ketidakseimbangan antara daya dukung lingkungan dengan kuantitas produksi
dalam satu areal budidaya (infeksi tidak seimbang antara ikan, pathogen, dan
lingkungannya). Ditambahkan oleh Anshary (2008) bahwa salah satu bentuk
hubungan simbiosis adalah parasitisme, dimana ciri khas hubungan simbiosis ini
adalah salah satu jenis organisme yang disebut “parasit” hidup dan mendapat
keuntungan dari organisme lainnya yang disebut “inang”.
Secara umum, parasit dapat didefinisikan sebagai organisme yang hidup
pada organisme lain, yang disebut inang, dan mendapat keuntungan dari inang
yang ditempatinya hidup, sedangkan inang menderita kerugian. Parasit memiliki
habitat tertentu dalam tubuh inangnya. Berdasarkan lingkungannya, parasit
dibedakan menjadi ektoparasit, yaitu parasit yang hidup pada permukaan tubuh
inang dan yang memperoleh makanan dengan mengirimkan haustorium masuk ke
dalam sel-sel tumbuh inang itu (Anshary 2008).
Beberapa golongan parasit yang bersifat ektoparasit antara lain adalah
ciliata, beberapa flagellata, monogenea, copepod, isopod, branchiuran dan lintah,
sedangkan endoparasit adalah parasit yang ditemukan pada organ bagian dalam
5

inang. Golongan parasit yang masuk kelompok endoparasit antara lain adalah
digenea, cestoda, nematoda, acantocephala, coccidia, microsporidia, dan amoeba.
Selanjutnya Kabata dalam Anshary (2008) menambahkan istilah yang disebut
Mesoparasit untuk memberikan istilah pada parasit yang menginfeksi ikan dimana
sebagian dari tubuh parasit menembus sampai organ dalam tubuh inang
sedangkan bagian tubuh lainnya berada diluar tubuh inang. Contoh mesoparasit
adalah parasit Lernaeocera sp. yang hidup pada rongga insang ikan gadid dan
dapat menembus jantung ikan untuk mengisap darah (Anshary 2008).
Adaptasi morpologi parasitisme nampak pada bentuk tubuh parasit,
dimana bentuk parasit tergantung pada lokasinya dalam inang. Ektoparasit yang
hidup pada bagian luar tubuh ikan umumnya berbentuk datar dorsoventral, agak
konkaf pada salah satu sisi dan convex pada sisi lainnya, bagian sisi konkaf
melekat pada inang dan berperan seperti keping pengisap. Parasit jenis ini sulit
terlepas oleh arus ketika ikan berenang. Contoh parasit ini adalah Ciliata
(Chilodonella sp., Trichodina sp.), Branchiuran (Argulus sp.), Copepoda
(Lepeopthirius sp., Caligus sp.), dan banyak spesies Monogenea (Entobdella sp.,
Benedenia sp.) (Anshary 2008).
Untuk mengetahui tingkat infeksi/serangan parasit dalam populasi inang
dikenal istilah prevalensi, intensitas dan kelimpahan parasit. Prevalensi
menggambarkan persentase ikan yang terinfeksi oleh parasit tertentu dalam
populasi ikan, intensitas menggambarkan jumlah parasit tertentu yang ditemukan
pada ikan yang diperiksa dan terinfeksi, sedangkan kelimpahan rata-rata adalah
jumlah rata-rata parasit tertentu yang ditemukan dalam populasi pada ikan baik
yang terinfeksi maupun tidak (Fernando et al. 1972 dalam Jahja 2009).

2.2 Protozoa
Istilah Protozoa berasal dari bahasa Yunani, yaitu protos berarti pertama
dan zoon berarti hewan. Setiap individu protozoa tersusun dari organela–organela
yang merupakan kesatuan lengkap dan sanggup melakukan semua fungsi
kehidupan. Sebagian besar protozoa hidup bebas di alam, tetapi beberapa jenis
hidup sebagai parasit pada hewan dan manusia.
6

Semua protozoa mempunyai vakuola kontraktil. Vakuola dapat berperan


sebagai pompa untuk mengeluarkan kelebihan air dari sel, atau untuk mengatur
tekanan osmosis. Jumlah dan letak vakuola kontraktil berbeda pada setiap spesies.
Protozoa dapat berada dalam bentuk vegetatif (trophozoite), atau bentuk istirahat
yang disebut kista. Protozoa pada keadaan yang tidak menguntungkan dapat
membentuk kista untuk mempertahankan hidupnya. Saat kista berada pada
keadaan yang menguntungkan, maka akan berkecambah menjadi sel vegetatifnya.
Protozoa tidak mempunyai dinding sel, dan tidak mengandung selulosa
atau khitin seperti pada jamur dan algae. Kebanyakan protozoa mempunyai
bentuk spesifik, yang ditandai dengan fleksibilitas ektoplasma yang ada dalam
membran sel. Beberapa jenis protozoa seperti Foraminifera mempunyai kerangka
luar sangat keras yang tersusun dari Si dan Ca. Beberapa protozoa seperti
Difflugia, dapat mengikat partikel mineral untuk membentuk kerangka luar yang
keras. Radiolarian dan Heliozoan dapat menghasilkan skeleton. Kerangka luar
yang keras ini sering ditemukan dalam bentuk fosil. Kerangka luar Foraminifera
tersusun dari CaO2 sehingga koloninya dalam waktu jutaan tahun dapat
membentuk batuan kapur.
Tabel 1. Sistem Organ pada Protozoa
Sistem Penjelasan
Pencernaan Protozoa mengambil makanan melalui air dan menyimpan
makanan di kantung yang disebut vakuola. Mereka memakan
ganggang kecil dan bakteri.
Saraf Protozoa memiliki tingkat reaksi yang sangat rendah terhadap
dunia di sekitar itu dan tidak mempunyai sistem saraf. Mereka
dapat bereaksi terhadap cahaya dan perubahan suhu.
Sirkulasi Protozoa memiliki aliran air yang masuk melalui pori-pori.
Air berisi makanan dan kebutuhan oksigen protozoa.
Respirasi Protozoa mengambil oksigen dan mengeluarkan karbon
dioksida melalui membran selnya.
Reproduksi Protozoa dapat berkembang biak secara seksual dan aseksual.
Ekskresi Protozoa memiliki kantung disebut vakuola yang berfungsi
mengambil dan membuang air.
Simetri Protozoa biasanya asimetris.
Warna Protozoa umumnya berwarna pucat.
7

