Anda di halaman 1dari 16

2.1.

Pengertian Agency Theory

Agency Theory merupakan bidang yang populer akhir-akhir ini. Pemisahan pemilik dan
manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency Theory (teori keagenan). Teori
ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam perkembangan riset akuntansi yang
merupakan modifikasi dari perkembangan model akuntansi keuangan dengan menambahkan
aspek perilaku manusia dalam model ekonomi. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak
antara pemegang saham/pemilik dan manajemen/manajer. Menurut teori ini hubungan antara
pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling
bertentangan.

Salah satu hipotesis dalam teori keagenan ini adalah bahwa manajemen akan mencoba
memaksimalkan kesejahteraannya sendiri dengan cara meminimalisir berbagai biaya keagenan
(agency cost). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan agency cost sebagai jumlah dari
biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk melakukan pengawasan terhadap agen. Hipotesis ini
tidak sama artinya dengan hipotesis yang menyebutkan bahwa manajemen mencoba
memaksimalkan nilai perusahaan (value of the firm). Oleh karena itu, manajemen diasumsikan
akan memilih prinsip akuntansi yang sesuai dengan tujuannya memaksimalkan kepentingannya,
bukan untuk memaksimalkan nilai perusahaan.

Menurut Anthony dan Govindrajan (2005) teori agensi adalah hubungan atau kontrak
antara principal dan agent. Teori agensi memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata
termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara
principal dan agent.

Sedangkan Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan:


agency relationship as a contract under which one or more person (the principals) engage
another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating
some decision making authority to the agent.

Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal)
memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi
wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak
tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini
agen akan bertindak dengan cara yang sesuai dengan kepentingan prinsipal.

Teori keagenan (Agency Theory) merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis
perusahaan yang digunakan selama ini. Teori ini berakar dari sinergi teori ekonomi, teori
keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan
kerja antara pihak yang memberi wewenang (principal) yaitu investor dengan pihak yang
menerima wewenang (agen) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut
nexus of contract..

Teori keagenan/agency theory mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas


kepentingan mereka sendiri. Pemegang saham sebagai principal diasumsikan hanya tertarik
kepada hasil keuangan yang bertambah atau peningkatan investasi di perusahaan, sedangkan
para agen diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang
menyertai dalam hubungan tersebut.

Karena perbedaan kepentingan ini, masing-masing pihak berusaha untuk memperbesar


keuntungan bagi diri sendiri. Principal menginginkan pengembalian yang semaksimal mungkin
dan secepatnya atas investasi yang salah satunya dicerminkan dengan kenaikan porsi dividen dari
tiap saham yang dimiliki. Agen menginginkan kepentingannya diakomodir dengan pemberian
kompensasi/bonus/insentif/remunerasi yang memadai. Principal menilai prestasi agen
berdasarkan kemampuannya memperbesar laba untuk dialokasikan pada pembagian dividen.
Makin tinggi laba, harga saham dan dividen, maka agen dianggap berhasil atau memiliki kinerja
yang baik sehingga layak mendapat insentif yang tinggi.

Sebaliknya Agen pun memenuhi tuntutan Principal agar mendapatkan kompensasi yang
tinggi. Sehingga bila tidak ada pengawasan yang memadai maka Agen dapat memainkan
beberapa kondisi perusahan agar seolah-olah target tercapai. Permainan tersebut bisa atas
prakarsa dari Principal ataupun inisiatif Agent sendiri. Maka terjadilah Creative Accounting yang
menyalahi aturan, misalnya piutang yang tidak mungkin tertagih yang tidak dihapuskan dan
pengakuan penjualan yang tidak semestinya, yang berdampak pada besarnya nilai aktiva dalam
Neraca yang mempercantik laporan keuangan walaupun bukan nilai yang sebenarnya. Atau
bisa juga dengan melakukan income smoothing (membagi keuntungan ke periode lain) agar
setiap tahun kelihatan perusahaan meraih keuntungan, padahal kenyataannya perusahaan
mengalami kerugian atau laba turun.

2.2. Konsep Teori Keagenan

Konsep agency theory mendasarkan pada hubungan antara principal sebagai pemilik atau
pemegang saham, sedangkan manajemen sebagai agen. Principal merupakan pihak yang
memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama principal, sedangkan agen
merupakan pihak yang diberi amanat oleh principal untuk menjalankan perusahaan. Agen
berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah diamanahkan oleh principal
kepadanya.

Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi
hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara
keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme
bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun resiko-resiko yang disetujui oleh
prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness (mencapai
keadilan) yaitu mampu menyeimbangkan antara principal dan agen yang secara sistematis
memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian insentif imbalan
khusus yang memuaskan dari principal ke agen. Inti dari agency theory adalah pendesainan
kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan principal dan agen dalam hal terjadi
konflik kepentingan (Scott, 1997).

Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 buah asumsi yaitu:
(a) Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk
mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded
rationality), dan tidak menyukai resiko (risk aversion).
(b) Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai
kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara prinsipal dan
agen.
(c) Asumsi tentang informasi.
Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi
yang bisa diperjualbelikan.

Baik prinsipal maupun agen, keduanya mempunyai bargaining position. Principal


sebagai pemilik modal mempunyai hak akses pada informasi internal perusahaan, sedangkan
agen yang menjalankan operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan
kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh, namun agen tidak mempunyai wewenang mutlak
dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang bersifat strategis, jangka panjang dan
global. Hal ini disebabkan untuk keputusan-keputusan tersebut tetap menjadi wewenang dari
principal selaku pemilik perusahaan.

Adanya posisi, fungsi, kepentingan dan latar belakang principal dan agen yang saling
bertolak belakang namun saling membutuhkan ini, mau tidak mau dalam praktiknya akan
menimbulkan pertentangan dengan saling tarik-menarik pengaruh dan kepentingan antara satu
sama lain. Apabila agen (yang berperan sebagai penyedia informasi bagi principal dalam
pengambilan keputusan) melakukan upaya sistematis yang dapat menghambat principal dalam
pengambilan keputusan strategis melalui penyediaan informasi yang tidak transparan, sedang di
lain pihak principal selaku pemilik modal bertindak semaunya atau sewenang-wenang karena ia
merasa sebagai pihak yang paling berkuasa dan penentu keputusan dengan wewenang yang tak
terbatas, maka kemudian yang terjadi adalah pertentangan yang semakin tajam yang akan
menyebabkan konflik yang berkepanjangan yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Baik
prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai orang ekonomi (homo economicsus) yang
berperilaku ingin memaksimalkan kepentingannya masing-masing.

2.3. Agency Theory dalam Praktik Akuntansi dan Aplikasinya pada Pengelolaan
Perusahaan

Teori keagenan memberikan peranan penting bagi akuntansi terutama dalam


menyediakan informasi setelah suatu kejadian yang disebut sebagai peranan pasca keputusan.
Peranan ini sering diasosiasikan dengan peran pengurusan (stewardship) akuntansi, dimana
seorang agen melapor kepada prinsipal tentang kejadian-kejadian di masa lalu. Inilah yang
memberi akuntansi nilai umpan baliknya selain nilai prediktifnya. Dimana nilai umpan balik
menjelaskan bahwa informasi juga mempunyai peran penting dalam menguatkan atau
mengoreksi harapan-harapan sebelumnya. Informasi mengenai hasil dari suatu keputusan
seringkali merupakan masukan kunci dalam pengambilan keputusan berikutnya. Akuntansi
idealnya menyediakan jasa yang sama bagi investor, dengan memungkinkan mereka untuk
menyesuaikan strategi investasi mereka sepanjang waktu.

Dari model ini dan perluasannya dapat diambil beberapa pengertian. Perluasan ini
sebagian besar berhubungan dengan cara kedua belah pihak tersebut berbagi risiko dan
informasi. Misalnya, para pemilik yang menghindari risiko diasumsikan menanggung risiko
bisnis, sementara para manajer bertindak sebagai agen-agen yang netral terhadap risiko yang
dimaksud. Dengan menggunakan teori keagenan yang sama, jika manajemen bersikap tidak
membedakan terhadap risiko sedangkan pemilik menghindari risiko, maka manajemenlah dan
bukan pemilik yang akan menanggung risiko tersebut. Ini merupakan keadaan saling
mempengaruhi penghindaran risiko relatif antara manajer dan pemilik perusahaan yang
menciptakan sebagian dari masalah-masalah yang paling menarik dalam teori keagenan untuk
para akuntan. Informasi yang dimaksud merupakan salah satu cara untuk mengurangi
ketidakpastian, sehingga memberi akuntan peran penting dalam pembagian risiko antara manajer
dan pemilik perusahaan.