Protozoa merupakan sel tunggal, yang dapat bergerak secara khas


menggunakan pseudopodia (kaki palsu), flagela atau silia, namun ada yang tidak
dapat bergerak aktif. Berdasarkan alat gerak yang dipunyai dan mekanisme
gerakan inilah protozoa dikelompokkan ke dalam 4 kelas. Protozoa yang bergerak
secara amoeboid dikelompokkan ke dalam Sarcodina, yang bergerak dengan
flagela dimasukkan ke dalam Mastigophora, yang bergerak dengan silia
dikelompokkan ke dalam Ciliophora, dan yang tidak dapat bergerak serat
merupakan parasit hewan maupun manusia dikelompokkan ke dalam Sporozoa.
Mulai tahun 1980, oleh Commitee on Systematics and Evolution of the
Society of Protozoologist, mengklasifikasikan protozoa menjadi 7 kelas baru,
yaitu Sarcomastigophora, Ciliophora, Acetospora, Apicomplexa, Microspora,
Myxospora, dan Labyrinthomorpha. Pada klasifikasi yang baru ini, Sarcodina dan
Mastigophora digabung menjadi satu kelompok Sarcomastigophora, dan Sporozoa
karena anggotanya sangat beragam, maka dipecah menjadi lima kelas.
Contoh protozoa yang termasuk Sarcomastigophora adalah genera
Monosiga, Bodo, Leishmania, Trypanosoma, Giardia, Opalina, Amoeba,
Entamoeba, dan Difflugia. Anggota kelompok Ciliophora antara lain genera
Didinium, Tetrahymena, Paramaecium, dan Stentor. Contoh protozoa kelompok
Acetospora adalah genera Paramyxa. Apicomplexa beranggotakan genera
Eimeria, Toxoplasma, Babesia, Theileria. Genera Metchnikovella termasuk
kelompok Microspora. Genera Myxidium dan Kudoa adalah contoh anggota
kelompok Myxospora (Gusrina 2008).
Pada kondisi budidaya, spesies protozoa tertentu dapat menyebabkan
penyakit yang menghasilkan mortalitas tinggi yang berdampak pada kerugian
ekonomi yang cukup besar pada ikan air tawar maupun ikan air laut (Gusrina
2008).
Protozoa hidup di air atau setidaknya di tempat yang basah. Mereka
umumnya hidup bebas dan terdapat di lautan, lingkungan air tawar, atau daratan.
Beberapa spesies bersifat parasitik, hidup pada organisme inang. Inang protozoa
yang bersifat parasit dapat berupa organisme sederhana seperti algae, sampai
8

vertebrata yang kompleks, termasuk manusia. Beberapa spesies dapat tumbuh di


dalam tanah atau pada permukaan tumbuh-tumbuhan.
Semua protozoa memerlukan kelembaban yang tinggi pada habitat
apapun. Beberapa jenis protozoa laut merupakan bagian dari zooplankton.
Protozoa laut yang lain hidup di dasar laut. Spesies yang hidup di air tawar dapat
berada di danau, sungai, kolam, atau genangan air. Ada pula protozoa yang tidak
bersifat parasit yang hidup di dalam usus termit atau di dalam rumen hewan
ruminansia.
Beberapa protozoa berbahaya bagi manusia karena mereka dapat
menyebabkan penyakit serius. Protozoa yang lain membantu karena mereka
memakan bakteri berbahaya dan menjadi makanan untuk ikan dan hewan lainnya.
Protozoa dapat berkembang biak secara seksual dan aseksual. Secara
aseksual protozoa dapatmengadakan pembelahan diri menjadi 2 anak sel (biner),
tetapi pada Flagelata pembelahan terjadi secara longitudinal dan pada Ciliata
secara transversal. Beberapa jenis protozoa membelah diri menjadi banyak sel
(schizogony). Pada pembelahan schizogony, inti membelah beberapa kali
kemudian diikuti pembelahan sel menjadi banyak sel anakan. Perkembangbiakan
secara seksual dapat melalui cara konjugasi, autogami, dan sitogami. Protozoa
yang mempunyai habitat atau inang lebih dari satu dapat mempunyai beberapa
cara perkembangbiakan. Sebagai contoh spesies Plasmodium dapat melakukan
schizogony secara aseksual di dalam sel inang manusia, tetapi dalam sel inang
nyamuk dapat terjadi perkembangbiakan secara seksual. Protozoa umumnya
berada dalam bentuk diploid. Protozoa umumnya mempunyai kemampuan untuk
memperbaiki selnya yang rusak atau terpotong. Beberapa Ciliata dapat
memperbaiki selnya yang tinggal 10 % dari volume sel asli asalkan inti selnya
tetap ada.

2.3 Kelas Ciliophora (Ciliata)


Kehadiran silia yang menutupi sel dari organisme merupakan ciri khas
utama dari kelompok ini, oleh karena itu dinamai Ciliophora. Namun, perbedaan
sitologi utama adalah kehadiran dua jenis inti, yaitu mikronukleus dan
9

macronucleus. Radiasi adaptif kelompok ini selama evolusi telah menghasilkan


beberapa spesies sangat bagus dan beragam. Beberapa adalah sessile (misalnya
Suctorians atau Stentor) dan menangkap makanan dengan tentakel yang
menembus sitoplasma dan menarik mangsa, atau dengan complex membranelles
mendorong air yang membawa partikel aliran air ke dalam rongga vakuola
makanan bucal yang terbentuk. Beberapa siliata menghasilkan mineralisasi Lorica
(Tintinnids) atau mensekresi skala organik (misalnya Lepidotrachelophyllum).
Penyusunan silia pada permukaan tubuh dan di wilayah aparatus oral, kehadiran
struktur makanan yang khusus, dan organisasi dari pita subpellicular dari
mikrotubulus adalah kriteria penting yang digunakan dalam menciptakan kategori
taksonomi (Roger 1988).
Kebanyakan ciliata hidup bebas. Relatif sedikit yang parasit, dan hanya
satu spesies, Balantidium coli yang diketahui menyebabkan penyakit pada
manusia. Beberapa ciliata lainnya menyebabkan penyakit pada ikan, yang lainnya
adalah parasit atau commensals pada berbagai invertebrata. Sebagian besar yang
lain hidup di saluran pencernaan mamalia, di mana mereka menjalankan aktivitas
untuk menstabilkan populasi besar bakteri simbiotik yang memecah selulosa
dalam makanan hewan.
Ciliata yang hidup bebas dapat memakan bakteri, ganggang, atau bahkan
ciliata lainnya; Didinium adalah pemburu yang rakus dan konsumen ciliata
lainnya. Beberapa ciliata bersimbiosis dengan bakteri atau ganggang. Ciliata yang
hidup bebas dapat ditemukan hampir di mana saja di air, namun bentuk yang
berbeda mendominasi dalam habitat yang berbeda. Ciliata dalam tanah cenderung
berbentuk kecil yang dapat membentuk kista resisten untuk bertahan hidup lama
ketika kondisi kering. Tintinnids berlimpah di plankton laut, dimana mereka dan
ciliata lain mungkin mengkonsumsi sampai 90% dari produksi bakteri plankton
dan ganggang. Ciliata besar umum di lingkungan air tawar, khususnya air yang
telah diperkaya zat organik, misalnya oleh limbah (Linn dan Small 1991).
Ciliata bereproduksi secara aseksual dengan pembelahan: mikronukleus
mengalami mitosis, sedangkan pada sebagian besar ciliata, macronucleus hanya
terpisah menjadi dua. Namun, ciliata juga bereproduksi secara seksual, melalui
proses yang dikenal sebagai konjugasi. Konjugasi sering disebabkan oleh
10

kekurangan makanan. Dua ciliata dengan tipe kawin yang berlawanan datang
mendekat, bersama-sama dan membentuk sebuah jembatan sitoplasmik antara dua
sel, membagi micromuclei oleh meiosis, macronuclei hancur, dan konjugasi sel-
sel haploid micronuclei akan tertukar melalui koneksi sitoplasma. Mereka
kemudian memisahkan macronuclei, baru reformasi dari micronuclei, dan
membagi. Esensi reproduksi seksual adalah membentuk organisme baru dari
gabungan bahan genetik dari orang tua. Setelah konjugasi, masing-masing
pasangan Ciliata telah mengakuisisi materi genetik baru, dan membagi
menimbulkan progeni dengan kombinasi gen baru. Hal ini penting untuk
kelangsungan hidup garis keturunan Ciliata; ciliata paling tidak dapat
mereproduksi selamanya dengan pembelahan aseksual, dan akhirnya mati jika
tidak terjadi konjugasi (Linn dan Small 1991).
11

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Balantidium
Balantidium coli merupakan protozoa usus manusia yang terbesar dan
satu-satunya golongan ciliata manusia yang patogen, menimbulkan balantidiasis
atau ciliate dysenteri. Penyakit zoonosis yang sumber utamanya adalah babi
sebagai reservoir host, hidup di dalam usus besar manusia, babi dan kera.
Balantidium coli dalam siklus hidupnya memiliki 2 stadium, yaitu stadium
tropozoit dan kista. Siklus hidup Balantidium coli dan Entamoeba histolitica
sama, hanya saja bentuk kista dari Balantidium coli tidak dapat membelah diri
sebagaimana layaknya Entamoeba histolitica.

3.1.1 Ciri Morfologi

Gambar 1. Morfologi dan Bagian Tubuh Balantidium coli


(sumber : google.com)

Tropozoit berbentuk lonjong, ukuran 60-70 x 40-50 µm. Tubuh tertutup


silia pendek, kecuali di daerah mulut silia lebih panjang (adoral cilia). Bagian
anterior terdapat cekungan dinamakan peristom dan terdapat mulut (cytocome),
tidak memiliki usus namun dibagian posterior memiliki anus (cytoyge).
12

Terdapat 2 inti yang terdiri dari makronukleus (berbentuk ginjal) dan


mikronukleus (berbentuk bintik kecil) yang terdapat pada cekungan
makronukleus.
Terdapat vakuole makanan (berisi sisa makanan ; bakteri, leukosit,
erithrosit, dll) dan vakuole kontraktil. Tropozoit hidup dalam mukosa dan sub
mukosa usus besar, terutama di daerah sekum bagian terminal dari pada illeum.
Bergerak ritmis dengan perantaraan cilia. Tropozoit tidak dapat lama hidup di luar
badan, tetapi kista tetap hidup selama beberapa minggu. Kista yang dapat hidup di
luar badan adalah bentuk infektif. Bila tertelan oleh hospes baru, maka dinding
kista hancur dan trofozoit yang dilepaskan masuk dinding usus, dan
memperbanyak diri.
Kista berbentuk bulat, ukuran 50-60 µ, dinding dua lapis, sitoplasma
bergranul, terdapat makro & mikronukleus serta sebuah badan refraktil.