Asimetri informasi merupakan pembahasan terakhir dalam bidang teori keagenan yang
memfokuskan pada masalah-masalah yang ditimbulkan oleh informasi yang tidak lengkap, yaitu
ketika tidak semua keadaan diketahui oleh kedua belah pihak dan sebagai akibatnya, ketika
konsekuensi-konsekuensi tertentu tidak dipertimbangkan oleh masing-masing pihak yang
bersangkutan. Misalnya, pihak pemilik perusahaan mungkin tidak mengetahui preferensi
manajer perusahaan sehingga tidak sulit bagi keduanya untuk melakukan kepentingan
perhitungan yang telah disebutkan sebelumnya.

Satu contoh kasus yang menyangkut informasi yang tidak lengkap dalam teori keagenan,
dapat terjadi apabila pihak pemilik perusahaan tidak dapat mengamati semua aksi pihak manajer
perusahaan. Aksi-aksi yang dimaksud mungkin berbeda dari aksi yang lebih disukai pihak
pemilik perusahaan, entah karena manajer perusahaan mempunyai perangkat efisiensi yang
berbeda atau data pula karena pihak manajer tersebut sengaja mencoba untuk melalaikan
tugasnya sebagai manajer perusahaan atau biasa juga melakukan penipuan terhadap pemilik
perusahaan.
Situasi ini tentunya dapat menciptakan apa yang dikenal dengan istilah moral hazard.
Salah satu solusi yang mungkin dapat dilakukan yaitu dengan cara pihak pemilik perusahaan
menugaskan seorang auditor untuk melakukan pemeriksaan mengenai apa yang dilakukan oleh
pihak manajemen perusahaan tersebut. Sedangkan solusi yang lainnya dapat dilakukan dengan
cara memberikan pihak manajemen perusahaan suatu insentif, seperti misalnya, saham yang ada
di perusahaan, untuk menyelesaikan preferensi manajemen perusahaan dengan preferensi pihak
pemilik perusahaan.

Konsep pemisahan antara kepemilikan (ownership) para pemegang saham dan


pengelolaan (management) para agen atau manajer dalam perusahaan telah menjadi kajian sejak
tahun 1930-an. Manajemen perusahaan publik yang besar biasanya bukan pemilik. Bahkan
sebagaian besar manajemen puncak (top mangement) hanya memiliki saham nominal dalam
perusahaan yang mereka kelola.

Jensen dan Meckling dalam Isnanta (2008), menyatakan bahwa teori keagenan
mendeskripsikan pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen
merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan
pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat
keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen wajib
mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang saham. Karena unit analisis
dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan agen, maka
fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan
antara prinsipal dan agen.

Untuk memotivasi agen maka prinsipal merancang suatu kontrak agar dapat
mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak yang
efisien adalah kontrak yang memenuhi dua faktor, yaitu :
1. Agen dan pinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen maupun majikan
memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi
tersembunyi yang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi.
2. Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti
agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya.
Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena manajer berada di
dalam perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak informasi mengenai perusahaan,
sedangkan prinsipal sangat jarang atau bahkan tidak pernah datang ke perusahaan sehingga
informasi yang diperoleh sangat sedikit. Hal ini menyebabkan kontrak efisien tidak pernah
terlaksana sehingga hubungan agen dan prinsipal selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Agen
sebagai pengendali perusahaan pasti memiliki informasi yang lebih baik dan lebih banyak
dibandingkan dengan prinsipal. Di samping itu, karena verifikasi sangat sulit dilakukan, maka
tindakan agen pun sangat sulit untuk diamati. Dengan demikian, membuka peluang agen untuk
memaksimalkan kepentingannya sendiri dengan melakukan tindakan yang tidak semestinya atau
sering disebut disfunctional behaviour, dimana tindakan ini dapat merugikan prinsipal, baik
memanfaatkan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi, maupun perekayasaan kinerja
perusahaan.