Gambar 2. Perbedaan Morfologi Balantidium pada fase kista dan tropozoit


(sumber : google.com)

(a) (b)
Gambar 3. Perbedaan Morfologi Balantidium pada fase (a) tropozoit dan (b) Kista
(sumber : google.com)
13

3.1.2 Klasifikasi
Kingdom : Protista
Subkingdom : Protozoa
Filum : Ciliophora
Kelas : Heterotrichea (Kinetofragminophorea)
Ordo : Heterotrichida
Famili : Balantidiidae
Genus : Balantidium
Spesies : Balantidium coli

3.1.3 Siklus Hidup


Infeksi B. coli terjadi dengan memakan bentuk kista melalui mekanan atau
minuman yang tercemar. Di dalam usus halus kista akan mengalami eksistasi
menjadi bentuk trofozoid. Bentuk tropozoid ini akan bermultiplikasi dengan cara
belah pasang di dalam lumen ileum dan cekum. Di dalam kolon berbentuk
tropozoid akan mengalami enkistasi menjadi kista yang akan dikeluarkan bersama
feses.
Stadium kista dan tropozoit dapat berlangsung di dalam satu jenis hospes.
Hospes alamiah adalah babi, dan manusia merupakan hospes insidentil. Jika kista
infektif tertelan di dalam usus besar akan berubah menjadi bentuk tropozoit. Di
lumen usus atau dalam submukosa usus, tropozoit tumbuh dan memperbanyak
diri (multiplikasi). Jika lingkungan usus kurang sesuai bagi tropozoit akan
berubah menjadi kista.

Gambar 4. Perubahan fase pada Balantidium coli


(Sumber : google.com)
14

Bentuk vegetatif selain bentuk yang masih makan, juga merupakan bentuk
yang berfungsi untuk berkembangbiak dengan cara belah transversal. Mula –
mula mikronukleus yang membelah diikuti oleh makronukleus dan sitoplasma
sehingga menjadi dua organisme yang baru. Kadang – kadang tampak pertukaran
kromatin (konjugasi). Reproduksi berlangsung seksual dan aseksual.
Perkembang biakan secara aseksual yaitu dengan belah pasang, yaitu
dengan membelah jadi dua parasit yang sama bentuknya. Hanya terjadi bila situasi
kurang menguntungkan. Misalnya tidak ada pejantan.
Perkembangbiakan secara seksual terjadi pada pembiakan ini dibentuk sel
kelamin, yaitu makrogametosit dan mikrogametosit yang kemudian membelah
membentuk makrogamet dan mikrogamet. Setelah pembuahan menjadi zigot. Inti
zigot membelah menjadi banyak yang disebut sporozoit. Proses ini disebut
sporogoni.

Gambar 5. Siklus Hidup Balantidium coli pada Manusia


(sumber : google.com)
15

Gambar 6. Siklus Hidup Balantidium coli


(Sumber : google.com)
3.1.4 Tanda Klinis
Parasit ini banyak ditemukan pada babi yang dipelihara (yang berkisar
antara 60 – 90%). Penularan antar babi satu ke babi yang lainnya mudah terjadi,
sekali – sekali dapat menular pada manusia (zoonosis).
Penularan pada manusia terjadi dari tangan ke mulut atau melalui makanan
yang terkontaminasi, misalnya pada orang yang memelihara babi dan yang
membersihkan kandang babi ; bila tangan ini terkontaminasi dengan tinja babi
yang mengandung bentuk kista dan kista ini tertelan, maka terjadilah infeksi.
Kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya
penularan.

Gambar 7. Balantidium coli yang teridentifikasi pada Gastrointestinal


(Sumber : google.com)
16

Penyakit yang ditimbulkan oleh balantidium coli hampir mirip dengan


penyakit yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica. Di selaput lendir usus
besar, bentuk vegetatif membentuk abses- abses kecil yang kemudian pecah
manjadi ulkus yang menggaung. Penyakit ini dapat berlangsung akut dengan
ulkus merata pada selaput lendir usus besar. Pada kasus berat, ulkus ini dapat
menjadi gangrenyang berakibat fatal. Biasanya disertai dengan sindrom disentri.
Penyakit dapat menjadi menahun dengan diare yang di sertai konstipasi, sakit
perut, tidak nafsu makan, muntah, dan kakeksia (cachexia). Infeksi ringan
Balantidium coli biasanya tidak menampakkan gejala, bila parasit hidup dirongga
usus besar.
Balantidium coli kadang-kadang dapat menimbulkan infeksi
eksterintestinal, misalnya dapat menyebabkan peritonitis dan uretritis. Pernah
ditemukan bahwa Balantidium coli di hepar dan pulmo. Bahkan di ekuador
Balantidium coli ditemukan sebagai sindrom disentris dan abses hepar.
Secara klinik balantidiasis dapat dikacaukan dengan disentri lain dan
demam usus. Diagnosis tergantung pada berhasilnya menemukan trofozoit dalam
tinja encer dan lebih jarang tergantung pada penemuan kista dalam tinja padat,
dan tinja harus diperiksa beberapa kali, karena pengeluaran parasit dari badan
manusia berbeda-beda. Pada penderita dengan infeksi di daerah sigmoid-rectum,
pemakaian sigmoidiskop berguna untuk mendapatkan bahan pemeriksaan.
Diagnosis laboratorium dapat ditentukan dengan pemeriksaan tinja untuk
menemukan bentuk kista atau tropozoit Balantidium coli.

Tabel 2. Diagnosis Penyakit Balantidiasis


Diagnosa Penjelasan
Identifikasi Protozoa yang menginfeksi usus besar dan
menyebabkan diare atau disenteri diikuti dengan
kolik abdominal, tenesmus, nausea dan muntah-
muntah. Biasanya disenteri disebabkan oleh
amebiasis, dengan kotoran yang berisi banyak darah
dan lendir tapi sedikit pus. Invasi ke peritoneum atau
saluran urogenital jarang terjadi. Diagnosa dibuat
dengan menemukan trofozoit dari parasit atau kista
dari balantidium coli pada kotoran segar, atau
17

Diagnosa Penjelasan
trofozoit ditemukan melalui sigmoidoskopi.
Penyebab Penyakit Balantidium coli, protozoa besar dengan silia.
Distribusi Penyakit Tersebar di seluruh dunia, infeksi pada manusia
jarang terjadi namun wabah yang bersifat “water
borne” biasa terjadi pada daerah yang sanitasi
lingkungannya sangat buruk. Kontaminasi
lingkungan dengan tinja dapat mengakibatkan
peningkatan jumlah kasus. Wabah besar pernah
terjadi di Equador pada tahun 1978.
Reservoir Babi, kemungkinan juga hewan lain, seperti tikus dan
primata selain manusia
Cara Penularan Dengan menelan kista yang berasal dari kotoran
inang yang terinfeksi; pada saat wabah, penularan
terutama melalui air yang terkontaminasi. Penularan
sporadis terjadi karena masuknya kotoran ke mulut
melalui tangan atau melalui air, dan makanan yang
terkontaminasi.
Masa Inkubasi Tidak diketahui, mungkin hanya beberapa hari.
Masa Penularan Selama infeksi
Kerentanan dan Sebagian besar orang sepertinya memiliki kekebalan
Kekebalan alami. Orang dengan keadaan umum yang jelek
karena suatu penyakit sebelumnya, bila terinfeksi
oleh parasit ini akan menjadi serius bahkan fatal.

3.1.5 Pengobatan
a. Cara Pencegahan :
1) Beri penyuluhan pada masyarakat tentang higiene perorangan.
2) Beri penyuluhan dan bimbingan kepada penjamah makanan melalui
instansi kesehatan.
3) Pembuangan kotoran pada jamban yang memenuhi persyaratan sanitasi.
4) Kurangi kontak dengan kotoran babi.
5) Lindungi tempat penampungan/sumber air untuk masyarakat dari
kontaminasi kotoran babi. Filter pasir/tanah dapat menyaring semua kista,
klorinasi air dengan cara yang biasanya dilakukan tidak menghancurkan kista. Air
dalam jumlah sedikit untuk diminum lebih baik dimasak.
18

B. Pengawasan Penderita, Kontak & Lingkungan Sekitarnya :


1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat : laporan resmi tidak
diperlukan, Kelas 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi : tidak dilakukan.
3). Disinfeksi serentak : pembuangan kotoran yang saniter.
4). Karantina : tidak dilakukan.
5). Imunisasi : tidak dilakukan
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : pemeriksaan mikroskopis tinja dari
anggota rumah tangga dan kontak yang dicurigai. Lakukan investigasi terhadap
mereka yang kontak dengan babi; bila perlu berikan tetrasiklin pada babi yang
terinfeksi.
7). Pengobatan spesifik: Tetrasiklin dapat menghilangkan infeksi; pengobatan
dengan metronidazole (Flagyl) juga efektif.
Obat-obatan yang sering digunakan adalah dari golongan
diiodohidroksikinolin (diiodokin), sediaan arsen (karbarson)dan oksitetrasiklin

3.2 Tetrahymena
3.2.1 Ciri Morfologi
Tetrahymena spp. yang memiliki bentuk tubuh pyriform, oval, bentuk
buah pear, tubuh simetris radial, memiliki silia seluruh tubuh, dan ujung anterior
menyempit (Hoffman et al. 1975). Protozoa yang menginfeksi ikan terlihat
berwarna basofilik melalui pewarnaan HE dan memberikan reaksi positif
terhadap pewarnaan PAS. Astrofsky et al. (2002) juga melaporkan dalam
kajiannya bahwa Tetrahymena spp. berespon basofilik terhadap pewarnaan HE
dan bereaksi positif terhadap pewarnaan PAS.
Protozoa-protozoa pada kasus ini berukuran panjang rata-rata sekitar 50,5
μm (35-73.7 μm) dan lebar 32,4 μm (31-43 μm). Makronukleus berbentuk bulat
dan terkadang oval dengan ukuran rata-rata 18,59 x 12,85 μm. Mikronukleus
protozoa tidak terlihat pada sediaan kasus ini. Ukuran protozoa berikut ukuran
makronukleus pada kasus ini serupa dengan referensi Astrofsky et al. (2002) yang
19

menyebutkan protozoa Tetrahymena spp berukuran panjang 50 - 100 μm dan


ukuran lebar 30 - 60 μm, sedangkan menurut Leibowitz dan Zilberg (2009)
protozoa Tetrahymena spp. memiliki satu makronukleus berbentuk oval
berukuran 18.25 x 16.83 μm dan satu mikronukleus berukuran 5.73 x 5.40 μm.

Gambar 8. Morfologi Tetrahymena spp.


(Sumber : google.com)
Makronukleus dan mikronukleus ini dapat terlihat jelas dengan mikroskop
elektron atau scanning electron microscopy (SEM). Makronukleus Tetrahymena
spp. yang oval sering terlihat pada potongan jaringan (Bruno et al. 2006).
Pengamatan mikronukleus Tetrahymena spp. pada potongan jaringan sering kali
sulit teridentifikasi. Menurut Leibowitz dan Zilberg (2009) tidak semua
Tetrahymena spp menunjukkan pembentukan mikronukleus yang penting untuk
keperluan konjugasi dan rekombinasi seksual.