Salah satu hipotesis dalam teori ini adalah bahwa manajemen dalam mengelola
perusahaan cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada meningkatkan nilai
perusahaan. Contoh nyata yang dominan terjadi dalam kegiatan perusahaan dapat disebabkan
karena pihak agensi memiliki informasi keuangan daripada pihak prinsipal (keunggulan
informasi), sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi atau
golongannya sendiri (self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary
power).

Contoh lain Agency theory sebenarnya juga dapat dipahami dalam lingkup lembaga
kemahasiswaan. Pengurus yang dipercayakan menjadi perpanjangan tangan keluarga mahasiswa
untuk mengelola organisasi menjadi agen yang idealnya mampu mengakomodasi semua
kepentingan keluarga. Namun, terkadang pengurus lembaga kemahasiswaan tak mampu
menjalankan ini dengan baik. Kecenderungan pengurus lebih memilih melaksanakan
kepengurusan sesuai dengan keinginannya. Kepentingan keluarga menjadi terabaikan.

Dijelaskan dalam Jensen dan Meckling (1976), Jensen (1986), Weston dan Brigham
(1994), bahwa masalah keagenan dapat terjadi dalam 2 bentuk hubungan, yaitu:
1. Antara pemegang saham dan manajer
2. Antara pemegang saham dan kreditur.
Jika suatu perusahaan berbentuk perusahaan perorangan yang dikelola sendiri oleh
pemiliknya, maka dapat diasumsikan bahwa manajer-pemilik akan mengambil setiap tindakan
yang mungkin, untuk memperbaiki kesejahteraannya, terutama diukur dalam bentuk peningkatan
kekayaan perorangan dan juga dalam bentuk kesenangan dan fasilitas eksekutif. Tetapi, jika
manajer mempunyai porsi sebagai pemilik dan mereka mengurangi hak kepemilikannya dengan
membentuk perseroan dan menjual sebagian saham perusahaan kepada pihak luar, maka
pertentangan kepentingan bisa segera timbul. Keadaan ini menjadikan manajer mungkin saja
tidak sedemikian gigih lagi untuk memaksimumkan kekayaan pemegang saham karena jatahnya
atas kekayaan tersebut telah berkurang sesuai dengan pengurangan kepemilikan mereka. Atau
mungkin saja manajer menetapkan gaji yang besar bagi dirinya atau menambah fasilitas
eksekutif, karena sebagian di antaranya akan menjadi beban pemegang saham lainnya.

Konflik antara pemegang saham dengan kreditur

Kreditur memiliki klaim atas sebagian dari arus kas perusahaan untuk pembayaran bunga
dan pokok utang. Mereka memiliki klaim atas aset perusahaan saat perusahaan mengalami
kebangkrutan. Pada saat perusahaan mengalami kebangkrutan, keputusan harus segera diambil
untuk mengatasi kondisi tersebut, yaitu apakah akan melikuidasi perusahaan dengan menjual
seluruh aset atau melakukan reorganisasi. Manajemen perlu segera bertindak dan khususnya
manajer memilih reorganisasi dengan tujuan mempertahankan pekerjaannya. Keputusan manajer
ini tentu saja berdampak pada pemegang saham atau kreditur atau kedua belah pihak tersebut.

Kreditur pada umumnya menghendaki likuidasi perusahaan sehingga mereka dapat


segera menarik dananya dengan cepat. Di lain pihak, manajemen menginginkan perusahaan tetap
eksis sehingga mereka memilih mereorganisasi perusahaan. Pada saat bersamaan, pemegang
saham kemungkinan mencoba mencari pengganti manajer lama yang mau dibayar lebih rendah
meskipun proses tersebut membutuhkan waktu yang lama.

Selain itu, kreditur lebih memperhatikan kemampuan perusahaan untuk membayar


kembali utangnya, dan pemegang saham lebih memperhatikan kemampuan perusahaan untuk
memperoleh kembalian yang besar dengan melakukan investasi pada proyek-proyek yang
berisiko. Apabila pelaksanaan proyek yang berisiko itu berhasil maka kreditur tidak dapat
menikmati keberhasilan tersebut, tetapi apabila proyek mengalami kegagalan, kreditur mungkin
akan menderita kerugian akibat dari ketidakmampuan pemegang saham untuk memenuhi
kewajibannya. Untuk mengantisipasi kemungkinan rugi, maka kreditur melakukan
pembatasan penggunaan hutang oleh manajer. Salah satu bentuk pembatasannya adalah dengan
membatasi jumlah penggunaan hutang untuk investasi dalam proyek baru.

Konflik antara pemegang saham dengan pihak manajemen

Dalam suatu perusahaan, konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen salah satunya
dapat timbul karena adanya kelebihan aliran kas (excess cash flow). Kelebihan arus kas
cenderung diinvestasikan dalam hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan utama
perusahaan. Ini menyebabkan perbedaan kepentingan karena pemegang saham lebih menyukai
investasi yang berisiko tinggi yang juga menghasilkan return tinggi, sementara manajemen lebih
memilih investasi dengan risiko yang lebih rendah.

Agency Theory menimbulkan masalah mendasar dalam organisasi yaitu perilaku


mementingkan diri sendiri. Manajer sebuah perusahaan mungkin memiliki tujuan-tujuan pribadi
yang bertolak belakang dengan tujuan untuk memaksimalkan kekayaan pemilik pemegang
saham. Karena manajer pemegang saham memiliki hak untuk mengelola aset perusahaan, sebuah
potensi konflik kepentingan muncul antara dua kelompok. Tindakan manajer yang opostunistik
akan mempertinggi biaya perusahaan dan mengurangi kemakmuran pemegang saham.

Agency Theory menunjukkan bahwa manajer akan berusaha untuk memaksimalkan


utilitas mereka sendiri dengan mengorbankan para pemegang saham perusahaan. Agen memiliki
kemampuan untuk beroperasi sendiri dan mementingkan kepentingan pribadi daripada
kepentingan perusahaan. Hal ini disebabkan oleh informasi yang bersifat asimetris (misalnya,
manajer tahu lebih baik dari pemegang saham apakah mereka mampu memenuhi tujuan
pemegang saham) dan ketidakpastian.

Potensi konflik keagenan muncul setiap kali manajer perusahaan memiliki kurang dari
100 persen dari saham biasa perusahaan. Jika suatu perusahaan merupakan kepemilikan tunggal
yang dikelola oleh pemilik, manajer-pemilik akan melakukan tindakan untuk memaksimalkan
kesejahteraan sendiri. Manajer-pemilik mungkin akan mengukur utilitas oleh kekayaan pribadi,
tetapi mungkin memikirkan pertimbangan lainnya terhadap kekayaan pribadi. Jika pemilik-
manajer meninggalkan sebagian kepemilikan-nya dengan menjual sebagian saham perusahaan
kepada investor luar, maka akan muncul potensi konflik kepentingan atau konflik keagenan.
Pada sebagian besar perusahaan publik berskala besar, konflik kepentingan berpotensi
cukup signifikan karena para manajer perusahaan sendiri umumnya hanya sebagian kecil dari
saham biasa. Manajer dapat didorong untuk melakukan tindakan terbaik demi kepentingan
pemegang saham melalui insentif, hambatan, dan hukuman. Bagaimanapun juga metode ini
efektif hanya jika pemegang saham dapat mengamati semua tindakan yang diambil oleh manajer.
Untuk mengurangi masalah moral, seperti mengambil untung semata, dimana agen mengambil
tindakan untuk kepentingan pribadi, pemegang saham harus menanggung biaya agen.

2.4. Masalah Keagenan

Teori keagenan yang mulai berkembang mengacu kepada pemenuhan tujuan utama dari
manajemen keuangan yaitu memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Maksimalisasi
kekayaan ini dilakukan oleh manajemen yang disebut agen. Ketidakmampuan atau keengganan
manajer untuk meningkatkan kekayaan pemegang saham menimbulkan apa yang disebut
masalah keagenan.