3.2.2 Klasifikasi
Kingdom : Protista
Subkingdom : Protozoa
Filum : Ciliophora
Kelas : Oligohymenophorea
Ordo : Hymenostomatida
Famili : Tetrahymenidae
Genus : Tetrahymena
Spesies : Tetrahymena spp.
20

3.2.3 Siklus Hidup


Bharati et al. (2001) menyebutkan dalam tulisannya, protozoa bersilia,
seperti Tetrahymena spp. dapat menjadi indikator stress pada lingkungan perairan.
Protozoa ini dapat bertahan pada tingkat oksigen terlarut yang rendah dan
kandungan bahan organik yang tinggi. Menurut Monks (2012), Tetrahymena spp.
memiliki siklus hidup yang mirip dengan protozoa bersilia lainnya. Berkembang
biak secara vegetatif melalui pembelahan sel dan secara seksual melalui konjugasi
dan pertukaran materi genetik antara sel-sel. Tetrahymena spp. tidak
membutuhkan inang untuk melengkapi siklus hidup mereka. Sebagai akibatnya,
parasit ini dapat hidup selama bertahun-tahun di akuarium tanpa menyebabkan
penyakit, dan tiba-tiba akan menyebabkan masalah jika kondisi dalam akuarium
memburuk atau ikan yang dipelihara menjadi stres atau memiliki luka.

Gambar 9. Siklus Hidup Tetrahymena spp.


(Sumber : google.com)
3.2.4 Tanda Klinis
Pengamatan gejala klinis sampel ikan terlihat lesu, gerak renangnya
lambat dan keseimbangannya terganggu sehingga berenang secara vertikal.
Terganggunya keseimbangan berenang ikan ini diduga karena terjadi kerusakan
pada gelembung renang (gas bladder) (Wildgoose 2007). Pengamatan
histopatologi gelembung renang pada sampel ikan Guppy tidak menunjukkan lesi
yang signifikan. Akumulasi melanophore ditemukan pada serosa gelembung
21

renang. Melanophore yang ditemukan menunjukkan ikan dalam kondisi stres.


Kondisi stres akut menyebabkan kenaikan sekresi kortisol oleh hormon
adrenokortikotropin (ACTH). Melanophore-stimulating hormone (MSH) dan
beta-endorphin (beta-endorphin) juga menstimulasi lepasnya kortisol. Kenaikan
kortisol menyebabkan Alpha-MSH menstimulasi persebaran granula melanin pada
ikan. Pigmentasi terjadi karena adaptasi ikan terhadap lingkungan (Bonga 2011).
Temuan lesi lain yang didapatkan selain pada kulit, otot dan insang adalah pada
hati dan usus. Perubahan histopatologi yang ditemukan pada organ hati adalah
degenerasi lemak dan kongesti. Imai et al. (2000) melaporkan invasi parasit
Tetrahymena spp. pada ikan Guppy ditemukan di rongga abdomen, organ internal,
seperti usus, hati, mata, rongga kepala, dan medulla spinalis. Pada kasus ini tidak
ditemukan lesi signifikan pada usus ikan Guppy, tidak juga ditemukan parasit baik
protozoa ataupun helminth. Udema dan kongesti pada usus menunjukkan adanya
peradangan akut dan ringan.

Gambar 10. Infeksi Tetrahymena spp. Pada sirip ikan


(Sumber : google.com)
Perubahan lingkungan akuarium yang memburuk menyebabkan ikan
menjadi stres. Ikan yang stress akan mengalami penurunan sistem imun sehingga
mudah terserang penyakit seperti Tetrahymena spp.. Ikan yang stres juga dapat
mengalami penurunan nafsu makan dan ikan menjadi lesu. Asupan makanan yang
22

kurang karena nafsu makan menurun menyebabkan terjadi katabolisme cadangan


makanan dalam tubuh seperti glikogen, protein dan lemak.
Cadangan glikogen di hati dan otot dipecah untuk mempertahankan kadar
glukosa darah melalui proses glikogenolisis. Pemecahan cadangan lemak dan
protein juga terjadi untuk mendapat sumber energi baru (glukoneogenesis).
Penggunaan cadangan glikogen dan lipolisis dari jaringan adiposa akan
meningkatkan kadar asam lemak bebas di dalam darah. Banyaknya asupan lemak
bebas akan terakumulasi di dalam sel hati sehingga merusak jalur metabolisme
lemak. Degenerasi lemak secara mikroskopis akan memperlihatkan sel hati
membesar berisi vakuola lemak pada sitoplasma (Cheville 1999). Udema dan
kongesti yang ditemukan di usus merupakan tahapan reaksi peradangan akut.
Kongesti dapat disebabkan oleh gangguan sistemik yang dapat mengganggu
pengosongan darah vena. Terkadang kerja jantung untuk memompa darah gagal,
keadaan ini dapat mengakibatkan gangguan aliran darah. Kelainan pada jantung
tidak dapat teramati karena organ jantung tidak terpotong. Udema adalah bagian
dari reaksi peradangan akut. Kenaikan lokal permeabilitas dinding pembuluh
darah terhadap protein memungkinkan molekul-molekul besar ini lolos dari
pembuluh (Abrams 1994). Perubahan pada saluran pencernaan dapat terjadi
karena modifikasi diet pangan dan kondisi sistem pertahanan tubuh inang.
Kondisi stress menyebabkan menurunnya sistem pertahanan. Penurunan sistem
pertahanan menyebabkan keseimbangan bakteri flora di dalam saluran pencernaan
terganggu. Jika jumlah bakteri patogen lebih banyak dibandingkan jumlah bakteri
patogen, maka bakteri patogen akan menginvasi usus dan menyebabkan penyakit.
Mikrobiota usus yang apatogen penting untuk pemeliharaan kesehatan inang,
menyediakan energi dan nutrisi seperti vitamin K dan B12 serta perlindungan
terhadap invasi organisme patogen (Woodmansey 2007). Infeksi parasit protozoa
Tetrahymena spp. ini diduga berasal dari air yang digunakan untuk pemeliharaan
ikan. Air berasal dari lingkungan yang kotor dengan kandungan bahan organik
yang tinggi. Pembersihan kotoran di dasar akuarium yang kurang bersih dan
masih menyisakan bahan organik seperti feses ikan dan sisa pakan, juga dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan akuarium. Kondisi akuarium dengan
23

kotoran yang larut dalam air, amonia tinggi dapat menghambat pertumbuhan ikan.
Lingkungan yang kotor juga dapat menjadi sumber penularan penyakit. Menurut
Leibowitz et al. (2005) kualitas air yang buruk, termasuk amonia dan bahan
organik, dan suhu air rendah meningkatkan kerentanan ikan terhadap infeksi.
Kandungan bahan organik dan nutrisi tinggi dapat digunakan oleh parasit,
sehingga meningkatkan populasinya di dalam air. Kondisi stres pada ikan juga
mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap agen infeksius.

Gambar 11. Ikan yang terinfeksi Tetrahymena spp. (a) pada kulit/sisik (b) jaringan
(Sumber : google.com)

Infeksi Tetrahymena spp. di alam dapat ditransmisikan secara horizontal


dengan perantara air. Protozoa Tetrahymena spp. dapat melekat pada permukaan
kulit dan insang ikan yang mengalami erosi. Protozoa ini memakan bahan organik
seperti bakteri dan potongan sel yang hancur serta bersifat saprozoik bersilia
(Kozloff 1990). Ikan yang stress akan mengalami penurunan nafsu makan
sehingga menyebabkan penurunan imunitas tubuh. Imunitas ikan yang rendah
menyebabkan kegagalan pertahanan tubuh ikan Rute infeksi Tetrahymena spp.
dimulai dari penetrasi parasit ke kulit kemudian masuk ke dalam otot, dari sana
mencapai organ internal dan sirkulasi darah. Selain masuk melalui luka yang
terbuka protozoa ini dapat juga menginfeksi dengan berpenetrasi pada kulit yang
tidak terluka tetapi saat kondisi ikan stress (Imai et al. 2000).

3.2.5 Pengobatan
Pengendalian dan pencegahan infeksi parasit protozoa menurut Basson
dan van As (2006) antara lain, menjaga kualitas air dengan membersihkan sisa
24

pakan yang berlebih, menjaga kestabilan kandungan bahan organik dan kimia, dan
temperatur, serta menjaga air agar terbebas dari patogen dan polutan. Kolam dan
tangki/akuarium harus dikosongkan secara teratur dan dasarnya harus dibersihkan
dengan kapur. Akuarium juga dapat dibuat bebas dari parasit dengan cara
menyiramnya dengan formalin 5%. Jaring untuk menangkap ikan, ember dan
peralatan lain yang dipergunakan dalam budidaya harus bersih. Ikan yang baru
harus selalu rutin diobati dan dikarantina selama beberapa hari sebelum
dimasukkan ke dalam kolam/akuarium yang sudah didesinfeksi. Ikan harus diberi
pakan yang seimbang dan tidak berlebihan. Suplai oksigen harus mencukupi dan
temperatur harus tepat. Kepadatan ikan dalam kolam harus dijaga agar tidak
terlalu padat. Mengurangi penanganan (handling) ikan dan melakukan
pemeriksaan ikan dari parasit secara rutin.
Leibowitz et al. (2010) melaporkan bahwa gabungan aplikasi immuno-
stimulan dan mandi garam mampu mengobati infeksi eksternal secara efektif.
Pengobatan terhadap ikan yang terinfeksi superfisial oleh Tetrahymena spp. dapat
dicoba dengan pemberian parasitisida protozoa seperti formalin dan peningkatan
salinitas. Pengobatan topikal dengan menggunakan imersi dan mandi garam
kurang efektif dalam mengobati infeksi sistemik pada ikan (Astrofsky et al.
2002). Leibowitz et al. (2010) juga melaporkan pengobatan menggunakan
niclosamide dengan dosis 100 mg kg-1 terhadap infeksi Tetrahymena spp. sangat
efektif.
Pemberian albendazole dan chloraquine juga efektif melawan invasi
Tetrahymena spp.. Menjaga kondisi lingkungan tetap stabil dapat membantu
pengobatan Guppy (Monks 2012). Pemberian pakan yang tinggi kadar asam
lemak asam arachidonat membantu penyembuhan Guppy dari infeksi (Noga
2010).
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
 Balantidium sp. merupakan parasit golongan protozoa dari filum
ciliophora yang bersifat zoonosis pada usus manusia, dengan babi sebagai
reservoir, parasit ini juga dapat menempel pada ikan sebagai inang
perantara. Terdiri atas fase kista yang bersifat infektif dan fase tropozoit
yang bersifat non infektif. Berkembang biak secara aseksual dengan
membelah diri dan seksual dengan penyatuan sel kelamin. Gejala berupa
diare dan mual. Dapat diobati dengan metronidazole (Flagyl).
 Tetrahymena sp. merupakan parasit golongan protozoa dari filum
ciliophora yang bersifat mesoparasit pada ikan air tawar, contohnya ikan
guppy. Parasit ini menginfeksi kulit, otot, dan insang. Parasit ini
berkembang biak secara aseksual dengan membelah diri dan seksual
dengan konjugasi dan penyatuan material genetik. Pengobatan dapat
dilakukan dengan air garam, formalin, niclosamide, albendazole dan
chloraquine.