Masalah keagenan potensial terjadi apabila bagian kepemilikan manajer atas saham
perusahaan kurang dari seratus persen (Masdupi, 2005). Dengan proporsi kepemilikan yang
hanya sebagian dari perusahaan membuat manajer cenderung bertindak untuk kepentingan
pribadi dan bukan untuk memaksimumkan perusahaan. Inilah yang nantinya akan menyebabkan
biaya keagenan (agency cost). Hampir mustahil bagi perusahaan untuk memiliki zero agency
cost dalam rangka menjamin manajer akan mengambil keputusan yang optimal dari
pandangan shareholders karena adanya perbedaan kepentingan yang besar diantara mereka.
Bahkan untuk mencapai kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak menggunakan
akuntansi sebagai alat untuk melakukan rekayasa. Perbedaan kepentingan antara principal dan
agen atau yang disebut Agency Problem ini, salah satunya disebabkan oleh adanya Asimmetric
Information.

Asimmetric Information (AI), yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan
karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara principal dan agen. Dalam hal ini
principal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang
diperoleh dari usaha agen, namun ternyata informasi tentang ukuran keberhasilan yang diperoleh
oleh principal tidak seluruhnya disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang diperoleh
principal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang
sesungguhnya dalam mengelola kekayaan principal yang dipercayakan kepada agen.

Akibatnya adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan 2
(dua) permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan principal untuk memonitor dan
melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan
permasalahan tersebut adalah :
Moral Hazard
Moral Hazard merupakan permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-
hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.
Adverse Selection
Adverse Selection merupakan suatu keadaan dimana principal tidak dapat mengetahui
apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi
yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.

Ditambahkan oleh Scott (2005) dalam bukunya Financial Accouting Theory mengemukakan
bahwa :
Adverse Selection adalah jenis asimetri informasi dimana satu atau lebih pihak untuk
transaksi bisnis, atau transaksi potensial lainnya, memiliki keuntungan informasi lebih di
pihak lain.
Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dimana satu atau lebih pihak untuk transaksi
bisnis, atau transaksi potensial lainnya, dapat mengamati tindakan mereka dalam
pemenuhan transaksi tetapi pihak lain tidak bisa.

Adanya agency problem di atas, menimbulkan biaya keagenan (agency cost). Biaya
keagenan didefinisikan sebagai biaya yang ditanggung oleh pemegang saham untuk mendorong
manajer dalam memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham daripada berperilaku
mementingkan diri sendiri. Ada tiga jenis utama dari biaya keagenan, yaitu:
1. Pengeluaran untuk memantau kegiatan manajerial, seperti biaya audit.
2. Pengeluaran untuk struktur organisasi dengan cara membatasi perilaku manajerial yang
tidak diinginkan.
3. Biaya kesempatan yang dapat terjadi ketika pemegang saham dikenakan pembatasan,
seperti persyaratan untuk suara pemegang saham pada permasalahan tertentu, membatasi
kemampuan manajer untuk mengambil tindakan yang meningkatkan kekayaan pemegang
saham.

Dengan tidak adanya upaya pemegang saham untuk mengubah perilaku manajerial,
biasanya akan ada kehilangan sebagian kekayaan pemegang saham karena tindakan manajerial
yang tidak pantas. Di sisi lain, biaya keagenan akan berlebihan jika pemegang saham berusaha
untuk memastikan bahwa setiap tindakan manajerial sesuai dengan kepentingan pemegang
saham. Oleh karena itu, jumlah optimal biaya keagenan yang harus ditanggung oleh pemegang
saham harus ditentukan.

Menurut Jensen dan Meckling (1976) biaya keagenan terdiri dari:


The monitoring expenditures by the principle
Biaya monitoring dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor prilaku agen, termasuk
juga usaha untuk mengendalikan perilaku agen melalui budget restriction, compensation
policies.
The bonding expenditures by the agent
The bonding cost dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan
menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin
bahwa prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak mengambil banyak tindakan.
The residual loss
Merupakan penurunan tingkat kesjahteraan prinsipal maupun agen setelah adanya agency
relationship.

2.5. Cara Menghadapi Masalah Keagenan

Ada dua posisi kunci untuk menghadapi konflik-konflik agency pemegang saham dan
manager. Pada keadaan ekstrim, manajer perusahaan bertindak sepenuhnya berdasarkan
perubahan harga saham. Dalam hal ini, biaya agen akan rendah karena manajer memiliki insentif
besar untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham, hal tersebut tentu akan sangat sulit,
oleh karena itu, dalam keadaan tersebut menyewa manajer berbakat di bawah ikatan kontrak
karena pendapatan perusahaan akan dipengaruhi oleh peristiwa ekonomi yang tidak berada di
bawah kendali manajerial. Pada keadaan ekstrim lainnya, pemegang saham dapat memonitor
setiap tindakan manajerial, tapi ini akan sangat mahal dan tidak efisien. Solusi optimal terletak di
antara ekstrim, di mana kompensasi eksekutif terkait dengan kinerja, tetapi beberapa pemantauan
juga dilakukan.

Sebagian besar perusahaan publik kini memberlakukan kinerja saham, dimana saham
yang diberikan kepada eksekutif berdasarkan kinerja seperti yang didefinisikan oleh tindakan
keuangan seperti laba per saham, imbal hasil aset, imbal hasil ekuitas, dan perubahan harga
saham. Jika kinerja perusahaan berada di atas target kinerja, manajer perusahaan mendapatkan
lebih banyak saham. Jika kinerja di bawah target, mereka menerima lebih sedikit dari 100 persen
saham. Rencana kompensasi insentif berbasis kinerja seperti saham, dirancang untuk memenuhi
dua tujuan. Pertama, mereka menawarkan insentif eksekutif untuk mengambil tindakan yang
akan meningkatkan kesejahteraan pemegang saham. Kedua, rencana ini membantu perusahaan
menarik dan mempertahankan manajer yang memiliki kepercayaan diri untuk risiko masa depan
keuangan mereka pada kemampuan mereka sendiri yang harus mengarah pada kinerja yang lebih
baik.

Dalam rangka memotivasi para manajer dan pemegang saham agar berperilaku dalam
sikap yang memajukan tujuan perusahaan, Burdett dapat memberikan rekomendasi kepada
dewan direksi, yaitu:
Penilaian terhadap kinerja manajer dibuat dengan kontrak yang jelas sehingga memotivasi
agen bekerja dengan kepentingan terbaik principal
Principal memberikan pilihan rencana insentif jangka pendek dan jangka panjang dan agen
diberikan keleluasan dengan batasan yang menguntungkan kepentingan para pemegang
saham

Untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik atau masalah keagenan, maka ada
beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya:
Penyusunan Standar yang jelas mengenai siapa saja yang pantas menjadi apa baik untuk
jabatan fungsional maupun struktural ataupun untuk posisi tertentu yang dianggap strategis
dan kritis. Hal ini harus diiringi dengan sosialisasi dan implementasi tanpa ada
pengecualian yang tidak masuk akal.
Diadakan tes kompetensi dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan tertentu dengan
adil dan terbuka. Siapapun yang telah memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama
dan adil untuk terpilih. Terpilih artinya walaupun pejabat lain diatasnya tidak berkenan
dengan orang tersebut, tetapi karena ia yang terbaik maka tidak ada alasan logis untuk
menolaknya ataupun memilih yang lain. Disinilah peran profesionalisme dikedepankan.
Akuntabilitas dan Transparansi setiap proses bisnis dalam organisasi agar
memungkinkan monitoring dari setiap pihak sehingga penyimpangan yang dilakukan dapat
diketahui dan diberikan sanksi tanpa kompromi. Pelaku penyimpangan tersebut harus
diumumkan pada publik dan melakukan kontrol agar tidak terjadi permainan sehingga
pelaku tersebut bisa lolos dari sanksi yang sesuai. Pelaku yang terbukti bersalah diberikan
hukuman sehingga dapat menimbulkan efek jera dan bagi yang lain agar tidak berani
melakukan hal yang sama. Hal yang sama juga diperlakukan pada pegawai/pejabat yang
berprestasi, selain diberi penghargaan, juga diumumkan pada publik sehingga dapat
menjadi contoh bagi pegawai/pejabat yang lain.