4.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait parasit dari golongan
protozoa filum ciliophora ini, sebab belum banyak penelitian mengenai infeksi
parasit terhadap ikan. Selain itu, untuk lebih memahami mengenai parasit
golongan ini, dibutuhkan banyak literatur baik dari dalam dan luar negeri.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abrams GD. 1994. Gangguan sirkulasi. Di dalam Price SA, Wilson LM, editor.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Hlm: 93-95.
Anshary, H. 2008. Modul Pembelajaran Parasitologi Ikan. Program Studi
Budidaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.
Anugrah, P. 1994. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Buku
Kedokteran EGC.
Aria, P. 2008. http://Kesehatan Ikan_Parasit_penularan. Html. Prevalensi dan
Intensitas Parasit (Tingkat Penularan). (Online) 31 Desember 2010.
Astrofsky KM, Schech JM, Sheppard BJ, Obenschain CA, Chin AM, Kacergis
MC, Laver ER, Bartholomew JL, Fox JG. 2002. High mortality due to
Tetrahymena sp. infection in laboratory-maintained zebrafish
(Brachydanio rerio). Comparative Medicine 52(4): 363-367.
Basson L, van As J. 2006. Trichodinidae and other Ciliophorans (Phylum
ciliopora). Di dalam Woo PTK, editor. Fish Diseases and Disorders
Volume 1 : Protozoan and Metazoan Infections Second Edition. UK:
CABI. Hlm: 175-179.
Bharati VR, Khan RN, Kalavati C, Ramam AV. 2001. Protozoan colonization on
artificial substrates in relation to water quality in a tropical Indian
Harbour. Journal of Environtmental Sciences 13: 143–147.
Bonga SEW. 2011. Hormone response to stress. Di dalam Farrell AP, editor.
Encyclopedia of Fish Physiology: From Genome To Environtment.
UK: Elsevier Inc. Hlm: 1515-1519.
Bruno DW, Nowak B, Elliott G. 2006. Guide to the identification of fish
protozoan and metazoan parasites in stained tissue sections. Diseases
of Aquatic Organism 70: 1-36.
Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology Second Edition. United
States of America: Iowa State University Pr. Hlm: 29-31, 91-93.
Effendie, H. 1999. Budidaya Ikan_Fish Blogs: Telaah Kualitas Air. (Online) 31
Desember 2010
Fernando, C. F. J.L Furtado, A. V Gussev, G. Honek and S.A. Kakonge. 1972.
Methods for the Study of Fresh Water Fish Parasites. University of
Waterloo. Biologi Series: 1-76
Gusrina. 2008. Buku SMK Budidaya Ikan Jilid 1-3.
http://ftp.lipi.go.id/pub/Buku_Sekolah_Elektronik/SMK/Kelas%20XII
/Kelas%20XII_smk_budidaya_ikan_gusrina.pdf. (Online) 19 April
2015.

26
27

Hall. 1961. Protozoology. Japan: Prentice-Hall, Inc.


Hoffman GL, Lando M, Camper JE, Coats DW, Stookey L, Burek JD. 1975. A
disease of freshwater fishes caused by Tetrahymena corlissi
Thompson, 1955 and key for identification of holotrich ciliates of
freshwater fishes. Journal of Parasitology 61 (2): 217-223.
Imai S, Tsurimaki S, Goto E, Wakita K, Hatai K. 2000. Tetrahymena infection in
guppy, Poecilia reticulata. Fish Pathology 35(2): 67-72.
Jahja, F. 2009. Tingkat Serangan Parasit pada Larva Kepiting Bakau (Scylla
serrata) stadia zoea-megalopa yang Diberi Glukosa Terlarut. Skripsi.
Program Studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.
Kabata, Z. 1985. Parasites and Disease of Fish Culture In the Tropics. Taylor and
Francis. London and Philadelpia.
Kozloff EN. 1990. Invertebrates. Philadelphia: Saunders College Publishing.
Hlm:65-69
Lynn, D.H. and Small, E.B. 1991. Handbook of Protoctista (Philum Ciliophora).
Boston: Jones and Bartlett Publishers.
Leibowitz MP, Ariav R, Zilberg D. 2005. Environtmental and physiological
conditions affecting Tetrahymena sp. infection in guppy, Poecilia
reticulata Peters. Journal of Fish Diseases 28:539-547.
Leibowitz MP, Zilberg D. 2009. Tetrahymena sp. nfection in guppy, Poecilia
reticulata Peters: parasite characterization and pathology of infected
fish. Journal of Fish Diseases 32:845-855.
Leibowitz MP, Chettri JK, Ofir R, Zilberg D. 2010. Treatment development for
systemic Tetrahymena sp. infection in guppy, Poecilia reticulata
Peters. Journal of Fish Diseases 33:473-480.
Monks N. 2012. Guppy Disease (Tetrahymena). [terhubung berkala].
http://www.fishchannel.com. [26 Agustus 2012].
Noga EJ. 2010. Fish Disease : Diagnosis and Treatment Second Edition. Wiley-
Blackwell : Iowa. Hlm: 107-267, 140-141.
Rantetondok, A. 1986. Hama dan Penyakit Ikan. Lembaga Penerbitan Universitas
Hasanuddin. Ujung Pandang.
Roger, A.O. 1988. Comparative Protozoology, Ecology, Physiology, and Life
History. New York: Sringer- Verlag New York Inc.
Rukmono, D. Sumardiana, P. Perdana, G.R. Kusmayadi, Srinoto, D. Azizah,A.
Kholiz, Samsuddin. Indirawati, F. Haryanto, Nurhayati. 1998.
Berbagai Jenis Parasit yang Menyerang Ikan Hias. Pemeriksaan
Laboratorium Karantina Ikan Ngurah Rai-Denpasar, Bali.
Susanto, H. 2009. Pembenihan dan Pembesaran Patin. Penebar Swadaya. Jakarta.
Usman, R. 2007. Parasit dan Penyakit Ikan filetype:pdf. Fakultas Perikanan dan
28

Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta.


Wildgoose WH. 2007. Buoyancy disorders of ornamental fish: A review of cases
seen in veterinary pratice. Fish Veterinary Journal 9:22-37.
Woodmansey EJ. 2007. Intestinal bacteria and ageing. Journal of Applied
Microbiology 102: 1178-1186.

Anda mungkin juga menyukai