Menurut Bathala et al, (1994) terdapat beberapa cara yang digunakan untuk mengurangi
konflik kepentingan, yaitu:
1) Meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen (insider ownership)
Menurut teori keagenan, konflik antara prinsipal dan agen dapat dikurangi dengan
mensejajarkan kepentingan antara prinsipal dan agen. Kehadiran kepemilikan saham oleh
manajerial (insider ownership) dapat digunakan untuk mengurangi agency cost yang
berpotensi timbul, karena dengan memiliki saham perusahaan diharapkan manajer
merasakan langsung manfaat dari setiap keputusan yang diambilnya. Proses ini dinamakan
dengan bonding mechanism, yaitu proses untuk menyamakan kepentingan manajemen
melalui program mengikat manajemen dalam modal perusahaan.
2) Meningkatkan rasio dividen terhadap laba bersih (earning after tax)
3) Meningkatkan sumber pendanaan melalui utang
Adanya utang akan dapat mengendalikan penggunaan free cash flow secara berlebihan
oleh manajer karena perusahaan harus melakukan pembayaran atas bunga dan pokok
pinjaman secara periodik serta mematuhi ketentuan pada perjanjian utang.
4) Kepemilikan saham oleh Institusi (Institutional holdings)
Adanya kepemilikan saham oleh investor institusional seperti perusahaan asuransi, bank,
perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi lain akan mendorong peningkatan
pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen.
Sedangkan dalam penelitian Masdupi (2005) dikemukakan beberapa cara yang dapat
dilakukan dalam mengurangi masalah keagenan, yaitu:
1. Dengan meningkatkan insider ownership. Perusahaan meningkatkan bagian kepemilikan
manajemen untuk mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga
bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan meningkatkan persentase
kepemilikan, manajer menjadi termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan bertanggung
jawab meningkatkan kemakmuran pemegang saham.
2. Dengan pendekatan pengawasan eksternal yang dilakukan melalui penggunaan hutang.
Penambahan hutang dalam struktur modal dapat mengurangi penggunaan saham sehingga
meminimalisasi biaya keagenan ekuitas. Akan tetapi, perusahaan memiliki kewajiban
untuk mengembalikan pinjaman dan membayarkan beban bunga secara periodik. Selain itu
penggunaan hutang yang terlalu besar juga akan menimbulkan konflik keagenan
antara shareholders dengan debtholders sehingga memunculkan biaya keagenan hutang.
3. Institutional investor sebagai monitoring agent. Mohd et al, (1998) menyatakan bahwa
bentuk distribusi saham dari luar (outside shareholders) yaitu institutional
investor dan shareholders dispersion dapat mengurangi biaya keagenan ekuitas (agency
cost). Hal ini disebabkan karena kepemilikan merupakan sumber kekuasaan yang dapat
digunakan untuk mendukung atau menantang keberadaan manajemen, maka konsentrasi
atau penyebaran power menjadi suatu hal yang relevan dalam perusahaan.

Arifin (2005) menambahkan mekanisme pengawasan yang dapat mengurangi konflik


keagenan, yaitu:
1. Kepemilikan terkonsentrasi
Mekanisme pengawasan ini agak mirip dengan mekanisme kepemilikan institusional.
Kepemilikan dikatakan terkonsentrasi jika untuk mencapai control dominasi atau mayoritas
dibutuhkan penggabungan lebih sedikit investor. Jika control dipegang oleh sedikit invetor
maka akan semakin mudah control tersebut dijalankan. Kepemilikan terkonsentrasi
memiliki kekuatan control yang lebih rendah dibandingkan dengan kepemilikan
institusional karena mereka tetap harus melakukan koordinasi untuk menjalankan hak
kontrolnya. Di sisi lain, mekanisme kepemilikan terkonsentrasi juga memiliki
kemungkinan lebih kecil untuk munculnya peluang bagi kelompok investor yang
terkonsentrasi untuk mengambil tindakan yang merugikan investor yang lain.
2. Pasar Manajer
Arifin (2005) meyakinkan bahwa masalah keagenan akan berkurang dengan sendirinya
karena akan dicatat kerjanya oleh pasar manajer baik yang ada dalam perusahaan sendiri
maupun yang berasal dari luar perusahaan. Lapisan manajer atas akan digantikan oleh
manajer lapisan bawahnya jika kinerjanya kurang memuaskan. Namun, mekanisme pasar
manajer ini tidak dapat sepenuhnya berjalan karena pasar manajer bukan merupakan pasar
yang sempurna. Kelangkaan tenaga manajer dan sikap perlawanan dari pihak manajer agar
posisinya tidak diganti merupakan salah satu faktor yang menghambat diciptakannya
mekanisme pasar manajer untuk mengurangi masalah keagenan.

Anda mungkin juga menyukai